Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2017


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

GUILLAIN-BARRE SYNDROME (GBS)

Disusun oleh :
Muhammad Satir Sayati 111 2015 2292

Supervisor Pembimbing :
dr. Ummu Atiah Sp. S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Guillain-Barr Syndrome (GBS) sejak tahun 1916 oleh Guillain, Barre dan
Strohl, dikarakteristikkan dengan paralisis arefleksi akut dengan disosiasi
albuminositologik (peningkatan level protein pada cairan serebrospinal dan jumlah sel
normal). Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama
kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis
diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan GBS dengan
kejadian infeksi akut. Nama GBS dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian.
Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa GBS selain
berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan CSS, adanya kelainan pada pemeriksaan EMG
juga dapat membantu menegakkan diagnosa. Sejak poliomyelitis tereleminasi, GBS
saat ini paling sering menyebabkan paralisis flasid akut di seluruh dunia dan
merupakan salah satu kasus emergensi neurologi.
Diagnosis banding untuk GBS luas, dan pemeriksaan neurologis melokalisasi
penyakit kepada saraf perifer daripada batang otak, sumsum tulang belakang, cauda
equina, neuromuskular, atau otot. Adanya parestesi distal meningkatkan kemungkinan
bahwa diagnosis yang benar adalah sindrom Guillain-Barr (GBS). Jika keterlibatan
sensorik tidak ada, gangguan seperti polio, myasthenia gravis, gangguan elektrolit,
botulisme, atau miopati akut harus dipertimbangkan. Hipokalemia memiliki beberapa
gejala yang mirip dengan GBS tetapi sering diabaikan dalam diagnosis banding.
Setelah diagnosis dari neuropati perifer akut jelas, Guillain-Barr adalah diagnosis
kemungkinan pada sebagian besar pasien. Namun, dokter harus mempertimbangkan
penyebab alternatif, seperti vaskulitis, beriberi, porphyria, toxic neuropathy, Lyme
disease, dan difteri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Guillain-Barre Syndrome (GBS)

Definisi
Guillain Barre syndrome (GBS) merupakan inflamasi demielinisasi polineuropati
akut yang ditandai oleh kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik, paralisis,
hiporefleksia simetris, asendens dan sifatnya progresif dengan atau tanpa disertai
gejala sensorik atau otonom.

Epidemiologi
Insiden yang dilaporkan dari sindrom Guillain-Barr di negara-negara Barat
berkisar 0,89-1,89 kasus per 100.000 orang per tahun, meskipun kenaikan dari 20%
terlihat pada setiap kenaikan usia 10 tahun di setelah dekade pertama kehidupan.
Rasio pria terhadap wanita adalah 1,78.
Dua pertiga dari kasus didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan atas atau
diare. Agen infeksi yang paling sering diidentifikasi terkait dengan berikutnya
perkembangan sindrom Guillain-Barr adalah Campylobacter jejuni, dan 30% infeksi
yang disebabkan oleh C. jejuni dalam satu meta-analisis, sedangkan cytomegalovirus
telah diidentifikasi pada sampai dengan 10%. Insiden GBS diperkirakan 0,25-0,65 per
1000 kasus infeksi C. jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus infeksi primer
sitomegalovirus.

Etiologi
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya
myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut
demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut
menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi
dari myelin dan menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
Berbagai penelitian imunopatogenesis dari sindrom Guillain-Barr menunjukkan
bahwa penyakit sebenarnya mencakup sekelompok gangguan saraf perifer, masing-
masing dibedakan oleh distribusi kelemahan pada tungkai atau saraf kranial yang
menginnervasi otot dan patofisiologi yang mendasari. Ada bukti substansial yang
mendukung penyebab autoimun pada sindrom ini, dan profil autoantibodi telah
membantu dalam mengkonfirmasikan hubungan klinis dan elektrofisiologi dari
sindrom Guillain-Barr yang khas dengan beberapa kondisi saraf perifer lainnya.
Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh
virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus, influenzavirus, echovirus,
cytomegalovirus, hepatitis virus, virus varicella-zoster, dan HIV. Selain virus,
penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri seperti
Campylobacter jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae, Spirochaeta,
Salmonella, Legionella dan Mycobacterium tuberculosa; vaksinasi seperti BCG,
tetanus, varicella, dan hepatitis B; penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma,
penyakit kolagen dan sarcoidosis; kehamilan terutama pada trimester ketiga;
pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 24 minggu
sebelum timbul GBS.

Patofisiologi
Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut
mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses pematangan
limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa teori mengenai
pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan
sel-sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori
yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem
imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian
menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang kadang juga dapat terjadi destruksi
pada axon.
Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin disebabkan
oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin. Hal ini
menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di invasi oleh antigen
tersebut. Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel-sel saraf tidak dapat
mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk
merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari
seluruh bagian tubuh.
Gejala klinis
Gejala awal dari sindrom Guillain-Barr adalah mati rasa, paresthesia,
kelemahan, nyeri pada tungkai, atau beberapa kombinasi dari gejala-gejala tersebut.
Ciri-ciri utama yaitu kelemahan tungkai yang relatif simetris dan bersifat progresif
bilateral, dan kelemahan berlangsung selama 12 jam untuk 28 hari sebelum
puncaknya. Pasien biasanya memiliki hiporefleksia atau areflexia. Refleks fisiologis
akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali. Riwayat gejala infeksi
pernapasan atas atau diare 3 hari sampai 6 minggu sebelum onset adalah tidak jarang.
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh
dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai
pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada
50% kasus, biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul
secara signifikan dan bahkan 20% pasien memerlukan bantuan ventilator dalam
bernafas.
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.
Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada
extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang
terjadi terutama pada anak anak.
Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan
cardiac arrest, facial flushing, sfincter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam
berkeringat. Hipertensi terjadi pada 1030% pasien sedangkan aritmia terjadi pada
30% dari pasien.
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia,
kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy.
Gejala gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk
mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas,
perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat
difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk
yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot
intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti kernig dan kaku kuduk mungkin
ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang
Pungsi lumbal biasanya dilakukan pada pasien dengan dugaan sindrom Guillain-
Barr, terutama untuk menyingkirkan penyakit menular, seperti Penyakit Lyme, atau
kondisi ganas, seperti limfoma. Kesalahpahaman yang umum menyatakan bahwa
harus selalu ada disosiasi albuminositologi. Namun, disosiasi albuminositologi
muncul dalam waktu tidak lebih dari 50% pasien dengan sindrom Guillain-Barr
selama minggu pertama penyakit, meskipun persentase ini meningkat menjadi 75% di
minggu ketiga. Beberapa pasien dengan HIV dan Guillain-Barr terdapat pleocytosis.
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar
protein (1 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain,
1961, disebut sebagai disosiasi albuminositologi. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar
protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan
LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm. Pada kultur
LCS tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri.
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua
dan pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada
pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau bahkan
blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan latensi distal
yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2, akan terlihat adanya
penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya kecepatan
konduksi saraf motorik.

