Anda di halaman 1dari 20

8/24/2015 11:14:00 PM

A. Judul
Prosedur Pelaksanaan Peralihan Hak Milik Sertifikat Atas Tanah Karena Pewarisan
secara Adat Patrilineal Perspektif Hukum Waris Adat (Studi kasus kantor Notaris
NYOMAN YUDHA DIRGANTARA, S.H., M.Kn)

Latar Belakang

Dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan kekerabatan dan kekeluargaan tidak

menutup kemungkinan terjadi juga permasalahan -permasalahan yang berhubungan dengan

kepentingan mereka sendiri di lingkungan perdata seperti masalah pembagian tanah warisan,

pembagian warisan lain yang sering menimbulkan sengketa dalam lingkungan keluarga

mereka sendiri. Kekerabatan dan suasana hidup yang penuh kekeluargaan tidak akan dapat

memberikan jaminan dalam lingkungan tersebut dapat terjaga untuk selalu hidup dengan

suasana nyaman dan tentram. Hal ini disebabkan perkembangan dan kebutuhan yang semakin

hari makin menuntut bagi siapapun masyarakat untuk selalu siap berkompetisi dalam

meningkatkan taraf hidup rumah tangganya sendiri.

Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka

pembangunan hukum nasional yang menuju ke arah peraturan perundang-undangan. Unsur-

unsur kejiwaan hukum adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu dimasukkan

ke dalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan dasar keadilan dan

perasaan hukum masyarakat Indonesia. Beragam permasalahan yang timbul dalam kehidupan

masyarakat tersebut sudah pasti menghendaki pemcahan atau solusi yang secepat dan

sesegera mungkin dalam rangka menjaga kenyamanan dan ketentraman itu sendiri.1

Pewarisan sangat erat kaitanya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab

selanjutnya timbul, dengan adanya peristiwa hukum kematian seseorang diantaranya ialah

1
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bhakti Bandung, 1993, hlm. 23
masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang

yang meninggal dunia tersebut. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai

akibat meninggal seseorang diatur oleh hukum waris. Dalam sistem hukum Indonesia masih

terjadi kemajemukan tatanan hukum. Sehingga untuk masalah pewarisan pun ada tiga sistem

hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yaitu sistem hukum waris

adat, hukum waris Islam, dan hukum waris Barat. Adanya ketiga sistem tersebut merupakan

akibat dari perkembangan sejarahnya, serta dipengaruhi oleh kemajemukan masyarakat

Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan agama. Kemajemukan itu mengacu kepada

sistem sosial yang dianut oleh masing-masing golongan, sebagai bagian dari suatu

masyarakat bangsa secara keseluruhan. Ketiga sistem kewarisan tersebut, masing-masing

tidak langsung menunjuk kepada suatu bentuk susunan masyarakat tertentu, dimana sistem

kewarisan tersebut berlaku, sebab suatu sistem tersebut dapat ditemukan dalam perbagai

bentuk susunan masyarakat ataupun dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat dijumpai

lebih dari satu sistem pewarisan dimaksud. Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat

kaitanya dengan bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan. Sedang sistem kekeluargaan pada

masyarakat indonesia berpokok pangkal pada pada sistem menarik garis keturunan, berkaitan

dengan sistem penarikan garis keturunan seperti telah diketahui di Indonesia secara umum

setidak-tidaknya dikenal ada tiga macam sistem keturunan2. Ketiga sistem keturunan tersebut

antara lain :

a. Sistem patrilineal atau sifat kebapakan. Sistem ini pada dasarnya adalah
sisitem yang menarik garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek
moyangnya yang laki-laki. Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada
masyarakat-masyarakat di tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Papua dan Bali.

2 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat dan BW, PT Refika Aditama,
Bandung, 2005, hal.5
b. Sistem matrilineal atau sifat keibuan. Pada dasanya sisitem ini adalah sistem
yang menarik garis keturunan dari nenek moyang perempuan. Kekeluargaan
yang bersifat keibuan ini di Indonesia hanya terdapat di satu daerah, yaitu
Minangkabau.
c. Sistem bilateral atau parental atau sifat kebapak-ibuan. Sistem ini adalah
sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis bapak ataupun garis
ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada hakikatnya tidak ada
perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah, sistem ini di Indonesia terdapat di
berbagai daerah, antara lain : Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh,
Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate dan
Lombok.

