Seperti dalam penentuan indeks lainnya, dalam pengukuran indeks harga saham kita
memerlukan dua macam waktu, yaitu
1. Waktu dasar: Waktu dasar akan dipakai sebagai dasar perbandingan
2. Waktu yang berlaku: Merupakan waktu di mana kegiatan akan diperbandingan dengan
waktu dasar
IHSG=(Ht/Ho) x 100%
Kedua cara di atas dalam menentukan baik indeks harga saham individual maupun indeks
harga saham gabungan merupakan cara yang sederhana (tertimbang).
Indeks tertimbang merupakan indeks yang mempertimbangkan faktor-faktor yang akan
mempengaruhi naik turunya angka indeks tersebut. Besar kecilnya bobot tergantung dari
besarnya pngaruh dari perubahan harga saham tersebut mempengaruhi keseluruhan harga
sahan yang ada. Saham yang berperan kecil dalam mempengaruhi pasar akan diberi bobot
kecil.
Sedangkan untuk perhitungan angka indeks dengan menggunakan waktu berlaku sebagai
bobot dikemukakan oleh Paasche. Rumus yang digunakan adalah berikut.
Jika diperbandingkan, sebenarnya dilihat dari segi praktis, rumus yang dikemukakan oleh
Laspeyres lebih baik, karena bobot yang dipakai tidak berubah, tetapi secara teoritis kurang
baik, karena yang berpengaruh tehadap harga sebenarnya adalah jumlah saham pada waktu
yang berlaku.
Sebaliknya secara teoritis rumus Paasche sangat baik, karena perubahan jumlah saham
diperhitungkan pengaruhnya terhadap perubahan harga, tetapi dari segi praktis, cukup sulit
diterapkan.
Untuk menjembatani kedua rumus di atas baik Laspeyres maupun Paasche, maka ada dua
rumus lain yang digunakan untuk menghitung indeks harga saham gabungan, yaitu menurut
Irving Fisher dan Drobisch.
Rumus Irving Fisher :
IHSG= IHSGL x IHSGP
Karena jumlah saham yang tercatat sangat banyak , seringkali jika harus menghitung semua
saham yang tercacat akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, dalam perhitungan hanya
menggunakan sampel dari keseluruhan saham yang tercatat.
Yang perlu diperhatikan disini adalah bagaimana cara pengambilan sampel sehingga didapat
hasil yang mewakili. Sampel ini diambil dari perkiraan saham yang diyakini memiliki peran
penting dalam mempengaruhi pasar.
Indeks obligasi Negara diterbitkan secara harian dengan menggunakantahun dasar Juni 2004
yang ditetapkan 100 sebagai nilai dasar Index. dengan melakukan pengelompokan obligasi
sebagai berikut :
1. Obligasi Negara dengan mata uang rupiah dan memiliki kupon berbunga tetap
2. Sisa jangka waktu jatuh tempo sekurang-kurangnya 1 tahun
Metodologi yang dipakai dalam IGBX
Indeks Obligasi Negara adalah nilai rata-rata tertimbang (weigthed average) terhadap nilai
obligasi yang masih tercatat dan dapat diperdagangkan. Perhitungan IGBX menggunakan
metode perhitungan Bond Index yang lazim digunakan dengan berdasarkan perubahan harga
pasar yang terjadi di pasar secara harian (dalam hal ini adalah data harga transaksi Obligasi
Negara yang dilaporkan melalui PT Bursa Efek Indonesia selaku Penerima Laporan
Transaksi Efek).
IGBX dikelompokkan dalam beberapa sub-grup, di mana masing-masing sub grup terdiri atas
beberapa Obligasi Negara yang memiliki struktur jatuh termpo lebih dari 1
tahun. Pengelompokan dilakukan berdasarkan uji statistik berdasarkan pada tingkat
kemiripan setiap Time To Maturity (TTM).
