Anda di halaman 1dari 15

Prospeksi Endapan Emas Di Kabupaten Bombana

Provinsi Sulawesi Tenggara


Kisman, Ernowo dan Endang Suwargi
Pusat Sumber Daya Geologi

ABSTRAK

Pendulangan emas alluvial oleh masyarakat di daerah Kecamatan Rarowatu dan


Kecamatan Rarowatu Utara Kabupaten Bombana selain memberikan pendapatan bagi
masyarakat, juga menimbulkan berbagai masalah sosial, administrasi, teknis dan lingkungan
setempat, sehingga perlu dilakukan pengawasan dan penertiban dalam kegiatan pengelolaan
penambangannya.
Kegiatan prospeksi ini dilakukan untuk mengetahui penyebaran dan sumberdaya endapan
emas di daerah tersebut dengan tujuan untuk memberikan masukan teknis kepada pemerintah
kabupaten setempat.
Kegiatan ini dilakukan dengan metode pemetaan geologi, pemetaan endapan alluvial,
pemercontoan geokimia dan konsentrat mineral berat dan analisis laboratorium terhadap 20
conto sedimen sungai aktif, 73 conto konsentrat dulang dan 20 conto batuan.
Analisis kimia batuan menunjukkan kisaran nilai Cu = 5 72 ppm, Pb = 18 4160 ppm,
Zn = 56 177 ppm, Ag = 0,5 5 ppm dan Au = 18 172 ppb dan dari conto endapan sungai
aktif memiliki nilai kisaran Cu = 2 30 ppm, Pb = 9 54 ppm, Zn = 5 95 ppm, Ag = 0,5 1
ppm dan Au = 3 30 ppb. Analisis mineralogi butir dari konsentrat dulang menunjukkan nilai
yang sangat variatif sekali antara 0,0026 g/m3 sampai 22,12 g/m3, butiran emas dari
konsentrat dulang semua ditemukan di bagian utara dari perbukitan Tangkeno, Wumbubangka.
Dua tipe cebakan emas ditemukan yaitu cebakan emas primer pada satuan batuan sekis
yang kemudian mengalami oksidasi yang mengakibatkan pengayaan dan endapan letakan pada
satuan alluvium. Endapan emas sekunder ada satuan alluvium ini memiliki sumberdaya
minimum 196,53 kg dan maksimum 26.499,76 kg setara dengan 26,50 ton.

PENDAHULUAN

Pada pertengahan tahun 2008 di daerah Bombana terjadi booming pendulangan emas
oleh rakyat yang diawali dengan penemuan butiran emas oleh masyarakat di daerah Sungai Tahi
Ite dan sekitarnya. Pada perkembangannya kegiatan pendulangan tidak hanya melibatkan
masyarakat setempat namun melibatkan pendulang-pendulang dari luar Kabupaten Bombana
bahkan dari luar Pulau Sulawesi.
Merebaknya jumlah pendulang yang berlangsung sangat pesat akhirnya menimbulkan
permasalahan sosial yang berkaitan dengan hak kepemilikan lahan dan penggunaan jalan,
permasalahan lingkungan berupa kerusakan lahan dan jalan serta permasalahan administrasi di
dalam penerbitan perijinan dan pengelolaan pendapatan asli daerah.
Kegiatan prospeksi endapan emas di Bombana dimaksudkan untuk mengetahui
penyebaran dan sumberdaya cebakan emas di daerah tersebut dengan tujuan untuk memberikan
masukan teknis kepada pemerintah daerah di dalam penerbitan dan penertiban perijinan
serta pengelolaan penambangannya.
Lokasi penyelidikan meliputi Kecamatan Poleang Utara, Kecamatan Rarowatu dan
Kecamatan Rarowatu Utara, Kabupaten Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara (Gambar 1).

Gambar 1. Peta Lokasi Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara

METODOLOGI

Rangkaian kegiatan prospeksi ini dilaksanakan dengan metode pemetaan geologi untuk
mengamati jenis batuan, perubahan satuan batuan dan sebarannya, struktur geologi dan indikasi
mineralisasi; pemetaan endapan alluvial untuk memperkirakan batas-batas vertikal dan lateral,
dengan membuat penampang terukur dari sumur uji; Pemercontoan geokimia dan konsentrat
mineral berat, dilakukan dengan mengambil conto endapan sungai aktif dengan saringan fraksi
80 mesh di sungai orde 1, orde 2 dan atau orde 3 dan batuan termineralisasi.
Pengambilan conto konsentrat mineral berat pada endapan alluvial yang terbuka dengan
cara channel sampling juga pada sumur-sumur uji dengan volume sekitar 10 liter; Analisis
laboratorium berupa analisis petrografi, analisis mineragrafi, analisis mineralogi butir, analisis
geokimia terhadap unsur Au, Ag, Cu, Pb, dan Zn.