Memperhatikan perbedan-perbedaan dari ketiga macam sistem keturunan dengan sifat-

sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut di atas, kiranya semakin jelas menunjukan bahwa

sistem hukum kewarisan kita sangat pluralistik. Kondisi tersebut sudah tentu sangat menarik

untuk ditelaah dan dikaji lebih lanjut. Dari kajian-kajian itulah akan dapat dipahami betapa

pluralralisme hukum yang menghiasi bumi Indonesia ini, terutama dalam sistem hukum

waris. Namun demikian ragam sistem hukum waris di Indonesia tidak hanya karena sisitem

kekeluargaan masyarakat yang beragam, melainkan juga disebabkan adat-istiadat masyarakat

Indonesia yang juga dikenal bervariasi. Oleh karena itu, tidak heran kalau sistem hukum

waris adat sendiri juga beraneka ragam serta memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri sesuai

dengan sistem kekeluargaan dari masyarakat adat tersebut.

Salah satu bentuk dari harta warisan adalah Tanah, Seiring perkembangan yang

terjadi dengan berkembang pesatnya pembangunan dan banyak terpakainya lahan-lahan

pertahanan di jaman ini, maka banyak terjadi permasalahan hak kepemilikan atas tanah,

seperti tanah sengketa, tanah warisan & masih banyak yang terjadi permasalahan-

permasalahan hak atas tanah.

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau

larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang di hakinya.
Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan

itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah

yang diatur dalam Hukum Tanah.

Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga

beraspek privat dan publik. Penguasaaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi

hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada

pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah

mempergunakan atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada

pihak lain. Ada juga penguasaan yuridis, yang biarpun memberikan kewenangan untuk

menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan

oleh pihak lain, misalnya seseorang yang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya

sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut

dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga

penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang

bersangkutan secara fisik, misalnya kreditor (bank) pemegang hak jaminan atas tanah

mempunyai hak penguasaan tanah secara yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan),

akan tetapi secara fisik penguasaan tetap ada pada pemilik tanah. Penguasaan yuridis dan

fisik atas tanah tersebut diatas dipakai dalam aspek privat atau keperdataan sedang

penguasaan yuridis yang beraspek publik dapat dilihat pada penguasaan atas tanah

sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 2 UUPA.3

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya ( baik

perorangan secara sendiri-sendiri) untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan

atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.4 Pada dasarnya semua hak atas tanah

3
Effendi, Sofyan, Hukum Agraria Indonesia dan Peraturan tentang Tanah., Jakarta Hal. 56
4
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, Hal. 82
dapat beralih maupun dialihkan. Beralih adalah pindahnya hak atas tanah karena hukum,

dengan sendirinya, tidak ada perbuatan hukum yang sengaja untuk mengalihkan hak itu

kepada pihak lain. Pindahnya hak atas tanah ini terjadi karena adanya pewarisan. Sedangkan

dialihkan mengandung makna bahwa pindahnya hak atas tanah itu kepada pihak lain karena

adanya perbuatan hukum yang disengaja agar hak atas tanah itu pindah kepada pihak lain,

seperti jual-beli, hibah, tukar menukar, dan lain-lain. Jadi peralihan hak atas tanah adalah

pindahnya hak atas tanah dari satu pihak kepada pihak lain, baik karena adanya perbuatan

hukum yang disengaja maupun bukan karena perbuatan hukum yang sengaja.5

Peralihan hak atas tanah karena adanya suatu perbuatan hukum dilakukan dengan akta

peralihan hak atas tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat AktaTanah selain pejabat lain

yang ditunjuk oleh undang-undang, seperti Pejabat Lelang. Pejabat Pembuat Akta Tanah