Kriteria diagnostik GBS (modified by Asbury and Cornblath in 1990)


Gejala utama
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas
2. Arefleksia atau hiporefleksia
Gejala tambahan yang mendukung
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Relatif simetris
3. Nyeri, sering signifikan, saat onset
4. Adanya gejala dan tanda sensoris yang ringan
5. Keterlibatan saraf kranial, terutama berupa kelemahan otot facialis bilateral
6. Disfungsi saraf otonom
7. Tidak disertai demam saat onset
8. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 - 4
Pemeriksaan Laboratorium
1. Peningkatan level protein CSS setelah 1 minggu munculnya gejala
2. Leukosit < 10 /ul pada CSS
3. Terlihat adanya perlambatan atau blok konduksi impuls saraf pada EMG
Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Gejala sensoris yang nyata
4. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul (pleocytosis)
5. Ptosis
6. Pupillary abnormalitas
7. Prominent bulbar sign
8. Kelemahan descenden

Penatalaksanaan
Idealnya, semua pasien harus tetap di bawah observasi di rumah sakit sampai
ditetapkan bahwa tidak ada bukti progresi klinis. Kapanpun memungkinkan, pasien
harus dirawat di unit perawatan kritis, di mana peralatan yang memadai tersedia untuk
memungkinkan monitoring jantung dan pernapasan secara kontinu. Pasien dengan
kelemahan yang sangat ringan dan kemampuan untuk berjalan secara independen
tidak memerlukan pengobatan di luar perawatan suportif.
Bahkan tanpa adanya distres pernapasan, ventilasi mekanis mungkin diperlukan
pada pasien dengan setidaknya satu kriteria utama atau dua kriteria minor. Kriteria
utama adalah hiperkarbia (tekanan parsial karbon dioksida arteri > 6.4 kPa [48 mm
Hg]), hipoksemia (parsial tekanan oksigen arteri <7,5 kPa [56 mm Hg]), dan kapasitas
vital kurang dari 15 ml/kgBB, dan kriteria minor adalah batuk, gangguan menelan,
dan atelektasis. Suatu penilaian awal terhadap fungsi menelan akan mengidentifikasi
pasien berisiko aspirasi dan perlunya penggunaan nasogastrik tube. Dekontaminasi
selektif saluran pencernaan mengurangi waktu pasien untuk penggunaan ventilator.
Manajemen Sindrom Guillain-Barr
- Pemantauan disfungsi jantung dan paru
Elektrokardiografi, tekanan darah, pulse oksimetri untuk saturasi oksihemoglobin,
kapasitas vital, dan fungsi menelan harus secara teratur dipantau pada pasien yang
memiliki penyakit yang parah, dengan memeriksa setiap jam 2-4 jika penyakit
mengalami progesivitas dan setiap jam 6-12 jika stabil.
Penyisipan alat pacu jantung sementara, penggunaan ventilator mekanik, dan
penempatan selang nasogastrik harus dilakukan atas dasar dari hasil pemantauan.
- Pencegahan emboli paru
Penggunaan profilaksis subkutan heparin dan stoking kompresi direkomendasikan
untuk pasien dewasa yang tidak bisa berjalan.
- Imunoterapi
Intravenous immune globulin (IVIg) atau plasma exchange harus diberikan pada
pasien yang tidak bisa berjalan tanpa bantuan.
Pada pasien yang statusnya memburuk setelah perbaikan atau stabilisasi awal,
retreatment dengan bentuk imunoterapi yang lain dapat dipertimbangkan. Namun,
plasma exchange tidak boleh dilakukan pada pasien yang sudah diterapi dengan
immune globulin karena akan mengeluarkan immune globulin yang masih ada
dalam darah. Dan juga, immune globulin tidak boleh digunakan pada pasien yang
sudah diterapi dengan plasma exchange karena rangkaian terapi tersebut tidak
lebih baik secara signifikan daripada plasma exchange saja.
Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya
paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Plasma exchange secara tidak
spesifik menghilangkan antibodi dan komplement dan tampak terkait mengurangi
kerusakan saraf dan perbaikan klinis lebih cepat, dibandingkan dengan terapi suportif
saja. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah
munculnya gejala pada pasien yang tidak dapat berjalan. Regimen empiris standar
terdiri dari 5 sesi (4050 ml/kgBB) dengan saline dan albumine sebagai
penggantinya, selama 2 minggu. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat
dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE.
Intravenous Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis
yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut sehingga mengurangi injuri
saraf dan mempercepat perbaikan klinis. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2
minggu setelah gejala muncul dengan dosis 2 g/kgBB/hari selama 5 hari.
Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih
baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg.
Fisioterapi juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas
otot setelah paralisa.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau
cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis
vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.

