Anda di halaman 1dari 109

FORMULASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN

SUMBERDAYA ENERGI PANAS BUMI (GEOTHERMAL)


DI AREA KAMOJANG, JAWA BARAT

CEPI AL HAKIM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Formulasi Kebijakan


Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi (Geothermal) di Area Kamojang,
Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015

Cepi Al Hakim
NRP H351110071
RINGKASAN

CEPI AL HAKIM. Formulasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas


Bumi (Geothermal) di Area Kamojang, Jawa Barat. Dibimbing oleh AKHMAD
FAUZI dan METI EKAYANI.

Indonesia memiliki potensi sumber panas bumi terbesar di dunia yang setara
dengan 29.038 MWe. Sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang ramah
lingkungan, energi panas bumi sangat berpotensi sebagai alternatif pengganti
sumber energi fosil yang mencemari lingkungan berupa emisi gas rumah kaca
CO2. Khusus, di Provinsi Jawa Barat terdapat 23 kawasan yang memiliki prospek
pengembangan energi panas bumi, sebagian besar sudah dilakukan pengelolaan
dengan kapasitas terpasang 1.027 Mwatt. Total potensi energi yang dihasilkan
Provinsi Jawa Barat sebesar 2.861,7 Mwatt atau 21,9% dari Total potensi di
Indonesia dan tersebar di 11 Kabupaten. Kontribusi energi panas bumi di provinsi
Jawa Barat terhadap nasional yang terbesar berasal dari Kamojang 200 MWatt,
Awi Bengkok Gunung Salak terbangkitkan 375 MWatt, Drajat 270 MWatt dan
Wayang Windu 270 MWatt. Total luas kawasan hutan yang digunakan untuk
kegiatan pengelolaan panas bumi di Kawasan Kamojang adalah 99,2 hektar,
terdiri dari kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung.
Peraturan perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan
pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang diantaranya, Undang-Undang RI
Nomor 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan,
Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2014, Tentang Panas Bumi, serta Peraturan
Daerah Jawa Barat nomor 6 tahun 2006, tentang Pengelolaan Panas Bumi.
Pengelolaan panas bumi tidak menimbulkan masalah konflik secara
langsung, hanya timbul masalah kecemburuan sosial antar pendatang dan
masyarakat setempat, khususnya pada penempatan karyawan di perusahaan.
Analisa Stakeholder menunjukan bahwa PT. Pertamina Geothermal Energy,
BKSDA Jawa Barat, Perum Perhutani, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi
Jawa Barat memiliki kepentingan dan pengaruh yang besar dalam pengelolaan
energi panas bumi.
Analisa Multi Criteria Decesion Making (MCDM), menghasilkan Formulasi
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi (Geothermal) di
Kawasan Kamojang Jawa Barat, dengan urutan sebagai berikut : 1). Mendorong
pengembangan dan pengelolaan panas bumi skala kecil, 2). Renegosiasi dan
peningkatan nilai jual energi panas bumi, 3). Kepastian waktu perijinan dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, 4). Perlindungan keanekaragaman
hayati dan kewajiban konservasi air tanah, 5). Pemanfaatan panas bumi secara
langsung untuk kegiatan wisata dan agribisnis, 6). Adanya participacing interest
kepada BUMD dan BUMN, 7). Mempertegas rekomendasi dan izin Penggunaan
dan Pemanfaatan kawasan Hutan, 8). Pemberdayaan Masyarakat, 9).
Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, dan
10). Pendirian Pusat Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi.

Kata kunci: Energi Terbarukan, Hutan, Panas Bumi, Formulasi Kebijakan,


MCDM
SUMMARY

CEPI AL HAKIM. Policy Formulation Of Geothermal Energy Resource


Management Kamojang Area, West Java. Supervised by AKHMAD FAUZI and
METI EKAYANI.

Indonesia has the largest geothermal resource potential in the world which
is equivalent to 29.038 MWe. As a source of environmentally friendly renewable
energy, geothermal energy has the potential as an alternative to fossil energy
sources that pollute the environment in the form of CO2 greenhouse gas
emissions. Specifically, in the province of West Java, there are 23 areas that have
prospects for geothermal energy development, most have done management with
an installed capacity of 1.027 Mwatt. The total potential energy produced West
Java province of 2861,7 Mwatt or 21,9% of the total potential in Indonesia and
spread over 11 districts. The contribution of geothermal energy in the province of
West Java to the largest national derived from Kamojang 200 Mwatt, Awi
Bengkok Salak Mount aroused Mwatt 375, 270 Drajat Mwatt and Wayang Windu
270 Mwatt. The total land area is used for the management of geothermal activity
in the area Kamojang is 99,2 hectares, consists of forest conservation and
protected areas.
Legislation directly related to the management of geothermal energy in the
region such Kamojang, Act No. 5 of 1990, About Natural Resource Conservation
and Ecosystem, Act No. 41 of 1999, on Forestry, Law No. 21 In 2014, About
Geothermal, as well as the West Java Regional Regulation No. 6 of 2006, on the
Management of Geothermal.
Management does not pose a problem geothermal direct conflict, only
raised the problem of social jealousy between migrants and local communities,
particularly in the placement of employees in the company. Stakeholder analysis
shows that PT. Pertamina Geothermal Energy, BKSDA West Java, Perhutani, the
Central Government and the Provincial Government of West Java has a great
importance and influence in the management of geothermal energy.
Multi Criteria Decesion Making (MCDM) analysis, produces Resource
Policy Formulation Of Geothermal Energy Resource Management Kamojang
Area, West Java, in the following order: 1). Encourage the development and
management of small-scale geothermal energy, 2). Renegotiation and increase the
sale value of geothermal energy, 3). Certainty when licensing of the Central
Government and Local Government, 4). Biodiversity protection and conservation
of groundwater liabilities, 5). Direct utilization of geothermal energy for tourism
and agribusiness, 6). Participacing their interest to enterprises BUMN and
BUMD, 7). Reinforce the recommendation and license usage and utilization of
forest area, 8). Community Empowerment, 9). Implementation of Law Number 21
Year 2014 About Geothermal, and 10). Establishment of Center for Research and
Development of Geothermal.

Keywords: Renewable Energy, Forest, Geothermal, Policy Formulation,


MCDM
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FORMULASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN
SUMBERDAYA ENERGI PANAS BUMI (GEOTHERMAL)
DI AREA KAMOJANG, JAWA BARAT

CEPI AL HAKIM

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr
Judul Tesis : Formulasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi
(Geothermal) di Area Kamojang, Jawa Barat
Nama : Cepi Al Hakim
NIM : H351110071

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc.F.Trop
Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


19 Juni 2015 (tanggal penandatanganan tesis
oleh Dekan Sekolah Pascasarjana)

ii
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak b bulan Agustus Oktober 2013,
dengan judul Formulasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi
(Geothermal) di Area Kamojang, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc.
dan Ibu Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc.F.Trop selaku Komisi pembimbing, serta
Bapak Dr Ir Sahat Simanjuntak yang telah banyak memberi kritik dan sarannya. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Sugiharto, SE, MBA
atas dukungan dan dorongannya untuk menyelesaikan tugas tesis di PT. Pertamina
Geothermal Energy, Seluruh Direksi PT. Pertamina Geothermal Energi atas
kesempatan dan data yang diberikan penulis untuk melakukan penelitian di
Kamojang.
Bapak Tisnaldi, Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru,
Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, Pemerintah Kabupaten Garut, Pemerintah Kabupaten Bandung, Balai
Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat, Perum Perhutani Unit 3 Jawa
Barat Banten dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) serta Asosiasi
Panas Bumi Indonesia (API). Tak lupa juga diucapkan banyak terima kasih
diucapkan kepada Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. dan tim Program
Ring of The Fire WWF.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada isteri tercinta Siska Reiny
Purwanti, anak-anakku tercinta Ghibral Thariq Al Hakim, Sakinnahutazahra Baniyah
Al Hakim, Alya Chairunissa, Muhammad Barry Nur Hakim dan Jihan Noor Aisyah
Al Hakim, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat buat kesejahteraan dan masa depan
bangsa. Allahumma Amin.

Bogor, Juli 2015

Cepi Al Hakim

iii
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii


DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN v

1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Kegunaan Penelitian 4
1.5. Ruang Lingkup Penelitian 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Sumberdaya Energi Panas Bumi 5
2.2. Pertamina Geothermal Energi Mengelola Area Kamojang 7
2.3. Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pengelolaan Energi Panas Bumi 8
2.4. Deplesi Sumberdaya Alam dan Degradasi Lingkungan 8
2.5. Formulasi Kebijakan Sumberdaya Alam 10
2.6. Penelitian Terdahulu yang Relevan 11

3. KERANGKA PEMIKIRAN 13

4. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 15
4.2. Jenis dan Sumber Data 15
4.3. Metede Penentuan Sampel 15
4.4. Matrik Penelitian 16
4.5. Metode Analisis Data 17
4.5.1. Analisis Deskriftif 17
4.5.2. Nilai Ekonomi Langsung Energi Panas Bumi 17
4.5.3. Deplesi Sumberdaya Hutan 18
4.5.4. Nilai Ekonomi Air Pengelolaan Panas Bumi 19
4.5.5. Analsis Stakeholder 21
4.5.6. Analisis Konflik 23
4.5.7. Formulasi Kebijakan dengan MCDM 23

5. KONDISI UMUM KAWASAN PT. PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGY


5.1. Letak Geografis dan Administrasi 27
5.2. Potensi dan Pengelolaan energi Panas Bumi PT. Pertamina Geothermal
Energy, Kawasan Kamojang, Jawa Barat 28
5.3. Proses Produksi Pengelolaan Energi Panas Bumi di PT. Pertamina
Geothermal Energy 29
5.4. Kondisi Kawasan Hutan Kamojang 38
5.4.1. Tumbuhan (Flora) 39
5.4.2. Satwa (Fauna) 40
5.5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kamojang 40
5.5.1. Kondisi Ekonomi 41

i
5.5.2. Kondisi Sosial 42
5.6. Peraturan Pengelolaan Energi Panas Bumi 44

6. HASIL DAN PEMBAHASAN 51


6.1. Nilai Ekonomi Langsung Energi Panas Bumi 51
6.2. Nilai Ekonomi Air Tanah 53
6.3. Deplesi Sumberdaya Hutan 57
6.4. Analisis Konflik 59
6.5. Analisis Stakeholder 64
6.6. Analisis Formulasi Kebijakan dengan MCDM 70

7. KESIMPULAN DAN SARAN 79


7.1. Kesimpulan 79
7.2. Saran 80

DAFTAR PUSTAKA 81

LAMPIRAN 85

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Matriks Keputusan dengan Menggunakan MCDM 11


Tabel 4.1. Matrik Penelitian : Tujuan, Sumber dan Metode Analisis 16
Tabel 4.2. Rata-rata Nilai Jasa Hutan Indonesia 18
Tabel 4.3. Bobot Komponen Sumber Daya Alam 20
Tabel 4.4. Bobot Komponen Kompensasi 20
Tabel 4.5. Ukuran Kuantitatif Kepentingan dari Stakeholder 22
Tabel 4.6. Ukuran Kuantitatif Pengaruh dari Stakeholder 23
Tabel 4.7. Matriks Keputusan dengan Menggunakan MCDM 24
Tabel 5.1. Prospek Panas Bumi di Provinsi Jawa Barat 29
Tabel 5.2. Data Periode Pengeboran Sumur di Kawasan Kamojang 30
Tabel 5.3. Jumlah sumur di Tiap-tiap Klaster 31
Tabel 5.4. Komposisi Kimia Uap Panas Bumi dari Sumur Produksi 32
Tabel 5.5. Uap pada Jaringan Pipa Produksi dan Ukuran Dimensi Pipa 33
Tabel 5.6. Kondisi Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung 41
Tabel 5.7. Potensi yang dapat dikembangkan Masyarakat 42
Tabel 6.1 Produksi Energi Panas Bumi di PGE Kamojang Tahun 2010
s.d. 2012 51
Tabel 6.2. Total Penjualan Uap dan Listrik di PGE Kamojang Tahun 2010 s.d.
2012 52
Tabel 6.3. Rata-rata Beban Usaha Pengelolaan energi Panas Bumi di PGE
Kamojang 52
Tabel 6.4. Penentuan Faktor Nilai Air (FNA) di PGE Kamojang 54
Tabel 6.5. Nilai Perolehan Air Tanah di PGE Kamojang 54
Tabel 6.6. Besaran Nilai Ekonomi Iuran Air Irigasi 55
Tabel 6.7. Nilai Ekonomi Hutan Lindung 56
Tabel 6.8. Nilai Deplesi Sumberdaya Hutan di Kawasan Kamojang 57
Tabel 6.9. Rincian Jumlah Responden 58
Tabel 6.10. Karakteristik Responden di PGE Area Kamojang 59
Tabel 6.11. Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan Panas bumi di
Kawasan Kamojang 61
Tabel 6.12. Analisis Stakeholder Pengelolaan Energi Panas Bumi di Kamojang 63
Tabel 6.13. Penilaian Tingkat Kepentingan Stakeholder 64
Tabel 6.14. Penilaian Tingkat Pengaruh Stakeholder 66
Tabel 6.15. Kriteria dan Bobot Nilai yang digunakan untuk Formulasi Kebijakan 69
Tabel 6.16. Pembobotan Terhadap Penilaian Kriteria 70
Tabel 6.17. Data Input Analisa MCDM menggunakan Metode TOPSIS 72
Tabel 6.18. Urutan Peringkat Alternatif Pilihan 73
Tabel 6.19. Matrik Perbandingan Alternatif Pilihan dengan Kondisi yang ada 74

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Diagram Skema Pengelolaan Energi Sumberdaya Panas Bumi 6


Gambar 2.2. Arus Fisik Input Sumberdaya Energi Panas Bumi dan Residual 9
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian 14
Gambar 4.1. Analisis Aktor Grid 23
Gambar 5.1. Denah Pengelolaan Panas Bumi di PGE Kamojang, Jawa Barat 27
Gambar 5.2. Sumur Produksi Panas Bumi 30
Gambar 5.3. Pipa Penyaluran Panas Bumi dari Sumur Produksi
ke Pembangkit 33
Gambar 5.4. Separator di Pembangkit Listrik 33
Gambar 5.5. Turbin Pembangkit Listrik Panas Bumi 34
Gambar 5.6. Generator Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi 34
Gambar 5.7. Tempat Pembuangan Gas (Cooling Tower) 35
Gambar 5.8. Sumur Reinjeksi air yang sudah di kondensat 36
Gambar 5.9. Switch Yard sebeluym disalurkan ke Jaringan
Jawa Madura Bali 36
Gambar 5.10. Kondisi Hutan di Sekitar Pertamina Geothermal Energy 41
Gambar 5.11. Mesjid dan Posyandu bantuan PT. Pertamina Geothermal
Energy untuk Masyarakat 44
Gambar 6.1. Diagram Komposisi Penduduk 58
Gambar 6.2. Matrik Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder pada
Pengelolaan Panas Bumi di Kawasan Kamojang 67
Gambar 6.3. Grafik Hasil analisa MCDM menggunakan Metode TOPSIS 72

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penilaian Terhadap Masing-masing Kriteria 85


Lampiran 2. Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Berhubungan
dengan Pengelolaan Panas Bumi 86
Lampiran 3. Data Responden Kondisi Masyarakat di Kawasan Kamojang 90
Lampiran 4. Kriteria dan Bobot Nilai yang digunakan untuk Formulasi
Kebijakan 91
Lampiran 5. Analisi TOPSIS untuk Alternatif Formulasi Kebijakan 92

v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki bangsa Indonesia sangat berlimpah,
baik yang renewable maupun yang non-renewable. Salah satunya adalah sumberdaya
energi panas bumi (geothermal) sebagai energi terbarukan (renewable) dan ramah
lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil. Indonesia merupakan negara yang
dikelilingi gunung berapi (ring of fire), memiliki potensi energi panas bumi terbesar
diikuti Amerika, Jepang dan Filipina. Dari seluruh potensi di dunia, 40 % tertanam di
perut bumi Indonesia, dengan kata lain Indonesia merupakan negara super power
panas bumi (WWF, 2012). Dari potensi yang ada, 70 % berada di kawasan hutan
konservasi atau cagar alam dan baru termanfaatkan sekitar 4 % atau 1.189 Mega
Watt dari total potensi 27.000 Mega Watt (Poernomo, 2009). Selain itu kelebihan
lain yakni panas bumi di Indonesia temperaturnya relatif tinggi dibandingkan dengan
negara lain sangat ideal untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Sebagai salah satu negara yang memiliki banyak gunung, Indonesia memiliki
potensi yang luar biasa dalam hal energi panas bumi. Energi panas bumi sangat
berkorelasi dengan kehadiran gunung berapi. Energi panas bumi terkandung dalam
uap, air panas dan mineral batuan bawah yang dipanaskan oleh sistem panas bumi.
Indonesia memiliki potensi energi panas bumi terbesar di dunia, dengan setidaknya
29 Giga Watt total potensi panas bumi. Dari jumlah tersebut, baru dimanfaatkan
sekitar 1,2 Giga Watt. Kebijakan Energi Nasional telah menargetkan agar panas
bumi dapat menyokong 5% bauran energi nasional pada 2025, namun hingga saat ini
panas bumi baru berkontribusi 1% dengan perkembangan yang lambat. Potensi
energi listrik dari sumberdaya energi panas bumi di Indonesia sebesar 27.510 MWe,
sekitar 30% sampai dengan 40% potensi panas bumi dunia, dengan potensi cadangan
14.172 MWe, terdiri dari cadangan terbukti 2.287 MWe, cadangan mungkin 1.050
MWe dan cadangan terduga 10.835 MWe (Energia, 2012).
Namun demikian, pemanfaatan sumberdaya energi panas bumi belum optimal
dibandingkan dengan kapasitas yang ada. Indonesia seharusnya mampu
memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk kemajuan pertumbuhan ekonomi
juga untuk peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Pemerintah Indonesia
memiliki komitmen untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 7 % dan
menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 %, hal ini memacu pemerintah untuk
menggali potensi-potensi energi terbarukan yang ramah lingkungan. Implementasi
kebijakan Energi Nasional dengan pemberdayan energi terbarukan termasuk energi
panas bumi dengan target 11 % pada tahun 2014 dan 12 % energy mix (setara
dengan 9.500 Mega Watt) pada tahun 2025, secara bertahap.
Jumlah pengembangan sumberdaya energi panas bumi ada sekitar 70 lapangan,
baik untuk kegiatan eksplorasi, produksi tenaga listrik, maupun dalam tahap
pengembangan. Dari jumlah tersebut sejumlah 60 lapangan sudah di survey
eksplorasi dan 15 diantaranya telah menjadi Wilayah Kerja Pertambangan (WKP)
Pertamina, sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral
Nomor. 667/2002, dalam hal ini PT Pertamina Geothermal Energi (PGE) sebagai
pelaksana dari kegiatan tersebut. Salah satu dari wilayah kerja pertambangan PGE
adalah area Kamojang, Jawa Barat (ESDM 2004).

1
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
466/Kpts/M/Pertamb/74, tanggal 10 Agustus 1974, luas wilayah kerja pertambangan
di area Kamojang yang diberikan kurang lebih 154.318 hektar, namun yang
digunakan seluas 108,55 hektar, yang terbagi menurut tata guna lahan yaitu seluas
48,85 hektar kawasan Cagar Alam, seluas 50,35 hektar Kawasan Hutan Produksi dan
9,35 hektar kawasan hak milik (PGE, 2013).
Menurut Saptadji (2012), biaya pengembangan sumberdaya energi panas bumi
(lapangan uap) yang terdiri dari : 1). Biaya survey eksplorasi, 2). Biaya pengeboran
sumur (sumur eksplorasi, pengembangan, injeksi, make up), 3). Biaya lahan,
penyiapan jalan, tanah dan lain-lain, 4). Biaya fasilitas produksi, 5). Biaya fasilitas
pendukung, dan 6). Operasi dan biaya pemeliharaan. Selain itu, ada beberapa risiko
yang harus dihadapi dalam Pembangunan PLTP, sebagai risiko yang terkait dengan
sumber daya (energi potensial, jumlah titik sumber, biaya variabel, dll), risiko yang
berkaitan dengan penurunan kemampuan produksi, risiko yang terkait dengan
Pembangunan infrastruktur, dan yang paling penting berkaitan dengan bencana alam
yang mungkin timbul. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan PLTP adalah
investasi skala besar.
Pengelolaan energi panas bumi, mengacu pada undang-undang Nomor 27
tahun 2003, tentang Panas Bumi yang sudah diperbaharui menjadi Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2014, selain itu ada Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2007
tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi. Mengingat hampir 70 % berada di kawasan
hutan konservasi atau cagar alam, maka pengelolaan energi panas bumi juga harus
sinergi dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah Propinsi Jawa Barat sendiri memiliki
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006, tentang Pengelolaan Energi Panas Bumi
(Dinas ESDM, Provinsi Jawa Barat, 2012).
Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di Kamojang,
Jawa Barat harus seiring kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sekitarnya,
disamping untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
setempat. Untuk keberlanjutan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi, adanya
potensi penurunan nilai (deplesi) dari sumberdaya alam lainnya harus diperhitungan.
Selain itu juga, degradasi lingkungan akibat dari pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya energi panas bumi harus menjadi perhatian. alternatif kebijakan dalam
pembangunan dan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi dapat direncanakan
secara menyeluruh. Berdasarkan pertimbangan di atas maka penelitian mengenai
formulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi PGE area Kamojang
Jawa Barat perlu untuk dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah


PT. Pertamina Geothermal Energi (PGE) area Kamojang, terletak di Kabupaten
Bandung, tepatnya di Kecamatan Ibun berada di kawasan hutan cagar alam dan hutan
produksi. Selama ini, kebijakan pengelolaan panas bumi masih bersifat sektoral dan
tidak menyeluruh. Pengelolan energi panas bumi dilihat dari sisi ekonomi, aspek
lingkungan, sosial dan kelembagaan sebagai aspek pendukung saja. Energi panas
bumi, selain memiliki potensi nilai ekonomi, tentunya harus memperhatikan nilai
lingkungan, sosial masyarakat dan kelembagaannya dalam hal ini berhubungan
dengan peraturan yang ada. Keberadaan panas bumi di kawasan hutan menjadi ciri

2
khas tersendiri, karena pengelolaan panas bumi membutuhkan sumber air yang
cukup untuk menghasilkan uap panas sebagai potensi energi. Keberadaan kawasan
hutan di area panas bumi menjamin ketersediaan air, pengelolaan energi panas bumi
dapat dilakukan secara berkelanjutan. Kegiatan pengelolaan energi panas bumi di
area Kamojang ini, berpotensi adanya deplesi terhadap panas bumi atau sumberdaya
alam yang lainnya.
Pengelolaan panas bumi di PGE area Kamojang melibatkan berbagai pihak
dengan kepentingan dan pengaruh yang berbeda-beda. Peranan para pihak perlu
diketahui, potensi konflik dari para pihak yang terlibat dalam pengelolaan energi
panas bumi menjadi salah satu pertimbangan dalam pembuatan kebijakan. Selain
aspek ekonomi, lingkungan dan sosial masyarakat, peraturan perundang-undangan
pengelolaan panas bumi yang sudah ada di tingkat pusat dan daerah, harus dapat
mendukung pada pengembangannya. Keberadaan peraturan tersebut untuk
menunjang pembangunan dan pengelolaan energi panas bumi secara berkelanjutan
dan ramah lingkungan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas menunjukan bahwa perlu adanya kebijakan
dalam pengelolaan panas bumi yang memperhatikan empat aspek tersebut diatas.
Penelitian tentang formulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di
kawasan tersebut menjadi penting. Kebijakan yang dipilih memperhatikan aspek
ekonomi panas bumi secara langsung, aspek lingkungan, aspek sosial dan aspek
kelembagaan yang ada. Kebijakan yang ada saat ini masih sektoral pada aspek
tertentu saja, khususnya aspek ekonomi saja. Aspek lingkungan dan sosial masih
sebagai faktor pendukung kebijakan tersebut. Panas bumi hanya dilihat sebagai
komoditas ekonomi, belum memberikan manfaat secara langsung terhadap
kelestarian alam sekitar dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Dari perumusan masalah tersebut di atas, maka beberapa pertanyaan penelitian
yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Berapa nilai ekonomi langsung energi panas bumi di kawasan PGE area
Kamojang ?
2. Berapa nilai ekonomi air dan deplesi kawasan hutan PGE area Kamojang ?
3. Bagaimana masalah sosial dan potensi konflik yang terjadi dan peran para
pihak dalam pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di PGE area
Kamojang tersebut ?
4. Peraturan-peraturan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan panas bumi ?
5. Alternatif-alternatif kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya
energi panas bumi ?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan utama dari
penelitian ini adalah Formulasi Kebijakan Pengelolaan Panas Bumi (geothermal) di
PGE area Kamojang, Jawa Barat dengan memperhatikan aspek ekonomi,
lingkungan, sosial dan kelembagaan. Adapun tujuan yang lebih spesifik pada
penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui nilai ekonomi langsung energi panas bumi di kawasan PGE area
Kamojang.
2. Mengetahui nilai ekonomi air dan nilai deplesi kawasan hutan PGE area
Kamojang.

3
3. Mengatahui peran para pihak dalam pengelolaan sumberdaya energi panas bumi
di PGE area Kamojang dan potensi konflik yang terjadi.
4. Mengetahui Peraturan-peraturan yang ada tentang pengelolaan panas bumi dan
permasalahan yang terjadi.
5. Formulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di area
Kamojang.

1.4. Kegunaan Penelitian


Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Pemerintah :
a. Untuk memberikan informasi mengenai nilai ekonomi manfaat langsung
panas bumi (geothermal) PGE area Kamojang Jawa Barat.
b. Membuat kebijakan dalam meningkatkan pemberdayaan masyarakat sekitar
kawasan PGE area Kamojang.
c. Memberikan masukan buat pembuat kebijakan dalam menentukan sistem
pengelolaan sumberdaya energi panas bumi (geothermal).
2. PT. Pertamina Geothermal Energi (PGE)
a. Memberikan informasi mengenai nilai ekonomi langsung sumberdaya energi
panas bumi dan nilai deplesi sumberdaya alam lainnya di area Kamojang.
b. Memberikan informasi tentang alternatif kebijakan dalam pengelolaan
sumberdaya energi panas bumi.
3. Masyarakat : Memberikan informasi mengenai nilai deplesi dan degrasi dari
sumberdaya alam dan lingkungan di area Kamojang, Jawa Barat
4. Akademisi : Memberikan informasi sebagai bahan referensi penelitian tentang
deplesi dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan, juga formulasi kebijakan
pengelolaan panas bumi.

1.5. Ruang LingkupPenelitian


Ruang lingkup dalam penelitian ini :
1. Menghitung nilai ekonomi langsung dari energi panas bumi, deplesi dari
sumberdaya hutan, nilai ekonomi air tanah, dan peranan para pihak dalam
pengelolaan energi panas bumi di PGE Kamojang Jawa barat.
2. Objek yang diteliti adalah wilayah kerja pertambangan milik PGE seluas 99,20
hektar, yang berada di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
3. Harga produk yang terdapat di area Kamojang didekati dengan harga pasar yang
berlaku, dengan pendekatan Market approach sedangkan untuk menghitung jasa
lingkungan digunakan benefit transfer, harga pasar yang dibangun dengan Non-
market base approach.
4. Jenis data yang digunanakan adalah data primer, wawancara, data sekunder dan
laporan tahunan dari perusahaan, tidak melakukan penghitungan ulang.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sumberdaya Energi Panas Bumi

Sumberdaya energi panas bumi saat ini sedang dikembangkan sebagai


salah satu sumberdaya energi yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan.
Sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, dimana ketersediaannya
ada setiap saat sebagai input produksi dengan batas waktu yang tidak
terhingga (Simanjuntak, 2009).
Energi panas bumi merupakan energi karena panas yang dihasilkan
secara berkelanjutan dari dalam perut bumi, dimana panas dibentuk pada inti
bumi dengan kedalaman kira-kira 4.000 mil dibawah permukaan tanah. Suhu
lebih panas dari pada panas permukaan matahari, secara terus menerus
diproduksi melalui teknik peluruhan radioaktif secara perlahan dan proses ini
terjadi dalam semua lapisan batuan. Sebagian besar sumberdaya energi panas
bumi tersimpan dalam bentuk : Gunung api, fumarol (lubang dimana gas
vulkanik lepas), Sumber air panas, dan Geiser. Panas Bumi adalah sumber
energi panas yang terkandung di dalam air panas, uap air, dan batuan bersama
mineral ikutan dan gas lainnya yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu
sistem Panas Bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses
penambangan. (PGE, 2012).
PGE (2012), menyatakan bahwa pemanfaatan energi panas bumi relatif
ramah lingkungan, terutama karena tidak memberikan kontribusi gas rumah
kaca, perlu didorong dan dikembangkan lebih lanjut. Pemanfaatan energi
panas bumi diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan
bakar minyak dapat menghemat cadangan minyak bumi. Pentingnya
pengembangan sumberdaya energi panas bumi1:
1. Kebutuhan untuk energi (listrik) terus meningkat.
2. Cadangan energi fosil terus menurun (minyak dan gas, batu bara).
3. Potensi energi panas bumi yang sangat besar (27.000 MW),
pemanfaatannya daripadanya belum optimal (4%).
4. Energi Panas bumi sebagai salah satu energi terbarukan.
5. Ramah lingkungan (emisi gas sangat rendah, tidak ada limbah).
6. Pengembangan energi panas bumi akan mengurangi ketergantungan
terhadap sumber energi fosil (minyak dan gas).