GEOLOGI DAERAH PENYELIDIKAN

Morfologi daerah penyelidikan dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu perbukitan terjal,
perbukitan bergelombang rendah dan daerah relatif datar. Perbukitan terjal, menempati bagian
selatan daerah penyelidikan, perbukitan bergelombang rendah menempati daerah bagian sisi
barat, baratlaut hingga agak ke tengah pada daerah penyelidikan. Daerah yang relatif datar
menempati bagian utara timurlaut daerah penyelidikan. Ketiga kategori morfologi tersebut di
atas hampir seluruhnya ditumbuhi oleh padang rumput dan alang-alang, hanya daerah di bagian
selatan ditumbuhi jenis pohon kayu yang ditempati satuan batuan metamorf (Foto 1).

Foto 1. Morfologi pedataran dan perbukitan bergelombang rendah - terjal di daerah Wumbubangka

Pola aliran sungai yang berkembang adalah pola denditrik di bagian utara yang
mencirikan bahwa secara umum batuan yang menempati daerah tersebut relatif homogen. Di
bagian selatan berkembang pola aliran sungai paralel dan sub trelis yang menunjukkan kontrol
struktur berupa sesar dan kekar cukup kuat dengan batuan yang relatif keras.
Stratigrafi daerah penyelidikan tersusun oleh satuan batuan dari yang berumur tua ke
muda berupa sekis, batupasir konglomeratan, batugamping, dan alluvium (Gambar 2). Sekis
terdiri dari sekis mika, sekis klorit dan sekis amfibolit dengan struktur foliasi. Di dalam satuan
batuan metamorf ini terdapat bongkahan-bongkahan batuan tersilisifikasi dengan kuarsa
berstruktur cockade, vuggy mengisi foliasi dan rekahan-rekahan batuan sekis (Foto 2).
Satuan Batupasir-Konglomeratan tersusun oleh perselingan dan perulangan endapan-
endapan batuan konglomerat, batupasir konglomeratan, batupasir dan batulempung (Gambar 3).
Satuan batugamping tersingkap di bagian selatan dari lokasi mata air panas, berupa bongkahan-
bongkahan yang tertanam dalam tanah dengan membentuk morfologi permukaan datar pada
bukit rendah. Endapan Alluvial berupa material lepas terdiri dari lumpur, lempung, pasir dengan
material rombakan berukuran kerikil dan kerakal fragmen kuarsa, sekis, rijang, batupasir
berumur Kuarter sebagai hasil dari endapan oleh aliran alur-alur sungai.

Gambar 2. Peta geologi dan mineralisasi daerah penyelidikan


Struktur geologi utama yang berkembang di daerah penyelidikan berupa sesar normal yang
memiliki arah umum barat-timur dengan bagian utara merupakan hanging wall yang memisahkan
satuan morfologi perbukitan di bukit Tangkeno Wumbubangka dengan perbukitan rendah dan
pedataran disebelah utara.

Gambar 3. Profil satuan batuan konglomerat-batupasir Desa Raurau, Kecamatan Rarowatu


