Anda di halaman 1dari 21

Judul makalah

Hubungan Tentang Kebijakan Pejabat dengan Korupsi Dalam Kajian Hukum


Administrasi Negara serta Hukum Pidana

A. Latar belakang

Pemerintah saat ini untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi diatas 6


persen, berencana membelanjakan 5000 triliun lebih selama lima tahun untuk
infrastruktur. Dengan proyek-proyek infrastruktur, biaya logistik nasional dapat
lebih rendah, lapangan kerja yang tersedia dapat mengurangi pengangguran,
volume BBM bisa ditekan. Proyek infrastruktur ini tersebar di berbagai
Kementerian dan di Pemerintah Daerah. masalah utama yang dihadapi ada dua
yaitu pembebasan tanah dan masalah hukum. Pembebasan tanah akan
diupayakan dengan mengundang partisipasi masyarakat. Namun masalah hukum,
khususnya kekhawatiran Pimpinan Proyek (Pimpro) untuk mengambil
keputusan, akan membuat seluruh proyek itu akan berjalan lambat.
Keterlambatan proyek akan membuat konsekuensi besar kenaikan biaya,
kualitas pekerjaan dan pelayanan publik.

Namun banyak Pejabat Aparatur Negara maupun Pejabat BUMN


mengalami kegamangan ketika dihadapkan pada keputusan untuk segera
bertindak cepat. Masalahnya adalah siapa yang mau menanggung resiko hukum
dalam pengambilan keputusan yang cepat? apalagi kalau disuruh harus
memotong birokrasi, membuat pengecualian dalam prosedur tender, demi
kepentingan yang lebih besar. Kasus Dahlan Iskan bisa menjadi contoh
bagaimana terobosan yang dilakukan pada saat menjadi Dirut PLN kemudian
berbuah menjadi tersangka. Pejabat umumnya takut bahwa kesalahan
adminsitrasi yang dilakukannya kemudian dipersepsikan oleh penegak hukum
sebagai kebijakan yang koruptif atau perbuatan koruptif .
Menurut beberapa pakar hukum administrasi Negara yang diminta untuk
memberikan keterangan Ahli di Persidangan menyatakan bahwa Keputusan
Pejabat Negara baik dalam rangka beleid (langka yang ditempuh untuk
melaksanakan progran) maupun diskresi (kebijaksanaan) tidak dapat dilarikan
ke area Hukum Pidana. meskipun dalam kebijakan terjadi suatu penyimpangan
administratif, maka penilaian terhadap penyimpangan itu adalah masuk dalam
ranah Hukum Administrasi Negara, yang tidak dapat dijadikan penilaian oleh
Hukum Pidana, khususnya dalam konteks Tindak Pidana Korupsi. Bahkan ada
pejabat tinggi negara yang mengatakan bahwa kebijakan tidak dapat
dikriminalisasi.

Di kalangan penegak hukum sendiri terdapat persepsi yang berbeda dalam


memberikan batasan kapan kebijakan atau diskresi masuk dalam ranah pidana
atau sekedar pelanggaran adminsitratif, khususnya dalam kaitan dengan
kebijakan atau tindakan yang salah dari pejabat yang mengakibatkan kerugian
negara. Hal ini terlihat dari beberapa putusan Pengadilan atau Mahkamah Agung
(MA) dimana ada terdakwa yang dikenakan pemidanaan tetapi disisi lain
dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Seperti dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.


148/PID/2003/PT.DKI tanggal 29 Desember 2003, dalam kaitan dengan kasus
mantan Direktur Bank Indonesia yang menyatakan: Menimbang, bahwa karena
terbukti Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 15 dan 20 September 1997
adalah sebagai Kebijaksanaan Pemerintah yang dilaksanakan oleh Bank
Indonesia sebagai upaya untuk menyelamatkan sistem moneter dan Perbankan,
maka Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa Pengadilan tidak berhak menilai
suatu kebijaksanaan (beleid) dari Pemerintah Cq. Bank Indonesia, terlepas dari
pada apakah kebijaksanaan tersebut berhasil atau tidak untuk menyelamatkan
sistem moneter atau perbankan atau perekonomian negara. Menimbang, bahwa
walaupun Terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya
dalam dakwaan Primair, tetapi karena perbuatan Terdakwa bukan merupakan
suatu perbuatan pidana, maka Terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan
hukum (Onstlag van alle rechtevervolging) . Namun Putusan PT DKI. Jakarta
yang melepaskan terdakwa tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan MA.
malah menghukum terdakwa.

