Program Askeskin merupakan program yang sangat strategis dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat khususnya keluarga miskin. Program ini telah dirintis sejak
Indonesia mengalami krisis multimensi yang dikenal dengan Program Jaring Pengaman
Sosial Bidang Kesehatan. Mulai tahun 2005 Pemerintah semakin berpihak dan tegas
dalam peningkatan komitmen, pendanaan dan pengelolaan kesehatan masyarakat miskin.
Dampaknya sangat jelas tingkat hunian tempat tidur (Bed Occupancy Rate) kelas tiga di
banyak rumah sakit mencapai 100%. Pemanfaatan layanan kesehatan oleh masyarakat
miskin dan tidak mampu meningkat tajam mencapai lebih dari 392% dari 1,4 juta tahun
2005 menjadi 6,5 juta tahun 2007. Rawat inap meningkat 432% dari 562.167 tahun 2005
menjadi 2.431.139 tahun 2007. Dengan demikian program yang sangat menyentuh
masyarakat miskin dan tidak mampu ini patut dan sudah selayaknya harus diteruskan.
Meskipun Program ini strategis dan dampaknya amat dirasakan masyarakat lapisan
bawah, akan tetapi dari aspek dataran implementasi di lapangan dan manajemen
operasional masih banyak mengalami kendala dan masalah yang cukup kompleks.
Masalah tersebut dapat diklasifikasikan dari sisi sudut pandang berbagai pihak dan aspek.
Aspek yang dimaksud meliputi masyarakat miskin, rumah sakit, PT Askes, Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Permasalahan yang terkait dengan aspek masyarakat miskin meliputi kriteria dan proses
penetapan masyarakat miskin sehingga masalah data masyarakat miskin selalu muncul.
Banyak kartu lain yang beredar seperti kartu SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu),
Kartu BLT (Bantuan Langsung Tunai), Kartu Raskin (Beras Miskin) dan lain-lain.
Sebagian mereka memiliki jarak tempat tinggal ke unit pelayanan yang relatif jauh
sehingga memiliki juga masalah biaya transport. Masyarakat miskin untuk memenuhi
kebutuhan hidup banyak tergantung upah harian atau mingguan atau ladang dan pertanian
sehingga jika sakit dan berobat harus meninggalkan pekerjaan yang sangat
mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Masih banyak diantara mereka yang
merasa mendapatkan diskriminasi pelayanan dibanding mereka yang membayar. Masih
banyak pula diantara mereka yang merasa mutu layanan kesehatan yang diberikan masih
kurang. Masalah yang menonjol adalah kurangnya sosialisasi sehingga banyak
masyarakat miskin yang tidak mengetahui hak dan kewajiban dalam askeskin.
Dalam hal aspek rumah sakit. Pembayaran klaim ke rumah sakit sering mundur sampai
ber bulan-bulan. Terganggunya alur kas ini menimbulkan berbagai rentetan masalah lain.
Rumah sakit harus menanggung obat yang diluar formularium, Rumah sakit harus
mengurusi banyak masalah administrasi keluarga miskin ketimbang layanan medis.
Bahkan beberapa rumah sakit terpaksa perperan ganda harus menelusuri apakah betul
pasien yang datang memang benar-benar miskin. Disamping itu sistem informasi yang
digunakan rumah sakit dan PT Askes berbeda, sehingga rumah sakit harus melakukan dua
kali pekerjaan entry data pasien. Banyak rumah sakit belum memiliki standar operating
prosedur minimal dalam pemberian layanan masyarakat miskin. Sebagian staf di rumah
sakit termasuk dokter belum memahami benar apa yang dijamin dan yang tidak dijamin
dalam pemberian layanan kesehatan. Organisasi rumah sakit merasa belum diajak duduk
bersama dalam forum komunikasi pengelolaan layanan kesehatan masyarakat miskin.
Pada sisi PT Askes. Tugas dan fungsi PT Askes oleh banyak fihak dirasa kurang jelas.
