Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Cirrhosis hepatic (sirosis hepatis) didefinisikan sebagai sekelompok


penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur lobular hepatik
normal dengan fibrosis, dan dengan destruksi sel-sel parenkim beserta
regenerasinya berbentuk nodul-nodul. Penyakit ini mempunyai periode laten yang
panjang, biasanya diikuti dengan pembengkakan dan nyeri abdomen,
hematemesis, edema dependen, atau ikterus secara mendadak. Pada stadium
lanjut, asites, ikterus, hipertensi portal, dan gangguan sistem saraf pusat,

yang dapat berakhir dengan koma hepatik, menjadi menonjol. [1]


Sirosis hepatis secara klinis dibagi menjadi sirosis hepatis
kompensata yang berarti belum adanya gejala klinis yang nyata dan sirosis
hepatis dekompensata yang ditandia gejala-gejala dan tanda klinis yang jelas.
Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses hepatitis kronik dan
pada satu tingkat tidak terlihat perbedaan secara klinis. Hal ini hanya dapat

dibedakan melalui pemeriksaan biopsi hati. [2]

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Hati


Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, berkontribusi sekitar 2% dari
total berat badan atau sekitar 1,5 kg pada orang dewasa. Hati merupakan organ
plastis lunak dan tercetak oleh struktur disekitarnya. Permukaan
superior berbentuk cembung dan terletak dibawah kubah kanan diafragma dan
sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan
atap ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus. Hati memiliki dua lobus utama,
kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh
fissura segmentalis yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen
medial
dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar.[2]

Beberapa ligamentum yang merupakan lipatan peritoneum membantu menyokong


hati. Dibawah peritoneum terdapat jaringan penyambung padat yang dinamakan
kapsula Glisson, yang meliputi seluruh permukaan organ, kapsula ini melapisi
mulai dari hilus atau porta hepatis di permukaan inferior, melanjutkan diri ke
dalam massa hati, membentuk rangka untuk cabang-cabang vena porta, arteri

hepatika, dan saluran empedu.[3,4]

2
Gambar 1. Permukaan anterior hati [5]

3
Gambar 2. Permukaan posterior hati [5]

2.2. Vaskularisasi Hati


Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa
melalui vena porta, dan aorta melalui arteria hepatica. Sekitar sepertiga
darah yang masuk adalah darah arteria dan sekitar dua pertiga adalah darah dari
vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap menit adalah 1.500 ml
dan dialirkan melalui vena hepatika dekstra dan sinistra, yang selanjutnya

bermuara pada vena kava inferior. [3]


Vena porta bersifat unik karena terletak antara dua daerah kapiler, satu
dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta
bercabang-cabang yang menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini
kemudian mempercabangkan vena interlobularis yang berjalan di antara lobulus-
lobulus. Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan diantara

lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. [3]


Vena sentralis dari beberapa lobulus membentuk vena sublobularis yang

selanjutnya kembali menyatu dan membentuk vena hepatika. Cabang-cabang


terhalus dari arteria hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid,
sehingga terjadi campuran darah arteria dari arteria hepatika dan darah vena dari
vena porta. Peningkatan tekanan dalam sistem ini sering menjadi manifestasi
4
gangguan hati dengan akibat serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh dari

mana darah portal berasal. [3]

2.3. Fisiologi Hati


Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperanan pada
hampir setiap fungsi metabolik tubuh, dan khususnya bertanggung jawab
atas lebih dari 500 aktivitas berbeda. Untunglah hati memiliki kapasitas
cadangan yang besar, dan hanya dengan 10-20% jaringan yang berfungsi, hati
mampu mempertahankan kehidupan. Destruksi total atau pembuangan hati
mengakibatkan kematian dalam 10 jam. Hati memiliki kemampuan regenerasi
yang tinggi. Pada sebagian besar kasus, pengangkatan sebagian hati, baik karena

sel sudah mati atau sakit, akan diganti dengan jaringan hati yang baru. [3]
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi utama hati, saluran
empedu hanya mengangkut empedu sedangkan kandung empedu menyimpan dan
mengeluarkan empedi ke usus halus sesuai kebutuhan. Hati mensekresi sekitar 1
liter empedu kuning setiap hari. Unsur utama empedu adalah air (97%), elektrolit,
garam empedu, fosfolipid (terutama lesitin) kolesterol, dan pigmen empedu
(terutama bilirubin terkonjugasi). Garam empedu penting untuk pencernaan dan
absorbsi lemak dalam usus halus. Setelah diolah oleh bakteri usus halus, maka
sebagian besar garam empedu akan direabsorbsi di ileum, mengalami
resirkulasi ke hati, serta kembali dikonjugasi dan disekresi. Bilirubin (pigmen
empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting,
namun merupakan petunjuk penyakit hati dan saluran empedu yang penting,
karena bilirubin cenderung mewarnai jaringan dan cairan yang berkontak

dengannya. [3]

