Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN
A. LatarBelakang
Kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal
mempunyai gejala dengan spectrum klinis yang sangat luas. Menurut laporan WHO
(World Health Organization) tahun (2003), insidensi demam tifoid pada anak umur 5-15
tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus per tahun dan dengan prevalensi mencapai
61,4/1000 kasus per tahun. Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan
masalah kesehatan di negara-negara tropis termasuk Indonesia dengan angka kejadian
sekitar 760 sampai 810 kasus pertahun, dan angka kematian 3,1 sampai 10,4% (WHO,
2004). Sedangkan data World Health Organization (WHO) tahun (2009), memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000
kasus kematian tiap tahun.
Demam tifoid ditemukan di masyarakat Indonesia, yang tinggal di kota maupun
desa. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kualitas perilaku hidup bersih dan sehat,
sanitasi dan lingkungan yang kurang baik. Selain masalah diatas ada beberapa masalah
lain yang akan turut menambah besaran masalah penyakit demam tifoid di Indonesia
diantaranya adalah angka kemiskinan di kota dan desa Indonesia yang mencapai 11,66 %
(Susenas 2012) yaitu sekitar 28.594.060 orang. Angka kesakitan demam tifoid yang
tertinggi terdapat pada golongan umur 3 19 tahun, suatu golongan masyarakat yang
terdiri dari anak-anak usia sekolah. Hal ini secara tidak langsung akan mempengaruhi
prestasi belajar, karena apabila seorang anak menderita penyakit tersebut akan kehilangan
waktu kurang lebih 2 sampai dengan 4 minggu. Ini menunjukkan bahwa pada usia
tersebut adalah usia rawan terjangkitnya demam tifoid, karena pada usia tersebut adalah
usia sekolah dan biasanya mereka masih menyukai membeli makanan dan minuman di
lingkungan sekolah dan di pinggir jalan yang higienenya tidak dapat dijamin. Lingkungan
tersebut berperan besar dalam penyebaran kuman Salmonella typi
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Makalah ini disusun agar mahasiswa dapat mengetahui tentang demam tipoid
pada anak.
2. Tujuan Khusus
Setelah disampaikannya materi tentang demam tipoid pada anak diharapkan
mahasiswa dapat :
a. Mengetahui pengertian demam tipoid
b. Mengetahui etiologi dari demam tipoid
c. Mengetahui manifestasi klinis dari demam tipoid
d. Mengetahui patofisiologi dari demam tipoid
e. Mengetahui pemeriksaan diagnosis dari demam tipoid
f. Mengetahui penatalaksanaan dari demam tipoid

C. Manfaat
Dengan dibuatnya laporan pendahuluan ini diharapkan pembaca mampu mengetahui
tentang demam tipoid dan bisa mencegahnya sejak dini.
BAB 2

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh salmonella typhi. Penyakit ini ditandai ileh panas berkepanjangan,
ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endothelia atau endokardial dan
invasi bakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit monocular dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus dan peyers patch dan dapat menular pada orang lain melalui
makanan atau air yang terkontaminasi. (Sumarmo, 2002).
Penyakit infeksi tifus abdominalis atau demam tifoid ditularkan melalui makanan
dan minuman yang tercemar kuman Salmonella typhi. (WHO, 2008).
Demam tifoid ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran. (Soedarmo,
2002).
Demam tifoid atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada
saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella typhi. (Zulkoni, 2011).
Penyakit ini erat kaitannya dengan hygiene pribadi dan sanitasi lingkungan,
seperti hygiene perorangan, hygiene makanan, lingkungan yang kumuh, kebersihan
tempat-tempat umum yang kurang serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung
untuk hidup sehat. (Depkes RI, 2006).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh Salmonella
typhi .Penyakit ini dapat ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Gejala biasanya muncul 13
minggu setelah terkena, dan mungkin ringan atau berat. Gejala meliputi demam tinggi,
malaise, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan ,sembelit atau diare, bintik-bintik
merah muda di dada (Rose spots), dan pembesaran limpa dan hati. Demam tifoid
(termasuk para-tifoid) disebabkan oleh kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S
paratyphi B dan S paratyphi C. Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebih
ringan disbanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.
B. Etiologi
Demam typhoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
salmonella thypi. Bakteri salmonella thyphi berbentuk batang, gram negative, tidak
berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37c,
bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur pada media yang mengandung empedu.
Isolate kuman salmonella thypi memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi
terhadap monitol dan sorbitol positif, sedangkan hasil negative pada reaksi indol,
fenilalanin deaminase, urease dan DNase.
Bakteri salmonella thypi memiliki beberapa komponen antigen antara lain antigen
dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan bersifat spesifik grup. Antigen
flagella (H) yang merupakan komponen protein berada dalam flagella bersifat spesifik
spesies. Antigen virulrn (Vi) merupakan polisakarida dan berada dikapsul yang
melindungin seluruh permukaan sel. Antigen ini menghambat prosesaglutinasi antigen O
oleh anti O serum dan melindungi anti gen O dari proses figositosis. Antigen Vi
berhubungan dengan daya invasi bakteri dan efektifitas vaksin. Salmonella thypi
menghasilkan edotoksin yang merupakan bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari
antigen O yang sudah dilepaskan, lipopolisakarida dan lipit A. Antibody O, H dan Vi
akan membentuk anti body agglutinin di dalam tubuh. Sedangkan outer membran protein
(OMP) pada salmonella thypi merupakan bagian terluar yang terletak di luar membrane
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya.
OMP sebagian besar terdiri dari peotein purin, berperan pada pathogenesis demam
thipoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon respon imun host. OMP
berfungsi sebagai barier mengendalikan masuknya zat dan cairan ke membrane
sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofag dan bakteriosin.

