Anda di halaman 1dari 6

Jakarta - Bareskrim Polri membongkar jaringan pembuat dan pengedar vaksin palsu.

Hal ini
menimbulkan keresahan bagi orang tua yang memiliki bayi dan balita yang membutuhkan vaksin
untuk kesehatan buah hatinya.

Namun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan bahwa peredaran vaksin palsu tersebut
tidak perlu terlalu dirisaukan. Meski memang tetap harus diwaspadai, namun Kemenkes memberi
petunjuk agar para orang tua tidak perlu terlalu waswas dengan hal tersebut.

Melalui akun Twitter resmi @KemenkesRI, Kemenkes menyampaikan 7 alasan agar masyarakat tidak
perlu khawatir dengan peredaran vaksin palsu. Berikut alasan yang disampaikan tersebut:

1. Jika anak Anda mendapatkan imunisasi di Posyandu, Puskesmas, dan Rumah Sakit Pemerintah,
vaksin disediakan oleh pemerintah yang didapatkan langsung dari produsen dan distributor resmi.
Jadi vaksin dijamin asli, manfaat dan keamanannya

2. Jika anak Anda mengikuti program pemerintah yaitu imunisasi dasar lengkap di antaranya
Hepatitis B, DPT, Polio, Campak, BCG, pengadaannya oleh pemerintah didistribusikan ke Dinas
Kesehatan hingga fasyankes. Jadi dijamin asli, manfaat dan keamanannya.

3. Jika peserta JKN dan melakukan imunisasi dasar misalnya vaksin BCG, Hepatitis B, DPT, Polio dan
Campak, pengadaan vaksin didasarkan pada Fornas dan e-catalog dari produsen dan distributor
resmi, jadi asli dan aman

4. Ikuti program imunisasi ulang seperti DPT, Polio, Campak. Tanpa adanya vaksin palsu, imunisasi
ini disarankan (harus) diulang. Jadi bagi yang khawatir, ikut saja imunisasi ini di posyandu dan
puskesmas.

5. Diduga peredaran vaksin palsu tidak lebih dari 1% wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Ini
relatif kecil secara jumlah vaksin yang beredar dan wilayah sebarannya.

6. Dikabarkan isi palsu itu campuran antara cairan infus dan gentacimin (obat antibiotik) dan setiap
imunisasi dosisnya 0,5 CC. Dilihat dari isi dan jumlah dosisnya, vaksin palsu ini dampaknya relatif
tidak membahayakan.

7. Karena vaksin palsu dibuat dengan cara yang tidak baik, maka kemungkinan timbulkan infeksi.
Gejala infeksi ini bisa dilihat tidak lama setelah diimunisasikan. Jadi kalau sudah sekian lama tidak
mengalami gejala infeksi setelah imunisasi bisa dipastikan aman. Bisa jadi anak Anda bukan
diimunisasi dengan vaksin palsu, tetapi memang dengan vaksin asli.

Sebelumnya, Menkes Nila Moeloek mengaku tengah mendata rumah sakit atau fasilitas kesehatan
mana saja yang memakai vaksin palsu itu. Nila mengaku belum tahu pasti di mana saja peredaran
vaksin palsu tersebut. Dia tengah berkoordinasi dengan Bareskrim Polri terkait hal itu.

"Vaksin itu sebenarnya sejak 2003 sudah ada yang ditangkap, sekarang sedang didata rumah sakit
yang pakai," kata Menkes Nila Moeloek usai menghadiri acara Hari Anti Narkoba Internasional di Jl
Cengkeh, Tamansari, Jakarta Barat, Minggu (26/6/2016).

"Saya belum tahu, tapi sedang didata (tempat peredarannya). Tapi coba tanya ke Bareskrim saja,"
imbuhnya.

Vaksin palsu itu menggunakan botol bekas vaksin yang kemudian diisi dengan antibiotik Gentacimin
yang dioplos dengan cairan infus, lalu diberi label. Cairan lainnya yang dipakai sebagai oplosan
adalah cairan infus dengan vaksin tetanus.

Diduga peredaran vaksin palsu terjadi di rumah sakit kecil atau klinik-klinik. Kemenkes mengimbau
orang tua yang khawatir anaknya disuntik vaksin palsu untuk melapor.
(dhn/dhn)

Dalam minggu ini, kita dikejutkan oleh munculnya berita tentang peredaran vaksin palsu. Bagi para orang
tua tentu saja ini bukan sekedar berita buruk tapi juga sekaligus menakutkan apalagi dikabarkan bahwa
vaksin palsu tersebut telah beredar sejak tiga belas tahun ke belakang. Tentu saja hal ini membuat kesal
dan marah banyak pihak, mulai dari instansi medis, para orang tua, pemerhati anak, termasuk semua
orang yang pernah dan akan melakukan vaksinasi/imunisasi. Namun kita jangan lengah dan larut dalam
kekhawatiran, dengan adanya hal ini justru menjadi introspeksi bagi pemerintah tentang bagaimana sistem
produksi dan distribusi vaksin dan obat-obatan yang beredar di Indonesia. Karena sebenarnya ini bukan
hanya soal peredaran vaksin palsu, tetapi mencakup bagaimana fungsi kontrol/pengawasan pemerintah
terhadap sistem distribusi dan perdagangan obat-obatan yang beredar.

Di Jakarta, kita bisa dengan mudah memperoleh berbagai obat-obatan murah di beberapa lokasi pasar
grosir yang menjual obat-obatan. Apakah kita sudah pasti tahu bahwa obat-obatan tersebut legal dan
aman? Apakah sebegitu mudahnya peredaran obat-obatan dapat sampai langsung ke tangan konsumen?
Apakah ini menjadi kemungkinan celah beredarnya obat-obatan secara bebas termasuk obat dan vaksin
palsu?

Menyimak kasus vaksin palsu yang terjadi sesungguhnya bila dirunut akan banyak koreksi mengapa hal
tersebut bisa terjadi, tentu pasti ada celah-celah yang memungkinkan terjadinya peredaran ilegal tersebut.
Hal ini juga tentunya disebabkan lemahnya pengawasan pemerintah termasuk Lembaga BPOM yang
dalam hal ini memiliki kapasitas dan wewenang dalam hal peredaran obat-obat dan vaksin di Indonesia.
Lemahnya pengawasan mengakibatkan adanya oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang
memanfaatkan keadaan untuk dapat mencari keuntungan melalui jalan pintas. Sebenarnya Indonesia
sendiri sudah memiliki regulasi yang mengatur tentang bagaimana alur distribusi obat-obatan dapat
beredar dan sampai langsung ke tangan konsumen dengan benar dan aman. Namun ternyata, masih ada
celah yang bisa disusupi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang saling bekerja sama.
Disinilah mental korup dapat kita lihat dengan jelas di depan mata. Mencari keuntungan di atas
kebohongan, mencari laba di atas ketidakberdayaan masyarakat awam. Bukan tidak mungkin ini terjadi
adanya kongkalikong dari banyak pihak yang membuat kasus ini bisa terjadi, bahkan sampai belasan
tahun lamanya. Betapa mirisnya.

Kendati demikian, dengan diketahuinya kasus ini, pemerintah sudah seharusnya meninjau ulang tentang
regulasi sekaligus merevisi pelaksanaan tentang peredaran legal obat-obatan termasuk vaksin di lapangan
demi memberikan perlindungan serta menjamin rasa aman dan nyaman masyarakat tentang cara
mendapatkan termasuk penggunaan obat-obatan secara legal.
Untuk mengurangi sedikit kekhawatiran masyarakat, Kemenkes RI melalui akun resmi twitternya
@KemenkesRI menyampaikan 7 (tujuh) alasan agar masyarakat tidak perlu khawatir dengan peredaran
vaksin palsu. Berikut alasan tersebut.

1. Jika anak anda mendapatkan imunisasi di Posyandu, Puskesmas, dan Rumah Sakit Pemerintah, vaksin
disediakan oleh pemerintah yang didapatkan langsung dari produsen dan distributor resmi. Jadi vaksin
dijamin asli, manfaat dan keamanannya.

2. Jika anak anda mengikuti program pemerintah yaitu imunisasi dasar lengkap di antaranya Hepatitis B,
DPT, Polio, Campak, BCG, pengadaannya oleh pemerintah didistribusikan ke Dinas Kesehatan hingga
Fasyankes. Jadi dijamin asli, manfaat dan keamanannya.
3. Jika peserta JKN dan melakukan imunisasi dasar misal Vaksin BCG, Hepatitis B, DPT, Polio dan
Campak, pengadaan vaksin didasarkan Fornas dan e-catalog dari produsen dan distributor resmi, jadi asli
dan aman.

4. Ikuti program imunisasi ulang seperti DPT, Polio, Campak. Tanpa adanya vaksin palsu, imunisasi ini
disarankan (harus) diulang. Jadi bagi yang khawatir, ikut saja imunisasi ini di posyandu dan puskesmas.

5. Diduga peredaran vaksin palsu tidak lebih dari 1% wilayah Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Ini relatif
kecil secara jumlah vaksin yang beredar dan sebarannya.

6. Dikabarkan isi vaksin palsu itu campuran antara cairan infus dan gentacimin (obat antibiotik) dan setiap
imunisasi dosisnya 0,5 cc. Dilihat dari isi dan jumlah dosisnya, vaksin palsu ini dampaknya tidak terlalu
membahayakan.

7. Karena vaksin palsu dibuat dengan cara yang tidak baik, maka kemungkinan akan timbulkan infeksi.
Gejala infeksi ini bisa dilihat tidak lama setelah diimunisasikan. Jadi kalau sudah sekian lama tidak
mengalami gejala infeksi setelah imunisasi bisa dipastikan aman. Bisa jadi anak anda buka diimunisasi
dengan vaksinpalsu tapi memang dengan vaksin asli.

Semoga beberapa penjelasan dari kemenkes tersebut dapat mengurangi sedikit kekhawatiran bagi kita
semua yang terlanjur takut bahkan menjadikan imunisasi /vaksinasi sebagai momok yang mengerikan dan
perlu dihindarkan. Mari teliti dalam memilih fasilitas kesehatan untuk melakukan vaksinasi. Mari pula tetap
menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi. S

JAKARTA, Indonesia Masyarakat Indonesia dibuat gempar dengan temuan vaksin palsu
yang beredar di 28 sarana kesehatan di tanah air. Fakta ini terungkap setelah Badan Reserse
Kriminal (Bareskrim) Polri membekuk Rita Agustina dan Hidayat Taufiqurahman pada
Selasa, 21 Juni, lalu.

Pasangan suami istri ini ditangkap di kediaman mereka di perumahan Kemang Pratama
Regency, Bekasi. Dari penangkapan itu, polisi menyita barang bukti berupa 36 dus atau
sekitar 800-an ampul vaksin palsu. Hasil penyidikan mengungkapkan peredaran vaksin palsu
ini telah menjalar ke berbagai daerah di Indonesia.

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan vaksin palsu? Apa bahayanya dan bagaimana jalur
perdagangannya?

Jalur ilegal dan vaksin oplosan

BPOM DAN VAKSIN PALSU. Plt. Kepala BPOM Bahdar Johan memaparkan tentang
vaksin palsu di Jakarta, Selasa, 28 Juni 2016.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan
Imunisasi, sarana kesehatan hanya bisa mengambil vaksin dari jalur resmi. Maksudnya, dari
produsen dan distributor vaksin yang sudah terdaftar.

Beberapa nama produsen resmi yang disebutkan Plt. Kepala Badan Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) Bahdar Johan adalah Sanofil dan Biofarma. Terkait dengan distributor,
menurut dia, tak semua apotek bisa menyediakan vaksin.

"Ada persyaratan yang harus dipenuhi," kata dia. Salah satunya adalah keberadaan lemari
pendingin khusus supaya vaksin tidak mencair selama dibawa ke rumah sakit atau klinik.

Bahdar menjamin semua yang dikeluarkan oleh produsen dan distributor resmi adalah vaksin
asli. Lalu, bagaimana vaksin palsu bisa beredar di rumah sakit?

Vaksin yang bisa dikatakan palsu adalah yang sudah dicampur dengan bahan antibiotik
lainnya. Salah satu yang sudah terbukti adalah tuberkulin yang ternyata dicampur dengan
gentacimin; antibiotik yang tidak memiliki dampak apapun.

Bila lewat jalur resmi, sudah tentu tak akan lolos uji kelayakan. Maka, Bahdar memastikan
vaksin ini banyak beredar di jalur ilegal. Seperti toko obat tidak bersertifikat yang ada di
Pasar Pramuka atau Kramat Jati; hingga yang tidak terdeteksi pemerintah maupun aparat.

"Biasanya karena mereka suka menawarkan harga yang lebih murah. Bisa selisih sampai Rp
200-500 ribu (dari asli). Kalau (petugas) waras pasti tidak mau ambil," kata dia. Selain itu,
permintaan konsumen yang 'tidak mau vaksin lokal' atau 'vaksin tidak wajib' juga menjadi
celah para freelancer ini beroperasi.

Selain itu, ada pula celah dari pembuangan limbah (kemasan sisa vaksin) yang tak sesuai
prosedur dari sarana kesehatan. Botol maupun kemasan bekas ini dapat 'didaur ulang' untuk
vaksin palsu.

"Tapi kami tidak berwenang sampai ke sana, harus dari Dinas Kesehatan," kata dia.

Dari segi kemasan pun ada perbedaan. Menurut Bahdar, vaksin keluaran Biofarma memiliki
tutup karet berwarna abu-abu. Sementara keluaran Sanofil bisa terlihat dari tanggal
kadaluarsanya yang berjarak 2 tahun dari produksi.

"Kalau berbeda, maka konsumen patut curiga," kata dia.

Dampak?

Apakah vaksin palsu ini berbahaya bagi masyarakat? Menurut Bahdar, tidak ada ancaman
serius terhadap kesehatan anak.

"Karena dosisnya cuma 0,05 mili itu aman," kata dia. Namun, bahaya yang sesungguhnya
adalah, kepercayaan dari orang tua.

Imunisasi bertujuan supaya anak-anak terbebas dari ancaman polio, tetanus, hepatitis, dan
penyakit berbahaya lainnya. Dengan terkuaknya vaksin palsu ini, orang tua kembali ragu
apakah buah hati mereka benar-benar terbebas.
"Yang tadinya dikira aman, ternyata tidak," kata dia. Karena itulah, Kementerian Kesehatan
menawarkan vaksinasi ulang.

Apalagi, ketahuan kalau pembuat vaksin palsu ini sudah beroperasi sejak 2003 lalu. Berapa
juta anak yang tubuhnya dialiri cairan tak bermanfaat ini dan berpikir kalau dirinya aman?

Menteri Kesehatan Nina F. Moeloek tidak akan memungut biaya apapun selama periode
penyuntikan ulang ini. "Kita periksa kekebalan tubuhnya ada (vaksin) atau tidak. Kalau tidak
ada, ya kita berikan vaksin," kata dia.

Tim khusus hingga RUU pengawasan obat

Paska terungkapnya produsen vaksin palsu, Bareskrim Polri, BPOM, dan Kementerian
Kesehatan akhirnya memutuskan untuk membuat satuan tugas pengawasan obat. Menurut
Bahdar, BPOM akan melibatkan para produsen dari Biofarma dan Sanofil.

"Karena mereka bisa membedakan," kata dia.

Secara terpisah, Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal
(Pol) Agung Setya mengatakan pertemuan pertama satgas akan berlangsung pada Rabu, 29
Juni.

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Maura
Linda Sitanggang mengatakan satgas penting untuk dibentuk supaya ada tindak lanjut dari
temuan soal vaksin palsu.

"Dari suplai, kami dorong supaya dinolkan, ditiadakan sama sekali. Satgas nanti akan
bergerak mencari titik di mana dicurigai terima vaksin ini," kata Linda.

Selain itu, BPOM juga meminta adanya penambahan wewenang mereka dalam hal
pengawasan obat. Hal ini akan dimasukkan dalam RUU Pengawasan Obat dan Makanan
yang diusulkan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat kemarin.

"Kami kan tak bisa bergerak dalam hal penyadapan, maupun bergerak razia sendiri. Pada
proses hulu kami tak bisa. Itu akan dievaluasi," kata dia. Namun, ini bukan alasan BPOM
untuk membela diri.

Bagaimanapun juga, mereka telah gagal mengawasi peredaran vaksin di rumah sakit dan
klinik.-Rappler.com
BACA JUGA:

Bareskrim: 4 rumah sakit di

Anda mungkin juga menyukai