ANALISIS DAN HASIL

Sebanyak 20 conto sedimen sungai aktif, 73 conto konsentrat dulang dan 20 conto batuan
diambil untuk dilakukan analisis laboratorium baik geokimia unsur, mineralogi butir, petrografi
dan mineragrafi (Gambar 4).
Dari pengambilan konsentrat dulang teramati adanya butiran emas yang berukuran sangat
halus sampai kasar dengan bentuk pipih sampai membulat tanggung. Butiran-butiran emas ini
ditemukan pada conto yang diambil dari batuan sekis yang teroksidasi dan pada satuan alluvium
baik pada material lepas konglomerat, lempung dan tanah penutup.
Hasil analisis kimia batuan dan conto endapan sungai aktif, terlihat bahwa dari singkapan
mapun apungan batuan kandungan unsur adalah: Cu = 5 72 ppm, Pb = 18 4160 ppm, Zn =
56 177 ppm, Ag = 0,5 5 ppm dan Au = 18 172 ppb. Sedangkan kandungan unsur dalam
conto endapan sungai aktif adalah: Cu = 2 30 ppm, Pb = 9 54 ppm, Zn = 5 95 ppm, Ag =
0,5 1 ppm dan Au = 3 30 ppb (Tabel 1).
Conto batuan yang memiliki kandungan unsur Au paling tinggi adalah B3/R dan B9/R
masing-masing 159 ppb dan 172 ppb yang merupakan batuan ubahan kuarsa-serisit batuan insitu
bagian lereng sebelah utara Bukit Tangkeno Wumbubangka. Nilai tersebut lebih tinggi
dibandingkan kandungan rata-rata pada batuan ultrabasa 0,006 ppm (Foldvari-Vogl, 1978).
Sedangkan hasil analisis conto endapan sungai aktif relatif sangat kecil dengan kisaran terkecil 3
ppb Au dan terbesar 37 ppb Au.
Analisis mineralogi butir seperti halnya pada conto endapan sungai aktif, conto nomor
B5/P sampai B19/P dimaksudkan untuk menangkap kemungkinan adanya emas pada satuan
batuan metamorf, meskipun di daerah tersebut tidak ada masyarakat yang melakukan
pendulangan. Conto konsentrat dulang yang mengandung butiran emas seluruhnya berasal dari
daerah lereng utara Bukit Tangkeno Wumbubangka hingga lembahnya (Foto 2 dan Tabel 2).
Untuk menghitung berat emas pada masing-masing conto digunakan konversi satuan
color emas, 1VFC = 0,026 mg, 1FC = 0,060 mg, 1MC = 0,3125 mg, 1CC = 1,20 mg dan 1VCC
= 3,52 mg. (VFC: very fine color, FC: fine color, MC: medium color, CC: coarse color, VCC:
very coarse color.
Gambar 4. Peta lokasi conto hasil analisis kandungan emas Daerah Tahi Ite-Wumbubangka dan
sekitarnya, Kabupaten Bombana
Gambar 5. Peta alur-alur endapan alluvium daerah penyelidikan di Tahi Ite - Wumbubangka dan
sekitarnya

Tabel 1. Hasil Analisis Kimia Batuan dan Conto Endapan Sungai Aktif
Hasil analisis menunjukkan nilai yang sangat variatif sekali antara 0,0026 g/m3 sampai
22,12 g/m3. Angka yang terkecil dari suatu conto bahkan tidak terdapat emas padahal
pengambilannya dilakukan pada daerah yang sama dengan masyarakat yang melakukan
pendulangan. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dilakukan pendulangan hanya 1 x 10 liter
pada satu tempat. Oleh karena itu kisaran angka yang diambil 0,16405 g/m3 sampai 22,12 g/m3.
Sedangkan nilai 22,12 g/m3 secara kebetulan masyarakat banyak menemukan lokasi yang kaya.

Tabel 2. Hasil analisis mineralogi butir emas


DISKUSI

Dari hasil pengamatan, pengukuran dan pencatatan data-data yang didapatkan di


lapangan, dapat diinterpretasikan suatu model keterdapatan emas di lokasi penyelidikan berupa
cebakan emas primer dan endapan emas sekunder. Ada dua kemungkinan terbentuknya cebakan
emas primer :

1. Mineralisasi terjadi sebelum proses metamorfosa batuan induk, dengan diketemukanya


bongkahan batuan yang terubah dan termineralisasi dengan bentuk bagian luar yang relatif
menyudut sampai membulat tanggung dengan struktur cockade, vuggy (Foto 3)
merupakan ciri khas produk dari proses mineralisasi hidrotermal.
2. Mineralisasi terjadi setelah adanya proses metamorfosa, dimana satuan batuan sekis yang
mengalami pemineralan berupa urat-urat kuarsa yang mengisi rekahan atau rongga-rongga
penjajaran (foliasi) mineral pada satuan batuan sekis, sehingga mengubah batuan menjadi
tersilisifikasi. Mineral-mineral kuarsa yang mengisi rekahan atau rongga-rongga
membentuk struktur cockade, vuggy dan dogteeth (Foto 3). Bentuk struktur tersebut
merupakan khas terjadi pada mineralisasi endapan epitermal
Bagian hanging wall yang membentuk perbukitan rendah ini kemudian mengalami oksidasi
(Foto 4) yang mengakibatkan terjadinya proses pengayaan.Kemungkinan proses hidrotermal
masih aktif sampai saat ini dengan ditemukannya sumber mata air panas (Foto 5)
Tipe endapan yang lain adalah emas letakan berupa endapan alluvial sebagai hasil
rombakan material dari satuan batuan sekis yang mengalami mineralisasi dan rombakan satuan
konglomerat. Endapan sekunder ini berada pada cekungan-cekungan yang terbentuk pada kontak
satuan batuan tersebut berupa lembah sepanjang alur-alur sungai yang hulunya di sayap utara
lereng bukit Tangkeno Wumbubangka (Foto 6). Berdasarkan data sumur uji disepanjang alur-
alur sungai, menunjukkan paling sedikit ada dua lapisan alluvium yang mengandung emas.
Lapisan bagian atas umumnya kandungan emasnya lebih sedikit dibandingkan lapisan yang di
bawah dengan ketebalan masing-masing lapisan sangat bervariasi.