Memang pemahaman yang berkembang dalam praktek peradilan oleh


Penegak hukum bisa berbeda dengan kajian akademik yang disampaikan
oleh pakar hukum dalam memberikan solusinya. Dalam kerangka Hukum
Administrasi Negara, parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan
Aparatur Negara adalah penyalahgunaan wewenang dan abus de droit
(sewenang-wenang), sedangkan dalam rana Hukum Pidana memiliki pula kriteria
yang membatasi gerak bebas kewenangan Aparatur Negara berupa unsur
wederrechtelijkheid (perbuatan melawan hukum pasal 2 UUTPK) dan
menyalahgunakan kewenangan (pasal 3 UUTPK). Permasalahannya adalah
manakala Aparatur Negara melakukan perbuatan yang dianggap
menyalahgunakan kewenangan dan melawan hukum, artinya mana yang akan
dijadikan ujian bagi penyimpangan Aparatur Negara ini, Hukum Administrasi
Negara ataukah Hukum Pidana, khususnya dalam perkara-perkara Tindak Pidana
Korupsi.

B. Rumusan masalah
1. Apakah kebijakan dapat masuk dalam ranah pidana ataukah pelanggaran
adminsitratif?
2. Bagaimana kesalahan administrasi dapat membentuk
pertanggungjawaban pidana?
BAB II
Kajian Teori

A. Definisi Korupsi

Korupsi merupakan bagian dari proses immoral yang sistemik dan daapt
dilakukan oleh siapapun tanpa pandang agama. Istilah korupsi berasal dari bahasa
latin yaitu corruptio. Kata corruption berasal dari kata corrumpore. Dari bahasa
latin inilah yang diikuti dalam bahsa Eropa seperti corruption, corrupt dalam
bahasa Inggris; Corruption dalam bahasa Prancis dan Corruptie dalam bahasa
Belanda.1
Dalam ensiklopedia Indoensia disebutkan bahwa korupsi dari
latin: corruptio sama dengan penyuapan dan corrumpore sama dengan merusak
yaitu gejala bahwa pejabat badan-badan negara menyalahgunakan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Dalam kamus bahasa
Indonesia disebutkan bahwa korupsi mengandung pengertian penyelewengan atau
penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk keuntungan
pribadi atau orang lain.2
Sementara itu, korupsi seringkali di kaitkan dengan praktek kolusidan
nepotisme,3 menurut standar yang digunakan untuk memberikan pengertian tindak
pidana korupsi secara konstitusional diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 Pasal 1
ayat (3)m, (4) dan ayat (5) menjabarkan:
1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi;

1
Igm Nurjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif Keadilan Melawan
Hukum,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 14.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1997), hlm. 527.
3
Igm Nurjana, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi; Perspektif Keadilan Melawan
Hukum,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 18.
2. Kolusi adalah pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum atau
penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara;

3. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan


hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kronnya diatas
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam definisi yang sudah disebutkan, maka terdapat tiga unsur dari
pengertian korupsi, yaitu:
1. Menyalahgunakan kekuasaan;

2. Kekuasaan yang dipercayakan (baik dari sektor publik maupun swasta),


memiliki akses keuntungan materi;

3. Keuntungan pribadi (tidak selalu berarti untuk pribadi orang yang


menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarganya maupun
koleganya).

Korupsi menurut standar yang digunakan untuk memberikan pengertian


tindak pidana korupsi secara konstitusional diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999
Pasal 1 ayat (3), (4) dan ayat (5) dengan penjabaran:
1. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi.

2. Kolusi adalah pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum atau


penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

3. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan


hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di
atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Secara yuridis pengertian korupsi menurut Pasal 1 UU No. 24 Prp. Tahun


1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan PemeriksaanTindak Pidana Korupsi
adalah bahwa: Yang disebut tindak pidana korupsi, ialah:
1. Tindakan seorang yang dengan sengaja atau karena melakukan kejahatan atau
pelanggaran memperkaya din sendiri atau orang lain atau suatu badan yang
secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian
negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima
bantuan dan keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang
mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dan negara atau
masyarakat.

2. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau
dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.

Dalam Pasal 1 UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi dijelaskan tentang pengertian korupsi yaitu bahwa: Dihukum karena
tindak pidana korupsi ialah:
1. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan din sendiri atau orang lain atau
suatu hadan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak
langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Barang siapa yang melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209,
210. 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 435 KUHP.

3. Barang siapa memberi hadith atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau wewenang
yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadith
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.

4. Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang
tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan
pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

Kemudian pengertian korupsi dalam Pasl 2 dan 3 UU No 31 Tahun 1999


yang mencabut UU No. 3 Tahun 1971 di atas, atau disebutkan sebagai rumusan
delik tindak pidana korupsi yaitu:
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suitu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat (1).