Menurut Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 (ESDM,


2005) sebagai penjabaran dari Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2006,
tentang Kebijakan Energi Nasional, energi panas bumi diharapkan

1
http://pge.pertamina.com/index.php?option=com_content&view=article&id=84&Itemid=51
[diunduh 10 Januari 2013]

5
berkontribusi minimal sebesar 16 Gw di 2025. Potensi panas bumi di
Indonesia tersebar di 276 titik dengan total potensi sebesar 29.038 MW atau
40% dari potensi energi, setara dengan 219 Milyar ekuivalen Barrel minyak.
Kapasitas terpasang saat ini 1.194 atau 4% dari seluruh potensi yang ada.
PGE (2011), menyatakan saat ini, Indonesia telah memiliki beberapa
PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi). Setelah sukses membangun
PLTP Kamojang pada tahun 1980 mendorong pemerintah untuk membangun
pembangkit listrik tenaga panas bumi di lokasi lain. Sampai hari ini sudah ada
beberapa pembangkit listrik panas bumi yang beroperasi untuk memperkuat
sistem kelistrikan nasional. Tentu saja, lokasi pembangkit listrik yang terletak
di sepanjang cincin api yang mengelilingi Indonesia, diantaranya PLTP
Lahendong, PLTP Lumut Balai, PLTP Ulubelu (Lampung), PLTP Gunung
Salak (Jawa Barat), PLTP Dieng (Jawa Tengah), PLTPWayang Windu (Jawa
Barat), PLTP Patuha (Jawa Barat), dan PLTP Sibayak (Sumatera Utara ).
Salah satu pemanfaatan tidak langsung dari energi panas bumi sebagai
pembangkit tenaga listrik. Prinsip dasar pembangkit listrik tenaga panas bumi
adalah uap dari dalam bumi melalui sumur produksi, dan disalurkan melalui
pipa instalasi khusus untuk menggerakan turbin generator. Uap panas tersebut
kemudian dikondensasi melalui evaporator di cooling tower dan air yang
terkondensasi dikembalikan lagi kedalam tanah melalui sumur injeksi untuk
kesinambungan produksi (PGE, 2011). Secara garis besar proses produksi
pengelolaan energi panas bumi di PGE dapat dilihat pada gambar 2.1.

(Sumber : http://www.pge.pertamina.com/images/stories/gt202.jpg)
Gambar 2.1. Diagram Skema Pengelolaan Energi Sumberdaya Panas Bumi

Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 (ESDM, 2005),


laporan statistik PLN 2011 menegaskan kontribusi PLTP adalah 1,5% dengan
kekuatan 435 Mega watt dari 10 pembangkit listrik tenaga panas bumi (3 di
antaranya berada di luar Jawa dengan kapasitas 60 Mega watt). Ini berarti,
kontribusi PLTP masih sangat kecil dibandingkan dengan jenis lain dari

6
pembangkit listrik. Selain itu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih
menanggung kekurangan energi listrik bagi penduduk di luar Jawa sebesar
1.211.688,50 kVA sebanding dengan kekurangan yang sama di pulau Jawa
sebesar 195 kVA 577, nilai ini sangat besar. Pengembangan energi panas
bumi diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar untuk
mengatasi kekurangan pasokan energi listrik nasional.
Berdasarkan data Dinas ESDM, Provinsi Jawa Barat (2008), Indonesia
memiliki prospek untuk mengembangkan energi panas bumi di 256 lokasi di
seluruh Sumatera (84), Jawa (76), Sulawesi (51), Nusa Tenggara (21), Papua
(3), Maluku (15), dan Kalimantan (5). Dari potensi energi panas bumi di luar
pulau Jawa sampai akhir tahun 2011, masih belum terpasang pembangkit
listrik tenaga panas bumi (kecuali di Provinsi Sulawesi Utara), meskipun
sudah ditenderkan proyeknya. Hal ini tentu saja sangat disayangkan,
mengingat daerah di luar Jawa masih kekurangan pasokan listrik.
Mengandalkan minyak atau batubara jelas bukan pilihan bijak sebagai daerah
memiliki potensi sumber energi terbarukan yang belum diolah. Selain itu,
keuntungan-keuntungan di kembangkannya sumberdaya energi panas bumi
adalah2 :
1. Konsumsi 1 MWh membutuhkan 1,7 barel BBM, 390 kg batubara dan 7,9
Mcf gas alam, adanya penghematan dari 1 MWh, diperkirakan bahwa
pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat menghemat penggunaan BBM
dari 45 barel per hari.
2. Energi panas bumi diandalkan sebagai pasokan jangka panjang. Beberapa
PLTP di luar negeri masih berproduksi setelah 100 tahun, seperti di
Selandia Baru dan Amerika Latin masih produksi setelah 50 tahun. PLTP
di area Kamojang sudah di produksi lebih dari 21 tahun.
3. Sifatnya secara alami terbarukan.
4. Ramah lingkungan (dampak lingkungan sangat kecil).
5. Reliable (load factor tinggi).
6. Tidak tergantung pada musim.
7. Fleksibel dalam hal kapasitas pembangkit (generator berbagai jenis
tersedia).
8. Pemanfaatan energi panas bumi dapat menghemat penggunaan bahan
bakar fosil.
9. Emisi gas rumah kaca sangat sedikit dibandingkan dengan sumber energi
lainnya.
10. Tidak menghasilkan emisi gas yang berlebihan, khususnya NOx dan SO2.
11. Proses Produksi tidak menghasilkan limbah.

2.2. Pertamina Geothermal Energi Mengelola Area Kamojang


PGE memiliki hak pengelolaan untuk 15 Wilayah Kerja
Pertambangan (WKP) panas bumi dengan total potensi 8.480 MW setara
dengan 4.392 MMBoe. Dari 15 WKP, 10 WKP sudah aktif dan dikelola
PGE, yaitu (1) Kamojang: 200 MW, (2) Lahendong: 60 MW, (3) Sibayak:

2
http://pge.pertamina.com/index.php?option=com_content&view=article&id=84&Itemid=51
[diunduh 10 Januari 2013]

7
12 MW, (4) Ulubelu, (5) Lumutbalai, (6) Hululais, (7) Kotamubagu, (8)
Sungai Penuh dan (9) Iyang Argopuro dan (10) Karahabodas. Tiga WKP
telah di produksi sendiri oleh PGE dengan total kapasitas 272 MW setara
dengan 12.900 BOEPD. Sisanya dikelola bersama dengan mitra dan
memiliki kapasitas produksi 922 MW (PGE, 2012).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor 466/Kpts/M/Pertamb/74 tanggal 10 Agustus 1974, tentang wilayah
kuasa pertambangan (WKP) di area Kamojang diberikan kepada PGE
dengan luas kurang lebih 154.318 hektar. Dari luas WKP tersebut yang
digunakan seluas 108,55 hektar, yang terbagi menurut tata guna lahan yaitu
seluas 48,85 hektar kawasan Cagar Alam, seluas 50,35 hektar Kawasan
Hutan Produksi dan 9,35 hektar kawasan hak milik (Pertamina, 2005).

2.3. Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pengelolaan Energi Panas Bumi


Pertamina (2005), menyebutkan bahwa PGE menggunakan 2 jenis
kawasan hutan yaitu Hutan Konservasi dan Hutan Lindung, dengan
perincian sebagai berikut :

2.3.1. Hutan Konservasi


Pengertian hutan konservasi menurut Undang-undang No 41,
tentang Kehutanan, adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan
hutan konservasi yang digunakan oleh PGE seluas 48,856 hektar.

2.3.2. Hutan Lindung


Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah (Undang-Undang
RI nomor 41 tahun 1999, tentang Kehutanan). Luas kawasan hutan
lindung yang digunakan oleh PGE, dengan sistem pinjam pakai
dengan kompensasi seluas 46,50 hektar. Selain lahan tersebut, lahan
kawasan hutan lindung yang digunakan untuk pengelolaan
sumberdaya energi panas bumi dengan pola pinjam pakai seluas 3,85
hektar.

2.4. Deplesi Sumberdaya Alam dan Degradasi Lingkungan


Depresiasi atau penyusutan modal dalam kegiatan pengelolaan panas
bumi berupa deplesi sumberdaya alam dan kerusakan (degradasi)
lingkungan. Dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi ini
dapat terjadi beberapa jenis deplesi sumberdaya alam terkait dengan
kegiatan-kegiatan mulai dari eksplorasi, operasi produksi, dan pasca
produksi.
Anna (2012), menyatakan bahwa selama ini dampak lingkungan
dalam bisnis tidak pernah dimasukan dalam sistem informasi finansial,
kecuali mempengaruhi secara langsung profitabilitas entitas atau kaitan

8
denda dan kecelakaan atau kerusakan lingkungan. Dampak lingkungan yang
tidak diatur dan dikontrol pemerintah seringkali diabaikan karena biasanya
dianggap : 1). Tidak penting, 2). Tidak berhubungan dengan fungsi core
bisnis, 3). Merupakan bagian dari kenaikan harga, dan 4). Dianggap sulit
untuk mengestimasi dan menetapkan nilai finansial dari environmental cost.
Ada kesadaran mempersepsikan lingkungan sebagai perishable
resources yang perlu dikelola untuk pemanfaatan jangka panjang untuk
komersial dan sosial, juga kesadaran bahwa merusak lingkungan adalah
mahal untuk individu, perusahaan dan masyarakat, biaya kerusakan
lingkungan tersebut harus dihindarkan. Anna (2012), menambahkan, untuk
mengelola dan menghindarkan biaya lingkungan perlu adanya pemahaman
bahwa biaya itu ada, dan meyakini bahwa biaya ini diketahui oleh
stakeholder yang bertanggung jawab menyediakan insentif untuk
mengurangi biaya lingkungan tersebut.
Sutomo (2012), menyatakan bahwa biaya lingkungan (environmental
cost) pada dasarnya dapat secara signifikan dikurangi atau dihilangkan
karena tidak memiliki nilai tambah pada proses, sistem atau produk.
Beberapa perusahaan melihat peluang environmental cost yang dapat di
offset dengan menghasilkan revenue by product atau transferable pollution
allowance, licensing clean technology, dan lain-lain. Pengelolaan yang baik
dari environmental cost dan kinerja proses serta produk dapat menghasilkan
kinerja lingkungan dan manfaat signifikan terhadap kesehatan masyarakat,
meningkatkan pembiayaan dan harga yang lebih akurat dan membantu
industri mendesain usahanya yang lebih berwawasan lingkungan,
memperoleh keunggulan kompetitif dan memenuhi standar usaha
internasional.

Lingkungan

Input Sumberdaya alam


Ekonomi (termasuk sumberdaya
energi panas bumi, hutan,
air dll)
Pertamina Pengelolaan
Geothermal sumberdaya
Energi energi panas
Deplesi Sumberdaya alam
(PGE) bumi
(termasuk panas bumi, air
tanah, hutan dll)

Eksternalitas menyebabkan
degradasi Lingkungan (termasuk
polusi udara, limbah, air, hutan
dll)

(Sumber : Sutomo, 2012)


Gambar 2.2. Arus fisik input Sumberdaya Energi Panas Bumi

Pada gambar 2.2. dijelaskan, bahwa kegiatan ekonomi dalam hal ini
pengelolaan sumberdaya energi panas bumi pasti adanya interaksi dengan

9
lingkungan. Adanya input sumberdaya alam yang digunakan secara
langsung, dalam hal ini energi panas bumi dan air, ataupun sumberdaya
alam yang secara tidak langsung, misalnya hutan. Lingkungan sebagai input
produksi menyebabkan terjadinya deplesi dari sumberdaya alam tersebut
baik yang langsung maupun tidak langsung. Meskipun sangat sedikit,
terjadinya degradasi lingkungan sebagai akibat dari eksternalitas dari
pengelolaan sumberdaya energi panas bumi harus dihitung dan diperhatikan
sebagai, nilai jasa lingkungan.
Degradasi lingkungan adalah menurunnya fungsi dan kualitas dari
sumberdaya alam dan lingkungan, seperti natural resources inputs,
environmenral services, biodiversity services, amnesty services dan natural
assimilator. Degradasi lingkungan akan berpengaruh pada produktifitas
faktor produksi lainnya (Anna, 2012).

2.5. Formulasi Kebijakan Sumberdaya Alam


Fauzi (2012), menyatakan dalam membuat kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam dengan variable yang cukup banyak, dapat digunakan
Multi Criteria Decesion Making (MCDM). MCDM merupakan teknik
pengambilan keputusan multi-variabel berbasis non-parametrik, karena
melibatkan banyak kriteria, maka pembobotan menjadi krusial dalam teknik
MCDM. Selain kriteria, MCDM juga melibatkan alternatif/pilihan yang bisa
diambil, analisis MCDM merupakan Pemilihan alternatif terbaik dengan
mempertimbangkan setiap kriteria dari alternatif tersebut. Langkah-langkah
dalam MCDM, yaitu : 1). Menentukan kriteria dan alternatif yang relevan,
2). Menentukan pengukuran numerik (bobot) terhadap kriteria dan
alternative, dan 3). Memproses nilai numerik menjadi alternatif terbaik.
Formulasi kebijakan dengan menggunakan multi criteria decesion
making (MCDM) merupakan pemilihan alternatif terbaik dengan
mempertimbangkan setiap kriteria dari alternatif-alternatif yang ada.
MCDM mengikutsertakan beberapa orang pengambil keputusan, dengan
sejumlah kriteria yang beragam yang harus dipertimbangkan, dan masing-
masing kriteria itu memiliki nilai bobot tertentu, dengan tujuan untuk
mendapatkan solusi optimal atas suatu permasalahan. Masing-masing
alternatif ditetapkan kriteria dan bobotnya, dapat dilakukan MCDM untuk
menentukan alternatif mana yang sebaiknya diambil oleh pengambil
keputusan. Kriteria adalah alat atau standar untuk melakukan pertimbangan,
kriteria secara tidak langsung dapat menyatakan standar urutan dalam
memilih alternatif. Dalam penelitian ini analisis MCDM dilakukan dengan
program komputer Sanna, hasilnya berupa urutan prioritas alternatif-
alternatif kebijakan yang disarankan untuk diimplementasikan.
Menurut Triantaphyllou (1997), secara ringkas teknik urutan
pengembangan MCDM meliputi 3 tahap, yaitu:
a) Menentukan alternatif-alternatif dan kriteria yang relevan. Dalam
penelitian ini alternatif-alternatif beserta kriterianya ditentukan
berdasarkan hasil pengembangan model pada tahap pertama dan kedua,
yaitu model optimasi dan model estimasi.
b) Memberikan bobot relatif dari masing-masing kriteria pada dampaknya
terhadap tiap alternatif. Bobot dari tiap kriteria diperoleh dengan

10
melakukan running berulang-kali terhadap model simulasi sistem
dinamik yang telah dikembangkan pada tahap kedua penelitian ini.
Untuk kriteria yang belum diperhitungkan pada model simulasi sistem
dinamik pembobotan dilakukan secara kualitatif.
c) Memproses nilai kuantitatif untuk menentukan urutan masing-masing
alternatif.

Hasil dari penilaian bobot dari kriteria dan alternative disajikan dalam
bentuk tabel 2.1. menjelaskan bagaimana hubungan antara kreteria dengan
alternatif pilihan kebijakan yang akan diambil.

Tabel 2.1. Matriks keputusan dengan menggunakan MCDM


Kriteria 1 Kriteria 2 Kriteria 3 Kriteria 4 Kn
Alternatif W1 W2 W3 W4 Wn
A1 a11 a12 a13 a14 a1n
A2 a21 a22 a23 a24 a2n
A3 a31 a32 a33 a34 a3n
A4 a41 a42 a43 a44 a4n
A5 a51 a52 a53 a54 a5n
Am am1 am2 am3 a11 amn

Keterangan Tabel:
- Alternatif dinyatakan dengan Ai (untuk i = 1,2,3,.. ,m).
- Kriteria dinyatakan dengan Kj (untuk j = 1,2,3, ... ,n). Kriteria yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan faktor-faktor yang diperoleh
berdasarkan hasil dari wawancara dan analisa.
- Masing-masing kriteria diberi bobot yang dinyatakan dengan Wj. Bobot
yang diberikan pada penelitian ini didasarkan pada nilai-nilai yang
dihasilkan dari simulasi dan wawancara langsung dg para pihak.
- Nilai dari bobot untuk tiap kriteria terhadap alternatif yang relevan
dinyatakan dengan aij (untuk i = 1,2,3, ... ,m dan j = 1,2,3, ... ,n).

MCDM sebagai salah satu cara untuk pengambilan keputusan yang


relatif kompleks, salah satu metode yang digunakan untuk menangani
permasalahan ini, adalah Technique for Order Performance by Similarity to
Ideal Solution (TOPSIS). TOPSIS menggunakan prinsip bahwa alternatif
yang terpilih harus mempunyai jarak terdekat dari solusi ideal positif dan
jarak terpanjang (terjauh) dari solusi ideal negatif dari sudut pandang
geometris dengan menggunakan jarak Euclidean (jarak antara dua titik)
untuk menentukan kedekatan relatif dari suatu alternatif dengan solusi
optimal (Fauzi, 2012).

2.6. Penelitian Terdahulu yang Relevan


Penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan terkait dengan Valuasi
Ekonomi Sumberdaya Alam Kawasan Panas Bumi Kamojang Jawa Barat
(Yusri, 2012). Adapun hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai
berikut :
1. Kondisi aktual sumberdaya alam di kawasan Kamojang pada saat ini
masih terjaga. Hal ini disebabkan adanya pengontrolan rutin yang

11
dilakukan oleh PGE dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa
Barat.
2. Nilai ekonomi manfaat langsung (direct use value) sumberdaya alam
kawasan panas bumi Kamojang sebesar Rp. 1.810.197.943.950, terdiri
dari nilai Panas Bumi sebesar Rp. 1.673.568.000.000, nilai kayu hutan
produksi sebesar Rp. 10.153.656.000, nilai kayu bakar sebesar Rp.
1.782.600.000, nilai hewan buruan sebesar Rp. 594.000.000, nilai
pertanian sayuran yang di peroleh dari alam Rp. 120.364.692.000, nilai
tanaman obat-obatan alami sebesar Rp. 1.950.338.700 dan nilai
pertanian hortikultura sebesar Rp. 1.784.657.250. Sedangkan nilai
ekonomi manfaat tidak langsung (indirect use value) sumberdaya alam
kawasan Kamojang yaitu sebesar Rp. 3.011.714.430.
3. Nilai ekonomi keberadaan (existence value) sumberdaya alam kawasan
Kamojang sebesar Rp. 8.023.230.000, dan nilai ekonomi warisan
(bequest value) sebesar Rp. 1.139.490.000.
4. Nilai ekonomi total (total economic value) yang dapat dihitung dari
hasil penelitain tersebut sebesar Rp. 1.822.372.378.380.

Penelitian lainnya yang dilakukan terkait dengan Analisis dampak


penggunaan kawasan hutan untuk geothermal terhadap keadaan sosial,
ekonomi, dan lingkungan masyarakat sekitar hutan (Studi Kasus Kecamatan
Ibun, Kabupaten Garut dan Kecamatan Samarang, Kabupaten Bandung
Barat) (Reza, AA. 2013) sebagai berikut :
1. Adanya dampak sosial, dampak ekonomi dan dampak lingkungan yang
terjadi akibat dari penggunaan kawasan hutan untuk geothermal di
Kamojang. Diantaranya pembangunan infrastruktur jalan dan fasilitas
sosial, perubahan heterogenitas dan jumlah penduduk, serta adanya
kecemburuan sosial dan penurunan tata nilai masyarakat.
2. Dari dampak yang ditimbulkan maka dibuatkan rencana kelola dari
masing-masing dampak tersebut. Dampak sosial diantaranya adalah :
menyusun dan mensosialisasikan SOP (standart opperating procedure)
perekrutan tenaga kerja, menyusun program program sosial yang mampu
membangkitkan tata nilai masyarakat. Dampak ekonomi adalah dengan
memberi alternatif program yang mampu memberikan kesempatan kerja
untuk warga desa. Dampak lingkungan adalah dengan mensosialisasikan
tentang program pengeboran kepada seluruh warga desa jauh sebelum
pengeboran tersebut dilaksanakan dan tidak melakukan aktifitas
pengeboran di malam hari.

Perbedaaan antara penelitian terdahulu adalah penelitian terdahulu


hanya melihat dari nilai ekonomi kawasan Kamojang secara keseluruhan,
melalui valuasi sumberdaya alam yang ada di kawasan Kamojang. Namun
dalam penelitian ini yaitu membuat formulasi kebijakan dalam pengelolaan
energi panas bumi dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial,
lingkungan dan kelembagaan. Ruang lingkup penelitian hanya di Wilayah
Kuasa Pertambangan milik PGE area Kamojang.

12
BAB 3
KERANGKA PEMIKIRAN

Pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di Kamojang yang dilakukan


oleh PGE, tentunya tidak terlepas dari kondisi lingkungan dan sosial sekitar.
Pengelolaan panas bumi ditujukan untuk pembangunan yang berkelanjutan
(sustainability development), yaitu pertumbuhan ekonomi, pemerataan
kesejahteraan masyarakat yang melibatkan semua pihak baik pemerintah,
pengelola maupun masyarakat yang ada di sekitar kawasan dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungannya.
Permasalahan energi panas bumi saat ini, seperti diketahui bahwa 40 %
cadangan dunia ada di Indonesia. Lokasi WKP panas bumi yang ada di Indonesia
70 % berada di kawasan hutan, khususnya kawasan hutan konservasi. Kebijakan
yang mengatur pengelolaan panas bumi belum mendukung secara optimal dalam
pengembangan dan pemanfaatan energi panas bumi secara maksimal. Pengelolaan
panas bumi diharapkan dapat memperhatikan aspek ekonomi lingkungan,
peraturan yang berlaku dan sosial masyarakat setempat. Kemungkinan adanya
deplesi panas bumi dan degradasi sumberdaya alam dan kawasan hutan akibat
pengelolaan energi panas bumi di kawasan Kamojang perlu diketahui, serta
masalah sosial masyarakat setempat.
Ada empat aspek yang menjadi dasar formulasi kebijakan yaitu aspek
ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan. Kajian aspek ekonomi terkait
dengan pengelolaan energi panas bumi dengan analisis ekonomi produksi panas
bumi, aspek lingkungan mengkaji kondisi kawasan hutan Kamojang yang
dimanfaatkan PGE untuk kegiatan panas bumi, dilakukan analisis deplesi hutan,
juga menghitung nilai ekonomi air. Aspek sosial mengkaji kondisi masyarakat di
sekitar kawasan panas bumi kamojang, dengan melakukan analisis konflik. Untuk
aspek kelembagaan, mengkaji peraturan dan kelembagaan pengelolaan panas
bumi, dilakukan dengan analisis stakeholder.
Setelah diperoleh hasil dari analisis masing-masing aspek, kemudian
dilakukan MCDM dengan terlebih dahulu menentukan kriteria dan alternatif yang
relevan dalam pengelolaan panas bumi. Kemudian dilakukan pembobotan
terhadap masing-masing kriteria dan alternaif yang ada. Penentuan kriteria dan
alternatif berdasarkan hasil dari analisis dan wawancara dengan stakeholder.
Setelah adanya nilai dari masing-masing alternatif kebijakan, kemudian
memproses nilai numerik menjadi pilihan alternatif terbaik. Pilihan alternatif
terbaik berdasarkan pembobotan tertinggi dari hasil MCDM. Untuk lebih
jelasnya, kerangka pemikiran penelitan dapat dilihat pada gambar 3.1.

13
Masalah :
1. 40 % Cadangan dunia Potensi Energi Panas Bumi ada di Indonesia, 70 % berada di
kawasan Hutan.
2. Kebijakan pemanfaatan Panas Bumi belum mendukung secara komprehensif guna
mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil
3. Dampak Pengelolaan Energi Panas Bumi terhadap Lingkungan, Sosial, Ekonomi
Kondisi yang ada :
1. Kebijakan Pemerintah Pusat & Daerah : UU No 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan , UU No. 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, Peraturan Daerah
Prov. Jabar No. 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Panas Bumi.
2. Deplesi dan Degradasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan akibat pengelolaan
energi Panas Bumi di Kawasan Kamojang.
3. Masalah sosial masyarakat
4. Pengelolaan Energi panas bumi belum optimal

Ekonomi Lingkungan Sosial Kelembagaan

Pengelolaan Peraturan &


Kondisi Kondisi Sosial
Energi Panas Kelembagan
Kawasan Hutan Masyarakat di
Bumi Pengelolaan
Kamojang Kamojang
Energi
Panas Bumi

Analisis Ekonomi Nilai ekonomi


langsung Energi air & Analisis Analisis Analisis
Panas Bumi Deplesi Konflik Stakeholder
Analisis Nilai

Menentukan kriteria dan alternatif yang Relevan


dalam Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi
Kontribusi pada Kelestarian Hutan Pemberdayaan Peraturan Pro
Pendapatan & Ketersediaan air Masyarakat Investasi &
Lingkungan

Menentukan pengukuran numerik (bobot) terhadap kriteria dan alternatif


Decision Making
Multi Criteria

Memproses nilai numerik menjadi alternative terbaik.

Membuat Formulasi Kebijakan Pengelolaan Sumber


daya energi Panas Bumi di Kamojang, Jawa Barat

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

14
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi yang menjadi objek penelitian adalah Kawasan Pertambangan
PT. Pertamina Geothermal Energi (PGE) area Kamojang, tepatnya di
Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung dan Kecamatan Samarang,
Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat. Waktu pengambilan data lapangan
dilakukan pada bulan Agustus Oktober 2013.
Lokasi ini dipilih karena pengelolaan panas bumi di area Kamojang
oleh PGE merupakan pengelolaan panas bumi yang pertama kali di
Indonesia dan berada di kawasan hutan Cagar Alam Kamojang dibawah
Pengawasan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Direktorat
Jenderal RLPS, Kementerian Kehutanan dan berdampingan langsung
dengan masyarakat setempat (PGE, 2012).

4.2. Jenis dan Sumber Data


Data penelitian yang digunakan adalah data dari 4 kriteria yang diteliti
antara lain aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Jenis data
yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait
di perusahaan PGE, Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Asosiasi Panas Bumi
Indonesia, Direktorat EBTKE, Kementerian ESDM, Direktorat PHKA
Kementerian Kehutanan, Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung, Badan
Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Perum Perhutani Unit 3 Jawa
Barat & Banten dan masyarakat setempat.
Data sekunder dikumpulkan dengan studi literatur dan data yang ada
pada PGE dan instansi-instansi yang terkait lainnya, yaitu pemerintah
daerah Propinsi Jawa Barat, Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung, Badan
Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, serta Perum Perhutani Unit 3
Jawa Barat & Banten.

4.3. Metode Penentuan Sampel


Metode pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling,
yaitu pemilihan sampel secara sengaja dengan pertimbangan bahwa
responden adalah pihak-pihak yang terkait dengan penelitian. Pemilihan
responden secara sengaja bertujuan untuk mendapatkan informasi yang jelas
tentang kondisi di lapangan dan memiliki kepentingan dan pengaruh
terhadap pengelolaan energi panas bumi di kawasan Kamojang, Jawa Barat.
Responden dalam penelitian ini dibagi berdasarkan metode penelitian
yang digunakan, terdiri atas beberapa kelompok yaitu :
1. Responden untuk analisis deskriptif dan analisis stakeholder berjumlah
10 orang sebagai key information, terdiri dari :
1). Tokoh masyarakat,
2). Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) atau Asosiasi
Panas Bumi Indonesia (API),
3). PT. Pertamina Geothermal Energy (PGE),

15
4). Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan,
5). Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM,
6). Balai Konervasi Sumber Daya Alam Propinsi Jawa Barat,
7). Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Barat,
8). Perum Perhutani Unit 3 Jawa Barat & Banten,
9). Badan Perencana Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat,
10). Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Garut, serta aparat
pemerintah daerah terkait yang memahami kondisi lokasi
penelitian.
2. Responden dari masyarakat setempat dipilih dengan purposive
sampling berjumlah 60 Kepala Keluarga (KK) atau orang yang
dianggap sebagai kepala keluarga dari satu unit keluarga, terdiri dari
masyarakat umum yang tinggal dan bermukim di lokasi penelitian.
Responden tersebut terdiri dari 15 KK di Desa Laksana dan 15 KK
Desa Ibun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, dan 15 KK di Desa
Tanjung Sari dan 15 KK di Desa Kecamatan Samarang, Kabupaten
Garut, Jawa Barat.

4.4. Matriks Penelitian


Matriks penelitian bertujuan untuk melihat tujuan, Jenis Data dan
metode analisis yang dilakukan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel 4.1.

Tabel 4.1. Matrik Penelitian : Tujuan, Jenis Data dan Metode Analisis
No Tujuan Jenis Data yang Metode Analisis
Diperlukan
1. Mengetahui nilai a. Laporan tahunan PGE, a. Deskriptif melalui
ekonomi langsung biaya operasional, biaya data primer dan
energi panas bumi di lingkungan dan biaya- data sekunder
kawasan PGE area biaya lainnya. yang dimiliki
Kamojang. PGE.
b. Nilai ekonomi
langsung Energi
panas Bumi
2. Mengetahui nilai a. Laporan Kegiatan a. Nilai ekonomi air
ekonomi air dan nilai Lingkungan PGE tanah
deplesi kawasan Kamojang b. Analisis benefit
hutan PGE area b. Laporan AMDAL transfer
Kamojang. PGE terkait dengan
Lingkungan
3. Mengetahui peran a. Identifikasi para pihak a. Analisis konflik
para pihak dalam (Stakeholder) yang b. Analisis
pengelolaan terlibat stakeholder,
sumberdaya energi b. Nilai kepentingan dan c. Deskriptif
panas bumi di PGE pengaruh masing- melalui
area Kamojang serta masing stakeholder wawancara
potensi konflik para dengan pihak
pihak. terkait

16
No Tujuan Jenis Data yang Metode Analisis
Diperlukan
4. Mengatahui Peraturan-peraturan yang ada Deskriptif melalui
Peraturan-peraturan tentang pengelolaan panas studi literature dan
yang ada tentang bumi, baik pemerintah pusat wawancara dengan
pengelolaan panas maupun pemerintah daerah pihak terkait
bumi dan
permasalahan yang
terjadi.
5. Formulasi kebijakan a. Nilai ekonomi langsung a. Deskriptif melalui
pengelolaan panas energi panas bumi. wawancara dengan
bumi di PGE area b. Nilai deplesi panas bumi pihak terkait.
Kamojang c. Nilai deplesi kawasan b. Analisis
hutan MCDM/Topsis
d. Nilai ekonomi air tanah
e. Hasil analisis konflik
f. Hasil analisis
stakeholder

4.5. Metode Analisis Data


Metode analisis untuk mengolah data yang di peroleh, adalah sebagai
berikut :

4.5.1. Analisis Deskriptif


Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan secara detail
tentang bagaimana pengelolaan energi panas bumi di PGE area
Kamojang Jawa Barat. Serta menjelaskan upaya-upaya yang sudah
dilakukan terhadap dampak lingkungan yang ditimbukan dari kegiatan
tersebut.