Sesuai dengan tahap penyelidikan yang dilakukan meliputi wilayah cakupan seluas
31.790 Ha, dalam membahas potensi endapan bahan galian akan digunakan beberapa asumsi
parameter untuk mengetahui sumberdaya endapan emas di daerah penyelidikan. Dalam tulisan
ini menggunakan data dari hasil analisis mineral butir yang akan dijadikan sebagai salah satu
parameter dalam perkiraan potensi yang terdapat di daerah penyelidikan. Angka kandungan emas
minimum dan maksimum yang diambil dari data itu adalah 0,16405 g/m3 dan 22,12 g/m3.
Digunakannya angka satu digit di belakang koma sebagai nilai terendah meskipun conto yang
diambil di lokasi yang benar-benar terdapat kandungan emas dengan bukti masyarakat rame-rame
bersama melakukan pendulangan.
Pendulangan 1 x 10 liter material alluvium pada satu tempat, sehingga sangat mungkin pada
pengambilan conto yang hanya 10 liter ini kosong atau tidak terdapat butiran emasnya. Dengan
keyakinan di lapangan bahwa semua alur- alur sungai yang terpilih sebagaimana dalam Gambar 5
terdapat endapan emas.
Guna menghitung sumberdaya emas digunakan data volume material alluvium yang
mengandung butiran emas, dimana material alluvium yang ada dalam alur aliran sungai (Gambar 5)
meliputi jumlah panjang aliran sungai 119.900 m dengan rata-rata lebar sungai setelah di-buper
(ambil jarak kanan- kiri sungai) lima meter, maka luasnya menjadi 1.198.000 m2. Dengan asumsi
ketebalan diambil satu meter, maka volume material alluvium sebesar 1.198.000 m3. Selanjutnya
data kandungan emas dalam tiap meter kubik hasil analisis laboratorium untuk menentukan sumber
daya endapan emas sekunder digunakan nilai emas minimum 0,16405 g/m3 dan maksimum 22,12
g/m3.
Jadi sumberdaya emas sekunder daerah penyelidikan minimum adalah 0,16405 g/m3 x
1.198.000 m3 = 196.531,9 gram atau 196,53 kg. Sedangkan sumberdaya emas sekunder maksimum
adalah 22,12 g/m3 x 1.198.000 m3 = 26.499.76 gram atau 26.499,76 kg setara dengan 26,50 ton.
Prospek endapan emas tipe alluvial di daerah ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat melalui
proses penambangan rakyat yang tersebar mengikuti alur sungai-sungai yang berhulu di daerah bukit
Tangkeno Wumbubangka.
Sedangkan untuk endapan emas alluvium pada satuan batuan sekis yang teroksidasi dapat
dimanfaatkan melalui proses penambangan skala menengah menggunakan alat-alat mekanis, dengan
senantiasa mempertimbangkan kelestarian lingkungan.
KESIMPULAN

1. Satuan batuan yang terdapat di daerah penyelidikan adalah batuan metamorf berumur
KapurPaleosen batuan sedimen berumur neogen, dan endapan alluvial.
2. Struktur geologi yang dominan adalah sesar normal yang memisahkan satuan morfologi
perbukitan terjal dengan bukit rendah dan pedataran.
3. Proses hidrotermal diduga masih berlangsung hingga saat ini dengan dijumpainya
manifestasi air panas.
4. Terdapat dua tipe endapan emas yaitu endapan primer pada sebagian batuan sekis yang
terubah (silisifikasi-oksidasi) dan endapan sekunder pada daerah alluvium.
5. Sumberdaya emas sekunder minimum adalah 196,53 kg maksimum adalah 26.499,76 kg
setara dengan 26,50 ton.
SARAN

Daerah penyelidikan perlu ditindaklanjuti dengan pemetaan geologi lebih rinci untuk
mengetahui penyebaran batuan sekis yang terubah (silisifikasi-oksidasi) yang diduga merupakan
sumber dari keterdapatan mineral logam emas primer.

http://psdg.bgl.esdm.go.id/

Anda mungkin juga menyukai