Hati memegang peranan penting pada metabolisme tiga bahan makanan


yang dikirimkan oeh vena porta pasca absorbsi di usus. Bahan makanan tersebut
adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Monosakarida dari usus halus
diubah menjadi glikogen dan disimpan dalam hati (glikogenesis). Dari depot
glikogen ini, glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam darah (glikogenolisis)

5
untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sebagian glukosa dimetabolisme dalam
jaringan untuk menghasilkan panas dan energi, dan sisanya diubah menjadi
glikogen dan disimpan dalam jaringan subkutan. Hati mampu mensintesis
glukosa dari protein dan lemak (glukoneogenesis). Peranan hati pada
metabolisme sangat penting untuk kelangsungan hidup. Semua protein plasma,
kecuali gamma globulin, disintesis oleh hati. Protein ini termasuk albumin yang
diperlukan untuk mempertahankan tekanan osmotik koloid, dan protrombin,
fibrinogen, dan faktor- faktor pembekuan lain. Selain itu, sebagian besar
degradasi asam amino dimulai dalam hati melalui proses deaminasi atau
pembuangan gugus amonia (NH3). Amonia yang dilepaskan kemudian
disintesis menjadi urea dan disekresi oleh ginjal dan usus. Amonia yang
terbentuk dalam usus oleh kerja bakteri pada protein juga diubah menjadi
urea dalam hati. Fungsi metabolisme hati yang lain adalah metabolisme lemak,
penyimpanan vitamin, besi, dan tembaga, konjugasi dan ekskresi steroid
adrenal dan gonad, serta detoksifikasi sejumlah besar zat endogen dan eksogen.
Fungsi detoksifikasi sangat penting dan dilakukan oleh enzim-enzim hati melalui
oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau konjugasi zat-zat yang dapat berbahaya, dan
mengubahnya menjadi zat yang secara fisiologis tidak aktif. Zat-zat seperti
indol, skatol, dan fenol yang dihasilkan oleh kerja bakteri pada asam amino
dalam usus besar dan zat-zat eksogen seperti morfin, fenobarbital, dan obat-

obat lain, didetoksifikasi dengan cara demikian. [3]

Akhirnya, fungsi hati adalah sebagai ruang penampung atau saringan

karena letaknya yang strategis antara usus dan sirkulasi umum. Sel kupffer pada
sinusoid menyaring bakteri darah portal dan bahan-bahan yang membahayakan

dengan cara fagositosis. [3]

2.4. Regenerasi Hati

Berbeda dengan organ padat lainnya, hati orang dewasa tetap mempunyai
kemampuan beregenerasi. Ketika kemampuan hepatosit untuk beregenerasi sudah
terbatas, maka sekelompok sel pruripotensial oval yang berasal dari duktulus-

6
duktulus empedu akan berproliferasi sehingga membentuk kembali hepatosit dan

sel-sel bilier yang tetap memiliki kemampuan beregenerasi. [6,4]

7
Dari penelitian model binatang ditemukan bahwa hepatosit tunggal dari

tikus dapat mengalami pembelahan hingga 34 kali, atau memproduksi


jumlah sel yang mencukupi sel-sel untuk membentuk 50 hati tikus. Dengan
demikian dpaat dikatakan sengatlah memungkinkan untuk melakukan

hepatektomi hingga 2/3 dari seluruh hati. [6,4]

2.5. Etiologi

Secara konvensional, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan sebagai


makronodular (besar nodul lebih dari 3 mm), mikronodular (besar nodul kurang
dari 3 mm), atau campuran mikro dan makronodular. Selain itu juga

diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan morfologis. [2]

Sebagian besar jenis sirosis diklasifikasikan secara etiologis dan

morfologis menjadi alkoholik, kriptogenik dan post hepatitis (postnekrotik),

biliaris, kardiak, dan metabolik, keturunan, dan terkait obat. [2]

Di negara barat, penyebab sirosis yang utama adalah alkoholik,

sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C.


