Anda di halaman 1dari 31

0

PERAN KLINIS CA-125 PADA KANKER OVARIUM

dr. Gede Sastra Winata, M.Biomed, Sp.OG

BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2014
1

BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu keganasan ginekologi yang cukup sering ditemui dan


merupakan kanker ginekologi yang paling mematikan adalah kanker ovarium.
Kanker ovarium merupakan kanker ginekologi terbanyak kedua dan berkontribusi
sebesar 3% dari seluruh kanker pada wanita di Amerika Serikat.1 Kanker ovarium
juga merupakan penyebab ke-5 terbanyak dari kematian wanita yang disebabkan
oleh kanker. Di Indonesia kanker ovarium menempati urutan ke empat dengan
angka kejadian 15 kasus per 100.000 wanita. 2 Sedangkan di Rumah Sakit Sanglah
angka kejadian kanker ovarium sebanyak 35% dari seluruh kanker ginekologi
dengan angka harapan hidup selama 5 tahun hanya 15%.3 Dua per tiga dari kasus
kanker ovarium ditemukan pada wanita dengan usia diatas 55 tahun. 4 Karena
kanker ovarium hanya sedikit yang menunjukkan gejala spesifik, maka sekitar
70% kasus kanker ovarium saat terdiagnosis sudah berada pada stadium lanjut, hal
ini berdampak pada tingginya angka mortalitas dari kanker ovarium. Pada stadium
lanjut, angka 5-years survival rate dibawah 30%. Sebaliknya, jika terdiagnosis
pada stadium I, 5-years survival rate meningkat drastis yakni sebesar 90%.5
Berbagai faktor yang berkaitan dengan reproduksi, genetik, dan faktor
lingkungan dihubungkan dengan terjadinya kanker ovarium, diantaranya adalah
nuliparitas, menars awal, menopause terlambat, ras kulit putih, peningkatan usia
dan faktor genetik. Secara umum, faktor risiko diatas berhubungan dengan siklus
ovarium yang tidak terputus selama masa reproduksi. Stimulasi yang berulang-
ulang dari epitel permukaan ovarium dianggap dapat bertransformasi menjadi
suatu keganasan.6
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, telah ditemukan tumor
marker yang dianggap berhubungan dengan kanker ovarium, yakni CA-125. CA-
125 atau disebut juga Cancer Antigen 125 atau Carbohydrate Antigen 125
pertama kali ditemukan oleh Bast dkk pada tahun 1981. CA-125 terdapat pada
semua jaringan yang berasal dari derivat sel mesotel dan epitel coelomik,
diantaranya pleura, perikardium, peritoneum, tuba, endometrium dan
2

endoserviks.7 CA-125 merupakan tumor marker yang paling sering digunakan


pada kanker ovarium, sering disebut sebagai Gold Standard untuk diagnosis
kanker ovarium.8 Peranan CA-125 pada kanker ovarium sudah banyak diteliti,
diantaranya adalah untuk deteksi dini, monitoring respon terapi, dan monitoring
terjadinya rekurensi.
Namun, CA-125 memiliki spesitifitas yang rendah karena peningkatan CA-
125 dapat ditemukan pada banyak keadaan selain pada kanker ovarium,
diantaranya pada penyakit radang panggul, endometriosis, peritonitis, kanker
payudara dan kanker paru.4 Tetapi sampai saat ini belum ditemukan marker yang
dianggap lebih baik dan mampu menggantikan peranan CA-125. Melalui sari
pustaka ini, akan dibahas peranan klinis CA-125 untuk kanker ovarium. Sehingga
diharapkan pembaca dapat mengetahui manfaat dan tujuan pemeriksaan CA-125
pada kanker ovarium baik untuk deteksi dini, diagnosis, monitoring respon terapi
serta monitoring terjadinya rekurensi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Ovarium


2.1.1 Epidemiologi Kanker Ovarium
Kanker ovarium merupakan kanker ginekologi terbanyak kedua dan
berkontribusi sebesar 3% dari seluruh kanker pada wanita di Amerika Serikat. 1
Kanker ovarium juga merupakan penyebab ke-5 terbanyak dari kematian wanita
yang disebabkan oleh kanker. Insidens kanker ovarium tertinggi di dunia terdapat
di Amerika Serikat dan Eropa Utara, dan terendah di Afrika dan Asia. 9 Setiap
tahunnya di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 21.650 kasus baru ditemukan
dan 15.520 wanita meninggal akibat penyakit ini.4 Sedangkan di Indonesia kanker
ovarium menempati urutan ke empat dengan angka kejadian 15 kasus per 100.000
wanita.2 Di Rumah Sakit Sanglah sendiri angka kejadian kanker ovarium
sebanyak 35% dari seluruh kanker ginekologi dengan angka harapan hidup selama
5 tahun hanya 15%.3
Dua per tiga dari kasus kanker ovarium ditemukan pada wanita dengan usia
diatas 55 tahun.4 Karena kanker ovarium hanya sedikit yang menunjukkan gejala
spesifik, maka sekitar 70% kasus kanker ovarium saat terdiagnosis sudah berada
pada stadium lanjut, dimana angka 5-years survival rate dibawah 30%.
Sebaliknya, jika terdiagnosis pada stadium I, 5-years survival rate meningkat
drastis yakni sebesar 90%.5

2.1.2 Faktor Risiko Kanker Ovarium


Berbagai faktor yang berkaitan dengan reproduksi, genetik, dan faktor
lingkungan dihubungkan dengan terjadinya kanker ovarium. Berikut disajikan
dalam tabel faktor-faktor risiko kanker ovarium.6

Tabel 2.1 Faktor Risiko Kanker Ovarium6


- Nuliparitas
- Menars awal
3
5

- Menopause terlambat
- Ras Kulit Putih
- Peningkatan Usia
- Orang Amerika Utara dan Eropa Utara
- Riwayat keluarga