Prognosis
Sindrom Guillain-Barr umumnya merupakan monofasik dan biasanya tidak
kambuh, tapi dua atau lebih episode telah dilaporkan pada 7% pasien. Interval rata-
rata antara kambuh pada pasien ini adalah 7 tahun. Meskipun hiporefleksia atau
areflexia merupakan ciri dari GBS, 10% dari pasien memiliki refleks normal atau
cepat selama berlangsungnya penyakit. Dengan demikian, kemungkinan GBS tidak
boleh dikecualikan pada pasien dengan refleks normal atau cepat jika semua ciri-ciri
lainnya mendukung diagnosis. Perburukan klinis setelah perbaikan atau stabilisasi
awal dengan imunoterapi menunjukkan bahwa pengobatan memiliki efek transien
atau munculnya chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy.
Pasien dengan GBS, 95% dapat bertahan hidup dengan 75% diantaranya sembuh
total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih
mungkin terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian
pada 5% pasien yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia.
Gejala yang terjadi biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali timbul,
3% pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa tahun
setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relapsing
inflammatory polyneuropathy.

2.2. Diagnosa banding GBS


Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan keadaan
lain. GBS bukan hanya merupakan tipe polineuropati generalisata akut yang paling
sering terjadi tetapi juga merupakan bentuk yang paling cepat berkembang dan
berpotensi menjadi fatal. Polineuropati apapun yang dapat membawa pasien ke jurang
kematian atau kegagalan pernafasan dalam beberapa hari, biasanya berasal dari varian
ini. Bagaimanapun, beberapa kondisi neurologis lainnya harus dipertimbangkan.
Masalah yang segera muncul adalah bagaimana caranya membedakan SGB dari
penyakit tulang belakang akut yang ditandai dengan paralisis sensorimotorik di
bawah batas yang ditentukan dan dengan gangguan sfingter yang jelas. Mungkin
terdapat beberapa kesulitan pada kasus lesi akut pada cord dimana refleks tendon
menghilang (shock spinal), atau dengan necrotizing myelopathy, dimana kehilangan
refleks tendon permanen mengikuti destruksi luas area abu-abu tulang belakang.
Gejala klinis yang juga membingungkan adalah retrensio urin yang lebih awal dan
bersifat sementara pada sebagian pasien SGB. Beberapa aturan penting yang berguna
untuk membedakan penyakit ini dengan mielopati servikal: pada SGB, biasanya otot
wajah dan pernafasan terlibat bila ada paralisis generalisata; ujung-ujung jari
menjadi parestesi jika gejala sensorik telah naik ke tingkat midcalves; kehilangan
gangguan sensorik yang jelas pada proksimal tangan atau kaki atau hanya pada
tubuh jarang terjadi pada awal penyakit; refleks tendon biasanya hilang pada tungkai
yang terlalu lemah untuk melawan gravitasi.
Paralisis motorik yang predominan merupakan karakteristik utama dari SGB, oleh
karena itu diagnosis banding juga mencakup poliomielitis, yang sekarang ini juga
disebabkan oleh virus West Nile dan enterovirus selain karena polio. Pada semua
kasus infeksius ini, penyakitnya ditandai dengan demam, gejala meningnoensefalitis,
pleositosis awal pada cairan spinal, dan paralisis motorik murni dan biasanya
arefleksi asimetris.
Meningitis karsinomatosa yang menyebabkan kelemahan distal subakut dan
simetris dan tampak mirip dengan SGB. Distribusi kelemahan yang ireguler antara
bagian proksimal dan distal, tidak adanya kelemahan wajah dan adanya gejala pada
satu tungkai setelah yang lainnya selalu dianggap sebagai tipe infiltrasi neoplastik
pada akar serabut saraf. Sciatika dapat terjadi pada salah satu proses tetapi nyeri
radikuler pada lengan jarang terjadi pada SGB. Pemeriksaan cairan spinal biasanya
dapat menyelesaikan masalah ini.
Masalah lain muncul dalam membedakan SGB generalisata dengan optalmoparesis
atau trombosis a.basiler varian Fisher. Adanya pupil reaktif, arefleksi dan
abnormalitas gelombang F pada SGB, sedangkan refleks dan tanda Babinsky positif
pada kasus infark batang otak, membedakan kelainan-kelainan tersebut. Ptosis dan
kelemahan okulomotorik, kelainan SGB pada beberapa kasus generalisata berat dan
pada sindroma Fisher, dapat dibandingkan dengan miastenia gravis, tapi pada
penyakit ini tidak ada gejala sensorik dan refleks tendon tidak terganggu. Otot
mandibular tetap relatif kuat pada SGB, sedangkan rahang yang bekerja dapat
terbuka pada miastenia gravis. Botulisme juga dapat memicu SGB, tetapi refleks
pupil hilang pada awal botulisme (paralisis pupil terjadi terutama pada kasus SGB
lanjut), dan biasanya ada bradikardi, yang biasanya jarang terjadi pada SGB. Paralisis
tik, penyakit yang terjadi pada anak-anak di Amerika Serikat tetapi terjadi pada anak
dan orang dewasa di Australia, hampir tidak mungkin untuk dibedakan dengan SGB
kecuali ditemukan tik. Sebagai tambahan pada paralisis asending, keduanya juga
terkadang menyebabkan ataksia dan dapat melumpuhkan gerakan mata, tetapi
kehilangan sensorik biasanya bukan merupakan gambaran dari paralisis tik dan
protein CSS tetap normal. Menelan kerang atau ikan karang yang terkontaminasi
dengan saxitoksin, ciguatoksin, atau tetrodotoksin (ciguatera, keracunan kerang
neurotoksik) merupakan penyebab lain parestesi fasial-brakial akut, kelemahan,
takipneu, dan iridoplegia yang bertahan selama beberapa hari gejala yang menyerupai
varian SGB pada saraf kranial.
Sejumlah gangguan neuromuskular pada pasien yang sakit berat dengan gangguan
sistemik dapat sulit dibedakan dengan SGB. Hal ini meliputi polineuropati pada
penyakit kritis (lihat lebih lanjut); gagal ginjal dengan akselerasi neuropati yang
sering terlihat pada pasien diabetes dengan dialisis peritoneal (keduanya
didiskusikan lebih lanjut); hipofosfatemia akut yang disebabkan hiperalimentasi;
polimiopati yang disebabkan karena pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan efek
berkepanjangan dari obat penghambat neuromuskular, menyebabkan akumulasi
metabolit pada pasien dengan gagal ginjal dan asidosis. Episode porfiria paralitik
yang nyeri memberikan sedikit kesamaan dengan SGB.
Diagnosis SGB seringkali dapat langsung dibuat pada kasus-kasus yang khas,
namun gambaran yang tidak lazim memperluas pertimbangan diagnosis ke banyak
penyakit neuropati dan neuromuskuler lain. Yang perlu diperhatikan adalah bentuk
varian SGB lebih sering ditemukan daripada kelainan tak umum lain yang
menyerupai SGB.

