Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) adalah pembesaran progresif dari

kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasia beberapa atau

semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars

prostatika (Mutaqien, 2011). Pada BPH terjadi pembesaran kelenjar prostat

yang mengakibatkan otot destrusor tidak mampu berkontraksi sehingga terjadi

retensi urine yang berdampak pada kelancaran pengeluaran urine sehingga

menimbulkan masalah gangguan eliminasi urine (Brunner and Suddarth,

2002). Selain itu masalah yang sering muncul adalah nyeri (akut) berhubungan

dengan peregangan dari terminal syaraf, disuria, resistensi otot prostat, efek

mengejan saat miksi, efek sekunder dari obstruksi uretra, nyeri pascabedah.

Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter, trauma jaringan,

insisi bedah. Ansietas berhubungan dengan prognosis pembedahan, tindakan

invasif diagnostik (Muttaqien, 2011). Berdasarkan observasi penulis pada

tanggal 7 Januari 2013 di Ruang Bougenvile RSUD Nganjuk pada lima pasien

BPH ditemukan tiga mengalami gangguan eliminasi urine dan dua mengalami

nyeri. Sehingga dari kasus tersebut penulis mengambil masalah gangguan

eliminasi urine.

Menurut WHO pada tahun 2010 terdapat 600 juta penderita BPH di

dunia (Amalia, 2011). Di Indonesia penyakit pembesaran prostat jinak

1
2

menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran kemih, biasanya terjadi

pada usia lanjut. Jika dilihat secara umumnya diperkirakan hampir pria di

Indonesia yang berusia di 60 tahun angka terjadinya sekitar 50%, pria usia 80

tahun sekitar 80% (Purnomo, 2011). Angka kejadian BPH yang pasti belum

pernah diteliti tetapi sebagai gambaran menurut hasil survey pravalence

hospital di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2010, BPH merupakan

penyakit urologi terbanyak ke-2 setelah urolithiasis, usia terbanyak 60 70

tahun, 75% dengan retensi urine (Amalia, 2011). Dan berdasarkan data hasil

rekam medik yang didapat dari RSUD Nganjuk pada tahun 2009 jumlah

penderita BPH sebanyak 8 orang, paada tahun 2010 jumlah penderita BPH

sebanyak 60 orang, pada tahun 2011 jumlah penderita BPH sebanyak 45 orang

dan pada tahun 2012 jumlah penderita BPH sebanyak 10 orang.

Pada BPH terjadi pembesaran prostat, jika prostat membesar akan meluas

ke atas (bladder), sehingga mempersempit saluran uretra prostatika dan

menyumbat aliran urine. Lama kelamaan kemampuan kompensasi menjadi

berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya

kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah

urine di dalam buli-buli saat proses miksi berakhir yang masih akut

menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan

terjadilah inkontinensia urine, sedangkan buli-buli tetap penuh. Puncak dari

kegagalan kompensasi adalah ketidakmampuan otot detrusor memompa urine

keluar sehingga mengakibatkan gangguan eliminasi urine. Keadaan ini harus

segera ditangani jika berlangsung terus menerus akan mengakibatkan


3

hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal

(Muttaqien, 2011). Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria akan

membentuk batu endapan yang menambal sehingga timbul keluhan iritasi,

hematuria dan menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme yang dapat

menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis

(Sjamsuhidajat, 2005).

Penatalaksanaan kolaboratif pada pasien dengan gangguan eliminasi urine

dapat dilakukan dengan tindakan kateterisasi. Dan tindakan keperawatan yang

dilakukan oleh perawat secara mandiri sebagai pelaksana asuhan keperawatan

pada pasien BPH dapat dilakukan dengan cara mengajarkan tekhnik bladder

training untuk menguatkan otot-otot kandung kemih. Berdasarkan uraian

diatas maka penulis tertarik untuk melakukan Asuhan Keperawatan pada Tn.

X (65 Tahun) dengan Ganggun Eliminasi Urine pada BPH (Benigna Prostat

Hiperplasia) di Ruang Bougenvile RSUD Nganjuk.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Melaksanakan asuhan keperawatan pada Tn. X (65 tahun) dengan

Gangguan Eliminasi Urine pada BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) di

Ruang Baugenvile RSUD Nganjuk secara komprehensif dengan

pendekatan proses keperawatan.


4

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian pada Tn. X (65 tahun) dengan Gangguan

Eliminasi Urine pada BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) di Ruang

Baugenvile RSUD Nganjuk.

b. Membuat diagnosa keperawatan pada Tn. X (65 tahun) dengan

Gangguan Eliminasi Urine pada BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) di

Ruang Baugenvile RSUD Nganjuk.

c. Membuat perencanaan keperawatan pada Tn. X (65 tahun) dengan

Gangguan Eliminasi Urine pada BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) di

Ruang Baugenvile RSUD Nganjuk.

d. Melakukan pelaksanaan keperawatan asuhan keperawatan pada Tn. X

(65 tahun) dengan Gangguan Eliminasi Urine pada BPH (Benigna

Prostat Hiperplasia) di Ruang Baugenvile RSUD Nganjuk.

e. Melakukan evaluasi asuhan keperawatan pada Tn. X (65 tahun)

dengan Gangguan Eliminasi Urine pada BPH (Benigna Prostat

Hiperplasia) di Ruang Baugenvile RSUD Nganjuk.

C. Pengumpulan Data

1. Interview

Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara tanya jawab.

Suatu metode digunakan untuk mengumpulkan data, dimana peneliti

mendapatkan keterangan secara lisan dari seseorang sasaran penelitian

atau responden atau bercakap-cakap, berhadapan muka dengan orang

tersebut (Notoatmodjo, 2002).


5

2. Studi dokumentasi

Cara pengumpulan data dengan melihat data yang sudah ada dalam

status klien. Catatan medik maupun dari hasil pemeriksaan penunjang

USG, Rontgen, dan pemeriksaan laboratorium (Nursalam, 2003).

3. Studi Kepustakaan

Mempelajari buku-buku dengan masalah yang ada hubungannya

dengan kasus Benigna Prostat Hiperplasia (Nursalam, 2003).

4. Observasi

Adalah suatu prosedur yang berencana antara lain meliputi :

melihat, dan mencatat jumlah data taraf aktifitas tertentu yang ada

hubungannya dengan masalah yang diteliti (Notoatmodjo, 2002).

5. Pemeriksaan Fisik

Yaitu suatu cara yang dipergunakan untuk memperoleh data

obyektif yang dilaksanakan bersamaan dengan wawancara serta bertujuan

untuk menentukan status kesehatan klien untuk mengidentifikasi masalah

kesehatan dan mengambil data dasar untuk menentukan rencana tindakan

keperawatan (Notoatmodjo, 2002).