2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara (Pasal 3).

B. Jenis dan Tipologi Korupsi


Jenis dan Tipologi Korupsi menurut bentuk-bentuk TIPIKOR menurut UU
No. 31 Tahun 1999 dan diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut:
1. Tindak Pidana Korupsi dengan Memperkaya Din Sendiri, Orang Lain, atau
Suatu Korporasi (Pasal 2).

2. Tindak Pidana Korupsi dengan Menyalahgunakan Kewenangan, Kesempatan,


Sarana Jabatan, atau Kedudukan (Pasal 3).

3. Tindak Pidana Korupsi Suap dengan Memberikan atau Menjanjikan Sesuatu


(Pasal 5).

4. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim dan Advokat (Pasal 6).

5. Korupsi dalam Hal Membuat Bangunan dan Menjual Bahan Bangunan dan
Korupsi dalam Hal Menyerahkan Alat Keperluan TM dan KNRI (Pasal 7).

6. Korupsi Pegawai Negeri Menggelapkan Uang dan Surat Berharga (Pasal 8).

7. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Memalsu Buku-Buku dan Daftar-


Daftar (Pasal 9).

8. Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri Merusakkan Barang, Akta, Surat, atau
Daftar (Pasal 10).

9. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang Berhubungan


dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11).

10. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggaraan Negara atau Hakim dan
Advokat Menerima Hadiah atau Janji; Pegawai Negeri Memaksa Membayar,
Memotong Pembayaran, Meminta Pekerjaan, MenggunakanTanah Negara, dan
Turut Serta dalam Pemborongan (Pasal 12).

11. Tindak Pidana Korupsi Suap Pegawai Negeri Menerima Gratifikasi (Pasal
12B).

12. Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan Jabatan
(Pasal 13).

13. Tindak Pidana yang Berhubungan dengan Hukum Acara Pemberantasan


Korupsi.

14. Tindak Pidana Pelanggaran Terhadap Pasal 220, 231, 421, 429, dan 430
KUHP (Pasal 23).

C. Titik Singgung Hukum Administrasi dengan Hukum Pidana dalam


Penyelesaian Perkara Korupsi
Menurut Philipus M. Hadjon, wewenang (bevoegdheid) dideskripsikan
sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik,
wewenang berkaitan dengan kekuasaan.4 Ferrazi mendefinisikan kewenangan
sebagai hak untuk menjalankan satu atau lebih fungsi manajemen, yang meliputi
pengaturan (regulasi dan standarisasi), pengurusan (administrasi) dan pengawasan
(supervisi) atau suatu urusan tertentu.
Unsur kewenangan diantaranya terdapat: a). Pengaruh: ialah bahwa
penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek
hukum. b). Dasar hukum: bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar
hukumnya, dan Konformitas hukum: mengandung makna adanya standar
wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus
(untuk jenis wewenang tertentu).5
Dalam kerangka hukum administrasi negara, parameter yang membatasi
gerak bebas kewenangan aparatur negara (discretionary power)

4
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, YURIDIKA, No.5&6 Tahun XII, September
Desember , 1997 , h.1
5
Ganjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), h. 93
adalah detournament de povouir (penyalahgunaan wewenang) danabus de
droit (sewenang-wenang). Sedangkan dalam area Hukum Pidana juga memiliki
kriteria yang membatasi gerak bebas kewenangan aparatur negara berupa unsur
wederrechtlijkheid dan menyalahgunakan wewenang. Dalam area Hukum
Perdata juga dikenal dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatigheid) dan
wanprestasi yang seringkali difahami secara menyimpang oleh penegak hukum.
Permasalahan area hukum pidana tidaklah sesulit apabila dilakukan pembedaan
sebagai grey areaantara Hukum Administrasi Negara dengan Hukum Pidana,
khususnya tindak pidana korupsi.
Adanya sifat perbuatan melawan hukum merupakan istilah dari
onrechmatigheid yang mempunyai kesamaan arti dengan istilah
wederrechlijkheid. Pengertian luas onrechmatigheidsdaad dalam hukum
perdata mempunyai penerapan pengertian yang sama dengan pengertian hukum
pidana terhadap istilah materiile wederrechlijkheid yang dalam beberapa
kepustakaan diartikan dengan istilah lain, seperti tanpa hak sendiri,
bertentangan dengan hukum pada umumnya, bertentangan dengan hak pribadi
seseorang, bertentangan dengan hukum positif (termasuk hukum perdata, hukum
administrasi) ataupun menyalahgunakan kewenangan dan lain sebagainya.
Perbuatan melawan hukum secara formil lebih menitikberatkan pada pelanggaran
terhadap perundang-undangan yang tertulis. Sedangkan dalam perbuatan dikatakan
telah memenuhi melawan unsur melawan hukum secara materil apabila perbuatan
itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan
yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, setiap perbuatan yang dianggap
atau dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan hukum
secara materiil.6
Di Indonesia, ada dua yurisdiksi Mahkamah Agung yang menunjukkan
Kasum (No 66K/Sip/1952), dalam kasus ini MA berpendirian bahwa perbuatan
melawan hukum terjadi apabila ada perbuatan sewenang-wenang dari pemerintah