Diagnosis diferensial Sindroma Guillain Barr


Kelainan batang otak
Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak*
Sindroma Locked In
Ensefalomielitis batang otak
Kelainan medulla spinalis
Mielitis transversal
Mielopati nekrotik akut
Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum
Mielopati akut lain
Kelainan sel kornu anterior
Poliomielitis
Rabies
Tetanus
Poliradikulopati
Difteri
Paralisis Tick
Neuropati Buckthorn
Keracunan Ciguatera
Penyakit Lyme
Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas
Keracunan organofosfat
Heksakarbon (neuropati penghirup lem)
Perhexiline
Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin
Porfiria intermiten akut
Neuropati vaskulitik*
Critical illness polyneuropathy
Kelainan transmisi neuromuskuler
Myastenia gravis
Botulismus
Hipermagnesemi
Paralisis yang diinduksi antibiotika
Bisa gigitan ular
Miopati
Polimiositis
Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat
Abnormalitas metabolik
Hipokalemi
Hipermagnesemia
Hipofosfatemia
Lain-lain
Histeri
Malingering
* : Penyebab tersering dari sindroma-sindroma yang mirip dengan SGB pada masing-
masing kategori

Histeria adalah kesalahan diagnosis yang paling sering terjadi pada awal perjalanan
penyakit jika parestesi merupakan satu-satunya gejala, dan jika masih terdapat refleks
tendo. Pasien-pasien seperti ini sering dipulangkan dari unit gawat darurat dan
kembali lagi dengan kelemahan menyeluruh dan gagal nafas. Jika didapatkan
kelemahan asimetris dan tak didapatkan kelemahan wajah pada kelemahan anggota
gerak yang hebat, maka perlu dipertimbangkan alternatif diagnosis lain khususnya
mielopati akut. Neuropati vaskulitis, polio, rabies, difteri, penyakit Lyme, dan
meningitis karsinomatosa dapat menyerupai SGB, namun biasanya didapatkan
kelemahan yang tak proporsional dari satu regio atau terdapat beberapa asimetri.
Keterlibatan saraf kranial pada SGB umumnya simetris, dan jika ada tanda saraf
kranial yang asimetris dan menetap harus dipertimbangkan diagnosis lain seperti
sarkoidosis, oklusi arteri basilaris, lesi foramen magnum, difteri, atau rabies. Gejala
dan tanda sensorik yang tidak proporsional tidak lazim pada SGB. Seperti misalnya
parestesi wajah yang menonjol, mengarah ke hipofosfatemia, neuropati toksik akut
(arsenik, Vacor, perhexilline, thallium), keracunan ikan neurotoksik, atau sindroma
neuronopati sensorik akut. Pada pasien-pasien dengan sindroma motorik murni,
keracunan timbal, poliomyelitis, botulisme, myastenia gravis, hipermagnesemia,
keracunan organofosfat, atau miopati akut dapat menunjukkan gejala seperti SGB.
Infark batang otak akibat oklusi arteri basilaris dapat menimbulkan paralisis
flaksid dan kelumpuhan bulber yang secara sepintas mirip SGB. Kelemahan
muncul saat onset, dan tak ada riwayat sakit demam sebelumnya. Walaupun
refleks-refleks dapat menghilang secara akut, respon ekstensor plantar dan
hiperefleksia akan berkembang setelah beberapa hari sampai minggu.
Abnormalitas saraf kranial sering terjadi, tapi biasanya asimetris dan gerakan
vertikal mata masih bisa dilakukan. Tidak seperti SGB, pasien biasanya obtunded
dan menurun kesadarannya akibat iskemia atau infark ARAS, walaupun jarang
terdapat pasien yang masih sadar dalam kondisi locked in.
Myelitis transversal servikal akut muncul sebagai kuadriplegia progresif cepat,
namun disfungsi sfingter merupakan tanda dini dan menonjol. Kelemahan
umumnya asimetris. Mungkin didapatkan arefleksia yang berkaitan dengan syok
spinal akut, walaupun satu-dua refleks masih dipertahankan pada anggota gerak
yang lemah dan masih terdapat respon ekstensor plantar. Pemeriksaan sensorik
seksama mestinya dapat menentukan tingkat lesi sensorik spinal dan saraf-saraf
kranial yang terlibat. Sering didapatkan respon seluler pada LCS, dan MRI servikal
atau torakal umumnya dapat menentukan diagnosis, menunjukkan gambaran
abnormal parenkim medulla spinalis pada pencitraan T2-weighted.
Botulismus pada awalnya menunjukkan gejala seperti SGB varian orofaring
dan okuler, tapi pada perjalanan penyakit kelemahan menyeluruh terjadi
belakangan. Penyakit dimulai dalam waktu jam sampai hari setelah konsumsi
makanan yang terkontaminasi. Mual dan muntah diikuti oleh konstipasi dan gejala
neurologis lain. Pandangan kabur terjadi pada tahap awal, diikuti ptosis dan
kelemahan orofaring. Dilatasi pupil dengan akomodasi refleks cahaya yang
berkurang merupakan tanda khas botulisme, namun tanda ini dapat tidak ada atau
timbul terlambat. Bertentangan dengan SGB, kelemahan otot respirasi sering tidak
proporsional dengan kelemahan otot anggota gerak, dan refleks-refleks biasanya
masih ada. LCS normal dan pemeriksaan elektrodiagnosis menunjukkan rendahnya
amplitudo potensial aksi otot campuran dengan peningkatan respon pada stimulasi
saraf repetitif frekuensi tinggi, menggambarkan adanya gangguan transmisi
neuromuskuler presinaptik. Diagnosis ditegakkan dengan deteksi toksin botulinus
dalam serum atau kultur Clostridium botulinum dari feses.
Hipokalemia berat (Kalium serum kurang dari 2 mEq/l), hipermagnesemia, atau
hipofosfatemia dapat menyebabkan kelemahan otot generalisata yang mirip SGB.