Dari faktor risiko di atas, yang paling berperan penting adalah riwayat
keluarga yang terkena kanker ovarium atau kanker payudara. Yang termasuk
dengan riwayat keluarga adalah first-degree relative yaitu ibu, anak perempuan
atau kakak/adik perempuan. Dengan adanya riwayat keluarga yang menderita
kanker ovarium akan menibgkatkan risiko seorang wanita terkena kanker ovarium
sebanyak 3 kali lipat. Risiko ini semakin meningkat dengan ditemukannya dua
atau lebih first-degree relative yang terkena kanker ovarium.6 Kanker ovarium
yang diturunkan secara genetik berhubungan dengan mutasi dari gen BRCA-1 dan
BRCA-2, dimana mutasi gen BRCA-1 lebih banyak ditemukan. Adanya mutasi
gen BRCA berhubungan dengan risiko terjadinya kanker ovarium sebesar 27-44%
dibandingkan dengan risiko terjadinya kanker ovarium pada polulasi normal yakni
sebesar 1,4%. Mutasi yang terjadi menyebabkan instabilitas gen dan
menyebabkan sel lebih berisiko mengalami transformasi menjadi suatu
keganasan. Mutasi ini diturunkan melalui gen autosomal dominan, sehingga
analisis pedigree penting untuk dilakukan secara cermat.10
Nuliparitas, menars awal dan menopause yang terlambat berhubungan
dengan siklus ovarium yang tidak terputus selama masa reproduksi. Stimulasi
yang berulang-ulang dari epitel permukaan ovarium dianggap dapat
bertransformasi menjadi suatu keganasan. Semakin tingginya jumlah paritas akan
semakin menurunkan risiko terkena kanker ovarium sampai paritas maksimal lima
kali, setelah itu risiko terkena kanker ovarium adalah sama. 6 Memiliki minimal
satu anak akan menurunkan risiko terkena kanker ovarium dengan risk reduction
sebesar 0.3-0.4. 10
Menyusui dan penggunaan obat kontrasepsi oral juga memiliki efek
proteksi terhadap kanker ovarium. Kemungkinan hal ini berhubungan dengan
6

pemanjangan siklus amenorea yang berhubungan dengan pencegahan terjadinya


ovulasi. Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral selama 5 tahun atau lebih
akan mengurangi risiko relatif sebesar 0.5. Pada pasien dengan riwayat keluarga
menderita kanker ovarium yang ingin menggunakan kontrasepsi, dapat dianjurkan
untuk menggunakan obat kontrasepsi oral untuk menurunkan risiko terkena
kanker ovarium.10

2.1.3 Patogenesis Kanker Ovarium


Meskipun banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui patogenesis
dari kanker ovarium, sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab dari
kanker ovarium. Namun, para ahli memiliki beberapa teori tentang patogenesis
kanker ovarium, antara lain teori incessant ovulation, inflamasi dan
gonadotropin.11
Teori incessant ovulation menganggap kanker ovarium berasal dari epitel
permukaan ovarium sendiri. Saat terjadinya ovulasi, terjadi trauma pada epitel
permukaan ovarium yang perlu direparasi. Selama siklus reproduksi wanita,
proses tersebut terus terulang. Selama proses tersebut epitel permukaan ovarium
rentan mengalami kerusakan DNA dan transformasi. Selain itu, seiring dengan
bertambahnya usia, permukaan ovarium membentuk invaginasi pada stroma
kortikal. Invaginasi tersebut dapat menyebabkan epitel permukaan terperangkap
ke dalam stroma dan menjadi kista inklusi. Akibat paparan hormon-hormon
ovarium, kista inklusi tersebut dapat berproliferasi dan jika disertai kerusakan
DNA akan mengarah menjadi suatu keganasan. Hal ini berhubungan dengan
faktor risiko kanker ovarium, dimana semakin dini wanita mengalami menstruasi
dan semakin tua usia menopause serta tidak pernah hamil meningkatkan frekuensi
terjadinya kanker ovarium. Sebaliknya, berbagai kondisi yang menekan faktor
ovulasi seperti kehamilan dan menyusui menurunkan frekuensi terjadinya kanker
ovarium.6,11
Teori kedua adalah teori inflamasi. Hal ini didasarkan pada penelitian
dimana angka kejadian kanker ovarium meningkat pada wanita yang mengalami
7

infeksi atau radang panggul. Menurut teori ini, berbagai karsinogen dapat
mencapai ovarium melalui saluran genitalia.12
Teori ketiga adalah teori gonadotropin. Adanya kadar gonadotropin yang
tinggi yang berkaitan dengan lonjakan yang terjadi selama ovulasi dan hilangnya
gonadal negative feedback pada menopause serta kegagalan ovarium prematur
memegang peranan penting dalam perkembangan kanker ovarium. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Cramer dan Welch ditemukan hubungan antara
kadar gonadotropin dan estrogen. Adanya sekresi gonadotropin dalam jumlah
yang tinggi ternyata mengakibatkan stimulasi estrogen pada epitel permukaan
ovarium. Hal tersebut diduga berperan dalam proses terjadinya kanker ovarium.12
Faktor lain yang turut perperan dalam patogenesis kanker ovarium adalah
faktor genetik. Kanker ovarium terjadi akibat dari akumulasi perubahan genetik
yang mengarah ke transformasi keganasan yang berasal dari kista jinak kemudian
bermodifikasi menjadi tumor yang berpotensi keganasan rendah dan pada
akhirnya berkembang menjadi kanker ovarium invasif. Pada jenis tumor tersebut
ditemukan mutasi dari K-ras, H-ras dan N-Ras. Seorang wanita yang dilahirkan
dengan mutasi BRCA hanya memerlukan satu hit pada allel pasangannya yang
normal untuk menghentikan produk BRCA yang memiliki fungsi tumor
suppressor gene. Sehingga kanker yang berkaitan dengan BRCA biasanya akan
muncul sekitar 15 tahun lebih awal daripada kasus-kasus kanker yag bersifat
sporadik. Setelah itu, BRCA-related ovarian cancer nampaknya memiliki
patogenesis molekuler yang berbeda, memerlukan terjadinya inaktivasi p53 untuk
dapat berkembang.6

2.1.4 Klasifikasi Histologi Kanker Ovarium


Kanker ovarium merupakan suatu penyakit yang heterogen, hal ini
disebabkan karena kanker ovarium bukanlah mengacu hanya kepada suatu
penyakit tunggal, melainkan kumpulan keganasan yang timbul pada ovarium.
Secara histologis tumor ovarium dibagi berdasarkan jaringan asalnya. Menurut
teori, tumor ovarium berasal dari 3 komponen ovarium, yakni : (1) Derivat epitel
8