4.5.2. Nilai Ekonomi Langsung Energi Panas Bumi


Simanjuntak (2012), menyatakan bahwa nilai ekonomi untuk
suatu ekosistem seperti produk dan jasa yang berkontribusi terhadap
barang-barang komersial yang ada di pasar disebut metode
produktifitas (productivity method). Metode produktifitas ini
digunakan untuk mengetahui kualitas lingkungan secara langsung,
apakah mempengaruhi biaya produksi sumberdaya alam yang
dipasarkan. Keuntungan dari metode produktifitas secara umum
merupakan metode yang dilakukan secara langsung serta persyaratan
data yang terbatas dan data yang relevan serta tersedia, metode ini
dapat relatif murah untuk di terapkan. Metode produktifitas dapat
digunakan untuk menghitung nilai ekonomi langsung dari energi
panas bumi dengan persamaan sebagai berikut :

NEPB = (Q x P) IC .................................. (4.1)


Keterangan :
NEPB : Nilai Ekonomi Panas Bumi (Rp)
Q : Jumlah produksi Energi panas bumi perjam (KWh)
P : Harga Panas Bumi (Rp/KWh)
IC (Input Cost) : Biaya non-sumberdaya alam (Rp)

17
Dengan menggunakan nilai atau satuan moneter sebagai
perantara, maka dalam satu satuan akan didapatkan keseluruhan
jumlah dari sumberdaya alam.

4.5.3. Deplesi Sumberdaya Hutan


Selain menghitung deplesi dari sumberdaya energi panas bumi,
aspek lingkungan juga menghitung deplesi yang terjadi pada hutan,
mengingat pengelolaan energi panas bumi berada di kawasan hutan
lindung. Walaupun dilaksanakan dengan metode penambangan bawah
tanah, pada awal pembangunan tetap melakukan pembukaan lahan
untuk keperluan kantor, perumahan karyawan, pembangkit listrik dan
perumahan karyawan. Perlu diketahui berapa luas kawasan hutan
dipakai untuk pengelolaan energi panas bumi oleh PGE di rea
Kamojang, untuk dapat diperkirakan nilai deplesi dari kawasan hutan
di PGE area Kamojang.

Tabel 4.2. : Rata-rata Nilai Jasa Hutan Indonesia


Nilai Jasa Hutan
Jenis Nilai Jasa Hutan yang (Rp/hektar/tahun)
Dihasilkan Hutan
Hutan Lindung Hutan Pimer
Sekunder
Nilai Ekonomi Total 42.666.000 24.329.520 23.590.350
Atas dasar penggunaan 40.352.200 23.215.590 22.708.890
Nilai penggunaan langsung 25.319.600 12.747.150 10.805.850
Kayu 7.863.100 7.083.090 6.235.110
Kayu bakar 19.800 18.270 18.270
Produk hutan non-kayu 3.675.400 5.596.470 4.503.060
Konsumsi air 13.761.300 49.410 49.410
Nilai penggunaan tak langsung 15.032.500 10.468.440 11.903.040
Konservasi air dan tanah 5.367.300 4.830.570 4.660.920
Penyerap karbon 706.700 763.290 3.180.330
Pencegah banjir 6.874.400 2.998.980 2.849.040
Transportasi air 748.600 673.740 673.740
Keanekaragaman hayati 1.335.600 1.202.040 539.100
Atas dasar bukan penggunaan 2.313.800 1.113.840 881.460
Nilai opsi 978.300 395.100 342.360
Nilai keberadaan 1.335.600 718.830 539.100
Sumber : (M. Suparmoko dkk dalam KLH 2012)

Nilai deplesi kayu, kayu bakar keaneka ragaman hayati dan air
diperkirakan dengan pendekatan benefit transfer dengan meminjam
nilai sumberdaya hutan yang telah diteliti sebelumnya terlihat pada
tabel 4.2. mengacu pada Panduan Valuasi Ekonomi Kegiatan
Pertambangan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2012).

18
4.5.4. Nilai Ekonomi Air Pengelolaan Panas Bumi
Air merupakan sumber daya termasuk pada sumber daya yang
dapat diperbaharui maupun tidak dapat diperharui (Fauzi, 2004).
Selanjutnya, Fauzi (2004) menjelaskan bahwa air yang diperoleh dari
bawah tanah atau ground water, dihasilkan melalui proses geologi
selama ribuan tahun lamanya, meskipun memiliki kemampuan untuk
memulihkan kembali, jika jumlah yang dimanfaatkan melebihi
kemampuannya untuk recharge, air tanah dapat menjadi sumber daya
yang tidak dapat diperbaharui.
Pengelolan panas bumi memiliki keterkaitan yang erat dengan
sumber daya air tanah, dimana uap panas yang keluar dari sumur
produksi memiliki kandungan air. Masa jenis uap air lebih kecil
dibandingkan dengan masa jenis air, sekitar 0,60 Kg/M3. Dalam
menghitung nilai ekonomi air dalam pengelolaan panas bumi,
dilakukan dengan menghitung niali ekonomi dari air tanah yang
digunakan dengan shadow price dan menghitung nilai ekonomi air
yang digunakan untuk penambahan di sumur injeksi yang berasal dari
Sungai Cikaro dengan Opportunity Price menggunakan nilai ekonomi
iuran air irigasi.

1. Menghitung Nilai Ekonomi Air berdasarkan Harga Air Tanah


Penghitungan nilai ekonomi air tanah, mengacu pada Peraturan
Daerah Kabupaten Bandung Nomor 1 Tahun 2011, tentang Pajak Air
Tanah dan Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral
Nomor 1451 K/10/MEM/2000, tentang Pedoman Teknik Penentuan
Nilai Perolehan Air dari Pemanfaatan Air Bawah Tanah dalam
menentukan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah. Dasar dari
pengenaan pajak tersebut adalah 1). Jenis sumber air, 2). Lokasi
sumber air, 3). Volume air yang diambil, 4). Kualitas air, 5). Luas
areal tempat pemakaian air, 6). Musim pengambilan air, dan 7).
Tingkat kerusakan lingkungan akibat pengambilan air. Besarnya pajak
pemanfaatan air tanah maksimum adalah 20% (besar pajak air tanah)
dikalikan Nilai Perolehan Air (NPA). NPA adalah nilai air tanah yang
telah diambil dan dikenai pajak pemanfaatan air tanah, besarnya sama
dengan volume air yang diambil dikalikan dengan harga dasar air.
Nilai perolehan air mengandung dua komponen ialah Volume dan
harga dasar air (ESDM, 2000).
Cara menghitung NPA adalah volume air yang diambil (V),
dikalikan dengan harga dasar air (HAD). Harga dasar air adalah harga
air tanah per satuan volume yang akan dikenai pajak pemanfaatan air
tanah, besarnya sama dengan harga air baku dikalikan dengan faktor
nilai air. Harga Dasar Air besarnya ditentukan dari komponen sumber
daya alam, Bobot komponen sumber daya alam sebesar 60% dan
komponen kompensasi pemulihan, peruntukan dan pengelolaan
dengan bobot kompensasi sebesar 40% dari total HAD (ESDM,
2000).
Selanjutnya ESDM (2000), menyebutkan bahwa faktor
nilai air (FNA) adalah suatu bobot nilai dari komponen sumber daya

19
alam dan kompensasi pemulihan, peruntukan dan pengelolaan,
besarnya ditentukan berdasarkan subyek kelompok pengguna air serta
volume pengambilannya. Untuk menghitung FNA digunakan bobot
komponen sumber daya alam dan komponen kompensasi, terlihat
pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4.

Tabel 4.3. Bobot Komponen Sumber Daya Alam


No Kriteria Peringkat Bobot
Air bawah tanah, kualitas baik, ada sumber
1 3 9
air alternatif
Air bawah tanah, kualitas baik, tidak ada
2 2 4
sumber air alternatif
3 Air bawah tanah, kualitas jelek 1 1
Sumber : ESDM (2000)

Tabel 4.4. Bobot Komponen Kompensasi


Volume Range (M3)
No Peruntukan
0-50 51-500 501-1.000 1.001-2.500 > 2.500
1 Non niaga 1 1.1 1.2 1.3 1.4
2 Niaga kecil 2 2.2 2.4 2.6 2.8
3 Industri kecil 3 3.3 3.6 3.9 4.5
4 Niaga besar 4 4.4 4.8 5.2 5.6
5 Industri besar 5 5.5 6.0 6.5 7.0
Sumber : ESDM (2000)

Jumlah dari hasil perkalian antara persentase komponen sumber


daya alam dikalikan dengan bobotnya dengan hasil perkalian antara
persentase komponen kompensasi dikalikan dengan bobotnya
merupakan Faktor Nilai Air. Harga Dasar Air dirumuskan sebagai
berikut :

HDA = FNA x HAB ........................... (4.2)

Keterangan :
HDA : Harga Dasar Air (Rp/M3)
FNA : Faktor Nilai Air
HAB : Harga Air Baku (Rp/M3)

Nilai Perolehan Air (NPA) dirumuskan sebagai berikut:

NPA = V x FNA x HAB ........................... (4.3)

Ketarangan :
V : Volume (M3)
FNA : Faktor Nilai Air
HAB : Harga Air Baku (Rp/M3)

2. Menghitung Nilai Ekonomi Air berdasarkan Iuran Air Irigasi

20
Selain menggunakan benefit transfer dari pajak air tanah, juga
menggunakan Opportunity Price dari harga iuran air irigasi.
Sumaryanto (2006), menjelaskan bahwa harga air irigasi berkisar
antara terendah sekitar Rp. 11 /m3 dan tertinggi pada kisaran Rp. 84 /
m3 .
Shadow Price dari harga air tanah digunakan untuk menentukan
nilai ekonomi air tanah yang digunakan dalam pengelolaan panas
bumi di area Kamojang, sedangkan Opportunity Price dari harga iuran
air irigasi digunakan untuk menghitung nilai ekonomi air dari sungai
Cikaro yang di injeksi kedalam reservoir. Total dari penjumlahan nilai
ekonomi air dalam pengelolaan panas bumi di area Kamojang adalah
jumlah komulatif dari nilai ekonomi air tanah (shadow price) dan nilai
ekonomi iuran air irigasi (opportunity price).
Nilai Ekonomi Air Pengelolaan panas Bumi merupakan
gabungan antara Nilai Ekonomi Air Tanah (Shadow Price) ditambah
dengan Nilai Ekonomi Air Permukaan dari Sungai Cikaro
(Opportunity Price). Setelah diperoleh Nilai Ekonomi Air kemudian
dihitung Nilai Air yang akan dating. Nilai yang akan datang atau
future value adalah nilai uang di massa yang akan datang dengan
tingkat bunga tertentu. Future value atau nilai yang akan datang dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :

NAFn = NEP ( 1 + r )n ........................... (4.4)

Keterangan:
NEFn = Nilai Ekonomi Air yang akan datang
(Nilai pada akhir tahun ke n)
NEP = Nilai Ekonomi Air sekarang
(Nilai pada tahun ke 0)
r = Suku bunga
n = Jangka Waktu (Tahun)

4.5.5. Analisis Stakeholder


Analisis stakeholder digunakan untuk menganalisis data
mengenai stakeholder. Model analisis stakeholder yang digunakan
adalah model yang diperkenalkan oleh Reed et al. (2009). Tahapan
dalam melakukan analisis stakeholder adalah sebagai berikut :
1. Identifikasi stakeholder dan perannya
2. Identifikasi harapan-harapan yang muncul dari para stakeholder
terhadap program
3. Keuntungan-keuntungan/manfaat-manfaat apa saja yang mungkin
akan diperoleh para stakeholder
4. Membedakan dan mengkategorikan stakeholder berdasarkan
kepentingan dan pengaruhnya

Stakeholder adalah orang-orang, atau kelompok-kelompok, atau


lembaga-lembaga yang kemungkinan besar terkena pengaruh dari satu

21
kegiatan program/proyek baik pengaruh itu positif maupun negatif,
atau sebaliknya yang mungkin memberikan pengaruh terhadap hasil
keluaran program/proyek. Stakeholder dipetakan ke dalam matriks
analisis stakeholder berdasarkan besarnya kepentingan dan pengaruh.
Besarnya kepentingan dinilai berdasarkan :
1. Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan energi panas bumi,
2. Ketergantungan stakeholder terhadap pengelolaan energi panas
bumi,
3. Peran masing-masing stakeholder yang berkaitan dengan
pengelolaan energi panas bumi,
4. Manfaat yang diperoleh stakeholder dari pengelolaan energi panas
bumi, dan
5. Kepentingan stakeholder terhadap pengelolaan energi panas bumi
yang berkelanjutan.
Sedangkan besarnya pengaruh dinilai berdasarkan :
1. Instrumen dan sumber kekuatan (power) yang dimiliki masing-
masing stakeholder,
2. Posisi derajat Stakeholder dalam pembuatan keputusan,
3. Dukungan SDM terhadap pengelolaan sumberdaya energy panas
bumi,
4. Kemampuan Pendanaan dan Manajemen terhadap pengelolaan
sumberdaya energy panas bumi,
5. Interaksi dengan stakeholder lainnya,

Penilaian besarnya kepentingan dan pengaruh stakeholder


menggunakan skala likert yaitu nilai 5 : sangat tinggi, 4 : tinggi, 3 :
cukup, 2 : kurang, 1 : rendah. Jumlah nilai yang didapatkan oleh
masing-masing stakeholder adalah 25 poin untuk besarnya
kepentingan dan 25 poin untuk besarnya pengaruh. Setelah diketahui
besarnya nilai kepentingan dan pengaruh, masing-masing stakeholder
dipetakan ke dalam matriks kepentingan pengaruh pada gambar 4.1.
dengan menggunakan Software Minitab 16.
Pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung dan
kuisioner terhadap wakil dari masing-masing pihak yang
teridentifikasi dari hasil analisis aktor, pengolahan data kualitatif hasil
wawancara dikuantitatifkan dengan mengacu pada pengukuran data
berjenjang, seperti yang ditampilkan pada tabel 4.5 dan tabel 4.6.

Tabel 4.5. Ukuran Kuantitatif Kepentingan dari Stakeholder


Skor Kriteria Kepentingan
5 Sangat Tinggi Sangat bergantung pada keberadaan
sumberdaya panas bumi
4 Tinggi Ketergantungan tinggi pada keberadaan
sumberdaya panas bumi
3 Cukup Cukup bergantung pada keberadaan sumberdaya
panas bumi
2 Kurang Ketergantungan pada sumberdaya kecil
1 Rendah Tidak tergantung pada keberadaan sumberdaya
panas bumi

22
Tabel 4.6. Ukuran Kuantitatif Pengaruh dari Stakeholder
Skor Kriteria Pengaruh
5 Sangat Tinggi Sangat berpengaruh nyata terhadap aktifitas
aktor lain
4 Tinggi Berpengaruh terhadap aktifitas aktor
3 Cukup Cukup berpengaruh terhadap aktifitas aktor
2 Kurang Berpengaruh Sedikit terhadap aktifitas aktor
1 Rendah Tidak berpengaruh terhadap aktifitas aktor

Alat analisis selanjutnya adalah analisis grid, terlihat pada gambar


4.1. Hasil kuantitatif dari kepentingan dan pengaruh masing-masing
stakeholder dipetakan kedalam matrik dengan menggunakan Software
Minitab 16.

A B.
Tinggi Subjek / Subject Pemain / Player

Kepentingan C. D.
Rendah Penonton / Spectator Aktor / Actor
Rendah Pengaruh Tinggi

Gambar 4.1. Matriks kepentingan-pengaruh (Reed et al. 2009)

4.5.6. Analisis Konflik (Aspek Sosial)


Analisis berbagai konflik pemangku kepentingan (stakeholder)
dalam pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di kawasan
kamojang menggunakan pendekatan yang dilakukan Fischer, F. et al.
(2007). Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam metode analisis ini,
sebelumnya dipahami dahulu mengapa konflik itu terjadi :
1) Identifikasi kelompok yang terlibat, dan tidak hanya kelompok
yang menonjol saja.
2) Memahami pandangan semua kelompok dan lebih mendalami
bagaimana hubungan mereka satu sama lain.
3) Identifikasi faktor-faktor dan kecenderungan-kecenderungan
yang mendasari konflik.
4) Belajar dari kegagalan dan juga kesuksesan.

Pada tahap analisis ini dilakukan pemetaan konflik, identifikasi


wujud dan jenis konflik, dan identifikasi terhadap jenis penyelesaian
konflik dalam pengelolaan konflik pemanfaatan sumber daya energi
panas bumi di kawasan Kamojang, Jawa Barat.

4.5.7. Formulasi Kebijakan dengan MCDM


Menurut Fauzy (2012), langkah-langkah dalam MCDM, yaitu :
1). Menentukan kriteria dan alternatif yang relevan, 2). Menentukan
pengukuran numerik (bobot) terhadap kriteria dan alternatif, dan 3).
Memproses nilai numerik menjadi alternatif terbaik. Formulasi
kebijakan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di Kamojang

23
menggunakan 4 kriteria umum yaitu : 1). Ekonomi, 2). Lingkungan,
3). Sosial dan 4). Aturan kelembagaan. Sedangkan untuk alternatif-
alternatif kebijakan diperoleh melalui wawancara langsung maupun
kuisioner. Penentuan pengukuran numerik (pembobotan) terhadap
kriteria dan alternatif-alternatif kebijakan dilakukan melalui
wawancara dengan pemangku kepentingan. Berdasarkan hasil
wawancara langsung maupun kuisioner diperoleh nilai bobot untuk
masing-masing kriteria sebagai berikut : 1). Ekonomi 35 %, 2).
Lingkungan 30 %, 3). Sosial Masyarakat 25 % dan 4).
Kelembagaan/Peraturan 10 %, terliht pada tabel 4.4. Sedangkan
penilaian masing-masing kriteria dapat dilaihat pada lampiran 1.

Tabel 4.7. Matriks keputusan dengan menggunakan MCDM


Ekonomi Lingkungan Sosial Kelembagaan
Alternatif
35 % 30 % 25 % 10 %
Aliternatif 1 a11 a12 a13 a14
Aliternatif 2 a21 a22 a23 a24
Aliternatif 3 a31 a32 a33 a34
Aliternatif 4 a41 a42 a43 a44
Aliternatif 5 a51 a52 a53 a54
Aliternatif 6 a61 a62 a63 a64
Aliternatif 7 a71 a72 a73 a74
Aliternatif 8 a81 a82 a83 a84
Aliternatif 9 a91 a92 a93 a94
Alternatif 10 a101 a102 a103 a104
Keterangan :
- Ada sepuluh alternatif pilihan kebijakan yang relevan sebagai
formulasi dari hasil diskusi dan wawancara dengan key person
setelah diperoleh hasil analisis ekonomi langsung panas bumi,
deplesi kawasan hutan, nilai ekonomi air tanah, analisis konflik,
analisis stakeholder dan analisis deskripsi.
- Kriteria yang digunakan dalam penelitian ini merupakan faktor-
faktor yang diperoleh berdasarkan hasil dari wawancara dan
analisa.
- Masing-masing kriteria diberi bobot yang diberikan pada penelitian
ini didasarkan pada nilai-nilai yang dihasilkan dari simulasi dan
wawancara langsung dengan para pihak. Kriteria yang digunakan
adalah Ekonomi dengan bobot 35 %, Lingkungan 30 %, Sosial
20 % dan kelembagaan sebesar 10%.

Setelah diperoleh nilai bobot masing-masing kriteria dan


alternatif dilakukan analisis MCDM/Topsis dengan menggunakan
program Sanna. Langkah-langkah algoritma dari TOPSIS ini
adalah sebagai berikut :

1. Rangking Tiap Alternatif


TOPSIS membutuhkan ranking kinerja setiap alternatif
Ai pada setiap kriteria Cj yang ternormalisasi yaitu :

24
......................... (4.5)

Keterangan :
i = 1, 2,..., m dan
j = 1, 2,..., n

2. Matriks keputusan ternormalisasi terbobot


yij = wi rij ........................... (4.6)
Keterangan :
i = 1, 2,..., m dan
j = 1, 2,..., n

3. Solusi Ideal Positif Dan Negatif


Solusi ideal positif A+ dan solusi ideal negatif A- dapat
ditentukan berdasarkan ranking bobot ternormalisasi (yij)
sebagai berikut :

A+ = (y1+, y2+, , yn+), ......................... (4.7)


A- = (y1-, y2-, , yn-), ......................... (4.8)

Keterangan :
y+j adalah : max yij, jika j adalah atrribut keuntungan
min yij, jika j adalah atrribut keuntungan
y-j adalah : min yij, jika j adalah atrribut keuntungan
max yij, jika j adalah atrribut keuntungan

4. Jarak Dengan Solusi Ideal

......................... (4.9)

......................... (4.10)

5. Nilai Preferensi Untuk Setiap Alternatif


Nilai preferensi untuk setiap alternatif (Vi) diberikan
sebagai :
......................... (4.11)

25
Keterangan :
i : 1,2,...,m

Nilai Vi yang lebih besar menunjukkan bahwa alternatif Ai


lebih dipilih. Solusi ideal positif didefinisikan sebagai jumlah dari
seluruh nilai terbaik yang dapat dicapai untuk setiap atribut,
sedangkan solusi negatif-ideal terdiri dari seluruh nilai terburuk
yang dicapai untuk setiap atribut. TOPSIS mempertimbangkan
keduanya, jarak terhadap solusi ideal positif dan jarak terhadap
solusi ideal negatif dengan mengambil kedekatan relatif terhadap
solusi ideal positif.

26
BAB 5
KONDISI UMUM KAWASAN
PT. PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGY

5.1. Letak Geografis dan Administrasi


Kegiatan pengelolaan energi panas bumi oleh PGE Area Kamojang
berdasarkan letak geografis berada pada posisi 107o3729 BT sampai
dengan 107o3729 BT dan 07o0000 LS sampai dengan 07o2000LS
(Yusri, 2012).

(Sumber : PGE, 2011)


Gambar 5.1. Denah Pengelolaan Panas Bumi PGE di Kamojang, Jawa Barat

Gambar 5.1, menjelaskan secara administrasi berada di perbatasan


Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut, yaitu : Desa Laksana,
Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat, sekitar 40 km
arah tenggara dari Kota Bandung dan Desa Sukakarya, Kecamatan
Samarang, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat, sekitar 23 km dari Kota
Garut. Lokasi PGE berada di kawasan Cagar Alam Kamojang berada
dibawah pengelolaan Balai Konservasi Sumber daya Alam (BKSDA) Jawa

27
Barat, berada pada jalur Transmisi Jawa Madura dan Bali (Jamali).
Meskipun berada di kawasan hutan cagar alam, kawasan PGE memiliki
kawasan yang langsung berhubungan dengan masyarakat sekitar yang
berada di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung.

5.2. Potensi dan Pengelolaan Energi Panas Bumi PGE, Kawasan Kamojang,
Jawa Barat
Negara kita memiliki potensi sumber panas bumi terbesar di dunia
yang setara dengan 29.038 Mw3. Sebagai salah satu sumber energi
terbarukan yang juga ramah lingkungan, energi panas bumi sangat
berpotensi sebagai alternatif pengganti sumber energi fosil yang tidak
terbarukan dan menghasilkan dampak lingkungan berupa emisi gas rumah
kaca CO2 (ESDM, 2005)
Pengembangan energi panas bumi di Indonesia diawali dengan
peresmian lapangan Panas Bumi Kamojang pada tanggal 29 Januari 1983.
Energi panas bumi yang dihasilkan dari lapangan itu digunakan untuk
menggerakkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) Unit-1 yang
menghasilkan listrik sebesar 30 MW dan mulai beroperasi pada 7 Februari
1983. Pengoperasian lapangan dan PLTP Unit-1 ini merupakan hasil dari
berbagai upaya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi geothermal di Indonesia
yang telah diinisiasi oleh PT Pertamina (Persero) sejak tahun 1974.
Menurut data dari Dinas ESDM, Provinsi Jawa Barat (2008), di
Propinsi Jawa Barat terdapat 23 kawasan yang memiliki prospek
pengembangan energi panas bumi, dengan total potensi energi yang
dihasilkan sebesar 2.861,7 Mwatt atau 21,9% dari Total potensi di
Indonesia, tersebar di 11 Kabupaten. Sebagian besar sudah dilakukan
pengelolaan dengan kapasitas terpasang 1.027 Mwatt. Keberadaan potensi
energi Panas bumi tersebut sebagian besar berada di kawasan hutan baik
hutan lindung maupun hutan konservasi. Kontribusi energi panas bumi di
provinsi Jawa Barat terhadap nasional adalah yang terbesar berasal dari
Kamojang 200 MWatt, Awi Bengkok Gunung Salak, terpasang sebesar 6 x
55 MWatt dan terbangkitkan 375 MWatt, Drajat 270 MWatt dan Wayang
Windu 270 MWatt. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.1.
sebagai berikut.

3
Indonesia saat ini baru mengembangkan energi panas bumi untuk pembangkit listrik sebesar 1.189 Mw (4,3%).
Sebagai acuan dari Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 sebagai penjabaran dari Peraturan Presiden No
5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, energi panas bumi diharapkan berkontribusi sedikitnya 16 Gw di 2025

28
Tabel 5.1. Prospek Panas Bumi di Provinsi Jawa Barat
Potensi Terpasang
No Kawasan Prospek Pengembang
(Mwatt) (Mwe)
PT. Chevron Geothermal
1. Awi Bengkok 495 330
Salak
2. Cisolok-Cisukarame 58 - PT. Jabar Rekind Geothermal
PT. Pertamina Goethermal
3. Gede Pangrango 131 -
Energy (PGE)
Kerjasama PT. Pertamina
4. Patuha 163 - Goethermal Energy (PGE) dan
PT. Geodipa Energy
5. Cibuni 33 - PT. Yala Tekno Geothermal
6. Papandayan 197 - -
7. Ciater 6 - PT. Wahana Sembada Sakti
PT. Tangkuban Perahu
8. Tangkuban Perahu 79 -
Geothermal Power
PT. Pertamina Goethermal
9. Kamojang 300 200
Energy (PGE)
Kerjasama PT. Pertamina
Goethermal Energy (PGE)dan
10. Darajat 400 270
PT. Chevron Geothermal
Indonesia
PT. Wijaya Karya Jabar
11. Tampomas 34 -
Power
PT. Pertamina Goethermal
Energy (PGE)dan PT. Star
12. Wayang Windu 440 227
Energy Geothermal Wayang
Windu
13. Galunggung 81 - -
PT. Pertamina Goethermal
14. Karaha Bodas 214 -
Energy (PGE)
15. Gunung Kromong 77 - -
Sudah Lelang tapi Ijin Usaha
16. Gunung Ciremai 111 -
Pertambangan belum terbit
17. Panulisan 10,5 - -
18. Subang 20 - -
19. Ciheuras 1,5 - -
20. Ciseeng 0,3 - -
21. Jampang 10 - -
22. Gunung Sawal - - -
23. Tanggeng-Cibungur 0,4 - -
2.861,7 1.027
Sumber : Dinas ESDM, Provinsi Jawa Barat (2013)

5.3. Proses Produksi Pengelolaan Energi Panas Bumi di Pertamina


Geothermal Energy
PT. Pertamina Goethermal Energy (PGE) didirikan pada tanggal 12
Desember 2006 sebagai anak perusahaan PT. Pertamina (Persero) dan PT.
Pertamina Dana Ventura dengan tujuan untuk turut berkontribusi dalam
pemenuhan kebutuhan akan sumber energi alternatif yang ramah lingkungan
dan terbaharukan melalui pemanfaatan potensi panas bumi. Perusahaan saat
ini mengelola aktivitas pemanfaatan panas bumi baik pada sisi hulu, dengan
melakukan berbagai aktivitas mulai dari survey eksplorasi sumber-sumber
panas bumi yang tersebar di seluruh Nusantara, sampai dengan pada sisi

29
hilir, yakni dengan melakukan proses pembangkitan dan pengelolaan energi
panas bumi menjadi energi listrik.
Kawasan Panas Bumi Kamojang mulai dieksplorasi pada tahun 1926,
sampai sekarang sudah dilakukan 77 kali pengeboran sumur dengan total
kapasitas produksi panas bumi PGE di kawasan Kamojang adalah 200 Mwe,
dengan rincian sebagai berikut Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
(PLTP) Unit-1, Unit-2, Unit-3 dengan total kapasitas terpasang 140 Mwe
yang dioperasikan oleh PLN serta PLTP Unit-4 sebesar 60 Mwe yang
dioperasikan oleh PGE.

Tabel 5.2. Data Periode Pengeboran Sumur di Kawasan Kamojang.


Jumlah Kedalaman
No Periode Pelaksana
Sumur (mku)
1. 1926 1928 5 66 128 Pemerintah Belanda
2. 1974 1975 5 536 753 Pertamina dg GENZL
3. 1976 1979 10 935 1.800 Pertamina dg GENZL
4. 1979 1986 25 1.150 2.200 Pertamina
5. 1986 Sekarang 32 1.003 2.200 Pertamina
Sumber : PGE (2012)

Panas bumi yang dihasilkan Kamojang sebagai hasil dari proses


hidrothermal yang mempunyai temperatur tinggi, suhu panas bumi dibawah
permukaan sekitar 245 derajat celicius dengan tekanan dibawah permukaan
sekitar 25 KSC (kilogram/cm2). Sistem panas bumi ini terbentuk secara
alami sebagai hasil perpindahan panas dari suatu sumber panas
sekelilingnya yang terjadi secara konduksi dan secara konveksi.
Perpindahan panas secara konduksi terjadi melalui batuan inklusif
magmatik, sedangkan perpindahan panas secara konveksi terjadi karena
adanya kontak antara air dengan suatu sumber panas. Panas bumi yg
digunakan PGE termasuk sistem hidrothermal dengan sistem dominasi uap,
yang merupakan sistem panas bumi dimana reservoirnya mempunyai
kandungan uap yang sangat dominan. Uap yang dihasilkan 99,9 persen
berupa uap kering dengan suhu 225 sampai dengan 230 derajat Celsius
(PGE, 2012).

Gambar 5.2. Sumur Produksi Panas Bumi

30
Prinsip Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi,dimana uap yang
dihasilkan dari sistem hidrothermal didalam reservoir panas bumi. Dengan
melakukan pengeboran sumur produksi sekitar 1.200 1.500 meter sampai
dengan reservoar. Sumur-sumur produksi tersebut ada diberbagai lokasi
berkelompok membentuk klaster. Setiap klaster terdiri dari 1 sampai 6
sumur. Jumlah klaster seluruhnya adalah 33 klaster, dengan total sumur
sebanyak 77. Luas tiap klaster sekitar 2 sampai dengan 3 hektar, total luas
area yang digunakan untuk sumur sekitar 99,02 hektar.

