Anda di halaman 1dari 6

EXECUTIVE SUMMARY

WORKSHOP PENGELOLAAN ASKESKIN

Disusun Oleh Ali Ghufron Mukti


Disampaikan di workshop pengelolaan Askeskin di
Jakarta 27 Desember 2007
Diselenggarakan oleh Kementrian Menkokesra

Program Askeskin merupakan program yang sangat strategis dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat khususnya keluarga miskin. Program ini telah dirintis sejak
Indonesia mengalami krisis multimensi yang dikenal dengan Program Jaring Pengaman
Sosial Bidang Kesehatan. Mulai tahun 2005 Pemerintah semakin berpihak dan tegas
dalam peningkatan komitmen, pendanaan dan pengelolaan kesehatan masyarakat miskin.
Dampaknya sangat jelas tingkat hunian tempat tidur (Bed Occupancy Rate) kelas tiga di
banyak rumah sakit mencapai 100%. Pemanfaatan layanan kesehatan oleh masyarakat
miskin dan tidak mampu meningkat tajam mencapai lebih dari 392% dari 1,4 juta tahun
2005 menjadi 6,5 juta tahun 2007. Rawat inap meningkat 432% dari 562.167 tahun 2005
menjadi 2.431.139 tahun 2007. Dengan demikian program yang sangat menyentuh
masyarakat miskin dan tidak mampu ini patut dan sudah selayaknya harus diteruskan.

Meskipun Program ini strategis dan dampaknya amat dirasakan masyarakat lapisan
bawah, akan tetapi dari aspek dataran implementasi di lapangan dan manajemen
operasional masih banyak mengalami kendala dan masalah yang cukup kompleks.
Masalah tersebut dapat diklasifikasikan dari sisi sudut pandang berbagai pihak dan aspek.
Aspek yang dimaksud meliputi masyarakat miskin, rumah sakit, PT Askes, Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.

Permasalahan yang terkait dengan aspek masyarakat miskin meliputi kriteria dan proses
penetapan masyarakat miskin sehingga masalah data masyarakat miskin selalu muncul.
Banyak kartu lain yang beredar seperti kartu SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu),
Kartu BLT (Bantuan Langsung Tunai), Kartu Raskin (Beras Miskin) dan lain-lain.
Sebagian mereka memiliki jarak tempat tinggal ke unit pelayanan yang relatif jauh
sehingga memiliki juga masalah biaya transport. Masyarakat miskin untuk memenuhi
kebutuhan hidup banyak tergantung upah harian atau mingguan atau ladang dan pertanian
sehingga jika sakit dan berobat harus meninggalkan pekerjaan yang sangat
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Masih banyak diantara mereka yang
merasa mendapatkan diskriminasi pelayanan dibanding mereka yang membayar. Masih
banyak pula diantara mereka yang merasa mutu layanan kesehatan yang diberikan masih
kurang. Masalah yang menonjol adalah kurangnya sosialisasi sehingga banyak
masyarakat miskin yang tidak mengetahui hak dan kewajiban dalam askeskin.
Dalam hal aspek rumah sakit. Pembayaran klaim ke rumah sakit sering mundur sampai
ber bulan-bulan. Terganggunya alur kas ini menimbulkan berbagai rentetan masalah lain.
Rumah sakit harus menanggung obat yang diluar formularium, Rumah sakit harus
mengurusi banyak masalah administrasi keluarga miskin ketimbang layanan medis.
Bahkan beberapa rumah sakit terpaksa perperan ganda harus menelusuri apakah betul
pasien yang datang memang benar-benar miskin. Disamping itu sistem informasi yang
digunakan rumah sakit dan PT Askes berbeda, sehingga rumah sakit harus melakukan dua
kali pekerjaan entry data pasien. Banyak rumah sakit belum memiliki standar operating
prosedur minimal dalam pemberian layanan masyarakat miskin. Sebagian staf di rumah
sakit termasuk dokter belum memahami benar apa yang dijamin dan yang tidak dijamin
dalam pemberian layanan kesehatan. Organisasi rumah sakit merasa belum diajak duduk
bersama dalam forum komunikasi pengelolaan layanan kesehatan masyarakat miskin.