A. Poliomielitis
Poliomielitis merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
enterovirus. Infeksi virus ini dapat menyerang SSP, khususnya kornu anterior
medula spinalis dan nukleus batang otak. Poliovirus menginfeksi melalui jalur
fekal-oral tetapi dapat juga melalui kontak langsung.
Sebagian besar infeksi yang disebabkan oleh polio ada beberapa gejala khas.
Namun hampir 95% dari semua orang yang terkena virus polio tidak akan
menunjukkan gejala apapun. Sekitar 5% orang yang terinfeksi akan mengalami
gejala ringan, seperti sakit tenggorokan, leher kaku, sakit kepala, dan demam, dan
seringkali terdiagnosis sebagai pilek atau flu. Kelumpuhan otot telah diperkirakan
terjadi pada sekitar satu dari setiap 1.000 orang yang terkena.
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9-12 hari, tetapi kadang-kadang 3-
35 hari. Gambaran klinis yang terjadi sangat bervariasi mulai dari yang paling
ringan sampai dengan yang paling berat, yaitu antara lain :
Asimptomatik
Kejadian infeksi yang asimptomatik ini sulit diketahui, tetapi biasanya cukup
tinggi terutama di daerah yang standar kebersihannya jelek. Pada suatu endemik
polio diperkirakan terdapat pada 9-95% penduduk dan menyebabkan imunitas
terhadap penyakit polio. Bayi baru lahir mula-mula terlindungi karena adanya
antibodi maternal yang kemudian akan menghilang setelah usia 6 bulan. Penyakit
ini hanya diketahui dengan menemukan virus di tinja atau meningginya titer
antibodi.
Poliomielitis abortif
Kejadiannya diperkirakan 4-8% dari jumlah penduduk pada suatu daerah yang
tingkat kejadiannya cukup tinggi. Tidak dijumpai gejala khas poliomielitis.
Timbul mendadak dan berlangsung 1-3 hari dengan gejala minor illness seperti
demam bisa mencapai 39,5 oC, malaise, nyeri kepala, sakit tenggorokan,
anoreksia, muntah, nyeri otot dan nyeri perut serta kadang-kadang diare. Penyakit
ini sukar dibedakan dengan penyakit virus lainnya, hanya dapat diduga bila
terjadi di daerah yang epidemik polio. Diagnosis pasti hanya dengan menemukan
virus pada biakan jaringan. Diagnosis banding adalah influenza atau infeksi
tenggorokannya lainnya.
Poliomielitis non paralitik
Penyakit ini terjadi 1% dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama dengan infeksi
abortif yang berlangsung 1-2 hari. Setelah itu suhu menjadi normal, tetapi
kemudian naik kembali (dromary chart), diserta dengan gejala nyeri kepala, mual
dan muntah lebih berat, dan ditemukan kekakuan pada otot belakang leher,
punggung serta tungkai. Tanda kaku kuduk, kernig dan brudzinsky positif. Tanda
lain adalah bila anak berusaha duduk dengan sikap tidur, maka ia akan
menekukkan kedua lututnya ke atas, sedangkan kedua lengan menunjang ke
belakang pada tempat tidur. Head drop yaitu bila tubuh penderita ditegakkan
dengan menarik pada kedua ketiak, akan menyebabkan kepala terjatuh ke
belakang. Refleks tendon biasanya normal. Bila refleks tendon berubah maka
kemungkinan akan terjadi poliomielitis paralitik.
Poliomielitis paralitik
Gambaran klinis sama dengan poliomielitis non paralitik disertai dengan
kelemahan satu atau beberapa kumpulan otot skelet atau kranial. Gejala ini bisa
menghilang selama beberapa hari dan kemudian timbul kembali disertai dengan
kelumpuhan (paralitik) yaitu berupa flaccid paralysis yang biasanya unilateral
dan simetris yaitu paling sering terkena adalah tungkai. Keadaan ini bisa disertai
kelumpuhan vesika urinaria, atonia usus dan kadang-kadang ileus paralitik. Pada
keadaan yang berat dapat terjadi kelumpuhan otot pernafasan. Secara klinis dapat
dibedakan atas 4 bentuk sesuai dengan tingginya lesi pada susunan saraf pusat
yaitu:
a. Bentuk spinal dengan gejala kelemahan otot leher, perut, punggung,
diafragma, ada ekstremitas dimana yang terbanyak adalah ekstremitas bawah.
Tersering yaitu otot-otot besar, pada tungkai bawah kuadriseps femoralis, pada
lengan deltoid. Sifat kelumpuhannya ini adalah asimetris. Refleks tendon
menurun sampai menghilang dan tidak ada gangguan sensibilitas.
b. Bentuk bulbar ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf
kranial dengan atau tanpa gangguan pusat vital seperti pernafasan, sirkulasi
dan temperatur tubuh. Bila kelemahan meliputi saraf kranial IX, X dan XII
maka akan menyebabkan paralisis faring, lidah dan taring dengan konsekuensi
terjadi sumbatan jalan nafas.
c. Bentuk bulbospinal didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan
bulbar.
d. Bentuk ensefalitik ditandai dengan kesadaran yang menurun, tremor dan
kadang-kadang kejang.