(selanjutnya disebut PPAT) adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk

membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau

Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Pentingnya pembuatan akta peralihan hak atas tanah

oleh PPAT berkaitan dengan kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan untuk mendapatkan

jaminan kepastian hukum dan jaminan kepastian hak atas tanah berupa sertifikat hak atas

tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat atas kepemilikan hak atas tanah.6

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk

mengkaji secara empiris mengenai prosedur pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah

karena pewarisan yang dilakukan oleh Notaris yang ditinjau berdasarkan aspek-aspek dalam

hukum perdata yang dikaitkan dengan teori-teori yang ada sebagai landasan teoritik dan

5
Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, 2013, Hak-hak atas Tanah dan Peralihannya, Liberty,
Yogyakarta, Hal. 119
6 Penjelasan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah
konseptual secara hukum dan agar dapat memberikan pengetahuan, wawasan dan informasi

baru mengenai pelaksanaan peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan yang dilakukan

oleh Notaris terutama mengenai prosedur-prosedur dalam pelaksanaanya dan permasalahan-

permasalahan yang muncul serta dapat memberikan jalan keluar bagi permasalahan yang

timbul dari pelaksanaan prosedur tersebut.

C. Ruang Lingkup
1. Nama kantor lembaga tempat KKL

Kantor Notaris NYOMAN YUDHA DIRGANTARA, S.H., M.Kn

2. Fungsi dan tugas lembaga tempat KKL

1. Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,

dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang

dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,

menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan

grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak

juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang

ditetapkan oleh undang-undang.

2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud di atas, Notaris berwenang pula:

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah

tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat

uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;

f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau


g. membuat Akta risalah lelang.

3. Struktur dan organisasi lembaga tempat KKL.

4. Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan peralihan hak sertifikat atas tanah yang

dilakukan oleh notaris

5. Kendala yang dihadapi Notaris dalam pelaksanaan peralihan hak sertifikat atas

tanah.

6. Upaya yang telah dilakukan oleh Notaris dalam menangani hambatan pelaksanaan

peralihan hak sertifikat atas tanah.

7. Analisis dan rekomendasi dari penulis untuk Notaris berkaitan dengan kendala

yang dihadapi serta upaya Notaris dalam menangani hambatan pelaksanaan

peralihan hak sertifikat atas tanah.

D. Tujuan Kegiatan

Dalam kegiatan Kuliah Ketja Lapang ini, adapun tujuan yang ingin dicapai oleh

penulis adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan mengkaji gambaran umum mengenai salah

satu kewenangan notaris dalam membuat akta otentik khususnya sertifikat tanah.

2. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan mengkaji hambatan-hambatan dalam

pelaksanaan balik nama sertifikat atas tanah.

3. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan mengkaji kendala yang dihadapi Notaris

dalam menangani hambatan dalam pelaksanaan balik nama sertifikat atas tanah.

4. Untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan mengkaji upaya yang telah dilakukan oleh

Notaris dalam menangani hambatan dalam pelaksanaan balik nama sertifikat atas

tanah.
E. Manfaat Kegiatan

a. Bagi penulis

1. memberikan gambaran dan pemahaman yang lebih mendalam tentang

prosedur-prosedur dalam pembuatan akta pendirian CV.

2. Memberikan gambaran dan pemahaman tentang perbandingan antara teori

dengan praktek dilapangan

3. Sebagai sarana memperluas pengetahuan dan pengalaman sebelum terjun ke

masyarakat sesungguhnya.

b. Bagi Notaris

Diharapkan dapat menjadi masukan yang objektif atau sumbangan pemikiran

bagi Notaris untuk membantu peningkatan kinerja di masa yang akan datang.

c. Bagi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

1) Sebagai bahan materi tambahan bagi mata kuliah terkait.

2) Sebagai penambah referensi mengenai pembuatan akta pendirian CV.

F. Metode Kegiatan

Metode kegiatan dalam pelaksanaan Kuliah Kerja Lapang ini yaitu :

1. Metode Partisipatif

Dalam metode kegiatan ini, penulis terlibat langsung dalam proses yang dilakukan oleh

Notaris dalam menangani prosedur-prosedur pembuatan akta pendirian CV.