C. Manifestasi Klinis
1. Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah 10-
12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa :
anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot, lidah kotor, gangguan
perut (perut kembung dan sakit).
2. Minggu Pertama (awal terinfeksi)
Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya
sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang
berpanjanganya itu setinggi 39c hingga 40c, sakit kepala, pusing, pegal-pegal,
anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali per menit, denyut
lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronchitis kataral, perut kembung
dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti.
Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita
adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis
dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan beradang. Jika
penderita kedokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-
gejala di atas yang bias saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga, ruam kulit (rash)
umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen disalah satu sisi dan
tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang
dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu
berupa macula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada
kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada
infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan
abdomen mengalami distensi.
3. Minggu Kedua
Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam
hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus menerus dalam
keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan penurunan sedikit pada
pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relative nadi penderita. Yang semestinya
nadi meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relative nadi lebih lambat
dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai
dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan pendengaran
umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat. Nadi semakin cepat
sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare menjadi lebih sering yang
kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi perdarahan. Pembesaran hati dan limpa,
perut kembung dan sering berbunyi, gangguan kesadaran, mengantuk terus menerus,
mulai kacau jika berkomunikasi dan lain-lain.
4. Minggu Ketiga
Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu. Hal itu
jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan membaik, gejala-
gejala akan berkurang dan temperature mulai turun. Meskipun demikian justru pada
saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya
kerak dari ulkus. Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia
memberat dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot
bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan timpani
masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti dengan nyeri perut.
Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai
oleh peritonitis local maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya
perforasi usus sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari
nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi
miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita
demam tifoid pada minggu ketiga.
5. Minggu keempat
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat
dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.

D. Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan
5F food (makanan), fingers (kuku), fomitus (muntah), fly (lalat), dan melalui feses. Feses
dan muntah pada penderita typoid dapat menularka kuman salmonella thypi kepada orang
lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap
dimakanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang tersebut kurang
memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makan yang tercemar
kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian
kuman masuk kedalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung
dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di
dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk kealiran darah dan
mecapai sel-sel retikuloendoteliel. Sel-sel retikuloendeteliel kemudian melepaskan
kuman kedalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk
limpa, usus halus dan kandung empedu. Semula disangka demam dan gejala toksemia
pada thipoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental
disimpulkan bahwa endoteksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada
thypoid. Endotoksemia berperan pada pathogenesis thypoid, karena membantu proses
inflamasi local pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan
endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan
yang meradang.

E. Pemeriksaan Diagnosis
1. Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu
ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella.
Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni
polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam,
maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis
polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus.
Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita
waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah
mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas
seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas.
Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman S typhi, hanya mengalami demam
sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua
penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit.
Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya
tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit
yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung
tubuh manusia. Namun demikian, penyakit ini tidak bisa dianggap enteng, misalnya
nanti juga sembuh sendiri.
2. Kultur Gal
Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri Salmonella typhi dari
specimen yang berasal dari darah penderita. Pengambilan specimen darah sebaiknya
dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit, karena kemungkinan untuk
positif mencapai 80-90%, khususnya pada pasien yang belum mendapat terapi
antibiotic. Pada minggu ke-3 kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu
ke-4 hanya 10-15%.
3. Tes Widal
Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam darah (antigen O
muncul pada hari ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12. Pemeriksaan
Widal memberikan hasil negatif sampai 30% dari sampel biakan positif penyakit
tifus, sehingga hasil tes Widal negatif bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi
infeksi. Pemeriksaan tunggal penyakit tifus dengan tes Widal kurang baik karena
akan memberikan hasil positif bila terjadi :
a. Infeksi berulang karena bakteri Salmonella lainnya
b. Imunisasi penyakit tifus sebelumnya
c. Infeksi lainnya seperti malaria dan lainlain

