Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Disusun Oleh:
Krisna Muhammad
20090310079
Diajukan Kepada:
SMF BEDAH
2013
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA
Disusun Oleh:
Krisna Muhammad
20090310079
Dokter Penguji
PENDAHULUAN
Hiperplasia prostat jinak merupakan kondisi yang sangat berkaitan dengan usia. 1
Walaupun sifatnya tidak mengancam jiwa, manifestasi klinis yang timbul sebagai gejala
salurah kemih bawah (lower urinary tract symptoms, LUTS) dapat mengurangi kualitas hidup
pasien.2
3
LUTS yang bermasalah dapat terjadi hingga 30% dari pria berumur di atas 65 tahun.
Di Amerika, hasil survey Olmstead County, dengan sampel acak pria Kaukasia berumur 40
hingga 79 tahun, menunjukkan bahwa gejala sedang-berat dapat terjadi pada 13% pria
berumur 40-49 tahun dan pada 28% pria berumur di atas 70 tahun.1 Studi multisenter di
beberapa negara di Asia menunjukkan presentase terkait umur dari pria dengan gejala
sedanghingga berat lebih tinggi daripada di Amerika.5,6 Prevalensi meningkat dari 18% untuk
Makalah presentasi kasus ini akan membahas tentang seorang pasien dengan BPH.
Dengan besarnya angka prevalensi BPH di Asia, presentasi kasus ini diharapkan dapat
memberikan gambaran mengenai gejala klinis, cara diagnosis, serta penatalaksanaan yang
PRESENTASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
No RM : 342606
Nama : Mardi Wijoyo
Umur : 60 tahun
Alamat : Karangtalun RT 06 Karangtalun, Imogiri, Bantul
Agama :
Pekerjaan :
Tanggal masuk RS: 11 Desember 2013
Ruang perawatan : Melati kelas 3
A. ANAMNESA
1. Keluhan Utama :
2. Keluhan Tambahan :
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat alergi : tidak ada
- Riwayat penyakit :
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit paru-paru :
- Riwayat penyakit jantung : tidak ada
- Riwayat hipertensi : positif
- Riwayat DM : tidak ada
- Riwayat asma : tidak ada
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
- Keadaan umum :
- Vital sign: TD =
N = x/menit
R = x/menit
S = 0C
- Kepala :
- Mata : Conjungtiva anemis (..), sklera ikterik (..), oedem palpebra (..).
- Hidung :
- Telinga :
- Mulut :
- Leher :
- Thoraks
Jantung: I =
Pa =
Pe =
A=
Pulmo: I =
Pa =
Pe =
A=
Ekstermitas :
Status Urogenital :
Rectal Toucher :
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Rontgen pulmo dan thorax
- Cystografi
Hasil :
Kesan :
- USG Prostat
Hasil :
Kesan :
- Laboratorium Darah Lengkap ( .... Desember 2013)
Hb : gr%
AL : /uL
AE : /uL
AT : /uL
HMT : %
Lekosit Segmen :
Gol. Darah :
PPT : detik
APTT : detik
Control PPT : detik
Control APTT : detik
GDS : mg/dl
Ureum darah : mg/dl
Kreatin darah : mg/dl
Protein total : mg/dl
Albumin : mg/dl
Globulin : mg/dl
Natrium : mg/dl
Kalium : mg/dl
Chlorida : mg/dl
HbsAg :
D. DIAGNOSIS
Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
Differential diagnosis :
E. PENATALAKSANAAN
F. FOLLOW UP
.... Desember 2013
Laporan operasi:
Instruksi pasca operasi :
- Pengawasan :
- Infus :
- Medikasi :
...... Desember 2013 jam 06.00
- S:
- O:
Vital sign: TD =
N = x/menit
R = x/menit
S = C
Kepala :
Thorax: P :
C:
Abdomen :
Ekstremitas :
- A:
- P:
- Tx :
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Kelenjar prostat dan vesika seminalis merupakan bagian dari sistem reproduksi pria.
Prostat berfungsi untuk membentuk komposisi semen. Pada orgasme, otot prostat
berkontraksi dan membenatu dorongan ejakulasi keluar dari penis. Struktur prostat
mengelilingi uretra proksimal, yang disebut juga uretra pars prostatika. McNeal membagi
kelenjar prostat menjadi tiga bagian oleh McNeal, yaitu zona sentral, perifer, dan transisional.