Perbedaannya dengan SGB adalah pada poliomielitis tidak didahului oleh ISPA,
bertahap, kelumpuhannya unilateral, asimetris, pada pemeriksaan cairan
cerebrospinal terdapat pleositosis, kesembuhan tidak total dan prognosisnya lebih
buruk dibandingkan dengan SGB.

B. Myasthenia gravis
Miastenia gravis adalah penyakit yang disebabkan adanya gangguan autoimun
saraf perifer berupa terbentuknya antibodi terhadap reseptor pascasinaptik
asetilkolin (Ach) nikotinik pada myoneural junction. Penurunan jumlah reseptor
Ach ini menyebabkan penurunan kekuatan otot yang progresif dan terjadi
pemulihan setelah istirahat. Otot skeletal mudah mengalami kelemahan. Dijumpai
pada anak, dewasa dan orang tua, terbanyak pada usia 10-30 tahun. Umur
dibawah 40 tahun banyak pada wanita sekitar 28 tahun, umur lebih dari 40 tahun
banyak pada pria. Gejala khas dari penyakit ini adalah kelemahan dan kelelahan
otot skelet setelah beraktivitas dan membaik setelah istirahat. Kriteria diagnosis
dari Miatenia gravis adalah:
1. Klinis : bangun tidur penderita merasa segar setelah beraktifitas penderita
merasa lemah, ptosis, pandangan ganda (diplopia), suara makin lemah
(disfoni), dan kesulitan menelan (dysphagia), respiratory & limb muscles
weakness, head drop
2. Pemeriksaan antibodi anti reseptor asetilkolin : titer antibodi ini meninggi
pada 90% penderita MG golongan IIa dan IIb. Titer antibodi ini berkorelasi
dengan beratnya penyakit
3. Rontgen thoraks atau CT thoraks : untuk melihat adanya timus persisten atau
timoma
4. Ice pack test
5. Tes tensilon (edrofonium klorida) : positif apabila ada perbaikan kekuatan otot
yang jelas
6. EMG

C. Botulisme
Botulisme merupakan intoksikasi, seperti halnya dengan tetanus. Toksin
botulisme diproduksi oleh Clostridium botulinum. Botulisme adalah penyakit
langka tapi sangat serius. Merupakan penyakit paralisis gawat yang disebabkan
oleh racun (toksin) yang menyerang saraf yang diproduksi bakteri Clostridium
Botulinum. Clostridium botulinum berkembang biak melalui pembentukan spora
dan produksi toksin. Toksin tersebut dapat dihancurkan oleh suhu yang tinggi,
karena itu botulisme sangat jarang sekali dijumpai di lingkungan atau masyarakat
yang mempunyai kebiasaan memasak atau merebus sampai matang.
Toksin mengikat secara ireversibel pada membran presynaptic neuromuskular
perifer dan autonom nerve junction. Toksin mengikat blok pelepasan asetilkolin,
mengakibatkan kelemahan, flaccid paralysis, dan, sering, respiratory arrest.
Ada 3 jenis utama botulisme :
1. Foodborne Botulisme : Disebabkan karena makanan yang mengandung toksin
botulisme.
2. Wound Botulisme : Disebabkan toksin dari luka yang terinfeksi oleh
Clostridium Botulinum.
3. Infant Botulisme : Disebabkan karena spora dari bakteri botulinum, yang
kemudian berkembang dalam usus dan melepaskan toksin.
Semua bentuk botulisme dapat fatal dan merupakan keadaan darurat. Foodborne
botulisme mungkin merupakan jenis botulisme yang paling berbahaya karena
banyak orang dapat tertular dengan mengkonsumsi makanan yang tercemar.
Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari botulisme berupa diplopia,
penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan bertambah dengan paralise
lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan otot-otot pernafasan.
Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan diagnosa
botulisme adalah CT-Scan, pemeriksaan serebro spinalis, nerve conduction test
seperti electromyography atau EMG.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di serum
pasien juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita dengan
foodborne atau infant botulisme.