Pemeriksaan fisik terdiri dari :

a. Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat atau melakukan

observasi terhadap keadaan klien.

b. Palpasi adalah teknik pemeriksaan fisik dengan sentuhan, rabaan

maupun sedikit tekanan pada bagian tubuh yang akan diperiksa dan

dilakukan secara teroganisir dari satu bagian ke bagian yang lain.


6

c. Perkusi adalah pemeriksaan dengan cara mengetuk.

d. Auskultasi adalah fisik yang dilakukan dengan menggunakan alat

bantu yaitu stetoskop.

D. Sistematika Penulisan

Karya tulis ini disusun secara sistematis menjadi lima bab dengan

susunan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Pendahuluan meliputi latar belakang, tujuan penulisan,

pengumpulan data, sistematika penulisan.

BAB II : KONSEP TEORI

Konsep teori meliputi konsep dasar penyakit berisi tentang

definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi klinis,

pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan medis, komplikasi,

pathways. Konsep dasar asuhan keperawatan berisi tentang

pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan,

pelaksanaan keperawatan dan evaluasi keperawatan.

BAB III : TINJAUAN KASUS

Tinjauan kasus meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan,

perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan dan

evaluasi keperawatan.

BAB IV : PEMBAHASAN

Pembahasan berisi tentang kesenjangan antara tinjauan

pustaka dan tinjauan kasus.

BAB V : PENUTUP

Penutup meliputi kesimpulan dan saran.


7

BAB II

KONSEP TEORI

A. Konsep Dasar Teori BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

1. Definisi

BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) adalah pembesaran progresif

dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa

atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra

pars prostatika (Muttaqien, 2011).

BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) yaitu pembesaran jinak

kelenjar prostat disebabkan karena hyperplasia beberapa atau semua

komponen prostat antara lain jaringan kelenjar dan jaringan fibro-

muskular yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika

(Bag/SMF Ilmu Bedah Urologi RSUD. Dr. Soetomo, 2008).

BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) adalah pembesaran progresif

dari kelenjar prostat yang dapat menyebabkan obstruksi dan ritriksi pada

jalan urine atau uretra (Rendi, 2012).

2. Etiologi

Menurut Nursalam (2006), penyebab khusus BPH (Benigna

Prostat Hiperplasia) belum diketahui secara pasti, beberapa hipotesis

menyatakan bahwa gangguan ini ada kaitannya dengan kadar

dehidrosteron (DHT) dan proses penuaan hipotesis yang diduga sebagai

penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah :


8

a. Adanya perubahan keseimbangan antara hormone testosterone dan

estrogen pada usia lanjut.

b. Peran faktor pertumbuhan sebagai pemicu pertumbuhan stroma

kelenjar prostat.

c. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena kekurangan sel yang

mati.

d. Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel

stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel

kelenjar prostat menjadi berlebihan.

3. Klasifikasi

Derajat berat BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) menurut

Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium, yaitu :

a. Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan

urine sampai habis.

b. Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine

walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa

tidak enak BAK atau disuria dan menjadi nokturia.

c. Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.


9

d. Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine

menetes secara periodik (overflow inkontinen).

4. Patofisiologi

Pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya

perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan

patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan

oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher

vesika dan kekuatan kontraksi destrusor. Secara garis besar, destrusor

dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan

prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya

pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher

vesika dan daerah prostat. Kemudian destrusor akan mencoba mengatasi

keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih

tebal. Penonjolan serat destrusor ke dalam kandung kemih dengan

sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli

balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan

mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut

divertikel. Fase penebalan destrusor ini disebut Fase kompensasi otot

dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka destrusor

menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu

lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urine. Pada hiperplasi

prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
10

obstruksi disebabkan destrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan

kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi),

miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum

puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak

sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih,

sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan

sebagai hipersenitivitas otot destrusor (frekuensi miksi meningkat,

nokturia, miksi sulit ditahan atau urgency, disuria).

Karena produksi urine terus terjadi, maka satu saat vesika urinaria

tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih

tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia

paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks

vesiko ureter dan dilatasi ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan

terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari

obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi

yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan

menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urine dalam vesika urinaria

akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan

hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media

pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila

terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).


11

5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis menurut Jitowiyono (2012) pada BPH (Benigna

Prostat Hiperplasia) digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan

iritasi.

a. Gejala obstruksi disebabkan destrusor gagal berkontraksi dengan cukup

lama dan kuat sehingga mengakibatkan:

1) Hesistansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai

dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrusor buli-

buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan

intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra

prostatika.

2) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang

disebabkan karena ketidakmampuan otot destrusor dalam

mempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.

3) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.

4) Pancaran lemah yaitu kelemahan kekuatan dan pancaran destrusor

memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan uretra.

5) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa

belum puas.

b. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau

pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering

berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai

hipersenitivitas otot destrusor dengan tanda dan gejala antara lain:


12

1) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

2) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat

terjadi pada malam hari (nokturia) dan pada siang hari.

3) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang yang dilakukan

pada pasien dengan BPH (Benigna Prostat Hiperplasia) adalah :

a. Laboratorium

1) Sedimen urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi

saluran kemih.

2) Kultur urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus

menentukan sensitive kuman terhadap beberapa anti mikroba yang

diujikan.

b. Pencitraan

1) Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa

prostat dan kadang menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh

terisi urine yang merupakan tanda dari retensi urine.


13

2) IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa

hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar

prostat, penyakit pada buli-buli.

3) Ultrasonografi

Untuk mengetahui (trans abdominal dan trans rectal) buli-buli atau

mengukur sisa urine dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel,

tumor.

4) Systocopy

Untuk mengukur besarnya prostat dengan mengukur panjang uretra

parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

8. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan medis pada BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

menurut Purnomo (2011) yaitu :

a. Observasi (Watchfull Waiting)

Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan keluhan

ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak

mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai

sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya

(1) jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2)

kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli

(kopi dan cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang


14

mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas dan asin,

dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.

b. Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi

retensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab

obstruksi intravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa

(adrenergik alfa blocker) dan (2) mengurangi volume prostat sebagai

komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron

atau dehidrotesteron (DHT) melalui penghambat 5-reduktase.

1) Penghambat adrenergik alfa

Beberapa golongan obat penghambat adrenergik alfa adalah

prazosin yang diberikan dua kali sekali, terazosin, afluzosin, dan

doksazosin yang diberikan sekali sehari. Obat-obatan golongan ini

dilaporkan dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran

urine.