Yield
Yang dimaksudkan adalah yield to maturity dari masing-masing obligasi. Yield Index, atau
disebut juga Bondway (Bond Weigthed Average Yield), merupakan angka yang diperoleh
dari weighted average yield terhadap nilai nominal dari obligasi tercatat dan dapat
diperdagangkan. Angka index ini, dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur keberhasilan
perolehan yield suatu portofolio.
b. Persaingan pasar (berkaitan dengan barriers to entry ) dalam rangka menentukan bentuk pasar, diukur
dengan menggunakan Indeks Herfindahl (HI) atau jumlah perbandingan antara market share
setiap perusahaan dengan jumlah pasar secara keseluruhan yang diperoleh dengan rumus:
INDUSTRI TELEVISI
Pasar televisi dan iklan Indonesia merupakan pasar yang sangat kompleks dan dipenuhi dengan persaingan.
Persaingan dalam industri televisi Indonesia menjadi semakin ketat setelah adanya
horizontal integration
atau integrasi antar stasiun televisi. Integrasi horizontal ini dilakukan dengan cara mengakuisisi sebagian besar
saham di suatu stasiun televisi sehingga mengubah struktur kepemilikan di dalamnya. Dalam hal barriers
to entry, industri televisi merupakan pasar yang sarat dengan halangan natural, terutama akibat halangan
finansial dan kepemilikan. Diperlukan modal finansial yang besar untuk memulai pendirian stasiun TV
dikarenakan biaya investasi, infrastruktur, dan operasional yang sangat besar. Selain itu, struktur kepemilikan
yang didominasi pemain-pemain lama yang telah cukup besar menyebabkan pemain baru harus memiliki
mental bersaing yang sangat besar jika ingin memasuki pasar ini. Oleh karena itulah, TV komunitas dan TV
lokal, meskipun secara kuantitas telah cukup banyak, masih belum dapat diperhitungkan dalam menganalisis
industri televisi dalam skala nasional. Sedangkan untuk artificial barriers, regulasi dalam bidang penyiaran
merupakan halangan yang cukup berat untuk masuk ke dalam industri media massa yang terbesar ini. Terkait
dengan struktur kepemilikan, regulasi dalam bidang penyiaran yang tertuang dalam UU No.32 Tahun 2002
mengatur bahwa kepemilikan saham asing dalam media penyiaran di Indonesia dibatasi maksimal 20%.
Selain itu, terkait dengan konten, atau produk siaran, UU Penyiaran juga mengatur sistem pertelevisian
Indonesia dalam bentuk berjaringan secara lokal. Akan tetapi, pada realitanya, kondisi tersebut belum
diimplementasikan oleh stasiun televisi nasional karena adanya konsentrasi modal di pusat. Pembiayaan dan
pendirian stasiun TV lokal baru yang mahal membuat stasiun TV nasional menggandeng stasiun TV lokal
yang telah ada menjadi bagian dalam TV nasional tersebut.
Setiap stasiun televisi memiliki strategi masing-masing untuk menarik pengiklan. Terjadi penaikan
advertising expenditure
dalam pasar televisi Indonesia namun tetap terkonsentrasi pada 4 pemain utama.
Angka pemasukan iklan untuk berbagai media akan terus meningkat. Peningkatan angka
pemasukan iklan di media televisi karena akses yang dimiliki media televisi terhadap market. Coverage
media televisi mencakup National Wide. Kenaikan angka pemasukan iklan pada periode 2008-2009
adalah sebesar 14,8%.
Jika dikaji berdasarkan setiap unit stasiun TV, pasar iklan televisi Indonesia mengarah pada Pasar Persaingan
Sempurna (close to perfect competititon) dengan pembeli utama (main buyer ) dari perusahaan
telekomunikasi, pemerintah dan iklan politik, korporasi, rokok, dan kendaraan bermotor. Stasiun televisi
utama yang menjadi media primadona bagi para pengiklan adalah: RCTI, Trans TV, SCTV dan TPI.
Kenaikan angka pemasukan iklan media televisi pada periode 2008-2009 sebesar 13,8%.
Jika dicermati secara berkelompok berdasarkan konglomerasi yang terjadi, maka sebenarnya pasar iklan di
Indonesia mengarah pada pasar oligopoli yang hanya terdiri dari 5 pemain utama. Peringkat pertama dari segi
pemasukan iklan diduduki oleh MNC Group yang membawahi RCTI, Global TV, dan MNC TV, diikuti
dengan Surya Citra Media Group (SCTV dan Indosiar), Trans Corp dengan TransTV dan Trans7, serta
Bakrie Group (ANTV dan TVOne) dan terakhir Media Group. Akan tetapi, kecenderungan oligopoli ini tidak
dapat dibuktikan karena setiap stasiun televisi didirikan atas nama perusahaan yang berbeda-beda meskipun
jika ditelusuri struktur kepemiilikan sahamnya, media-media tersebut bernaung dalam grup perusahaan yang
sama.