Pada sisi PT Askes. Tugas dan fungsi PT Askes oleh banyak fihak dirasa kurang jelas.
Apakah sebagai risk taker atau hanya administrator. Good governance dalam administrasi
kurang berjalan optimal. Transparansi dana yang bisa diakses oleh stakeholders utama
masih belum terbangun. Hubungan PT Askes dan dinas kesehatan masih belum jelas dan
kurang terkoordinasi terutama di daerah-daerah yang menyelenggarakan sistem jaminan
kesehatan bagi masyarakat. Beban PT Askes terlalu tinggi untuk menangani hampir 100
juta orang kurang sesuai dengan sumber daya manusia dan kemampuan yang ada.
Mungkin hanya satu-satunya perusahaan asuransi kesehatan di dunia yang pesertanya
mendekati 100 juta orang sehingga fungsi utama dan mutu layanan menjadi taruhan.
Pembayaran klaim ke Puskesmas dan Rumah sakit sering mengalami keterlambatan.
Sebagian masyarakat masih mempertanyakan sesuai dengan Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) terutama pasca putusan Mahkamah Konstiusi (MK)
harusnya PT Askes bersifat not-profit dan daerah dapat mengembangkan
penyelenggaraan jaminan hanya dengan peraturan daerah. Mereka menanyakan mengapa
PT yang berorientasi profit mengelola layanan kesehatan masyarakat miskin.

Pada pemerintah pusat masalah umumnya terkait dengan keterlambatan pelaksanaan,


terutama distribusi manual pelaksanaan sering terlambat. Pengendalian dan supervisi
implementasi di lapangan masih perlu ditingkatkan. Belum menyusun pedoman bagi
pemerintah daerah yang mengembangkan sistem jaminan untuk gakin di luar kuota BPS,
PNS dan masyarakat umum. Masalah lain adalah keterbatasan dana yang dapat
mempengaruhi program lain.

Sedangkan pada pemerintah daerah masalah pokoknya adalah mereka belum banyak
difungsikan dan terlibat dalam program askeskin. Peran, fungsi, tugas dan pembagian
urusan dalam pembiayaan dan jaminan kesehatan sebagaimana diatur dalam PP No 38
tahun 2004 UU 32/2004 belum optimal. Sebagian pemerintah daerah merasa pembiayaan
kesehatan masyarakat miskin tugas dan tanggungjawab pemerintah pusat.
Ditinjau dari aspek teknis medis dan perasuransian seperti utilization review dan anti
fraud (kecurangan) serta public administration dan politis kadang masih kurang sinkron.

Dari berbagai masalah yang teridentifikasi di atas maka perlu terobosan (breaktrhough)
dalam optimalisasi program askeskin. Disadari meski dampak sudah sangat baik tetapi
masih belum optimal dan masih banyak ruang untuk perbaikan. Hal ini mengingat sampai
tahun 2007 yang telah terbit baru 42,5 jt (55,5%) dan yang telah terdistribusi baru 40,3 jt
(52,8%) dari 76,4 juta masyarakat miskin. Dengan terobosan diharapkan distribusi kartu
dapat meningkat sampai 80% dan sebagian besar masalah-masalah di atas dapat diatasi.

Terobosan yang utama adalah dengan melibatkan stakeholder daerah terutama pemerintah
daerah dan dinas kesehatan. Secara pendekatan dapat dilihat dalam skema gambar
terlampir. Dalam hal ini selain pelibatan daerah, PT Askes didudukan secara propotional
tidak memegang uang lagi. Pemegang kendali termasuk penyusunan pelaksanaan oleh
Departemen Kesehatan (Depkes)

A. Pengorganisasian

Untuk pengorganisasian di Depkes dapat dibentuk Tim Koordinasi di Pusat, Propinsi dan
Kabupaten/Kota yang berfungsi untuk melaksanakan tugas menetapkan kebijakan
operasional, melakukan pembinaan, pemantauan, penyelesaian masalah dan koordinasi
penyelenggaraan jaminan kesehatan masyarakat miskin (jamkeskin) yang melibatkan
lintas sektor dan stakeholders terkait di masing-masing tingkat dibentuk oleh Menkes dan
Kepala daerah propinsi dan kab-kota. Sebagai pelaksana operasional dapat dibentuk
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin.
UPT Depkes ini akan berfungsi sebagai pelaksana di tingkat pusat. Di
tingkat propinsi dan kabupaten-kota jika belum ada UPT maka lebih
diaktifkan tim satuan tugas (satgas). Pelaksana Operasional satgas dalam
melakukan tugasnya dapat bekerja sama dengan verifikator seperti PT Askes atau
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang telah memenuhi syarat yang ditetapkan
Menteri kesehatan atas usul daerah. Verifikator yang didukung oleh profesi medis (Ikatan
Dokter Indonesia) yang bertindak sebagai Medical Advisory Board ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan atas usul daerah. Verifikator diberikan insentif berdasar kinerja yang
dicapai.