Berdasarkan hasil penelitian di Indonesia, disebutkan bahwa virus hepatitis B
menyebabkan sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan
10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan B
dan C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia diduga
frekuensinya sangat kecil walaupun belum terdapat data yang menunjukkan hal

tersebut. [2]

2.6. Patofisiologi

Gambaran patologi hati biasanya mengerut, berbentuk tidak teratur, dan


terdiri dari nodulus sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat
dna lebar. Gambaran mikroskopik konsisten dengan gambaran makroskopik.
Ukuran nodulus sangat bervariasi, dengan sejumlah besar jaringan ikat

memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak teratur. [2]

Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan

adanya peranan sel stelata (stellate cell). Dalam keadaan normal sel stelata
mempunyai peranan dalam keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular
dan proses degradasi. Pembenrukan fibrosis menunjukkan perubahan proses
keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus
menerus (misal: hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata
akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus menerus
maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel stelata, dan jaringan hati

yang normal akan digantikan oleh jaringan ikat. [2]

2.7. Diagnosis dan Manifestasi Klinis

2.7.1. Gejala Sirosis

Stadium awal sirosis sering kali dijumpai tanpa gejala (asimptomatis)


sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan
kesehatan rtin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis
(kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan
berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-
laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya
dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala
lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi
porta, meliputi gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,
gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih seperti teh pekat, muntah darah
dan/atau melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma. Mungkin disertai hilangnya rambut,

gangguan tidur, demam tidak begitu tinggi [2]


Gambar 3. Manifestasi klinis dari sirosis hepatis [1]
2.7.2. Pemeriksaan Fisis

Gambar 4. Manifestasi hipertensi portal [7]

Temuan klinis sirosis meliputi, spider angioma-spiderangiomata (atau


spider telangiektasis), suatu lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-
vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas.
Mekanisme terjadinya belum diketahui secara pasti, diduga berkaitan dengan
peningkatan rasio estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan pula

pada orang sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil. [2]

Eritema Palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak
tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon estrogen.
Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan,
arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi. Perubahan kuku-
kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warna normal
kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan akibat
hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia
yang lain seperti sindrom nefrotik.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara
spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga ditemukan pada pasien diabetes
mellitus, distrofi reflex simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi
alkohol.

Ginekomastia secara histologist berupa proliferasi benigna jaringan


glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion.
Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksilla pada laki-laki,
sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah feminism. Kebalikannya pada
perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga diduga fase menopause.

Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile.


Tanda ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.

Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau


mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.

Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya


nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi
porta.

Asites, penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat hipertensi


porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta.

Foetor Hepatikum, Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik yang
berat.

Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila


konsentrasi bilirubin kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap,
seperti air teh.

Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa pergerakan mengepak-

ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.


Tanda-tanda lain lain yang menyertai diantaranya:[2]
Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar
Batu pada vesika felea akibat hemolysis
Pembesaran kelenjar parotis terutama pada
sirosis alkoholik, hal ini akibat sekunder infiltrasi
lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat

resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas. [2]

2.8. Pemeriksaan Penunjang

Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada


waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk
evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati meliputi amino transferase, alkali
fosfatase, gamma glutamil peptidase, bilirubin, albumin dan waktu protrombin.
[2]

Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glumatil oksaloasetat


transaminase (SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil
piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak terlalu tinggi. AST lebih
meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal tidak
mengeyampingkan adanya sirosis.

Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal


atas. Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis
primer dan sirosis billier primer.

Gama-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya


alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada penyakit hati
alkohol kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal hepatic,
juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi
bisa meningkat pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan
hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan perburukan sirosis.

Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder

dari pintasan, antigen bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya
menginduksi produksi immunoglobulin.

Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan


dengan ketidakmampuan eksresi air bebas.

Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam,

anemia normokrom, normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer.