Pemeriksaan Kultur Gal sensitivitasnya rendah, dan hasilnya memerlukan waktu


berhari-hari, sedangkan pemeriksaan Widal tunggal memberikan hasil yang kurang
bermakna untuk mendeteksi penyakit tifus.

4. Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM


Dengan reagen TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang sensitif, spesifik,
praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri Salmonella typhi.
Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF dilakukan untuk
mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik
terhadap bakteri Salmonella typhi. Tes IgM Anti Salmonella memiliki beberapa
kelebihan:
a. Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi IgM muncul
paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam (sensitivitas > 95%).
b. Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi dibandingkan dengan
pemeriksaan Widal, sehingga mampu membedakan secara tepat berbagai
infeksi dengan gejala klinis demam (spesifisitas > 93%).
c. Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena tidak hanya sekedar
hasil positif dan negatif saja, tetapi juga dapat menentukan tingkat fase akut
infeksi.
d. Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat segera diberikan.
e. Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi yang lebih tinggi
dibandingkan Widal serta sudah diuji di beberapa daerah endemic penyakit
tifus.

F. Penatalaksanaan
1. Perawatan umum
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi, observasi dan
pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam
atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah
terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pesien harus
dilakukan secara bertahap,sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan
kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktuwaktu tertentu
untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan simtomik diberikan untuk menekan
gejala-gejala simtomatik yang dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual,
muntah, dan meteorismus. Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan
paraffin atau lavase dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak
dianjurkan karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.
Pengobatan suportif dimaksudkan untuk memperbaiki keadaan penderita,
misalnya pemberian cairan, elektrolit, bila terjadi gangguan keseimbangan cairan,
vitamin, dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh dan kortikosteroid untuk
mempercepat penurunan demam.
2. Diet
Di masa lampau, pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar
dan akhirnya diberi nasi. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan
padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat
kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
3. Obat
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan adalah :
a. Kloramfenikol : Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama pada pasien
demam tifoid. Penyuntikan kloramfenikol siuksinat intramuskuler tidak
dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri. Dengan kloramfenikol, demam pada demam tifoid dapat turun rata 5
hari.
b. Tiamfenikol : Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan
kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih
jarang daripada klloramfenikol. Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada
demam tiofoid dapat turun rata-rata 5-6 hari.
c. Ko-trimoksazol (Kombinasi Trimetoprim dan Sulfametoksazol) : Efektivitas
kotrimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol (1 tablet mengandung 80
mg trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol). Dengan kotrimoksazol demam
rata-rata turun setelah 5-6 hari.
d. Ampislin dan Amoksisilin : Dalam hal kemampuan menurunkan demam,
efektivitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan
kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam tifoid
dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB
sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam.Dengan Amoksisilin dan
Ampisilin, demam rata-rata turun 7-9 hari.
e. Sefalosporin generasi ketiga : Beberapa uji klinis menunjukkan bahwa
sefalosporin generasi ketiga antara lain Sefoperazon, seftriakson dan sefotaksim
efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum
diketahui dengan pasti.
f. Fluorokinolon : Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid tetapi dosis dan lama
pemberian belum diketahui dengan pasti.
4. Perawatan
Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau mencegah komplikasi
pendarahan usus. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya
transfuse bila ada komplikasi perdarahan.
5. Terapi
a. Kloramfenikol
Dosis yang diberikan adalam 100mg/kg BB/hari, maksimum pemberian 2g/hari.
Dapat diberikan secara oral atau intravena, samapai 7 hari bebas panas.
b. Tiamfenikol
Dosis yang diberikan 4x500mg/hari
c. Kortimoksazol
Dosis 48mh/kg BB/hari ( dibagi 2 dosis ) per oral sela 10 hari.
d. Ampicilin dam amokcilin
Dosis berkisar 100mg/kg Bb, selama 2 minggu
e. Sefalosporingenerasi ketiga seperti sefrriakson
Dosisi 80mg/kg bb im atau IV. 1x1, sela 5-7 hari. Atau seiksim oral dosis
20mg/kg Bb/hari dibagi 2 dosis selama 10 hari.
f. Golongan fluorokuinolon
- Norfloksasin : dosis 2x400mg/hari selama 14 hari
- Siprofloksasin : dosisi 2x500mg/hari delama 6 hari
- Ofloksasin : dosisi 2x400mg/hari selama 7 hari
- Perfloksasin : dosis 1x400mg/hari selama 7 hari
- Fleroksasin : dosis 1x 400mg/hari selama 7 hari
g. Kombinasi obat antibiotic hanyadi indikasikan pada keadaan tertentu seperti :
tifoid toxsik, peritonitis atau perforasi, syok septic, karna telah terbukti sering
ditemukan 2 macam organism dalam kultur darah selain kuman salmonella typhi.
(Widyastuti S,2001)
6. Diet
a. Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein
b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal
mempunyai gejala dengan spectrum klinis yang sangat luas. Menurut laporan WHO
(World Health Organization) tahun (2003), insidensi demam tifoid pada anak umur 5-15
tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus per tahun dan dengan prevalensi mencapai
61,4/1000 kasus per tahun. Hingga saat ini penyakit demam tifoid masih merupakan
masalah kesehatan di negara-negara tropis termasuk Indonesia dengan angka kejadian
sekitar 760 sampai 810 kasus pertahun, dan angka kematian 3,1 sampai 10,4% (WHO,
2004). Sedangkan data World Health Organization (WHO) tahun (2009), memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000
kasus kematian tiap tahun.
Angka kesakitan demam tifoid yang tertinggi terdapat pada golongan umur 3 19
tahun, suatu golongan masyarakat yang terdiri dari anak-anak usia sekolah. Hal ini
secara tidak langsung akan mempengaruhi prestasi belajar, karena apabila seorang anak
menderita penyakit tersebut akan kehilangan waktu kurang lebih 2 sampai dengan 4
minggu.