permukaan yang berasal dari coelomik epitelium, (2) Germ sel, yang bermigrasi
ke ovarium dari yolk sac dan bersifat pluripoten dan (3) Stromal ovarium,
termasuk sex cord yang merupakan petanda dari endokrin apparatus ovarium post
natal. Terdapat juga kelompok tumor di luar pembagian di atas yang merupakan
metastasis tumor ke ovarium.13
Secara sederhana, kanker ovarium dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
SURFACE EPITHELIAL-STROMAL TUMORS
tipe epitelial dan tipe nonepitelial, dimana yang termasuk tipe epitelial adalah
Serous tumors
kanker ovarium yang berasal dari epitel permukaan, sedangkan yang termasuk
Benign (cystadenoma)
tipe nonepitelial adalah kanker ovarium yang berasal dari germ sel dan sex cord
Borderline tumors (serous borderline tumor)
stromal.14
Malignant (serous adenocarcinoma)
Mucinous tumors, endocervical-like and intestinal type
Benign (cystadenoma)
Borderline tumors (mucinous borderline tumor)
Malignant (mucinous adenocarcinoma)
Endometrioid tumors
Benign (cystadenoma)
Borderline tumors (endometrioid borderline tumor)
Malignant (endometrioid adenocarcinoma)
Clear cell tumors
Benign
Borderline tumors
Malignant (clear cell adenocarcinoma)
Transitional cell tumors
Gambar
Brenner 2.1 Pembagian tumor ovarium menurut sel asalnya 13
tumor
Tabel 2.2.tumor
Brenner Klasifikasi Ovarium menurut WHO10
Tumor malignancy
of borderline
Malignant Brenner tumor
Transitional cell carcinoma (non-Brenner type)
Epithelial-stromal
Adenosarcoma
Malignant mixed mllerian tumor
SEX CORDSTROMAL TUMORS
Granulosa tumors
Fibromas
9

Fibrothecomas
Thecomas
Sertoli cell tumors
Leydig cell tumors
Sex cord tumor with annular tubules
Gynandroblastoma
Steroid (lipid) cell tumors

GERM CELL TUMORS


Teratoma
Immature
Mature
Solid
Cystic (dermoid cyst)

Monodermal (e.g., struma ovarii, carcinoid)


Dysgerminoma
Yolk sac tumor (endodermal sinus tumor)
Mixed germ cell tumors
10

2.1.5 Gejala Klinis Kanker Ovarium


Kanker ovarium sering disebut dengan silent killer dimana gejala klinis
yang terjadi biasanya tidak terlihat jelas sampai berada pada tahap lanjut 7. Gejala
yang ditimbulkan tidak spesifik, seperti : pembesaran abdomen/bloating, nyeri
abdomen atau pelvis, peningkatan frekuensi berkemih atau urgensi berkemih,
menurunnya nafsu makan, atau rasa penuh di lambung.4,14
Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar pasien dengan kanker ovarium
teraba massa di daerah abdomen atau pelvis. Secara umum, tumor yang ganas
memiliki karakteristik solid, nodular dan terfiksir. Namun ukuran tumor tidak
sesuai dengan derajat keganasan, sebaliknya massa yang besar lebih sering
merupakan massa yang jinak. Ascites juga sering ditemukan pada pemeriksaan
abdomen.6

2.1.5 Stadium Kanker Ovarium


Stadium kanker ovarium ditentukan berdasarkan pada penemuan yang
dilakukan saat melakukan eksplorasi. Stadium kanker ovarium menurut
International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO) berdasarkan pada
hasil evaluasi pembedahan terhadap tumor ovarium primer dan penemuan
penyebarannya dapat dilihat pada tabel 2.3.10
11

Tabel 2.3 Kriteria Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO10


Stadium Kriteria
I Pertumbuhan tumor terbatas pada ovarium
Ia Pertumbuhan tumor terbatas pada satu ovarium, cairan
ascites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada
pertumbuhan tumor pada permukaan luar tumor, kapsul
utuh
Ib Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua ovarium, cairan
ascites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada
pertumbuhan tumor pada permukaan luar tumor, kapsul
utuh.
Ic Tumor pada stadium Ia atau Ib tetapi dengan pertumbuhan
tumor pada permukaan luar dari satu atau kedua atau kapsul
pecah atau cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum
mengandung sel-sel ganas

II Pertumbuhan tumor pada satu atau kedua ovarium dengan


perluasan ke rongga pelvis
IIa Penyebaran dan atau metastasis ke uterus dan atau tuba
fallopi
IIb Penyebaran tumor ke organ pelvis lainnya
IIc Tumor dengan stadium IIa atau IIb, tetapi dengan
pertumbuhan tumor pada pemukaan luar dari satu atau
kedua ovarium atau kapsul pecah atau cairan ascites atau
cairan bilasan peritoneum mengandung sel-sel ganas
III Tumor melibatkan satu atau kedua ovarium dengan
implantasi di luar pelvis dan atau terdapat pembesaran
kelenjar limfe inguinal atau retroperitoneal. Metastasis pada
pemukaan liver sesuai dengan stadium III. Tumor terbatas
12

pada pelvis, tetapi pemeriksaan histologi menunjukkan


penyebaran tumor ke usus halus atau omentum
IIIa Tumor secara makroskopis terbatas pada pelvis dan tidak
ada pembesaran kelenjar limfe, tetapi pemeriksaan histologi
menunjukkan penyebaran ke permukaan peritoneum
abdominal
IIIb Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan penyebaran di
permukaan peritoneum berdiameter tidak lebih dari 2 cm
dan didukung oleh hasil pemeriksaan histologi. Tidak ada
penyebaran ke kelenjar limfe
IIIc Terdapat penyebaran pada peritoneum abdominal dengan
diameter lebih dari 2 cm atau terdapat penyebaran ke
kelenjar limfe retroperitoneal atau inguinal atau keduanya
IV Pertumbuhan tumor meliputi satu atau kedua ovarium
dengan metastase jauh. Bila terdapat efusi pleura, harus
ditemukan sel-sel ganas pada pemeriksaan sitologi.
Metastasis pada parenkim liver sesuai dengan stadium IV
2.1.6 Terapi Kanker Ovarium
Terapi kanker ovarium terdiri dari tindakan pembedahan dan non
pembedahan. Tindakan pembedahan memiliki dua tujuan yakni pengobatan dan
penentuan stadium surgikal. Terapi pembedahan diantaranya adalah histerektomi,
salfingo-ooforektomi, omentektomi, pemeriksaan ascites/bilasan peritoneum, dan
limfadenektomi. Selanjutnya dilakukan observasi dan pengamatan lanjut dengan
pemeriksaan kadar serum tumor marker.10
Penatalaksanaan kanker ovarium dilakukan sesuai dengan stadium klinis.
Pengobatan primer pada pasien stadium awal, yakni stadium I dan II adalah
dengan tindakan operatif. Histerektomi dan bilateral salfingooforektomi
merupakan tindakan pilihan. Namun, pada pasien dengan stadium I risiko rendah
yang menginginkan untuk mempertahankan fertilitas, dapat dipertimbangkan
untuk dilakukan unilateral salfingooforektomi. Sementara pada stadium I risiko
tinggi, diperlukan terapi tambahan seperti kemoterapi setelah dilakukan tindakan
13

pembedahan.10 Gynecologic Oncology Group (GOG) lebih lanjut menjelaskan


bahwa yang kelompok yang memerlukan kemoterapi tambahan adalah pasien
dengan stadium IA dan IB dengan histologi berdiferensiasi buruk, dan pasien
dengan stadium IC dan II.15
Pada stadium lanjut, tindakan pembedahan juga merupakan pilihan utama.
Pada pasien dengan kondisi yang stabil, tindakan pembedahan dilakukan untuk
mengangkat massa tumor dan metastasis sebanyak-banyaknya. Jika sitoreduksi
diperkirakan tidak dapat dilakukan secara maksimal, pasien dapat diberikan
kemoterapi neoadjuvan dengan tujuan untuk mengurangi massa tumor ke ukuran
yang dapat direseksi. Setelah itu, terapi dilanjutkan dengan kemoterapi seperti alur
di bawah ini. Kemoterapi disesuaikan pada setiap individu dengan tujuan untuk
memaksimalkan efek terapi dan meminimalkan efek toksisitas bagi tubuh.10,15
14

