A. Judul
Prosedur Pelaksanaan Peralihan Hak Milik Sertifikat Atas Tanah Karena Pewarisan
secara Adat Patrilineal Perspektif Hukum Waris Adat (Studi kasus kantor Notaris
NYOMAN YUDHA DIRGANTARA, S.H., M.Kn)
Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekerabatan dan kekeluargaan tidak
kepentingan mereka sendiri di lingkungan perdata seperti masalah pembagian tanah warisan,
pembagian warisan lain yang sering menimbulkan sengketa dalam lingkungan keluarga
mereka sendiri. Kekerabatan dan suasana hidup yang penuh kekeluargaan tidak akan dapat
memberikan jaminan dalam lingkungan tersebut dapat terjaga untuk selalu hidup dengan
suasana nyaman dan tentram. Hal ini disebabkan perkembangan dan kebutuhan yang semakin
hari makin menuntut bagi siapapun masyarakat untuk selalu siap berkompetisi dalam
Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka
unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu dimasukkan
ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan dasar keadilan dan
perasaan hukum masyarakat Indonesia. Beragam permasalahan yang timbul dalam kehidupan
masyarakat tersebut sudah pasti menghendaki pemcahan atau solusi yang secepat dan
sesegera mungkin dalam rangka menjaga kenyamanan dan ketentraman itu sendiri.1
Pewarisan sangat erat kaitanya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab
selanjutnya timbul, dengan adanya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bhakti Bandung, 1993, hlm. 23
masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang
akibat meninggal seseorang diatur oleh hukum waris. Dalam sistem hukum Indonesia masih
terjadi kemajemukan tatanan hukum. Sehingga untuk masalah pewarisan pun ada tiga sistem
hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yaitu sistem hukum waris
adat, hukum waris Islam, dan hukum waris Barat. Adanya ketiga sistem tersebut merupakan
Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Kemajemukan itu mengacu kepada
sistem sosial yang dianut oleh masing-masing golongan, sebagai bagian dari suatu
tidak langsung menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu, dimana sistem
kewarisan tersebut berlaku, sebab suatu sistem tersebut dapat ditemukan dalam perbagai
bentuk susunan masyarakat ataupun dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat dijumpai
lebih dari satu sistem pewarisan dimaksud. Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat
kaitanya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedang sistem kekeluargaan pada
masyarakat indonesia berpokok pangkal pada pada sistem menarik garis keturunan, berkaitan
dengan sistem penarikan garis keturunan seperti telah diketahui di Indonesia secara umum
setidak-tidaknya dikenal ada tiga macam sistem keturunan2. Ketiga sistem keturunan tersebut
antara lain :
a. Sistem patrilineal atau sifat kebapakan. Sistem ini pada dasarnya adalah
sisitem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek
moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada
masyarakat-masyarakat di tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Papua dan Bali.
2 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat dan BW, PT Refika Aditama,
Bandung, 2005, hal.5
b. Sistem matrilineal atau sifat keibuan. Pada dasanya sisitem ini adalah sistem
yang menarik garis keturunan dari nenek moyang perempuan. Kekeluargaan
yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satu daerah, yaitu
Minangkabau.
c. Sistem bilateral atau parental atau sifat kebapak-ibuan. Sistem ini adalah
sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak ataupun garis
ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak ada
perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah, sistem ini di Indonesia terdapat di
berbagai daerah, antara lain : Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh,
Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan
Lombok.
sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut di atas, kiranya semakin jelas menunjukan bahwa
sistem hukum kewarisan kita sangat pluralistik. Kondisi tersebut sudah tentu sangat menarik
untuk ditelaah dan dikaji lebih lanjut. Dari kajian-kajian itulah akan dapat dipahami betapa
pluralralisme hukum yang menghiasi bumi Indonesia ini, terutama dalam sistem hukum
waris. Namun demikian ragam sistem hukum waris di Indonesia tidak hanya karena sisitem
Indonesia yang juga dikenal bervariasi. Oleh karena itu, tidak heran kalau sistem hukum
waris adat sendiri juga beraneka ragam serta memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri sesuai
Salah satu bentuk dari harta warisan adalah Tanah, Seiring perkembangan yang
pertahanan di jaman ini, maka banyak terjadi permasalahan hak kepemilikan atas tanah,
seperti tanah sengketa, tanah warisan & masih banyak yang terjadi permasalahan-
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau
larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang di hakinya.
Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan
itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah
Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga
beraspek privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi
hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada
pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah
mempergunakan atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada
pihak lain. Ada juga penguasaan yuridis, yang biarpun memberikan kewenangan untuk
menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan
oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya
sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut
dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga
penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang
bersangkutan secara fisik, misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah
mempunyai hak penguasaan tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan),
akan tetapi secara fisik penguasaan tetap ada pada pemilik tanah. Penguasaan yuridis dan
fisik atas tanah tersebut diatas dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang
penguasaan yuridis yang beraspek publik dapat dilihat pada penguasaan atas tanah
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA.3
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya ( baik
perorangan secara sendiri-sendiri) untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan
atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.4 Pada dasarnya semua hak atas tanah
3
Effendi, Sofyan, Hukum Agraria Indonesia dan Peraturan tentang Tanah., Jakarta Hal. 56
4
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Hal. 82
dapat beralih maupun dialihkan. Beralih adalah pindahnya hak atas tanah karena hukum,
dengan sendirinya, tidak ada perbuatan hukum yang sengaja untuk mengalihkan hak itu
kepada pihak lain. Pindahnya hak atas tanah ini terjadi karena adanya pewarisan. Sedangkan
dialihkan mengandung makna bahwa pindahnya hak atas tanah itu kepada pihak lain karena
adanya perbuatan hukum yang disengaja agar hak atas tanah itu pindah kepada pihak lain,
seperti jual-beli, hibah, tukar menukar, dan lain-lain. Jadi peralihan hak atas tanah adalah
pindahnya hak atas tanah dari satu pihak kepada pihak lain, baik karena adanya perbuatan
hukum yang disengaja maupun bukan karena perbuatan hukum yang sengaja.5
Peralihan hak atas tanah karena adanya suatu perbuatan hukum dilakukan dengan akta
peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat AktaTanah selain pejabat lain
yang ditunjuk oleh undang-undang, seperti Pejabat Lelang. Pejabat Pembuat Akta Tanah
(selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk
membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pentingnya pembuatan akta peralihan hak atas tanah
oleh PPAT berkaitan dengan kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan untuk mendapatkan
jaminan kepastian hukum dan jaminan kepastian hak atas tanah berupa sertifikat hak atas
tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah.6
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk
mengkaji secara empiris mengenai prosedur pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah
karena pewarisan yang dilakukan oleh Notaris yang ditinjau berdasarkan aspek-aspek dalam
hukum perdata yang dikaitkan dengan teori-teori yang ada sebagai landasan teoritik dan
5
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, 2013, Hak-hak atas Tanah dan Peralihannya, Liberty,
Yogyakarta, Hal. 119
6 Penjelasan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
konseptual secara hukum dan agar dapat memberikan pengetahuan, wawasan dan informasi
baru mengenai pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan yang dilakukan
permasalahan yang muncul serta dapat memberikan jalan keluar bagi permasalahan yang
C. Ruang Lingkup
1. Nama kantor lembaga tempat KKL
grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak
juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat
5. Kendala yang dihadapi Notaris dalam pelaksanaan peralihan hak sertifikat atas
tanah.
6. Upaya yang telah dilakukan oleh Notaris dalam menangani hambatan pelaksanaan
7. Analisis dan rekomendasi dari penulis untuk Notaris berkaitan dengan kendala
D. Tujuan Kegiatan
Dalam kegiatan Kuliah Ketja Lapang ini, adapun tujuan yang ingin dicapai oleh
satu kewenangan notaris dalam membuat akta otentik khususnya sertifikat tanah.
dalam menangani hambatan dalam pelaksanaan balik nama sertifikat atas tanah.
4. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan mengkaji upaya yang telah dilakukan oleh
Notaris dalam menangani hambatan dalam pelaksanaan balik nama sertifikat atas
tanah.
E. Manfaat Kegiatan
a. Bagi penulis
masyarakat sesungguhnya.
b. Bagi Notaris
bagi Notaris untuk membantu peningkatan kinerja di masa yang akan datang.
F. Metode Kegiatan
1. Metode Partisipatif
Dalam metode kegiatan ini, penulis terlibat langsung dalam proses yang dilakukan oleh
Proses pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung pada pihak
terkait (sumber informasi) yang terdapat di Kantor kantor Notaris NYOMAN YUDHA
DIRGANTARA, S.H., M.Kn yang dianggap dapat memberikan penjelasan sehubungan
dengan beberapa hal yang menjadi ruang lingkup kegiatan Kuliah Kerja Lapang ini.
3. Studi Dokumentasi
Penulis dalam hal ini melakukan pengambilan data dengan cara mempelajari dokumen-
DIRGANTARA, S.H., M.Kn yang berkaitan dengan beberapa hal yang menjadi ruang
4. Metode Observasi
G. Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan pelaksanaan Kuliah Kerja Lapang yang meliputi tahapan persiapan,
pelaksanaan, dan evaluasi Kuliah Kerja Lapang akan dijelaskan di bawah ini, yaitu
sebagai berikut:
1. Tahapan Persiapan
Tahapan persiapan ini dilakukan pada minggu I-IV pada bulan Juli, yang meliputi
pengajuan proposal Kuliah Kerja Lapang, konsultasi proposal Kuliah Kerja Lapang
dengan dosen pembimbing, hingga pengurusan surat pengantar Dekan yang ditujukan
2. Tahapan Pelaksanaan
Tahapan pelaksanaan ini dilakukan pada minggu ke I sampai dengan minggu III pada
bulan Agustus, yang meliputi penyampaian surat pengantar Dekan dan proposal Kuliah
Kerja Lapang yang telah disetujui dosen pembimbing ke Kantor Notaris NYOMAN
YUDHA DIRGANTARA, S.H., M.Kn, yang kemudian dilanjutkan dengan
pelaksanaan Kuliah Kerja Lapang dengan mengambil berbagai data dan informasi yang
dibutuhkan sesuai dengan ruang lingkup pelaksanaan kegiatan Kuliah Kerja Lapang.
3. Tahapan Evaluasi
Tahapan evaluasi ini dilakukan pada minggu IV pada bulan Agustus. Evaluasi terhadap
kegiatan Kuliah Kerja Lapang (KKL) dilakukan oleh dosen pembimbing selama proses
kegiatan Kuliah Kerja Lapang (KKL) dan pembuatan laporan dengan berpedoman
kepada sistem evaluasi program Kulah Kerja Lapang (KKL), yang meliputi:
Oktober November
Tahapan
I II III IV I II III IV
Persiapan
Pelaksanaan
Evaluasi
H. Kajian Pustaka
Indonesia yaitu tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas; metode langkah
7
http://kbbi.web.id/prosedur [diakses tanggal 12 september 2015]
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian
non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan
hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:
sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu
generasi berikutnya.
Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini
dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris islam,
hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau, hukum waris
Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris adat atau bisa disebut
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa
Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris
adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan
memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan
dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah
hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini
dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum
waris adat.
1. Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa
2. Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang
3. Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang
diwariskan.
Di dalam masyarakat adat Indonesia, secara teoritis sistem kekerabatan dapat dibedakan
a. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam pewarisan
(Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).
b. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis
orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita
tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan,
Sistem Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari Pihak Bapak,
maksudnya dalam hal ini setiap orang hanya menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal
ini mengakibatkan kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal
mewaris. Sistem ini dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT
dan lain-lain.
Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis
sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang
paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum
warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada
masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang
menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal,
cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris
kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak
Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang
dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi jika dilihat
dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat
terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan
penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa,
8 Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003 hal. 9
lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia,
yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar
belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang
bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang
hidup.
Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: Hukum waris adat
mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk
walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang
sama.9
Sistem Kewarisan
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga
macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual.
Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.
a. Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif
(bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian
disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh
9Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1993 hal. 12
Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut
harta pusaka, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah
pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan
digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang
diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah kalakeran yang dikuasai oleh Tua
Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan
b. Sistem Mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang
berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak
tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan
wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut
dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut anak punyimbang sebagai mayorat pria.
Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura.
Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh
anak wanita yang disebut tunggu tubing (penunggu harta) yang didampingi paying jurai,
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik
dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian)
di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun
10
Ibid, Hal. 20
yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.11 Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.
Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan
judulHak Warga Negara Asing terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia.12
Hak milik diatur dalam Pasal 20-27 Undang0Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Selanjutya disebut UUPA). Pengertian hak milik
menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6 UUPA.
milik merupakan hak yang bersifat mutlak, tifak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat,
sebagaimana dimaksud dalam hak eigendom, melainkan untuk menunjukan bahw diantara
hak-hak atas tanah, hak milik merupakan hak yang paling kuat dan paling penuh.
Hak milik dikatakan merupakan hak yang turun menurun karena hak milik dapat diwariskan
oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Hak milik sebagai hak yang terkuat berarti hak
tersebut tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain.13
Terpenuh berrti hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan
hak-hak yang lain. Ini berarti hak milik dapat menjadi induk dari hak-hak yang lainnya.
Misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada orang lain. Selama tidak
dibatasi oleh penguasa, maka wewenang dari seorang pemegang hak milik tidak terbatas.14
Selain bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh, hak milik juga dapat beralih dan
Pasal 21 ayat (1) UUPA menentukan bahwa hanya warga Negara Indonesia yang
dapat mempunyai hak milik. Namun ayat (2) ketentuan tersebut membuka peluang bagi
badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dalah bank pemerintah atau badan
keagamaan dan badan sosial, sebagaimana ditentukan dalam pasal 8 ayat (1) huruf b
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Hak milik tidak dapat dipunyai oleh warga Negara asing maupun orang yang memiliki
kewarganegaraan ganda (warga Negara Indonesia sekaligus warga Negara asing). Bagi warga
13
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4. Jakarta: Sinar Grafika, 2010,
Hal. 60
14
Ibid, Hal. 61
Negara asing atau orang yang berkewarganegaraan ganda yang memperoleh hak milik karena
pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan wajib untuk melepaskan
hak tersebut paling lama satu tahun setelah memperoleh hak milik. Apabila jangka waktu
tersebut berakhir dan hak milik tidak dilepaskan, maka hak milik menjadi hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan tetap memperhatikan hak-hak pihak lain
Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cara jual beli, hibah, tukar-
menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk
memindahkan hak milik.16 Perlu diperhatikan bahwa hak milik tidak dapat dialihkan kepada
orang asing atau badan hukum karena orang asing dan badan hukum tidak dapat menjadi
subyek hak milik. Sehingga peralihannya menjadi batal demi hukum dan tanahnya jatuh
kepada Negara.17
15
Ibid, Hal. 64
16
Ibid, Hal. 65
17
Ibid.
1. tanahnya jatuh kepada Negara:
karena ditelantarkan;
karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
2. tanahnya musnah.
Selain itu hak milik juga hapus apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
18
Ibid, Hal. 66
Daftar Pustaka
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, 2013, Hak-hak atas Tanah dan Peralihannya,
Liberty, Yogyakarta
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat dan BW, PT Refika
Aditama, Bandung,2005
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bhakti Bandung, 1993
Effendi, Sofyan, Hukum Agraria Indonesia dan Peraturan tentang Tanah., Jakarta
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Prenada Media, Jakarta
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1993
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4. Jakarta: Sinar
Grafika, 2010
Undang Undang
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah
Website
http://kbbi.web.id/prosedur [diakses tanggal 12 september 2015]