Tabel 5.3. Jumlah Sumur di Tiap-tiap Klaster


Jumlah
No Klaster Sumur Keterangan
Sumur
1. 1 KMJ-11 1
2. 2 KMJ-14 1
3. 3 KMJ-18, 16 2
4. 4 KMJ-17 1
5. 5 KMJ-20, 67 2
6. 6 KMJ-51, 56, 55, 09 4
7. 7 KMJ-24, 72 2
8. 8 KMJ-43, 44, 59 3
9. 9 KMJ-22, 29, 41, 10 4
10. 10 KMJ-28,34, 37 3
11. 11 KMJ-31, 33, 52 3
12. 12 KMJ-38, 45 2
13. 13 KMJ-30, 36 2
14. 14 KMJ-26, 35, 42, 65 4
15. 15 KMJ-27, 40, 46, 62 4
16. 16 KMJ-63, 73, 74 3
17. 17 KMJ-6 1
18. 18 KMJ-7 1
19. 19 KMJ-12 1
20. 20 KMJ-13 1
21. 21 KMJ-15 1
22. 22 KMJ-21, 08 2
23. 23 KMJ-25, 39, 47 3
24. 24 KMJ-54 1
25. 25 KMJ-64 1
26. 26 KMJ-32 1
27. 27 CHR-1 1
28. 28 KMJ-48, 49, 58, 66, 68, 71 6 Sumur Produksi 60 MWe
29. 29 KMJ-69, 75, 76 3 Sumur Produksi 60 Mwe
30. 30 KMJ-70 1 Sumur Produksi 60 Mwe
31. 31 KMJ-19, 23, 60, 61 4 Sumur Produksi 60 Mwe
32. 32 KMJ-53, 57, 59 3 Sumur Produksi 60 Mwe
33. 33 KMJ-01, 02, 03, 04, 05 5 Abandon (Peninggalan
Belanda)
Jumlah Total Sumur 77
Sumber : PGE (2012)

Sampai saat ini PGE memiliki 31 sumur produksi, 15 sumur pantau, 5


sumur injeksi, 9 sumur abandon (Peninggalan Belanda), dan 17 sumur untuk
keperluan PLTP Unit 4 produksi 60 Mwe. Fluida panas bumi yang keluar
dari kepala sumur sebagai campuran fluida satu fasa (dominasi uap),
didominasi oleh uap air Murni (H2O), dan tergolong sebagai uap kering.

31
Kandungan kimiawi yang terdapat pada uap panas tersebut diantaranya
cairan sekitar 0,02 %-berat (Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium,
Silika, Sulfat, Klorida dan lain-lain) dan adanya gas-gas yang tidak ter-
kondensasi sekitar 0,2 % mol seperti, CO2, H2S, dan gas lainnya. Untuk
lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.4. Komposisi Kimiawi Uap Panas dari Sumur Produksi


No Jenis Komposisi
A. Cairan (Fluida)
1. pH 4,08 4,48
2. TDS 4 -14 ppm
3. Natrium (Na+) 0,020 0,076 ppm
4. Kalium (K+) 0,070 0,193 ppm
5. Kalsium (Ca2+) < 0,001 0,029 ppm
6. Magnesium (Mg2+) < 0,001 0,004 ppm
7. Amonia (NH4+) -
8. Litium(Li+) < 0,001 ppm
9. Besi total < 0,001 ppm
10. Fluor (F) 0,010 0,004 ppm
11. Belerang (S2-) 53,39 94,81 ppm
12. Bikarbonat (HCO3-) 1,44 9,69 ppm
13. Klorida (Cl-) <1 ppm
14. Sulfat (SO42-) <14 ppm
15. Boron (B) 0,28 2,91 ppm
16. Silika (SiO2) < 0,1 ppm
B. Gas (Non Condensable Gas)
17. CO2 64,07 155,9 mmol/100 mol kondensat
18. H2S 7,20 10,25 mmol/100 mol kondensat
19. Gas Residu 3,32 8,06 mmol/100 mol kondensat
Sumber : Pertamina (2005)

Uap panas bumi yang dihasilkan di salurkan melalui jaringan pipa


(PL-401, PL-402, PL-403, dan PL-404) yang sudah di isolasi dengan
kalsium silikat dan alumunium sheet, sedangkan pipa reinjeksi di isolasi
dengan cat, aluminium dan rock wool. Sepanjang jaringan pipa uap panas
terkondensasi menjadi air, air tersebut disalurkan melalui parit-parit kecil di
sapanjang jaringan pipa. Isolasi jaringan pipa ini dilakukan untuk menjaga
suhu dari uap tersebut tetap tinggi dan tidak ada temperature loss ketika
sampai di pembangkit listriknya. Selain itu, isolasi dilakukan untuk
pengamanan mengingat suhu uap sangat tinggi.

32
Gambar 5.3. Pipa Penyaluran Panas Bumi dari Sumur Produksi ke
Pembangkit

Kapasitas uap yang dialirkan pada masing-masing jaringan pipa


tersebut, PL-401 sekitar 270,1 ton/jam, PL-402 sekitar 197,9 ton/jam, PL-
403 sebesar 315,5 ton/jam dan PL-404 sebesar 316,5 ton/jam. Panjang total
jaringan pipa produksi adalah 13.994,4 meter, sedangkan panjang total
untuk pipa reinjeksi adalah 7.390 meter. Tabel 5.5. menyajikan jumlah uap
yang dialirkan melalui jaringan-jaringan pipa serta ukuran dimensi pipa.

Tabel 5.5. Uap pada Jaringan Pipa Produksi dan Ukuran Dimensi Pipa
Jaringan Pipa Jumlah Uap Panjang Pipa Diameter Pipa
No
Produksi (Ton/Jam) (Meter) (Inch)
1. PL-401 270,1 3.431,2 10 s.d. 32
2. PL-402 197,9 2.605,1 10 s.d. 24
3. PL-403 315,5 5.144,2 10 s.d. 40
4. PL-404 316,5 2.813,9 10 s.d. 40
Total 1.100 13.994,4
Sumber : PGE (2012)

Gambar 5.4. Separator Di Pembangkit Listrik

33
Uap panas yang disalurkan melalui jaringan pipa-pipa tersebut sampai
di pembangkit sekitar 1.100 ton/jam. Hal ini dimungkinkan dengan fluida ke
dalam separator untuk pemurnian pemisahan antara uap dengan material
lain, dimana fasa uap akan terpisah dari fasa cairnya, uap yang dipisahkan
kemudian dialirkan ke turbin, suhu 125 derajat celsius, dapat menggerakan
turbin, turbin mampu menggerakan generator.

Gambar 5.5. Turbin Pembangkit Listrik Panas Bumi

Turbin yang digunakan memiliki karakteristik sebagai berikut : power factor


sekitar 0,8 dengan frekwensi rata-rata 50 Hz, kecepatan putaran 3.000 rpm,
Insulation Class F, Exciter type Brushless, Tipe Single casing double flow
reaction, Rata-rata output yang dihasilkan 63.000 KiloWatt, Tekanan Uap
11,0 bar abs, Suhu uap sekitar 184,07 C, dan Exhaus pressure 0.16 bar abs

Gambar 5.6. Generator Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi

34
Setelah melewati turbin dan diambil energinya uap panas bumi
mengalami turun tekanan (drop Preasure). Sebagian besar uap, sekitar 85%
atau sebanyak 934,4 ton/jam dilepaskan ke udara melalui coolling tower,
sebagian lagi, 15 % atau 165.6 ton/jam dikondensasikan menjadi air dengan
suhu 60 derajat celsius, dialirkan ke cooling tower untuk mendinginkan air,
air yang dihasilkan cooling tower digunakan pada kondensor. Kemudian air
tersebut di injeksikan kembali ke reservoar melalui sumur injeksi.

Gambar 5.7. Tempat pembuangan gas (Cooling Tower)

Sumur injeksi ada 8 buah yang digunakan ada 4 sumur injeksi.


Kondensat yang diinjeksikan ke dalam tanah sebanyak 165,5 ton/jam, untuk
memelihara kelestarian dan ketersediaan air di reservoar, selain itu juga
diinjeksikan pula air tambahan dari Sungai Cikaro sebanyak 117,6 ton/jam.
Jadi total air yang diinjeksikan ke dalam tanah adalah 283,2 ton/jam. Suhu
air yang diinjeksikan sekitar 30 derajat celsius. Tidak menggunakan air
permukaan, karena sumur produksi sampai kedalaman 700 meter di casing,
tidak ada interaksi antara air permukaan dengan air dari reservoar.
Pertamina (2005), hasil Kaji Ulang Amdal Pengembangan Lapangan
Kamojang menyebutkan bahwa massa air kondensat yang diinjeksikan tidak
sama dengan massa uap yang keluar dari sumur produksi, terjadi
pengurangan jumlah air di dalam reservoar. Dengan menggunakan masa
jenis uap air 0,60 Kg/dm3, maka total air yang keluar dari sumur produksi
sekitar 660 ton/jam. Massa air yang berkurang tersebut adalah sebagai
berikut : Jumlah air yang keluar dari sumur produksi jumlah air yang
diinjeksikan melalui sumur reinjeksi, sama dengan 660 ton/jam 283,2
ton/jam = 376,8 ton/jam. Adanya air yang digunakan dari sungai Cikaro
untuk menambah injeksi sebanyak 117,6 ton/jam, terjadi pengurangan debit
dari sungai tersebut. Debit sungai Cikaro 150,25 m3 atau 9.015 ton/jam,
mengalami penurun debit sekitar :
117,6 ton/jam x 100% = 1.30 %
9.015 ton/jam

35
Gambar 5.8. Sumur reinjeksi air yang sudah di kondensat

Energi panas bumi yang dihasilkan pada Unit 1, Unit 2 dan Unit 3
disalurkan dalam bentuk uap pada pembangkit listrik milik Indonesia Power
sebesar 140 MWe, sedangkan Energi yang di hasilkan dari PLTP Unit 4
Kamojang sebanyak 60 Mwe. Keduanya disalurkan ke sistem jaringan Jawa
Madura dan Bali (Jamali), bergabung dengan pembangkit listrik yang
lainnya. Sebelum masuk pada sistem jaringan Jawa Madura dan Bali, listrik
mengalami penyesuaian tegangan terlebih dahulu di switch yard 150 KV.
Sistem pembangkit listrik panas bumi yang masuk ke Jaringan Jawa Bali
diantaranya Kamojang, Gunung Salak, Darajat, dan Gunung Windu.

Gambar 5.9. Switch Yard Sebelum disalurkan ke Jaringan Jawa Madura


Bali

Dalam laporan Tahunan PGE (2012), menyebutkan bahwa total


kontribusi energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga
panas bumi yang ada di Jawa Barat adalah sekitar 944 MW dari 1.046
produksi nasional atau sekitar 79,83%. Pembangkit listrik tenaga panas
bumi yang berasal dari Kamojang sebesar 200 Mwe, Darajat sebesar 259
Mwe, Wayang Windu sebesar 110 Mwe, dan dari Gunung Salak sebesar
375 Mwe. Energi panas bumi yang dihasilkan 944 Mwe tersebut sebenarnya
baru sekitar 36,38% dari potensi yang ada sebesar 2.295 Mwe, sisanya

36
sebesar 1 520 Mwe masih dalam tahaqp pengembangan seperti Drajat III
dan Wayang Windu II, serta belum dioperasikan lapangan Patuha, Cibuni
dan Karaha Bodas.
Pada saat ini, nilai proyek pertambahan di PGE area Kamojang
tercatat sebagai berikut : 1). Efisiensi Biaya Proyek Pembangunan dalam
jumlah total 9%; 2). Besar kapasitas terpasang listrik, kapasitas Terpasang
63 MW (net > 60 MW); 3). Efisiensi Konsumsi Uap (Steam Spesifik
Konsumsi-SSC). Realisasi 6,703 ton / jam / MW dari 7,47 ton Rencana /
jam / MW; 4). Dominasi Tenaga Kerja Nasional. Hanya 11 Ekspatriat dari
2.430 pekerja (Sisanya adalah Tenaga Kerja Nasional); 5). Optimasi tata
letak untuk pengembangan Unit PLTP berikutnya; dan 6). Sukses untuk
merekomendasikan Penggunaan Pelumas Pertamina sebagai pelumas resmi
untuk Turbin PLTP Kamojang Unit-4. Kualitas Turbo-Lube 32 diakui oleh
Fuji Electric System, Jepang dan nol kecelakaan jam kerja selama proyek
2.496.059 jam orang.
PGE dalam bisnisnya fokus pada kegiatan untuk meningkatkan
produksi di tiga daerah operasi (Kamojang, Lahendong dan Sibayak).
Jumlah produk yang dihasilkan dari 3 daerah operasi yang ada 9,5 juta ton
uap dengan generasi 1,3 juta MWh. Selain itu, kontribusi KOB adalah
30.370.000 ton uap dan 4,1 juta MWh. Jumlah tahunan produk uap panas
bumi adalah 39.890.000 ton dengan pembangkit listrik dari 5,36 juta MWh.
(PGE, 2012).
Untuk percepatan pengembangan panas bumi dengan target produksi
100 ribu barel per hari pada 2017, dengan kapasitas terpasang 2.300 Mwe,
Pertamina membentuk Brigade 100K. PGE sendiri memiliki resource
sebesar 29.000 Mwe. Tapi sampai tahun 2011 baru utilitas sebesar 4 % atau
sekitar 292 Mwe. Mengacu pada roadmap PGE tahun 2020 2025, setelah
target produksi 400 Mwe tercapai, PGE berusha untuk menjadi center of
excellent sebagai perusahaan panas bumi terbesar di Indonesia, juga sebagai
perusahaan panas bumi terbesar di dunia pada tahun 2017, dengan kapasitas
2 025 Mwe 2 435 Mwe atau sebanding dengan 95.000 110.000 boepd4.
PGE, sampai saat ini memiliki 14 wilayah kerja pertambangan, tiga
daerah sudah menghasilkan yaitu, Kamojang dengan kapasitas produksi 200
Mwe, Lahendong 80 Mwe dan Sibayak 12 Mwe. Ditambah dengan enam
wilayah kerja Joint operating contract dengan mitra kerja, antara lain di
Salak dengan Chevron, Wayang Windu dengan Star Energy, Darajat dengan
Chevron dan Patuha dengan Geodipa. Untuk mempercepat produksi panas
bumi, PGE menyelesaikan 10 proyek, antara lain Ulu Belu unit 1, 2, 3 dan
4; Kotamobagu Unit 1 dan 2; Hulu Lais Unit 1 dan 2; Sungai Penuh Unit 1
dan 2; Lumut Balai Unit 1, Unit 2, Unit 3 dan Unit 4; Kamojang Unit 5 dan
Lahendong Unit 5 dan 6. Khusus untuk Kamojang PGE akan membangun
power plant dengan kapasitas produksi 60 Mwe (Energia, 2012).
Untuk masalah kinerja perusahaan terkait dengan masalah lingkungan,
PGE area Kamojang meraih Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan (Proper) Emas dari Kementerian Lingkungan Hidup secara
berturut-turut pada tahun 2011 dan 2012 (PGE, 2012).
4
Energia, No. 12/THN XLVII/Desember 2012, Hlm 27

37
5.4. Kondisi Kawasan Hutan Kamojang
Memiliki luas WKP sebesar 154.318 hektar. Pada tahun 2010, ada
perubahan luasan menjadi 45.000 hektar. Dari total luas WKP yang
diberikan PGE baru menggunakan kawasan sekitar 108,55 hektar, dengan
rincian sebagai berikut Hutan konservasi seluas 48,85 hektar , hutan lindung
seluas 50,35 hektar dan hak milik seluas 9,35 hektar. Kawasan tersebut
digunakan sebagai pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi,
cooling tower, sumber sumur produksi, sumur injeksi, saluran pipa
penyaluran, mess karyawan, sarana olahraga dan perkantoran.
PGE menggunakan 2 jenis kawasan hutan yaitu Hutan Konservasi dan
Hutan Lindung, dengan perincian sebagai berikut :
1. Kawasan hutan konservasi yang digunakan oleh PGE seluas 48,856
hektar, yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :
a. Kawasan hutan seluas 5,25 hektar, 4,25 hektar, dan 21,506 hektar
yang terletak di Resort KSDA Kamojang Barat SKW V Garut,
Bidang KSDA Wilayah III Ciamis Balai Besar KSDA Jawa Barat,
diperoleh tanpa kompensasi.
b. Kawasan hutan seluas 12 hektar di Resort KSDA Kamojang Barat,
dipeorleh dengan kompensasi sesuai surat Dinas Kehutanan
Propinsi Jawa Barat Nomor 522.12/1107/PKH tanggal 27
September 2006 dan Berita acara serah terima lahan kompensasi
dari PT. Geothermal Energy kepada Departemen Kehutanan pada
tanggal 27 September 1999.
c. Kawasan Hutan seluas 5,85 Hektar terletak di Resort KSDA
Kamojang Barat SKW V Garut Bidang KSDA Wilayah III Ciamis
Balai Besar KSDA Jawa Barat dengan kompensasi sesuai surat
Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat Nomor 522.12/1107/PKH
tanggal 27 September 2006.

2. Luas kawasan hutan lindung yang di Gunakan oleh PGE dengan sistem
pinjam pakai seluas 46,50 hektar dengan kompensasi. Tanah
kompensasi terletak di Desa Marga Mulya Kecamatan Cisompet,
Kabupaten Garut seluas 38,6 hektar dan di Desa Sukasono, Kecamatan
Sukawening, Kabupaten Garut seluas 7,9 hektar (pasal 6 Perjanjian
Pinjam Pakai kawasan hutan dengan Kompensasi antara Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dengan Nomor :
044/044.3/SJ/Kamas/III/2003) dan surat Perum Perhutani nomor :
253/044.4/KUM/DIR tanggal 4 Oktober 2004.

Selain lahan tersebut, lahan kawasan hutan lindung yang digunakan


untuk pengelolaan sumberdaya energi panas bumi dengan pola pinjam pakai
seluas 3,85 hektar. Lahan kompensasi kawasan tersebut luas total 7,876
hektar, yang terdiri dari 3,98 hektar terletak di Desa Jatisari, Kecamatan
Cangkuang, Kabupaten Bandung dan 3,876 hektar terletak di Desa
Sukasono, Kecamatan Sukawening, Kabupaten, sesuai dengan Berita acara
Serah terima tanah kompensasi dari PGE kepada Perum Perhutani dengan
Nomor : 22/Kamas/BAST/III, bulan September 2006.

38
Gambar 5.10. Kondisi Hutan di sekitar Pertamina Geothermal Energy

Kawasan hutan konservasi 48,85 hektar merupakan cagar alam


dibawah pengawasan Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat,
sedangkan kawasan hutan lindung yang di Gunakan oleh PGE, dengan
sistem pinjam pakai seluas 46,50 hektar dengan kompensasi berada dalam
pengawasan Perum Perhutani Unit 3 Jawa Barat Banten. Ekosistem yang
terdapat didalamnya terdiri dari ekosistem teresterial dan akuatik.
Ekosistem teresterial meliputi ekosistem cagar alam, ekosistem hutan
lindung, ekosistem pertanian dan ekosistem pekarangan. Sedangkan
ekosistem akuatik terdiri dari ekosistem Sungai Cikaro, Sungai Cisurian,
Sungai Cibuliran dan Danau Cikaro.

5.4.1. Flora
Laporan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Kawah Kamojang
2005 2030, BKSDA Jawa Barat, disebutkan secara umum vegetasi
Cagar Alam Kamojang didominasi beberapa jenis tumbuhan untuk
setiap fase pertumbuhan. Fase pohon didominasi Kihujan
(Eugelhardia spicata), Puspa (Schima wallichii), dan Tebe (Slonea
sigun). Fase tiang didominasi Huru (Litsea sp), Villebruinea
rubescens, dan Kihujan (Eugelhardia spicata). Fase pancang
didominasi oleh Pletronia glabia, Pterocarpus indicus, dan Litsea
javanica. Sedangkan fase semai didominasi oleh Eupatorium
riparium, Dicksonia sp, dan Achasma coccineum.

Vegetasi di sekitar Klaster Sumur Produksi


1. Klaster Ciharus CHR-A
Vegetasi pohon di kawasan hutan klaster CHR-A telah
mengalami pembukaan oleh aktifitas penduduk, jenis pohon asli
sudah banyak ditebang tinggal semak belukar, tanaman perdu
dan herba yang di dominasi Kirinyuh (Chromolaema odorata),
Tebe (Sloanea sigun), Teklan (Eupatorium riparium). Masih

39
ditemukan pohon Kurai (Trema orientalis), Kareumbi
(Homalanthus populnea), Huru (Litse sp), dan Cerem
(Macropanax dispernum) dengan jenis tanaman yang dominan
adalah Kurai (Trema orientalis). Secara umum kawasan hutan
di sekitar klaster Ciharus telah mengalami banyak perubahan
akibat dari aktifitas perambahan hutan oleh penduduk untuk
diambil kayu dan kegiatan ladang (Rencana Pengelolaan Cagar
Alam Kawah Kamojang 2005 2030, BKSDA Jawa Barat).

2. Klaster Pasir Jawa PRJ-A


Pengembangan klaster Pasir Jawa seluas 2.8 hektar
meruapakan lahan Perum Perhutani. Pohon yang masih ada di
kawasan ini adalah pohon Pinus (Pinus merkusii), Mara
(Macaranga rhizinoides) dan semak belukar. Jenis belukar yang
dominan adalah Kirinyuh (Chromolaema odorata), Saliara
(Lantana camara). Selain itu juga ditemukan tanaman Arbei
(Rubus sp) dan Gelagah. Klaster PRJ-A merupakan lokasi untuk
kegiatan penghijauan utama karena berupa bukit yang gundul,
telah ditanam pohon baru sekitar 250.000 pohon jenis endemik
Kamojang seperti Kihujan (Eugelhardia spicata), Puspa
(Schima wallichii), Manglid (Manglietie glauca), dan Mara
(Macaranga rhizinoides). Selain itu juga di tanam pohon keras
bukan tanaman endemik Kamojang seperti Kicareuh (Allangium
begonifolium) dan Suren (Toona sureni) (Rencana Pengelolaan
Cagar Alam Kawah Kamojang 2005 2030, BKSDA Jawa
Barat).

5.4.2. Satwa (Fauna)


BKSDA (2012), menyebutkan bahwa di Kawasan Kamojang
ditemukan sekitar 76 jenis burung, 20 jenis mammalia dan 5 jenis
reptillia. Adanya perambahan menyebabkan berkurangnya jenis
Satwa yang ada di kawasan tersebut menjadi, 35 jenis burung, 8 jenis
mammalia dan 3 jenis reptillia. Dari jenis yang tersisa ada beberapa
yang dilindungi oleh undang-undang diantaranya, 14 jenis burung,
11 jenis mammalia dan 2 jenis reptillia. Jenis satwa liar yang
endemik adalah Owa jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis
comata), Wergan jawa (Alcippe pyrrotera) dan Cekaka jawa
(Halcyon cyanoventris).

5.5. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kamojang


Pusat kegiatan pengelolaan dan perkantoran PGE Area Kamojang
berada di Desa Laksana, Kecamatan Ibun. Kecamatan Ibun merupakan salah
satu Kecamatan dari 30 Kecamatan yang ada diwilayah Kabupaten
Bandung, secara topografi merupakan daerah relatif datar hingga berbukit
yang memiliki ketinggian 700 s.d. 1.500 m diatas permukaan laut dengan
curah hujan rata-rata 781 mm/tahun dengan suhu udara rata-rata 21oC.
Kondisi kecamatan Ibun, secara umum dapat dilihat pada Tabel 5.6.

40
Tabel 5.6. Kondisi Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung
Item Nilai Satuan
Jarak dari Kota Kabupaten Bandung 35 Kilometer
Jarak ibukota Provinsi 45 Kilometer
Total Luas Wilayah 6.630.273 Hektar
Luas Sawah 1.230.135 Hektar
Luas Tanah Darat 3.642.452 Hektar
Luas Tanah Hutan 1.757.650 Hektar
Jumlah Desa 12 Desa
Sumber : BPS Kabupaten Bandung (2013)

Adapun Wilayah Kerja Kecamatan Ibun sebagai Perangkat Daerah


meliputi 12 Desa yang terdiri dari : 1. Desa Ibun, 2. Desa Laksana, 3. Desa
Mekarwangi, 4. Desa Sudi, 5. Desa Talun, 6. Desa Tanggulun, 7. Desa
Lampegan, 8. Desa Cibeet, 9. Desa Karyalaksana, 10. Desa Pangguh, 11.
Desa Dukuh dan 12. Desa Neglasari. Dari 12 Desa tersebut terdiri dari 39
Dusun 132 RW dan 369 RT. Jumlah Penduduk Kecamatan Ibun sampai
dengan akhir 2009 tercatat sebanyak 75.462 orang, terdiri dari 37.159 orang
perempuan dan 38.203 orang laki-laki dan jumlah KK 22.237 Kepala
Keluarga.

5.5.1. Kondisi Ekonomi


PGE (2011), dalam Laporan CSR menyebutkan bahwa perekonomian
masyarakat di Kecamatan Ibun mayoritas berasal dari kegiatan pertanian,
peternakan dan perdagangan. Kegiatan pertanian yang dilakukan adalah
budidaya sayuran seperti kentang, kol, tomat, cabe dan sayuran lainnya.
Kegiatan peternakan yang dilakukan masayarakat adalah, peternakan
domba, ayam dan sapi. Sedangkan untuk kegiatan perdagangan yang
dilakukan adalah perdagangan warung-warung kecil yang berada di rumah-
rumah penduduk dan perdagangan musiman di sekitar perkantoran
perusahaan.
Masyarakat Kecamatan Ibun secara umum memiliki sumber mata
pencaharian utamanya dari kegiatan pertanian, dengan memanfaatkan lahan
yang tersedia baik milik sendiri maupun garapan orang lain atau milik
Perum Perhutani. Pola sistem pemanfaatan lahan dilakukan secara
bergantian setiap musim tanam. Memasuki tiga bulan pertama kegiatan
pertanian yang dilakukan adalah budidaya tanaman kentang. Kemudian tiga
bulan kedua dengan budidaya tanaman kol pada tiga bulan seterusnya
menanam cabe atau tomat dan seterusnya bergantian setiap tiga bulan sekali.
Selain kegiatan pertanian diatas, penduduk juga melakukan kegiatan
peternakan, diantaranya memelihara domba sebagai usaha sampingan.
Peternakan domba dilakukan, karena ketersediaan pakan alami serta
kesempatan mengambil rumput dilakukan sepulang dari kebun, kegiatan
peternakan domba sudah sering dilakukan oleh penduduk yang bertani.
Penjualan hasil dari peternakan domba masih dilakukan melalui bandar
untuk dijual keluar daerah karena di sekitar dusun Kamojang belum adanya
pasar hewan.

41
5.5.2. Kondisi Sosial
Penyebaran penduduk di Kecamatan Ibun tidak merata, umumnya
terpusat di Desa Ibun dan potensi sumber daya manusia dan alam pun
berbeda tiap desa. Tingkat pendidikan masyarakat umumnya masih rendah
dan tingkat putus sekolah cukup tinggi.
Adanya bantuan fasilitas dari perusahaan PGE warga Kecamatan
Ibun mendapatkan pelayanan-pelayanan seperti kesehatan, pendidikan,
keagamaan dan lingkungan. Pelayanan kesehatan diberikan kepada
masyarakat setiap hari Senin dengan dibantu oleh tenaga dokter, Bidan dan
kader posyandu. Apabila ada warga yang sakit warga mendatangi
Puskemas Pembantu sebagai balai pengobatan utama. Pengobatan ini
diberikan secara cuma-cuma yang disediakan oleh perusahaan.
Laporan CSR PGE (2012), menyebutkan sarana pendidikan telah ada
bangunan TK, TPA, SD dan SMP swasta. SMP swasta ini merupakan
sekolah rintisan sebagai sekolah alternatif karena selama ini anak-anak
pada umumnya melanjutkan pendidikannya ke Samarang Garut. Semua
sarana pendidikan diatas merupakan bantuan dari Perusahaan.
Untuk kegiatan keagamaan, Perusahaan membangun fasilitas Masjid
sebagai tempat ibadah, pengajian, jumatan dan musyawarah warga.

Sumber : PGE (2012)


Gambar 5.11. Mesjid dan Posyandu bantuan PGE untuk masyarakat

Berdasarkan wawancara mendalam dan kunjungan langsung ke


lapangan serta Laporan CSR PGE (2012), ditemukan potensi yang dapat
dikembangkan di Kecamatan Ibun disajikan pada table 5.7.

Tabel 5.7. Potensi yang dapat dikembangkan Masyarakat Kamojang


Potensi Masalah Kebutuhan
1. Wisata Pemandian Air
Panas :
- Tersedianya sumber Belum adanya invetasi wisata - Investor
air panas pemandian air panas - Kerjasama pemanfaatan
- Sudah ada conto di sumber air panas untuk
PLTP Darajat wisata
- Dekat dengan - Pendampingan intensif
kawasan wisata
Kawah Kamojang

Sumber : PGE (2011)

42
Potensi Masalah Kebutuhan
2. Budidaya Tanaman
Jamur:
- Tersedianya areal - Teknik budidaya jamur
pekarangan yang luas Belum ada pembinaan secara - Investasi gubuk dan boiler
- Memiliki pasar yang langsung - Pendampingan intensif
jelas
- Budidaya jamur
bukan hal yang sulit
dikerjakan

3. Peternakan
- Kebiasaan - Keterbatasan jumlah - Penambahan ternak
masyarakat beternak ternak - Penyediaan kandang
domba dan sapi - Kandang yang belum - Pendampingan intensif
- Ketersediaan pakan tersedia
alami - Belum adanya pembinaan
- Ketersediaan pasar secara intensif
- Keamanan - Belum adanya teknologi
lingkungan pakan alternatif

4. Pengelolaan lingkungan
- Besarnya volume sampah - Pengelolaan sampah
akibat kegiatan pariwisata terpadu dan bernilai
dan limbah domestik komersial
- Belum adanya tempat - Unit kegiatan yang
pengelolaan sampah memupuk kesadaran
terpadu masyarakat untuk
- Rendahnya kesadaran bersosialisasi
gotong royong masyarakat

5. Lembaga lokal mandiri


- Adanya lembaga lokal - Tingginya angka putus - Pelatihan guru-guru
PKBM AN Nur yang sekolah pengajar PKBM
berorientasi kepada - Rendahnya kualitas hidup - Penyediaan sarana dan
peningkatan kualitas masyarakat prasarana pendidikan
kehidupan masyarakat - Pemberian beasiswa
Sumber : PGE (2011)

Dari hasil wawancara, masyarakat disekitar kawasan Kamojang


memiliki potensi untuk mengembangan wisata pemandian air panas,
potensi ini dapat dikembangkan mengingat adanya sumber air panas,
sudah ada contoh pemandiaan air panas di kawasan pembangkit listrik
panas bumi Darajat, dekat dengan wisata alam kawah Kamojang. Untuk
mengembangkan wisata air panas perlu adanya dukungan dari investor dan
kerjasama pemanfaatan sumber air panas atau uap panas untuk kegiatan
wisata pemandian air panas di kawasan Kamojang.
Selain itu, pemanfaatan uap panas dapat dilakukan untuk kegiatan
budidaya tanaman jamur. Uap panas digunakan untuk sterilisasi media
tanam jamur. Potensi ini dapat dikembangkan mengingat masyarakat
kamojang sudah terbiasa dengan budidaya jamur secara sederhana. Perlu
adanya pembinaan dan dukungan keterampilan secara kontinyu untuk
mengembangkan budidaya jamur tersebut.

43
5.6. Peraturan Pengelolaan Energi Panas Bumi
Kebijakan pemerintah untuk pengelolaan energi panas bumi, berkaitan
dengan kebijakan peraturan yang lain. Terdapat beberapa kebijakan dan
peraturan yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan
dengan kegiatan pengelolan energi panas bumi terlihat pada lampiran 1.
Dari kebijakan dan peraturan tersebut diatas, penelitian hanya di
fokuskan pada kebijakan yang terkait secara langsung dengan kegiatan
pengelolaan energi panas bumi di kawasan Kamojang oleh PGE, yaitu :

1. Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 5 Tahun 1990, Tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor. 21 Tahun 2014, Tentang
Panas Bumi.
3. Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 41 Tahun 1999, Tentang
Kehutanan.
4. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat, Nomor 6 Tahun 2006, Tentang
Pengelolaan Panas Bumi.

Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 5 Tahun 1990, Tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990,
tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam
hayati dalam ekosistemnya secara serasi dan seimbang. Sedangkan pada
pasal 3, menyebutkan bahwa kegiatan konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya dapat lebih mendukung
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Kawasan Kamojang sebagai kawasan Konservasi dan Cagar Alam,
sesuai dengan Undang-Undang tersebut bahwa Cagar alam adalah kawasan
suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan,
satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan
perkembangannya berlangsung secara alami. Konservasi sumber daya alam
hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya. Aktifitas pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang, sebagai
cagar alam hendaknya tidak mengganggu ekosistem sumber daya alam
hayati di kawasan tersebut, menyebabkan sistem hubungan timbal balik
antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling
tergantung dan pengaruh mempengaruhi tetap berjalan dengan baik.

Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, tentang Kehutanan


Kawasan Kamojang yang digunakan oleh PT. Pertamina Geothermal
Energi untuk pengelolaan panas bumi berada di kawasan hutan lindung dan
hutan konservasi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

44
hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah. Sedangkan hutan konservasi adalah kawasan
hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Undang-Undang tersebut menegaskan pada Pasal 23, bahwa
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat
secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pada pasal 24,
menyebutkan bahwa, pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada
semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan
zona rimba pada taman nasional.
Saat ini pemberian ijin yang diberikan berupa izin pinjam pakai
kawasan hutan. Izin pinjam pakai kawasan hutan adalah izin yang diberikan
untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
Artinya boleh menggunakan kawasan hutan Kamojang untuk kegiatan
diluar kehutanan dalam hal ini pengelolaan panas bumi tanpa mengubah
fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut, sebagai hutan lindung dan
hutan konservasi. Meskipun jelas disebutkan bahwa di kawasan hutan
konservasi dalam hal ini cagar alam tidak diperbolehkan melakukan
kegiatan pemanfaatan kawasan hutan.
Selain Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 1999, tentang Kehutanan.
Ada juga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2012
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010
Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Pada pasal 4 Peraturan Pemerintah
tersebut, menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk
kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Yang
dimaksud dengan kegiatan yang mempunyai tujuan strategis adalah kegiatan
yang diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara,
pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
Belum ada aturan dari sektor kehutanan yang terkait langsung dengan
ijin pemanfaatan jasa lingkungan khusus untuk energi panas bumi. Seusia
dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan,
pengertian pemanfaatan jasa lingkungan di defenisikan sebagai kegiatan
untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak
lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Jenis-jenis pemanfaatan jasa
lingkungan yang dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung dan kawasan
hutan produksi yaitu :
a. Pemanfaatan jasa aliran air;
b. Pemanfaatan air;
c. Wisata alam;
d. Perlindungan keanekaragaman hayati;
e. Penyelamatan dan perlindungan lingkungan;

45
f. Penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Perizinan tersebut tentu dilaksanakan dalam ketentuan-ketentuan
teknis yang berlaku :
a. Tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya;
b. Tidak mengubah bentang alam;
c. Tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungannya.
Direktorat Jendral PHKA, Kementerian Kehutanan (2014),
mengidentifikasi bahwa Potensi panas bumi yang berada di kawasan
konservasi saat ini teridentifikasi antara lain terdapat di kawasan :
1. Taman Nasional Gunung Leuser di Propinsi Aceh.
2. Taman Nasional Batang Gadis di Proponsi Sumatera Utara.
3. Cagar Alam Malampah Alahan Panjang di Propinsi Sumatera Barat.
4. Taman Nasional Kerinci Seblat di Propinsi Jambi.
5. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Propinsi Lampung.
6. Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Propinsi Jawa Barat.
7. Cagar Alam Gunung Simpang di Propinsi Jawa Barat.
8. Cagar Alam Kawah Kamojang di Propinsi Jawa Barat.
9. Cagar Alam Telaga Bodas di Propinsi Jawa Barat.
10. Taman Nasional Gunung Ciremai di Propinsi Jawa Barat.
11. Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang di Propinsi Jawa Timur.
11. Taman Wisata Alam Danau Buyan / Danau Tamblingan di Propinsi
Bali.
13. Taman Nasional Gunung Rinjani di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
14. Taman Wisata Alam Ruteng di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
15. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Propinsi Sulawesi Utara.
16. Cagar Alam Gunung Ambang di Propinsi Sulawesi Utara.
17. Cagar Alam Gunung Lokon di Propinsi Sulawesi Utara.

Namun untuk meyakinkan bahwa pemanfaatan panas bumi tidak


memberi dampak buruk bagi lingkungan, maka sifat dari panas bumi itu
sendiri perlu kita ketahui. Berikut adalah enam sifat dari panas bumi:
1. Spesifik berdasarkan lokasi. Karakter panas bumi berbeda di masing-
masing lokasi (site specific)
2. Dapat menghasilkan 7 8 tahun yang akan datang perlu investor yang
kuat (non quick yielding)
3. Ramah lingkungan dan tidak ada pencemaran. Bahkan dapat dijadikan
sebagai obyek wisata. (renewable and eco-firendly)
4. Dikembangkan untuk energi setempat dan tidak diijinkan untuk
diekspor.
5. Hanya dapat dilakukan oleh satu investor
6. Kontrak investasi untuk jangka panjang
Pengelolaan panas bumi dilakukan dengan penambangan dibawah
tanah melalui sumur-sumur produksi, dengan kedalaman sekitar 1.200
sampai dengan 1.500 meter. Selama ini tidak terjadi turunnya permukaan
tanah, perubahan fungsi pokok kawasan hutan secara permanen. Meskipun
menggunakan air tanah atau reservoar, kegiatan pengelolaan panas bumi
tidak sampai menimbulkan kerusakan akuiver air tanah, karena air yanbg
sudah di kondensasi di injeksikan kembali kedalam reservoar tersebut

46
sebanyak 283.2 ton/jam. Perlu adanya peraturan perundangan yang
mengatur teknis pelaksanaan pemanfaatan panas bumi, diantaranya dengan
merevisi PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam. Selain itu tentunya Permenhut yang mengatur
tata cara pemanfaatan panas bumi. Kementerian Kehutanan harus segera
menerbitkan peraturan ijin pemanfaatan jasa lingkungan, termasuk
didalamnya energi panas bumi.

Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor. 21 Tahun 2014, Tentang


Panas Bumi.
Undang-undang No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan, dimana ijin
eksplorasi di wilayah hutan harus seijin Menteri Kehutanan dengan
mekanisme prosedur Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Masalah terbesar
pengembangan energi panas bumi adalah masalah perizinan yang terkait
dengan penggunaan kawasam hutan lindung dan hutan konservasi.
Maklum, 45 persen daerah yang memiliki panas bumi berada di kawasan
hutan lindung dan hutan konservasi. Hal tersebut membuat kegiatan usaha
panas bumi selalu terganjal Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan yang antara lain mengatakan semua kegiatan
pertambangan tidak boleh dilaksanakan di hutan lindung dan hutan
konservasi.
Sementara Undang-Undang RI Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas
Bumi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat RI pada tanggal 17 September
2014, menggantikan undang-undang no. 27 tahun 2003 tentang panas Bumi.
Perubahan prinsip pada aturan tersebut adalah panas bumi yang berada
kawasan hutan konservasi dapat di kelola dengan mendapatkan izin
pemanfaatan jasa lingkungan dari menteri kehutanan. Sebelumnya, kegiatan
panas bumi sebagai aktifitas pertambangan, membuat pengelolaan energi
panas bumi di hutan lindung dan hutan konservasi tidak dapat dilaksanakan
secara optimal. Dasar dari penetapan kebijakan perlindungan hutan
didorong oleh kemampuan kawasan hutan untuk perlindungan sistem
penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah instrusi air laut, memelihara kesuburan tanah dan menyerap
emisi karbon dioksida (CO2). Kegiatan pengelolaan energi panas bumi sama
sekali tidak bertentangan dengan prinsip perlindungan kawasan hutan, justru
pengelolaan panas bumi membutuhkan alam yang tetap lestari dengan siklus
hidrologi yang terjaga dengan baik.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014, tentang Panas Bumi,
memberikan ruang yang lebih luas suapaya panas bumi dapat dikelola
secara optimal, beberapa pasal dalam UU tersebut yang mengatur
pengelolaan panas bumi, yaitu :
1. Pasal 24 : Pengusahaan panas bumi di Kawasan Hutan, pemegang Izin
Panas Bumi wajib: a. mendapatkan 1). lzin pinjam pakai untuk
menggunakan Kawasan Hutan produksi atau Kawasan Hutan lindung;
atau 2). izin untuk memanfaatkan Kawasan Hutan konservasi dari
menteri kehutanan dilakukan melalui izin pemanfaatan jasa lingkungan.
2. Pasal 22 : penentuan harga, ditentukan oleh Peraturan Pemerintah,

47
3. Pasal 28 : Penugasan BUMN/BUMD melakukan eksplorasi, eksploitasi
dan pemanfaatan. Pasal 53 : Bonus produksi kepada Pemerintah
Daerah.
4. Pasal 65 : Peran serta masyarakat.
5. Landasan filosofis kegiatan panas bumi sebagai bagian pemanfaatan
sumber daya alam bertumpu pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Repubilk Indonesia Tahun 1945. Panas
Bumi sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam Wilayah
hukum Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh
Negara dan digunakan untuk kemakmuran Rakyat. Oleh karena itu
dalam UU ini dinyatakan bahwa Panas Bumi merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai Negara yang penyelenggaraannya dilakukan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
6. Kewenangan penyelenggaraan Panas Bumi:
a. Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah, meliputi :
1). Penyelenggaraan panas bumi untuk pemanfaatan tidak
langsung;
2). Penyelenggaraan panas bumi untuk pemanfaatan langsung
yang berada pada lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan
Hutan produksi, Kawasan Hutan lindung, Kawasan Hutan
Konservasi, kawasan konservasi di perairan dan wilayah laut
lebih dari 12 mil diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas di
seluruh wilayah Indonesia;
b. Penyelenggaraan panas bumi oleh Pemerintah Provinsi dan
Pemerinta Kabupaten/Kota untuk pemanfaatan langsung.
7. Kewenangan Pemerintah untuk melakukan Eksplorasi, Eksploitasi dan
pemanfaatan yang dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Layanan Umum.
8. Adanya pengaturan yang lebih rinci mengenai pengusahaan panas bumi
untuk pemanfaatan langsung maupun pemanfaatan tidak langsung;
9. Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin Usaha Pertambangan Panas
Bumi akibat dari perubahan yang semula dilakukan oleh Pemerintah
Daerah beralih menjadi kewenangan Pemerintah.

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2006 Tentang


Pengelolaan Panas Bumi
Provinsi Jawa Barat sudah memiliki kebijakan dalam pengelolaan
Panas Bumi yaitu dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006,
Tentang Panas Bumi. Pelaksanaan dari Peraturan Daerah tersebut maka
dibuat Rencana Pengembang Panas Bumi di Provinsi Jawa Barat yaitu :
1. Optimalisasi pemanfaatan potensi panas bumi sebesar 1.520 Mwatt
2. Pengembangan Potensi Panas Bumi sebesar 1.046 Mwatt diluar yang
eksisting Strategi Pengembangan dengan menarik investor melalui,
kemudahan perizinan, dukungan infrastruktur, dukungan data dan
informasi dan lain-lain. Fasiliyasi dukungan dalam rangka pemanfaatan
dan pengelolaan energi panas bumi, yaitu : inventarisasi, survey
pendahuluan, promosi investasi dan pengelolaan panas bumi, penentuan
kawasan pengelolaan dan pengusahaan energi panas bumi, penelitian

48
teknologi pengembangan pengelolaan usaha panas bumi, koordinasi
dengan pihak terkait.
3. Target Pengembangan Panas Bumi sampai dengan tahun 2025 adalah
sebesar 3.267 Mwatt atau 27% dari target Road Map Nasional 12.000
Mwe.

Kendala dalam Pengelolaan Energi Panas Bumi


Pengembangan dan pengelolaan energi panas bumi terkendala dengan
beberapa masalah yaitu :
1. Masalah terkait dengan aturan perundangan yang ada. Beberapa aturan
terkait yang sangat penting dalam mendukung percepatan pengembangan
panas bumi belum diterbitkan, diantaranya Peraturan Pemerintah tentang
bagi hasil dan Royalti Panas Bumi, Aturan mekanisme kontrak harga jual
Panas bumi dengan PLN.
2. Kegiatan pengelolaan energi panas bumi diatur dengan Undang-Undang
Republik Indonesia, Nomor 21 tahun 2014 tentang panas bumi, ada
beberapa pasal yang direvisi. Pasal-pasal yang direvisi tersebut dianggap
menjadi penghambat mengembangkan potensi panas bumi. Pasal tersebut
tak hanya diubah, melainkan ada penambahan terhadap poin-poin
tertentu. Selain itu, terdapat kata yang dihilangkan yaitu pertambangan,
yang hampir berada di setiap pasal. Implementasi dari Undang-undang
tersebut perlu segera dilakukan, terutama aturan turunannya.
3. Perubahan ini agar tidak berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 5
tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan ekosistemnya,
serta Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, tentang Kehutanan. Seluruh
kawasan panas bumi berada di dalam kawasan hutan. Oleh sebab itu
perlu ada kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup &
Kehutanan, dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.
4. Permasalahan dengan penggunaan lahan, Potensi panas bumi di Jawa
Barat yang belum dimanfaatkan (open area) berada dalam Wilayah Kerja
Pertambangan (WKP) Pertamina, apabila tidak dilakukan penyusutan
luas WKP tersebut maka akan menjadi lahan tidur.
5. Masalah dengan Sumber Daya Manusia, tugas dari Pemerintah Daerah
adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan
eksplorasi sampai dengan eksploitasi panas bumi, dibutuhkan
sumberdaya manusia yang professional dalam menguasai aspek teknis
pengelolaan panas bumi dari hulu sampai dengan hilirnya, semacam
Inspektur Panas Bumi.
6. Masalah pengelolaan energi panas bumi dilihat dari aspek ekonomi, yaitu
harga jual dari energi panas bumi yang dihasilkan. Berdasarkan
Perjanjian Jual Beli Uap (PJBU) dengan pembeli saat ini, secara umum
belum ekonomis, misalnya PJBU Sibayak menetapkan harga jual sekitar
US$ 1,6 sen/KWh, angka ini sangat tidak ekonomis. Sedangkan untuk
kawasan Kamojang dan Lahendong sudah cukup ekonomis dengan harga
jual berkisar US$ 6,2 9,7 sen/KWh.

49
50
BAB 6
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan analisis
ekonomi langsung panas bumi, analisis nilai ekonomi air tanah, deplesi energi
panas bumi, deplesi sumberdaya hutan, analisis konflik, analisis benefit
transfer, analisis Stakeholder dan analisis Multi Criteria Decesion Making
(MCDM). Maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut :

6.1. Nilai Ekonomi Langsung Energi Panas Bumi


PGE memiliki 4 unit Pembangkit listrik tenaga panas bumi, dimana
Unit 1, Unit 2 dan Unit 3 menghasilkan uap panas bumi yang disalurkan
pada pembangkit listrik PT. Indonesia Power. Sedangkan untuk Unit 4
menghasilkan energi listrik yang di salurkan ke PT. Perusahaan Listrik
Negara (PLN). Jumlah produksi total energi panas bumi yang di hasilkan
selama 3 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 6.1.

Tabel 6.1. Produksi Energi Panas Bumi di PGE Area Kamojang


Tahun 2010 s.d. 2012
Setara Tahun Total
No PLTP Unit
Listrik 2010 2011 2012
1. Unit 1 GWh 238,29 252,85 76,70 567,84
(Produksi Uap)
2. Unit 2 & 3 GWh 891,48 951,29 894,26 2.737,03
(Produksi Uap)
3. Unit 4 GWh 523,00 442,43 484,41 1.449,84
(Produksi Listrik)
Total GWh 1.652,60 1.646,57 1.455,37 4.754,71
Sumber : PGE (2013)

Pada tabel 6.1. Disajikan total produksi energi panas bumi yang di
hasilkan PGE kawasan Kamojang dari tahun 2010 sampai dengan tahun
2012 adalah sebesar 4.754,71 GWh atau rata-rata produksi energi panas
bumi 1.584,90 GWh pertahunnya.
Pada tahun 2010 total produksi uap setara listrik yang dihasilkan
adalah 1.652,60 GWh, pada tahun 2011 terjadi peningkatan produksi pada
PLTP Unit 1, Unit 2 dan Unit 3, sedangkan pada Unit 4 terjadi penurun
dikarenakan adanya pelaksanaan pemeliharaan, secara keseluruhan produksi
panaas bumi setara listrik pada tahun 2011 adalah 1.646,57 GWh. Produksi
panas bumi pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 1.455,37 GWh,
hal ini disebabkan adanya kerusakan generator milik PT. Indonesia Power
yang mengakibatkan berhentinya produksi pada bulan Maret sampai dengan
November 2012, juga disebabkan adanya overpressure pada jaringan pipa,
menyebabkan PLTP Unit 2 harus berhenti produksi selama sembilan hari.
Penurunan produksi juga disebabkan adanya gangguan eksternal, yaitu
adanya gangguan tegangan jaringan 150 KV di Jaringan Jawa, Madura dan
Bali.

51
Produksi panas bumi yang dihasilkan oleh PGE menghasilkan
penjualan uap dan listrik pada tahun 2010 sebesar Rp. 1.279,00 Milyar,
pada tahun 2011 sebesar Rp. 1.649,93 Milyar dan pada tahun 2012
mengalami penurunan dengan total penjualan sebesar Rp. 1.457,53 Milyar.
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6.2.

Tabel 6.2. Total Penjualan Uap dan Listrik di PGE Kamojang


Tahun 2010 s.d. 2012
No Tahun Satuan (Rp. Milyar)
1. 2010 1.279,00
2. 2011 1.649,93
3. 2012 1.457,53
Total 4.386,46
Rata-rata 1.462,15
Sumber : PGE (2013)

Kegiatan Pengelolaan energi panas bumi memiliki nilai investasi atau


beban usaha yang tinggi tiap tahunnya dengan beban usaha sekitar Rp.
516,58 Milyar. Pada tabel 6.3. rincian beban usaha dalam pengelolaan
energi panas bumi di kawasan Kamojang.

Tabel 6.3. Rata-rata Beban Usaha Pengelolaan Energi Panas Bumi di PGE
Kamojang pertahun
No Kegiatan Satuan Biaya
1. Beban Pembelian Uap dan Listrik Milyar
Kontrak Operasi Bersama Rp. 0
2. Beban Produksi Milyar Rp. 230,64
3. Beban Eksplorasi Milyar Rp. 167,13
4. Beban Penyusutan Milyar Rp. 101.66
5. Beban Sewa Aset Milyar Rp. 0
4. Beban Umum dan Administrasi Milyar Rp. 17,16
Rp. 516,58
Sumber : PGE (2012)

Jumlah Total Produksi Energi Panas Bumi di PGE area Kamojang


antara tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 adalah sekitar 4.754,71 GWh
atau rata-rata produksi panas bumi sebesar 1.584,90 GWh pertahunnya
dengan beban usaha rata-rata pertahunnya Rp. 516,58 Milyar. Harga jual
energi panas bumi per KWh sekitar 9,7 sen dolar Amerika atau rata-rata
sekitar Rp. 1.001,50 dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar adalah Rp.
10.324,74.

NEPB = (Q x P) (IC) ............................. (6.1)

Keterangan :
NEPB : Nilai Ekonomi Langsung Panas Bumi (Rp)
Q : Jumlah produksi dari Panas Bumi (KWh/Tahun)
P : Harga Jual energi Panas Bumi (Rp/KWh)
IC (Input cost) : Biaya non-sumberdaya alam (Rp/Tahun)

52
Dengan menggunakan rumus 6.1 dapat dihitung nilai ekonomi langsung dari
panas bumi adalah sebagai berikut :

NEPB = (1.584,90 GWh x Rp. 1.001,50/KWh) Rp. 516,58 Milyar


= Rp. 1.587,28 Milyar Rp. 516,58 Milyar
= Rp. 1.070,70 Milyar

Sehingga diperoleh nilai ekonomi langsung panas bumi di PGE area


Kamojang adalah Rp. 1.070,70 Milyar pertahun.

6.2. Nilai Ekonomi Air Tanah


PGE (2012), pada proses produksi panas bumi, uap yang keluar dari
sumur produksi adalah 1.100 ton/jam sebagian besar uap, sekitar 85% atau
sebanyak 934,4 ton/jam dilepaskan ke udara melalui coolling tower,
sebagian lagi, 15 % atau dikondensasikan menjadi air dengan suhu 60
derajat celsius, dialirkan ke cooling tower untuk mendinginkan air dan di
injeksikan kembali kedalam reservoir melalui sumur injeksi sebanyak 165,6
ton/jam. Untuk menjaga keberlanjutan dan ketersediaan air di dalam
reservoir maka di injeksikan air dari Sungai Cikaro sebanyak 117,6 ton/jam.
Dengan demikian massa air yang berkurang di reservoar adalah :
= Jumlah Air yang di injeksi kembali + Jumlah air dari Sungai Cikaro
= 165,6 ton/jam + 117,6 ton/jam
= 283,2 ton/jam
Karena massa air yang dinjeksikan tidak sama dengan massa uap yang
keluar dari sumur produksi, maka terjadi pengurangan jumlah air dalam
reservoar. Dengan menggunakan masa jenis uap air 0,60 Kg/dm3, maka total
air yang keluar dari sumur produksi sekitar 660 ton/jam. Massa air yang
berkurang tersebut adalah sebagai berikut : Jumlah air yang keluar dari
sumur produksi jumlah air yang diinjeksikan melalui sumur reinjeksi,
sama dengan 660 ton/jam 283,2 ton/jam = 376,8 ton/jam.

1. Menghitung Nilai Ekonomi Air Tanah berdasarkan Harga Air Tanah


Untuk menghitung nilai ekonomi dari air tanah dapat digunakan nilai
pajak dari air tanah itu sendiri (shadow price). Besarnya pajak pemanfaatan
air tanah maksimum adalah 20% dikalikan Nilai Perolehan Air (NPA).
Untuk mendapatkan NPA, dpat dihitung sebagai berikut

NPA = V x FNA x HAB ........................... (6.2)


Ketarangan :
V : Volume Air yang digunakan (M3)
FNA : Faktor Nilai Air
HAB : Harga Air Baku (Rp/M3)

Dalam pengelolaan panas bumi di PGE kamojang selama lama


produksi panas bumi dalam satu tahun adalah 7.277 jam, massa air yang
berkurang di reservoir : 376,8 ton/jam atau sama dengan 376,8 m3/jam.
Maka volume air yang digunakan selama setahun adalah :

53
Volume air tanah = 376,8 M3 /jam x 7.277 jam
= 2.741.974,60 M3 pertahun

Untuk menghitung FNA digunakan bobot komponen sumber daya


alam dan komponen kompensasi, terlihat pada Tabel 6.4.

Tabel 6.4. Penentuan Faktor Nilai Air (FNA) di PGE Kamojang


Volume Range
No Komponen Bobot % Jumlah
(M3)
1. 0 s.d. 50 a. Sumber Daya Alam 4,0 60 2,4
b. Kompensasi 5,0 40 2
Sub. Total 1. 4,4
2. 51 s.d. 500 a. Sumber Daya Alam 4,0 60 2,4
b. Kompensasi 5,5 40 2,2
Sub. Total 2. 4,6
3. 501 s.d. 1.000 a. Sumber Daya Alam 4,0 60 2,4
b. Kompensasi 6,0 40 2,4
Sub. Total 3. 4,8
4. 1.001 s.d. 2.500 a. Sumber Daya Alam 4,0 60 2,4
b. Kompensasi 6,5 40 2,6
Sub. Total 4. 5,0
5. Diatas 2.500 a. Sumber Daya Alam 4,0 60 2,4
b. Kompensasi 7,0 40 2,8
Sub. Total 5. 5,2
Sumber : Diaolah dari ESDM (2000)

Setelah diketahui faktor nilai air, dengan menggunakan harga air baku
(HAB) sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 1
Tahun 2011, tentang Pajak Air Tanah, sebesar Rp. 1.000,-/M3, maka dapat
kita kita Hitung NPA air tanah di PGE Kamojang

Tabel 6.5. Nilai Perolehan Air Tanah di PGE Kamojang


Volume Range Volume FNA HAB Jumlah
(M3) Air Tanah (Rp./M3) (Rp.)
No
(M3)
(a) (b) (c) a*b*c
1. 0 s.d. 50 50 4,4 1.000,- 220.000,-
2. 51 s.d. 500 500 4,6 1.000,- 2.300.000,-
3. 501 s.d. 1.000 1.000 4,8 1.000,- 4.800.000,-
4. 1.001 s.d. 2.500 2.500 5,0 1.000,- 12.500.000,-
5. Diatas 2.500 2.737.923,6 5,2 1.000,- 14.237.202.720,-
Total 2.741.974,6 NPA 14.257.022.720,-
Pajak (20 %) 2.851.404.544,-
Sumber : Diolah dari berbagai sumber (2013)

Berdasarkan Tabel 6.5. Besar pajak air tanah yang digunakan untuk
pengelolaan panas bumi oleh PGE Kamojang adalah Rp. 2.851.404.544,-
pertahunnya. Sedangkan nilai ekonomi air tanah berdasarkan shadow price
nilai air tanah secara keseluruhan yang dipergunakan selama setahun adalah
Rp. 14.257.022.720,-

54
2. Menghitung Nilai Ekonomi Air berdasarkan Iuran Air Irigasi
Selain menggunakan benefit transfer dari pajak air tanah, juga
menggunakan opportunity price dari harga air irigasi. Sumaryanto (2006),
menjelaskan bahwa harga air irigasi berkisar antara terendah sekitar Rp. 11
/m3 dan tertinggi pada kisaran Rp. 84 /M3. Dalam pengelolaan panas bumi
di PGE kamojang selama lama produksi panas bumi dalam satu tahun
adalah 7.277 jam, jumlah air yang ditambahkan ke reservoir yang berasal
dari Sungai Cikaro adalah sebanyak 117,6 ton/jam. Maka volume air yang
digunakan selama setahun adalah :
Volume air Sungai Cikaro = 117,6 M3 /jam x 7.277 jam
= 855.775,20 M3 pertahun

Tabel 6.6. Besaran Nilai Ekonomi Iuran Air Irigasi


No Komponen Satuan Besaran
1. Volume (a) (M3) 855.775,20
2. Iuran Terendah (b) (Rp./M3) 11,00
3. Iuran Tetinggi (c) (Rp./M3) 84,00
4. Harga Iuran Irigasi Terendah (a*b) (Rp/Tahun) 9.413.527,20
5. Harga Iuran Irigasi Tertinggi (a*c) (Rp/Tahun) 71.885.116,80
6. Rata-rata (Rp/Tahun) 40.649.322,00
Sumber : Diolah dari berbagai sumber (2015)

Berdasarkan pada Tabel 6.6. diperoleh nilai ekonomi air berdasarkan


opportunity price dari rata-rata harga iuran air irigasi yaitu sekitar Rp.
40.649.322,00 pertahun.
Nilai ekonomi air yang digunakan dalam pengelolan panas bumi di
Kamojang dihitung sebagai penjumlahan nilai air tanah (Shadow Price)
ditambah dengan nilai iuran air irigasi (Opportunity Price). Maka diperoleh
nilai sebagai berikut :
= Nilai Air tanah (Shadow Price) + Nilai Iuran Air Irigasi
(Opportunity Price)
= Rp. 14.257.022.720,00 + Rp. 40.649.322,00
= Rp. 14.297.672.042,00 / Tahun
Jadi nilai ekonomi air yang digunakan dalam pengelolan panas bumi
oleh PGE di area Kamojang sebesar Rp. 14.297.672.042,- pertahunnya atau
1,52 % dari nilai pendapatan panas bumi selama setahun.
Nilai Ekonomi Air Pengelolaan panas Bumi merupakan gabungan
antara Nilai Ekonomi Air Tanah (Shadow Price) ditambah dengan Nilai
Ekonomi Air Permukaan dari Sungai Cikaro (Opportunity Price). Setelah
diperoleh Nilai Ekonomi Air kemudian dihitung Nilai Air yang akan dating.
Nilai yang akan datang atau future value adalah nilai uang di massa yang
akan datang dengan tingkat bunga tertentu. Future value atau nilai yang
akan datang dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

NAFn = NEP ( 1 + r )n ........................... (6.3)

Keterangan:
NEFvn = Nilai Ekonomi Air yang akan datang
NEPv = Nilai Ekonomi Air sekarang

55
r = 18 %
n = 10 Tahun

NAFn = NEP ( 1 + r )n
= Rp. 14.297.672.042,00 (1 + 0,18)10
= Rp. 336.299.956.822,06

Dengan menggunakan sisa kontrak sekitar 10 tahun dengan tingkat


suku bunga 18 %, diperkirakan nilai air tanah yang digunakan di masa yang
akan datang Rp. 336.299.956.822,06 atau rata-rata sebesar Rp.
33.629.995.682,21 pertahunnya. Nilai ekonomi air ini menunjukan adanya
penggunaan air tanah dan air dari sungai Cikaro untuk pengelolaan panas
bumi. Saat ini nilai ekonomi air belum dimasukan sebagai biaya jasa
lingkungan. Nilai tersebut menjadi parameter untuk kegiatan konservasi
sumber daya air, menjaga keberadaan air di reservoar. Dapat juga dianggap
sebagai nilai yang harus dikeluarkan perusahaan untuk menjaga kelestarian
sumberdaya air dengan melakukan aktifitas perbaikan kualitas lingkungan
hidup disekitar Kamojang.

6.3. Deplesi Sumberdaya Hutan


Pada awal pembangunan dilakukan pembukaan lahan untuk keperluan
kantor, perumahan karyawan, sarana pipa produksi, sumur produksi dan
sumur injeksi, pembangunan pembangkit, cooling tower, dan jaringan listrik
untuk distribusi, ada hutan yang terganggu untuk keperluan sarana dan
prasarana tersebut. Dengan mengetahui luas areal hutan yang terpakai dapat
diperkirakan nilai ekonomi kawasan hutan.

Tabel 6.7. Nilai Ekonomi Hutan Lindung


Nilai Ekonomi Hutan Lindung
Jenis Nilai Ekonomi Hutan
(Rp/hektar/tahun)
Nilai Ekonomi Total 42.666.000
Atas dasar penggunaan 40.352.200
Nilai penggunaan langsung 25.319.600
Kayu 7.863.100
Kayu bakar 19.800
Produk hutan non-kayu 3.675.400
Konsumsi air 13.761.300
Nilai penggunaan tak langsung 15.032.500
Konservasi air dan tanah 5.367.300
Penyerap karbon 706.700
Pencegah banjir 6.874.400
Transportasi air 748.600
Keanekaragaman hayati 1.335.600
Atas dasar bukan penggunaan 2.313.800
Nilai opsi 978.300
Nilai keberadaan 1.335.600
Sumber : Suparmoko (2006)

56
Nilai deplesi kawasan hutan yang digunakan dihitung berdasarkan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan. Karena
data dan informasi belum tersedia secara memadai, khususnya untuk
kawasan hutan konservasi atau cagar alam, maka dilakukan rapid
assessment menggunakan pendekatan benefit transfer dari nilai ekonomi
fungsi-fungsi tersebut dari nilai ekonomi hutan lindung. Tabel 6.7. Secara
keseluruhan nilai ekonomi hutan lindung mencapai Rp. 42.666.000
/hektar/tahun, terdiri dari nilai guna langsung hutan lindung dan nilai guna
tidak langsung.
Deplesi sumberdaya hutan dihitung berdasarkan Peraturan Menteri
KLH Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem
Hutan. Nilai ekonomi hutan lindung mencapai Rp. 42.666.000/hektar/tahun,
terdiri dari nilai guna langsung Rp. 25.319.600,00/hektar/tahun dan nilai
guna tidak langsung mencapai Rp.15.032.500,00/hektar/tahun. Total
kawasan hutan yang digunakan untuk pengelolaan energi panas bumi adalah
seluas 99,20 hektar, maka nilai depresiasi sumber daya hutan dalam kurun
waktu 20 tahun (lama kontrak) adalah :
Pengelolaan energi panas bumi di Kamojang menggunakan total
kawasan hutan yang digunakan untuk pengelolaan energi panas bumi adalah
seluas 99,20 hektar, yang terdiri dari 48,85 hektar kawasan hutan konservasi
dan 50,35 hektar dan kawasan hutan lindung. Dengan asumsi bahwa nilai
hutan konservasi sama dengan nilai hutan lindung dalam kurun waktu 20
tahun, maka nilai depresiasi (penyusutan) sumber daya hutan seluruhnya
adalah sebagai berikut :
Total luas kawasan hutan : 99,20 hektar
Nilai hutan lindung : Rp. 42.666.000 /hektar/tahun
Nilai depresiasi sumber daya hutan : Rp 4.232.467.200/tahun

Tabel 6.8. Nilai Deplesi Sumberdaya Hutan di Kawasan Kamojang


Nilai Ekonomi
Manfaat Hutan Deplesi 20 tahun Deplesi Pertahun
Guna Langsung *)
Kayu Rp. 7.863.100 Rp. 780.019.520 Rp. 39.000.976
Kayu bakar Rp. 19.800 Rp. 1.964.160 Rp. 98.208
Produk hutan non-kayu Rp. 3.675.400 Rp. 364.599.680 Rp. 18.229.984
Konsumsi air Rp. 13.761.300 Rp. 1.365.120.960 Rp. 68.256.048
Total Rp. 25.319.600 Rp. 2.511.704.320 Rp. 125.585.216
Keterangan : *) Sumber dari KLH (2011)

Tetapi karena nilai deplesi harus dipisahkan dari nilai depresiasi, maka
akan ditampilkan nilai deplesi sumberdaya hutan yang ekstraktif, yaitu yang
memiliki nilai guna langsung, sebesar Rp. 2,51 Milyar untuk kawasan hutan
seluas 99,20 hektar selama 20 tahun. Nilai rata-rata deplesi sumberdaya
hutan sebesar Rp. 125,59 Juta pertahun.

6.4. Analisis Konflik


Untuk dapat membuat analisa konflik kepentingan terhadap
pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang, dilakukan survey primer
terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Kamojang terdiri dari

57
2 kecamatan dan 4 desa dengan sistem pengumpulan data melalui
penyebaran kuisioner. Teknik penentuan responden yang dipilih dengan
purposive sampling, berjumlah 60 Kepala Keluarga (KK) atau orang yang
dianggap sebagai kepala keluarga dari satu unit keluarga, terdiri dari
masyarakat umum yang tinggal dan bermukim di lokasi penelitian, yaitu 15
KK di Desa Laksana dan 15 KK Desa Ibun, Kecamatan Ibun, Kabupaten
Bandung, dan 15 KK di Desa Tanjung Sari dan 15 KK di Desa Kecamatan
Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tabel 6.10. menunjukan rincian
jumlah responden.

Tabel 6.9. Rincian Jumlah Responden


Jumlah
No Desa / Kecamatan
Responden
Kecamatan Ibun, 30
A.
Kabupaten Bandung
1. Desa Laksana 15
2. Desa Ibun 15
Kecamatan Samarang, 30
B.
Kabupaten Garut
1. Desa Tanjung Sari 15
2. Desa Sukakarya 15
Jumlah total Responden 60
Sumber : Data primer (2013)

Dalam pengumpulan data setidaknya ada 5 komponen utama yang di


gali dari responden, yaitu :
1. Data responden
2. Sikap responden terhadap kegiatan pengelolaan panas bumi di kawasan
Kamojang oleh PGE.
3. Masalah dan kekhawatiran responden.
4. Harapan dan keinginan responden terhadap pengelolaan panas bumi di
kawasan Kamojang oleh PGE.

Komposisi Penduduk
Penduduk
Pendatang
14%

Penduduk
Setempat
86%

Sumber : Data Primer (2013)


Gambar 6.1. Diagram Komposisi Penduduk

Dari hasil wawancara dengan responden diperoleh hasil seperti yang


disajikan pada lampiran 3. Berdasarkan data kepemilikan lahan, kebanyakan
masyarakat yang memiliki lahan dalam bentuk rumah tinggal sebanyak

58
80 %, sedangkan sebanyak 13,33% berupa kebun, 5 % sawah dan 1,67 %
berupa tanah kosong lainnya, dengan status kepemilikan lahan milik sendiri
dan bersertifikat ada 68,33 %, lahan milik sendiri dan belum bersertifikat
sebanyak 23,33%, dan sisanya lahan milik keluarga atau garapan.
Sedangkan berdasarkan lamanya bermukim mayoritas responden sebanyak
70%, sudah tinggal di kawasan Kamojang lebih dari 25 tahun, sebanyak
18,33 % lama tinggal antara 14 sampai dengan 25 tahun, dan sisanya kurang
dari 15 tahun. Sebagian besar penduduk setempat 86 % dan sisanya 14 %
sebagai penduduk pendatang.
Mayoritas sebagai petani sedangkan yang paling sedikit bekerja sebagai
PNS, tingkat pendidikan mayoritas responden adalah lulus Sekolah Dasar
(SD). Penghasilan responden terbanyak kurang dari Rp. 500.000,00
perbulannya, sedikit sekali responden yang memiliki penghasilan diatas Rp.
3.000 000.00 perbulannya. Kondisi rumah responden kebanyakan sudah
permanen dan banyak yang belum memiliki kendaraan pribadi. Data
responden untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6.10.

Tabel 6.10. Karakteristik Responden di PGE Area Kamojang


No. Komponen Persentase (%)
A. Jenis Pekerjaan
1. Petani 41,67
2. Wiraswasta 30,00
3. PNS 6,67
4. Buruh tani 10,00
5. Karyawan 8,33
B. Tingkat Pendidikan
1. Lulus Sekolah Dasar 56,67
2. Lulus SMP 20,00
3. Lulus SMA / Sederajat 18,33
4. Tidak lulus SD 5,00
C. Penghasilan perbulan
1. Dibawah Rp. 500.000,- 61,67
2. Rp. 500.000,- s.d Rp. 1.000.000,- 25,00
3. Rp. 1.000.000,- s.d Rp. 3.000.000,- 11,67
4. Diatas Rp. 3.000.000,- 1,67
D. Kondisi Rumah
1. Permanen 41,67
2. Permanen sederhana 5,00
3. Semi Permanen 31,67
4. Belum Permanen 21,67
E. Kepemilikan kendaraan
1. Sepeda motor 28,33
2. Mobil 30,00
3. Belum memiliki 61,67
Sumber : Data Primer (2013)

Sikap responden terhadap kegiatan pengelolaan panas bumi di kawasan


Kamojang oleh PGE. Tingkat Pengetahuan responden tentang kegiatan
pengelolaan panas bumi oleh PGE di kawasan Kamojang : pengetahuan
responden terhadap kegiatan PGE di kawasan Kamojang cukup tinggi
sekitar 80% responden mengetahuinya, dan sisanya 20% tidak mengetahui
adanya aktifitas pengelolaan panas bumi oleh perusahaan.

59
Dari responden yang mengetahui aktifitas perusahaan sebanyak 60%
mengetahui aktifitas pengeboran PGE, 10% mengetahui adanya instalasi
jaringan pipa uap panas bumi di sekitar kawasan Kamojang. Mayoritas dari
masyarakat tidak merasa terganggu dengan adanya kegiatan pengelolaan
panas bumi di kawasan Kamojang, sebanyak 75%, sedangkan yang merasa
terganggu sebanyak 21%, sisanya tidak tahu. Masyarakat merasa tidak
terganggu dengan aktifitas pengelolaan panas bumi selama tidak merugikan
masyarakat setempat.
Manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat dari adanya kegiatan
pengelolaan panas bumi oleh PGE di kawasan Kamojang adalah sebagai
berikut :

1. Adanya bantuan sosial dari PGE, seperti hari raya keagamaan dan
nasional.
2. Bantuan pembangunan sarana fasilitas umum dan sosial, seperti jalan,
jembatan, mesjid dan puskesma
3. Kesempatan bekerja di PGE
4. Pemberdayaan masyarakat melalui usaha kemandirian dan pelatihan
keterampilan
5. Bantuan pengobatan gratis.
6. Bantuan sarana dan prasarana pendidikan dan beasiswa gratis.

Persepsi tentang Dampak yang ditimbulkan akibat kegiatan pengelolaan


panas bumi oleh PGE di kawasan Kamojang, sebanyak 60% responden
mengetahui dampak positif dari kegiatan pengelolaan panas bumi, sebanyak
25% tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan, dan sisanya mengetahui
dampak negatif yang ditimbulkan akibat kegiatan tersebut. Masyarakat
merasakan adanya kesenjangan sosial antara karyawan PGE dengan
masyarakat setempat sebanyak 45%, 35% menyatakan tidak ada
kesenjangan yang terjadi, dan sisanya menjawab tidak tahu. Masalah yang
pernah terjadi antara warga dengan pihak PGE area Kamojang adalah
kurangnya komunikasi antara pihak perusahaan dengan masyarakat
setempat, perusahaan terkesan tertutup dengan masyarakat. Kekhawatiran
responden, adanya kekhawatiran yang di timbulkan dari kegiatan
pengelolaan panas bumi adalah berupa longsor, gempa serta adanya
kecemburuan sosial terutama pada saat adanya perekrutan karyawan.
Ketika muncul konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan
ataupun dengan pihak lain, masyarakat lebih mengupayakan dialog dan
musyawarah dengan pihak terkait dengan mengutus wakil atau tokoh
masyarakat. Tokoh masyarakat yang biasanya diberikan wewenang untuk
menyelesaikan masalah tersebut adalah Kepala dusun, Ketua RT atau ketua
RW, Kepala Desa, Ketua Dewan Kemakmuran Mesjid dan LSM setempat.
Harapan masyarakat dengan adanya pengelolaan energi panas bumi di
kawasan Kamojang diantaranya : dapat bekerja sebagai karyawan di PGE
cukup tinggi,dengan harapan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
Bantuan dana pendidikan juga menjadi harapan masyarakat, agar adanya
peningkatan kualitas sumber daya manusia masyarakat serta dapat
memenuhi kualifikasi perekrutan karyawan di PGE. Pemberdayaan

60
masyarakat, khususnya untuk usaha produktif dari PGE diharapkan
masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan
ekonomi setempat. Selain itu, adanya bantuan kesehatan gratis kepada
mereka secara rutin menjadi harapan masyarakat.
Tahap selanjutnya dilakukan identifikasi kelompok kepentingan yang
ada, sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing kelompok, faktor
yang bisa menyebabkan konflik dan identifikasi terhadap jenis penyelesaian
konflik, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6.11.

Tabel 6.11. Identifikasi Stakeholder pada Pengelolaan Panas Bumi di


Kawasan Kamojang
Faktor
Identifikasi Fungsi dan Identifikasi
No. Terjadinya
Kelompok Kewenangan Penyelesaian Konflik
Konflik
1. PT. Pertamina Pemegang WKP Perekrutan Rekrutmen karyawan
Geothermal Pengelolaan Karyawan/Pega dari masyarakat setempat
Energi (PGE) Panas Bumi di wai di sesuai dengan
Kawasan Perusahaan keahliannya
Kamojang
2. Balai Otoritas terhadap Adanya Adanya batasan yang
Konservasi Hutan Konservasi perambahan jelas dari kawasan
Sumberdaya dan Cagar Alam kawasan hutan konservasi dan cagar
Alam Kawasan konservasi dan alam yaitu zona inti,
(BKSDA) Kamojang cagar alam oleh zona penyangga dan
Jawa Barat masyarakat dan zona pemanfaatan.
perusahaan Masyarakat boleh
memanfaatkan hasil
hutan untuk kebutuhan
sehari-hari pada kawasan
zona pemanfaatan. Zona
inti dan penyangga
dilarang ada aktifitas
yang dapat mengganggu
fungsi hutan tersebut.
3. Perum Otoritas terhadap Adanya Pemberdayaan
Perhutani Kawasan Hutan perambahan masyarakat melalui pola
Lindung yang kawasan hutan Lembaga Masyarakat
digunakan oleh lindung oleh Desa Hutan (LMDH),
PGE masyarakat dan masyarakat dapat
perusahaan memanfaatkan kawasan
hutan lindung dengan
pola tumpang sari
(agroforestry) tanpa
menggangu tanaman
pokoknya.
4. Pemerintah Otoritas daerah Terhambatnya Pemenuhan segala
Kaupaten yang melindungi perizinan persyaratan perizinan
keutuhan Pengelolaan panas sesuai dengan peraturan
wilayahnya, bumi perundangan yang
peningkatan berlaku
kesejahteraan
masyarakat
setempat,
terjaganya
lingkungan hidup
wilayahnya

61
No. Identifikasi Fungsi dan Faktor Identifikasi
Kelompok Kewenangan Terjadinya Penyelesaian Konflik
Konflik
5. Lembaga Kelompok aktifitas Adanya Menjalankan seluruh
Swadaya masyarakat yang pelanggaran yang aktifitas kegiatan
Maasyarakat mengontrol dilakukan oleh pengelolaan panas bumi
ketaatan aturan dan perusahaan sesuai dengan Standar
kearifan lokal di Prosedur yang ada di
lingkungan Perusahaan dan
setempat Peraturan prundangan
yang berlaku
6. Karang Kelompok aktiftas Tidak ada Memberikan pekerjaan
Taruna / masyarakat yang pekerjaan yang yang sesuai dengan
Kelompok membutuhkan melibatkan keahlian dan kemampuan
Pemuda pekerjaan dan usaha kelompok pemuda kelompok pemuda
lainnya kemandiriannya tersebut
7. Masyarakat Kelompok Tidak berjalannya Melaksanakan
masyarakat usia pemberdayaan pemberdayaan
belum produktif, masyarakat, masyarakat sesuai
usia produktif dan diskriminasi dengan kabutuhan dan
usia tidak produktif dalam rekrutmen berkelanjutan
karyawan
8. Mitra kerja Kelompok Tidak adanya Hubungan kerja bersifat
(Bussiness masyarakat yang permintaan jangka pendek dan
support) menunjang aktifitas pesana barang dan jangka panjang melalui
PGE PGE (Warung jasa dari kontrak kerjasama
makan, Kelontong, perusahaan
Sembako)
9. Karyawan Kelompok yang Kondisi kerja Melaksanakan aturan
memiliki tidak harmonis kerja sesuai dengan
kemampuan dan ketidak peraturan dan
keterampilan dan stabilan perundangan yang ada,
pengetahuan untuk pendapatan, setiap pelanggaran
menjalankan adanya mogok dilakukan sesuai dengan
operasional kerja Standar Operasional
Pengelolaan Panas Prosedur (SOP)
Bumi di PT. Perusahaan
Pertamina
Geothermal Energy
10. Kepolisian Otoritas keamanan Tidak adanya Melaporkan setiap
sosial dan pelayanan kegiatan yang dapat
perlindungan aset terhadap menimbulkan
dan personel PGE keamanan dan terganggunya keamanan
perlindungan aset sosial serta aset dan
dan personel personil perusahaan
perusahaan
Sumber : Data primer (2013)

Berdasarkan analisis konflik dari masing-masing kelompok potensi konflik


muncul antara pihak perusahaan sebagai pengelolaa panas bumi dengan
masyarakat setempat, penyelesaiannya dilakukan melalui dialog dan musyawarah
dengan mengirimkan perwakilan atau tokoh masyarakat. Secara umum dalam
pengelolaan Energi Panas Bumi di kawasan Kamojang tidak ada konflik yang
muncul secara langsung dari para pihak yang teridentifikasi. Masalah yang ada
berhubungan dengan masalah kecemburuan sosial dalam pemenuhan kebutuhan
hidup.

62
6.6. Analisis Stakeholder
Pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang ada beberapa stakeholder
yang terlibat dalam pengelolaan panas bumi. Analisis stakeholder dilakukan untuk
mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat kepentingan dan pengaruhnya)
dalam pengelolaan energi sumberdaya energi panas bumi di kawasan Kamojang,
Jawa Barat. Berdasarkan hasil wawancara dan pendalaman, maka diperoleh 15
stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan panas bumi. Pada Tabel 6.12. di
sajikan profile peran masing-masing stakeholder yang terlibat.

Tabel 6.12. Analisis Stakeholder Pengelolaan Energi Panas Bumi di Kamojang


No. Stakeholder Peranan
1. PT. Pertamina Geothermal Energi Pemegang WKP Pengelolaan Panas Bumi di
(PGE) Kawasan Kamojang
2. Balai Konservasi Sumberdaya Otoritas terhadap Hutan Konservasi dan Cagar
Alam (BKSDA) Jawa Barat Alam Kawasan Kamojang
3. Perum Perhutani Otoritas terhadap Kawasan Hutan Lindung yang
digunakan oleh PGE
4. Pemerintah Pusat Otoritas Pengusahaan Pengelolaan Panas Bumi
5. Pemerintah Kabupaten Otoritas daerah yang melindungi keutuhan
wilayahnya, peningkatan kesejahteraan masyarakat
setempat, terjaganya lingkungan hidup wilayahnya
6. Pemerintah Provinsi Jawa Barat Pelelangan WKP, Pengawasan Pengelolaan Panas
Bumi
7. PT. Indonesia Power Pembeli Uap Panas Bumi PGE sebesar 140 Mwe
8. PT. PLN P3B (Persero) Pembeli tunggal energi listrik PGE sebesar 60
MWe
9. Lembaga Swadaya Maasyarakat Kelompok aktifitas masyarakat yang mengontrol
ketaatan aturan dan kearifan lokal di lingkungan
setempat
10. Karang Taruna / Kelompok Pemuda Kelompok aktiftas masyarakat yang membutuhkan
pekerjaan dan usaha kemandiriannya
11. Masyarakat Kelompok masyarakat usia belum produktif, usia
produktif dan usia tidak produktif
12. Supplier/Vendor PGE Kelompok pemasok barang dan jasa terhadap PGE
13. Mitra kerja (Bussiness support) Kelompok masyarakat yang menunjang aktifitas
PGE PGE (Warung makan, Kelontong, Sembako)
14. Karyawan Kelompok yang memiliki kemampuan keterampilan
dan pengetahuan untuk menjalankan operasional
Pengelolaan Panas Bumi di PGE
15. Masyarakat Energi Terbarukan Kelompok masyarakat praktisi, akademisi, peneliti,
Indonesia/Asosiasi Panas Bumi pengamat dalam pengelolaan panas bumi
Indonesia (API)
Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Setelah diketahui peran dari masing-masing pihak, selanjutnya


mengkatagorikan stakeholder berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya. Para
stakeholder dipetakan ke dalam matriks analisis stakeholder berdasarkan besarnya
kepentingan dan pengaruh.
Penilaian besarnya kepentingan dan pengaruh stakeholder menggunakan
skala likert yaitu nilai 5 : sangat tinggi, 4 : tinggi, 3 : cukup, 2 : kurang tinggi, 1 :
rendah. Dimana jumlah maksimum nilai yang akan diperoleh stakeholder adalah
25 poin untuk besarnya kepentingan dan 25 poin untuk besarnya pengaruh.

63
Penilaian besarnya kepentingan stakeholder pada pengelolaan panas bumi di
Kamojang dapat dilihat pada Tabel. 6.13.

Tabel 6.13. Penilaian tingkat kepentingan stakeholder


No. Stakeholder K1 K2 K3 K4 K5 Nilai
1. PT. Pertamina Geothermal Energi
5 5 5 5 5 25
(PGE)
2. Balai Konservasi Sumberdaya
2 3 5 4 4 18
Alam (BKSDA) Jawa Barat
3. Perum Perhutani 2 3 3 3 2 13
4. Kementerian ESDM 3 4 5 4 4 20
5. Pemerintah Kabupaten 1 3 4 3 3 14
6. Pemerintah Provinsi Jawa Barat 3 4 5 4 5 21
7. PT. Indonesia Power 1 3 2 3 4 13
8. PT. PLN P3B (Persero) 1 4 3 3 3 14
9. Lembaga Swadaya Maasyarakat 1 3 3 3 4 14
10. Karang Taruna / Kelompok Pemuda 1 2 3 3 4 13
11. Masyarakat 2 3 4 4 4 17
12. Supplier/Vendor PGE 3 3 3 1 3 13
13. Mitra kerja (Bussiness support) 3 3 3 1 3 13
14. Karyawan 5 4 1 4 5 19
15. Masyarakat Energi Terbarukan
Indonesia/Asosiasi Panas Bumi 1 3 2 1 5 12
Indonesia (API)
Sumber : Data primer (2013)

Keterangan :
K1 : Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan energi panas bumi,
K2 : Ketergantungan stakeholder terhadap pengelolaan energi panas bumi,
K3 : Peran masing-masing stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan energi
panas bumi,
K4 : Manfaat yang diperoleh stakeholder dari pengelolaan energi panas bumi, dan
K5 : Kepentingan stakeholder terhadap pengelolaan energi panas bumi yang
berkelanjutan.

Berdasarkan hasil penilaian tingkat kepentingan stakeholder pengelolaan


panas bumi pada Tabel 6.13, terlihat bahwa PGE memiliki nilai kepentingan yang
tertinggi, kemudian diikuti oleh Kementerian ESDM dan Pemerintah Provinsi
Jawa Barat. PGE sebagai pemilik WKP pengelolaan panas bumi di Kamojang,
memiliki kepentingan terhadap pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang
dapat berjalan dengan baik. Pengelolaan panas bumi yang berjalan baik akan
mendatangkan nilai ekonomi secara langsung, membawa dampak pada
kesejahteraan karyawan dan masyarakat setempat. Sedangkan Kementerian
ESDM, sebagai otoritas dari pemerintah pusat yang memberikan hak pengelolaan
panas bumi kepada PGE, memiliki kepentingan agar pengelolaan panas bumi di
kawasan kamojang dapat memenuhi kebutuhan energi nasional.
Sedangkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, sebagai pemberi WKP dan
pemberi ijin IUP memiliki kepentingan agar pelaksanaan pengelolaan panas bumi
dapat berjalan secara optimal dengan tetap membawa dampak pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat setempat serta kelestarian lingkungan, sebagai fungsi
pengawasan pengelolaan panas bumi. Karyawan PGE memiliki kepentingan yang
cukup tinggi terhadap pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang, karena akan

64
berhubungan dengan kesejahteraan karyawan dan keberlanjutan usaha
perusahaan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat, juga
memiliki kepentingan terhadap pengelolaan panas bumi, mengingat dengan
adanya pengelolaan panas bumi akan meningkatkan pengawasan lingkungan oleh
perusahaan, serta adanya biaya lingkungan untuk penghijauan dan pergantian
lahan yang akan dipakai perusahaan untuk kegiatan pembukaan sumur baru,
perluasan wilayah kerja serta pembangunan infrastruktur pendukung lainnya. PT.
Indonesia Power dan PT. PLN memiliki kepentingan yang cukup tinggi terhadap
pengelolaan panas bumi, karena uap yang dihasilkan PGE memasok kebutuhan
pembangkit listrik dan energi. Sedangkan PT. PLN sebagai pembeli tunggal
energi listrik yang dihasilkan PGE untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik
Jaringan Jawa, Madura dan Bali.
Masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, karang taruna, mitra
kerja, supplier perusahaan, memiliki kepentingan yang cukup tinggi terhadap
pengelolaan panas bumi di Kamojang, karena berhubungan dengan adanya
peluang pekerjaan yang dapat dilakukan dan penerimaan karyawan perusahaan.
Sedangkan bagi Perum Perhutani dengan adanya pengelolaan panas bumi di
kamojang, berkaitan dengan lahan yang digunakan perusahaan, akan tetapi proses
pinjam pakai atau tukar menukar kawasan hutan, menyebabkan perum perhutani
tidak terlalu terlibat secara langsung dalam pengelolaan dan pengawasan panas
bumi yang dilakukan oleh perusahaan. Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) atau
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) memiliki kepentingan yang
paling rendah karena lebih bersifat koordinasi, bukan pelaksana ataupun
pengambil kebijakan pengelolaan panas bumi.
Selanjutnya dilakukan penilaian tingkat pengaruh stakeholder dalam
pengelolaan panas bumi di Kamojang. Berdasarkan penilaian tingkat kepentingan
yang sudah dilakukan, beberapa stakeholder memiliki tingkat kepentingan yang
tinggi, ada kemungkinan memiliki tingkat pengaruh yang tinggi juga atau
sebaliknya. Penilaian tingkat pengaruh stakeholder pengelolaan panas bumi di
kawasan Kamojang disajikan pada tabel 6.14. terlihat bahwa PGE memiliki
pengaruh yang sangat tinggi terhadap pengelolaan panas bumi karena hampir
semua kriteria penilaian dimilikinya. Dukungan sumberdaya manusia,
kemampuan pendanaan dan manajemen yeng dimiliki perusahaan sangat
mempengaruhi terhadap pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang.
Kementerian ESDM memiliki pengaruh yang kuat terkait dengan pemberian
hak pengelolaan panas bumi kepada PGE di kawasan Kamojang berdasarkan
Surat Keputusan dari Menteri ESDM. Kewenangan dari Kementerian ESDM
dapat mencabut hak pengelolaan panas bumi tersebut. Sama halnya dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang memiliki pengaruh yang kuat, dimana
perijinan IUP maupun WKP diberikan. Lebih khususnya pada pengelolaan panas
bumi yang memberikan dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
Asosiasi Panas bumi Indonesia (API) maupun Masyarakat Energi Terbarukan
Indonesia (METI) memiliki pengaruh dalam koordinasi dan pengambilan
kebijakan pengelolaan panas bumi di perusahaan, maupun pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat,
berpengaruh tinggi terhadap pengelolaan panas bumi karena memiliki otoritas
kawasan hutan konservasi dan kawasan cagar alam Kamojang. Pengelolaan panas

65
bumi yang merugikan kawasan hutan dapat dicabut hak pakai kawasan hutan
berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan.