B. Saran
Setelah dibuatnya laporan pendahuluan ini diharapkan para pembaca khususnya
para ibu dapat memahami dan mencegah lebih dini terjadinya demam tipoid pada anak.
Pembaca dianjurkan untuk mencari informasi tentang penyakit demam tipoid harus
menjaga pola hidup sehat serta melakukan aktivitas olahraga dengan teratur.
Dalam hal ini peran perawat juga sangat penting untuk memberikan penyuluhan
mengenai demam tipoid. Tujuannya agar dapat mencegah lebih dini adanya demam
tipoid.
DAFTAR PUSTAKA

Huda, Amin dan Hardhi Kusuma. 2016. Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan
Penerapan Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Yogyakarta : Mediaction

Wati, Ina. 2010. Demam Tipoid. Departemen Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma : Surabaya.

Maarisit, Christanti Lidya, Sisfiani Sarimin dan Abram Babakal. 2014. HUBUNGAN
PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG DEMAM TIFOID DENGAN
KEBIASAAN JAJAN PADA ANAK DI WILAYAH KERJA RSUD MALA
KECAMATAN MELONGUANE KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD.
Universitas Sam Ratulangi Manado.

Buluchek, Gloria M., dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC).


Diterjemahkan oleh Intansari Nurjannah dan Roxsana Devi Tumanggor. Indonesia :
CV. Mocomedia.

Moorhead, Sue, dkk. 2013. Nursing Outcames Classification (NOC). Diterjemahkan oleh
Intansari Nurjannah dan Roxsana Devi Tumanggor. Indonesia : CV. Mocomedia.

Seran, Eunike Risani, Henry Palandeng dan Vandry D. Kallo. 2014. HUBUNGAN
PERSONAL HYGIENE DENGAN KEJADIAN DEMAM TIFOID DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS TUMARATAS. Universitas Sam Ratulangi. ejournal
Keperawatan (e-Kp) Volume 3. Nomor 2. Mei 2015.
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK
DENGAN DEMAM TIPOID

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak 1


Dosen Pengampu : Fiki Wijayanti., S.Kep., Ns., M.Kep.

Oleh :
1. Ayun Vitika Dewi (010115A021)
2. Febriana Wulandari (010115A042)
3. I Ketut Wisma (010115A053)
4. Laras Atika (010115A067)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2017

Anda mungkin juga menyukai