6
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, (Jakarta: Kantor Pengacara dan
Konsultan Hukum, 2006), h.10.
atau merupakan tindakan merupakan tindakan yang tiada cukup anasir
kepentingan umum; kedua, putusan MA dalam perkara Josopandojo (putusan No.
838/Sip/1972), yang dalam kasus ini MA berpendapat bahwa kriteria onmatigheid
overheidsdaad adalah undang-undang dan peraturan formal yang berlaku,
kepatutan dalam masyarakat yang harus dipatuhi oleh penguasa dan perbuatan
kebajikan dari pemerintah tidak termasuk kompetensi pengadilan.7
Dengan demikian, putusan MA ini jelas menunjukkan kriteria perbuatan
melawan hukum oleh pemerintah adalah:
1. Perbuatan penguasa itu melanggar undang-undang dan peraturan formal yang
berlaku;

2. Perbuatan penguasa melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya


dipatuhi.

D. Substansi Penyalahgunaan Wewenang dalam UUAdministrasi Pemerintahan


Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
sebenarnya bukanlah regulasi baru, setidaknya dari tahun pengesahannya bisa
diketahui bahwa regulasi itu sudah berlaku sejak setahun yang lalu, tepatnya 17
Oktober 2014[13]. UU AP merupakan bagian penting dari proses reformasi
birokrasi karena menegaskan manajemen pemerintahan agar bisa berjalan dengan
benar dalam menjalankan fungsi pokok. Spirit UU No. 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (UU AP) adalah bahwa Seorang pejabat pemerintah
tidak bisa lagi menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang. UU AP
mengatur bagaimana seorang pejabat administrasi pemerintahan menggunakan
kewenangannya dalam membuat keputusan dan tindakan. UU AP bisa dikatakan
menjadi salah satu manual book of governance activity, yaitu buku manual yang
menjadi standarisasi administrasi dalam tindakan atau aktifitas pemerintahan dari
seorang pejabat.8

7
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Press, 2011). H.273.
8
Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Naskah Akadmeik Rancangan
Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan, hlm. 35.
Undang-undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good
governance) dan sebagai upaya untuk mencegah praktik korupsi, kolusi,
dan nepotisme. Dengan demikian, Undang Undang ini harus mampu
menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan efisien.9 Dibuatnya
UU AP merupakan upaya untuk menciptakan kepastian hukum kepada masyarakat
dan badan/ pejabat pemerintah. Keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintahan
pun dipastikan sesuai dengan kaedah hukum dan metanorma dalam prinsip-prinsip
jalannya pemerintahan. UU AP juga diharapkan dapat menjamin akuntabilitas
badan/pejabat karena dalam UU ini ditentukan hak untuk mengakses dasar-dasar
yang menjadi pertimbangan untuk menentukan keputusan administrasi
pemerintahan.
Selain itu, UU AP juga mengatur mengenai bagaimana semua keputusan
administrasi pemerintahan yang sifatnya memberatkan dan membebani
masyarakat, maka pejabat harus memberitahukan terlebih dahulu kepada
masyarakat dan memberi perlindungan hukum kepada masyarakat. Termasuk juga
pejabat harus menjelaskan berapa lama waktu untuk membuat keputusan dan
waktu penyampaian keputusan kepada masyarakat. Namun respon dan reaksi (baik
positif maupun negatif) terhadap substansi Undang-undang Administrasi
Pemerintah itu, baru bermunculan secara sporadik akhir-akhir ini. Alasan salah
satunya adalah terdapat norma hukum yang terkesan baru dan bisa dikatakan
progresif, termuat dalam Undang-undang tersebut. Meski mayoritas berisi regulasi
dan standar normatif pelaksanaan administrasi pemerintahan maupun yang
berkaitan erat dengan penegakan (internal) hukum administrasi, terdapat pula satu
norma vital yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana, khususnya
pemberantasan tindak pidana korupsi. Penyalahgunaan wewenang merupakan
salah satu unsur dalam Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tipikor, yang
menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 harus dinyatakan terlebih dahulu