B.Tatalaksana Kepesertaan dan Pelaporan

Jumlah masyarakat miskin ditetapkan berdasar atas data BPS.


Pimpinan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan jumlah dan nama
sasaran melalui mekanisme standar yang objektif. Jika terjadi jumlah
masyarakat miskin di tingkat Kabupaten/Kota melebihi data yang
ditentukan BPS, maka pendanaan kelebihan jumlah masyarakat
miskin menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Bahkan
pemerintah daerah dapat menjaminkan keseluruhan masyarakatnya
dengan biaya dari daerah.
C. Tatalaksana Keuangan

Dalam skenario alternatif pengelolaan keuangan tahun 2008 ini


sebaiknya lebih trasparan. Semua stakeholder dapat mengakses
informasi keuangan. Sebaiknya jumlah dana secara rutin
dipublikasikan ke masyarakat atau stakholder. Jika memungkinkan
dana dibagi dalam 3 kelompok secara proposional di pusat, propinsi
dan kabupaten-kota dan disimpan di Bank sebagai floatinf fund.
Proportional berdasar data utilisasi selama ini ada sebagai contoh
sebesar 13%-15% di pusat, 13%-15% di propinsi dan 65% di
kabupaten-kota. Dana tersebut hanya boleh gunakan untuk layanan
kesehatan masyarakat miskin. Otoritas pengeluaran dana oleh
Menteri kesehatan dan di propinsi atau kabupaten kota oleh kepala
dinas kesehatan atas nama Menteri Kesehatan. Jika tidak
memungkinkan alokasi dibagai 3 maka dijadikan satu di pusat dengan
segala konsekuensinya. Biaya untuk administrasi dan verifikasi
berkisar 3-8% tergantung kinerja. Dana yang disimpan di Bank
tersebut jika ternyata terjadi kekurangan pendanaan di masing-
masing hirarki pemerintahan, maka pemerintah yang bersangkutan
bertanggung jawab untuk menyediakan dana untuk menutupi
kekurangannya. Secara periodik pula ada konsolidasi dan koordinasi
keuangan di secara vertikal.

D.Tatalaksana Pelayanan Kesehatan dan Pendanaan

Pelayanan kesehatan jaminan masyarakat miskin tentu tetap bersifat


komprehensif sesuai kebutuhan medis yang rasional. Untuk pelayanan
obat harus berdasarkan formularium jaminan masyarakat miskin.
Selain itu pelayanan kesehatan juga tetap dilaksanakan secara
terstuktur dan berjenjang. UPT Depkes melayani pasien rujukan di
tingkat pusat dan akan didanai dengan dana di alokasi yang di simpan
di Bank di Pusat. Pasien rawat inap dan rawat jalan yang dirujuk di
pada Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) rumah sakit tingkat
Propinsi dan didanai langsung dari Bank dengan alokasi di Propinsi.
Pasien Rawat Inap Tingkat Pertama dan rumah sakit di tingkat
Kabupaten-Kota dibiayai alokasi dana di Kab-kota.

E. Verifikasi dan Pembayaran

PPK atau rumah sakit yang telah memberikan pelayanan kesehatan


kepada pasien miskin mengajukan tagihan pembayaran ke Verifikator
di tingkat masing-masing (Kabupaten-Kota, Propinsi atau Pusat).
Verifkator akan melakukan verifkasi dan menyampaikan hasilnya ke
UPT yang bersangkutan. Jika tagihan yang diajukan lolos verifikasi,
maka UPT di tingkat yang bersangkutan akan membuat surat perintah
untuk membayar langsung RS. Demikian semua rumah sakit dan
pemberi layanan kesehatan lain harus membuka rekening khusus.
Pembayaran sebaiknya menggunakan sistem pembayaran sistem
paket atau prospektif. Form yang digunakan sebaiknya seragam
sehingga memudahkan verifikasi.