2. Metode Interview (Wawancara)

Proses pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung pada pihak

terkait (sumber informasi) yang terdapat di Kantor kantor Notaris NYOMAN YUDHA
DIRGANTARA, S.H., M.Kn yang dianggap dapat memberikan penjelasan sehubungan

dengan beberapa hal yang menjadi ruang lingkup kegiatan Kuliah Kerja Lapang ini.

3. Studi Dokumentasi

Penulis dalam hal ini melakukan pengambilan data dengan cara mempelajari dokumen-

dokumen perjanjian yang ada di Kantor kantor Notaris NYOMAN YUDHA

DIRGANTARA, S.H., M.Kn yang berkaitan dengan beberapa hal yang menjadi ruang

lingkup kegiatan Kuliah Kerja Lapangan.

4. Metode Observasi

Dalam melakukan pengumpulan data, penulis mengadakan pengamatan langsung pada

tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Notaris dalam menangani prosedur-prosedur

pembuatan pembuatan akta pendirian CV pembuatan akta pendirian CV.

G. Tahapan Kegiatan

Tahapan kegiatan pelaksanaan Kuliah Kerja Lapang yang meliputi tahapan persiapan,

pelaksanaan, dan evaluasi Kuliah Kerja Lapang akan dijelaskan di bawah ini, yaitu

sebagai berikut:

1. Tahapan Persiapan

Tahapan persiapan ini dilakukan pada minggu I-IV pada bulan Juli, yang meliputi

pengurusan administrasi berkaitan dengan pelaksanaan Kuliah Kerja Lapang,

pengajuan proposal Kuliah Kerja Lapang, konsultasi proposal Kuliah Kerja Lapang

dengan dosen pembimbing, hingga pengurusan surat pengantar Dekan yang ditujukan

kepada Kantor Notaris NYOMAN YUDHA DIRGANTARA, S.H., M.Kn.

2. Tahapan Pelaksanaan

Tahapan pelaksanaan ini dilakukan pada minggu ke I sampai dengan minggu III pada

bulan Agustus, yang meliputi penyampaian surat pengantar Dekan dan proposal Kuliah

Kerja Lapang yang telah disetujui dosen pembimbing ke Kantor Notaris NYOMAN
YUDHA DIRGANTARA, S.H., M.Kn, yang kemudian dilanjutkan dengan

pelaksanaan Kuliah Kerja Lapang dengan mengambil berbagai data dan informasi yang

dibutuhkan sesuai dengan ruang lingkup pelaksanaan kegiatan Kuliah Kerja Lapang.

3. Tahapan Evaluasi

Tahapan evaluasi ini dilakukan pada minggu IV pada bulan Agustus. Evaluasi terhadap

kegiatan Kuliah Kerja Lapang (KKL) dilakukan oleh dosen pembimbing selama proses

kegiatan Kuliah Kerja Lapang (KKL) dan pembuatan laporan dengan berpedoman

kepada sistem evaluasi program Kulah Kerja Lapang (KKL), yang meliputi:

a. Evaluasi pelaksanaan kegiatan Kuliah Kerja Lapang (KKL);

b. Evaluasi penyusunan laporan dari kegiatan Kuliah Kerja Lapang (KKL).

Berikut tabel tahapan kegiatan pelaksanaan Kuliah Kerja Lapang:

Oktober November
Tahapan
I II III IV I II III IV
Persiapan
Pelaksanaan
Evaluasi

H. Kajian Pustaka

1. Definisi Tentang Prosedur

Definisi mengenai prosedur /prosedur/ n , menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia yaitu tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktivitas; metode langkah

demi langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah.7

2. Kajian Tentang Waris Menurut Hukum Adat

7
http://kbbi.web.id/prosedur [diakses tanggal 12 september 2015]
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian

dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan

non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan

hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai berikut:

1. Hak purba/pertuanan/ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan

membatasi pewarisan tanah.