Zona transisional (5-10% volume prostat normal) ini merupakan bagian dari prostat yang
membesar pada hiperplasia prostat jinak, sedangkan sebagian besar kanker prostat
dan beratnya kurang lebih 20 gram pada keadaan normal. Secara histopatologik kelenjar
prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Komponen stroma ini terdiriatas otot
menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponendari cairan ejakulat. Cairan
ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuaradi uretra posterior untuk kemudian
dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat
simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus. Pleksus prostatikus (pleksus pelvikus)
menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis S 2-4 dan simpatik dari
ke dalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. Sistemsimpatik memberikan inervasi
pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli buli. Di tempat tempat itu banyak
polos tersebut.
sel sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi 2 metabolit aktif dihidrotestoteron
(DHT) dengan bantuan enzim 5-reduktase. Dihidrotestoteron inilah yang secara langsung
memacu m RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor
3.1.2. Etiologi
Pada BPH, istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya
adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang sebenarnya ke
perifer dan menjadi simpai bedah. Disebut hiperplasia karena secara histopatologi pada BPH
terjadi peningkatan jumlah sel epitelial dan stromal pada area periuretral dari prostat, hal ini
terjadi mungk karena proliferasisel epitelial dan stromal atau terganggunya proses kematian
1. Teori Stem Cell, dikemukakan oleh Isaacs, menyatakan bahwa dalam kondisi normal
kelenjar periuretral berada dalam keadaan seimbang antara sel yang tumbuh dengan
yang mati. Kemudian oleh sebab tertentu seperti usia, gangguan keseimbangan
hormon, atau faktor pencetus lainnya, stem cell berproliferasi lebih cepat sehingga sel
yang tumbuh lebih banyak daripada sel yang mati, akibatnya terjadilah hiperplasi
kelenjar periuretral.
2. Teori Reawakening, dikemukakan oleh McNeal, menyatakan bahwa jaringan
yaitu testosteron yang tidak terikat protein dalam bentuk Serum Binding Hormone,
Kemudian DHT akan berikatan dengan reseptor di sel-sel prostat dan mengakibatkan
proliferasi sel.
Seiring bertambahnya usia produksi testosteron akan berkurang dan terjadi konversi
testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa oleh enzim aromatase, estrogen
3.1.3. Patofisiologi
Pada penderita BPH, akan terjadi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum,
leher vesika, dan kekuatan kontraksi otot detrusor. Trigonum, leher vesika, dan otot detrusor
dipersarafi oleh sistem simpatis, sedangkan trigonum oleh parasimpatis. Saat terjadi BPH
akan terjadi peningkatan resistensi di daerah prostat dan leher vesika. Kemudian otot detrusor
akan berkontraksi lebih kuat sebagai kompensasinya. Kontraksi detrusor yang terus-menerus
akan mengakibatkan penebalan dan penonjolan serat detrusor ke dalam buli-buli yang disebut
pula trabekulasi, bentuknya serupa balok-balok. Mukosa vesika dapat menerobos antara serat
detrusor sehingga membentuk sakula dan bila semakin membesar disebut divertikel. Detrusor
yang terus-menerus mengkompensasi pada suatu saat akan jatuh pada fase dekompensasi
dimana otot detrusor tidak mampu berkontraksi lagi dan terjadi retesi urin total.
Retensi urin total yang terjadi menginkatkan tekanan intravesika. Ketika tekanan
intravesika lebih tinggi daripada tekanan sfingter uretra, akan terjadi inkontinensia paradox
dan sistem pelviokalises ginjal (hidronefrosis). Jika keadaan ini berlangsung terus-menerus
dapat terjadi penurunan fungsi ginjal dan pada akhirnya akan terjadi gagal ginjal.