F. Unit Anti Fraud

Pelayanan kesehatan yang dijamin tidak bisa lepas dari penyalah


gunaan (Fraud) dari berbagai pihak baik pasien, dokter, rumah sakit
dan penyelenggara. Oleh karena itu untuk mengurangi dan
mencegahnya perlu sosialisasi kepada semua pihak dan secara khusus
perlu dibentuk Unit Anti Fraud. Paling tidak unit anti fraud ini di
bentuk di tingkat pusat.

G. Monitoring dan Pengawasan

Sistem monitoring dan pengawasan dapat secara internal dan


eksternal. Secara internal dilakukan pemantauan dan evaluasi
dilakukan secara berkala dengan berbagai bentuk seperti: pertemuan,
koordinasi, analisis laporan, supervisi, penelitian langsung, survei dan
lain-lain. Adanya laporan periodik berjenjang dari Pemkab-kota ke
Propinsi dan Pusat. Monitoring juga dilakukan melakukan verifikator
baik medis (medical advosary Board-IDI) dan administratif.
Sedangkan eksternal dengan merubah bahwa semua stakeholders
baik di pusat dan daerah dapat mengkases informasi dana di bank.
Penanganan keluhan melalui Unit Pengaduan Masyarakat (UPM) di
masing-masing daerah. Dapat dilakukan juga dengan pengawasan
fungsional atapun pengawasan oleh lembaga swadaya masyarakat,
akademisi dan organisasi maysarakat.

Kelebihan sistem ini tidak hanya berupa peningkatan pengelolaan


yang memenuhi prinsip-prinsip good governance tetapi juga
kecepatan pembayaran ke RS akan lebih cepat karena tersedia dana
cair di bank. Demikian juga Pemerintah Daerah akan terlibat dan
bertanggungjawab dalam menjamin cash flow PPK/RS milik
Pemerintah Daerah. Dana tersimpan aman dan transparan di bank
yang dapat dimonitor oleh stakeholder dan publik. APBN dan APBD
saling menanggung resiko pendanaan dalam sistem pengelolaan
pelayanan masyarakat miskin. Dampak jika terjadi masalah tidak
mempengaruhi kinerja layanan kesehatan masyarakat miskin secara
nasional seperti tahun 2007. Selain itu jika terjadi masalah dapat
diatasi setiap level hirarki pemerintahan. Sistem ini juga
meningkatkan proses pembelajaran dan edukasi bagi stakeholders
dan masyarakat. Catatan akuntansi keuangan kesehatan secara
nasional (national health account) akan lebih mudah terlaksana. Yang
lebih penting dengan sistem ini maka pencapaian jumlah masyarakat
Indonesia yang akan terjamin akan jauh lebih cepat diperkirakan
dalam 1-3 tahun ke depan 80% masyarakat di Indonesia akan terjamin
kesehatannya.

Rekomdendasi

1. Perlu ada terobosan dalam pengelolaan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat


miskin seperti perbaikan sistem yang diuraikan singkat di atas.
2. Perlu dibentuk tim komunikasi dan koordinasi pelayanan kesehatan masyarakat
miskin di tingkat nasional yang melibatkan berbagai stakeholder.
3. Pengelolaan tahun 2008 mengoptimalkan pelibatan pemerintah daerah dan
departemen dalam negeri. Peran ini pemda harus ditingkatkan dengan ikut
bertanggungjawab baik dalam hal pendataan, verifikasi maupun pendanaan.
4. Perlu dibuatkan suatu norma standard pelayanan baku yang mencakup pelayanan
dasar dan pedoman bagi daerah yang mengembangkan sistem jaminan kesehatan.
5. Sedapat mungkin dapat memperjelas fungsi-fungsi PT ASKES.
6. Status PT ASKES sebagai lembaga for profit perlu ditinjau kembali, juga perlu
peningkatan fungsi lembaga-lembaga profesi seperti IDI, ARSADA, PERSI,
PAMJAKI, PDK3MI dll.
7. Sesuai dengan UU 32/2004 pasal 22 dan PP 38 tahun 2004 bahwa PEMDA
memiliki kewajiban mengembangkan sistem jaminan sosial termasuk kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai