2015 Cah
2015 Cah
CEPI AL HAKIM
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Cepi Al Hakim
NRP H351110071
RINGKASAN
Indonesia memiliki potensi sumber panas bumi terbesar di dunia yang setara
dengan 29.038 MWe. Sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang ramah
lingkungan, energi panas bumi sangat berpotensi sebagai alternatif pengganti
sumber energi fosil yang mencemari lingkungan berupa emisi gas rumah kaca
CO2. Khusus, di Provinsi Jawa Barat terdapat 23 kawasan yang memiliki prospek
pengembangan energi panas bumi, sebagian besar sudah dilakukan pengelolaan
dengan kapasitas terpasang 1.027 Mwatt. Total potensi energi yang dihasilkan
Provinsi Jawa Barat sebesar 2.861,7 Mwatt atau 21,9% dari Total potensi di
Indonesia dan tersebar di 11 Kabupaten. Kontribusi energi panas bumi di provinsi
Jawa Barat terhadap nasional yang terbesar berasal dari Kamojang 200 MWatt,
Awi Bengkok Gunung Salak terbangkitkan 375 MWatt, Drajat 270 MWatt dan
Wayang Windu 270 MWatt. Total luas kawasan hutan yang digunakan untuk
kegiatan pengelolaan panas bumi di Kawasan Kamojang adalah 99,2 hektar,
terdiri dari kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung.
Peraturan perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan
pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang diantaranya, Undang-Undang RI
Nomor 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan,
Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2014, Tentang Panas Bumi, serta Peraturan
Daerah Jawa Barat nomor 6 tahun 2006, tentang Pengelolaan Panas Bumi.
Pengelolaan panas bumi tidak menimbulkan masalah konflik secara
langsung, hanya timbul masalah kecemburuan sosial antar pendatang dan
masyarakat setempat, khususnya pada penempatan karyawan di perusahaan.
Analisa Stakeholder menunjukan bahwa PT. Pertamina Geothermal Energy,
BKSDA Jawa Barat, Perum Perhutani, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi
Jawa Barat memiliki kepentingan dan pengaruh yang besar dalam pengelolaan
energi panas bumi.
Analisa Multi Criteria Decesion Making (MCDM), menghasilkan Formulasi
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi (Geothermal) di
Kawasan Kamojang Jawa Barat, dengan urutan sebagai berikut : 1). Mendorong
pengembangan dan pengelolaan panas bumi skala kecil, 2). Renegosiasi dan
peningkatan nilai jual energi panas bumi, 3). Kepastian waktu perijinan dari
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, 4). Perlindungan keanekaragaman
hayati dan kewajiban konservasi air tanah, 5). Pemanfaatan panas bumi secara
langsung untuk kegiatan wisata dan agribisnis, 6). Adanya participacing interest
kepada BUMD dan BUMN, 7). Mempertegas rekomendasi dan izin Penggunaan
dan Pemanfaatan kawasan Hutan, 8). Pemberdayaan Masyarakat, 9).
Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, dan
10). Pendirian Pusat Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi.
Indonesia has the largest geothermal resource potential in the world which
is equivalent to 29.038 MWe. As a source of environmentally friendly renewable
energy, geothermal energy has the potential as an alternative to fossil energy
sources that pollute the environment in the form of CO2 greenhouse gas
emissions. Specifically, in the province of West Java, there are 23 areas that have
prospects for geothermal energy development, most have done management with
an installed capacity of 1.027 Mwatt. The total potential energy produced West
Java province of 2861,7 Mwatt or 21,9% of the total potential in Indonesia and
spread over 11 districts. The contribution of geothermal energy in the province of
West Java to the largest national derived from Kamojang 200 Mwatt, Awi
Bengkok Salak Mount aroused Mwatt 375, 270 Drajat Mwatt and Wayang Windu
270 Mwatt. The total land area is used for the management of geothermal activity
in the area Kamojang is 99,2 hectares, consists of forest conservation and
protected areas.
Legislation directly related to the management of geothermal energy in the
region such Kamojang, Act No. 5 of 1990, About Natural Resource Conservation
and Ecosystem, Act No. 41 of 1999, on Forestry, Law No. 21 In 2014, About
Geothermal, as well as the West Java Regional Regulation No. 6 of 2006, on the
Management of Geothermal.
Management does not pose a problem geothermal direct conflict, only
raised the problem of social jealousy between migrants and local communities,
particularly in the placement of employees in the company. Stakeholder analysis
shows that PT. Pertamina Geothermal Energy, BKSDA West Java, Perhutani, the
Central Government and the Provincial Government of West Java has a great
importance and influence in the management of geothermal energy.
Multi Criteria Decesion Making (MCDM) analysis, produces Resource
Policy Formulation Of Geothermal Energy Resource Management Kamojang
Area, West Java, in the following order: 1). Encourage the development and
management of small-scale geothermal energy, 2). Renegotiation and increase the
sale value of geothermal energy, 3). Certainty when licensing of the Central
Government and Local Government, 4). Biodiversity protection and conservation
of groundwater liabilities, 5). Direct utilization of geothermal energy for tourism
and agribusiness, 6). Participacing their interest to enterprises BUMN and
BUMD, 7). Reinforce the recommendation and license usage and utilization of
forest area, 8). Community Empowerment, 9). Implementation of Law Number 21
Year 2014 About Geothermal, and 10). Establishment of Center for Research and
Development of Geothermal.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FORMULASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN
SUMBERDAYA ENERGI PANAS BUMI (GEOTHERMAL)
DI AREA KAMOJANG, JAWA BARAT
CEPI AL HAKIM
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr
Judul Tesis : Formulasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi
(Geothermal) di Area Kamojang, Jawa Barat
Nama : Cepi Al Hakim
NIM : H351110071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc.F.Trop
Ketua Anggota
Diketahui oleh
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr
ii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak b bulan Agustus Oktober 2013,
dengan judul Formulasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi
(Geothermal) di Area Kamojang, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, MSc.
dan Ibu Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc.F.Trop selaku Komisi pembimbing, serta
Bapak Dr Ir Sahat Simanjuntak yang telah banyak memberi kritik dan sarannya. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Sugiharto, SE, MBA
atas dukungan dan dorongannya untuk menyelesaikan tugas tesis di PT. Pertamina
Geothermal Energy, Seluruh Direksi PT. Pertamina Geothermal Energi atas
kesempatan dan data yang diberikan penulis untuk melakukan penelitian di
Kamojang.
Bapak Tisnaldi, Direktur Panas Bumi, Direktorat Jenderal Energi Baru,
Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM, Pemerintah Provinsi Jawa
Barat, Pemerintah Kabupaten Garut, Pemerintah Kabupaten Bandung, Balai
Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat, Perum Perhutani Unit 3 Jawa
Barat Banten dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) serta Asosiasi
Panas Bumi Indonesia (API). Tak lupa juga diucapkan banyak terima kasih
diucapkan kepada Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. dan tim Program
Ring of The Fire WWF.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada isteri tercinta Siska Reiny
Purwanti, anak-anakku tercinta Ghibral Thariq Al Hakim, Sakinnahutazahra Baniyah
Al Hakim, Alya Chairunissa, Muhammad Barry Nur Hakim dan Jihan Noor Aisyah
Al Hakim, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat buat kesejahteraan dan masa depan
bangsa. Allahumma Amin.
Cepi Al Hakim
iii
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Kegunaan Penelitian 4
1.5. Ruang Lingkup Penelitian 4
2. TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Sumberdaya Energi Panas Bumi 5
2.2. Pertamina Geothermal Energi Mengelola Area Kamojang 7
2.3. Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pengelolaan Energi Panas Bumi 8
2.4. Deplesi Sumberdaya Alam dan Degradasi Lingkungan 8
2.5. Formulasi Kebijakan Sumberdaya Alam 10
2.6. Penelitian Terdahulu yang Relevan 11
3. KERANGKA PEMIKIRAN 13
4. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 15
4.2. Jenis dan Sumber Data 15
4.3. Metede Penentuan Sampel 15
4.4. Matrik Penelitian 16
4.5. Metode Analisis Data 17
4.5.1. Analisis Deskriftif 17
4.5.2. Nilai Ekonomi Langsung Energi Panas Bumi 17
4.5.3. Deplesi Sumberdaya Hutan 18
4.5.4. Nilai Ekonomi Air Pengelolaan Panas Bumi 19
4.5.5. Analsis Stakeholder 21
4.5.6. Analisis Konflik 23
4.5.7. Formulasi Kebijakan dengan MCDM 23
i
5.5.2. Kondisi Sosial 42
5.6. Peraturan Pengelolaan Energi Panas Bumi 44
DAFTAR PUSTAKA 81
LAMPIRAN 85
ii
DAFTAR TABEL
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor
466/Kpts/M/Pertamb/74, tanggal 10 Agustus 1974, luas wilayah kerja pertambangan
di area Kamojang yang diberikan kurang lebih 154.318 hektar, namun yang
digunakan seluas 108,55 hektar, yang terbagi menurut tata guna lahan yaitu seluas
48,85 hektar kawasan Cagar Alam, seluas 50,35 hektar Kawasan Hutan Produksi dan
9,35 hektar kawasan hak milik (PGE, 2013).
Menurut Saptadji (2012), biaya pengembangan sumberdaya energi panas bumi
(lapangan uap) yang terdiri dari : 1). Biaya survey eksplorasi, 2). Biaya pengeboran
sumur (sumur eksplorasi, pengembangan, injeksi, make up), 3). Biaya lahan,
penyiapan jalan, tanah dan lain-lain, 4). Biaya fasilitas produksi, 5). Biaya fasilitas
pendukung, dan 6). Operasi dan biaya pemeliharaan. Selain itu, ada beberapa risiko
yang harus dihadapi dalam Pembangunan PLTP, sebagai risiko yang terkait dengan
sumber daya (energi potensial, jumlah titik sumber, biaya variabel, dll), risiko yang
berkaitan dengan penurunan kemampuan produksi, risiko yang terkait dengan
Pembangunan infrastruktur, dan yang paling penting berkaitan dengan bencana alam
yang mungkin timbul. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan PLTP adalah
investasi skala besar.
Pengelolaan energi panas bumi, mengacu pada undang-undang Nomor 27
tahun 2003, tentang Panas Bumi yang sudah diperbaharui menjadi Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2014, selain itu ada Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2007
tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi. Mengingat hampir 70 % berada di kawasan
hutan konservasi atau cagar alam, maka pengelolaan energi panas bumi juga harus
sinergi dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah Propinsi Jawa Barat sendiri memiliki
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2006, tentang Pengelolaan Energi Panas Bumi
(Dinas ESDM, Provinsi Jawa Barat, 2012).
Pembangunan dan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di Kamojang,
Jawa Barat harus seiring kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sekitarnya,
disamping untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
setempat. Untuk keberlanjutan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi, adanya
potensi penurunan nilai (deplesi) dari sumberdaya alam lainnya harus diperhitungan.
Selain itu juga, degradasi lingkungan akibat dari pembangunan dan pengelolaan
sumberdaya energi panas bumi harus menjadi perhatian. alternatif kebijakan dalam
pembangunan dan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi dapat direncanakan
secara menyeluruh. Berdasarkan pertimbangan di atas maka penelitian mengenai
formulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi PGE area Kamojang
Jawa Barat perlu untuk dilakukan.
2
khas tersendiri, karena pengelolaan panas bumi membutuhkan sumber air yang
cukup untuk menghasilkan uap panas sebagai potensi energi. Keberadaan kawasan
hutan di area panas bumi menjamin ketersediaan air, pengelolaan energi panas bumi
dapat dilakukan secara berkelanjutan. Kegiatan pengelolaan energi panas bumi di
area Kamojang ini, berpotensi adanya deplesi terhadap panas bumi atau sumberdaya
alam yang lainnya.
Pengelolaan panas bumi di PGE area Kamojang melibatkan berbagai pihak
dengan kepentingan dan pengaruh yang berbeda-beda. Peranan para pihak perlu
diketahui, potensi konflik dari para pihak yang terlibat dalam pengelolaan energi
panas bumi menjadi salah satu pertimbangan dalam pembuatan kebijakan. Selain
aspek ekonomi, lingkungan dan sosial masyarakat, peraturan perundang-undangan
pengelolaan panas bumi yang sudah ada di tingkat pusat dan daerah, harus dapat
mendukung pada pengembangannya. Keberadaan peraturan tersebut untuk
menunjang pembangunan dan pengelolaan energi panas bumi secara berkelanjutan
dan ramah lingkungan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas menunjukan bahwa perlu adanya kebijakan
dalam pengelolaan panas bumi yang memperhatikan empat aspek tersebut diatas.
Penelitian tentang formulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di
kawasan tersebut menjadi penting. Kebijakan yang dipilih memperhatikan aspek
ekonomi panas bumi secara langsung, aspek lingkungan, aspek sosial dan aspek
kelembagaan yang ada. Kebijakan yang ada saat ini masih sektoral pada aspek
tertentu saja, khususnya aspek ekonomi saja. Aspek lingkungan dan sosial masih
sebagai faktor pendukung kebijakan tersebut. Panas bumi hanya dilihat sebagai
komoditas ekonomi, belum memberikan manfaat secara langsung terhadap
kelestarian alam sekitar dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Dari perumusan masalah tersebut di atas, maka beberapa pertanyaan penelitian
yang muncul adalah sebagai berikut :
1. Berapa nilai ekonomi langsung energi panas bumi di kawasan PGE area
Kamojang ?
2. Berapa nilai ekonomi air dan deplesi kawasan hutan PGE area Kamojang ?
3. Bagaimana masalah sosial dan potensi konflik yang terjadi dan peran para
pihak dalam pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di PGE area
Kamojang tersebut ?
4. Peraturan-peraturan apa saja yang berkaitan dengan pengelolaan panas bumi ?
5. Alternatif-alternatif kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sumberdaya
energi panas bumi ?
3
3. Mengatahui peran para pihak dalam pengelolaan sumberdaya energi panas bumi
di PGE area Kamojang dan potensi konflik yang terjadi.
4. Mengetahui Peraturan-peraturan yang ada tentang pengelolaan panas bumi dan
permasalahan yang terjadi.
5. Formulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya energi panas bumi di area
Kamojang.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1
http://pge.pertamina.com/index.php?option=com_content&view=article&id=84&Itemid=51
[diunduh 10 Januari 2013]
5
berkontribusi minimal sebesar 16 Gw di 2025. Potensi panas bumi di
Indonesia tersebar di 276 titik dengan total potensi sebesar 29.038 MW atau
40% dari potensi energi, setara dengan 219 Milyar ekuivalen Barrel minyak.
Kapasitas terpasang saat ini 1.194 atau 4% dari seluruh potensi yang ada.
PGE (2011), menyatakan saat ini, Indonesia telah memiliki beberapa
PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi). Setelah sukses membangun
PLTP Kamojang pada tahun 1980 mendorong pemerintah untuk membangun
pembangkit listrik tenaga panas bumi di lokasi lain. Sampai hari ini sudah ada
beberapa pembangkit listrik panas bumi yang beroperasi untuk memperkuat
sistem kelistrikan nasional. Tentu saja, lokasi pembangkit listrik yang terletak
di sepanjang cincin api yang mengelilingi Indonesia, diantaranya PLTP
Lahendong, PLTP Lumut Balai, PLTP Ulubelu (Lampung), PLTP Gunung
Salak (Jawa Barat), PLTP Dieng (Jawa Tengah), PLTPWayang Windu (Jawa
Barat), PLTP Patuha (Jawa Barat), dan PLTP Sibayak (Sumatera Utara ).
Salah satu pemanfaatan tidak langsung dari energi panas bumi sebagai
pembangkit tenaga listrik. Prinsip dasar pembangkit listrik tenaga panas bumi
adalah uap dari dalam bumi melalui sumur produksi, dan disalurkan melalui
pipa instalasi khusus untuk menggerakan turbin generator. Uap panas tersebut
kemudian dikondensasi melalui evaporator di cooling tower dan air yang
terkondensasi dikembalikan lagi kedalam tanah melalui sumur injeksi untuk
kesinambungan produksi (PGE, 2011). Secara garis besar proses produksi
pengelolaan energi panas bumi di PGE dapat dilihat pada gambar 2.1.
(Sumber : http://www.pge.pertamina.com/images/stories/gt202.jpg)
Gambar 2.1. Diagram Skema Pengelolaan Energi Sumberdaya Panas Bumi
6
pembangkit listrik. Selain itu, Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih
menanggung kekurangan energi listrik bagi penduduk di luar Jawa sebesar
1.211.688,50 kVA sebanding dengan kekurangan yang sama di pulau Jawa
sebesar 195 kVA 577, nilai ini sangat besar. Pengembangan energi panas
bumi diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar untuk
mengatasi kekurangan pasokan energi listrik nasional.
Berdasarkan data Dinas ESDM, Provinsi Jawa Barat (2008), Indonesia
memiliki prospek untuk mengembangkan energi panas bumi di 256 lokasi di
seluruh Sumatera (84), Jawa (76), Sulawesi (51), Nusa Tenggara (21), Papua
(3), Maluku (15), dan Kalimantan (5). Dari potensi energi panas bumi di luar
pulau Jawa sampai akhir tahun 2011, masih belum terpasang pembangkit
listrik tenaga panas bumi (kecuali di Provinsi Sulawesi Utara), meskipun
sudah ditenderkan proyeknya. Hal ini tentu saja sangat disayangkan,
mengingat daerah di luar Jawa masih kekurangan pasokan listrik.
Mengandalkan minyak atau batubara jelas bukan pilihan bijak sebagai daerah
memiliki potensi sumber energi terbarukan yang belum diolah. Selain itu,
keuntungan-keuntungan di kembangkannya sumberdaya energi panas bumi
adalah2 :
1. Konsumsi 1 MWh membutuhkan 1,7 barel BBM, 390 kg batubara dan 7,9
Mcf gas alam, adanya penghematan dari 1 MWh, diperkirakan bahwa
pembangkit listrik tenaga panas bumi dapat menghemat penggunaan BBM
dari 45 barel per hari.
2. Energi panas bumi diandalkan sebagai pasokan jangka panjang. Beberapa
PLTP di luar negeri masih berproduksi setelah 100 tahun, seperti di
Selandia Baru dan Amerika Latin masih produksi setelah 50 tahun. PLTP
di area Kamojang sudah di produksi lebih dari 21 tahun.
3. Sifatnya secara alami terbarukan.
4. Ramah lingkungan (dampak lingkungan sangat kecil).
5. Reliable (load factor tinggi).
6. Tidak tergantung pada musim.
7. Fleksibel dalam hal kapasitas pembangkit (generator berbagai jenis
tersedia).
8. Pemanfaatan energi panas bumi dapat menghemat penggunaan bahan
bakar fosil.
9. Emisi gas rumah kaca sangat sedikit dibandingkan dengan sumber energi
lainnya.
10. Tidak menghasilkan emisi gas yang berlebihan, khususnya NOx dan SO2.
11. Proses Produksi tidak menghasilkan limbah.
2
http://pge.pertamina.com/index.php?option=com_content&view=article&id=84&Itemid=51
[diunduh 10 Januari 2013]
7
12 MW, (4) Ulubelu, (5) Lumutbalai, (6) Hululais, (7) Kotamubagu, (8)
Sungai Penuh dan (9) Iyang Argopuro dan (10) Karahabodas. Tiga WKP
telah di produksi sendiri oleh PGE dengan total kapasitas 272 MW setara
dengan 12.900 BOEPD. Sisanya dikelola bersama dengan mitra dan
memiliki kapasitas produksi 922 MW (PGE, 2012).
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
Nomor 466/Kpts/M/Pertamb/74 tanggal 10 Agustus 1974, tentang wilayah
kuasa pertambangan (WKP) di area Kamojang diberikan kepada PGE
dengan luas kurang lebih 154.318 hektar. Dari luas WKP tersebut yang
digunakan seluas 108,55 hektar, yang terbagi menurut tata guna lahan yaitu
seluas 48,85 hektar kawasan Cagar Alam, seluas 50,35 hektar Kawasan
Hutan Produksi dan 9,35 hektar kawasan hak milik (Pertamina, 2005).
8
denda dan kecelakaan atau kerusakan lingkungan. Dampak lingkungan yang
tidak diatur dan dikontrol pemerintah seringkali diabaikan karena biasanya
dianggap : 1). Tidak penting, 2). Tidak berhubungan dengan fungsi core
bisnis, 3). Merupakan bagian dari kenaikan harga, dan 4). Dianggap sulit
untuk mengestimasi dan menetapkan nilai finansial dari environmental cost.
Ada kesadaran mempersepsikan lingkungan sebagai perishable
resources yang perlu dikelola untuk pemanfaatan jangka panjang untuk
komersial dan sosial, juga kesadaran bahwa merusak lingkungan adalah
mahal untuk individu, perusahaan dan masyarakat, biaya kerusakan
lingkungan tersebut harus dihindarkan. Anna (2012), menambahkan, untuk
mengelola dan menghindarkan biaya lingkungan perlu adanya pemahaman
bahwa biaya itu ada, dan meyakini bahwa biaya ini diketahui oleh
stakeholder yang bertanggung jawab menyediakan insentif untuk
mengurangi biaya lingkungan tersebut.
Sutomo (2012), menyatakan bahwa biaya lingkungan (environmental
cost) pada dasarnya dapat secara signifikan dikurangi atau dihilangkan
karena tidak memiliki nilai tambah pada proses, sistem atau produk.
Beberapa perusahaan melihat peluang environmental cost yang dapat di
offset dengan menghasilkan revenue by product atau transferable pollution
allowance, licensing clean technology, dan lain-lain. Pengelolaan yang baik
dari environmental cost dan kinerja proses serta produk dapat menghasilkan
kinerja lingkungan dan manfaat signifikan terhadap kesehatan masyarakat,
meningkatkan pembiayaan dan harga yang lebih akurat dan membantu
industri mendesain usahanya yang lebih berwawasan lingkungan,
memperoleh keunggulan kompetitif dan memenuhi standar usaha
internasional.
Lingkungan
Eksternalitas menyebabkan
degradasi Lingkungan (termasuk
polusi udara, limbah, air, hutan
dll)
Pada gambar 2.2. dijelaskan, bahwa kegiatan ekonomi dalam hal ini
pengelolaan sumberdaya energi panas bumi pasti adanya interaksi dengan
9
lingkungan. Adanya input sumberdaya alam yang digunakan secara
langsung, dalam hal ini energi panas bumi dan air, ataupun sumberdaya
alam yang secara tidak langsung, misalnya hutan. Lingkungan sebagai input
produksi menyebabkan terjadinya deplesi dari sumberdaya alam tersebut
baik yang langsung maupun tidak langsung. Meskipun sangat sedikit,
terjadinya degradasi lingkungan sebagai akibat dari eksternalitas dari
pengelolaan sumberdaya energi panas bumi harus dihitung dan diperhatikan
sebagai, nilai jasa lingkungan.
Degradasi lingkungan adalah menurunnya fungsi dan kualitas dari
sumberdaya alam dan lingkungan, seperti natural resources inputs,
environmenral services, biodiversity services, amnesty services dan natural
assimilator. Degradasi lingkungan akan berpengaruh pada produktifitas
faktor produksi lainnya (Anna, 2012).
10
melakukan running berulang-kali terhadap model simulasi sistem
dinamik yang telah dikembangkan pada tahap kedua penelitian ini.
Untuk kriteria yang belum diperhitungkan pada model simulasi sistem
dinamik pembobotan dilakukan secara kualitatif.
c) Memproses nilai kuantitatif untuk menentukan urutan masing-masing
alternatif.
Hasil dari penilaian bobot dari kriteria dan alternative disajikan dalam
bentuk tabel 2.1. menjelaskan bagaimana hubungan antara kreteria dengan
alternatif pilihan kebijakan yang akan diambil.
Keterangan Tabel:
- Alternatif dinyatakan dengan Ai (untuk i = 1,2,3,.. ,m).
- Kriteria dinyatakan dengan Kj (untuk j = 1,2,3, ... ,n). Kriteria yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan faktor-faktor yang diperoleh
berdasarkan hasil dari wawancara dan analisa.
- Masing-masing kriteria diberi bobot yang dinyatakan dengan Wj. Bobot
yang diberikan pada penelitian ini didasarkan pada nilai-nilai yang
dihasilkan dari simulasi dan wawancara langsung dg para pihak.
- Nilai dari bobot untuk tiap kriteria terhadap alternatif yang relevan
dinyatakan dengan aij (untuk i = 1,2,3, ... ,m dan j = 1,2,3, ... ,n).
11
dilakukan oleh PGE dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam Jawa
Barat.
2. Nilai ekonomi manfaat langsung (direct use value) sumberdaya alam
kawasan panas bumi Kamojang sebesar Rp. 1.810.197.943.950, terdiri
dari nilai Panas Bumi sebesar Rp. 1.673.568.000.000, nilai kayu hutan
produksi sebesar Rp. 10.153.656.000, nilai kayu bakar sebesar Rp.
1.782.600.000, nilai hewan buruan sebesar Rp. 594.000.000, nilai
pertanian sayuran yang di peroleh dari alam Rp. 120.364.692.000, nilai
tanaman obat-obatan alami sebesar Rp. 1.950.338.700 dan nilai
pertanian hortikultura sebesar Rp. 1.784.657.250. Sedangkan nilai
ekonomi manfaat tidak langsung (indirect use value) sumberdaya alam
kawasan Kamojang yaitu sebesar Rp. 3.011.714.430.
3. Nilai ekonomi keberadaan (existence value) sumberdaya alam kawasan
Kamojang sebesar Rp. 8.023.230.000, dan nilai ekonomi warisan
(bequest value) sebesar Rp. 1.139.490.000.
4. Nilai ekonomi total (total economic value) yang dapat dihitung dari
hasil penelitain tersebut sebesar Rp. 1.822.372.378.380.
12
BAB 3
KERANGKA PEMIKIRAN
13
Masalah :
1. 40 % Cadangan dunia Potensi Energi Panas Bumi ada di Indonesia, 70 % berada di
kawasan Hutan.
2. Kebijakan pemanfaatan Panas Bumi belum mendukung secara komprehensif guna
mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil
3. Dampak Pengelolaan Energi Panas Bumi terhadap Lingkungan, Sosial, Ekonomi
Kondisi yang ada :
1. Kebijakan Pemerintah Pusat & Daerah : UU No 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan , UU No. 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, Peraturan Daerah
Prov. Jabar No. 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Panas Bumi.
2. Deplesi dan Degradasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan akibat pengelolaan
energi Panas Bumi di Kawasan Kamojang.
3. Masalah sosial masyarakat
4. Pengelolaan Energi panas bumi belum optimal
14
BAB 4
METODE PENELITIAN
15
4). Direktorat Jenderal PHKA Kementerian Kehutanan,
5). Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM,
6). Balai Konervasi Sumber Daya Alam Propinsi Jawa Barat,
7). Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Propinsi Jawa Barat,
8). Perum Perhutani Unit 3 Jawa Barat & Banten,
9). Badan Perencana Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat,
10). Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Garut, serta aparat
pemerintah daerah terkait yang memahami kondisi lokasi
penelitian.
2. Responden dari masyarakat setempat dipilih dengan purposive
sampling berjumlah 60 Kepala Keluarga (KK) atau orang yang
dianggap sebagai kepala keluarga dari satu unit keluarga, terdiri dari
masyarakat umum yang tinggal dan bermukim di lokasi penelitian.
Responden tersebut terdiri dari 15 KK di Desa Laksana dan 15 KK
Desa Ibun, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, dan 15 KK di Desa
Tanjung Sari dan 15 KK di Desa Kecamatan Samarang, Kabupaten
Garut, Jawa Barat.
Tabel 4.1. Matrik Penelitian : Tujuan, Jenis Data dan Metode Analisis
No Tujuan Jenis Data yang Metode Analisis
Diperlukan
1. Mengetahui nilai a. Laporan tahunan PGE, a. Deskriptif melalui
ekonomi langsung biaya operasional, biaya data primer dan
energi panas bumi di lingkungan dan biaya- data sekunder
kawasan PGE area biaya lainnya. yang dimiliki
Kamojang. PGE.
b. Nilai ekonomi
langsung Energi
panas Bumi
2. Mengetahui nilai a. Laporan Kegiatan a. Nilai ekonomi air
ekonomi air dan nilai Lingkungan PGE tanah
deplesi kawasan Kamojang b. Analisis benefit
hutan PGE area b. Laporan AMDAL transfer
Kamojang. PGE terkait dengan
Lingkungan
3. Mengetahui peran a. Identifikasi para pihak a. Analisis konflik
para pihak dalam (Stakeholder) yang b. Analisis
pengelolaan terlibat stakeholder,
sumberdaya energi b. Nilai kepentingan dan c. Deskriptif
panas bumi di PGE pengaruh masing- melalui
area Kamojang serta masing stakeholder wawancara
potensi konflik para dengan pihak
pihak. terkait
16
No Tujuan Jenis Data yang Metode Analisis
Diperlukan
4. Mengatahui Peraturan-peraturan yang ada Deskriptif melalui
Peraturan-peraturan tentang pengelolaan panas studi literature dan
yang ada tentang bumi, baik pemerintah pusat wawancara dengan
pengelolaan panas maupun pemerintah daerah pihak terkait
bumi dan
permasalahan yang
terjadi.
5. Formulasi kebijakan a. Nilai ekonomi langsung a. Deskriptif melalui
pengelolaan panas energi panas bumi. wawancara dengan
bumi di PGE area b. Nilai deplesi panas bumi pihak terkait.
Kamojang c. Nilai deplesi kawasan b. Analisis
hutan MCDM/Topsis
d. Nilai ekonomi air tanah
e. Hasil analisis konflik
f. Hasil analisis
stakeholder
17
Dengan menggunakan nilai atau satuan moneter sebagai
perantara, maka dalam satu satuan akan didapatkan keseluruhan
jumlah dari sumberdaya alam.
Nilai deplesi kayu, kayu bakar keaneka ragaman hayati dan air
diperkirakan dengan pendekatan benefit transfer dengan meminjam
nilai sumberdaya hutan yang telah diteliti sebelumnya terlihat pada
tabel 4.2. mengacu pada Panduan Valuasi Ekonomi Kegiatan
Pertambangan dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2012).
18
4.5.4. Nilai Ekonomi Air Pengelolaan Panas Bumi
Air merupakan sumber daya termasuk pada sumber daya yang
dapat diperbaharui maupun tidak dapat diperharui (Fauzi, 2004).
Selanjutnya, Fauzi (2004) menjelaskan bahwa air yang diperoleh dari
bawah tanah atau ground water, dihasilkan melalui proses geologi
selama ribuan tahun lamanya, meskipun memiliki kemampuan untuk
memulihkan kembali, jika jumlah yang dimanfaatkan melebihi
kemampuannya untuk recharge, air tanah dapat menjadi sumber daya
yang tidak dapat diperbaharui.
Pengelolan panas bumi memiliki keterkaitan yang erat dengan
sumber daya air tanah, dimana uap panas yang keluar dari sumur
produksi memiliki kandungan air. Masa jenis uap air lebih kecil
dibandingkan dengan masa jenis air, sekitar 0,60 Kg/M3. Dalam
menghitung nilai ekonomi air dalam pengelolaan panas bumi,
dilakukan dengan menghitung niali ekonomi dari air tanah yang
digunakan dengan shadow price dan menghitung nilai ekonomi air
yang digunakan untuk penambahan di sumur injeksi yang berasal dari
Sungai Cikaro dengan Opportunity Price menggunakan nilai ekonomi
iuran air irigasi.
19
alam dan kompensasi pemulihan, peruntukan dan pengelolaan,
besarnya ditentukan berdasarkan subyek kelompok pengguna air serta
volume pengambilannya. Untuk menghitung FNA digunakan bobot
komponen sumber daya alam dan komponen kompensasi, terlihat
pada Tabel 4.3 dan Tabel 4.4.
Keterangan :
HDA : Harga Dasar Air (Rp/M3)
FNA : Faktor Nilai Air
HAB : Harga Air Baku (Rp/M3)
Ketarangan :
V : Volume (M3)
FNA : Faktor Nilai Air
HAB : Harga Air Baku (Rp/M3)
20
Selain menggunakan benefit transfer dari pajak air tanah, juga
menggunakan Opportunity Price dari harga iuran air irigasi.
Sumaryanto (2006), menjelaskan bahwa harga air irigasi berkisar
antara terendah sekitar Rp. 11 /m3 dan tertinggi pada kisaran Rp. 84 /
m3 .
Shadow Price dari harga air tanah digunakan untuk menentukan
nilai ekonomi air tanah yang digunakan dalam pengelolaan panas
bumi di area Kamojang, sedangkan Opportunity Price dari harga iuran
air irigasi digunakan untuk menghitung nilai ekonomi air dari sungai
Cikaro yang di injeksi kedalam reservoir. Total dari penjumlahan nilai
ekonomi air dalam pengelolaan panas bumi di area Kamojang adalah
jumlah komulatif dari nilai ekonomi air tanah (shadow price) dan nilai
ekonomi iuran air irigasi (opportunity price).
Nilai Ekonomi Air Pengelolaan panas Bumi merupakan
gabungan antara Nilai Ekonomi Air Tanah (Shadow Price) ditambah
dengan Nilai Ekonomi Air Permukaan dari Sungai Cikaro
(Opportunity Price). Setelah diperoleh Nilai Ekonomi Air kemudian
dihitung Nilai Air yang akan dating. Nilai yang akan datang atau
future value adalah nilai uang di massa yang akan datang dengan
tingkat bunga tertentu. Future value atau nilai yang akan datang dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
NEFn = Nilai Ekonomi Air yang akan datang
(Nilai pada akhir tahun ke n)
NEP = Nilai Ekonomi Air sekarang
(Nilai pada tahun ke 0)
r = Suku bunga
n = Jangka Waktu (Tahun)
21
kegiatan program/proyek baik pengaruh itu positif maupun negatif,
atau sebaliknya yang mungkin memberikan pengaruh terhadap hasil
keluaran program/proyek. Stakeholder dipetakan ke dalam matriks
analisis stakeholder berdasarkan besarnya kepentingan dan pengaruh.
Besarnya kepentingan dinilai berdasarkan :
1. Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan energi panas bumi,
2. Ketergantungan stakeholder terhadap pengelolaan energi panas
bumi,
3. Peran masing-masing stakeholder yang berkaitan dengan
pengelolaan energi panas bumi,
4. Manfaat yang diperoleh stakeholder dari pengelolaan energi panas
bumi, dan
5. Kepentingan stakeholder terhadap pengelolaan energi panas bumi
yang berkelanjutan.
Sedangkan besarnya pengaruh dinilai berdasarkan :
1. Instrumen dan sumber kekuatan (power) yang dimiliki masing-
masing stakeholder,
2. Posisi derajat Stakeholder dalam pembuatan keputusan,
3. Dukungan SDM terhadap pengelolaan sumberdaya energy panas
bumi,
4. Kemampuan Pendanaan dan Manajemen terhadap pengelolaan
sumberdaya energy panas bumi,
5. Interaksi dengan stakeholder lainnya,
22
Tabel 4.6. Ukuran Kuantitatif Pengaruh dari Stakeholder
Skor Kriteria Pengaruh
5 Sangat Tinggi Sangat berpengaruh nyata terhadap aktifitas
aktor lain
4 Tinggi Berpengaruh terhadap aktifitas aktor
3 Cukup Cukup berpengaruh terhadap aktifitas aktor
2 Kurang Berpengaruh Sedikit terhadap aktifitas aktor
1 Rendah Tidak berpengaruh terhadap aktifitas aktor
A B.
Tinggi Subjek / Subject Pemain / Player
Kepentingan C. D.
Rendah Penonton / Spectator Aktor / Actor
Rendah Pengaruh Tinggi
23
menggunakan 4 kriteria umum yaitu : 1). Ekonomi, 2). Lingkungan,
3). Sosial dan 4). Aturan kelembagaan. Sedangkan untuk alternatif-
alternatif kebijakan diperoleh melalui wawancara langsung maupun
kuisioner. Penentuan pengukuran numerik (pembobotan) terhadap
kriteria dan alternatif-alternatif kebijakan dilakukan melalui
wawancara dengan pemangku kepentingan. Berdasarkan hasil
wawancara langsung maupun kuisioner diperoleh nilai bobot untuk
masing-masing kriteria sebagai berikut : 1). Ekonomi 35 %, 2).
Lingkungan 30 %, 3). Sosial Masyarakat 25 % dan 4).
Kelembagaan/Peraturan 10 %, terliht pada tabel 4.4. Sedangkan
penilaian masing-masing kriteria dapat dilaihat pada lampiran 1.
24
......................... (4.5)
Keterangan :
i = 1, 2,..., m dan
j = 1, 2,..., n
Keterangan :
y+j adalah : max yij, jika j adalah atrribut keuntungan
min yij, jika j adalah atrribut keuntungan
y-j adalah : min yij, jika j adalah atrribut keuntungan
max yij, jika j adalah atrribut keuntungan
......................... (4.9)
......................... (4.10)
25
Keterangan :
i : 1,2,...,m
26
BAB 5
KONDISI UMUM KAWASAN
PT. PERTAMINA GEOTHERMAL ENERGY
27
Barat, berada pada jalur Transmisi Jawa Madura dan Bali (Jamali).
Meskipun berada di kawasan hutan cagar alam, kawasan PGE memiliki
kawasan yang langsung berhubungan dengan masyarakat sekitar yang
berada di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung.
5.2. Potensi dan Pengelolaan Energi Panas Bumi PGE, Kawasan Kamojang,
Jawa Barat
Negara kita memiliki potensi sumber panas bumi terbesar di dunia
yang setara dengan 29.038 Mw3. Sebagai salah satu sumber energi
terbarukan yang juga ramah lingkungan, energi panas bumi sangat
berpotensi sebagai alternatif pengganti sumber energi fosil yang tidak
terbarukan dan menghasilkan dampak lingkungan berupa emisi gas rumah
kaca CO2 (ESDM, 2005)
Pengembangan energi panas bumi di Indonesia diawali dengan
peresmian lapangan Panas Bumi Kamojang pada tanggal 29 Januari 1983.
Energi panas bumi yang dihasilkan dari lapangan itu digunakan untuk
menggerakkan Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) Unit-1 yang
menghasilkan listrik sebesar 30 MW dan mulai beroperasi pada 7 Februari
1983. Pengoperasian lapangan dan PLTP Unit-1 ini merupakan hasil dari
berbagai upaya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi geothermal di Indonesia
yang telah diinisiasi oleh PT Pertamina (Persero) sejak tahun 1974.
Menurut data dari Dinas ESDM, Provinsi Jawa Barat (2008), di
Propinsi Jawa Barat terdapat 23 kawasan yang memiliki prospek
pengembangan energi panas bumi, dengan total potensi energi yang
dihasilkan sebesar 2.861,7 Mwatt atau 21,9% dari Total potensi di
Indonesia, tersebar di 11 Kabupaten. Sebagian besar sudah dilakukan
pengelolaan dengan kapasitas terpasang 1.027 Mwatt. Keberadaan potensi
energi Panas bumi tersebut sebagian besar berada di kawasan hutan baik
hutan lindung maupun hutan konservasi. Kontribusi energi panas bumi di
provinsi Jawa Barat terhadap nasional adalah yang terbesar berasal dari
Kamojang 200 MWatt, Awi Bengkok Gunung Salak, terpasang sebesar 6 x
55 MWatt dan terbangkitkan 375 MWatt, Drajat 270 MWatt dan Wayang
Windu 270 MWatt. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5.1.
sebagai berikut.
3
Indonesia saat ini baru mengembangkan energi panas bumi untuk pembangkit listrik sebesar 1.189 Mw (4,3%).
Sebagai acuan dari Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 sebagai penjabaran dari Peraturan Presiden No
5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, energi panas bumi diharapkan berkontribusi sedikitnya 16 Gw di 2025
28
Tabel 5.1. Prospek Panas Bumi di Provinsi Jawa Barat
Potensi Terpasang
No Kawasan Prospek Pengembang
(Mwatt) (Mwe)
PT. Chevron Geothermal
1. Awi Bengkok 495 330
Salak
2. Cisolok-Cisukarame 58 - PT. Jabar Rekind Geothermal
PT. Pertamina Goethermal
3. Gede Pangrango 131 -
Energy (PGE)
Kerjasama PT. Pertamina
4. Patuha 163 - Goethermal Energy (PGE) dan
PT. Geodipa Energy
5. Cibuni 33 - PT. Yala Tekno Geothermal
6. Papandayan 197 - -
7. Ciater 6 - PT. Wahana Sembada Sakti
PT. Tangkuban Perahu
8. Tangkuban Perahu 79 -
Geothermal Power
PT. Pertamina Goethermal
9. Kamojang 300 200
Energy (PGE)
Kerjasama PT. Pertamina
Goethermal Energy (PGE)dan
10. Darajat 400 270
PT. Chevron Geothermal
Indonesia
PT. Wijaya Karya Jabar
11. Tampomas 34 -
Power
PT. Pertamina Goethermal
Energy (PGE)dan PT. Star
12. Wayang Windu 440 227
Energy Geothermal Wayang
Windu
13. Galunggung 81 - -
PT. Pertamina Goethermal
14. Karaha Bodas 214 -
Energy (PGE)
15. Gunung Kromong 77 - -
Sudah Lelang tapi Ijin Usaha
16. Gunung Ciremai 111 -
Pertambangan belum terbit
17. Panulisan 10,5 - -
18. Subang 20 - -
19. Ciheuras 1,5 - -
20. Ciseeng 0,3 - -
21. Jampang 10 - -
22. Gunung Sawal - - -
23. Tanggeng-Cibungur 0,4 - -
2.861,7 1.027
Sumber : Dinas ESDM, Provinsi Jawa Barat (2013)
29
hilir, yakni dengan melakukan proses pembangkitan dan pengelolaan energi
panas bumi menjadi energi listrik.
Kawasan Panas Bumi Kamojang mulai dieksplorasi pada tahun 1926,
sampai sekarang sudah dilakukan 77 kali pengeboran sumur dengan total
kapasitas produksi panas bumi PGE di kawasan Kamojang adalah 200 Mwe,
dengan rincian sebagai berikut Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi
(PLTP) Unit-1, Unit-2, Unit-3 dengan total kapasitas terpasang 140 Mwe
yang dioperasikan oleh PLN serta PLTP Unit-4 sebesar 60 Mwe yang
dioperasikan oleh PGE.
30
Prinsip Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi,dimana uap yang
dihasilkan dari sistem hidrothermal didalam reservoir panas bumi. Dengan
melakukan pengeboran sumur produksi sekitar 1.200 1.500 meter sampai
dengan reservoar. Sumur-sumur produksi tersebut ada diberbagai lokasi
berkelompok membentuk klaster. Setiap klaster terdiri dari 1 sampai 6
sumur. Jumlah klaster seluruhnya adalah 33 klaster, dengan total sumur
sebanyak 77. Luas tiap klaster sekitar 2 sampai dengan 3 hektar, total luas
area yang digunakan untuk sumur sekitar 99,02 hektar.
31
Kandungan kimiawi yang terdapat pada uap panas tersebut diantaranya
cairan sekitar 0,02 %-berat (Natrium, Kalium, Kalsium, Magnesium,
Silika, Sulfat, Klorida dan lain-lain) dan adanya gas-gas yang tidak ter-
kondensasi sekitar 0,2 % mol seperti, CO2, H2S, dan gas lainnya. Untuk
lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
32
Gambar 5.3. Pipa Penyaluran Panas Bumi dari Sumur Produksi ke
Pembangkit
Tabel 5.5. Uap pada Jaringan Pipa Produksi dan Ukuran Dimensi Pipa
Jaringan Pipa Jumlah Uap Panjang Pipa Diameter Pipa
No
Produksi (Ton/Jam) (Meter) (Inch)
1. PL-401 270,1 3.431,2 10 s.d. 32
2. PL-402 197,9 2.605,1 10 s.d. 24
3. PL-403 315,5 5.144,2 10 s.d. 40
4. PL-404 316,5 2.813,9 10 s.d. 40
Total 1.100 13.994,4
Sumber : PGE (2012)
33
Uap panas yang disalurkan melalui jaringan pipa-pipa tersebut sampai
di pembangkit sekitar 1.100 ton/jam. Hal ini dimungkinkan dengan fluida ke
dalam separator untuk pemurnian pemisahan antara uap dengan material
lain, dimana fasa uap akan terpisah dari fasa cairnya, uap yang dipisahkan
kemudian dialirkan ke turbin, suhu 125 derajat celsius, dapat menggerakan
turbin, turbin mampu menggerakan generator.
34
Setelah melewati turbin dan diambil energinya uap panas bumi
mengalami turun tekanan (drop Preasure). Sebagian besar uap, sekitar 85%
atau sebanyak 934,4 ton/jam dilepaskan ke udara melalui coolling tower,
sebagian lagi, 15 % atau 165.6 ton/jam dikondensasikan menjadi air dengan
suhu 60 derajat celsius, dialirkan ke cooling tower untuk mendinginkan air,
air yang dihasilkan cooling tower digunakan pada kondensor. Kemudian air
tersebut di injeksikan kembali ke reservoar melalui sumur injeksi.
35
Gambar 5.8. Sumur reinjeksi air yang sudah di kondensat
Energi panas bumi yang dihasilkan pada Unit 1, Unit 2 dan Unit 3
disalurkan dalam bentuk uap pada pembangkit listrik milik Indonesia Power
sebesar 140 MWe, sedangkan Energi yang di hasilkan dari PLTP Unit 4
Kamojang sebanyak 60 Mwe. Keduanya disalurkan ke sistem jaringan Jawa
Madura dan Bali (Jamali), bergabung dengan pembangkit listrik yang
lainnya. Sebelum masuk pada sistem jaringan Jawa Madura dan Bali, listrik
mengalami penyesuaian tegangan terlebih dahulu di switch yard 150 KV.
Sistem pembangkit listrik panas bumi yang masuk ke Jaringan Jawa Bali
diantaranya Kamojang, Gunung Salak, Darajat, dan Gunung Windu.
36
sebesar 1 520 Mwe masih dalam tahaqp pengembangan seperti Drajat III
dan Wayang Windu II, serta belum dioperasikan lapangan Patuha, Cibuni
dan Karaha Bodas.
Pada saat ini, nilai proyek pertambahan di PGE area Kamojang
tercatat sebagai berikut : 1). Efisiensi Biaya Proyek Pembangunan dalam
jumlah total 9%; 2). Besar kapasitas terpasang listrik, kapasitas Terpasang
63 MW (net > 60 MW); 3). Efisiensi Konsumsi Uap (Steam Spesifik
Konsumsi-SSC). Realisasi 6,703 ton / jam / MW dari 7,47 ton Rencana /
jam / MW; 4). Dominasi Tenaga Kerja Nasional. Hanya 11 Ekspatriat dari
2.430 pekerja (Sisanya adalah Tenaga Kerja Nasional); 5). Optimasi tata
letak untuk pengembangan Unit PLTP berikutnya; dan 6). Sukses untuk
merekomendasikan Penggunaan Pelumas Pertamina sebagai pelumas resmi
untuk Turbin PLTP Kamojang Unit-4. Kualitas Turbo-Lube 32 diakui oleh
Fuji Electric System, Jepang dan nol kecelakaan jam kerja selama proyek
2.496.059 jam orang.
PGE dalam bisnisnya fokus pada kegiatan untuk meningkatkan
produksi di tiga daerah operasi (Kamojang, Lahendong dan Sibayak).
Jumlah produk yang dihasilkan dari 3 daerah operasi yang ada 9,5 juta ton
uap dengan generasi 1,3 juta MWh. Selain itu, kontribusi KOB adalah
30.370.000 ton uap dan 4,1 juta MWh. Jumlah tahunan produk uap panas
bumi adalah 39.890.000 ton dengan pembangkit listrik dari 5,36 juta MWh.
(PGE, 2012).
Untuk percepatan pengembangan panas bumi dengan target produksi
100 ribu barel per hari pada 2017, dengan kapasitas terpasang 2.300 Mwe,
Pertamina membentuk Brigade 100K. PGE sendiri memiliki resource
sebesar 29.000 Mwe. Tapi sampai tahun 2011 baru utilitas sebesar 4 % atau
sekitar 292 Mwe. Mengacu pada roadmap PGE tahun 2020 2025, setelah
target produksi 400 Mwe tercapai, PGE berusha untuk menjadi center of
excellent sebagai perusahaan panas bumi terbesar di Indonesia, juga sebagai
perusahaan panas bumi terbesar di dunia pada tahun 2017, dengan kapasitas
2 025 Mwe 2 435 Mwe atau sebanding dengan 95.000 110.000 boepd4.
PGE, sampai saat ini memiliki 14 wilayah kerja pertambangan, tiga
daerah sudah menghasilkan yaitu, Kamojang dengan kapasitas produksi 200
Mwe, Lahendong 80 Mwe dan Sibayak 12 Mwe. Ditambah dengan enam
wilayah kerja Joint operating contract dengan mitra kerja, antara lain di
Salak dengan Chevron, Wayang Windu dengan Star Energy, Darajat dengan
Chevron dan Patuha dengan Geodipa. Untuk mempercepat produksi panas
bumi, PGE menyelesaikan 10 proyek, antara lain Ulu Belu unit 1, 2, 3 dan
4; Kotamobagu Unit 1 dan 2; Hulu Lais Unit 1 dan 2; Sungai Penuh Unit 1
dan 2; Lumut Balai Unit 1, Unit 2, Unit 3 dan Unit 4; Kamojang Unit 5 dan
Lahendong Unit 5 dan 6. Khusus untuk Kamojang PGE akan membangun
power plant dengan kapasitas produksi 60 Mwe (Energia, 2012).
Untuk masalah kinerja perusahaan terkait dengan masalah lingkungan,
PGE area Kamojang meraih Program Penilaian Peringkat Kinerja
Perusahaan (Proper) Emas dari Kementerian Lingkungan Hidup secara
berturut-turut pada tahun 2011 dan 2012 (PGE, 2012).
4
Energia, No. 12/THN XLVII/Desember 2012, Hlm 27
37
5.4. Kondisi Kawasan Hutan Kamojang
Memiliki luas WKP sebesar 154.318 hektar. Pada tahun 2010, ada
perubahan luasan menjadi 45.000 hektar. Dari total luas WKP yang
diberikan PGE baru menggunakan kawasan sekitar 108,55 hektar, dengan
rincian sebagai berikut Hutan konservasi seluas 48,85 hektar , hutan lindung
seluas 50,35 hektar dan hak milik seluas 9,35 hektar. Kawasan tersebut
digunakan sebagai pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi,
cooling tower, sumber sumur produksi, sumur injeksi, saluran pipa
penyaluran, mess karyawan, sarana olahraga dan perkantoran.
PGE menggunakan 2 jenis kawasan hutan yaitu Hutan Konservasi dan
Hutan Lindung, dengan perincian sebagai berikut :
1. Kawasan hutan konservasi yang digunakan oleh PGE seluas 48,856
hektar, yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu :
a. Kawasan hutan seluas 5,25 hektar, 4,25 hektar, dan 21,506 hektar
yang terletak di Resort KSDA Kamojang Barat SKW V Garut,
Bidang KSDA Wilayah III Ciamis Balai Besar KSDA Jawa Barat,
diperoleh tanpa kompensasi.
b. Kawasan hutan seluas 12 hektar di Resort KSDA Kamojang Barat,
dipeorleh dengan kompensasi sesuai surat Dinas Kehutanan
Propinsi Jawa Barat Nomor 522.12/1107/PKH tanggal 27
September 2006 dan Berita acara serah terima lahan kompensasi
dari PT. Geothermal Energy kepada Departemen Kehutanan pada
tanggal 27 September 1999.
c. Kawasan Hutan seluas 5,85 Hektar terletak di Resort KSDA
Kamojang Barat SKW V Garut Bidang KSDA Wilayah III Ciamis
Balai Besar KSDA Jawa Barat dengan kompensasi sesuai surat
Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat Nomor 522.12/1107/PKH
tanggal 27 September 2006.
2. Luas kawasan hutan lindung yang di Gunakan oleh PGE dengan sistem
pinjam pakai seluas 46,50 hektar dengan kompensasi. Tanah
kompensasi terletak di Desa Marga Mulya Kecamatan Cisompet,
Kabupaten Garut seluas 38,6 hektar dan di Desa Sukasono, Kecamatan
Sukawening, Kabupaten Garut seluas 7,9 hektar (pasal 6 Perjanjian
Pinjam Pakai kawasan hutan dengan Kompensasi antara Perum
Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dengan Nomor :
044/044.3/SJ/Kamas/III/2003) dan surat Perum Perhutani nomor :
253/044.4/KUM/DIR tanggal 4 Oktober 2004.
38
Gambar 5.10. Kondisi Hutan di sekitar Pertamina Geothermal Energy
5.4.1. Flora
Laporan Rencana Pengelolaan Cagar Alam Kawah Kamojang
2005 2030, BKSDA Jawa Barat, disebutkan secara umum vegetasi
Cagar Alam Kamojang didominasi beberapa jenis tumbuhan untuk
setiap fase pertumbuhan. Fase pohon didominasi Kihujan
(Eugelhardia spicata), Puspa (Schima wallichii), dan Tebe (Slonea
sigun). Fase tiang didominasi Huru (Litsea sp), Villebruinea
rubescens, dan Kihujan (Eugelhardia spicata). Fase pancang
didominasi oleh Pletronia glabia, Pterocarpus indicus, dan Litsea
javanica. Sedangkan fase semai didominasi oleh Eupatorium
riparium, Dicksonia sp, dan Achasma coccineum.
39
ditemukan pohon Kurai (Trema orientalis), Kareumbi
(Homalanthus populnea), Huru (Litse sp), dan Cerem
(Macropanax dispernum) dengan jenis tanaman yang dominan
adalah Kurai (Trema orientalis). Secara umum kawasan hutan
di sekitar klaster Ciharus telah mengalami banyak perubahan
akibat dari aktifitas perambahan hutan oleh penduduk untuk
diambil kayu dan kegiatan ladang (Rencana Pengelolaan Cagar
Alam Kawah Kamojang 2005 2030, BKSDA Jawa Barat).
40
Tabel 5.6. Kondisi Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung
Item Nilai Satuan
Jarak dari Kota Kabupaten Bandung 35 Kilometer
Jarak ibukota Provinsi 45 Kilometer
Total Luas Wilayah 6.630.273 Hektar
Luas Sawah 1.230.135 Hektar
Luas Tanah Darat 3.642.452 Hektar
Luas Tanah Hutan 1.757.650 Hektar
Jumlah Desa 12 Desa
Sumber : BPS Kabupaten Bandung (2013)
41
5.5.2. Kondisi Sosial
Penyebaran penduduk di Kecamatan Ibun tidak merata, umumnya
terpusat di Desa Ibun dan potensi sumber daya manusia dan alam pun
berbeda tiap desa. Tingkat pendidikan masyarakat umumnya masih rendah
dan tingkat putus sekolah cukup tinggi.
Adanya bantuan fasilitas dari perusahaan PGE warga Kecamatan
Ibun mendapatkan pelayanan-pelayanan seperti kesehatan, pendidikan,
keagamaan dan lingkungan. Pelayanan kesehatan diberikan kepada
masyarakat setiap hari Senin dengan dibantu oleh tenaga dokter, Bidan dan
kader posyandu. Apabila ada warga yang sakit warga mendatangi
Puskemas Pembantu sebagai balai pengobatan utama. Pengobatan ini
diberikan secara cuma-cuma yang disediakan oleh perusahaan.
Laporan CSR PGE (2012), menyebutkan sarana pendidikan telah ada
bangunan TK, TPA, SD dan SMP swasta. SMP swasta ini merupakan
sekolah rintisan sebagai sekolah alternatif karena selama ini anak-anak
pada umumnya melanjutkan pendidikannya ke Samarang Garut. Semua
sarana pendidikan diatas merupakan bantuan dari Perusahaan.
Untuk kegiatan keagamaan, Perusahaan membangun fasilitas Masjid
sebagai tempat ibadah, pengajian, jumatan dan musyawarah warga.
42
Potensi Masalah Kebutuhan
2. Budidaya Tanaman
Jamur:
- Tersedianya areal - Teknik budidaya jamur
pekarangan yang luas Belum ada pembinaan secara - Investasi gubuk dan boiler
- Memiliki pasar yang langsung - Pendampingan intensif
jelas
- Budidaya jamur
bukan hal yang sulit
dikerjakan
3. Peternakan
- Kebiasaan - Keterbatasan jumlah - Penambahan ternak
masyarakat beternak ternak - Penyediaan kandang
domba dan sapi - Kandang yang belum - Pendampingan intensif
- Ketersediaan pakan tersedia
alami - Belum adanya pembinaan
- Ketersediaan pasar secara intensif
- Keamanan - Belum adanya teknologi
lingkungan pakan alternatif
4. Pengelolaan lingkungan
- Besarnya volume sampah - Pengelolaan sampah
akibat kegiatan pariwisata terpadu dan bernilai
dan limbah domestik komersial
- Belum adanya tempat - Unit kegiatan yang
pengelolaan sampah memupuk kesadaran
terpadu masyarakat untuk
- Rendahnya kesadaran bersosialisasi
gotong royong masyarakat
43
5.6. Peraturan Pengelolaan Energi Panas Bumi
Kebijakan pemerintah untuk pengelolaan energi panas bumi, berkaitan
dengan kebijakan peraturan yang lain. Terdapat beberapa kebijakan dan
peraturan yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan
dengan kegiatan pengelolan energi panas bumi terlihat pada lampiran 1.
Dari kebijakan dan peraturan tersebut diatas, penelitian hanya di
fokuskan pada kebijakan yang terkait secara langsung dengan kegiatan
pengelolaan energi panas bumi di kawasan Kamojang oleh PGE, yaitu :
44
hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah. Sedangkan hutan konservasi adalah kawasan
hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Undang-Undang tersebut menegaskan pada Pasal 23, bahwa
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, bertujuan untuk
memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat
secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pada pasal 24,
menyebutkan bahwa, pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada
semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan
zona rimba pada taman nasional.
Saat ini pemberian ijin yang diberikan berupa izin pinjam pakai
kawasan hutan. Izin pinjam pakai kawasan hutan adalah izin yang diberikan
untuk menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan.
Artinya boleh menggunakan kawasan hutan Kamojang untuk kegiatan
diluar kehutanan dalam hal ini pengelolaan panas bumi tanpa mengubah
fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut, sebagai hutan lindung dan
hutan konservasi. Meskipun jelas disebutkan bahwa di kawasan hutan
konservasi dalam hal ini cagar alam tidak diperbolehkan melakukan
kegiatan pemanfaatan kawasan hutan.
Selain Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 1999, tentang Kehutanan.
Ada juga Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2012
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010
Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Pada pasal 4 Peraturan Pemerintah
tersebut, menyatakan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk
kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Yang
dimaksud dengan kegiatan yang mempunyai tujuan strategis adalah kegiatan
yang diprioritaskan karena mempunyai pengaruh yang sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara,
pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan.
Belum ada aturan dari sektor kehutanan yang terkait langsung dengan
ijin pemanfaatan jasa lingkungan khusus untuk energi panas bumi. Seusia
dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan,
pengertian pemanfaatan jasa lingkungan di defenisikan sebagai kegiatan
untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak
lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Jenis-jenis pemanfaatan jasa
lingkungan yang dapat dilakukan pada kawasan hutan lindung dan kawasan
hutan produksi yaitu :
a. Pemanfaatan jasa aliran air;
b. Pemanfaatan air;
c. Wisata alam;
d. Perlindungan keanekaragaman hayati;
e. Penyelamatan dan perlindungan lingkungan;
45
f. Penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Perizinan tersebut tentu dilaksanakan dalam ketentuan-ketentuan
teknis yang berlaku :
a. Tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya;
b. Tidak mengubah bentang alam;
c. Tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungannya.
Direktorat Jendral PHKA, Kementerian Kehutanan (2014),
mengidentifikasi bahwa Potensi panas bumi yang berada di kawasan
konservasi saat ini teridentifikasi antara lain terdapat di kawasan :
1. Taman Nasional Gunung Leuser di Propinsi Aceh.
2. Taman Nasional Batang Gadis di Proponsi Sumatera Utara.
3. Cagar Alam Malampah Alahan Panjang di Propinsi Sumatera Barat.
4. Taman Nasional Kerinci Seblat di Propinsi Jambi.
5. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Propinsi Lampung.
6. Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Propinsi Jawa Barat.
7. Cagar Alam Gunung Simpang di Propinsi Jawa Barat.
8. Cagar Alam Kawah Kamojang di Propinsi Jawa Barat.
9. Cagar Alam Telaga Bodas di Propinsi Jawa Barat.
10. Taman Nasional Gunung Ciremai di Propinsi Jawa Barat.
11. Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang di Propinsi Jawa Timur.
11. Taman Wisata Alam Danau Buyan / Danau Tamblingan di Propinsi
Bali.
13. Taman Nasional Gunung Rinjani di Propinsi Nusa Tenggara Barat.
14. Taman Wisata Alam Ruteng di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
15. Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Propinsi Sulawesi Utara.
16. Cagar Alam Gunung Ambang di Propinsi Sulawesi Utara.
17. Cagar Alam Gunung Lokon di Propinsi Sulawesi Utara.
46
sebanyak 283.2 ton/jam. Perlu adanya peraturan perundangan yang
mengatur teknis pelaksanaan pemanfaatan panas bumi, diantaranya dengan
merevisi PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam. Selain itu tentunya Permenhut yang mengatur
tata cara pemanfaatan panas bumi. Kementerian Kehutanan harus segera
menerbitkan peraturan ijin pemanfaatan jasa lingkungan, termasuk
didalamnya energi panas bumi.
47
3. Pasal 28 : Penugasan BUMN/BUMD melakukan eksplorasi, eksploitasi
dan pemanfaatan. Pasal 53 : Bonus produksi kepada Pemerintah
Daerah.
4. Pasal 65 : Peran serta masyarakat.
5. Landasan filosofis kegiatan panas bumi sebagai bagian pemanfaatan
sumber daya alam bertumpu pada Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Repubilk Indonesia Tahun 1945. Panas
Bumi sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam Wilayah
hukum Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh
Negara dan digunakan untuk kemakmuran Rakyat. Oleh karena itu
dalam UU ini dinyatakan bahwa Panas Bumi merupakan kekayaan
nasional yang dikuasai Negara yang penyelenggaraannya dilakukan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
6. Kewenangan penyelenggaraan Panas Bumi:
a. Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah, meliputi :
1). Penyelenggaraan panas bumi untuk pemanfaatan tidak
langsung;
2). Penyelenggaraan panas bumi untuk pemanfaatan langsung
yang berada pada lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan
Hutan produksi, Kawasan Hutan lindung, Kawasan Hutan
Konservasi, kawasan konservasi di perairan dan wilayah laut
lebih dari 12 mil diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas di
seluruh wilayah Indonesia;
b. Penyelenggaraan panas bumi oleh Pemerintah Provinsi dan
Pemerinta Kabupaten/Kota untuk pemanfaatan langsung.
7. Kewenangan Pemerintah untuk melakukan Eksplorasi, Eksploitasi dan
pemanfaatan yang dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Layanan Umum.
8. Adanya pengaturan yang lebih rinci mengenai pengusahaan panas bumi
untuk pemanfaatan langsung maupun pemanfaatan tidak langsung;
9. Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin Usaha Pertambangan Panas
Bumi akibat dari perubahan yang semula dilakukan oleh Pemerintah
Daerah beralih menjadi kewenangan Pemerintah.
48
teknologi pengembangan pengelolaan usaha panas bumi, koordinasi
dengan pihak terkait.
3. Target Pengembangan Panas Bumi sampai dengan tahun 2025 adalah
sebesar 3.267 Mwatt atau 27% dari target Road Map Nasional 12.000
Mwe.
49
50
BAB 6
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan analisis
ekonomi langsung panas bumi, analisis nilai ekonomi air tanah, deplesi energi
panas bumi, deplesi sumberdaya hutan, analisis konflik, analisis benefit
transfer, analisis Stakeholder dan analisis Multi Criteria Decesion Making
(MCDM). Maka dapat diperoleh hasil sebagai berikut :
Pada tabel 6.1. Disajikan total produksi energi panas bumi yang di
hasilkan PGE kawasan Kamojang dari tahun 2010 sampai dengan tahun
2012 adalah sebesar 4.754,71 GWh atau rata-rata produksi energi panas
bumi 1.584,90 GWh pertahunnya.
Pada tahun 2010 total produksi uap setara listrik yang dihasilkan
adalah 1.652,60 GWh, pada tahun 2011 terjadi peningkatan produksi pada
PLTP Unit 1, Unit 2 dan Unit 3, sedangkan pada Unit 4 terjadi penurun
dikarenakan adanya pelaksanaan pemeliharaan, secara keseluruhan produksi
panaas bumi setara listrik pada tahun 2011 adalah 1.646,57 GWh. Produksi
panas bumi pada tahun 2012 mengalami penurunan menjadi 1.455,37 GWh,
hal ini disebabkan adanya kerusakan generator milik PT. Indonesia Power
yang mengakibatkan berhentinya produksi pada bulan Maret sampai dengan
November 2012, juga disebabkan adanya overpressure pada jaringan pipa,
menyebabkan PLTP Unit 2 harus berhenti produksi selama sembilan hari.
Penurunan produksi juga disebabkan adanya gangguan eksternal, yaitu
adanya gangguan tegangan jaringan 150 KV di Jaringan Jawa, Madura dan
Bali.
51
Produksi panas bumi yang dihasilkan oleh PGE menghasilkan
penjualan uap dan listrik pada tahun 2010 sebesar Rp. 1.279,00 Milyar,
pada tahun 2011 sebesar Rp. 1.649,93 Milyar dan pada tahun 2012
mengalami penurunan dengan total penjualan sebesar Rp. 1.457,53 Milyar.
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6.2.
Tabel 6.3. Rata-rata Beban Usaha Pengelolaan Energi Panas Bumi di PGE
Kamojang pertahun
No Kegiatan Satuan Biaya
1. Beban Pembelian Uap dan Listrik Milyar
Kontrak Operasi Bersama Rp. 0
2. Beban Produksi Milyar Rp. 230,64
3. Beban Eksplorasi Milyar Rp. 167,13
4. Beban Penyusutan Milyar Rp. 101.66
5. Beban Sewa Aset Milyar Rp. 0
4. Beban Umum dan Administrasi Milyar Rp. 17,16
Rp. 516,58
Sumber : PGE (2012)
Keterangan :
NEPB : Nilai Ekonomi Langsung Panas Bumi (Rp)
Q : Jumlah produksi dari Panas Bumi (KWh/Tahun)
P : Harga Jual energi Panas Bumi (Rp/KWh)
IC (Input cost) : Biaya non-sumberdaya alam (Rp/Tahun)
52
Dengan menggunakan rumus 6.1 dapat dihitung nilai ekonomi langsung dari
panas bumi adalah sebagai berikut :
53
Volume air tanah = 376,8 M3 /jam x 7.277 jam
= 2.741.974,60 M3 pertahun
Setelah diketahui faktor nilai air, dengan menggunakan harga air baku
(HAB) sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 1
Tahun 2011, tentang Pajak Air Tanah, sebesar Rp. 1.000,-/M3, maka dapat
kita kita Hitung NPA air tanah di PGE Kamojang
Berdasarkan Tabel 6.5. Besar pajak air tanah yang digunakan untuk
pengelolaan panas bumi oleh PGE Kamojang adalah Rp. 2.851.404.544,-
pertahunnya. Sedangkan nilai ekonomi air tanah berdasarkan shadow price
nilai air tanah secara keseluruhan yang dipergunakan selama setahun adalah
Rp. 14.257.022.720,-
54
2. Menghitung Nilai Ekonomi Air berdasarkan Iuran Air Irigasi
Selain menggunakan benefit transfer dari pajak air tanah, juga
menggunakan opportunity price dari harga air irigasi. Sumaryanto (2006),
menjelaskan bahwa harga air irigasi berkisar antara terendah sekitar Rp. 11
/m3 dan tertinggi pada kisaran Rp. 84 /M3. Dalam pengelolaan panas bumi
di PGE kamojang selama lama produksi panas bumi dalam satu tahun
adalah 7.277 jam, jumlah air yang ditambahkan ke reservoir yang berasal
dari Sungai Cikaro adalah sebanyak 117,6 ton/jam. Maka volume air yang
digunakan selama setahun adalah :
Volume air Sungai Cikaro = 117,6 M3 /jam x 7.277 jam
= 855.775,20 M3 pertahun
Keterangan:
NEFvn = Nilai Ekonomi Air yang akan datang
NEPv = Nilai Ekonomi Air sekarang
55
r = 18 %
n = 10 Tahun
NAFn = NEP ( 1 + r )n
= Rp. 14.297.672.042,00 (1 + 0,18)10
= Rp. 336.299.956.822,06
56
Nilai deplesi kawasan hutan yang digunakan dihitung berdasarkan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan. Karena
data dan informasi belum tersedia secara memadai, khususnya untuk
kawasan hutan konservasi atau cagar alam, maka dilakukan rapid
assessment menggunakan pendekatan benefit transfer dari nilai ekonomi
fungsi-fungsi tersebut dari nilai ekonomi hutan lindung. Tabel 6.7. Secara
keseluruhan nilai ekonomi hutan lindung mencapai Rp. 42.666.000
/hektar/tahun, terdiri dari nilai guna langsung hutan lindung dan nilai guna
tidak langsung.
Deplesi sumberdaya hutan dihitung berdasarkan Peraturan Menteri
KLH Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem
Hutan. Nilai ekonomi hutan lindung mencapai Rp. 42.666.000/hektar/tahun,
terdiri dari nilai guna langsung Rp. 25.319.600,00/hektar/tahun dan nilai
guna tidak langsung mencapai Rp.15.032.500,00/hektar/tahun. Total
kawasan hutan yang digunakan untuk pengelolaan energi panas bumi adalah
seluas 99,20 hektar, maka nilai depresiasi sumber daya hutan dalam kurun
waktu 20 tahun (lama kontrak) adalah :
Pengelolaan energi panas bumi di Kamojang menggunakan total
kawasan hutan yang digunakan untuk pengelolaan energi panas bumi adalah
seluas 99,20 hektar, yang terdiri dari 48,85 hektar kawasan hutan konservasi
dan 50,35 hektar dan kawasan hutan lindung. Dengan asumsi bahwa nilai
hutan konservasi sama dengan nilai hutan lindung dalam kurun waktu 20
tahun, maka nilai depresiasi (penyusutan) sumber daya hutan seluruhnya
adalah sebagai berikut :
Total luas kawasan hutan : 99,20 hektar
Nilai hutan lindung : Rp. 42.666.000 /hektar/tahun
Nilai depresiasi sumber daya hutan : Rp 4.232.467.200/tahun
Tetapi karena nilai deplesi harus dipisahkan dari nilai depresiasi, maka
akan ditampilkan nilai deplesi sumberdaya hutan yang ekstraktif, yaitu yang
memiliki nilai guna langsung, sebesar Rp. 2,51 Milyar untuk kawasan hutan
seluas 99,20 hektar selama 20 tahun. Nilai rata-rata deplesi sumberdaya
hutan sebesar Rp. 125,59 Juta pertahun.
57
2 kecamatan dan 4 desa dengan sistem pengumpulan data melalui
penyebaran kuisioner. Teknik penentuan responden yang dipilih dengan
purposive sampling, berjumlah 60 Kepala Keluarga (KK) atau orang yang
dianggap sebagai kepala keluarga dari satu unit keluarga, terdiri dari
masyarakat umum yang tinggal dan bermukim di lokasi penelitian, yaitu 15
KK di Desa Laksana dan 15 KK Desa Ibun, Kecamatan Ibun, Kabupaten
Bandung, dan 15 KK di Desa Tanjung Sari dan 15 KK di Desa Kecamatan
Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tabel 6.10. menunjukan rincian
jumlah responden.
Komposisi Penduduk
Penduduk
Pendatang
14%
Penduduk
Setempat
86%
58
80 %, sedangkan sebanyak 13,33% berupa kebun, 5 % sawah dan 1,67 %
berupa tanah kosong lainnya, dengan status kepemilikan lahan milik sendiri
dan bersertifikat ada 68,33 %, lahan milik sendiri dan belum bersertifikat
sebanyak 23,33%, dan sisanya lahan milik keluarga atau garapan.
Sedangkan berdasarkan lamanya bermukim mayoritas responden sebanyak
70%, sudah tinggal di kawasan Kamojang lebih dari 25 tahun, sebanyak
18,33 % lama tinggal antara 14 sampai dengan 25 tahun, dan sisanya kurang
dari 15 tahun. Sebagian besar penduduk setempat 86 % dan sisanya 14 %
sebagai penduduk pendatang.
Mayoritas sebagai petani sedangkan yang paling sedikit bekerja sebagai
PNS, tingkat pendidikan mayoritas responden adalah lulus Sekolah Dasar
(SD). Penghasilan responden terbanyak kurang dari Rp. 500.000,00
perbulannya, sedikit sekali responden yang memiliki penghasilan diatas Rp.
3.000 000.00 perbulannya. Kondisi rumah responden kebanyakan sudah
permanen dan banyak yang belum memiliki kendaraan pribadi. Data
responden untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6.10.
59
Dari responden yang mengetahui aktifitas perusahaan sebanyak 60%
mengetahui aktifitas pengeboran PGE, 10% mengetahui adanya instalasi
jaringan pipa uap panas bumi di sekitar kawasan Kamojang. Mayoritas dari
masyarakat tidak merasa terganggu dengan adanya kegiatan pengelolaan
panas bumi di kawasan Kamojang, sebanyak 75%, sedangkan yang merasa
terganggu sebanyak 21%, sisanya tidak tahu. Masyarakat merasa tidak
terganggu dengan aktifitas pengelolaan panas bumi selama tidak merugikan
masyarakat setempat.
Manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat dari adanya kegiatan
pengelolaan panas bumi oleh PGE di kawasan Kamojang adalah sebagai
berikut :
1. Adanya bantuan sosial dari PGE, seperti hari raya keagamaan dan
nasional.
2. Bantuan pembangunan sarana fasilitas umum dan sosial, seperti jalan,
jembatan, mesjid dan puskesma
3. Kesempatan bekerja di PGE
4. Pemberdayaan masyarakat melalui usaha kemandirian dan pelatihan
keterampilan
5. Bantuan pengobatan gratis.
6. Bantuan sarana dan prasarana pendidikan dan beasiswa gratis.
60
masyarakat, khususnya untuk usaha produktif dari PGE diharapkan
masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan
ekonomi setempat. Selain itu, adanya bantuan kesehatan gratis kepada
mereka secara rutin menjadi harapan masyarakat.
Tahap selanjutnya dilakukan identifikasi kelompok kepentingan yang
ada, sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing kelompok, faktor
yang bisa menyebabkan konflik dan identifikasi terhadap jenis penyelesaian
konflik, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6.11.
61
No. Identifikasi Fungsi dan Faktor Identifikasi
Kelompok Kewenangan Terjadinya Penyelesaian Konflik
Konflik
5. Lembaga Kelompok aktifitas Adanya Menjalankan seluruh
Swadaya masyarakat yang pelanggaran yang aktifitas kegiatan
Maasyarakat mengontrol dilakukan oleh pengelolaan panas bumi
ketaatan aturan dan perusahaan sesuai dengan Standar
kearifan lokal di Prosedur yang ada di
lingkungan Perusahaan dan
setempat Peraturan prundangan
yang berlaku
6. Karang Kelompok aktiftas Tidak ada Memberikan pekerjaan
Taruna / masyarakat yang pekerjaan yang yang sesuai dengan
Kelompok membutuhkan melibatkan keahlian dan kemampuan
Pemuda pekerjaan dan usaha kelompok pemuda kelompok pemuda
lainnya kemandiriannya tersebut
7. Masyarakat Kelompok Tidak berjalannya Melaksanakan
masyarakat usia pemberdayaan pemberdayaan
belum produktif, masyarakat, masyarakat sesuai
usia produktif dan diskriminasi dengan kabutuhan dan
usia tidak produktif dalam rekrutmen berkelanjutan
karyawan
8. Mitra kerja Kelompok Tidak adanya Hubungan kerja bersifat
(Bussiness masyarakat yang permintaan jangka pendek dan
support) menunjang aktifitas pesana barang dan jangka panjang melalui
PGE PGE (Warung jasa dari kontrak kerjasama
makan, Kelontong, perusahaan
Sembako)
9. Karyawan Kelompok yang Kondisi kerja Melaksanakan aturan
memiliki tidak harmonis kerja sesuai dengan
kemampuan dan ketidak peraturan dan
keterampilan dan stabilan perundangan yang ada,
pengetahuan untuk pendapatan, setiap pelanggaran
menjalankan adanya mogok dilakukan sesuai dengan
operasional kerja Standar Operasional
Pengelolaan Panas Prosedur (SOP)
Bumi di PT. Perusahaan
Pertamina
Geothermal Energy
10. Kepolisian Otoritas keamanan Tidak adanya Melaporkan setiap
sosial dan pelayanan kegiatan yang dapat
perlindungan aset terhadap menimbulkan
dan personel PGE keamanan dan terganggunya keamanan
perlindungan aset sosial serta aset dan
dan personel personil perusahaan
perusahaan
Sumber : Data primer (2013)
62
6.6. Analisis Stakeholder
Pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang ada beberapa stakeholder
yang terlibat dalam pengelolaan panas bumi. Analisis stakeholder dilakukan untuk
mengidentifikasi dan memetakan aktor (tingkat kepentingan dan pengaruhnya)
dalam pengelolaan energi sumberdaya energi panas bumi di kawasan Kamojang,
Jawa Barat. Berdasarkan hasil wawancara dan pendalaman, maka diperoleh 15
stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan panas bumi. Pada Tabel 6.12. di
sajikan profile peran masing-masing stakeholder yang terlibat.
63
Penilaian besarnya kepentingan stakeholder pada pengelolaan panas bumi di
Kamojang dapat dilihat pada Tabel. 6.13.
Keterangan :
K1 : Keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan energi panas bumi,
K2 : Ketergantungan stakeholder terhadap pengelolaan energi panas bumi,
K3 : Peran masing-masing stakeholder yang berkaitan dengan pengelolaan energi
panas bumi,
K4 : Manfaat yang diperoleh stakeholder dari pengelolaan energi panas bumi, dan
K5 : Kepentingan stakeholder terhadap pengelolaan energi panas bumi yang
berkelanjutan.
64
berhubungan dengan kesejahteraan karyawan dan keberlanjutan usaha
perusahaan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat, juga
memiliki kepentingan terhadap pengelolaan panas bumi, mengingat dengan
adanya pengelolaan panas bumi akan meningkatkan pengawasan lingkungan oleh
perusahaan, serta adanya biaya lingkungan untuk penghijauan dan pergantian
lahan yang akan dipakai perusahaan untuk kegiatan pembukaan sumur baru,
perluasan wilayah kerja serta pembangunan infrastruktur pendukung lainnya. PT.
Indonesia Power dan PT. PLN memiliki kepentingan yang cukup tinggi terhadap
pengelolaan panas bumi, karena uap yang dihasilkan PGE memasok kebutuhan
pembangkit listrik dan energi. Sedangkan PT. PLN sebagai pembeli tunggal
energi listrik yang dihasilkan PGE untuk memenuhi kebutuhan pasokan listrik
Jaringan Jawa, Madura dan Bali.
Masyarakat setempat, lembaga swadaya masyarakat, karang taruna, mitra
kerja, supplier perusahaan, memiliki kepentingan yang cukup tinggi terhadap
pengelolaan panas bumi di Kamojang, karena berhubungan dengan adanya
peluang pekerjaan yang dapat dilakukan dan penerimaan karyawan perusahaan.
Sedangkan bagi Perum Perhutani dengan adanya pengelolaan panas bumi di
kamojang, berkaitan dengan lahan yang digunakan perusahaan, akan tetapi proses
pinjam pakai atau tukar menukar kawasan hutan, menyebabkan perum perhutani
tidak terlalu terlibat secara langsung dalam pengelolaan dan pengawasan panas
bumi yang dilakukan oleh perusahaan. Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) atau
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) memiliki kepentingan yang
paling rendah karena lebih bersifat koordinasi, bukan pelaksana ataupun
pengambil kebijakan pengelolaan panas bumi.
Selanjutnya dilakukan penilaian tingkat pengaruh stakeholder dalam
pengelolaan panas bumi di Kamojang. Berdasarkan penilaian tingkat kepentingan
yang sudah dilakukan, beberapa stakeholder memiliki tingkat kepentingan yang
tinggi, ada kemungkinan memiliki tingkat pengaruh yang tinggi juga atau
sebaliknya. Penilaian tingkat pengaruh stakeholder pengelolaan panas bumi di
kawasan Kamojang disajikan pada tabel 6.14. terlihat bahwa PGE memiliki
pengaruh yang sangat tinggi terhadap pengelolaan panas bumi karena hampir
semua kriteria penilaian dimilikinya. Dukungan sumberdaya manusia,
kemampuan pendanaan dan manajemen yeng dimiliki perusahaan sangat
mempengaruhi terhadap pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang.
Kementerian ESDM memiliki pengaruh yang kuat terkait dengan pemberian
hak pengelolaan panas bumi kepada PGE di kawasan Kamojang berdasarkan
Surat Keputusan dari Menteri ESDM. Kewenangan dari Kementerian ESDM
dapat mencabut hak pengelolaan panas bumi tersebut. Sama halnya dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang memiliki pengaruh yang kuat, dimana
perijinan IUP maupun WKP diberikan. Lebih khususnya pada pengelolaan panas
bumi yang memberikan dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
Asosiasi Panas bumi Indonesia (API) maupun Masyarakat Energi Terbarukan
Indonesia (METI) memiliki pengaruh dalam koordinasi dan pengambilan
kebijakan pengelolaan panas bumi di perusahaan, maupun pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat,
berpengaruh tinggi terhadap pengelolaan panas bumi karena memiliki otoritas
kawasan hutan konservasi dan kawasan cagar alam Kamojang. Pengelolaan panas
65
bumi yang merugikan kawasan hutan dapat dicabut hak pakai kawasan hutan
berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan.
Keterangan :
P1 : Instrumen dan sumber kekuatan (power) yang dimiliki masing-masing
stakeholder,
P2 : Posisi derajat Stakeholder dalam pembuatan keputusan,
P3 : Dukungan SDM terhadap pengelolaan sumberdaya energy panas bumi,
P4 : Kemampuan Pendanaan dan Manajemen terhadap pengelolaan
sumberdaya energy panas bumi,
P5 : Interaksi dengan stakeholder lainnya,
PT. Indonesia Power dan PT. PLN memiliki pengaruh tinggi terhadap
pengelolaan energy panas bumi karena sebagai pembeli tunggal dari uap panas
bumi yang dihasilkan PGE sebesar 140 MWe, sedangkan PT. PLN sebagai
pembeli tunggal energi listrik yang dihasilkan pembangkit PGE di kawasan
Kamojang. Keduanya, berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan panas
bumi sesuai dengan harga kontrak pembelian. Pemerintah Kabupaten Bandung
dan Perum Perhutani memiliki pengaruh yang cukup tinggi, berkaitan dengan
perijinan lahan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Mitra kerja,
Supplier, masyarakat, LSM dan Karang Taruna memiliki pengaruh yang rendah
terhadap pengelolaan panas bumi secara langsung, karena terkait pada posisi
dalam pengambilan kebijakan, kurangnya dukungan sumberdaya manusia,
kemampuan pendanaan dan manajemen pengelolaan panas bumi. Kemampuan
berinteraksi dengan stakeholder lain menjadi faktor kurangnya penilaian terhadap
pengaruh stakeholder dalam pengelolaan panas bumi.
Setelah dilakukan identifikasi, pemetaan kepentingan dan pengaruh
stakeholder dalam pengelolaan panas bumi di Kamojang. Kemudian dilakukan
pemetaan ke dalam matriks analisis grid stakeholder. Matriks ini terdiri dari 4
66
kuadran, yaitu penonton (Spectator), Aktor (Actor), Subjek (Subject) dan Pemain
(Player), posisi dari masing-masing stakeholder akan dipetakan sesuai dengan
hasil penilaian tingkat kepentingan dan pengaruh.
P emprov Jabar
20 Kementerian ESDM
Kepentingan
Masyarakat
15 LSM
Mitra P GE P T. P LN
P erhutani P emkab P T. Indonesia P ower
Supplier Karang Taruna
METI/AP I
10
0 5 10 15 20 25 30
Pengaruh
67
setempat serta kelestarian lingkungan, juga sebagai fungsi pengawasan
pengelolaan panas bumi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang memiliki
pengaruh yang kuat, dimana perijinan Amdal, RKL/UPL, IUP maupun WKP yang
diberikan dapat dicabut kembali.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat, juga memiliki
kepentingan terhadap pengelolaan panas bumi, mengingat dengan adanya
pengelolaan panas bumi akan meningkatkan pengawasan lingkungan oleh
perusahaan, serta adanya biaya lingkungan untuk penghijauan dan pergantian
lahan yang akan dipakai perusahaan untuk kegiatan pembukaan sumur baru,
perluasan wilayah kerja serta pembangunan infrastruktur pendukung lainnya.
Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat, berpengaruh tinggi
terhadap pengelolaan panas bumi karena memiliki otoritas kawasan hutan
konservasi dan kawasan cagar alam Kamojang. Pengelolaan panas bumi yang
merugikan kawasan hutan dapat dicabut hak pakai kawasan hutan berdasarkan
keputusan Menteri Kehutanan. BKSDA Jabar dapat mencabut dan melarang
penggunaan kawasan hutan konservasi dan cagar alam di kawasan Kamojang
untuk pengelolaan panas bumi oleh PGE.
Masyarakat setempat dan Karyawan PGE berperan sebagai subjek (subject)
memiliki kepentingan yang cukup tinggi terhadap pengelolaan panas bumi di
kawasan Kamojang, sedangkan pengaruh yang dimiliki tidak sebesar
kepentingannya. Masyarakat sebagai kontrol sosial terhadap operasional
pengelolaan panas bumi yang sesuai dengan aturan berlaku, ketertiban lingkungan
sosial masyarakat. Kebutuhan tenaga kerja lokal, ketertiban lingkungan sosial
masyarakat. Kesejahteraan masyarakat dan karyawan, peningkatan kualitas hidup
(agama, pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, budaya), ketertiban lingkungan
sosial masyarakat sangat berkaitan dengan keberlanjutan perusahaan dalam
pengelolaan panas bumi. Masyarakay dan karyawan dapat bergeser perannya
menjadi pemain (player) dengan meningkatkan pengaruhnya terutama dalam
berinteraksi dengan stakeholder lainnya, yang selama ini masih lemah, mengingat
pengaruh yang lainnya susah untuk ditingkatkan.
Dari hasil analisis terlihat bahwa, PT. Indonesia Power, PT. PLN,
Pemerintah Kabupaten dan Asosiasi Panas Bumi Indonesia/METI berada pada
posisi sebagai Aktor (actor). PT. Indonesia Power, memiliki kepentingan yang
tinggi terhadap pengelolaan panas bumi, khususnya terhadap kualitas dan
Kontinuitas pasokan uap panas bumi uap yang dihasilkan PGE sebesar 140 MWe
untuk memasok kebutuhan pembangkit listrik PT. Indonesia Power
Kualitas dan Kontinuitas pasokan energi listrik yang dihasilkan PGE untuk
memenuhi kebutuhan pasokan listrik Jaringan Jawa, Madura dan Bali. Penurunan
harga uap, pemutusan kontrak pembelian uap panas bumi. PT. Indonesia Power
dan PT. PLN memiliki pengaruhi yang tinggi dan dapat menggunakan pengaruh
tersebut untuk menurunkan harga beli energi listrik, boikot pembelian listrik,
pemutusan kontrak pembelian uap panas bumi dapat terjadi, ketika tidak adanya
hubungan yang baik antara PGE dengan PT. Indonesia Power dan PT. PLN.
Pemerintah Kabupaten Bandung, berkepentingan terhadap peningkatan
pajak, pemasukan pendapatan daerah, perkembangan masyarakat setempat,
perlindungan lingkungan hidup. Asosiasi panas bumi (API) atau Masyarakat
Energy Terbarukan Indonesia (METI) memiliki kepentingan yang paling rendah
karena lebih bersifat koordinasi, bukan pelaksana ataupun pengambil kebijakan
68
pengelolaan panas bumi. Asosiasi Panas bumi Indonesia (API) maupun
Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) memiliki pengaruh dalam
koordinasi dan pengambilan kebijakan pengelolaan panas bumi di perusahaan,
maupun pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Tidak ada inovasi dan
perkembangan dalam pengelolaan panas bumi.
Perum Perhutani, Lembaga swadaya masyarakat, karang taruna, mitra kerja,
supplier perusahaan, berada pada posisi sebagai penonton (Spectator) pengelolaan
panas bumi di Kamojang, karena berhubungan dengan adanya peluang pekerjaan
yang dapat dilakukan dan penerimaan karyawan perusahaan. Perum Perhutani
dapat mencabut dan melarang penggunaan kawasan hutan lindung di Kamojang
untuk pengelolaan panas bumi. Sedangkan bagi Perum Perhutani dengan adanya
pengelolaan panas bumi di kamojang, berkaitan dengan lahan yang digunakan
perusahaan, akan tetapi proses pinjam pakai atau tukar menukar kawasan hutan,
menyebabkan perum perhutani tidak terlalu terlibat secara langsung dalam
pengelolaan dan pengawasan panas bumi yang dilakukan oleh perusahaan.
69
panas bumi harus menjadi fokus perhatian bagai operator atau perusahaan
pengembang, karena pengelolaan panas bumi sangat tergantung dari
keberadaan hutan, khususnya air sebagai komponen utama dari panas bumi.
Atas dasar inilah, keberlanjutan pengelolaan energi panas bumi menjadi
perhatian, bobot nilai untuk aspek lingkungan 30 %.
Tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kualitas hidup masyarakat
setempat melalui program pemberdayaan masyarakat, khususnya kesehatan,
pendidikan, keagamaan, kemandirian dan kebudayaan. Bobot penilaian untuk
aspek sosial masyarakat sekitar 25%. Selain itu, kelembagaan dan peraturan
yang ada di pemerintah pusat maupun di daerah di harapkan dapat
mendukung percepatan pengembangan pengelolaan panas bumi, dengan
bobot nilai 10 %. Setelah dilakukan pengukuran numerik terhadap kriteria,
dapat terlihat pada tabel 6.16. dibawah ini.
70
2. Pemanfaatan panas bumi secara langsung untuk kegiatan wisata (pemandian)
dan agribisnis (budidaya jamur). Pemanfaatan langsung panas bumi untuk
pemberdayaan masyarakat, uap panas bumi dapat digunakan untuk sumber air
panas wisata pemandian, dan dapat dijadikan sebagai uap panas untuk
sterilisasi media tumbuh budidaya jamur. Uap panas bumi dapat dijadikan
sebagai penghangat rumah-rumah home stay di kawasan wisata alam.
3. Pendirian Pusat Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi. Kurangnya
Sumberdaya Manusia yang dibutuhkan untuk pengelolaan panas bumi sesuai
dengan amanah undang-undang, khususnya untuk kegiatan pengelolaan
informasi geologi dan potensi Panas Bumi, inventarisasi dan penyusunan
neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi; dan melakukan kegiatan
Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan Panas Bumi.
4. Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi,
Panas bumi bukan barang tambang. Sebelumnya, salah satu penyebab
terhambatnya pengembangan panas bumi adalah, menjadikan panas bumi
sebagai barang tambang. Saat ini panas bumi yang berada kawasan hutan
konservasi dapat di kelola dengan mendapatkan izin pemanfaatan jasa
lingkungan dari Menteri Kehutanan, perlu adanya aturan turunan dari Undang-
undang tersebut.
5. Renegosiasi dan Peningkatan Nilai Jual Energi Panas Bumi. Harga jual energi
panas bumi saat ini sekitar US$ 9.7 sen/KWh atau rata-rata sekitar Rp. 1
001.50, dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar adalah Rp. 10.324,74.
6. Adanya participacing interest kepada BUMD dan BUMN. Sesuai dengan
amanah undang-undang Pemegang Izin Panas Bumi yang berbentuk badan
usaha swasta wajib menawarkan participating interest paling banyak sebesar
10% (sepuluh persen) kepada badan usaha milik daerah atau badan usaha milik
negara paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak disetujuinya rencana
pengembangan yang pertama kali.
7. Pemberdayaan Masyarakat (Kesejahteraan, Kesehatan, Pendidikan,
Keagamaan, Pemuda dan Kebudayaan). Kewajiban perusahaan melibatkan
masyarakat setempat dalam pengelolaan panas bumi serta meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat tersebut.
8. Kepastian waktu perijinan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kepastian waktu perijinan baik dari pemerintah pusat dan daerah, cukup lama
secara ekonomis investasi pengelolaan panas bumi menjadi tidak layak.
9. Mempertegas rekomendasi dan izin Penggunaan dan Pemanfaatan kawasan
Hutan (khususnya kawasan hutan konservasi). Belum adanya aturan untuk
melakukan kegiatan pengunaan dan pemanfaatan hutan di kawasan Konservasi
dan cagar alam. Selama ini, pola yang digunakan adalah sistem pinjam pakai
kawasan hutan dengan kompensasi.
10. Perlindungan keanekaragaman hayati dan kewajiban konservasi sumberdaya
air tanah. Reklamasi dan reboisasi kawasan yang terbuka dan menjaga
ketersediaan air di reservoar. Sesuai denga peraturan yang ada bahwa aktifitas
pertambangan bawah tanah di kawasan hutan lindung tidak boleh
menimbulkan kerusakan akuiver air tanah.
71
Data tersebut diuji dengan non-dominated testing, alternatif yang diusahakan pada
kondisi non-dominated. Setelah semua alternatif tidak saling mendominasi maka
dapat dilanjutkan dengan analisa MCDM dengan metode TOPSIS. Tabel 6.17.
menunjukan hasil tes non dominasi.
A 10 0.69501
A 09 0.67759
A 08 0.69501
A 07 0.62190
A 06 0.67759
A 05 0.85198
A 04 0.58185
A 03 0.43736
A 02 0.67759
A 01 0.85198
0.00000 0.10000 0.20000 0.30000 0.40000 0.50000 0.60000 0.70000 0.80000 0.90000
Dari hasil analisa MCDM dengan metode TOPSIS diperoleh data bahwa
alternatif A01 memperoleh nilai 0.85198, alternatif A02 mendapat nilai 0.67759,
alternatif A03 mendapat nilai 0.43736, alternatif A04 mendapat nilai 0.58185,
alternatif A05 mendapat nilai 0.85198, alternatif A06 mendapat nilai 0.67759,
72
alternatif A07 mendapat nilai 0.62190, alternatif A08 mendapat nilai 0.69501,
alternatif A09 mendapat nilai 0.67759 dan alternatif A10 mendapat nilai 0.69501.
Dari hasil analisia tersebut kemudian di urutkan sesuai dengan nilai yang
terbesar ke nilai yang terkecil, di peroleh Tabel 6.18.
73
Tabel 6.19. Matrik Perbandingan Alternatif kebijakan dengan kondisi yang ada
No Alternatif Kebijakan Kondisi Saat Ini
Mendorong pengembangan potensi Belum ada penerapan pengelolaan pembangkit listrik
1. panas bumi dan pengelolaan panas panas bumi sekala kecil masih dalam tahap
bumi skala kecil. percobaan dan pilot project.
Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral
Renegosiasi dan Peningkatan Nilai Nomor 17 Tahun 2014, tentang Pembelian Tenaga
2.
Jual Energi Panas Bumi. Listrik Dari PLTP dan Uap Panas Bumi untuk PLTP
Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Undang-undang No. 21 Tahun 2014, tentang Panas
Kepastian waktu perijinan dari Bumi, pada pasal 29 ayat (4) Menteri dalam hal ini
3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Kementeria ESDM memberikan persetujuan atau
Daerah. penolakan perijinan panas bumi 1 (satu) tahun sejak
persyaratan permohonan diajukan secara lengkap.
Perlindungan keanekaragaman Belum adanya peraturan yang menentukan besarnya
4. hayati dan kewajiban konservasi pajak lingkungan khususnya penggunaan air tanah
sumberdaya air tanah. untuk pengelolaan panas bumi.
Pemanfaatan panas bumi secara
Belum ada pemanfaatan langsung dari panas bumi
langsung untuk kegiatan wisata
5. untuk kegiatan wisata (pemandian) dan agribisnis
(pemandian) dan agribisnis
(budidaya jamur) di Kawasan Kamojang.
(budidaya jamur).
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang
Panas Bumi, pada pasal 53 ayat 1, menghilangkan
Adanya participacing interest
adanya participacing interest kepada BUMD dan
6. kepada BUMD dan BUMN.
BUMN dari pemegang ijin Swasta menjadi bonus
produksi yang harus diberikan kepada Pemerintah
Daerah atas pemanfaatan tidak langsung.
Mempertegas rekomendasi dan izin Sampai saat ini belum ada aturan yang jelas dan tegas
Penggunaan dan Pemanfaatan tentang penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan
7.
kawasan Hutan (khususnya (khususnya kawasan hutan konservasi) untuk
kawasan hutan konservasi). kegiatan pengelolaan panas bumi.
Pemegang Ijin Panas Bumi memiliki kewajiban
Pemberdayaan Masyarakat
untuk melaksanakan program pengembangan dan
(Kesejahteraan, Kesehatan,
8. pemberdayaan masyarakat setempat, diatur dengan
Pendidikan, Keagamaan, Pemuda
Undang-undang No. 21 Tahun 2014, tentang Panas
dan Kebudayaan).
Bumi, pasal 52 ayat 1f.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang
Panas Bumi perubahan Undang-Undang Nomor 27
Implementasi Undang-Undang Tahun 2003 Tentang Panas Bumi, pada 26 Agustus
Nomor 21 Tahun 2014 Tentang 2014. Panas bumi yang berada kawasan hutan
9. Panas Bumi konservasi dapat di kelola dengan izin pemanfaatan
jasa lingkungan dari Menteri Kehutanan. Belum ada
aturan turunan dari Undang-undang tersebut dalam
bentuk PP dan Permen dan Peraturan Daerah.
Pemerintah Pusat memiliki Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan, Energi
Pendirian Pusat Penelitian dan Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi
10.
Pengembangan Panas Bumi. (Puslitbangtek KEBTKE) berada di Kementerian
ESDM. Propinsi Jawa Barat belum ada Pusat
Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi.
Sumber : Diolah dari berbagai sumber (2014)
74
karena untuk mencapai target pengembangan sampai dengan tahun 2025 adalah
3.267 Mwe (27 % dari road Map Nasional 12.000 Mwe). Ada banyaknya WKP
yang belum dikelola dan tidak ada pembangunan, dikarenakan potensi energi yang
dihasilkan kecil dan tersebar dibeberapa lokasi, kalo dikembangkan secara
industry besar tidak akan memiliki nilai ekonomi. Melihat kondisi saat ini belum
diterapkannya teknologi pengelolaan panas bumi dalam skala kecil, hanya masih
berupa pilot project saja.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah melakukan studi
bersama-sama Kementerian Riset dan Teknologi di Provinsi NTB , NTT, Maluku,
dan Maluku Utara, terdapat PLTD dengan unit-unit kecil yang berkapasitas
maksimal 5 Mw dengan total kapasitas 200 Mw lebih yang dapat disubstitusi
PLTP skala kecil. Teknologi PLTP skala kecil yang dikembangkan oleh BPPT
menerapkan teknologi binary cycle dengan didesain sistem modular kerja sama
dengan lembaga riset di Jerman. Pengembangan teknologi PLTP ini, memiliki
kapasitas maksimum 1 Mwatt sistem modular dilakukan melalui tahapan
pengembangan prototipe PLTP binary cycle 2 Kw dan pilot plant PLTP binary
cycle 100 Kw. BPPT juga mengembangkan PLTP skala kecil dengan kapasitas 3
Mw menggunakan teknologi condensing turbine, yang seluruh prosesnya sejak
dari rancang bangun sampai dengan manufaktur komponen utamanya diproduksi
di dalam negeri dan dilakukan percobaan pilot plant di lapangan panas bumi
Kamojang. Hal ini akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi
nasional. Selain, itu pengembangan panas bumi skala kecil diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dimana masyarakat dapat
mengembangkan sendiri dalam wadah koperasi atau usaha bersama.
Renegosiasi dan peningkatan nilai jual energi panas bumi, menjadi alternatif
kedua yang dipilih, mengingat nilai ekonomi langsung dari panas bumi dirasakan
masih kecil bila dibandingkan dengan biaya investasi dan operasional
pengelolaannya. Adanya pembelian energi listrik dan uap panas bumi yang layak
akan meningkatkan investasi, dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi baik
local maupun regional.
Harga jual energi panas bumi saat ini sekitar US$ 9,7 sen/KWh atau rata-
rata sekitar Rp. 1.001,50 dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar adalah Rp.
10.324,74. Harga jual yang disarankan ada pada kisaran antara 8,4 s.d. 11,6 sen
USD perKWh. Untuk lokasi yang sudah dikembangkan maka harganya lebih
rendah, sedangkan untuk lokasi baru harganya diusulkan lebih mahal. (Sumber :
http://www.pln.co.id/?p=9956, diakses pada tanggal 12 Januari 2013).
Terbitnya Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 17
Tahun 2014, tentang Pembelian Tenaga Listrik Dari PLTP dan Uap Panas Bumi
untuk PLTP Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), maka harga patokan
tertinggi pembelian tenaga listrik dari PLTP dengan mempertimbangkan
commercial operation date (COD) dan pembagian wilayah.
Kepastian waktu perijinan dari Pemerintah Pusat dan Daerah yang lama,
dirasakan cukup menghambat pertumbuhan panas bumi. Secara ekonomi waktu
perijinan yang lama akan berdampak pada nilai investasi dan kelayakan usaha dari
pengelolaan panas bumi. Kepastian waktu perijinan menjadi alternatif kebijakan
ketiga yang dipilih. Dengan disahkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2014,
tentang Panas Bumi, pada pasal 29 ayat (4) Menteri dalam hal ini Kementerian
ESDM memberikan persetujuan atau penolakan perijinan panas bumi 1 (satu)
75
tahun sejak persyaratan permohonan diajukan secara lengkap. Waktu perijinan
yang diatur oleh Undang-undang panas bumi sekitar satu tahun dirasakan masih
cukup lama, mengingat proses perijinan tidak hanya dari kementerian ESDM saja,
tetapi berhubungan dengan kementerian kehutanan menyangkut penggunaan
kawasan hutan serta perijinan dari pemerintah provinsi tentang Ijin Usaha
Pertambangan dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang
membutuhkan waktu relatif lama.
Perlindungan keanekaragaman hayati dan kewajiban konservasi sumber
daya air, menjadi pilihan alternatif kebijakan selanjutnya mengingat pentingnya
keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya air untuk keberlanjutan
pengelolaan dari panas bumi itu sendiri. Air merupakan salah satu unsur penting
dalam pengembangan dan pengelolaan panas bumi. Keberadaan air tergantung
dari ekosistem lingkungan nya, khususnya kawasan hutan sebagai penyangga dan
sumber penyediaan air. Menjaga keanekaragaman hayati ekosistem kawasan
hutan dan sumber daya air berarti melakukan suatu upaya untuk melakukan
pengelolaan panas bumi secara berkelanjutan dan lestari. Belum adanya peraturan
yang menentukan besarnya pajak lingkungan khususnya penggunaan air tanah
untuk pengelolaan panas bumi. Perlu adanya peraturan pemerintah atau peraturan
pemerintah daerah yang mengatur tentang penggunaan air bawah tanah untuk
kegiatan pengelolaan panas bumi, sebagai jaminan ketersediaan air bawah tanah
dan kelestarian lingkungan.
Alternatif kebijakan selanjutnya yang menjadi pilihan adalah pemanfaatan
langsung panas bumi untuk pemberdayaan masyarakat. Uap panas bumi dapat
digunakan untuk sumber air panas wisata pemandian, dan dapat dijadikan sebagai
uap panas untuk sterilisasi media tumbuh budidaya jamur. Uap panas bumi dapat
dijadikan sebagai penghangat rumah-rumah home stay di kawasan wisata alam.
Energi panas bumi dapat dimanfaatkan secara langsung dengan teknologi
sederhana untuk proses pengeringan terhadap hasil pertanian, perkebunan dan
perikanan. Air panas yang berasal dari mata air panas atau sumur produksi panas
bumi pada suhu yang cukup tinggi dialirkan melalui suatu heat exchanger, yang
kemudian memanaskan ruangan pengering yang dibuat khusus untuk pengeringan
hasil pertanian (Widodo, 2013).
PGE bekerjasama dengan BPPT dan PT. Rekayasa Industri melakukan
percobaan pemanfaatan energi panas bumi untuk sterilisasi media jamur dan
pengeringan produk pertanian atau perkebunan di Kamojang dan Lahendong.
Hasil percobaan tersebutmenunjukan bahwa pemanfaatan energi panas bumi
untuk proses pengeringan produk pertanian atau perkebunan dan sterilisasi jamur
memberikan hasil yang lebih cepat dan mutu yang lebih baik dibanding dengan
proses pengeringan alami dengan panas matahari ataupun sterilisasi yang
menggunakan sistem uap dari mesin boiler.
Dengan menggunakan teknologi yang sederhana, energi panas bumi juga
dapat dimanfaakan untuk pemanasan ruangan seperti hotel, home stay, wisma dan
lain-lain mengingat kondisi di kawasan Kamojang memiliki ketinggian yang
cukup tinggi diatas permukaan laut yang memiliki suhu yang cukup dingin.
Penggunaan energi panas bumi untuk pemanasan ruangan sangat tepat dan
bermanfaat untuk meningkatkan daya tarik wisata di kawasan tersebut.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014, Tentang Panas Bumi, Pasal 44
tentang participacing interest kepada BUMD dan BUMN. Sesuai dengan amanah
76
undang-undang Pemegang Izin Panas Bumi yang berbentuk badan usaha swasta
wajib menawarkan participating interest paling banyak sebesar 10% (sepuluh
persen) kepada badan usaha milik daerah atau badan usaha milik negara paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak disetujuinya rencana pengembangan yang
pertama kali. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, pada
pasal 53 ayat 1, menghilangkan adanya participacing interest kepada BUMD dan
BUMN dari pemegang ijin Swasta menjadi bonus produksi yang harus diberikan
kepada Pemerintah Daerah atas pemanfaatan tidak langsung.
Belum adanya aturan untuk melakukan kegiatan pengunaan dan
pemanfaatan hutan di kawasan Konservasi dan cagar alam untuk kegiatan panas
bumi. Selama ini, pola yang digunakan adalah sistem pinjam pakai kawasan
hutan dengan kompensasi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan hutan
lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah
banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah. Sedangkan hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya.
Undang-Undang tersebut menegaskan pada Pasal 23, bahwa pemanfaatan
hutan dan penggunaan kawasan hutan, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya. Pada pasal 24, menyebutkan bahwa, pemanfaatan
kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan
cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Pasal 26 pada ayat
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan
jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Ayat (2) Pemanfaatan
hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan
kayu.
Pada pasal 30, menyatakan bahwa dalam rangka pemberdayaan ekonomi
masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
Ada peraturan lain yang harus menjadi perhatian adalah Peraturan
Pemerintah (PP) RI Nomor 61 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas PPh Nomor
24 Tahun 2010 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Pada pasal 4, menyatakan
bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan
strategis yang tidak dapat dielakkan. Yang dimaksud dengan kegiatan yang
mempunyai tujuan strategis adalah kegiatan yang diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh yang sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan
negara, pertahanan keamanan negara, pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya
dan/atau lingkungan.
Kebijakan yang lainnya adalah implementasi Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2014 Tentang Panas Bumi, yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) pada tanggal 26 Agustus 2014, sebagai perubahan dari Undang-
77
Undang Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi. Beberapa hal penting yang
menjadi fokus perubahan dari revisi tersebut, yakni : 1) Pengusahaan panas bumi
tak lagi dikategorikan sebagai kegiatan pertambangan, pengusahaan panas bumi
dapat dilakukan di atas lahan konservasi melalui izin pemanfaatan jasa
lingkungan; 2) Perizinan panas bumi untuk pemanfaatan sebagai pembangkit
tenaga listrik kini dipegang oleh Pemerintah Pusat yang sebelumnya dibagi antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya; 3) Bonus
produksi yang harus diberikan kepada Pemerintah Daerah atas pemanfaatan tidak
langsung; hingga 4) Harga jual energi panas bumi.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014, tentang Panas Bumi,
pasal 52 ayat 1f. Pemegang Ijin Panas Bumi memiliki kewajiban untuk
melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat
(Kesejahteraan, Kesehatan, Pendidikan, Keagamaan, Pemuda dan Kebudayaan).
Pemanfaatan hutan untuk jasa lingkungan diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2007, dirubah melalui PP Nomor 3 Tahun 2008
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan. Pemanfaatan jasa lingkungan diartikan sebagai kegiatan
untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan
dan mengurangi fungsi utamanya. Secara khusus, PP tersebut mengatur
pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi,
sedangkan pada kawasan hutan konservasi diatur pada peraturan lainnya. Sudah
seharusnya peraturan tersebut disesuaikan dengan pemanfaatan panas bumi
sebagai jasa lingkungan.
Kurangnya Sumberdaya Manusia yang dibutuhkan untuk pengelolaan panas
bumi sesuai dengan amanah undang-undang, khususnya untuk kegiatan
pengelolaan informasi geologi dan potensi panas bumi, inventarisasi dan
penyusunan neraca sumber daya dan cadangan panas bumi. Pemerintah Pusat
sudah memiliki Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenagalistrikan,
Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Puslitbangtek KEBTKE) berada
di bawah Kementerian ESDM. Di tingkat Tingkat Perguruan Tinggi ada Pusat
Studi Panas Bumi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada dan Pusat Studi dan
Penelitian Panas Bumi di Institut Teknologi Bandung, sedangkan untuk tingkat
Propinsi Jawa Barat belum ada Pusat Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi.
78
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis data yang diperoleh pada penelitian ini, peneliti
dapat membuat kesimpulan sebagai berikut :
1. Jumlah total produksi energi panas bumi di PGE area Kamojang adalah
1.584,85 GWh, dengan nilai total penjualan sekitar Rp. 1.462,15 Milyar.
Sedangkan nilai ekonomi langsung energi panas bumi adalah sebesar Rp.
1.070,70 Milyar.
2. Nilai ekonomi air dalam pengelolaan energi panas bumi rata-rata sebesar
Rp. 14,30 Milyar pertahunnya atau nilai ekonomi air 10 tahun yang akan
datang diperkirakan sekitar Rp. 336,30 Milyar. Nilai deplesi sumberdaya
hutan sebesar Rp. 125,59 juta pertahun.
3. Pengelolaan panas bumi tidak menimbulkan masalah konflik secara
langsung, hanya masalah kecemburuan sosial antar pendatang dan
masyarakat setempat, khususnya pada penempatan karyawan di
perusahaan. Analisa stakeholder menunjukan bahwa PGE, BKSDA Jawa
Barat, Perum Perhutani, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Jawa
Barat memiliki kepentingan dan pengaruh yang besar dalam pengelolaan
energi panas bumi.
4. Peraturan perundang-undangan yang berhubungan langsung dengan
pengelolaan panas bumi di kawasan Kamojang diantaranya, Undang-
Undang RI Nomor 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun
1999, Tentang Kehutanan, Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2014,
Tentang Panas Bumi, serta Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 6 tahun
2006, tentang Pengelolaan Panas Bumi.
5. Analisa Multi Criteria Decesion Making (MCDM), menghasilkan
Formulasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Energi Panas Bumi
(Geothermal) di Kawasan Kamojang Jawa Barat, adalah dengan urutan
sebagai berikut :
1). Mendorong pengembangan potensi panas bumi dan pengelolaan
panas bumi skala kecil,
2). Renegosiasi dan Peningkatan Nilai Jual Energi Panas Bumi,
3). Kepastian waktu perijinan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah,
4). Perlindungan keanekaragaman hayati dan kewajiban konservasi
sumberdaya air tanah,
5). Pemanfaatan panas bumi secara langsung untuk kegiatan wisata
(pemandian) dan agribisnis (budidaya jamur),
6). Adanya participacing interest kepada BUMD dan BUMN,
7). Mempertegas rekomendasi dan izin Penggunaan dan Pemanfaatan
kawasan Hutan (khususnya kawasan hutan konservasi),
8). Pemberdayaan Masyarakat (Kesejahteraan, Kesehatan, Pendidikan,
Keagamaan, Pemuda dan Kebudayaan),
79
9). Implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas
Bumi, dan
10). Pendirian Pusat Penelitian dan Pengembangan Panas Bumi.
7.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti
memberikan masukan dan saran kepada :
80
DAFTAR PUSTAKA
81
http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2012/08/13/potensi-energi-
panas-bumi-di-daerah-cincin-api-indonesia-485656.html. Diakses pada
tanggal 12 Januari 2013.
Fischer, Frank, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. 2007. Handbook of Policy
Analysis : Theory, Politics, and Methods. CRC Press. US.
Hanley N, EB Barbier. 2009. Pricing Nature : Cost-Benefit Analysis and
Environmental Policy. Edward Elgar. UK.
Ibrahim, R. F. 2014. Kumpulan Tanya Jawab Energi Terbarukan Indonesia :
Perspektif. Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia. Jakarta
Kasbani. 2009. Sumberdaya Panas Bumi Indonesia : Status Penyelidikan, Potensi
dan Tipe Sistem Panas Bumi. Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi.
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2011. Panduan Valuasi Ekonomi
Kegiatan Pertambangan. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Peraturan Menteri Nomor 15
Tahun 2012 Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan.
Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta
Pearce D. W, Turner R. K. 1990. Economic of Natural Resources and The
Environment. Harvesters Wheatseaf. New York. London.
Penandatanganan Head of Agreement (HoA) PLN PGE Tentang Harga Dasar
Uap Panas Bumi Dan Tenaga Listrik dalam http://www.pln.co.id/?p=9956.
Diakses pada tanggal 12 Januari 2013.
Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat. 2006. Nomor 6 Tahun 2006. Tentang
Pengelolaan Panas Bumi.
Peraturan Daerah Kabupaten Bandung. 2011. Nomor 1 Tahun 2011. Tentang
Pajak Air Tanah.
Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral. 2009. Nomor 32 Tahun 2009.
Tentang Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PLN (Persero) dari
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi.
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2012. Nomor
15 Tahun 2012. Tentang Panduan Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan
Pertamina. 2005. Kaji Ulang Studi Amdal Pengembangan Lapangan Kamojang
PT. Pertamina Area Geothermal Kamojang, Jakarta.
[PGE] Pertamina Geothermal Energy. 2011. Laporan Tahunan PT. Pertamina
Geothermal Energy Tahun 2010. Jakarta.
[PGE] Pertamina Geothermal Energy. 2012. Laporan Tahunan PT. Pertamina
Geothermal Energy Tahun 2011. Jakarta.
[PGE] Pertamina Geothermal Energy. 2013. Laporan Tahunan PT. Pertamina
Geothermal Energy Tahun 2012. Jakarta.
[PGE] Pertamina Geothermal Energy. 2012. Laporan Implementasi RKL & RPL
Periode Triwulan II Tahun 2011. Jakarta.
Poernomo, A. 2009. Prosiding Diskusi Panel Potensi Hutan Sebagai Cadangan
Pangan dan Energi, Mampukah Mensejahterakan Ummat ?. Ilkatan
Alumni AIK Fahutan Unwim. Jakarta.
Prastawa, A. 2012. Mengembangkan Energi Panas Bumi. Pusat Teknologi
Konversi dan Konservasi Energi BPPT dalam
http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11021, diakses
pada tanggal 11 Januari 2013
82
Prasetyo, F.A. 2011. Potential Economic Incentive for Sustainable Forest
Management on Reducing Emission From Deforestation and Degradation.
Jakarta : Ministry of Forestry.
Reed, MS. Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubaek K, Morris J, Prell C, Quinn
CH, dan Stringer LC. 2009. Whos in and Why? A Typology of Stakeholder
Analysis Methods for Natural Resource Management. Journal of
Environmental Management 90:1943-1949.
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan. Jakarta.
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 tahun 2003
tentang Panas Bumi. Jakarta
Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2014
tentang Panas Bumi. Jakarta
Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Jakarta
Reza, A.A. 2013. Studi Kasus Kecamatan Ibun, Kabupaten Garut dan Kecamatan
Samarang, Kabupaten Bandung Barat). [skripsi]. Bogor (ID) : Institut
Pertanian Bogor.
Saptadji, N. 2012. Energy Panas Bumi, Bandung (ID) : Institut Teknologi
Bandung
Setiawan, R. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Yogyakarta
(ID) : Gajah Mada University Press.
Simanjuntak, S. 2012. Ekonomi Sumberdaya Alam. Bahan kuliah Ekonomi
Sumberdaya Alam. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Simanjuntak, S. 2009. Perkiraan Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam Productivity
Method. Bahan kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam. Sekolah Pascasarjana
IPB. Bogor.
Suliyanto. 2010. Studi Kelayakan Bisnis. Penerbit ANDI. Yogyakarta.
Sumaryanto. 2006. Iuran Irigasi Berbasis Komoditas Sebagai Instrumen
Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air Irigasi : Pendekatan dan Analisis
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasinya. [desertasi]. Bogor
(ID) : Institut Pertanian Bogor.
Suparmoko, M. 2008. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Edisi Empat.
BPFE Yogyakarta.
Suparmoko, M. 2006. Analisis Kontribusi Sektor Kehutanan dalam
Pembangunan, PUSRENHUT, Yogyakarta.
Sutomo, S. 2012. Ketersediaan Sumberdaya Alam/Lingkungan/Ekosistem. Bahan
kuliah Neraca Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor.
Triantaphyllou; Sanchez. 1997. A Sensitivity Analysis Approach for Some
Deterministic Multi-Criteria Decision Making Methods. Di dalam Rahardjo
M. 2003. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya Laut di
Kepulauan Seribu [desertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Widodo, S. Kelompok kerja panas bumi. Pengelolaan Terpadu, Pemanfaatan
Sumber Daya Panas Bumi dan Potensi Wisata Danau Ranau dalam
http://psdg.bgl.esdm.go.id/buletin_pdf_file/Bul%20Vol%201%20no.%202
%20thn%202006/8.%20PROSPEK%20P-
83
BUMI%20dan%20WISATA%20D-Ranau3_sri%20widodo_.pdf. Diakses
pada tanggal 16 Juni 2014.
William ND. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta (ID) :
Universitas Gadjah Mada.
[WWF] WWF-Indonesia. 2013. Laporan Tahunan WWF Igniting the Ring of
Fire: A Vision for Developing Indonesias Geothermal Power dalam
http://www.wwf.or.id/berita_fakta/publications/?25521/Igniting-the-Ring-
of-Fire-A-Vision-for-Developing-Indonesias-Geothermal-Power diakses
pada tanggal 15 Januari 2013.
Yusri, S. 2012. Valuasi Sumberdaya Alam Kawasan Kamojang [tesis]. Bogor (ID)
: Institut Pertanian Bogor.
84
Lampiran 1. Penilaian terhadap masing-masing Kriteria
1. Ekonomi
a. Adanya Kontribusi terhadap peningkatan Pendapatan Nasional dan Daerah, Pajak, bea masuk dan pungutan lain atas cukai dan
impor, serta penerimaan negara bukan pajak daerah dan retribusi daerah.
b. Pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal
c. Penciptaan lapanagan kerja baru
d. Tidak ada pemasukan dan peningkatan ekonomi nasional dan daerah
2. Lingkungan
a. Terjaganya kelestarian hutan dan ekosistemnya
b. Terpeliharanya akuiver air tanah secara berkelanjutan
c. Pajak Jasa Lingkungan
d. Tidak ada hubungan dengan perbaikan lingkungan
3. Sosial Masyarakat
a. Peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat
b. Perbaikan kualitas hidup masyarakat
c. Mengurangi kecemburuan sosial
d. Tidak ada hubungan dengan kesejahteraan masyarakat setempat
4. Kelembagaan
a. Percepatan pengelolaan potensi panas bumi yang ada
b. Pengawasan terhadap fungsi kawasan hutan konservasi dan lindung
c. Diakuinya hak-hak masyarakat setempat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan setempat
d. Tidak keterkaitan langsung dengan peraturan yang ada
85
Lampiran 2. Peraturan dan Kebijakan Pemerintah Behubungan dengan Pengelolaan Panas Bumi
86
No Peraturan / Kebijakan Nomor Tentang
14. Peraturan Presiden 48 Tahun 2011 Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun2010 Tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan
Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang
Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas
15. Peraturan Presiden 4 Tahun 2010 Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan
Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi Terbarukan, Batubara, dan Gas
16. Peraturan Presiden 36 Tahun 2010 Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan BidangUsaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal
17. Peraturan Presiden 5 Tahun 2006 Kebijakan Energi Nasional
18. Keputusan Presiden 76 Tahun 2000 Pengusahaan Sumber Daya Panas Bumi Untuk Pembangkit Tenaga Listrik
19. Peraturan 01 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi DanSumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2010, Tentang
Menteri Energi Dan Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi
Sumber DayaMineral Terbarukan, Batubara dan Gas Serta Transmisi Terkait
20. Peraturan Menteri Keu 01/PMK.07/20 Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya AlamPertambangan Panas Bumi Tahun Anggaran2012
angan 12
21. Peraturan Menteri Keu 03/PMK.011/2 Tata Cara Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Fasilitas Dana Geothermal
angan 012
22. Peraturan Menteri Keu 15/PMK.03/20 Penatausahaan Dan Pemindahbukuan Pajak Bumi Dan BangunanSektor Pertambangan Untuk
angan 12 Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, Dan Panas Bumi
23. Peraturan 17 Tahun 2014 Pembelian Tenaga Listrik Dari PLTP DAN Uap Panas Bumi Untuk PLTP Oleh PT PerusahaanListrik
Menteri Energi Dan Negara (Persero)
Sumber Daya Mineral
24. Peraturan Menteri Keu 139/PMK.011/ Tata Cara Pemberian Jaminan Kelayakan Usaha PTPerusahaan Listrik Negara (Persero)
angan 2011 Untuk Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Dengan Menggunakan Energi Terbarukan,Batubara,
Dan Gas Yang Dilakukan Melalui Kerja Sama Dengan Pengembang Listrik Swasta
87
No Peraturan / Kebijakan Nomor Tentang
25. Peraturan Menteri Keuanga 178/PMK.05/20 Tata Cara Penyediaan Dan Pencairan Dana Geothermal Dari Rekening Kas Umum Negara Ke Rekening
n 11 Induk Dana Investasi Pada Pusat Investasi Pemerintah
26. Peraturan Menteri Energi 02 Tahun 2010 Daftar Proyek-Proyek Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi
Dan Sumber Daya Mineral Terbarukan,Batubara, Dan Gas Serta Transmisi Terkait
27. Peraturan Menteri Energi 05 Tahun 2010 Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha Di Bidang Energi Dan Sumber Daya Mineral Dalam
Dan Sumber Daya Mineral Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Di Bidang Penanaman Modal Kepada Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal
28. Peraturan Menteri Energi 15 Tahun 2010 Daftar Proyek-Proyek PercepatanPembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Energi
Dan Sumber Daya Mineral Terbarukan,Batubara, Dan Gas Serta Transmisi Terkait
29. Peraturan Menteri Keuanga 21/PMK.011/20 Pemberian Fasilitas Perpajakan Dan Kepabeanan Untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi
n 10 Terbarukan
30. Peraturan Menteri Keuanga 73/PMK.03/201 Penunjukan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Pengusahaan Minyak Dan Gas Bumi Dan Kontraktor Atau
n 0 Pemegang Kuasa/ Pemegang Izin Pengusahaan Sumber DayaPanas Bumi Untuk Memungut,
Menyetor,Dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah, Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporannya
31. Peraturan Menteri Energi 02 Tahun 2009 Pedoman Penugasan Survei Pendahuluan Panas Bumi
Dan Sumber Daya Mineral
32. Peraturan Menteri Energi 11 Tahun 2009 Pedoman Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Panas Bumi
Dan Sumber Daya Mineral
33. Peraturan Menteri Keuanga 114/PMK.02/20 Rekening Panas Bumi
n 09
34. Peraturan Menteri ESDM 11 Tahun 2008 Tata Cara Penetapan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi.
88
No Peraturan / Kebijakan Nomor Tentang
35. Peraturan Menteri 14 Tahun 2008 Harga Patokan Penjualan Tenaga Listrik Dari Pembangkit Listrik Tenaga PanasBumi
Energi Dan Sumber
Daya Mineral,
36. Peraturan Menteri Keu 177/PMK.011/ Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Serta
angan 2007 Panas Bumi
37. Peraturan Menteri P.85/Menhut- Tata Cara Kerjasama Penyelengaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
Kehutanan II/2014
37. Peraturan Menteri P.32/Menhut- Tukar Menukar Kawasan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 376)
Kehutanan II/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41/Menhut-II/2012 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1025)
38. Peraturan Menteri P.33/Menhut- Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (Berita Negara Republik Indonesia
Kehutanan II/2010 Tahun 2010 Nomor 377) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2011 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 319)
39. Peraturan Menteri P.34/Menhut- Tata Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
Kehutanan II/2010 378)
40. Peraturan Menteri P.40/Menhut- Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Kehutanan II/2010 Nomor 405) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-
II/2012 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 779)
41. Peraturan Menteri P.18/Menhut- Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 191)
Kehutanan II/2011 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2012
42. Peraturan Menteri P.20/Menhut- Pedoman Pemetaan Kawasan Hutan Tingkat Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
Kehutanan II/2011 2011 Nomor 193)
89
Lampiran 3. Data responden kondisi masyarakat di kawasan Kamojang
Data Responden Rumah Tinggal Kebun Sawah Lahan Kosong Total
a. Lahan yang dimiliki 80% 13% 5% 2% 100%
48 8 3 1 60
Kurang dari 15
Lebih dari 25 Tahun 14 s.d. 25 tahun Total Pendatang Total
Tahun
b. Lama Bermukim 70% 18% 12% 100% 14% 100%
42 11 7 60 8 60
Milik Sendiri & Milik sendiri & Belum milik Keluarga atau
Total
Sertifikat sertifikat Garapan
c. Status Kepemilikan Lahan 68% 23% 8% 100%
41 14 5 60
Petani Wiraswasta PNS Buruh Tani Karyawan Lain-lain Total
d. Pekerjaan Responden 42% 30% 7% 10% 8% 3% 100%
25 18 4 6 5 2 60
Tamat SMA atau
Tamat SD Tamat SMP atau Sederajat Tidak Tamat SD Total
Sederajat
e. Pendidikan Responden 57% 20% 18% 5% 100%
34 12 11 3 60
Rp. 1 Juta sd Rp. 3
< Rp. 500rb Rp. 500rb sd Rp. 1 juta > Rp. 3 Juta Total
Juta
f. Penghasilan Responden 62% 25% 12% 2% 100%
37 15 7 1 60
Permanen Permanen Sederhana Semi Permanen Tidak Permanen Total
g. Kondisi Rumah 42% 5% 32% 22% 100%
25 3 19 13 60
Tidak Memiliki
Memeliki Sepeda Motor Memiliki Mobil Total
Kendaraan
90
Lampiran 4. Kriteria dan Bobot nilai yang digunakan untuk Formulasi Kebijakan
91
Lampiran 5. Analisis TOPSIS untuk Alternatif Formulasi Kebijakan
92
93
94