9
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, hlm. 4.
kebenarannya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Ini menarik sebab bila
ditelaah, dalam satu istilah tersebut terdapat garis tipis yang berpotensi
membuatnya berada dalam dua rezim hukum yang berbeda. Dalam konteks Pasal 3
UU Pemberantasan Tipikor, penyalahgunaan wewenang merupakan mixing antara
konsep maupun norma hukum administrasi dengan norma hukum pidana, dalam
arti sebuah aturan administrasi yang juga memuat sanksi pidana. Inilah yang sering
umum disebut administrative penal lawatau verwaltungs strafrecht.
Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan:
Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak
ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan Sementara Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014, menyatakan: Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,
memberikan perluasan kewenangan bagi Pengadilan Tata Usaha Negara. Yang
paling kentara adalah perluasan makna Keputusan Tata Usaha Negara (vide Pasal
87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014) serta Pengujian Ada/Tidaknya
Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (videPasal 21 Undang-undang Nomor
30 Tahun 2014). Jiwa dari pengujian ada/tidaknya penyalahgunaan wewenang
sebagai salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 3 UU
Pemberantasan Tipikor, sebenarnya sejalan atau tidak jauh berbeda bila
dikomparasikan dengan sifat pengujian praperadilan dalam sebuah tindak pidana
yang hanya menguji salah satu unsur formal dari tindak pidana korupsi, yaitu
penyalahgunaan wewenang.
Keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga penguji
penyalahgunaan wewenang, bukan merupakan bentuk reduksi terhadap
kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Tipikor), sebagai langkah mundur
dalam pemberantasan korupsi, melainkan sebagai langkah penegakan hukum,
karena meskipun yang diuji adalah salah satu unsur pidana dalam Pasal 3 UU
Pemberantasan Tipikor, akan tetapi konteks penyalahgunaan wewenang berada
dalam ranah hukum administrasi.10 Hal yang sama juga merupakan substansi dari
pengertian menyalahgunakan kewenangan tidak ditemukan eksplisitasnya dalam
hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata
yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya. Adanya peranan
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam menguji ada/tidaknya penyalahgunaan
wewenang dimaksudkan untuk mempermudah penentuan unsur penyalahgunaan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor,
sehingga pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa Tindak Pidana Korupsi
selanjutnya akan lebih fokus pada unsur-unsur pidana dari Tindak Pidana Korupsi
itu sendiri. Sejalan dan merupakan efek lanjutan dari pendapat Romli
Atmasasmita11: bahwa penyidik dan penuntut tindak pidana korupsi eks Pasal 3
UU Tipikor 2001/1999, pasca berlakunya UU ADP 2014 tidak akan mengalami
kesulitan yang berarti untuk menerjemahkan pengertian istilah Penyalahgunaan
Wewenang terkait penuntutan dan pembuktian tindak pidana korupsi oleh
penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri lainnya atau aparat penegak hukum.
Sejauh ini, pengertian menyalahgunakan wewenang dalam konteks Pasal 3
UU Pemberantasan Tipikor, secara praktis mengambil alih pengertian
penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986. Hal yang bisa dikatakan merupakan implementasi dari
teoriAutonomie van het Materiele Strafrecht, yang pada prinsipnya menyatakan
bahwa: Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang
berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan
tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian
yang terdapat dalam cabang hukum lainnya.12 Namun di dalam realitas sosial,
terjadi perbedaan pemahaman mengenai penerapan teori Autonomie van het