D. Mielitis transversa
Myelitis transversa adalah kelainan neurologi yang disebabkan oleh
peradangan sepanjang medulla spinalis baik melibatkan satu tingkat atau segmen
dari medulla spinalis. Istilah mielitis menunjukkan peradangan pada medulla
spinalis, transversa menunjukkan posisi dari peradangan sepanjang medulla
spinalis. Serangan inflamasi pada medulla spinalis dapat merusak atau
menghancurkan mielin yang merupakan selubung serabut sel saraf. Kerusakan ini
menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf yang menganggu hubungan antara
saraf pada medulla spinalis dan tubuh.
Myeliti transversa merupakan suatu gangguan neurologi yang
disebabkan oleh kehilangan selubung mielin pada medulla spinalis, disebut juga
sebagai demielinisasi. Demielinisai ini muncul secara idiopatik menyertai infeksi
atau vaksinisasi, atau disebabkan multipel sclerosis. Salah satu teori mayor
tentang penyebabnya adalah bahwa inflamasi immune-mediated adalah sebagai
suatu hasil paparan terhadap antigen virus. Kelainannya berupa inflamasi
melibatkan medulla spinalis pada kedua sisinya. Pada mielitis transversa akut,
onset terjadi tiba tiba dan progresif dalam beberapa jam dan atau beberapa hari.
Lesi dapat terjadi di setiap bagian dari medulla spinalis meskipun biasanya
terbatas pada bagian kecil saja.
Mielitis transversa dapat diderita oleh orang dewasa dan anak anak baik
pada semua jenis kelamin maupun ras. Usia puncak insidens mielitis transversa
terjadi antara umur 10-19 dan 30-39 tahun. Meskipun sedikit peneliti yang
meneliti rata-rata insidensi tersebut, diperkirakan sekitar 1400 kasus baru tiap
tahun di diagnosa sebagai mielitis transversa di Amerika Serikat.
Para peneliti tidak dapat menentukan secara pasti penyebab mielitis
transversa. Infalamasi yang menyebabkan kerusakan yang luas pada serabut saraf
dari medulla spinalis dapat disebabkan oleh infeksi viral, reaksi autoimun yang
abnormal atau menurunnya aliran darah melalui pembuluh darah yang terletak
pada medulla spinalis. Beberapa kasus yang penyebabnya tidak dapat diketahui
disebut idiopatik.
Mielitis transversa sering terjadi setelah infeksi virus. Agent infeksi
perkirakan penyebab mielitis tranversa termasuk antara lain, varicella zoster,
herpes simplex, sitomegalovirus, Epstein-Barr, influensa, echovirus, human
immunodeficiency virus (HIV), hepatitis A dan rubella. Mielitis transversa juga
dihubungkan dengan beberapa infeksi bakteri pada kulit, infeksi telinga
tengah( otitis media), dan Mycoplasma pneumoniae ( pneumonia bakterial).
Mielitis tranversa dapat terjadi secara akut (terjadi dalam beberapa jam sampai
beberapa hari), subakut (terjadi dalam satu atau dua minggu- 6 minggu) dan
kronik (Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu).
Gambaran klinis:
Pasca infeksi / pasca vaksinasi mulai timbul deficit neurology setelah 5
10 hari
Perjalanan penyakit akut
50% timbul dalam waktu 12 jam
75% timbul dalam waktu 24 jam
Segmen medulla spinalis yang sering terkena antara segmen thoracal 2
thorakal 6
KHAS : Spinal Shock semua fungsi di bawah lesi tersebut berhenti
Gejala awal umumnya meliputi sakit pinggang didaerah yang terlokalisasi,
parastesia yang mendadak (perasaan yang abnormal seperti terbakar, gatal,
tertusuk, atau perasaan geli) di kaki, hilangnya sensorik dan paraparesis
(kelemahan pada sebagian kaki). Paraparesis sering menjadi paraplegia
(kelemahan pada kedua kaki dan pungung bagian bawah). Gangguan fungsi
kandung kemih dan buang air besar sering terjadi. Beberapa penderita juga
melaporkan mengalami spasme otot, gelisah, sakit kepala, demam, dan hilangnya
selera. Tergantung pada segmen medulla spinalis yang terlibat, beberapa penderita
mengalami masalah dengan sistem respiratori. Dari beberapa gejala, muncul
empat gejala klasik mielitis tranversa :
Kelemahan otot atau paralisis kedua lengan atau kaki.
Nyeri
Kehilangan rasa pada kaki dan jari jari kaki
Disfungsi kandung kemih dan bowel
Beberapa penderita mengalami tingkatan kelemahan yang bervariasi pada kaki
dan lengan. Pada awalnya penderita dengan mielitis tranversa terlihat bahwa
mereka terasa berat atau menyerat salah satu kakinya atau lengan mereka terasa
lebih berat dari normal. Pergerakan tangan dan kaki misalnya kekuatan dapat
mengalami penurunan. Beberapa minggu penyakit tersebut secara progresif
berkembang menjadi kelemahan kaki secara menyeluruh.
Nyeri adalah gejala utama pada kira- kira sepertiga hingga setengah dari
semua penderita mielitis transvera. Nyeri terlokalisir di pinggang atau perasaan
yang menetap seperti tertusuk atau tertembak yang menyebar ke kaki, lengan atau
badan .
Penderita juga mengalami gangguan sensorik seperti kebas, perasaan geli,
kedinginan atau perasaan terbakar. Hampir 80 % penderita mielitis transversa
mengalami kepakaan yang tinggi terhadap sentuhan misalnya pada saat
perpakaian atau sentuhan ringan dengan jari menyebabkan ketidak nyamanan atau
nyeri (disebut allodinia). Beberapa penderita juga mengalami pekaan yang tinggi
terhadap perubahan temperatur atau suhu panas atau dingin. Gangguan pada
genitourinary dan gastrointestinal mungkin melibatkan peningkatan frekuensi
dorongan untuk buang air kecil atau buang air besar, inkontinensia, kesulitan
buang air kecil, dan sembelit. Selama perjalanan penyakit, sebagian besar orang
dengan myelitis transversa akan mengalami satu atau beberapa gejala.
Perbedaan dengan Guillain Barre Syndrome yaitu paraparesis pada pasien ini
bersifat assenden dimulai dari kaki kemudian naik ke betis lutut lalu sampai
setinggi dada, tetapi hal ini disingkirkan karena sebelumnya tidak menderita
ISPA, dan hasil MRI menyingkirkan hal tersebut (seharusnya pada GBS
gambaran MRI normal).
Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak didapati
blokade aliran likuor, pleoitosis moderat ( antara 20 200 sel/mm3 ) terutama
jenis limposit, protein sedikit meninggi ( 50 120 mg / 100ml). Berbeda dengan
sindroma gullain barre dimana djumpai peningkatan kadar protein tanpa diertai
pleositosis. Pada sindroma gullain barre, jenis kelumpuhan flakid serta pola
gangguan sensibilitasnya di sampaing mengenai kedua tungkai juga terdapat pada
kedua lengan (glove and stocking).