Telah diketemukan pula golongan penghambat adrenergik

alfa 1 A, yaitu tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos

prostat. Dilaporkan bahwa obat ini mampu memperbaiki pancaran

miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun

denyut jantung.

2) Penghambat enzim 5 alfa reduktase

Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan

dehidrotesteron (DHT) dari testosteron yang dikatalisis oleh enzim


15

5 -reduktase di dalam sel-sel prostat. Menurunnya kadar DHT

menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun.

Dilaporkan bahwa pemberian obat ini (finasteride) 5 mg

sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu

menyebabkan penurunan prostat hingga 28%. Hal ini memperbaiki

keluhan miksi dan pancaran miksi.

3) Fitoterapi

Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai

untuk memperbaiki gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data

farmakologik tentang kandungan zat aktif yang mendukung

mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui

dengan pasti. Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai : anti-

estrogen, anti-androgen, menurunkan kadar Sex Hormone Binding

Globuline (SHBG), inhibisi basic Fibroblast Growth Factor

(bFGF) dan Epidermal Growth Factor (EGF), mengacaukan

metabolisme prostaglandin, efek anti-inflamasi, menurunkan

ouflow resistance, dan memperkecil volume prostat.

Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah : Pygeum

africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan

masih banyak lainnya.


16

c. Operasi

1) Prostatektomi terbuka

Prostatektomi terbuka merupakan tindakan yang paling

banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien

sebagai terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan

melalui pendekatan suprapubik transvesikal (Freyer) atau

retropubik infravesikal (Millin). Prostatektomi terbuka dianjurkan

untuk prostat yang sangat besar (>100 gram).

Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka

adalah inkontinensia urine (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi

retrogad (60-80%), dan kontraktur leher buli-buli (3-5%).

2) Endourologi

(a) TURP (Transurethral of the Prostate)

Operasi ini lebih disenangi karena diperlukan insisi

pada kulit perut, masa mondok lebih cepat, dan memberikan

hasil tidak banyak berbeda dengan tindakan operasi terbuka.

Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan

dengan memakai tenaga elektrik atau dengan memakai

energi Laser.

(b) TUIP (Transurethral Incision of the Prostate)

Dilakukan pada hiperplasia prostat yang tidak

begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius.


17

(c) Elektrovaporasi prostat

Cara elektrovaporasi prostat adalah sama dengan

TURP, hanya saja tekhnik ini memakai roller ball yang

spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat,

sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar prostat. Tekhnik

ini cukup aman, tidak banyak menimbulkan perdarahan pada

saat operasi, dan masa mondok di rumah sakit lebih singkat.

Namun tekhnik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang

tidak terlalu besar (<50 gram) dan mebutuhkan waktu operasi

yang lebih lama.

d. Terapi invasif minimal

1). TUMT (Transurethral Micro web Thermotherapy)

Termoterapi kelenjar prostat dalah pemanasan dengan

gelombang mikro pada frekuensi 915-296 Mhz yang dipancarkan

melalui antena yang diletakkan di dalam uretra. Dengan

pemanasan yang melebihi 44 C menyebabkan destruksi jaringan

pada zona transision prostat karena nekrosis koagulasi. Prosedur

ini dapat dikerjakan secara poliklinis tanpa pemberian pembiusan.

Cara ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.

2). TUBD (Dilatasi Balon Transurethral)

3). Stent Uretra

Stent prostat dipasang pada uretra prostatika utnuk

mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang


18

intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal

verumontanum sehingga urine dapat leluasa melewati lumen

uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer dan

permanen. Temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari

bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan

jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi.

Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan

logam super alloy, nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama

bahan ini akan diliputi oleh urotelium sehingga jika suatu saat

ingin dilepas harus membutuhkan anestesi umum atau regional.

Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak

mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang

cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di

uertra posterior atau mengalami enkrustasi. Sayangnya setelah

pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi

berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di

daerah penis.

4). TUNA (Transurethral Needle Ablation of the Prostate)

Tekhnik ini memakai energi dari frekuensi radio yang

menimbulkan panas sampai mencapai 100C, sehingga

menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem ini terdiri atas

kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat

membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter


19

dimasukkan ke dalam uretra melalui sistokopi dengan pemberian

anestesi topikal xylocain sehingga jarum yang terletak pada ujung

kateter terletak pada kelenjar prostat. Pasien sering kali masih

mengeluh hematuria, disuria, kadang-kadang retensi urine.

5). HIFU (High Intensity Focused Ultrasound)

Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis

pada prostat berasal dari gelombang ultrasonografi dari transduser

piezokeramik yang mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi

dipancarkan melalui alat yang diletakkan transrektal dan

difokuskan ke kelenjar prostat. Tekhnik ini memerlukan anestesi

umum. Efek lebih lanjut dari tindakan belum diketahui, dan

sementara tercatat bahwa kegagalan terapi terjadi sebanyak 10%

setiap tahun.

Meskipun sudah banyak modalitas yang telah diketemukan

untuk mengobati pembesaran prostat, sampai saat ini terapi yang

memberikan hasil paling memuaskan adalah TURP.

9. Komplikasi

Menurut Rendy (2012) komplikasi yang terjadi pada pasien BPH

(Benigna Prostat Hiperplasia) adalah :

a. Urinary traktus infection

b. Retensi urine akut

c. Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis dan gangguan fungsi

ginjal.
20

PATHWAY BPH
Hiperplasia prostat

Penyempitan lumen uretra

Perubahan keseimbangan testosteron + estrogen

Mitrotrouma : trauma, ejakulasi,


infeksi

Prod. Testosteron

stimulasi sel stroma yang dipengaruhi GH BPH

Pre operasi Post ope

Terjadi kompresi uretra


Kerusakan Penekanan
resistensi leher V.U mukosa serabut-serabut
dan daerah V.U urogenital syaraf
TURP. Pros

ketebalan otot Detrusor (fase kompensasi) Trauma


Penurunan
pertahanan
tubuh
Terbentuknya sakula /
trabekula

Pe
Kelemahan otot Detrusor Nyeri pe

kemampuan fungsi V.U MK : resiko MK : R


Media pertumbuhan
terjadi infeksi terja
kuman
21

Refluk urin Residu urin berlebihan


B6 MK : B
Intoleransi Gangguan rasa
aktivitas nyeri

Hidronefrosis
B. Manajemen Asuhan Keperawatan

1. Konsep Dasar Eliminasi Urine

a. Definisi

Eliminasi urine adalah proses pembuangan sisa-sisa metabolisme.

Eliminasi urine normalnya adalah pengeluaran cairan. Proses

pengeluaran ini sangat bergantung pada fungsi-fungsi organ eliminasi

seperti ginjal, ureter, bladder, dan uretra. (Hidayat, 2012).

b. Fisiologi

Menurut Hidayat (2006) organ yang berperan dalam proses

terjadinya eliminasi urine adalah ginjal, ureter, kandung kemih, dan

uretra.