10
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), (Jakarta: Rajawali Press, 2011). H.275.
11
Atmasasmita, Romli. Teori Hukum Integratif: Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan
dan Teori Hukum Progresif. (Yogyakarta: Genta Publshing, 2012,) hlm. 53.
12
Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Cetakan Kedua,
(Malang: Banyu Media Publishing, 2005), hlm. 341.
Materiele Strafrecht tersebut. Sebagian kalangan menganggap prasayarat
pengujian penyalahgunaan wewenang yang dilakukan di Pengadilan Tata Usaha
Negara, telah tepat. Akan tetapi ada pula yang menganggap hal tersebut tidaklah
perlu, karena Majelis Hakim Pengadilan Tipikor, bisa menafsirkan sendiri unsur
penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, dengan
melandaskan diri pada asas tersebut di atas, dengan mengambil alih konsep serupa
yang telah ada dalam Hukum Administrasi.
Dalam UU AP yang baru ini, penyalahgunaan wewenang dalam jabatan
sebagai salah satu unsur dalam Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor hakikatnya
merupakan rezim Hukum Administasi, sebab jabatan berhubungan dengan
tindakan/urusan pejabat maupun badan publik dalam melakukan urusan
administrasi pemerintahan di pusat maupun daerah, berdasarkan kewenangan atau
diskresi yang ada padanya. Penalaran ini pun sejalan dengan ketentuan Pasal 53
ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, bahwa pengujian sengketa
di bidang administrasi (baik berdasarkan Undang-undang Peratun maupun
Undang-undang Administrasi Pemerintahan), salah satunya karena adanya
pelanggaran terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik. Pelanggaran
terhadap larangan penyalahgunaan wewenang tersebut tidak dinormakan sebagai
peraturan, pada hakikatnya penyalahgunaan wewenang tetap merupakan bagian
dari Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), sehingga jangkauan
kewenangan pengujiannya tetap berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Terlebih pengkajian mengenai ketidakberwenangan sebagaimana pasal 17 ayat (2)
UU Administrasi Pemerintahan (baik dalam bentuk detournement de
pouvoirmaupun willekeur), selama ini sudah menjadi domain Pengadilan Tata
Usaha Negara untuk mengujinya.

E. Penyalahgunaan Wewenang dan AAUPB


Pengujian penyalahgunaan wewenang dalam jabatan telah menjadi norma
hukum positif dalam tertib hukum kita, dan lebih menekankan pada kajian filosofis
maupun sosiologis mengenai urgensi atau ketepatan pengujian penyalahgunaan
wewenang ini oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Seperti telah dikemukakan di
atas, penyalahgunaan wewenang tak diragukan lagi merupakan salah satu bentuk
asas-asas umum pemerintahan yang baik, dalam bentuk larangan penyalahgunaan
wewenang (detournement de pouvoir).
Wewenang dan kewenangan secara eksplisit dibedakan dalam Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2014, bila wewenang adalah: Hak yang dimiliki oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk
mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan,
maka kewenangan adalah: Kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Dari
ketentuan tersebut, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa wewenang, adalah
soal hakdan pengambilan keputusan/tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan, sedangkan kewenangan adalah
soal kekuasaan bertindak dalam ranah hukum publik oleh Badan/Pejabat
Pemerintahan. Secara tersirat pun bisa dilihat, bahwa kontekstual perbedaan antara
keduanya terletak pada penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan
representasi dari administrasi negara, sedangkan ranah hukum publik berarti
semua ranah hukum yang melingkupi dan berlaku bagi urusan umum (publik),
yang bisa berarti tak hanya hukum administrasi negara, tapi juga hukum pidana
maupun hukum tata negara. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Marbun bahwa:
Kewenangan (authority, gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan baik
terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap sesuatu bidang pemerintahan
tertentu secara bulat. Kekuasaan tersebut dapat berasal dari kekuasaan legislatif
ataupun kekuasaan eksekutif, sedangkan wewenang (competence, bevoegheid)
hanya mengenai sesuatu bidang tertentu saja.13
Pada ketentuan pasal 21 Undang-undang Administrasi Pemerintahan, istilah
yang digunakan adalah wewenang, sementara dalam Pasal 3 Undang-undang
Pemberantasan Tipikor, istilah yang dipakai adalah kewenangan. Terhadap hal

13
SF Marbun dan Moh Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Cetakan kelima,
(Yogyakarta: Liberty, 2009), hlm. 62.
ini maka dihubungkan dengan lingkup hukum manakah penyalahgunaan
wewenang itu, sangat mungkin ditanggapi dengan reaksi: ini hanya persoalan
peristilahan atau permainan kata-kata, karena hanya menyangkut perbedaan
antara wewenang dan kewenangan Diberlakukannya Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014 yang tegas membedakan wewenang dan kewenangan,
secaramutatis mutandis juga ditafsirkan bahwa wewenang hanya berada dalam
ranah hukum administrasi negara, sedangkan kewenangan berada dalam lingkup
hukum publik (hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum tata negara, dan
hukum publik lainnya). Begitu pun halnya dengan eksistensi maupun pelanggaran
terhadap kedua peristilahan tersebut, maka logika hukumnya adalah hanya bisa
diselesaikan melalui mekanisme di ranah hukum yang melingkupinya saja.14
Unsur menyalahgunakan kewenangan di dalam Pasal 3 Undang-undang
Pemberantasan Tipikor, ternyata telah mengambil alih (mengadopsi) konsep
penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Peng-
idiom-an istilah menyalahgunakan kewenangan dengan penyalahgunaan
wewenang, merupakan pengejawantahan dari asas Autonomie van het Materiele
Strafrecht sebagaimana sempat disinggung di atas, yakni Hukum Pidana bisa
mempergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lain, namun dalam
konteks kekinian, menyamakan wewenang dengan kewenangan dirasa sudah tak
lagi relevan. Kelumrahan penafsiran tentang penyalahgunaan wewenang (maupun
menyalahgunakan kewenangan) yang dilakukan oleh Hakim Peradilan Pidana,
bisa dikatakan sedikit banyak dipengaruhi oleh eksistensi Peradilan Administrasi
(Peradilan Tata Usaha Negara) yang baru terbentuk tahun 1991 berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 tentang Penerapan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini bisa
diperbandingkan pula dengan kewenangan mengadili perbuatan melanggar hukum