Anemia dengan trombositopenia, leukopenia, dan neutropenia akibat
splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta sehingga terjadi

hipersplenisme. [2]

2.9. Komplikasi

Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas


hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan
komplikasinya. Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bakterial
spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi
sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul

demam dan nyeri abdomen. [2]


Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oligouri, peningkatan ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal.
Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat

pada penurunan filtrasi glomerulus. [2]


Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esofagus. 20

sampai 40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah yang menimbulkan
perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi, sebanyak duapertiganya akan
meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan tindakan untuk

menanggulangi varises ini dengan berbagai cara. [2]


Ensefalopati hepatik, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi

hati. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya


dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma. Pada sindrom

hepatopulmonal terdapat hydrothorax dan hipertensi portopulmonal. [2]

2.10. Penatalaksanaan

Sekali diagnosis Sirosis hati ditegakkan, prosesnya akan berjalan


terus tanpa dapat dibendung. Usaha-usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan
untuk mencegah timbulnya penyulit-penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak
minum alcohol, dan menghindari obat-obat dan bahan-bahan hepatotoksik
merupakan suatu keharusan. Bilamana tidak ada koma hepatic diberikan diet
yang mengandung protein 1g/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
[2]

Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin


merupakan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan
dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari

selama 6 bulan. [2]


Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,
menempatkan stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik
akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stelata
bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik yang
dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki
efek antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti
dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga
dicobakan sebagai antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang dalam

penlitian. [2]
2.11. Penatalaksanaan sirosis dekompensata
Asites, Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam
sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan
obat-obatan diuretic. Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis
100-200 mg sehari. Respon diuretic bisa dimonitor dengan penurunan berat
badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1 kg/hari dengan edema kaki.
Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasikan dengan
furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian furosemid bisa ditambah
dosisnya bila tidak ada respon, maksimal dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis
dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 liter dan

dilindungi dengan pemberian albumin. [2]


Ensefalopati hepatik, Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan
ammonia. Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
ammonia, diet protein dikurangi sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama

diberikan yang kaya asam amino rantai cabang. [2]


Varises esophagus Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan

obat -blocker. Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau

oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. [2]


Peritonitis bakterial spontan, diberikan antibiotika seperti sefotaksim

intravena, amoksilin, atau aminoglikosida. [2]


Sindrom hepatorenal mengatasi perubahan sirkulasi darah hati, mengatur

keseimbangan garam dan air. [2]


Transplantasi hati terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata.

Namun sebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus

dipenuhi resipien dahulu. [2]

2.12. Prognosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi
etiologi beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
[2]

Klasifikasi Child-Pugh, juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang

akan manjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada


tidaknya asites dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari
Child A, B, dan C. Klasifikasi Child-Pugh berkaitan dengan angka kelangsungan
hidup selama satu tahun pada pasien. Angka kelangsungan hidup selama 1 tahun
untuk penderita sirosis dengan Child-Pugh A, B, dan C diperkirakan masing-

masing 100, 80, dan 45% [2]

Klasifikasi Child-Pugh pada Sirosis [8]2


Faktor Unit 1 2 3
Serum bilirubin mol/L < 34 3451 > 51
mg/dL < 2,0 2,03,0 > 3,0
Serum albumin g/L > 35 3035 < 30
g/dL > 3,5 3,03,5 < 3,0
Prothrombin Detik pemanjangan 04 46 >6
time INR < 1,7 1,7-2,3 > 2,3
Ascites Tidak ada Dapat Tidak dapat
dikontrol dikontrol
Hepatic Tidak ada Minimal Berat
encephalopathy
Daftar Pustaka

1. Raymon T. Chung, Daniel K. Podolsky. Cirrhosis and its complication. In:


Kasper DL et.al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16th Edition.
USA : Mc-Graw Hill; 2005. p. 1858-62

2. Nurdjanah S. Sirosis hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati


S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009. p. 443-6.

3. Wilson LM, Lester LB. Hati, saluran empedu, dan pankreas. In Wijaya C,
editor. Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta: ECG; 2004. p.
426-63.

4. Guyton AC, Hall JE. The liver as an organ. In Textbook of medical


physiology.
11th ed.: Elsevier; 2006. p. 859-64.

5. Netter FH, Machade CAG. Interactive atlas of human anatomy [Electronic


Atlas].: Saunders/Elsevier; 2003.

6. Amiruddin R. Fisiologi dan biokimia hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi


I, K. MS, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009. p. 415-9.

7. Porth CM. Alterations in hepatobiliary function. In Essentials of


pathophysiology: concepts of altered health states. 2nd ed.: Lippincott Williams
& Wilkins; 2004. p. 494-516.
8. Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. In Kasper
DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editors.
Harrison's principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill; 2005. p.
1808-1

Anda mungkin juga menyukai