Tabel 6.14. Penilaian tingkat pengaruh stakeholder


No. Stakeholder P1 P2 P3 P4 P5 Nilai
1. PT. Pertamina Geothermal Energi 5 5 5 5 5 25
2. Balai Konservasi Sumberdaya
5 4 3 2 4 18
Alam (BKSDA) Jawa Barat
3. Perum Perhutani 3 4 2 1 3 13
4. Kementerian ESDM 4 4 4 5 5 22
5. Pemerintah Kabupaten 4 4 3 2 3 16
6. Pemerintah Provinsi Jawa Barat 4 5 4 4 5 22
7. PT. Indonesia Power 4 4 3 4 3 18
8. PT. PLN P3B (Persero) 4 4 3 4 3 18
9. Lembaga Swadaya Maasyarakat 3 3 3 1 4 14
10. Karang Taruna/Kelompok Pemuda 3 3 3 1 4 14
11. Masyarakat 3 3 3 1 1 11
12. Supplier/Vendor PGE 2 2 3 1 1 9
13. Mitra kerja (Bussiness support) 2 2 3 1 1 9
14. Karyawan 1 2 5 1 2 11
15. Masyarakat Energi Terbarukan
Indonesia/Asosiasi Panas Bumi 3 3 3 5 5 19
Indonesia (API)
Sumber : Data primer (2013)

Keterangan :
P1 : Instrumen dan sumber kekuatan (power) yang dimiliki masing-masing
stakeholder,
P2 : Posisi derajat Stakeholder dalam pembuatan keputusan,
P3 : Dukungan SDM terhadap pengelolaan sumberdaya energy panas bumi,
P4 : Kemampuan Pendanaan dan Manajemen terhadap pengelolaan
sumberdaya energy panas bumi,
P5 : Interaksi dengan stakeholder lainnya,

PT. Indonesia Power dan PT. PLN memiliki pengaruh tinggi terhadap
pengelolaan energy panas bumi karena sebagai pembeli tunggal dari uap panas
bumi yang dihasilkan PGE sebesar 140 MWe, sedangkan PT. PLN sebagai
pembeli tunggal energi listrik yang dihasilkan pembangkit PGE di kawasan
Kamojang. Keduanya, berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan panas
bumi sesuai dengan harga kontrak pembelian. Pemerintah Kabupaten Bandung
dan Perum Perhutani memiliki pengaruh yang cukup tinggi, berkaitan dengan
perijinan lahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Mitra kerja,
Supplier, masyarakat, LSM dan Karang Taruna memiliki pengaruh yang rendah
terhadap pengelolaan panas bumi secara langsung, karena terkait pada posisi
dalam pengambilan kebijakan, kurangnya dukungan sumberdaya manusia,
kemampuan pendanaan dan manajemen pengelolaan panas bumi. Kemampuan
berinteraksi dengan stakeholder lain menjadi faktor kurangnya penilaian terhadap
pengaruh stakeholder dalam pengelolaan panas bumi.
Setelah dilakukan identifikasi, pemetaan kepentingan dan pengaruh
stakeholder dalam pengelolaan panas bumi di Kamojang. Kemudian dilakukan
pemetaan ke dalam matriks analisis grid stakeholder. Matriks ini terdiri dari 4

66
kuadran, yaitu penonton (Spectator), Aktor (Actor), Subjek (Subject) dan Pemain
(Player), posisi dari masing-masing stakeholder akan dipetakan sesuai dengan
hasil penilaian tingkat kepentingan dan pengaruh.

Matrix Plot of Kepentingan vs Pengaruh


30
30 30
Subjek (Subject) Pemain (Player)
P T. P ertamina Geothermal Energi
25

P emprov Jabar
20 Kementerian ESDM
Kepentingan

Karyawan BKSDA Jabar

Masyarakat
15 LSM
Mitra P GE P T. P LN
P erhutani P emkab P T. Indonesia P ower
Supplier Karang Taruna
METI/AP I
10

Penonton (Spectator) Aktor (Actor)


5

0 5 10 15 20 25 30
Pengaruh

Gambar 6.2. Matrik Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder pada Pengelolaan


Panas Bumi di Kawasan Kamojang

Berdasarkan analisis grid stakeholder pada gambar 6.2. diperoleh bahwa


PGE, Kementerian ESDM, Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan Balai Konservasi
Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat berada pada posisi sebagai pemain
(player). PGE sebagai perusahaan pemegang hak atas pengelolaan panas bumi di
kamojang berdasarkan Surat Keputusan Menteri ESDM dan mendapatkan ijin
untuk memanfaatkan kawasan hutan konservasi dan cagar alam kawasan
Kamojang berdasarkan rekomendasi dari BKSDA Jawa Barat, dalam hal ini
Kementerian Kehutanan. Kepentingan dari PGE terhadap pengelolaan panas
bumi, supaya pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang dapat berjalan baik
dan berkelanjutan. Pengelolaan panas bumi yang berjalan baik akan
mendatangkan nilai ekonomi secara langsung, membawa dampak pada
kesejahteraan karyawan dan masyarakat setempat. Sedangkan dukungan
sumberdaya manusia, kemampuan pendanaan dan manajemen yang dimiliki
perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang.
Sedangkan Kementerian ESDM, sebagai otoritas dari pemerintah pusat yang
memberikan hak pengelolaan panas bumi kepada PGE, memiliki kepentingan agar
pengelolaan panas bumi di kawasan kamojang dapat memenuhi kebutuhan energi
nasional. Kementerian ESDM memiliki pengaruh yang kuat terkait dengan
pemberian hak pengelolaan panas bumi kepada PGE di kawasan Kamojang dan
dapat mencabut hak pengelolaan panas bumi tersebut apabila adanya
penyimpangan.
Sedangkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, sebagai pemberi WKP dan
pemberi ijin IUP memiliki kepentingan agar pelaksanaan pengelolaan panas bumi
dapat berjalan secara optimal, adanya pemasukan pendapatan daerah melalui
pajak dengan tetap membawa dampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat

67
setempat serta kelestarian lingkungan, juga sebagai fungsi pengawasan
pengelolaan panas bumi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang memiliki
pengaruh yang kuat, dimana perijinan Amdal, RKL/UPL, IUP maupun WKP yang
diberikan dapat dicabut kembali.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat, juga memiliki
kepentingan terhadap pengelolaan panas bumi, mengingat dengan adanya
pengelolaan panas bumi akan meningkatkan pengawasan lingkungan oleh
perusahaan, serta adanya biaya lingkungan untuk penghijauan dan pergantian
lahan yang akan dipakai perusahaan untuk kegiatan pembukaan sumur baru,
perluasan wilayah kerja serta pembangunan infrastruktur pendukung lainnya.
Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat, berpengaruh tinggi
terhadap pengelolaan panas bumi karena memiliki otoritas kawasan hutan
konservasi dan kawasan cagar alam Kamojang. Pengelolaan panas bumi yang
merugikan kawasan hutan dapat dicabut hak pakai kawasan hutan berdasarkan
keputusan Menteri Kehutanan. BKSDA Jabar dapat mencabut dan melarang
penggunaan kawasan hutan konservasi dan cagar alam di kawasan Kamojang
untuk pengelolaan panas bumi oleh PGE.
Masyarakat setempat dan Karyawan PGE berperan sebagai subjek (subject)
memiliki kepentingan yang cukup tinggi terhadap pengelolaan panas bumi di
kawasan Kamojang, sedangkan pengaruh yang dimiliki tidak sebesar
kepentingannya. Masyarakat sebagai kontrol sosial terhadap operasional
pengelolaan panas bumi yang sesuai dengan aturan berlaku, ketertiban lingkungan
sosial masyarakat. Kebutuhan tenaga kerja lokal, ketertiban lingkungan sosial
masyarakat. Kesejahteraan masyarakat dan karyawan, peningkatan kualitas hidup
(agama, pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, budaya), ketertiban lingkungan
sosial masyarakat sangat berkaitan dengan keberlanjutan perusahaan dalam
pengelolaan panas bumi. Masyarakay dan karyawan dapat bergeser perannya
menjadi pemain (player) dengan meningkatkan pengaruhnya terutama dalam
berinteraksi dengan stakeholder lainnya, yang selama ini masih lemah, mengingat
pengaruh yang lainnya susah untuk ditingkatkan.
Dari hasil analisis terlihat bahwa, PT. Indonesia Power, PT. PLN,
Pemerintah Kabupaten dan Asosiasi Panas Bumi Indonesia/METI berada pada
posisi sebagai Aktor (actor). PT. Indonesia Power, memiliki kepentingan yang
tinggi terhadap pengelolaan panas bumi, khususnya terhadap kualitas dan
Kontinuitas pasokan uap panas bumi uap yang dihasilkan PGE sebesar 140 MWe
untuk memasok kebutuhan pembangkit listrik PT. Indonesia Power
Kualitas dan Kontinuitas pasokan energi listrik yang dihasilkan PGE untuk
memenuhi kebutuhan pasokan listrik Jaringan Jawa, Madura dan Bali. Penurunan
harga uap, pemutusan kontrak pembelian uap panas bumi. PT. Indonesia Power
dan PT. PLN memiliki pengaruhi yang tinggi dan dapat menggunakan pengaruh
tersebut untuk menurunkan harga beli energi listrik, boikot pembelian listrik,
pemutusan kontrak pembelian uap panas bumi dapat terjadi, ketika tidak adanya
hubungan yang baik antara PGE dengan PT. Indonesia Power dan PT. PLN.
Pemerintah Kabupaten Bandung, berkepentingan terhadap peningkatan
pajak, pemasukan pendapatan daerah, perkembangan masyarakat setempat,
perlindungan lingkungan hidup. Asosiasi panas bumi (API) atau Masyarakat
Energy Terbarukan Indonesia (METI) memiliki kepentingan yang paling rendah
karena lebih bersifat koordinasi, bukan pelaksana ataupun pengambil kebijakan

68
pengelolaan panas bumi. Asosiasi Panas bumi Indonesia (API) maupun
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) memiliki pengaruh dalam
koordinasi dan pengambilan kebijakan pengelolaan panas bumi di perusahaan,
maupun pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tidak ada inovasi dan
perkembangan dalam pengelolaan panas bumi.
Perum Perhutani, Lembaga swadaya masyarakat, karang taruna, mitra kerja,
supplier perusahaan, berada pada posisi sebagai penonton (Spectator) pengelolaan
panas bumi di Kamojang, karena berhubungan dengan adanya peluang pekerjaan
yang dapat dilakukan dan penerimaan karyawan perusahaan. Perum Perhutani
dapat mencabut dan melarang penggunaan kawasan hutan lindung di Kamojang
untuk pengelolaan panas bumi. Sedangkan bagi Perum Perhutani dengan adanya
pengelolaan panas bumi di kamojang, berkaitan dengan lahan yang digunakan
perusahaan, akan tetapi proses pinjam pakai atau tukar menukar kawasan hutan,
menyebabkan perum perhutani tidak terlalu terlibat secara langsung dalam
pengelolaan dan pengawasan panas bumi yang dilakukan oleh perusahaan.

6.7. Analisis Formulasi Kebijakan dengan MCDM


Tujuan utama dari penelitian ini adalah membuat formulasi kebijakan dalam
pengelolaan panas bumi dengan menggunakan analisis Multi Criteria Decesion
Making (MCDM). MCDM digunakan sebagai alat analisis karena dalam membuat
kebijakan pengelolaan panas bumi memiliki variabel yang cukup banyak dan
merupakan teknik pengambilan keputusan multi-variabel berbasis non-
parametrik, karena melibatkan banyak kriteria. Karena itu, pembobotan dari
setiap kriteria menjadi penting dan menentukan. Selain kriteria, MCDM juga
melibatkan alternatif/pilihan yang bisa diambil, analisis MCDM merupakan
pemilihan alternatif terbaik dengan mempertimbangkan setiap kriteria dari
alternative tersebut.
Kriteria yang digunakan dalam Formulasi kebijakan ini berdasarkan hasil
wawancara dan pendalaman, maka diperoleh nilai pembobotan untuk masing-
masing kriteria pada Tabel 6.15.

Tabel 6.15. Kriteria dan Bobot Nilai untuk Formulasi Kebijakan


Bobot Nilai
No Kriteria
(%)
1. Aspek Ekonomi 35
2. Aspek Lingkungan 30
3. Aspek Sosial Masyarakat 25
4. Aspek Kelembagaan / Peraturan 10
Sumber : Data primer (2013)

Formulasi kebijakan dalam pengelolaan panas bumi, dengan


mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan kelembagaan.
Masing-masing aspek diberikan bobot nilai berdasarkan keutamaan aspek-
aspek tersebut. Potensi ekonomi dari pengelolaan panas bumi menjadi
pertimbangan utama, dengan bobot nilai yang tinggi sekitar 35 %, potensi
panas bumi yang besar dapat memberikan nilai dan kontribusi buat
pendapatan negara, adanya pertumbuhan ekonomi lokal dan penciptaan
lapangan kerja. Meskipun aspek ekonomi menjadi tujuan utama, tentunya
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan di sekitar WKP pengelolaan

69
panas bumi harus menjadi fokus perhatian bagai operator atau perusahaan
pengembang, karena pengelolaan panas bumi sangat tergantung dari
keberadaan hutan, khususnya air sebagai komponen utama dari panas bumi.
Atas dasar inilah, keberlanjutan pengelolaan energi panas bumi menjadi
perhatian, bobot nilai untuk aspek lingkungan 30 %.
Tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas hidup masyarakat
setempat melalui program pemberdayaan masyarakat, khususnya kesehatan,
pendidikan, keagamaan, kemandirian dan kebudayaan. Bobot penilaian untuk
aspek sosial masyarakat sekitar 25%. Selain itu, kelembagaan dan peraturan
yang ada di pemerintah pusat maupun di daerah di harapkan dapat
mendukung percepatan pengembangan pengelolaan panas bumi, dengan
bobot nilai 10 %. Setelah dilakukan pengukuran numerik terhadap kriteria,
dapat terlihat pada tabel 6.16. dibawah ini.

Tabel 6.16. Pembobotan terhadap Penilaian Kriteria


Kriteria Penilaian Indeks
Adanya Kontribusi terhadap peningkatan Pendapatan
Nasional dan Daerah, Pajak, bea masuk dan pungutan lain
40
atas cukai dan impor, serta penerimaan negara bukan pajak
daerah dan retribusi daerah.
Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal 30
Penciptaan lapanagan kerja baru 25
Tidak ada pemasukan dan peningkatan ekonomi nasional
5
dan daerah
100
Terjaganya kelestarian hutan dan ekosistemnya 35
Pajak Jasa Lingkungan 30
Lingkungan
Terpeliharanya akuiver air tanah secara berkelanjutan 25
Peningkatan luas tutupan hutan 10
100
Sosial Peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat 35
Perbaikan kualitas hidup masyarakat 30
Mengurangi konflik sosial 25
Masyarakat dapat memanfaatkan hasil hutan 10
100
Kelembagaan Percepatan pengelolaan potensi panas bumi yang ada 35
Pengawasan terhadap fungsi kawasan hutan konservasi dan
30
lindung
Diakuinya hak-hak masyarakat setempat terhadap
25
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan setempat
Ketegasan dalam penegakan aturan 10
100
Sumber : Data primer (2013)
Berdasarkan hasil analisa maka disusun alternatif-alternatif pilihan kebijakan
yang akan diformulasikan sebagai kebijakan dalam pengelolaan panas bumi,
sebagai berikut :

1. Mendorong pengembangan potensi panas bumi dan pengelolaan panas bumi


skala kecil. Target pengembangan sampai dengan tahun 2025 adalah 3 267
Mwe (27 % dari road Map Naasional 12.000 Mwe). Banyaknya WKP yang
belum dikelola dan tidak ada pembangunan.

70
2. Pemanfaatan panas bumi secara langsung untuk kegiatan wisata (pemandian)
dan agribisnis (budidaya jamur). Pemanfaatan langsung panas bumi untuk
pemberdayaan masyarakat, uap panas bumi dapat digunakan untuk sumber air
panas wisata pemandian, dan dapat dijadikan sebagai uap panas untuk
sterilisasi media tumbuh budidaya jamur. Uap panas bumi dapat dijadikan
sebagai penghangat rumah-rumah home stay di kawasan wisata alam.
3. Pendirian Pusat Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi. Kurangnya
Sumberdaya Manusia yang dibutuhkan untuk pengelolaan panas bumi sesuai
dengan amanah undang-undang, khususnya untuk kegiatan pengelolaan
informasi geologi dan potensi Panas Bumi, inventarisasi dan penyusunan
neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi; dan melakukan kegiatan
Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan Panas Bumi.
4. Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi,
Panas bumi bukan barang tambang. Sebelumnya, salah satu penyebab
terhambatnya pengembangan panas bumi adalah, menjadikan panas bumi
sebagai barang tambang. Saat ini panas bumi yang berada kawasan hutan
konservasi dapat di kelola dengan mendapatkan izin pemanfaatan jasa
lingkungan dari Menteri Kehutanan, perlu adanya aturan turunan dari Undang-
undang tersebut.
5. Renegosiasi dan Peningkatan Nilai Jual Energi Panas Bumi. Harga jual energi
panas bumi saat ini sekitar US$ 9.7 sen/KWh atau rata-rata sekitar Rp. 1
001.50, dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar adalah Rp. 10.324,74.
6. Adanya participacing interest kepada BUMD dan BUMN. Sesuai dengan
amanah undang-undang Pemegang Izin Panas Bumi yang berbentuk badan
usaha swasta wajib menawarkan participating interest paling banyak sebesar
10% (sepuluh persen) kepada badan usaha milik daerah atau badan usaha milik
negara paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak disetujuinya rencana
pengembangan yang pertama kali.
7. Pemberdayaan Masyarakat (Kesejahteraan, Kesehatan, Pendidikan,
Keagamaan, Pemuda dan Kebudayaan). Kewajiban perusahaan melibatkan
masyarakat setempat dalam pengelolaan panas bumi serta meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat tersebut.
8. Kepastian waktu perijinan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kepastian waktu perijinan baik dari pemerintah pusat dan daerah, cukup lama
secara ekonomis investasi pengelolaan panas bumi menjadi tidak layak.
9. Mempertegas rekomendasi dan izin Penggunaan dan Pemanfaatan kawasan
Hutan (khususnya kawasan hutan konservasi). Belum adanya aturan untuk
melakukan kegiatan pengunaan dan pemanfaatan hutan di kawasan Konservasi
dan cagar alam. Selama ini, pola yang digunakan adalah sistem pinjam pakai
kawasan hutan dengan kompensasi.
10. Perlindungan keanekaragaman hayati dan kewajiban konservasi sumberdaya
air tanah. Reklamasi dan reboisasi kawasan yang terbuka dan menjaga
ketersediaan air di reservoar. Sesuai denga peraturan yang ada bahwa aktifitas
pertambangan bawah tanah di kawasan hutan lindung tidak boleh
menimbulkan kerusakan akuiver air tanah.

Setelah ditetapkan kriteria dan alternatif kebijakan, kemudian dibuatkan


bobot penilaian. Hasil dari bobot penilaian tersebut dapat dilihat pada lampiran 4.

71
Data tersebut diuji dengan non-dominated testing, alternatif yang diusahakan pada
kondisi non-dominated. Setelah semua alternatif tidak saling mendominasi maka
dapat dilanjutkan dengan analisa MCDM dengan metode TOPSIS. Tabel 6.17.
menunjukan hasil tes non dominasi.

Tabel 6.17. Data Input Analisa MCDM menggunakan Metode TOPSIS


MAX MAX MAX MAX
Ekonomi Lingkungan Sosial Kelembagaan
A 01 40 30 35 35
A 02 30 35 35 30
A 03 40 35 10 30
A 04 25 35 35 35
A 05 40 30 35 35
A 06 30 35 35 30
A 07 30 35 30 35
A 08 40 35 25 25
A 09 30 35 35 30
A 10 40 35 25 25
Vhy 35,00000 30,00000 25,00000 10,00000

Sumber : Diolah dari data primer (2013)

Setelah dilakukan tes nondominasi, selanjutnya dilakukan analisa MCDM


dengan menggunakan program Sanna, dengan metode TOPSIS (Technique for
Order Preference by Similarity to Ideal Situation), selengkapnya dapat dilihat
pada lampiran 3. dengan memaksimalkan semua kriteria, diperoleh data sebagai
berikut:

GRAPH OF R.U.V. VALUES TOPSIS-1

A 10 0.69501
A 09 0.67759
A 08 0.69501
A 07 0.62190
A 06 0.67759
A 05 0.85198
A 04 0.58185
A 03 0.43736
A 02 0.67759
A 01 0.85198

0.00000 0.10000 0.20000 0.30000 0.40000 0.50000 0.60000 0.70000 0.80000 0.90000

Gambar 6.3. Grafik Hasil analisa MCDM menggunakan Metode TOPSIS

Dari hasil analisa MCDM dengan metode TOPSIS diperoleh data bahwa
alternatif A01 memperoleh nilai 0.85198, alternatif A02 mendapat nilai 0.67759,
alternatif A03 mendapat nilai 0.43736, alternatif A04 mendapat nilai 0.58185,
alternatif A05 mendapat nilai 0.85198, alternatif A06 mendapat nilai 0.67759,

72
alternatif A07 mendapat nilai 0.62190, alternatif A08 mendapat nilai 0.69501,
alternatif A09 mendapat nilai 0.67759 dan alternatif A10 mendapat nilai 0.69501.
Dari hasil analisia tersebut kemudian di urutkan sesuai dengan nilai yang
terbesar ke nilai yang terkecil, di peroleh Tabel 6.18.

Tabel 6.18. Urutan Peringkat Alternatif Pilihan


Peringkat Alternatif Nilai
1 A 01 0,85198
2 A 05 0,85198
3 A 08 0,69501
4 A 10 0,69501
5 A 02 0,67759
6 A 06 0,67759
7 A 09 0,67759
8 A 07 0,62190
9 A 04 0,58185
10 A 03 0,43736
Sumber : Diolah dari data primer (2013)

Dari hasil analisa MCDM maka kita mendapatkan Formulasi Kebijakan


Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi (Geothermal) di Kawasan
Kamojang Jawa Barat, adalah dengan urutkan sebagai berikut :
1. Mendorong pengembangan potensi dan pengelolaan panas bumi skala kecil.
2. Renegosiasi dan Peningkatan Nilai Jual Energi Panas Bumi,
3. Kepastian waktu perijinan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
4. Perlindungan keanekaragaman hayati dan kewajiban konservasi sumberdaya
air tanah,
5. Pemanfaatan panas bumi secara langsung untuk kegiatan wisata (pemandian)
dan agribisnis (budidaya jamur),
6. Adanya participacing interest kepada BUMD dan BUMN,
7. Mempertegas rekomendasi dan izin Penggunaan dan Pemanfaatan kawasan
Hutan (khususnya kawasan hutan konservasi),
8. Pemberdayaan Masyarakat (Kesejahteraan, Kesehatan, Pendidikan,
Keagamaan, Pemuda dan Kebudayaan),
9. Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi,
10. Pendirian Pusat Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi.

Beberapa alternatif dari hasil analisis tersebut kemudian kita bandingkan


dengan kondisi saat ini, disajikan pada table 6.19.

73
Tabel 6.19. Matrik Perbandingan Alternatif kebijakan dengan kondisi yang ada
No Alternatif Kebijakan Kondisi Saat Ini
Mendorong pengembangan potensi Belum ada penerapan pengelolaan pembangkit listrik
1. panas bumi dan pengelolaan panas panas bumi sekala kecil masih dalam tahap
bumi skala kecil. percobaan dan pilot project.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral
Renegosiasi dan Peningkatan Nilai Nomor 17 Tahun 2014, tentang Pembelian Tenaga
2.
Jual Energi Panas Bumi. Listrik Dari PLTP dan Uap Panas Bumi untuk PLTP
Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Undang-undang No. 21 Tahun 2014, tentang Panas
Kepastian waktu perijinan dari Bumi, pada pasal 29 ayat (4) Menteri dalam hal ini
3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kementeria ESDM memberikan persetujuan atau
Daerah. penolakan perijinan panas bumi 1 (satu) tahun sejak
persyaratan permohonan diajukan secara lengkap.
Perlindungan keanekaragaman Belum adanya peraturan yang menentukan besarnya
4. hayati dan kewajiban konservasi pajak lingkungan khususnya penggunaan air tanah
sumberdaya air tanah. untuk pengelolaan panas bumi.
Pemanfaatan panas bumi secara
Belum ada pemanfaatan langsung dari panas bumi
langsung untuk kegiatan wisata
5. untuk kegiatan wisata (pemandian) dan agribisnis
(pemandian) dan agribisnis
(budidaya jamur) di Kawasan Kamojang.
(budidaya jamur).
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang
Panas Bumi, pada pasal 53 ayat 1, menghilangkan
Adanya participacing interest
adanya participacing interest kepada BUMD dan
6. kepada BUMD dan BUMN.
BUMN dari pemegang ijin Swasta menjadi bonus
produksi yang harus diberikan kepada Pemerintah
Daerah atas pemanfaatan tidak langsung.
Mempertegas rekomendasi dan izin Sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas
Penggunaan dan Pemanfaatan tentang penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan
7.
kawasan Hutan (khususnya (khususnya kawasan hutan konservasi) untuk
kawasan hutan konservasi). kegiatan pengelolaan panas bumi.
Pemegang Ijin Panas Bumi memiliki kewajiban
Pemberdayaan Masyarakat
untuk melaksanakan program pengembangan dan
(Kesejahteraan, Kesehatan,
8. pemberdayaan masyarakat setempat, diatur dengan
Pendidikan, Keagamaan, Pemuda
Undang-undang No. 21 Tahun 2014, tentang Panas
dan Kebudayaan).
Bumi, pasal 52 ayat 1f.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang
Panas Bumi perubahan Undang-Undang Nomor 27
Implementasi Undang-Undang Tahun 2003 Tentang Panas Bumi, pada 26 Agustus
Nomor 21 Tahun 2014 Tentang 2014. Panas bumi yang berada kawasan hutan
9. Panas Bumi konservasi dapat di kelola dengan izin pemanfaatan
jasa lingkungan dari Menteri Kehutanan. Belum ada
aturan turunan dari Undang-undang tersebut dalam
bentuk PP dan Permen dan Peraturan Daerah.
Pemerintah Pusat memiliki Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi
Pendirian Pusat Penelitian dan Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
10.
Pengembangan Panas Bumi. (Puslitbangtek KEBTKE) berada di Kementerian
ESDM. Propinsi Jawa Barat belum ada Pusat
Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi.
Sumber : Diolah dari berbagai sumber (2014)

Dari hasil analisis terlihat bahwa alternatif untuk mendorong pengembangan


potensi dan pengelolaan panas bumi skala kecil menjadi pilihan tertinggi, hal ini

74
karena untuk mencapai target pengembangan sampai dengan tahun 2025 adalah
3.267 Mwe (27 % dari road Map Nasional 12.000 Mwe). Ada banyaknya WKP
yang belum dikelola dan tidak ada pembangunan, dikarenakan potensi energi yang
dihasilkan kecil dan tersebar dibeberapa lokasi, kalo dikembangkan secara
industry besar tidak akan memiliki nilai ekonomi. Melihat kondisi saat ini belum
diterapkannya teknologi pengelolaan panas bumi dalam skala kecil, hanya masih
berupa pilot project saja.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah melakukan studi
bersama-sama Kementerian Riset dan Teknologi di Provinsi NTB , NTT, Maluku,
dan Maluku Utara, terdapat PLTD dengan unit-unit kecil yang berkapasitas
maksimal 5 Mw dengan total kapasitas 200 Mw lebih yang dapat disubstitusi
PLTP skala kecil. Teknologi PLTP skala kecil yang dikembangkan oleh BPPT
menerapkan teknologi binary cycle dengan didesain sistem modular kerja sama
dengan lembaga riset di Jerman. Pengembangan teknologi PLTP ini, memiliki
kapasitas maksimum 1 Mwatt sistem modular dilakukan melalui tahapan
pengembangan prototipe PLTP binary cycle 2 Kw dan pilot plant PLTP binary
cycle 100 Kw. BPPT juga mengembangkan PLTP skala kecil dengan kapasitas 3
Mw menggunakan teknologi condensing turbine, yang seluruh prosesnya sejak
dari rancang bangun sampai dengan manufaktur komponen utamanya diproduksi
di dalam negeri dan dilakukan percobaan pilot plant di lapangan panas bumi
Kamojang. Hal ini akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi
nasional. Selain, itu pengembangan panas bumi skala kecil diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dimana masyarakat dapat
mengembangkan sendiri dalam wadah koperasi atau usaha bersama.
Renegosiasi dan peningkatan nilai jual energi panas bumi, menjadi alternatif
kedua yang dipilih, mengingat nilai ekonomi langsung dari panas bumi dirasakan
masih kecil bila dibandingkan dengan biaya investasi dan operasional
pengelolaannya. Adanya pembelian energi listrik dan uap panas bumi yang layak
akan meningkatkan investasi, dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi baik
local maupun regional.
Harga jual energi panas bumi saat ini sekitar US$ 9,7 sen/KWh atau rata-
rata sekitar Rp. 1.001,50 dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar adalah Rp.
10.324,74. Harga jual yang disarankan ada pada kisaran antara 8,4 s.d. 11,6 sen
USD perKWh. Untuk lokasi yang sudah dikembangkan maka harganya lebih
rendah, sedangkan untuk lokasi baru harganya diusulkan lebih mahal. (Sumber :
http://www.pln.co.id/?p=9956, diakses pada tanggal 12 Januari 2013).
Terbitnya Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 17
Tahun 2014, tentang Pembelian Tenaga Listrik Dari PLTP dan Uap Panas Bumi
untuk PLTP Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), maka harga patokan
tertinggi pembelian tenaga listrik dari PLTP dengan mempertimbangkan
commercial operation date (COD) dan pembagian wilayah.
Kepastian waktu perijinan dari Pemerintah Pusat dan Daerah yang lama,
dirasakan cukup menghambat pertumbuhan panas bumi. Secara ekonomi waktu
perijinan yang lama akan berdampak pada nilai investasi dan kelayakan usaha dari
pengelolaan panas bumi. Kepastian waktu perijinan menjadi alternatif kebijakan
ketiga yang dipilih. Dengan disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2014,
tentang Panas Bumi, pada pasal 29 ayat (4) Menteri dalam hal ini Kementerian
ESDM memberikan persetujuan atau penolakan perijinan panas bumi 1 (satu)

75
tahun sejak persyaratan permohonan diajukan secara lengkap. Waktu perijinan
yang diatur oleh Undang-undang panas bumi sekitar satu tahun dirasakan masih
cukup lama, mengingat proses perijinan tidak hanya dari kementerian ESDM saja,
tetapi berhubungan dengan kementerian kehutanan menyangkut penggunaan
kawasan hutan serta perijinan dari pemerintah provinsi tentang Ijin Usaha
Pertambangan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang
membutuhkan waktu relatif lama.
Perlindungan keanekaragaman hayati dan kewajiban konservasi sumber
daya air, menjadi pilihan alternatif kebijakan selanjutnya mengingat pentingnya
keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya air untuk keberlanjutan
pengelolaan dari panas bumi itu sendiri. Air merupakan salah satu unsur penting
dalam pengembangan dan pengelolaan panas bumi. Keberadaan air tergantung
dari ekosistem lingkungan nya, khususnya kawasan hutan sebagai penyangga dan
sumber penyediaan air. Menjaga keanekaragaman hayati ekosistem kawasan
hutan dan sumber daya air berarti melakukan suatu upaya untuk melakukan
pengelolaan panas bumi secara berkelanjutan dan lestari. Belum adanya peraturan
yang menentukan besarnya pajak lingkungan khususnya penggunaan air tanah
untuk pengelolaan panas bumi. Perlu adanya peraturan pemerintah atau peraturan
pemerintah daerah yang mengatur tentang penggunaan air bawah tanah untuk
kegiatan pengelolaan panas bumi, sebagai jaminan ketersediaan air bawah tanah
dan kelestarian lingkungan.
Alternatif kebijakan selanjutnya yang menjadi pilihan adalah pemanfaatan
langsung panas bumi untuk pemberdayaan masyarakat. Uap panas bumi dapat
digunakan untuk sumber air panas wisata pemandian, dan dapat dijadikan sebagai
uap panas untuk sterilisasi media tumbuh budidaya jamur. Uap panas bumi dapat
dijadikan sebagai penghangat rumah-rumah home stay di kawasan wisata alam.
Energi panas bumi dapat dimanfaatkan secara langsung dengan teknologi
sederhana untuk proses pengeringan terhadap hasil pertanian, perkebunan dan
perikanan. Air panas yang berasal dari mata air panas atau sumur produksi panas
bumi pada suhu yang cukup tinggi dialirkan melalui suatu heat exchanger, yang
kemudian memanaskan ruangan pengering yang dibuat khusus untuk pengeringan
hasil pertanian (Widodo, 2013).
PGE bekerjasama dengan BPPT dan PT. Rekayasa Industri melakukan
percobaan pemanfaatan energi panas bumi untuk sterilisasi media jamur dan
pengeringan produk pertanian atau perkebunan di Kamojang dan Lahendong.
Hasil percobaan tersebutmenunjukan bahwa pemanfaatan energi panas bumi
untuk proses pengeringan produk pertanian atau perkebunan dan sterilisasi jamur
memberikan hasil yang lebih cepat dan mutu yang lebih baik dibanding dengan
proses pengeringan alami dengan panas matahari ataupun sterilisasi yang
menggunakan sistem uap dari mesin boiler.
Dengan menggunakan teknologi yang sederhana, energi panas bumi juga
dapat dimanfaakan untuk pemanasan ruangan seperti hotel, home stay, wisma dan
lain-lain mengingat kondisi di kawasan Kamojang memiliki ketinggian yang
cukup tinggi diatas permukaan laut yang memiliki suhu yang cukup dingin.
Penggunaan energi panas bumi untuk pemanasan ruangan sangat tepat dan
bermanfaat untuk meningkatkan daya tarik wisata di kawasan tersebut.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014, Tentang Panas Bumi, Pasal 44
tentang participacing interest kepada BUMD dan BUMN. Sesuai dengan amanah

76
undang-undang Pemegang Izin Panas Bumi yang berbentuk badan usaha swasta
wajib menawarkan participating interest paling banyak sebesar 10% (sepuluh
persen) kepada badan usaha milik daerah atau badan usaha milik negara paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak disetujuinya rencana pengembangan yang
pertama kali. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, pada
pasal 53 ayat 1, menghilangkan adanya participacing interest kepada BUMD dan
BUMN dari pemegang ijin Swasta menjadi bonus produksi yang harus diberikan
kepada Pemerintah Daerah atas pemanfaatan tidak langsung.
Belum adanya aturan untuk melakukan kegiatan pengunaan dan
pemanfaatan hutan di kawasan Konservasi dan cagar alam untuk kegiatan panas
bumi. Selama ini, pola yang digunakan adalah sistem pinjam pakai kawasan
hutan dengan kompensasi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hutan
lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah. Sedangkan hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya.
Undang-Undang tersebut menegaskan pada Pasal 23, bahwa pemanfaatan
hutan dan penggunaan kawasan hutan, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya. Pada pasal 24, menyebutkan bahwa, pemanfaatan
kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pasal 26 pada ayat
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan
jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Ayat (2) Pemanfaatan
hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu.
Pada pasal 30, menyatakan bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi
masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
Ada peraturan lain yang harus menjadi perhatian adalah Peraturan
Pemerintah (PP) RI Nomor 61 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas PPh Nomor
24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Pada pasal 4, menyatakan
bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan
strategis yang tidak dapat dielakkan. Yang dimaksud dengan kegiatan yang
mempunyai tujuan strategis adalah kegiatan yang diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan
negara, pertahanan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya
dan/atau lingkungan.
Kebijakan yang lainnya adalah implementasi Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pada tanggal 26 Agustus 2014, sebagai perubahan dari Undang-

77
Undang Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi. Beberapa hal penting yang
menjadi fokus perubahan dari revisi tersebut, yakni : 1) Pengusahaan panas bumi
tak lagi dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan, pengusahaan panas bumi
dapat dilakukan di atas lahan konservasi melalui izin pemanfaatan jasa
lingkungan; 2) Perizinan panas bumi untuk pemanfaatan sebagai pembangkit
tenaga listrik kini dipegang oleh Pemerintah Pusat yang sebelumnya dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya; 3) Bonus
produksi yang harus diberikan kepada Pemerintah Daerah atas pemanfaatan tidak
langsung; hingga 4) Harga jual energi panas bumi.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014, tentang Panas Bumi,
pasal 52 ayat 1f. Pemegang Ijin Panas Bumi memiliki kewajiban untuk
melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat
(Kesejahteraan, Kesehatan, Pendidikan, Keagamaan, Pemuda dan Kebudayaan).
Pemanfaatan hutan untuk jasa lingkungan diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007, dirubah melalui PP Nomor 3 Tahun 2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan. Pemanfaatan jasa lingkungan diartikan sebagai kegiatan
untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan
dan mengurangi fungsi utamanya. Secara khusus, PP tersebut mengatur
pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi,
sedangkan pada kawasan hutan konservasi diatur pada peraturan lainnya. Sudah
seharusnya peraturan tersebut disesuaikan dengan pemanfaatan panas bumi
sebagai jasa lingkungan.
Kurangnya Sumberdaya Manusia yang dibutuhkan untuk pengelolaan panas
bumi sesuai dengan amanah undang-undang, khususnya untuk kegiatan
pengelolaan informasi geologi dan potensi panas bumi, inventarisasi dan
penyusunan neraca sumber daya dan cadangan panas bumi. Pemerintah Pusat
sudah memiliki Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan,
Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Puslitbangtek KEBTKE) berada
di bawah Kementerian ESDM. Di tingkat Tingkat Perguruan Tinggi ada Pusat
Studi Panas Bumi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada dan Pusat Studi dan
Penelitian Panas Bumi di Institut Teknologi Bandung, sedangkan untuk tingkat
Propinsi Jawa Barat belum ada Pusat Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi.

78
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis data yang diperoleh pada penelitian ini, peneliti
dapat membuat kesimpulan sebagai berikut :
1. Jumlah total produksi energi panas bumi di PGE area Kamojang adalah
1.584,85 GWh, dengan nilai total penjualan sekitar Rp. 1.462,15 Milyar.
Sedangkan nilai ekonomi langsung energi panas bumi adalah sebesar Rp.
1.070,70 Milyar.
2. Nilai ekonomi air dalam pengelolaan energi panas bumi rata-rata sebesar
Rp. 14,30 Milyar pertahunnya atau nilai ekonomi air 10 tahun yang akan
datang diperkirakan sekitar Rp. 336,30 Milyar. Nilai deplesi sumberdaya
hutan sebesar Rp. 125,59 juta pertahun.
3. Pengelolaan panas bumi tidak menimbulkan masalah konflik secara
langsung, hanya masalah kecemburuan sosial antar pendatang dan
masyarakat setempat, khususnya pada penempatan karyawan di
perusahaan. Analisa stakeholder menunjukan bahwa PGE, BKSDA Jawa
Barat, Perum Perhutani, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa
Barat memiliki kepentingan dan pengaruh yang besar dalam pengelolaan
energi panas bumi.
4. Peraturan perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan
pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang diantaranya, Undang-
Undang RI Nomor 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun
1999, Tentang Kehutanan, Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2014,
Tentang Panas Bumi, serta Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 6 tahun
2006, tentang Pengelolaan Panas Bumi.
5. Analisa Multi Criteria Decesion Making (MCDM), menghasilkan
Formulasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi
(Geothermal) di Kawasan Kamojang Jawa Barat, adalah dengan urutan
sebagai berikut :
1). Mendorong pengembangan potensi panas bumi dan pengelolaan
panas bumi skala kecil,
2). Renegosiasi dan Peningkatan Nilai Jual Energi Panas Bumi,
3). Kepastian waktu perijinan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah,
4). Perlindungan keanekaragaman hayati dan kewajiban konservasi
sumberdaya air tanah,
5). Pemanfaatan panas bumi secara langsung untuk kegiatan wisata
(pemandian) dan agribisnis (budidaya jamur),
6). Adanya participacing interest kepada BUMD dan BUMN,
7). Mempertegas rekomendasi dan izin Penggunaan dan Pemanfaatan
kawasan Hutan (khususnya kawasan hutan konservasi),
8). Pemberdayaan Masyarakat (Kesejahteraan, Kesehatan, Pendidikan,
Keagamaan, Pemuda dan Kebudayaan),

79
9). Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas
Bumi, dan
10). Pendirian Pusat Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi.

7.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti
memberikan masukan dan saran kepada :

a. PGE area Kamojang, untuk memanfaatkan uap panas bumi untuk


kegiatan wisata pemandian air panas dan budidaya agribisnis jamur,
peningkatan pemberdayaan masyarakat khususnya pendidikan,
kesehatan, keagamaan, pemuda dan kebudayaan,
b. Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat dan Perum Perhutani
Unit 3 Jawa Barat Banten, untuk melakukan Perlindungan
keanekaragaman hayati serta mempertegas rekomendasi perijinan
penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan konservasi dan hutan
lindung.
c. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Mendorong pengelolaan panas bumi
skala kecil, melakukan pengwasan terhadap pelaksanaan pengelolaan
panas bumi, memberikan kepastian perizinan, participacing interst
dengan melibatkan BUMD, serta pendirian Pusat penelitian dan
pengembangan Panas Bumi.
d. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai tentang eksternalitas
dan internalisasi penggunaan air tanah dalam pengelolaan panas bumi.
Dampak dari implementasi kebijakan terhadap peningkatan pendapatan
nasional, daerah dan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian
lingkungan.

80
DAFTAR PUSTAKA

Anna, Z. 2012. Environmental and Resource Accounting : an Overview. Bahan


kuliah Neraca Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor.
Anna, Z. 2012. NRA dan Deplesi Sumberdaya Alam. Bahan kuliah Neraca
Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana IPB.
Bogor.
[Bappeda] Bappeda Kabupaten Bandung. 2011. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung Tahun 20052010
dalam
http://bapeda.bandungkab.go.id/index2.php?option=com_docman&task=d
oc_view&gid=89&Itemid=37. diakses pada tanggal 12 Juni 2014
[BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. 2012. Laporan
Rencana Pengelolaan Kawasan Cagar Alam Kawah Kamojang Tahun
2005 sampai dengan 2030. Jawa Barat, Bandung
Brown, K. dan Pearch, D. W. 1994. The causes of Deforestation : The Economic
and Statistical Analisys of the Factor Giving Rise to Loss of the Trofical
Forest. University College Press, London and the University of British
Columbia Press, Vancouver.
Dinas ESDM Provinsi Jawa Barat. 2008. Kebijakan Penerapan Perda Jawa Barat
No. 6 Tahun 2006 Tentang Panas bumi, Bandung (ID) : Provinsi Jawa
Barat.
Energia. 2012. No. 12/THN XLVII/Desember 2012, Hlm 27. Jakarta
[ESDM] Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2004. Rancangan
Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan dan Pemanfaatan Energi Panas
Bumi 2004 2020.
[ESDM] Kementerian Energi Sumberdaya Mineral. 2005. Blueprint Pengelolaan
Energi Nasional 2005 2025. Kementerian ESDM RI. Jakarta
[ESDM] Peraturan Menteri Energi Sumberdaya Mineral. 2009. Nomor 32 Tahun
2009, Tentang Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN
(Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi. Kementerian
ESDM RI. Jakarta.
[ESDM] Kementerian Energi Sumberdaya Mineral. 2010. Strategi Menghadapi
Krisis Energi Nasional dalam http://www.esdm.go.id/renew.html diakses
pada tanggal 12 Januari 2013.
[ESDM] Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral. 2000. Nomor 1451
K/10/MEM/2000, Tentang Pedoman Teknik Penentuan Nilai Perolehan
Air dari Pemanfaatan Air Bawah Tanah dalam menentukan Pajak
Pemanfaatan Air Bawah Tanah.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan
Aplikasi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Fauzi, A. 2012. Analisis Kebijakan melalui Multi Criteria Decision Making
(MCDM). Bahan Kuliah Formulasi Kebijakan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Ferdinando, H. 2013. Geothermal Energy Potential in the Regional Ring of Fire
Indonesia dalam

81
http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2012/08/13/potensi-energi-
panas-bumi-di-daerah-cincin-api-indonesia-485656.html. Diakses pada
tanggal 12 Januari 2013.
Fischer, Frank, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. 2007. Handbook of Policy
Analysis : Theory, Politics, and Methods. CRC Press. US.
Hanley N, EB Barbier. 2009. Pricing Nature : Cost-Benefit Analysis and
Environmental Policy. Edward Elgar. UK.
Ibrahim, R. F. 2014. Kumpulan Tanya Jawab Energi Terbarukan Indonesia :
Perspektif. Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia. Jakarta
Kasbani. 2009. Sumberdaya Panas Bumi Indonesia : Status Penyelidikan, Potensi
dan Tipe Sistem Panas Bumi. Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi.
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2011. Panduan Valuasi Ekonomi
Kegiatan Pertambangan. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Peraturan Menteri Nomor 15
Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan.
Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta
Pearce D. W, Turner R. K. 1990. Economic of Natural Resources and The
Environment. Harvesters Wheatseaf. New York. London.
Penandatanganan Head of Agreement (HoA) PLN PGE Tentang Harga Dasar
Uap Panas Bumi Dan Tenaga Listrik dalam http://www.pln.co.id/?p=9956.
Diakses pada tanggal 12 Januari 2013.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat. 2006. Nomor 6 Tahun 2006. Tentang
Pengelolaan Panas Bumi.
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung. 2011. Nomor 1 Tahun 2011. Tentang
Pajak Air Tanah.
Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral. 2009. Nomor 32 Tahun 2009.
Tentang Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN (Persero) dari
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2012. Nomor
15 Tahun 2012. Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan
Pertamina. 2005. Kaji Ulang Studi Amdal Pengembangan Lapangan Kamojang
PT. Pertamina Area Geothermal Kamojang, Jakarta.
[PGE] Pertamina Geothermal Energy. 2011. Laporan Tahunan PT. Pertamina
Geothermal Energy Tahun 2010. Jakarta.
[PGE] Pertamina Geothermal Energy. 2012. Laporan Tahunan PT. Pertamina
Geothermal Energy Tahun 2011. Jakarta.
[PGE] Pertamina Geothermal Energy. 2013. Laporan Tahunan PT. Pertamina
Geothermal Energy Tahun 2012. Jakarta.
[PGE] Pertamina Geothermal Energy. 2012. Laporan Implementasi RKL & RPL
Periode Triwulan II Tahun 2011. Jakarta.
Poernomo, A. 2009. Prosiding Diskusi Panel Potensi Hutan Sebagai Cadangan
Pangan dan Energi, Mampukah Mensejahterakan Ummat ?. Ilkatan
Alumni AIK Fahutan Unwim. Jakarta.
Prastawa, A. 2012. Mengembangkan Energi Panas Bumi. Pusat Teknologi
Konversi dan Konservasi Energi BPPT dalam
http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11021, diakses
pada tanggal 11 Januari 2013

82
Prasetyo, F.A. 2011. Potential Economic Incentive for Sustainable Forest
Management on Reducing Emission From Deforestation and Degradation.
Jakarta : Ministry of Forestry.
Reed, MS. Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubaek K, Morris J, Prell C, Quinn
CH, dan Stringer LC. 2009. Whos in and Why? A Typology of Stakeholder
Analysis Methods for Natural Resource Management. Journal of
Environmental Management 90:1943-1949.
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan. Jakarta.
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2003
tentang Panas Bumi. Jakarta
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2014
tentang Panas Bumi. Jakarta
Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Jakarta
Reza, A.A. 2013. Studi Kasus Kecamatan Ibun, Kabupaten Garut dan Kecamatan
Samarang, Kabupaten Bandung Barat). [skripsi]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Saptadji, N. 2012. Energy Panas Bumi, Bandung (ID) : Institut Teknologi
Bandung
Setiawan, R. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Yogyakarta
(ID) : Gajah Mada University Press.
Simanjuntak, S. 2012. Ekonomi Sumberdaya Alam. Bahan kuliah Ekonomi
Sumberdaya Alam. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Simanjuntak, S. 2009. Perkiraan Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam Productivity
Method. Bahan kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam. Sekolah Pascasarjana
IPB. Bogor.
Suliyanto. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Sumaryanto. 2006. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen
Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi : Pendekatan dan Analisis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasinya. [desertasi]. Bogor
(ID) : Institut Pertanian Bogor.
Suparmoko, M. 2008. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Edisi Empat.
BPFE Yogyakarta.
Suparmoko, M. 2006. Analisis Kontribusi Sektor Kehutanan dalam
Pembangunan, PUSRENHUT, Yogyakarta.
Sutomo, S. 2012. Ketersediaan Sumberdaya Alam/Lingkungan/Ekosistem. Bahan
kuliah Neraca Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor.
Triantaphyllou; Sanchez. 1997. A Sensitivity Analysis Approach for Some
Deterministic Multi-Criteria Decision Making Methods. Di dalam Rahardjo
M. 2003. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya Laut di
Kepulauan Seribu [desertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Widodo, S. Kelompok kerja panas bumi. Pengelolaan Terpadu, Pemanfaatan
Sumber Daya Panas Bumi dan Potensi Wisata Danau Ranau dalam
http://psdg.bgl.esdm.go.id/buletin_pdf_file/Bul%20Vol%201%20no.%202
%20thn%202006/8.%20PROSPEK%20P-

83
BUMI%20dan%20WISATA%20D-Ranau3_sri%20widodo_.pdf. Diakses
pada tanggal 16 Juni 2014.
William ND. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta (ID) :
Universitas Gadjah Mada.
[WWF] WWF-Indonesia. 2013. Laporan Tahunan WWF Igniting the Ring of
Fire: A Vision for Developing Indonesias Geothermal Power dalam
http://www.wwf.or.id/berita_fakta/publications/?25521/Igniting-the-Ring-
of-Fire-A-Vision-for-Developing-Indonesias-Geothermal-Power diakses
pada tanggal 15 Januari 2013.
Yusri, S. 2012. Valuasi Sumberdaya Alam Kawasan Kamojang [tesis]. Bogor (ID)
: Institut Pertanian Bogor.

84
Lampiran 1. Penilaian terhadap masing-masing Kriteria

1. Ekonomi
a. Adanya Kontribusi terhadap peningkatan Pendapatan Nasional dan Daerah, Pajak, bea masuk dan pungutan lain atas cukai dan
impor, serta penerimaan negara bukan pajak daerah dan retribusi daerah.
b. Pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal
c. Penciptaan lapanagan kerja baru
d. Tidak ada pemasukan dan peningkatan ekonomi nasional dan daerah

2. Lingkungan
a. Terjaganya kelestarian hutan dan ekosistemnya
b. Terpeliharanya akuiver air tanah secara berkelanjutan
c. Pajak Jasa Lingkungan
d. Tidak ada hubungan dengan perbaikan lingkungan

3. Sosial Masyarakat
a. Peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat
b. Perbaikan kualitas hidup masyarakat
c. Mengurangi kecemburuan sosial
d. Tidak ada hubungan dengan kesejahteraan masyarakat setempat

4. Kelembagaan
a. Percepatan pengelolaan potensi panas bumi yang ada
b. Pengawasan terhadap fungsi kawasan hutan konservasi dan lindung
c. Diakuinya hak-hak masyarakat setempat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan setempat
d. Tidak keterkaitan langsung dengan peraturan yang ada

85
Lampiran 2. Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Behubungan dengan Pengelolaan Panas Bumi

No Peraturan / Kebijakan Nomor Tentang


1. Undang-Undang 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
2. Undang-Undang 21 Tahun 2014 Panas Bumi
3. Undang-Undang 41 Tahun 1999 Kehutanan
4. Undang-Undang 30 Tahun 2007 Energi
5. Undang-Undang 2 Tahun 2012 PengadaanTanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
6. Peraturan Pemerintah 14 Tahun 2012 KegiatanUsaha Penyediaan Tenaga Listrik
6. Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2011 Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
6. Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2010 Penggunaan Kawasan hutan
6. Peraturan Pemerintah 3 Tahun 2008 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatannya
7. Peraturan Pemerintah 12 Tahun 2014 Jenis DanTarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan
7. Peraturan Pemerintah 9 Tahun 2012 Jenis DanTarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi Dan
Sumber Daya Mineral
8. Peraturan Pemerintah 70 Tahun 2010 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59Tahun 2007 Tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi
9 Peraturan Pemerintah 70 Tahun 2009 Konservasi Energi
10. Peraturan Pemerintah 59 Tahun 2007 Kegiatan Usaha Panas Bumi
11. Peraturan Pemerintah 60 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010, Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan
Dan Fungsi Kawasan Hutan
12. Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2010 Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2012 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5325)
13. Peraturan Pemerintah 72 Tahun 2010 Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 124)

86
No Peraturan / Kebijakan Nomor Tentang
14. Peraturan Presiden 48 Tahun 2011 Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun2010 Tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan
Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang
Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas
15. Peraturan Presiden 4 Tahun 2010 Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan
Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas
16. Peraturan Presiden 36 Tahun 2010 Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan BidangUsaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal
17. Peraturan Presiden 5 Tahun 2006 Kebijakan Energi Nasional
18. Keputusan Presiden 76 Tahun 2000 Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi Untuk Pembangkit Tenaga Listrik
19. Peraturan 01 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi DanSumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2010, Tentang
Menteri Energi Dan Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi
Sumber DayaMineral Terbarukan, Batubara dan Gas Serta Transmisi Terkait
20. Peraturan Menteri Keu 01/PMK.07/20 Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya AlamPertambangan Panas Bumi Tahun Anggaran2012
angan 12
21. Peraturan Menteri Keu 03/PMK.011/2 Tata Cara Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Fasilitas Dana Geothermal
angan 012
22. Peraturan Menteri Keu 15/PMK.03/20 Penatausahaan Dan Pemindahbukuan Pajak Bumi Dan BangunanSektor Pertambangan Untuk
angan 12 Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, Dan Panas Bumi
23. Peraturan 17 Tahun 2014 Pembelian Tenaga Listrik Dari PLTP DAN Uap Panas Bumi Untuk PLTP Oleh PT PerusahaanListrik
Menteri Energi Dan Negara (Persero)
Sumber Daya Mineral
24. Peraturan Menteri Keu 139/PMK.011/ Tata Cara Pemberian Jaminan Kelayakan Usaha PTPerusahaan Listrik Negara (Persero)
angan 2011 Untuk Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Dengan Menggunakan Energi Terbarukan,Batubara,
Dan Gas Yang Dilakukan Melalui Kerja Sama Dengan Pengembang Listrik Swasta

87
No Peraturan / Kebijakan Nomor Tentang
25. Peraturan Menteri Keuanga 178/PMK.05/20 Tata Cara Penyediaan Dan Pencairan Dana Geothermal Dari Rekening Kas Umum Negara Ke Rekening
n 11 Induk Dana Investasi Pada Pusat Investasi Pemerintah
26. Peraturan Menteri Energi 02 Tahun 2010 Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi
Dan Sumber Daya Mineral Terbarukan,Batubara, Dan Gas Serta Transmisi Terkait
27. Peraturan Menteri Energi 05 Tahun 2010 Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha Di Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Dalam
Dan Sumber Daya Mineral Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal
28. Peraturan Menteri Energi 15 Tahun 2010 Daftar Proyek-Proyek PercepatanPembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi
Dan Sumber Daya Mineral Terbarukan,Batubara, Dan Gas Serta Transmisi Terkait
29. Peraturan Menteri Keuanga 21/PMK.011/20 Pemberian Fasilitas Perpajakan Dan Kepabeanan Untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi
n 10 Terbarukan
30. Peraturan Menteri Keuanga 73/PMK.03/201 Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak Dan Gas Bumi Dan Kontraktor Atau
n 0 Pemegang Kuasa/ Pemegang Izin Pengusahaan Sumber DayaPanas Bumi Untuk Memungut,
Menyetor,Dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya
31. Peraturan Menteri Energi 02 Tahun 2009 Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi
Dan Sumber Daya Mineral
32. Peraturan Menteri Energi 11 Tahun 2009 Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi
Dan Sumber Daya Mineral
33. Peraturan Menteri Keuanga 114/PMK.02/20 Rekening Panas Bumi
n 09
34. Peraturan Menteri ESDM 11 Tahun 2008 Tata Cara Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi.

88
No Peraturan / Kebijakan Nomor Tentang
35. Peraturan Menteri 14 Tahun 2008 Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga PanasBumi
Energi Dan Sumber
Daya Mineral,
36. Peraturan Menteri Keu 177/PMK.011/ Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Serta
angan 2007 Panas Bumi
37. Peraturan Menteri P.85/Menhut- Tata Cara Kerjasama Penyelengaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Kehutanan II/2014
37. Peraturan Menteri P.32/Menhut- Tukar Menukar Kawasan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 376)
Kehutanan II/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41/Menhut-II/2012 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1025)
38. Peraturan Menteri P.33/Menhut- Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (Berita Negara Republik Indonesia
Kehutanan II/2010 Tahun 2010 Nomor 377) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2011 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 319)
39. Peraturan Menteri P.34/Menhut- Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
Kehutanan II/2010 378)
40. Peraturan Menteri P.40/Menhut- Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Kehutanan II/2010 Nomor 405) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-
II/2012 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 779)
41. Peraturan Menteri P.18/Menhut- Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 191)
Kehutanan II/2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2012
42. Peraturan Menteri P.20/Menhut- Pedoman Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
Kehutanan II/2011 2011 Nomor 193)

89
Lampiran 3. Data responden kondisi masyarakat di kawasan Kamojang
Data Responden Rumah Tinggal Kebun Sawah Lahan Kosong Total
a. Lahan yang dimiliki 80% 13% 5% 2% 100%
48 8 3 1 60
Kurang dari 15
Lebih dari 25 Tahun 14 s.d. 25 tahun Total Pendatang Total
Tahun
b. Lama Bermukim 70% 18% 12% 100% 14% 100%
42 11 7 60 8 60
Milik Sendiri & Milik sendiri & Belum milik Keluarga atau
Total
Sertifikat sertifikat Garapan
c. Status Kepemilikan Lahan 68% 23% 8% 100%
41 14 5 60
Petani Wiraswasta PNS Buruh Tani Karyawan Lain-lain Total
d. Pekerjaan Responden 42% 30% 7% 10% 8% 3% 100%
25 18 4 6 5 2 60
Tamat SMA atau
Tamat SD Tamat SMP atau Sederajat Tidak Tamat SD Total
Sederajat
e. Pendidikan Responden 57% 20% 18% 5% 100%
34 12 11 3 60
Rp. 1 Juta sd Rp. 3
< Rp. 500rb Rp. 500rb sd Rp. 1 juta > Rp. 3 Juta Total
Juta
f. Penghasilan Responden 62% 25% 12% 2% 100%
37 15 7 1 60
Permanen Permanen Sederhana Semi Permanen Tidak Permanen Total
g. Kondisi Rumah 42% 5% 32% 22% 100%
25 3 19 13 60
Tidak Memiliki
Memeliki Sepeda Motor Memiliki Mobil Total
Kendaraan

90
Lampiran 4. Kriteria dan Bobot nilai yang digunakan untuk Formulasi Kebijakan

Ekonomi Lingkungan Sosial Kelembagaan


No Alternatif Kode
35% 30% 25% 10%
Mendorong pengembangan
potensi panas bumi dan
1. A 01 40 30 35 35
pengelolaan panas bumi skala
kecil.
Pemanfaatan panas bumi secara
langsung untuk kegiatan wisata
2. A 02 30 35 35 30
(pemandian) dan agribisnis
(budidaya jamur).
Pendirian Pusat Penelitian dan
3. A 03 40 35 10 30
Pengembangan Panas Bumi.
Revisi Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2003 Tentang Panas
4. A 04 25 35 35 35
Bumi, Panas bumi bukan barang
tambang.
Renegosiasi dan Peningkatan
5. A 05 40 30 35 35
Nilai Jual Energi Panas Bumi.

Adanya participacing interest


6. A 06 30 35 35 30
kepada BUMD dan BUMN.
Pemberdayaan Masyarakat
(Kesejahteraan, Kesehatan,
7. A 07 30 35 30 35
Pendidikan, Keagamaan,
Pemuda dan Kebudayaan).
Kepastian waktu perijinan dari
8. Pemerintah Pusat dan A 08 40 35 25 25
Pemerintah Daerah.
Mempertegas rekomendasi dan
izin Penggunaan dan
9. Pemanfaatan kawasan Hutan A 09 30 35 35 30
(khususnya kawasan hutan
konservasi).
Perlindungan keanekaragaman
10. hayati dan kewajiban konservasi A 10 40 35 25 25
sumberdaya air tanah

91
Lampiran 5. Analisis TOPSIS untuk Alternatif Formulasi Kebijakan

92
93
94

Anda mungkin juga menyukai