Gambar 2.2 Alur Penatalaksanaan Kanker Ovarium Stadium Lanjut10

2.2. CA-125
CA-125 atau disebut juga Cancer Antigen 125 atau Carbohydrate Antigen
125 pertama kali ditemukan oleh Bast dkk pada tahun 1981. CA-125 terdapat
pada semua jaringan yang berasal dari derivat sel mesotel dan epitel coelomik,
diantaranya pleura, perikardium, peritoneum, tuba, endometrium dan
endoserviks.7

2.2.1 Struktur Molekular CA-125


CA-125 merupakan glikoprotein transmembran yang memiliki karakteristik
mirip dengan protein yang berikatan dengan mucin. 16 Karena itu CA-125 disebut
juga dengan MUC-16. Dengan berat molekul 2,5-5 MioDalton, MUC-16
merupakan glikoprotein yang berikatan dengan musin terberat. Dua puluh tahun
setelah penemuan CA-125 barulah diketahui bahwa MUC-16 terletak pada
kromosom 19p13.2.17
MUC-16 terdiri dari terminal-N, multiple repeat domain, dan terminal-C.
Terminal N terdiri atas serine, threonin dan prolin, dan terminal-C terdiri dari
tironin. Terminal C memiliki domain SEA (sperm protein, enterokinase, dan
agrin) yang bermuatan positif dan dapat berikatan dengan asam nukleat dan asam
lainnya yang bermuatan negatif.18.
15

Gambar 2.3. Struktur Molekular CA-12516


A) Struktur molekular CA-125 yang terdiri dari terminal-N, multiple repeat
domain dan terminal-C.
B) Gambaran struktur molekular CA-125 pada kanker ovarium tipe epitelial
pada mikroskrop elektron.

2.2.2 Cara Kerja CA-125


Meskipun banyak studi yang telah dilakukan untuk menganalisa fungsi dari
CA-125, namun peranannya dalam tubuh dan patogenesis penyakit masih belum
dapat dipastikan. Beberapa studi mengungkapkan adanya hubungan CA-125
dengan respon imun selular. CA-125 juga dapat berikatan dengan NK cell,
sehingga pada wanita hamil CA-125 memiliki peranan untuk mencegah
penolakan sistem imun terhadap fetus.18
CA-125 juga dapat berikatan dengan mesotelin, suatu protein yang
diekspresikan oleh sel kanker ovarium, paru-paru, dan pankreas serta sel mesotel
normal. Interaksi antara CA-125 dan sel mesotel dapat memiliki peranan untuk
implantasi dari sel kanker ovarium ke peritoneum.18

2.2.3 Peranan Klinis CA-125


CA-125 diketahui meningkat pada kanker ovarium. Karena CA125
dihasilkan oleh epithel coelomic, yang termasuk didalamnya adalah sel mesothel
16

dan jaringan Mullerian, maka tumor non-epithelial secara umum tidak


mengekspresikan glikoprotein ini, atau mengekspresikan namun dalam kadar
yang rendah. Ekspresi CA-125 pada kanker ovarium tipe epitelial (epithelial
ovarian carcinoma/ EOC) bervariasi tergantung pada histotype. Hogdall dkk
dengan menggunakan tissue array mendapatkan bahwa CA-125 diekspresikan
pada 85% tipe serous, 65% tipe endometroid, 40% tipe clear cell, 36%
undifferentiated adenocarcinoma dan hanya 12% pada tipe musinous.17
Kadar CA-125 pada individu normal adalah <35 IU/L. 7 Selain itu, beberapa
keadaan dapat meningkatkan kadar CA-125 seperti disajikan dalam tabel di
bawah ini.

Tabel 2.4 Kondisi yang Menyebabkan Peningkatan Kadar CA-1254

Non-Kanker Kanker

- Endometriosis - Kanker payudara

- Fibroid - Kanker pankreas

- Penyakit radang panggul - Kanker kolon

- Hepatitis - Kanker paru

- Kehamilan - Kanker endometrium

- Menstruasi

- Peritonitis

Saat ini, pemeriksaan CA-125 sudah sering digunakan dalam berbagai


praktik klinis. Pemeriksaan CA-125 sebagian besar dilakukan pada pasien dengan
17

kecurigaan kanker ovarium maupun keganasan lain.19 Terdapat perbedaan pola


kenaikan serum CA-125 pada keganasan dan non keganasan, dimana pada
keganasan kadar serum CA-125 cenderung terus meningkat sementara pada non
keganasan kadar CA-125 akan statis atau menurun.9,20
Tidak adanya gejala spesifik pada kanker ovarium, terutama pada stadium
awal menyebabkan sulitnya menentukan indikasi klinis untuk pemeriksaan kadar
CA-125. Sehingga pada pemeriksaan klinis sehari-hari CA-125 diperiksa pada
berbagai gejala klinis, diantaranya nyeri abdomen, pembesaran abdomen,
perdarahan pervaginam pada wanita post menopause, dan penurunan berat badan9.

Gambar 2.2 Persentase Indikasi Pemeriksaan CA-125 pada Wanita19

2.2.4 Peran Klinis CA-125 untuk Penatalaksanaan Kanker Ovarium


CA-125 merupakan tumor marker yang paling sering digunakan pada
kanker ovarium, sering disebut sebagai Gold Standard untuk diagnosis kanker
ovarium. Sampai saat ini CA-125 dipercaya sebagai marker tunggal terbaik untuk
diagnosis dan monitoring kanker ovarium. 8 CA-125 ditemukan pada mayoritas
tumor ovarium tipe epitelial, namun tidak terdeteksi pada ovarium normal.
Sehingga, ada hubungan yang kuat antara progresi dan regresi penyakit dengan
naik turunnya kadar CA-125.16 Peranan CA-125 pada kanker ovarium sudah
18

banyak diteliti. Beberapa peranan CA-125 diantaranya adalah untuk deteksi dini,
diagnosis, monitoring respon terapi, dan monitoring terjadinya rekurensi.