1) Anatomi Sistem Perkemihan

a) Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ retroperitoneal yang

integral dengan homoestasis tubuh dalam mempertahankan

keseimbangan cairan, termasuk keseimbangan fisika dan kimia.

Ginjal mensekresi hormon dan enzim yang membantu

pengaturan produksi eritrosit, tekanan darah, serta

metabolisme kalsium dan fosfor. Ginjal mengatur cairan tubuh,

asiditas, dan elektrolit sehingga mempertahankan komposisi

cairan yang normal.

Ginjal juga menyaring bagian dari darah untuk dibuang

dalam bentuk urine sebagai zat sisa yang tidak diperlukan

1
22
23

tubuh. Bagian ginjal terdiri atas nefron, yang merupakan unit

dari struktur ginjal yang berjumlah kurang lebih satu juta

nefron. Melalui nefron urine disalurkan ke dalam bagian pelvis

ginjal, kemudian disalurkan melalui ureter ke kandung kemih.

b) Ureter

Ureter adalah tabung yang berasal dari ginjal dan

bermuara di kandung kemih. Panjangnya sekitar 25cm dan

diameternya 1,25cm. Bagian atas ureter berdilatasi dan melekat

pada hilus ginjal, sedangkan bagian bawahnya memasuki

kandung kemih pada sudut posterior dasar kandung kemih.

Urine didorong melewati ureter dengan gelombang peristalsis

yang terjadi sekitar 1-4 kali per menit. Pada pertemuan antara

ureter dan kandung kemih, terdapat lipatan membran mukosa

yang bertindak sebagai katup guna mencegah refluks urine

kembali ke ureter sehingga mencegah penyebaran infeksi dari

kandung kemih (Mubarak, 2007).

c) Kandung Kemih (Bladder, Buli-buli)

Kandung kemih merupakan sebuah kantong yang terdiri

atas otot halus yang berfungsi sebagai penampung air seni

(urine). Dalam kandung kemih, terdapat lapisan jaringan otot

yang memanjang ditengah dan melingkar disebut sebagai

detrusor dan berfungsi untuk mengeluarkan urine. Pada dasar

kandung kemih, terdapat lapisan tengah jaringan otot yang


24

berbentuk lingkaran bagian dalam atau disebut sebagai otot

lingkar yang berfungsi menjaga saluran antara kandung kemih

dan uretra sehingga uretra dapat menyalurkan urine dari

kandung kemih keluar tubuh.

Penyaluran rangsangan ke kandung kemih dan

rangsangan monitoris ke otot lingkar bagian dalam diatur oleh

sistem simpatis. Akibat dari rangsangan ini, otot lingkar

menjadi kendur dan terjadi kontraksi sphincter bagian dalam

sehingga urine tetap tertinggal dalam kandung kemih. Sistem

parasimpatis menyalurkan rangsangan motoris kandung kemih

dan rangsangan penghalang ke bagian dalam otot lingkar.

Rangsangan ini dapat menyebabkan terjadinya kontraksi otot

detrusor dan kendurnya sfingter.

d) Uretra

Uretra merupakan organ yang berfungsi untuk

mengeluarkan urine ke bagian luar. Fungsi uretra pada wanita

mempunyai fungsi yang berbeda dengan yang terdapat pada

pria. Pada pria, uretra digunakan sebagai tempat pengaliran

urine dan sistem reproduksi berukuran panjang 20 cm. pada

pria uretra terdiri dari 3 bagian, uretra prostatik, uretra

membranosa, dan uretra kavernosa. Pada wanita uretra

memiliki panjang 4-6,5 cm dan hanya berfungsi untuk

mengeluarkan urine ke bagian luar tubuh.


25

Saluran perkemihan dilapisi membrane mukosa dimulai

dari meatus uretra hingga ginjal. Secara normal,

mikroorganisme tidak ada yang bisa melewati uretra bagian

bawah, namun membrane mukosa ini pada keadaan patologis

yang terus-menerus akan menjadikannya sebagai media yang

baik untuk pertumbuhan beberapa patogen.

c. Proses Berkemih

Menurut Hidayat (2012), berkemih merupakan proses

pengosongan vesika urinaria (kandung kemih). Vesika urinaria dapat

menimbulkan rangsangan saraf bila urinaria berisi 250 - 450 cc (pada

dewasa) dan 200 - 250 cc (pada anak-anak).

Mekanisme berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine

yang dapat menimbulkan rangsangan pada saraf-saraf di dinding

vesika urinaria. Kemudian rangsangan tersebut diteruskan melali

medulla spinalis ke pusat pengontrol berkemih yang terdapat di

korteks serebral. Selanjutnya otak memberikan impuls atau ragsangan

melalui medulla spinalis neuromotoris di daerah sakral, kemudian

terjadi koneksi otot destrusor dan relaksasi otot sfingter internal.

Urine dilepaskan dari vesika urinaria tetapi masih tertahan

sfingter eksternal. Jika waktu dan tempat memungkinkan akan

menyebabkan relaksasi sfingter eksternal dan urine kemungkinan

dikeluarkan (berkemih).
26

d. Ciri-ciri urin normal

Ciri-ciri urine normal menurut Hidayat (2006 ) adalah:

a) Jumlahnya rata-rata 1-2 liter sehari, tetapi berbeda-beda sesuai

dengan jumlah cairan yang dimasukan. Banyaknya bertambah pula

bila terlampau banyak makan makanan yang mengandung protein,

sehingga tersedia cukup cairan yang melarutkan ureanya.

b) Warnanya bening oranye pucat tanpa endapan, tetapi adakalanya

jonjot lendir tipis tampak terapung di dalamnya.

c) Baunya tajam.

d) Reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan PH rata-rata 6.

e) Berat jenis berkisar dari 1,010 sampai 1,025.

f) Komposisi urine normal:

(1) Air (96%)

(2) Larutan (4%)

(a) Larutan organik : urea, ammonia, kreatin, dan asam urat.

(b) Larutan anorganik : natrium (sodium), klorida, kalium

(potassium), sulfat, magnesium, fosfor. Natrium klorida

merupakan garam yang paling banyak.

e. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi menurut Asmadi (2009)

adalah :
27

1) Usia

Anak-anak masih belum mampu untuk mengontrol buang air

besar maupun buang air kecil karena sistem neuromuskulernya

belum berkembang dengan baik.Manusia usia lanjut juga akan

mengalami perubahan dalam eliminasi tersebut. Biasanya terjadi

penurunan tonus otot, sehingaa peristaltik menjadi lambat. Hal

tersebut menyebabkan kesulitan dalam pengontrolan eliminasi

feses, sehingga pada manusia usia lanjut beresiko mengalami

konstipasi. Begitu pula pada eliminasi urine, terjadi penurunan

kontrol otot sfingter sehingga terjadi inkontinensia.