E. POLINEUROPATI
Penyakit polineuropati lain yang bersifat akut yang merupakan diagnosa
banding GBS antara lain, polineuropati difteri, porfiria intermiten akut (PIA),
neuropati toksik, paralisis tick, neuritis vaskulitis, Critical illness polyneuropathy
(CIP), penyakit Lyme dan lain-lain.
Difteri sekarang jarang dijumpai sebagai penyebab paralisis akut flaksid.
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan
kadang pada kulit, konjugtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan
gejala -gejala lokal dan sistemik,efeksistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi. Masa inkubasi kuman ini
antara 2-5 hari, penularan terjadi melalui kontak dengan penderita maupun carrier.
Sekitar 20% pasien, gejala berkembang menjadi paralisis fokal palatum dalam 4-
30 hari sejak infeksi primer diikuti oleh polineuropati sensorimotor difteri,
mempengaruhi ekstremitas.
Paralisis tick merupakan paralisis asenden progresif cepat yang menyerupai
SGB. Kelainan ini jarang, terjadi umumnya pada anak-anak bagian barat laut
Amerika Serikat dan Kanada utara yag disebabkan oleh gigitan kutu tick. Kunci
diagnosisnya adalah pemeriksaan yang teliti dan hati-hati untuk menemukan tick,
khususnya di daerah kulit kepala, batas rambut, leher dan pubis. Hilangnya tick
diikuti dengan kesembuhan cepat.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, penyakit Lyme dipertimbangkan pada
kasus SGB yang menunjukkan diplegia wajah atau jika didapatkan pleositosis
LCS.
Beberapa toksin dapat menyebabkan neuropati, yang segera terjadi setelah
paparan, memberikan gambaran mirip SGB, terutama jika tidak didapatkan
riwayat menelan toksin. Contohnya a.l timbal, arsenik, thalium, n-hexane
(neuropati penghirup lem) dan organofosfat. Gejala awal keracunan arsenik,
thallium, atau organofosfat berupa keluhan gastrointestinal dan mungkin
mengakibatkan salah interpretasi karena dianggap sebagai penyakit prodromal
SGB, sering kali diagnosis neuropati toksik akut diperjelas dengan keterlibatan
sistem organ lain, abnormalitas mukokutaneus, atau bukti toksisitas pada SSP
(ensefalopati, kejang, koma). SGB dapat disingkirkan dengan terdeteksinya toksin
yang dicurigai dalam serum atau urine.
Porfiria intermiten akut (PIA) dapat memunculkan neuropati yang sangat
mirip dengan SGB. Berbagai jenis obat, infeksi intercurrent, atau puasa dapat
memicu serangan akut. Gejala pertama adalah nyeri abdomen, yang sering
dihubungkan dengan rasa mual, muntah dan konstipasi. Sindroma-sindroma
psikiatri atau konfusi terjadi pada sebagian besar kasus, dengan kejang pada 10%-
20% pasien. Kelemahan pada neuropati porfiria bersifat simetris dan mulai pada
lengan atas, walaupun semua anggota gerak dapat terkena. Keterlibatan saraf
kranial tidak lazim, tapi sering terjadi disfungsi otonom, umumnya berupa sinus
takikardi atau hipertensi. PIA dapat dibedakan dengan SGB tipikal dengan
pemeriksaan elektrodiagnosis di mana PIA lebih menunjukkan gambaran
aksonopati daripada demyelinisasi. Selama serangan PIA, terdapat peningkatan
eksresi asam delta aminolvulinic dan porfobilinogen dalam urin.
Neuritis yang berhubungan dengan vaskulitis sistemik biasanya terjadi secara
subakut, namun mononeuritis multipleks akut dapat menjadi fulminan dan
memberikan gambaran polineuropati. Pasien-pasien dengan mononeuritis
multipleks ekstensif sulit dibedakan dengan SGB, namun nyeri anggota gerak
fokal, persisten dan asimetri yang nyata adanya keterlibatan saraf kranialis dan
otot-otot pernafasan, konsentrasi protein LCS yang normal dan pemeriksaan
elektrodiagnostik yang menggambarkan pola multifokal dengan kerusakan
aksonal primer merupakan petunjuk neuropati vaskulitis. Diagnosis pasti dapat
ditegakkan dengan adanya keterlibatan organ multisistem dan terdapatnya
vaskulitis pada material biopsi. Kami sudah mendapatkan contoh-contoh kasus
vaskulitis saraf perifer murni, tapi tidak terlalu fulminan dan menyeluruh,
sehingga tidak sulit dibedakan dengan SGB.
Critical illness polyneuropathy (CIP), miopati penyakit kritis atau paralisis
berkepanjangan setelah paparan obat atau bahan yang memblokade
neuromuskuler dapat dirancukan dengan SGB pada pasien-pasien di perawatan
intensif. CIP merupakan komplikasi yang umum terjadi pada pasien sepsis dan
kegagalan multi organ serta sering ditemukan saat ventilator dilepas. Kelemahan
otot-otot dan atrofi dengan refleks tendo yang menurun atau menghilang
ditemukan pada sebagian besar pasien, saraf kranial pada umumnya juga ikut
terkena. Sering terjadi kehilangan seluruh modalitas sensorik distal, tapi disfungsi
otonom tak didapatkan. Konsentrasi protein LCS normal dan pemeriksaan EMG
menunjukkan kerusakan aksonal dengan denervasi menyeluruh tanpa
demyelinisasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Kedua. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
2. Dewanto, G., Suwono, W., Riyanto, B., Turana, Y. 2009. Diagnosis Dan Tata
Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC..
3. Sidharta P, Mardjono M. 2003. Neurologi klinis dasar. Dian Rakyat Jakarta..
4. Tack, K.M. 2011. Botulism. medscape..
5. Andar, M.T. 2012. Guillain-Barre Syndrome. medscape..
6. Goldenberg, W. 2011.Emergent Management of Myasthenia Gravis. medscape.
7. Yuki, N., Hartung, H.P. 2012. Medical Progress : GuillainBarr Syndrome.
NEJM.
8. Newswanger, D., Warren, C. 2004. GuillainBarr Syndrome. American
Academy of Family Physicians.
9. Lange. Current Diagnosis & Treatment in Neurology. McGrawHill.

Anda mungkin juga menyukai