14
Sofian Effendi, Reformasi Aparatur Negara guna Mendukung Demokratisasi Politik dan Ekonomi
Terbuka, dalam Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang
Demokratis dan Birokrasi yang Profesional, Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo,
ed.at, Cetakan Pertama,(Yogyakarta: Penerbit Gava Media MAP-UGM, 2009), hlm. 95-96.
oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad), yang dahulu sampai dengan
berlakunya Undang-undang Administrasi Pemerintahan, berada pada Hakim
Peradilan Umum.15
Oleh karena istilah kewenangandalam hukum pidana secara praktis telah
diidiomkan dengan wewenang maka sejatinya pengujian tentang ada atau tidaknya
pelanggaran (penyalahgunaan) terhadap wewenang itu, sudah sepatutnya
dilakukan oleh ranah hukum yang melingkupinya, dan bila dikembalikan kepada
pengertian wewenang, ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 30
Tahun 2014 di atas, yang menyatakan bahwa wewenang hanya meliputi ranah
administrasi pemerintahan saja, maka institusi yang berwenang memutusnya tentu
adalah Peradilan Administrasi.16 Pengujian adanya penyalahgunaan wewenang
oleh Peradilan Administrasi secara konseptual telah diinisiasi berdasarkan
ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, dalam
konteks detournement de pouvoir, yakni menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain dari maksud yang diberikannya wewenang itu. Yang kemudian berdasarkan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 konteks tersebut menyatu dalam asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Dengan demikian telah jelas limitasi dari
penyalahgunaan wewenang maupun alat uji yang digunakan terhadap ada atau
tidaknya penyalahgunaan wewenang tersebut di dalam lingkup Hukum
Administrasi Negara, yang seyogyanya juga harus ditanggapi positif bahwa
implementasinya akan selaras dan kolaboratif dalam penegakan hukum tindak
pidana korupsi, ataupun penegakan hukum secara keseluruhan.

15
Juniarso Ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan
Publik, Cetakan Ketiga, (Bandung:Penerbit Nuansa, 2012), hlm. 81.
16
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 53.
BAB III
ANALISIS

A. Kebijakan dalam kajian HAN dan Hukum Pidana

Kebijakan tidak terlepas dari adannya kewenangan, yang menurut hukum


administrasi kewenangan (authority,gezag) adalah kekuasaan yang diformalkan
baik terhadap segolongan orang tertentu maupun terhadap suatu bidang
pemerintahan tertentu yang berasal dari kekuasaan legislatif atau dari kekuasaan
pemerintah, sedangkan pengertian wewenang (competence, bevoegheid) hanyalah
mengenai onderdil tertentu atau bidang tertentu saja. Dengan demikian
kewenangan adalah kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik
atau secara yuridis kewenangan adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
Undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hukum tertentu.

Pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat


diartikan dalam 3 wujud, yaitu:

1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang


bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan
kepentingan pribadi, kelompok atau golongan.
2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah
benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa
kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-undang atau peraturan-peraturan
lain,
3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang
seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah
menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Bentuk penyalahgunaan kewenangan inilah yang seringkali dipergunakan
penegak hukum untuk melakukan kriminalisasi bentuk-bentuk perbuatan dalam
lingkup/ranah kompetensi Hukum Administrasi Negara dan Hukum Perdata
sebagai koruptif. Untuk menyimpulkan bahwa seorang pengambil kebijakan yang
ketika mengambil kebijakan berdasarkan jabatannya yang ternyata telah
melanggar undang-undang atau peraturan atau melanggar prosedur (SOP) yang
telah ditetapkan dan akibatnya telah merugikan negara berarti telah melakukan
tindak pidana korupsi.
Hukum Pidana menempatkan pelaksanaan perintah undang-undang (pasal 50
KUHP), Perintah jabatan (pasal 51 ayat 1 KUHP), dan melaksanakan perintah
jabatan yang tidak sah dengan itikad baik (pasal 51 ayat 2 KUHP) dalam
kualifikasi tidak dapat dipidana, karena tergolong ke dalam kelompok dasar
peniadaan pidana. Artinya dalam hukum pidana, tanggung jawab jabatan dan
tanggung jawab pribadi juga dipisahkan. Pemisahan tersebut dikontruksikan dalam
bentuk : tidak dapat dipidananya perbuatan, sepanjang dalam kualifikasi tanggung
jawab jabatan.
Tanggung jawab pejabat dalam menjalankan fungsinya dibedakan antara
tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi,perbedaan tersebut membawa
konsekuensi yang berbeda dalam kaitannya dengan tanggung jawab pidana,
tanggung gugat perdata dan tanggung gugat tata usaha negara (TUN).

1. Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Dalam tindak


pemerintahan tanggung jawab pribadi seorang pejabat berhubungan dengan
adanya maladministrasi yaitu perbuatan tercela pejabat dalam bentuk perbuatan
penyalahgunaan wewenang atau pejabat menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan kepada
wewenang itu.

2. Tanggung gugat TUN adalah tanggung jawab jabatan.

Dengan demikian Maladministrasi menjadi penentu dalam konsepsi


pemisahan tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi pejabat. Dalam
hukum pidana menganut prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal
responsibility), sedangkan pada hukum administrasi berlaku prinsip
pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan). Dalam kaitan dengan tanggung
jawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan langkah yang
ditempuh untuk melaksanakan tugas beleid , hakim tidak dapat melakukan
penilaian. Berbeda halnya dalam pembuatan beleid tersebut ada indikasi
penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat
tersebut dapat dituntut pidana.

Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan contoh sebagai berikut: Gubernur


Bank Indonesia (BI) mengesahkan kebijakan dana talangan untuk
menanggulangi dampak krisis global. Kebijakan atau Beleid yang dalam hal ini
dituangkan dalam bentuk Peraturan BI, hakim tidak dapat melakukan penilaian.
Akan tetapi jika terbukti pengesahan yang dilakukan oleh Gubernur BI tersebut
dikarenakan telah menerima suap, maka penerimaan suap itulah yang menjadi
objek tuntutan pidana.

B. Bentuk kesalahan administrasi yang mengakibatkan pertanggungjawaban pidana

Dalam mengambil kebijakan, seorang pengambil kebijakan harus


mempertimbangkan manfaat atau tidaknya kebijakan tersebut demi kepentingan
umum yang dilidunginya. Intinya kebijakan yang diambil adalah pilihan terbaik
pada situasi dan kondisi saat itu demi menjaga kepentingan umum. Apabila hal ini
dilakukan oleh pengambil kebijakan tanpa motif jahat misanya dengan maksud
memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain, maka apa yang
diputuskannya tidak dapat dipidana walaupun membawa implikasi misalnya
kerugian negara.

Dasar kebijakan tidak bisa dipidana demi kepentingan umum adalah


Yurisprudensi MA tahun 1966. Yurisprudensi ini menghapus pidana yang muncul
dari tindakan kebijakan asal memenuhi tiga syarat yaitu : Negara tidak dirugikan,
seseorang atau badan hukum tidak diuntungkan secara melawan hukum dan untuk
pelayanan publik atau melindungi kepentingan umum. Namun apabila pengambil
kebijakan ketika mengambil kebijakan mengandung unsur suap, ancaman, dan
penipuan tetap bisa dipidana.

Pada dasarnya kesalahan administrasi tidak dapat dipertanggungjawabkan


secara pidana. Namun apabila kesalahan administrasi tersebut disengaja dan
disadari merugikan keuangan Negara dan dilakukan dengan
memperkaya/menguntungkan diri sendiri atau orang lain maka itu merupakan
tempat/letak sifat melawan hukumnya korupsi.

Dalam hubungannya dengan hukum pidana korupsi, khususnya pasal 2 dan 3


UUPTPK, pelanggaran administrasi dapat merupakan tempat/letak atau penyebab
timbulnya sifat melawan hukum perbuatan, apabila unsur sengaja (kehendak dan
keinsyafan) untuk menguntungkan diri dengan menyalahgunakan kekuasaan
jabatan, yang karena itu merugikan keuangan atau perekonomian Negara.
Perbuatan administrasi yang memenuhi syarat itu membentuk
pertanggungjawaban pidana.

Anda mungkin juga menyukai