2. Kewajiban dan hak yang timbul dari perbuatan-perbuatan kredit tetap

berkekuatan hukum setelah si pelaku meninggal.

3. Transaksi-transaksi seperti jual gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.

4. Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan pula bentuk perkawinan turut

bentuk dan isi perkawinan.

5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian

bekal/modal berumah-tangga kepada pengantin wanita, dapat pila dipandang

sebagai perbuatan dilapangan hukum waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu

penyelenggaraan, pemindah tanganan, dan peralihan harta kekayaan kepada

generasi berikutnya.

Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini

dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris islam,

hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau, hukum waris

Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris adat atau bisa disebut

hukum adat waris tidak ada bedanya.

Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari bahasa

Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa didalam hukum waris

adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan

ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.


Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat yang

memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta

warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan

dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah

hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini

dapat diperhatikan bagaimana pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum

waris adat.

Hukum waris adat memuat tiga unsur pokok, yaitu:

1. Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa

yang menjadi ahli waris.

2. Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang

dilakukan dalam pengalihan harta waris tersebut. Serta bagaimana bagian

masing-masing ahli waris.

3. Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang

dinamakan harta warisan, serta apakah harta-harta tersebut semua dapat

diwariskan.

Di dalam masyarakat adat Indonesia, secara teoritis sistem kekerabatan dapat dibedakan

menjadi tiga macam, yaitu:

a. Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana

kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam pewarisan

(Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian).

b. Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana

kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam

pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).

c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis

orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita
tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan,

Sulawesi dan lain-lain).

Sistem Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari Pihak Bapak,

maksudnya dalam hal ini setiap orang hanya menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal

ini mengakibatkan kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal

mewaris. Sistem ini dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT

dan lain-lain.

Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis

sistem kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang

paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum

warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada

masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang

menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem patrilineal,

tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.8

Menurut Sopemo hukum waris tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur

cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris

kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak

pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.

Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang

dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi jika dilihat

dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat

terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan

penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa,

8 Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003 hal. 9
lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan

kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.

Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas Indonesia,

yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar

belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang

bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang

bersifat tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam

hidup.

Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat

kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: Hukum waris adat

mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk

kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral,

walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang

sama.9

Sistem Kewarisan

Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat tiga

macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan kewarisan individual.

Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada kenyataannya ada yang bersifat campuran.

a. Sistem Kolektif

Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif

(bersama) dari pewaris yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian

disebut kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh

memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai,

mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: ganggam bauntui).

9Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1993 hal. 12
Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut

harta pusaka, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah

pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan

digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang

diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah kalakeran yang dikuasai oleh Tua

Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan

atas persetujuan anggota kerabat bersama.

b. Sistem Mayorat

Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang

berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak

tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang pria dan

wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan tersebut disebut

kewarisan mayorat. Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh harta peninggalan

dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut anak punyimbang sebagai mayorat pria.

Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya, di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura.

Sedangkan di daerah Semendo Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh

anak wanita yang disebut tunggu tubing (penunggu harta) yang didampingi paying jurai,

sebagai mayorat wanita.10

3. Kajian Tentang Tanah

Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik
dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata pencaharian)
di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun

10
Ibid, Hal. 20
yang dipergunakan sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.11 Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah
Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah; Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak atas
Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan
bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya,
melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang
disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu
Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.
Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan
judulHak Warga Negara Asing terhadap Penguasaan Tanah di Indonesia.12

4. Kajian Tentang Hak Milik

Hak milik diatur dalam Pasal 20-27 Undang0Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Selanjutya disebut UUPA). Pengertian hak milik

menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak yang turun temurun, terkuat dan

terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan pasal 6 UUPA.

11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria


12
Boedi Harsono. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan. Hal. 12
Hak yang terkuat dan terpenuh yang dimaksud dlam pengertian tersebut bukan berarti hak

milik merupakan hak yang bersifat mutlak, tifak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat,

sebagaimana dimaksud dalam hak eigendom, melainkan untuk menunjukan bahw diantara

hak-hak atas tanah, hak milik merupakan hak yang paling kuat dan paling penuh.

Hak milik dikatakan merupakan hak yang turun menurun karena hak milik dapat diwariskan

oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Hak milik sebagai hak yang terkuat berarti hak

tersebut tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain.13

Terpenuh berrti hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan

hak-hak yang lain. Ini berarti hak milik dapat menjadi induk dari hak-hak yang lainnya.

Misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada orang lain. Selama tidak

dibatasi oleh penguasa, maka wewenang dari seorang pemegang hak milik tidak terbatas.14

Selain bersifat turun temurun, terkuat dan terpenuh, hak milik juga dapat beralih dan

dialihkan kepada pihak lain.

SUBYEK HAK MILIK

Pasal 21 ayat (1) UUPA menentukan bahwa hanya warga Negara Indonesia yang

dapat mempunyai hak milik. Namun ayat (2) ketentuan tersebut membuka peluang bagi

badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dalah bank pemerintah atau badan

keagamaan dan badan sosial, sebagaimana ditentukan dalam pasal 8 ayat (1) huruf b

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang

Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Hak milik tidak dapat dipunyai oleh warga Negara asing maupun orang yang memiliki

kewarganegaraan ganda (warga Negara Indonesia sekaligus warga Negara asing). Bagi warga

13
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4. Jakarta: Sinar Grafika, 2010,
Hal. 60
14
Ibid, Hal. 61
Negara asing atau orang yang berkewarganegaraan ganda yang memperoleh hak milik karena

pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan wajib untuk melepaskan

hak tersebut paling lama satu tahun setelah memperoleh hak milik. Apabila jangka waktu

tersebut berakhir dan hak milik tidak dilepaskan, maka hak milik menjadi hapus karena

hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara dengan tetap memperhatikan hak-hak pihak lain

yang membebani tanah tersebut.

TERJADINYA HAK MILIK

Terjadinya hak milik dapat disebabkan karena (Pasal 22 UUPA):

1) Hukum adat, misalnya melalui pembukaan tanah.

2) Penetapan pemerintah, yaitu melalui permohonan yang diajukan kepada instansi

yang mengurus tanah.

3) Ketentuan undang-undang, yaitu atas dasar ketentuan konversi.15

BERALIHNYA HAK MILIK

Hak milik dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cara jual beli, hibah, tukar-

menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk

memindahkan hak milik.16 Perlu diperhatikan bahwa hak milik tidak dapat dialihkan kepada

orang asing atau badan hukum karena orang asing dan badan hukum tidak dapat menjadi

subyek hak milik. Sehingga peralihannya menjadi batal demi hukum dan tanahnya jatuh

kepada Negara.17

HAPUSNYA HAK MILIK

Menurut ketentuan Pasal 27 UUPA, hak milik hapus karena:

15
Ibid, Hal. 64
16
Ibid, Hal. 65
17
Ibid.
1. tanahnya jatuh kepada Negara:

karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 UUPA;

karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;

karena ditelantarkan;

karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) UUPA.

2. tanahnya musnah.

Selain itu hak milik juga hapus apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan

peraturan landreform yang mengenai pembatasan maksimum dan larangan pemilikan

tanah/pertanian secara absentee.18

18
Ibid, Hal. 66
Daftar Pustaka

Erna Sri Wibawanti dan R. Murjiyanto, 2013, Hak-hak atas Tanah dan Peralihannya,
Liberty, Yogyakarta

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam Adat dan BW, PT Refika

Aditama, Bandung,2005

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Cipta Aditya Bhakti Bandung, 1993

Effendi, Sofyan, Hukum Agraria Indonesia dan Peraturan tentang Tanah., Jakarta
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Prenada Media, Jakarta

Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003

Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1993

Boedi Harsono. 2004. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. 4. Jakarta: Sinar
Grafika, 2010

Undang Undang
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Website
http://kbbi.web.id/prosedur [diakses tanggal 12 september 2015]

Anda mungkin juga menyukai