Apakah sebagai risk taker atau hanya administrator. Good governance dalam administrasi
kurang berjalan optimal. Transparansi dana yang bisa diakses oleh stakeholders utama
masih belum terbangun. Hubungan PT Askes dan dinas kesehatan masih belum jelas dan
kurang terkoordinasi terutama di daerah-daerah yang menyelenggarakan sistem jaminan
kesehatan bagi masyarakat. Beban PT Askes terlalu tinggi untuk menangani hampir 100
juta orang kurang sesuai dengan sumber daya manusia dan kemampuan yang ada.
Mungkin hanya satu-satunya perusahaan asuransi kesehatan di dunia yang pesertanya
mendekati 100 juta orang sehingga fungsi utama dan mutu layanan menjadi taruhan.
Pembayaran klaim ke Puskesmas dan Rumah sakit sering mengalami keterlambatan.
Sebagian masyarakat masih mempertanyakan sesuai dengan Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) terutama pasca putusan Mahkamah Konstiusi (MK)
harusnya PT Askes bersifat not-profit dan daerah dapat mengembangkan
penyelenggaraan jaminan hanya dengan peraturan daerah. Mereka menanyakan mengapa
PT yang berorientasi profit mengelola layanan kesehatan masyarakat miskin.
Sedangkan pada pemerintah daerah masalah pokoknya adalah mereka belum banyak
difungsikan dan terlibat dalam program askeskin. Peran, fungsi, tugas dan pembagian
urusan dalam pembiayaan dan jaminan kesehatan sebagaimana diatur dalam PP No 38
tahun 2004 UU 32/2004 belum optimal. Sebagian pemerintah daerah merasa pembiayaan
kesehatan masyarakat miskin tugas dan tanggungjawab pemerintah pusat.
Ditinjau dari aspek teknis medis dan perasuransian seperti utilization review dan anti
fraud (kecurangan) serta public administration dan politis kadang masih kurang sinkron.
Dari berbagai masalah yang teridentifikasi di atas maka perlu terobosan (breaktrhough)
dalam optimalisasi program askeskin. Disadari meski dampak sudah sangat baik tetapi
masih belum optimal dan masih banyak ruang untuk perbaikan. Hal ini mengingat sampai
tahun 2007 yang telah terbit baru 42,5 jt (55,5%) dan yang telah terdistribusi baru 40,3 jt
(52,8%) dari 76,4 juta masyarakat miskin. Dengan terobosan diharapkan distribusi kartu
dapat meningkat sampai 80% dan sebagian besar masalah-masalah di atas dapat diatasi.
Terobosan yang utama adalah dengan melibatkan stakeholder daerah terutama pemerintah
daerah dan dinas kesehatan. Secara pendekatan dapat dilihat dalam skema gambar
terlampir. Dalam hal ini selain pelibatan daerah, PT Askes didudukan secara propotional
tidak memegang uang lagi. Pemegang kendali termasuk penyusunan pelaksanaan oleh
Departemen Kesehatan (Depkes)
A. Pengorganisasian
Untuk pengorganisasian di Depkes dapat dibentuk Tim Koordinasi di Pusat, Propinsi dan
Kabupaten/Kota yang berfungsi untuk melaksanakan tugas menetapkan kebijakan
operasional, melakukan pembinaan, pemantauan, penyelesaian masalah dan koordinasi
penyelenggaraan jaminan kesehatan masyarakat miskin (jamkeskin) yang melibatkan
lintas sektor dan stakeholders terkait di masing-masing tingkat dibentuk oleh Menkes dan
Kepala daerah propinsi dan kab-kota. Sebagai pelaksana operasional dapat dibentuk
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin.
UPT Depkes ini akan berfungsi sebagai pelaksana di tingkat pusat. Di
tingkat propinsi dan kabupaten-kota jika belum ada UPT maka lebih
diaktifkan tim satuan tugas (satgas). Pelaksana Operasional satgas dalam
melakukan tugasnya dapat bekerja sama dengan verifikator seperti PT Askes atau
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang telah memenuhi syarat yang ditetapkan
Menteri kesehatan atas usul daerah. Verifikator yang didukung oleh profesi medis (Ikatan
Dokter Indonesia) yang bertindak sebagai Medical Advisory Board ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan atas usul daerah. Verifikator diberikan insentif berdasar kinerja yang
dicapai.
Rekomdendasi