intraabdomen karena penderita harus mengejan pada waktu kencing. Peningkatan tekanan
intraabdomen dapat mengakibatkan hernia atau hemoroid. Sisa urin dalam vesika dapat
meningkatkan risiko terjadinya batu endapan dan infeksi. Adanya batu di dalam vesika dapat
Gejala pada penderita BPH dibagi menjadi gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala
obstruktif disebabkan oleh kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi secara adekuat
misalnya karena volume prostat pada BPH yang besar, sedangkan gejala iritatif disebabkan
oleh pengosongan yang tidak sempurna saat miksi atau rangsangan pada vesika oleh BPH
Obstruktif Iritatif
Menunggu pada permulaan miksi (hesitancy) Peningkatan frekuensi miksi (frequency)
Miksi terputus (intermittency) Peningkatan frekuensi miksi malam hari
(nocturia)
Urin menetes pada akhir miksi (terminal Miksi sulit ditahan (urgency)
dribbling)
Pancaran miksi lemah Nyeri pada waktu miksi (dysuria)
Rasa tidak puas setelah miksi (tidak lampias)
Beratnya gangguan miksi diidentifikasi dan diklasifikasikan oleh berbagai jenis
skoring, di antaranya International Prostate Symptom Score (IPSS) yang disusun oleh World
Health Organization dan Madsen Lawson Score. IPSS terdiri dari delapan buah pertanyaan
mengenai LUTS. Skor akhir akan menentukan tatalaksana yang akan dilakukan terhadap
penderita. 2,4
Keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih akibat gejala
terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena
penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar
dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga
meskipun volume kelenjar periuretral sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos
prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya
kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Gejala iritatif disebabkan oleh
karena pengosongan vesica urinaria yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan
oleh hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
Gejala-gejala tersebut di atas sering disebut dengan sindroma prostastismus. Secara klinis
obstruksi antara lain: nyeri pinggang, demam yang merupakan tanda dari infeksi atau
selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi
prostat dan separuhnya akan memberikan keluhan.Jika dasar kelainan berada di traktur
urinarius bagian atas, maka diperiksa kelianan ginjal yang tergambar lewat pemeriksaan fisik
yaitu ginjal dapat teraba pada hidronefrosis, nyeri pinggang dan nyeri ketok regio Flank pada
pielonefritis, vesika urinaria dapat teraba bila terjadi retensi urin, dan teraba benjolan di lipat
Pemeriksaan colok dubur (rectal touch, RT) dilakukan untuk memeriksa tonus
sfingter ani, mukosa rektum, dan prostat. Jika batas atas prostat masih teraba, dapat
diperkirakan massa prostat kurang dari 60 gram. Jika prostat teraba membesar maka diberi
deskripsi lebih lanjut mengenai konsistensi, simetri, dan nodul untuk menentukan dugaan
pembesaran jinak atau ganas. Pembesaran prostat jinak biasanya memiliki konsistensi kenyal,
bentuknya simetris, dan tidak terdapat nodul. Sedangkan pada adenokarsinoma prostat
komorbid pada penderita seperti infeksi, penurunan fungsi ginjal, batu saluran kemih, dan
diabetes mellitus. Pemeriksaan darah terdiri dari darah perifer lengkap, elektrollit, PSA,
ureum, kreatinin, dan kadar glukosa. Pemeriksaan urin terdiri dari urinalisis, biakan, dan tes
sensitivitas antibiotik.
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan pada BPH terutama ultrasonografi (USG) secara Trans Abdominal Ultrasound (TAUS) atau Trans Rectal
Ultrasound (TRUS). TAUS digunakan untuk menilai volume buli, volume sisa urin, divertikel, tumor, atau batu buli. TRUS digunakan untuk mengukur volume
prostat, prostat digolongkan besar jika volumenya lebih dari 60 gram. TRUS juga dapat mendeteksi kemungkinan keganasan dengan memperlihatkan adanya
daerah hypoehoic, dan bisa dapat dilakukan biopsi prostat dengan jarum yang dituntun TRUS diarahkan ke daerah yang hypoechoic Pencitraan lainnya yang
dapat dilakukan yaitu Blaas Nier Overzicht-Intravenous Pyelogram (BNO-IVP) untuk melihat adanya batu saluran kemih, hidronefrosis, divertikulae, volume
sisa urin, dan indentasi prostat. CT Scan dan MRI jarang digunakan karena dianggap tidak efisien.9
Derajat berat obstruksi dapat diukur melalui beberapa cara. Cara pertama yaitu
dengan mengukur volume sisa urin setelah penderita miksi spontan karena pada orang normal
biasanya tidak terdapat sisa. Sisa urin lebih dari 100cc merupakan indikasi terapi intervensi
pada penderita BPH. Volume sisa urin dapat diukur dengan melakukan kateterisasi ke dalam
vesika setelah penderita miksi, dengan ultrasonografi vesika, atau foto post voiding pada
BNO-IVP. Cara kedua yaitu dengan uroflowmetri. Pada pemeriksaan ini diukur pancaran
urin, dimana nilai normal average flow rate (Qave) 10-12 ml/detik, maximum flow rate
penonjolan prostat dan sisa urin kurang dari 50 ml. Penonjolan 0-1 cm kedalam rektum
prostat menonjol pada bladder inlet. Pada derajat ini belum memerlukan tindakan
operatif, dapat diberikan pengobatan secara konservatif, misal alfa bloker, prazozin,
Penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum, prostat menonjol diantara bladder inlet dengan
muara ureter. Batas atas masih teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari
100 ml. Pada derajat ini sudah ada indikasi untuk intervensi operatif.
c. Derajat 3: Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urine lebih
dari 100 ml. penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum. Prostat menonjol sampai muara ureter.
TURP masih dapat dilakukan akan tetapi bila diperkirakan reseksi tidak selesai dalam
menonjol melewati muara ureter. Tanda klinik terpenting pada BPH adalah
Proses miksi bergantung pada kekuatan otot detrusor, elastisitas leher vesika, dan
resistensi uretra. Oleh karena itu kesulitan miksi dapat disebabkan oleh kelemahan detrusor,
Selain pada BPH, keluhan LUTS dijumpai pula pada striktur uretra, kontraktur leher
vesika, batu buli-buli kecil, karsinoma prostat, atau kelemahan detrusor, misalnya pada
penderita asma kronik yang menggunakan obat-obat parasimpatolitik. Sedang bila hanya
gejala-gejala iritatif yang menyolok, lebih sering ditemukan apda penderita instabilitas
detrusor, karsinoma in situ vesika, infeksi saluran kemih, prostatitis, batu ureter distal, atau
3.1.8. Tatalaksana
3.1.8.1. Watchfull Waiting
Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur dengan
sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS 7 atau Madsen Iversen 9),
dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol
periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak
terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan
3.1.8.2.Medical Treatment
Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu :
- Penghambat adrenergik alfa
Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat,
dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra pars
yang dapat timbul adalah karena penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa
menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga sintesis protein
terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara
Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea pupurea, dan
Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui, namun PPygeum
Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth Factor terutama b-FGF dan EGF.
Efek dari obat lain yaitu anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding
Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral Resection of the
Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang
dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi operasi. TURP adalah reseksi
endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir seluruhnya terdiri dari jaringan
kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode inicukup aman,
efektif dan berhasil guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat
mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan
bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan
pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam
penentuan perlu tidaknya dilakukan TURP. Saat ini tindakan TURP merupakan tindakan
operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-
uretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan
direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa
larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi.
Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades). Salah
satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke
sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka padasaat reseksi. Kelebihan air
dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal
dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran
somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien
akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka
mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya
sindroma TURP dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada
aquades, antara lain adalah cairan glisin, membatasi jangka
waktu operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi
tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat. Komplikasi jangka pendek pada TURP
antara lain perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka
Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila volume
prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu
keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu besar. Bila alat yang tersedia tidak
memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik.
Karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya
dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor /
divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari 100cc.9.11
penyulit tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi saluran
kemih, kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau keluhan LUTS yang tidak menunjukkan
adalah operasi terbuka atau operasi endourologi transuretra. Indikasi pembedahan pada BPH
adalah :
a. Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut (100 ml).
b. Klien dengan residual urin yaitu urine masih tersisa di kandung kemih setelah klien
c. Klien dengan penyulit yaitu klien dengan gangguan system perkemihan seperti retensi
Prostatektomi terbuka :
c. Transperineal
3.1.9. Komplikasi
Pada BPH yang dibiarkan tanpa tatalaksana dapat menyebabkan komplikasi seperti
trabekulasi, yaitu penebalan serat-serat detrusor menyerupai balok akibat tekanan intravesikal
yang terus menerus tinggi akibat obstruksi. Kemudian dapat terjadi sakulasi, yaitu mukosa
vesika menerobos serat-serat detrusor, dan bila ukurannya membesar bisa menjadi divertikel.
Batu vesika juga dapat terbentuk sebagai komplikasi akibat sisa urin yang menetap di
vesika urinaria. Tekanan vesika yang tinggi tadi apabila diteruskan ke struktur di atasnya
dekompensasi sehingga vesika tidak dapat lagi berkontraksi untuk mengosongkan isinya
sehingga terjadi retensi urin total. Dan ketika besarnya tekanan vesika melebihi tekanan
PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Chute CG, Panser LA, Girman CJ, Oesterling JE, Guess HA, Jacobsen SJ, Lieber
MM. The prevalence of prostatism: a population based survey of urinary symptoms. J
Urol 1993;150:85-89. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve
&db=PubMed&list_uids=7685427&dopt=Abstract
2. Donovan JL, Kay HE, Peters TJ, Abrama P, Coast J, Matos-Ferreira A, Rentzhog L,
Bosch JL,Nordling J, Gajewski JB, Barbalias G, Schick E, Silva MM, Nissenkorn I,
de la Rosette JJ. Using the ICSQoL to measure the impact of lower urinary tract
symptoms on quality of life: evidence from the ICS-BPH study. International
Continence Society - Benign Prostatic Hyperplasia. Br J Urol 1997;80:712-721.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=9393291&dopt=Abstract
3. Chapple CR. BPH disease management. Eur Urol 1999; 36(Suppl 3):1-6. http://www.
ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?
cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=10559624&dopt=Abstract
4. Arrighi HM, Metter EJ, Guess HA, Fozzard JL. Natural history of benign prostatic
hyperplasia and risk of prostatectomy, the Baltimore Longitudinal Study of Aging.
Urology 1991;35(Suppl):4-8. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=
Retrieve&db=PubMed&list_uids=1714657&dopt=Abstract
5. Homma Y, Kawabe K, Tsukamoto T, Yamanaka H, Okada K, Okajima E, Yoshida O,
Kumazawa J, Gu FL, Lee C, Hsu TC, dela Cruz RC, Tantiwang A, Lim PH, Sheikh
MA, Bapat SD, Marshall VR, Tajima K, Aso Y. Epidemiologic survey of lower
urinary tract symptoms in Asia and Australia using the International Prostate
Symptom Score. Int Urol 1997;4:40-46. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.
fcgi?cmd=Retrieve&db=PubMed&list_uids=9179665&dopt=Abstract
6. Tsukamoto T, Kumamoto Y, Masumori N, Miyakr H, Rhodes T, Girman GJ, Guess
HA, Jacobsen HJ,Lieber MM. Prevalence of prostatism in Japanese men in a
population based study with comparison to a similar American study. J Urol
1995;154:391-395. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi?cmd=Retrieve
&db=PubMed&list_uids=7541852&dopt=Abstract
7. Kim HL, Belldegrun A. Urology. In: Brunicardi FC. Schwartzs manual of surgery. 8 th
edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.; 2006. p. 1036-42.
8. Umbas R. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki. Dalam: Sjamsuhidajat S,
Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, editor. Buku ajar ilmu bedah
Sjamsuhidajat-De Jong. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. h.
782-6.
9. Rahardjo D. Prostat: Kelainan-kelainan jinak, diagnosis, dan penanganan. Jakarta:
Asian Medical; 1999.
10. Presti JC, Kane CJ, Shinohara K, Carroll PR. Chapter 22: Neoplasms of the Prostate
Gland. In: Tanagho EA, McAninch JW. Smith's General Urology. 17 th ed. New York:
McGraw-Hill; 2006. p. 347-55
11. Rosette J, Alivizatos G, Madersbacher S, Sanz CR, Nordling J, Emberton M, Gravas
S, Michel MC, Oelke M. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia. European
Association of Urology; 2006.