2.2.4.1 CA-125 untuk Deteksi Dini Kanker Ovarium


Tingginya angka mortalitas kanker ovarium disebabkan oleh kurang
efektifnya strategi untuk deteksi dini penyakit tersebut, padahal jika ditemukan
pada stadium awal angka harapan hidup penderita kanker ovarium akan jauh
meningkat.21 Belum adanya tes diagnosis yang efektif menjadi permasalahan
utama untuk deteksi dini kanker ovarium. Saat ini CA-125 secara luas telah
digunakan untuk skrining kanker ovarium, namun CA-125 belum dianggap
sebagai marker yang ideal karena rendahnya spesitifitas akibat tingginya angka
22,23
positif palsu. Dengan insiden yang rendah (40-50 per 100.000 wanita diatas
50 tahun) maka untuk deteksi dini kanker ovarium diperlukan marker yang
memiliki sensitivitas >75 % dan spesitifitas > 99,6%.24
Pada penelitian yang dilakukan oleh Maggino dkk, angka sensitifitas CA-
125 untuk diagnosis kanker ovarium adalah sebesar 78,3% dan spesitifitas 82%
dengan menggunakan nilai batas kadar CA-125 sebesar 35U/mL. 22 Pada kanker
ovarium stadium II, III, dan IV CA-125 meningkat pada 90% kasus, namun hanya
50% dari kanker ovarium stadium I yang mengalami peningkatan kadar CA-
125.22,23
CA-125 tidak direkomendasikan untuk skrining kanker ovarium pada
populasi umum, karena biaya pemeriksaan yang cukup mahal,. Namun, pada
beberapa kelompok dengan risiko tinggi terkena kanker ovarium seperti dengan
riwayat adanya keluarga menderita kanker ovarium, CA-125 dapat berguna untuk
deteksi dini.4 Karena rendahnya angka spesitifitas CA-125 untuk marker deteksi
dini kanker ovarium, maka peneliti mengkombinasikan CA-125 dengan
pemeriksaan lain, seperti USG, HE4, dan marker lainnya namun sampai saat ini
belum didapatkan hasil yang memuaskan dari kombinasi pemeriksaan tersebut.5
19

Tabel 2.5 Rekomendasi untuk Deteksi Dini Kanker Ovarium4

Grup Profesional Rekomendasi


US Preventive Service Task Force Tidak menganjurkan skrining rutin.
American Cancer Society Tidak menganjurkan skrining rutin.
Skrining dianjurkan untuk pasien
dengan riwayat kanker ovarium pada
keluarga.
American College of Obstetricians and Tidak menganjurkan skrining rutin.
Gynecologists Evaluasi tanda dan gejala kanker
ovarium.
National Comprehensive of Cancer Tidak menganjurkan skrining rutin.
Network Pada pasien dengan risiko tinggi
(riwayat keluarga kanker ovarium,
mengalami mutasi BRCA) dianjurkan
untuk dilakukan skrining dengan CA-
125 dan TVS setiap 6 bulan mulai usia
35 tahun atau 5-10 tahun sebelum usia
pertama kali keluarga terdiagnosis
kanker ovarium.
Pada pasien dengan mutasi BRCA yang
telah memiliki jumlah anak cukup
20

dianjurkan untuk dilakukan salfingo-


ooforektomi profilaksis.

Saat ini juga telah dikembangkan perhitungan untuk menilai kemungkinan


keganasan dari tumor ovarium, yakni dengan Risk of Malignancy Index. Dengan
komponen yang terdiri dari status menopause, CA-125 dan USG. Penghitungan
tersebut tentu memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibanding hanya dengan
mengandalkan kadar CA-125 saja. Pertama kali diperkenalkan oleh Jacob dkk
pada tahun 1990, RMI telah disempurnakan pada tahun 1996 (RMI II) dan 1999
(RMI III) oleh Tingulstad dkk.7
RMI merupakan prediktor yang akurat untuk keganasan. Nilai sensitifitas
RMI adalah sebesar 85% dan spesitifitas sebesar 97 %. RMI memiliki potensi
untuk mengurangi jumlah prosedur operasi pada tumor yang jinak dibandingkan
dengan hanya menggunakan CA-125 sebagai marker. Hal ini berkaitan dengan
tingginya positif palsu pada CA-125. Namun secara umum RMI memiliki nilai
subjektivitas yang tinggi pada interpretasi USG, sehingga hasilnya dapat
bervariasi. 23

Tabel 2.6 Penghitungan Risk of Malignancy Index7

RMI = M x U x C

Dimana :
M : Status menopause ( 1 = premenopause; 3 = postmenopause)
U : Ultrasonografi ( 0= Normal; 1 untuk masing-masing penemuan : kista
unilokuler, kista bilateral, ascites, metastasis ; skor maksimal = 3)
C : Kadar CA-125

RMI > 200 menunjukkan kemungkinan besar kanker ovarium.


21

2.2.4.2 CA-125 untuk Diagnosis Kanker Ovarium


Untuk membedakan apakan kanker ovarium merupakan kanker yang berasal
dari ovarium atau akibat dari metastasis ke ovarium saat ini masih merupakan
tantangan bagi para klinisi. Salah satu kanker tersering yang bermetastasis ke
ovarium adalah kanker kolorektal. Yedema dkk meneliti kombinasi CA-125 dan
CEA untuk membedakan apakah kanker berasal dari ovarium atau dari kolorektal
untuk menegakkan diagnosis sebelum dilakukannya terapi operatif. Penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa sensitifitas dan spesitifitas untuk diagnosis kanker
ovarium meningkat pada pasien dengan kadar CA-125 diatas 35U/mL serta kadar
CEA < 5ng/mL. Lebih lanjut perbandingan kadar CA-125/CEA diatas 25
memiliki sensitifitas 91% dan spesitifitas 100% untuk diagnosis kanker ovarium.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Sorensen dan Mosgaard juga mendukung
penggunaan kombinasi CA-125 dan CEA untuk diagnosis kanker ovarium. Pada
pasien dengan kadar CEA > 5ng/mL 68% ditemukan keganasan diluar ovarium.
Dari hasil penelitian-penelitian tersebut dapat dipertimbangkan penggunaan kadar
CA-125 dan CEA untuk mendiagnosis kanker ovarium primer.25

2.2.4.3 CA-125 untuk Monitoring Terapi Kanker Ovarium


Salah satu fungsi CA-125 yang sering digunakan adalah untuk memonitor
respon terhadap terapi pada kanker ovarium. Pada pasien dengan kanker ovarium
yang telah dilakukan terapi operatif, Zivanovic dkk menemukan adanya
penurunan kadar CA-125 setelah operasi. Besarnya penurunan kadar CA-125 ini
berhubungan dengan volume tumor yang tersisa setelah operasi dan kadar CA-125
sebelum operasi. Pasien dengan volume residu tumor minimal setelah operasi
memiliki penurunan kadar CA-125 yang lebih signifikan dibandingkan dengan
pasien dengan operasi debulking suboptimal, sehingga dapat dikatakan bahwa
kadar CA-125 setelah operasi mencerminkan besarnya residu penyakit tersebut.1
22

Penelitian saat ini juga mempertimbangkan penilaian kadar CA-125


sebelum dimulainya kemoterapi sebagai marker untuk menilai prognosis penyakit.
Pada pasien yang telah mengalami operasi, kadar CA-125 diperiksa sebelum
dimulainya kemoterapi. Jika digunakan bersamaan dengan faktor-faktor klinis
lainnya seperti staging penyakit, residu tumor, tipe histologis penyakit, dan usia,
CA-125 dapat digunakan untuk menilai prognosis pasien. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Gynecologic Oncology Group Study didapatkan bahwa
peningkatan kadar CA-125 sebanyak 1x lipat berhubungan dengan peningkatan
risiko progresif penyakit sebesar 7%. Dengan demikian kadar CA-125 sebelum
dimulainya kemoterapi dapat membantu memberikan gambaran terhadap klinisi
akan prognosis pasien. 26
Pada pasien yang telah dilakukan kemoterapi, CA-125 dapat digunakan
untuk memonitor respon terhadap terapi. Menurut Rustin dkk dan The
Gynecologic Cancer Inter Group (GCIG) ada tiga kategori respon terapi, yaitu :
1) Respon komplit dimana kadar CA-125 kembali ke nilai normal pada dua tes
serial yang dilakukan dengan interval 1 bulan dan tidak ditemukannya
gambaran ultrasonografi yang mengarah pada kanker ovarium; 2) Respon parsial
dimana terjadi penurunan kadar CA-125 sebanyak 50% pada dua tas serial dengan
interval 28 hari; dan 3) Progresif dimana kadar CA-125 meningkat menjadi dua
kali lipat. Untuk menilai respon terapi tersebut diperlukan minimal pengukuran
kadar CA-125 sebanyak dua kali, dimana pengukuran terakhir dilakukan 1
minggu sebelum dimulainya terapi.27
Penelitian lain menyebutkan bahwa penurunan kadar CA-125 sampai
separuh nilai sebelumnya setelah kemoterapi seri kedua merupakan prediktor
respon terapi yang baik, sebaliknya peningkatan kadar CA-125 menunjukkan
kemungkinan kemoresistensi dan perlu dipertimbangkan untuk mengganti
regimen terapi.7 Pasien dengan kadar serum CA-125 yang kembali ke nilai normal
(<35U/mL) setelah dua seri kemoterapi juga memiliki angka survival yang lebih
panjang dibandingkan dengan kelompok yang mengalami penurunan CA-125 ke
nilai normal setelah kemoterapi seri ketiga atau lebih.8
23

Prat dkk juga melakukan penelitian yang memfokuskan pada peranan CA-
125 untuk menilai prognosis penyakit. Pada penelitian ini kadar CA-125 diukur
setelah dilakukan tindakan operasi dan diikuti dengan pemberian kemoterapi.
Pada pasien dengan kadar CA-125 kembali ke nilai normal (0-35 U/mL) didapati
adanya perbedaan angka survival, risiko terjadinya relaps dan lamanya waktu
sampai terjadinya relaps pada dua kelompok yakni pada kelompok dengan kadar
CA-125 10U/mL dan kelompok dengan kadar CA-125 11-35U/mL. Pada pasien
dengan kadar CA-125 10U/mL memiliki nilai prognosis yang lebih baik
dibandingkan kelompok dengan kadar CA-125 11-35U/mL.26

2.2.4.4 CA-125 untuk Monitoring Rekurensi Kanker Ovarium


Secara rata-rata, pasien dengan kanker ovarium yang mengalami rekurensi
memiliki harapan hidup sebesar 12-18 bulan setelah gejala klinis rekurensi
terdeteksi. Namun pada sekelompok kecil penderita ada yang berespon terhadap
pengobatan dan mampu bertahan hidup sampai hampir 10 tahun. Sehingga studi
di masa depan diharapkan dapat meningkatkan kualitas terapi dari rekurensi
kanker ovarium.22
Meskipun CA-125 telah digunakan secara luas untuk berbagai tujuan, US
Food and Drug administration (FDA) hanya mengindikasikan CA-125 sebagai
marker untuk memonitor rekurensi kanker ovarium. Nilai kadar CA-125 dapat
menjadi faktor prognosis untuk terjadinya rekurensi kanker ovarium karena
adanya peningkatan CA-125 meskipun hanya sedikit dapat menunjukkan
terjadinya rekurensi.23
Peningkatan kadar CA-125 ditemukan pada 56-94% kasus kanker ovarium
yang mengalami rekurensi. Waktu rata-rata terjadinya tanda dan gejala kanker
ovarium setelah ditemukannya peningkatan kadar CA-125 saat follow up adalah
3-5 bulan. Sebaliknya, pada 50% pasien dengan nilai kadar CA-125 yang normal
setelah dilakukan kemoterapi ternyata ditemukan kanker ovarium persisten dalam
jumlah yang sedikit setelah dilakukan second look surgery.28
Penelitian yang dilakukan oleh Mahner dkk mendapatkan kesimpulan yakni
pada pasien yang mengalami rekurensi didapatkan peningkatan kadar CA-125.
24