2) Diet

Makanan merupakan faktor utama yang berpengaruh pada

eliminasi fekal dan urine. Makanan berserat sangatlah diperlukan

untuk pembentukan feses. Makanan yang rendah serat

menyebabkan pergerakan sisa digestif menjadi lambat mencapai

rektum, sehingga meningkatkan penyerapan air. Hal ini berakibat

terjadinya konstipasi. Makan yang teratur sangat berpengaruh pada

keteraturan defekasi.

Di samping itu, pemilihan makanan yang kurang

memperhatikan unsur manfaatnya, misalnya jengkol, dapat

menghambat proses miksi. Jengkol dapat menghambat miksi

karena kandungan pada jengkol, yaitu asam jengkolat, dalam

jumlah yang banyak dapat menyebabkan terbentuknya kristal asam


28

jengkolat yang akan menyumbat saluran kemih sehingga

pengeluaran urine menjadi terganggu. Selain itu, urine juga dapat

menjadi bau jengkol.

Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot,

sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan

feses maupun urine. Selain itu, yang paling penting akibat

malnutrisi terhadap eliminasi fekal dan urine adalah menurunnya

daya tahan tubuh terhadap infeksi yang menyerang pada organ

pencernaan maupun organ perkemihan.

Malnutrisi menjadi dasar terjadinya penurunan tonus otot,

sehingga mengurangi kemampuan seseorang untuk mengeluarkan

feses maupun urine. Selain itu, yang paling akibat malnutrisi

terhadap infeksi yang menyerang pada organ pencernaan maupun

organ perkemihan.

3) Cairan

Intake cairan berpengaruh pada eliminasi fekal dan urine. Bila

intake cairan tidak adekuat atau output cairan yang berlebihan,

maka tubuh akan mengabsorbsi cairan dari usus besar dalam

jumlah besar. Hal tersebut menyebabkan feses menjadi keras,

kering, dan sulit melewati saluran pencernaan. Pada eliminasi

urine, kurangnya intake cairan menyebabkan volume darah yang

masuk ke ginjal untuk difiltrasi menjadi berkurang sehingga urine

menjadi berkurang dan lebih pekat.


29

4) Latihan fisik

Latihan fisik membantu seseorang untuk mempertahankan

tonus otot. Tonus otot yang baik dari otot-otot abdominal, otot

pelvis, dan diafragma sangat penting bagi defekasi dan miksi.

Latihan fisik juga merangsang terhadap timbulnya peristaltik.

5) Stres Psikologis

Stres yang berlebihan akan mempengaruhi eliminasi fekal dan

urine. Ketika seseorang mengalami kecemasan atau ketakutan,

terkadang ia akan mengalami diare ataupun besar. Namun, ada pula

yang menyebabkan sulit buang air besar.

6) Temperatur

Eliminasi dipengaruhi oleh temperatur tubuh. Seseorang yang

demam akan mengalami peningkatan penguapan cairan tubuh

karena meningkatnya aktivitas metabolik. Hal tersebut

menyebabkan tubuh akan kekurangan cairan sehingga dampaknya

berpotensi terjadi konstipasi dan pengeluaran urine menjadi sedikit.

Selain itu, demam juga dapat mempengaruhi terhadap nafsu makan

yaitu anoreksia, kelemahan otot, dan penurunan intake cairan.

7) Nyeri

Nyeri berpengaruh terhadap pola eliminasi. Seseorang yang

berada dalam keadaan nyeri sulit untuk makan, diet yang seimbang

maupun untuk melakukan latihan dalam upaya mempertahankan

tonus otot dasar panggul dan perut.


30

8) Obat-obatan

Beberapa jenis obat memiliki efek samping yang berpengaruh

terhadap eliminasi. Ada obat yang dapat menyebabkan seseorang

menjadi diare, konstipasi, maupun inkontinensia. Selain itu, obat

juga dapat berpengaruh pada kondisi organ pencernaan maupun

perkemihan. Misalnya, obat Analgesik Narkotik (Opiat) dapat

menyebabkan konstipasi karena obat tersebut menekan gerakan

peristaltik, obat Antikolinergik (misal, atropin) dapat menyebabkan

retensi urine.

f. Masalah Kebutuhan Eliminasi Urine

1) Retensi Urine

Merupakan penumpukan urine dalam kandung kemih akibat

ketidakmampuan kandung kemih untuk mengosongkan isinya,

sehingga menyebabkan distensi dari vesika urinaria. Atau, retensi

urine dapat pula merupakan keadaan dimana seseorang mengalami

pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. Kandungan urine

normal dalam vesika urinaria sebesar 250 - 450 ml, dan sampai

batas jumlah tersebut urine merangsang refleks untuk berkemih.

Dalam keadaan distensi, vesika urinaria dapat menampung

sebanyak 3000-4000 ml urine.

Tanda-tanda klinis pada retensi :

a) Ketidaknyamanan daerah pubis

b) Distensi vesika urinaria


31

c) Ketidaksanggupan untuk berkemih

d) Sering berkemih saat vesika urinaria berisi sedikit urine (25-50

ml)

e) Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan

asupannya

f) Meningkatnya keresahan dan keinginan berkemih

g) Adanya urine sebanyak 3000 4000 ml dalam kandung kemih.

Penyebab

a) Operasi pada daerah abdomen bawah, pelvis vesika urinaria

b) Trauma sumsum tulang belakang

c) Tekanan uretra yang tinggi disebabkan oleh otot detrusor yang

lemah

d) Sfingter yag kuat

e) Sumbatan (pembesaran kelenjar prostat)

2) Inkontinensia Urine

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan otot sfingter

eksterna sementara atau menetap untuk mengontrol eksresi urine.

Secara umum, penyebab dari inkontinensia adalah proses penuaan,

pembesaran kelenjar prostat, penurunan kesadaran, dan

penggunaan obat narkotik atau sedatif.

3) Enuresis

Enuresis merupakan ketidaksanggupan menahan kemih

(mengompol) yag diakibatkan tidak mampu mengontrol sfingter


32

eksterna. Enuresis biasanya terjadi pada anak atau orang jompo,

umumnya pada malam hari.

4) Ureterotomi

Ureterotomi adalah tindakan operasi dengan jalan membuat

stoma pada dinding perut untuk drainase urine. Operasi ini

dilakukan karena adanya penyakit atau disfungsi kandung kemih.

g. Keadaan urine normal

Keadaan urine normal menurut Hidayat (2006) meliputi :

Tabel 2.1 Keadaan Urine Normal

No Keadaan Normal Interpretasi

1 Warna kekuning-kuningan Urine berwarna oranye gelap

menunjukkan adanya pengaruh obat

sedangkan warna merah dan kuning

kecoklatan mengindikasi adanya

penyakit.

2 Bau Aromatik Bau menyengat merupakan indikasi

adanya masalah infeksi atau penggunaan

obat tertentu.

3 Berat Jenis 1,010 1,030. Menunjukkan adanya konsentrasi urine

4 Kejernihan Terang dan Adanya kekeruhan karena mucus atau

transparan. pus.
33

5 Ph sedikit asam Dapat menunjukkan keseimbangan

(4,5- 7,5) asam-basa ; bila bersifat alkali

menunjukkan adanya aktivitas bakteri.

6 Protein Molekul protein Pada kondisi kerusakan ginjal, molekul

yang berat seperti tersebut dapat melewati saringan masuk

albumin, fibrinogen, ke urine.

atau globulin tidak

dapat disaring

melalui ginjal.

7 Darah tidak tampak jelas. Hematuria menunjukkan trauma atau

penyakit pada saluran kemih bagian

bawah.

8 Glukosa Adanya sejumlah Apabila menetap terjadi pada pasien

glukosa dalam urine diabetes mellitus.

tidak berarti bila

hanya bersifat

sementara, misalnya

pada seseorang

yang makan gula

banyak.

Tanda klinis gangguan eliminasi urine seperti tanda retensi urine,

inkontinensia urine, enuresis dan lain-lain.


34

h. Pelaksanaan Keperawatan

1) Melakukan Kateterisasi

Menurut Hidayat (2012), kateterisasi merupakan tindakan

keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung

kemih melalui uretra yang bertujuan membantu memenuhi

kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan.

Pelaksanaan kateterisasi dapat dilakukan melalui dua cara :

intermiten (straight kateter) dan indwelling (foley kateter).

Indikasi :

Tipe intermiten

a) Mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi

b) Retensi akut setelah trauma uretra.

c) Tidak mampu berkemih akibat obat sedatif atau analgesik.

d) Cedera pada tulang belakang

e) Degenerasi neuromuskular secara progresif

f) Pengeluaran urine residual.

Tipe Indwelling

a) Obstruksi aliran urine

b) Pasca operasi uretra dan struktur disekitarnya (TURP)

c) Obstruksi uretra

d) Inkontinensia dan disorientasi berat.

Alat dan Bahan :

a) Sarung tangan steril

b) Kateter steril (sesuai dengan ukuran dan jenis)


35

c) Duk steril

d) Minyak pelumas/jeli

e) Larutan pembersih antiseptik (kapas sublimat)

f) Spuit yang berisi cairan.

g) Pinset anatomi.

h) Bengkok.

i) Urinal bag.

j) Sampiran.

Prosedur Kerja:

Untuk Pasien Pria

a) Cuci tangan

b) Jelaskan prosedur

c) Atur ruangan atau pasang sampiran

d) Pasang perlak atau alas

e) Gunakan sarung tangan steril

f) Pasang duk steril.

g) Pegang penis dengan tangan sebelah kiri, lalu preputium ditarik

sedikit ke pangkalnya dan bersihkan dengan kapas sublimat

atau saflon.

h) Beri minyak pelumas atau jeli pada ujung kateter (kurang lebih

12,5-17,5 cm), lalu masukkan pelan-pelan (kurang lebih 17,5-

20 cm) sambil anjurkan untuk menarik napas.

i) Jika tertahan jangan dipaksa atau tegangkan.

j) Setelah kateter masuk, isi balon dengan cairan aquades atau

sejenisnya untuk yang dipasang tetap, dan bila tidak dipasang

tetap tarik kembali sambil pasien disuruh napas dalam.


36

k) Sambung kateter dengan urobag dan fiksasi ke arah atas paha

atau abdomen.

l) Rapikan alat.

m) Cuci tangan.

2) Bladder Training

Menurut Asmadi (2009),

Pengertian :

Suatu latihan yang dilakukan dalam rangka melatih otot-otot

kandung kemih.

Tujuan : Mengembalikan pola kebiasaan berkemih.

Hal yang perlu disiapkan :

a) Tentukan pola waktu biasanya klien berkemih sendiri. Bila

tidak dapat dibuat pola berkemih, rencanakan waktu ke toilet,

misalnya 1-2 jam sekali.

b) Usahakan agar intake cairan sekitar 2-3 liter/hari.

c) Posisi berkemih yang normal atau nyaman.

Prosedur kerja :

a) Sesuai dengan pola waktu berkemih yang telah ditentukan,

usahakan agar pasien mempertahankannya saat pasien merasa

ingin berkemih baik urgen atau tidak. Kontraksi dan relaksasi

secara teratur akan meningkatkan tonus otot bladder dan

meningkatkan kontrol volunter.


37

b) Berikan cairan sekitar 30 menit sebelum waktu BAK sesuai

pola tersebut sebanyak 600-800 cc. Intake cairan ini untuk

membantu proses produksi urine yang adekuat, sehingga

merangsang refleks miksi.

c) Lakukan program latihan untuk meningkatkan tonus otot,

abdomen dan pelvis melalui latihan kegels. Caranya :

(1) Posisi pasien duduk atau berdiri dengan kaki

direnggangkan.

(2) Kontraksikan rektum , ureter, dan vagina (pada wanita) ke

arah atas dalam. Lalu tahan selama 5 detik. Kontraksi

seharusnya dirasakan pada panggul.

(3) Ulangi latihan tersebut 5-6 kali pada tahap awal dengan

interval waktu. Setelah otot semakin kuat tingkatkan jumlah

latihan sampai akhirnya dapat melakukan sampai 200 kali

tiap hari.

(4) Coba pasien untuk memulai dan menghentikan aliran urine.

2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan BPH (Benigna Prostat

Hiperplasia)

a. Pengkajian

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan

yang bertujuan untuk mengumpulan informasi/data tentang pasien,

agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah, kebutuhan


38

kesehatan dan keperawatan pasien baik fisik, mental, sosial dan

lingkungan.

1) Identitas pasien

Merupakan biodata pasien yang meliputi : umur, dan

pekerjaan. Penderita BPH adalah laki-laki yang berusia di atas 50

tahun (Bag/SMF Ilmu Bedah Urologi RSUD. Dr. Soetomo, 2008).

2) Keluhan utama

Keluhan utama yang biasa muncul pada pasien BPH

adalah keluhan pada saluran perkemihan antara nyeri akibat

kelainan pada saluran perkemihan, keluhan miksi (keluhan iritasi

dan keluhan obstruksi), hematuria, inkontinensia, dan disfungsi

seksual.

3) Riwayat penyakit sekarang

Kumpulan gejala yang ditimbulkan oleh BPH dikenal

dengan LUTS (Lower Urinari Tract Symptoms) antara lain :

hesistansi, pancar urin lemah, intermitensi, terminal

dribbling, terasa ada sisa setelah selesai miksi, urgensi,

frekuensi dan disuria.

Perlu ditanyakan mengenai permulaan timbulnya

keluhan, hal-hal yang dapat menimbulkan keluhan dan

ketahui pula bahwa munculnya gejala untuk pertama kali

atau berulang.

4) Riwayat penyakit dahulu


39

Adanya riwayat penyakit saluran kencing dan

pembedahan terdahulu.

5) Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit pada anggota keluarga yang sifatnya

menurun seperti : Hipertensi, Diabetes Mellitus, TB, Asma

perlu dikaji .

6) Pola - pola fungsi kesehatan

a) Pola Nutrisi

Pada pasien BPH dapat terjadi perubahan kebutuhan

nutrisi karena BPH dapa menimbulkan gejala anoreksia, mual,

muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik (Brunner &

Suddart, 2002). Hal ini mungkin disebabkan karena tekanan

intravesika yang meningkat sehingga menekan pada lambung

dan ulu hati.

b) Pola eliminasi

Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang

seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji

keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urine

berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi

berkemih, nokturia, disuria dan hematuria.

c) Pola latihan- aktivitas


40

Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi pasien yang

lemah. BAK yang terus menerus dan keluar sedikit- sedikit

sehingga dapat mengganggu aktivitas pasien.

d) Pola istirahat dan tidur

Pada pasien dengan BPH biasanya istirahat dan tidurnya

terganggu, disebabkan oleh nyeri pinggang dan BAK yang

keluar terus menerus dimana hal ini dapat mengganggu

kenyamanan pasien. Jadi perawat perlu mengkaji berapa lama

pasien tidur dalam sehari, apakah ada perubahan lama tidur

sebelum dan selama sakit atau selama dirawat?

e) Pola peran dan hubungan

Pada pasien dengan BPH merasa rendah diri terhadap

penyakit yang dideritanya. Sehingga hal ini menyebabkan

kurangnya sosialisasi pasien dengan lingkungan sekitar.

Perawat perlu mengkaji bagaimana hubungan pasien dengan

keluarga dan masyarakat sekitar? Apakah ada perubahan peran

selama pasien sakit?

f) Pola reproduksi- seksual

Pada pasien BPH terkadang mengalami masalah tentang

efek kondisi atau terapi pada kemampuan seksualnya, takut

inkontinensia atau menetes selama hubungan intim, penurunan


41

kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri

tekan pada prostat.

g) Pola keyakinan dan nilai

Pasien BPH mengalami gangguan dalam hal keyakinan,

seperti gangguan dalam beribadah shalat, pasien tidak bisa

melaksanakannya, karena BAK yang sering keluar tanpa

disadari. Perawat juga perlu mengkaji apakah ada pantangan

dalam agama pasien untuk proses pengobatan?

7) Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan Umum

Keluhan pada saluran perkemihan antara nyeri akibat

kelainan pada saluran perkemihan, keluhan miksi (keluhan

iritasi dan keluhan obstruksi), hematuria, inkontinensia, dan

disfungsi seksual.

b) Tanda-tanda Vital

Pemeriksaan TTV dilakukan terutama pada pasien pre

operatif. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan, pada

retensi urine akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urine,

serta urosepsis sampai syok septik.

c) Pemeriksaan Head to toe

(1) Kepala

Dikaji bentuk kepala simetris,adanya benjolan atau

tidak, riwayat trauma atau adanya luka atau tidak, adanya


42

keluhan sakit kepala atau pusing pada keadaan kesakitan

pada retensi urine akut.

(2) Mata

Dikaji bentuk mata simetris, warna sklera,

konjungtiva, respon pupil, adanya penurunan ketajaman

penglihatan akan menambah stres yang di rasakan klien.

Adanya nyeri tekan atau tidak, serta riwayat penyakit mata

lainya.

(3) Hidung

Adanya pernafasan menggunakan cuping hidung atau

tidak, tidak menggunakan alat bantu pernafasan, tidak ada

pembengkakan septum nasi.

(4) Mulut dan laring

Dikaji mukosa bibir lembab, adanya perdarahan pada

gusi. Gangguan rasa menelan dan mengunyah, dan sakit

pada tenggorok.

(5) Leher

Dikaji adanya nyeri leher, kaku pada pergerakan,

pembesaran tiroid serta penggunaan otot-otot pernafasan.

(6) Thorak

Paru-paru :
43

Inspeksi : Dada di inspeksi terutama postur bentuk

dan kesimetrisan adanya peningkatan

diameter anteroposterior, retraksi otot-otot

interkostalis, sifat dan irama pernafasan

serta frekwensi pernafasan.

Palpasi : Pada palpasi di kaji tentang kesimetrisan

vocalfremitus, adanya nyeri tekan saat

bernafas atau tidak.

Perkusi : Pada perkusi didapatkan suara sonor

sampai hipersonor sedangkan diafragma

menjadi datar dan rendah.

Auskultasi : Terdapat suara vesikuler, tidak ada suara

nafas tambahan (ronchi, wheezing, rales,

stridor).

(7) Jantung

Inspeksi : Adanya pembesaran jantung atau tidak,

ictus cordis terlihat atau tidak

Palpasi : Tekanan darah dan nadi yang meningkat,

adanya nyeri tekan atau tidak, ictus cordis

teraba.

Perkusi : Suara pekak pada batas jantung (atas ics

2, bawah ics 5, kanan 1/3 midklavikula,

kiri 2/3 midline sternum)


44

Auskultasi : Bunyi jantung S1, S2 tunggal, adanya

suara tambahan atau tidak.

(8) Abdomen

Pembesaran, pelebaran pembuluh darah vena,

distensi kandung kemih, pembesaran ginjal, nyeri tekan,

bising usus. Pada abdomen defisiensi nutrisi, edema.

Untuk perkusi terdengar redup.

(9) Genetalia

Genetalia laki-laki kebersihan, adanya lesi dan

adanya pembesaran skrotum.

(10) Ekstremitas

Di kaji tidak adanya edema pada ekstremitas atas

atau bawah, adanya nyeri tekan atau tidak , pergerakan

bebas, kekuatan otot normal.

b. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan yang muncul pada pasien BPH menurut

Muttaqien (2011).

1) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine,

obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat dan obstruksi

uretra.
45

2) Nyeri (akut) berhubungan dengan peregangan dari terminal syaraf,

disuria, resistensi otot prostat, efek mengejan saat miksi, efek

sekunder dari obstruksi uretra, nyeri pascabedah.

3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter,

trauma jaringan, insisi bedah.

4) Ansietas berhubungan dengan prognosis pembedahan, tindakan

invasif diagnostik.

c. Perencanaan dan Rasional

1) Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan retensi urine,

obstruksi uretra sekunder, dan pembesaran prostat dan obstruksi

uretra.

Tujuan : Dalam waktu 324 jam pola berkemih normal.

Kriteria hasil :

a) Tidak teraba distensi kandung kemih.

Rencana tindakan dan rasional :

a) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba

dirasakan.

Rasional : Meminimalkan retensi urine distensi berlebihan pada

kandung kemih.

b) Observasi aliran urine, perhatikan ukuran dan kekuatan

pancaran urine.

Rasional : Untuk mengevaluasi obstruksi dan pilihan

intervensi.
46

c) Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap berkemih.

Rasional : Retensi urine meningkatkan tekanan dalam saluran

perkemihan atas, yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal.

Adanya defisit aliran darah ke ginjal mengganggu

kemampuannya untuk memfiltrasi dan mengkonsentrasi

substansi.

d) Perkusi atau palpasi area suprapubik.

Rasional : Distensi kandung kemih dapat dirasakan di area

suprapubik.

e) Dorong masukan cairan sampai 3000 ml sehari dalam toleransi

jantung, bila di indikasikan.

Rasional : Peningkatkan aliran cairan meningkatkan perfusi

ginjal serta membersihkan ginjal dan kandung kemih dari

pertumbuhan bakteri.

f) Berikan atau dorong untuk perawatan kateter dan perineal.

Rasional : Menurunkan risiko infeksi asenden.

g) Ajarkan tekhnik bladder training dan rendam duduk sesuai

indikasi.

Rasional : Menguatkan otot-otot kandung kemih,

meningkatkan relaksasi otot, penurunan edema dan dapat

meningkatkan upaya berkemih.

h) Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)


47

Rasional : Mengurangi spasme kandung kemih sehubungan

dengan iritasi oleh kateter.

2) Nyeri (akut) berhubungan dengan peregangan dari terminal syaraf,

disuria, resistensi otot prostat, efek mengejan saat miksi, efek

sekunder dari obstruksi uretra, nyeri pascabedah.

Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan selama 324 jam

diharapkan nyeri berkurang.

Kriteria hasil :

a) Pasien melaporkan nyeri hilang atau terkontrol

b) Menunjukkan ketrampilan relaksasi dan aktivitas terapeutik

sesuai indikasi untuk situasi individu.

c) Pasien tampak rileks.

Rencana tindakan dan rasional :

a) Observasi nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10).

Rasional : Memberikan informasi untuk membantu dalam

menentukan pilihan atau keefektifan intervensi.

b) Pertahankan patensi kateter dan sistem drainase. Pertahankan

selang bebas dari lekukan dan bekuan.

Rasional : Mempertahankan fungsi kateter dan drainase sistem,

menurunkan resiko distensi atau spasme buli - buli.

c) Pertahankan tirah baring bila diindikasikan


48

Rasional : Tirah baring mungkin diperlukan pada awal fase

retensi akut.Namun ambulasi dini dapat memperbaiki pola

berkemih normal dan menghilangkan nyeri kolik.

d) Berikan tindakan kenyamanan (sentuhan terapeutik,

pengubahan posisi, pijatan punggung ) dan aktivitas terapeutik.

Rasional : Menurunkan tegangan otot, memfokusksn kembali

perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.

e) Berikan rendam duduk, sabun hangat untuk perineum.

Rasional : Meningkatkan relaksasi otot.

f) Kolaborasi pemasangan kateter.

Rasional : Pengaliran kandung kemihg menurunkan tegangan

dan kepekaan kelenjar.

g) Kolaborasi dalam pemberian obat analgesik sesuai indikasi

Rasional : Diberikan utnuk mengurangi nyeri.

3) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kateter,

trauma jaringan, insisi bedah.

Tujuan : infeksi tidak terjadi.

Kriteria hasil: mencapai waktu penyembuhan ditandai dengan tidak

mengalami infeksi.

Intervensi dan rasional :

a) Pertahankan sistem kateter steril, berikan perawatan kateter

reguler.

Rasional : Mencegah pemasukan bakteri dan infeksi lanjut.


49

b) Observasi tanda vital, perhatikan demam ringan, menggigil,

nadi dan pernapasan cepat, gelisah

Rasional : Pasien yang mengalami TUR Prostat beresiko untuk

syok bedah sehubungan dengan manipulasi atau instrumentasi.

c) Ganti balutan dengan sering (insisi suprapubik/retropubik dan

perineal)

Rasional : Balutan basah menyebabkan kulit iritasi dan

memberikan media untuk pertumbuhan bakteri, peningkatan

resiko infeksi luka.

d) Observasi drainase dari luka, sekitar kateter suprapubik

Rasional : Adanya drain, insisi suprapubik meningkatkan

resiko untuk infeksi, yang diindikasikan dengan eritema,

drainase purulen.

e) Kolaborasi: pemberian antibiotik sesuai indikasi

Rasional : Mungkin diberikan secara profilaksis sehubungan

dengan peningkatan resiko pada prostatektomi.

4) Ansietas berhubungan dengan prognosis pembedahan, tindakan

invasif diagnostik.

Tujuan : Pasien tampak rileks.

Kriteria hasil :

a) Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi

b) Menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan

penurunan rasa takut.


50

c) Melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat ditangani.

Rencana tindakan dan rasional :

a) Dampingi pasien dan bina hubungan saling percaya

Rasional : Menunjukkan perhatian dan keinginan untuk

membantu.

b) Berikan informasi tentang prosedur tindakan yang akan

dilakukan.

Rasional : Membantu pasien dalam memahami tujuan dari apa

yang dilakukan dan mengurangi masalh karena ketidaktahuan

termasuk ketakutan akan kanker. Namun kelebihan informasi

tidal membantu dan dapat meningkatkan ansietas.

c) Dorong pasien atau orang terdekat untuk menyatakan masalah

atau perasaan.

Rasional : Mendefinisikan masalah, memberikan kesempatan

untuk menjawab pertanyaan, memperjelas kesalahan konsep,

dan solusi pemecahan masalah.

d) Beri penguatan informasi pasien yang telah diberikan

sebelumnya.

Rasional : Memungkinkan pasien untuk menerima kenyataan

dan menguatkan kepercayaan pada pemberi perawatan dan

pemberian informasi.
51

Anda mungkin juga menyukai