Jika ditemukan kadar CA-125 yang sedikit diatas 35U/mL saja klinisi harus sudah
mencurigai terjadinya rekurensi. Mahner dkk menyatakan bahwa peningkatan
kadar CA-125 sebanyak 10 U/mL atau peningkatan sebesar 100% dari kadar rata-
rata sebelumnya merupakan prediktor yang akurat untuk terjadinya rekurensi
kanker ovarium. Namun, masih diperkukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah
sampel yang lebih banyak untuk dapat menggunakan batasan tersebut sebagai
kriteria rekurensi pada kanker ovarium.30
Pasien dengan kanker ovarium yang telah dinyatakan mengalami remisi
komplit setelah terapi primer akan di cek kadar serum CA-125 setiap 3 bulan
untuk monitoring terjadinya rekurensi. Diharapkan dengan pemantauan berkala
ini rekurensi akan terdeteksi lebih awal sehingga intervensi terapi dapat lebih
cepat dilakukan dan meningkatkan angka harapan hidup. Penelitian yang
dilakukan oleh Rustin dan Van Der Burg pada tahun 2009 juga mendukung bahwa
CA-125 secara akurat dapat memprediksi terjadinya rekurensi kanker ovarium.
Peningkatan kadar CA-125 pada rekurensi kanker ovarium terjadi jauh sebelum
munculnya gejala klinis. Namun ternyata angka survival pada pasien yang
terdeteksi dini mengalami rekurensi tidak berbeda secara signifikan, sehingga
terapi dini dari rekurensi penyakit masih menjadi kontroversi.25,31
Pasien dengan peningkatan kadar CA-125 setelah dilakukan terapi, namun
dengan tidak adanya tanda dan gejala klinis juga menimbulkan dilema yang berat
bagi para klinisi untuk melakukan keputusan. Untuk menyelesaikan masalah
tersebut, The Medical Research Council (MRC) OV05/ European Organization
for Research and Treatment of Cancer (EORTC)55955 melakukan penelitian
terhadap 1442 pasien yang telah mengalami remisi komplit setelah pengobatan
operatif dan dilanjutkan dengan kemoterapi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
pada pasien dengan peningkatan kadar CA-125 namun asimptomatik, tidak
diperlukan kemoterapi tambahan sampai munculnya gejala klinis. Jika
memungkinkan, pemeriksaan CT scan dilakukan dan bila hasilnya menunjukkan
tidak adanya tumor atau tumor dengan ukuran minimal, dapat mendukung
penundaan kemoterapi.31
25

Jika dilakukan kemoterapi, ada peluang besar tumor dapat mengalami


respon terhadap terapi, namun perlu diketahui bahwa pengobatan penyakit secara
komplit sangatlah jarang ditemukan. Pengobatan dini pada pasien yang
mengalami rekurensi memiliki berbagai keuntungan, antara lain penundaan
munculnya gejala yang berhubungan dengan rekurensi kanker, memberikan
ketenangan secara psikologis terhadap pasien dan mungkin dapat meningkatkan
angka survival walaupun sedikit. Kerugian dilakukannya pengobatan dini adalah
berkurangnya waktu dimana pasien terbebas dari kemoterapi, dan meningkatnya
efek samping toksisitas dari kemoterapi. Diharapkan pasien dijelaskan dan
mengerti tentang keuntungan dan kerugian terapi tersebut sebelum dimulainya
terapi saat ditemukannya peningkatan kadar CA-125 selama follow-up sehingga
dokter dan pasien dapat menentukan apakah diperlukan pengobatan dini dari
rekurensi kanker ovarium.25,31
BAB III
RINGKASAN

Tingginya angka mortalitas yang disebabkan oleh kanker ovarium


memberikan tantangan bagi para klinisi untuk mampu mendiagnosis dini dan
menilai repon terapi yang diberikan. Selain itu karena tingginya angka rekurensi
kanker ovarium, penting pula untuk memonitor terjadinya rekurensi kanker
ovarium. Untuk itulah diperlukan suatu marker untuk membantu baik diagnosis,
deteksi dini dan monitoring dari kanker ovarium, diantaranya adalah CA-125.
CA-125 atau disebut juga Cancer Antigen 125 atau Carbohydrate Antigen
125 pertama kali ditemukan oleh Bast dkk pada tahun 1981. CA-125 terdapat
pada semua jaringan yang berasal dari derivat sel mesotel dan epitel coelomik,
diantaranya pleura, perikardium, peritoneum, tuba, endometrium dan endoserviks.
CA-125 merupakan glikoprotein transmembran yang memiliki karakteristik mirip
dengan protein yang berikatan dengan mucin. Karena itu CA-125 disebut juga
dengan MUC-16. CA-125 diketahui meningkat pada kanker ovarium, namun
hanya tipe epitelial yang menyebabkan peningkatan kadar CA-125. Kadar CA-
125 pada individu normal adalah < 35IU/L.
Saat ini, pemeriksaan CA-125 sudah sering digunakan dalam berbagai
praktik klinis. Pemeriksaan CA-125 sebagian besar dilakukan pada pasien dengan
kecurigaan kanker ovarium maupun keganasan lain. Terdapat perbedaan pola
kenaikan serum CA-125 pada keganasan dan non keganasan, dimana pada
keganasan kadar serum CA-125 cenderung terus meningkat sementara pada non
keganasan kadar CA-125 akan statis atau menurun. CA-125 secara luas digunakan
untuk skrining kanker ovarium. Pada kanker ovarium stadium II, III, dan IV CA-
125 meningkat pada 90% kasus, namun hanya 50% dari kanker ovarium stadium I
yang mengalami peningkatan kadar CA-125. Selain itu, karena banyaknya kondisi
lain yang mempengaruhi peningkatan CA-125, maka spesitifitas CA-125 sebagai
marker kanker ovarium juga rendah. Ditambah dengan biaya pemeriksaan yang
cukup mahal, maka dapat disimpulkan bahwa CA-125 saja tidaklah cukup untuk
dijadikan marker rutin deteksi dini kanker ovarium. Namun, pada beberapa
26
kelompok dengan risiko tinggi terkena kanker ovarium, kemungkinan CA-125
dapat digunakan untuk deteksi dini.
Pada pasien kanker ovarium yang telah dilakukan terapi operatif, Zivanovic
dkk menemukan adanya penurunan kadar CA-125. Penurunan kadar CA-125 ini
berhubungan dengan volume tumor yang tersisa. Pada pasien yang dilakukan
kemoterapi, penurunan kadar CA-125 sampai separuh nilai sebelumnya setelah
kemoterapi seri kedua merupakan prediktor respon terapi yang baik, sebaliknya
peningkatan kadar CA-125 menunjukan kemungkinan kemoresistensi dan perlu
dipertimbangkan untuk mengganti regimen terapi. Pasien dengan kadar serum
CA-125 yang kembali ke nilai normal (<35U/mL) setelah dua seri kemoterapi
juga memiliki angka survival yang lebih panjang dibandingkan dengan kelompok
yang mengalami penurunan CA-125 ke nilai normal setelah kemoterapi seri ketiga
atau lebih.
Nilai kadar CA-125 juga dapat menjadi faktor prognosis untuk terjadinya
rekurensi kanker ovarium. CA-125 secara akurat dapat memprediksi terjadinya
rekurensi kanker ovarium. Namun ternyata angka survival pada pasien yang
terdeteksi dini mengalami rekurensi tidak berbeda secara signifikan, sehingga
terapi dini dari rekurensi penyakit masih menjadi kontroversi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Zivanovic, O., Sima, C.S., Iansonos, A., Bell-McGuinn, K., Sabbatini, P.J.,
Leitao, M.M., et al. Exploratory analysis of serum CA-125 response to
surgery and the risk of relapse in patient with FIGO stage IIIC ovarian
cancer. Gynecologic Oncology 115, 2009: 209-214.
2. Fauzan, R. Gambaran faktor risiko penggunaan kontrasepsi terhadap
angka kejadian kanker ovarium di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta berdasarkan pemeiksaan histopatologik. (Tesis). Jakarta :
Universitas Indonesia, 2009
3. Karyana, K. Profil kanker ovarium di Rumah Sakit Sanglah Denpasar
periode Januari-Desember 2002. Denpasar : Universitas Udayana, 2004
4. Clarke-Pearson, D.L. Screening for Ovarian Cancer. N Engl J Med, 2009:
361;2.
5. Yurkovetsky, Z., Skates, S., Lomakin, A., Nolen, B., Pulsipher, T.,
Modugno, F., et al. Development of a multimarker assay for early
detection of ovarian cancer. J Clin Oncol, 2010: 28:2159-2166.
6. Schorge, J.O. et al. Williams Gynecology. Mc Graw Hill, 2008: p716.
7. Agarwal, P. and Kehoe, S. Serum tumour marker in gynaecological
cancers. Maturitas 67, 2010: 46-53.
8. Gupta, D. and Lis, C.G. Role of CA-125 in predicting ovarian cancer
survival a review of the epidemiological literature. Journal of Ovarian
Research, 2009, 2:13.
9. Gentry-Maharaj, A. and Menon, U. Screening for ovarian cancer in
general population. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and
Gynaecology 26, 2012: 243-256.
10. Berek, J. Epithelial ovarian cancer: Piver editor. Handbook of gynecologic
oncology. 2nd edition. Lipponcott Williams&wilkins, 2005: p586.
11. Karst, A.M. and Drapkin, R. Ovarian cancer pathogenesis : a model in
evolution. Journal of Oncology, 2010: Article ID 932371.
12. Kumar, V., Abbas, A., Fausto, N., Aster, J. Robbins and Cotran Pathologic
Basis of Disease. 8th ed, Saunders Elsevier, Philadelphia, 2010.
13. Choi, J.H., Wong, A.S.T., Huang, H.F., Leung, P.C. 2007. Gonadotropins
and ovarian cancer. Endocrine Reviews. 28 (4): 440-461

28
14. Baron, A.T, Boardman, C.H., Lafky, J.M., Rademaker, A., Liu, D.,
Fishman, D.A., et al. Soluble epidermal growth factor receptor (SEG-FR)
and Cancer Antigen 125 (CA-125) as screening and diagnostic test for
epithelial ovarian cancer. Cancer Epidemiol Biomarker Prev, 2005; 14(2).
15. Jelovac, D., and Amstrong, D. Recent progress in the diagnosis and
treatment of ovarian cancer. Ca Cancer J Clin 2011; 61:183-203.
16. Boivin, M., Lane, D., Piche, A., Rancourt, C. CA125 (MUC16) tumor
antigen selectively modulates the sensitivity of ovarian cancer cells to
genotoxic drug-induced apoptosis. Gynecologic Oncology 115, 2009: 407-
413.
17. Rancourt, C., Matte, I., Lane, D., Piche, A. The role of MUC16 mucin
(CA125) in the pathogenesis of ovarian cancer. Ovarian Cancer- Basic
Science Perspective, available from : www.intechopen.com. Diunduh pada
2 Februari 2014.
18. Scholler, N. and Urban, N. 2007. CA125 in ovarian cancer. Biomark Med,
2007: December; 1(4): 513-523.
19. Moss, E.L., Hollingworth, J., Reynolds, T.M. The role of CA125 in
clinical practice. J Clin Pathol, 2005; 58:308-312.
20. Das, P.M. and Bast, R.C. Early Detection of ovarian cancer. Biomark Med,
2008: June; 2(3): 291-303.
21. Visintin, I. et al.Diagnostic markers for early detection of ovarian cancer.
Clin Cancer Res, 2008; 14(4).
22. Rarung, M. Sensitifitas dan spesifisitas petanda tumor CA125 sebagai
prediksi keganasan ovarium. JKM Vol.8 No.1, Juli 2008: 9-14.
23. Jordan, S.M., and Bristow, R.E. Ovarian cancer biomarkers as diagnostic
triage test. Current Biomarker Findings 2013:3 35-42.
24. Skates, S.J., Horick, N., Yu, Y., Xu, F.J., Berhuck, A., Havrilesky, L.J. et
al. Preoperative sensitivity and specificity for early stage ovarian cancer
when combining Cancer Antigen CA-125II, CA 15-3, CA 72-4, and
Macrophage Colony-Stimulating Factor using mixtures of Multivariate
normal distributions. J Clin Oncol 22: 40599-4066; 2004.
25. Kobayashi, E., Ueda, Y., Matsuzaki, S., Yokoyama, T., Kimura, T.,
Yoshino, K. et al. Biomarker for screening, diagnosis, and monitoring of
ovarian cancer. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev; 21(11) Nov 2012.
26. Prat, A., Parera, M., Peralta, S., Perez-Benavente, M.A., Garcia, A., Gil-
Moreno, A. et al. Nadir CA-125 concentration in the normal range as an
independent prognostic factor for optimally treated advanced epithelian
ovarian cancer. Annals of Oncology 19: 327-331, 2008.
27. Zorn, K.K., Tian, C., McGuire, W.P., Hoskins, W.J., Markman, M.,
Muggia, F.M. The Prognostic value of pretreatment CA 125 in patients
with advanced ovarian carcinoma. Cancer 2009; 10.1002/cncr.24084.
28. Pignata, S., Canella, L., Leopardo, D., Bruni, G.S., Facchini, G., Pisano,
C. Follow-up with CA-125 after primary therapy of advanced ovarian
cancer : In favor of continuing to prescribe CA-125 during Follow up.
Annals of Oncology 22 (supplement 8): viii40-viii44, 2011.
29. Bast Jr, R.C. Commentary : CA125 and the detection of reccurent ovarian
cancer : A reasonably accurate biomarker for a difficult disease. Cancer,
2010: June 15; 116(12): 2850-2853.
30. Mahner, S., Woelber, L., Jung, S., Eulenburg, C.Z., Ihnen, M., Schwarz, J.
et al. Prognostic significance of CA-125 in the management of patients
with reccurent epithelial ovarian carcinoma selected for secondary
cytoreduction. Anticancer Research 29:2817-2822 (2009).
31. Rustin, G.J.S. Follow up with CA-125 after primary therapy of advanced
ovarian cancer has major implications for treatment outcome and trial
performances should not be routinely performed. Annals of Oncology 22
(supplement 8): viii45-viii48, 201

Anda mungkin juga menyukai