Berdasarkan harga slot iklan ( cost of advertisement ), dapat diukur CPM (cost per mile) pada masing-
masing stasiun televisi. CPM menunjukkan efektivitas dan efisiensi biaya yang dikeluarkan pengiklan untuk
beriklan selama satuan waktu di masing-masing stasiun TV. Angka CPM diperoleh dari biaya slot iklan
dibagi dengan jumlah penonton masing-masing stasiun TV. Secara umum, semakin rendah nilai CPM,
semakin efisien pula iklan di stasiun TV tersebut.
Berdasarkan grafik
tersebut, dapat
disimpulkan bahwa
dengan jumlah
audience
yang relatif tetap, CPM
TV swasta di Indonesia
rata-rata mengalami
peningkatan setiap
tahun karena belanja
iklan di televisi
menunjukkan
peningkatan setiap
tahunnya. Dari grafik di
atas, dapat dilihat
bahwa dua stasiun TV yang mengalami perubahan CPM cukup signifikan adalah ANTV dan Metro TV.
Untuk ANTV, CPM dari tahun 2008 ke 2009 mengalami peningkatan drastis karena pemasukan iklan di
tahun 2009 naik 42,5% dari Rp1.803.291 juta (2008) menjadi Rp2.569.466 juta (2009). Sedangkan grafik
CPM Metro TV meningkat tajam karena walaupun pemasukan iklannya meningkat, tapi audience size-
nya rendah, bahkan paling rendah di antara stasiun lainnya. Dalam hal market performance, industri
televisi di Indonesia menunjukkan keragaman dalam hal operasionalisasi tenaga kerja dalam rangka efisiensi
dan optimalisasi. Contoh yang menarik dapat ditemui di stasiun televise yang berada di bawah TransCorp,
yaitu Trans7 dan TransTV. Kedua stasiun TV tersebut menerapkan kebijakan yang cukup khas terkait dengan
produk dan tenaga kerja, yaitu lebih mengutamakan acara dari home production dan merekrut tenaga
kerja fresh-gradute, serta menekankan multi-tasking jobs. Sementara itu, sebagian besar stasiun TV di
Indonesia fokus pada perkembangan teknologi dan penambahan infrastruktur. Hal ini dilakukan dalam
rangka meningkatkan jangkauan siaran agar memperoleh penonton (target pasar) lebih banyak
INDUSTRI RADIO
Berdasarkan data dari Deparpostel pada tahun 2008, jumlah lembaga penyiaran radio di seluruh Indonesia
ialah 1.642 stasiun. Dari jumlah tersebut, radio yang menyandang Ijin Stasiun Radio (ISR) hanya 819 stasiun.
Organisasi radio di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu jaringan radio swasta dan jaringan radio
komunitas. Jaringan radio swasta bergerak untuk kepentingan komersial. Sedangkan jaringan radio
komunitas biasanya didirikan oleh suatu komunitas dengan basis kawasan, isu, atau ketertarikan. Dalam
perspektif ekonomi media, industri radio dipandang sebagai industri media yang memiliki karakteristik khas
dalam hal audience. Audiens radio terbatas di ruang wilayah tertentu sebagai konsekuensi
keterbatasan jangkauan jaringannya. Oleh karena itu, analisis ekonomi industri radio pun juga dilakukan
berdsarakan skala lokal. Dalam kajian kali ini, analisis radio dibatasi pada empat kota dengan pertumbuhan
penduduk tertinggi di Indonesia, yaitu Jakarta, Medan, Makassar, dan Surabaya. Berikut disajikan data
audience share radio di masing-masing kota tersebut.
Dari tabel tersebut, dapat dilihat industri radio di Jakarta merupakan industri media yang cukup dinamis
dalam hal komposisi nama-nama pemain. Selama kurun waktu 2004-2009, banyak pemain yang bergantian
menempati posisi empat teratas. Di antara berbagai radio tersebut, yang paling konsisten merebut pasar cukup
tinggi adalah Radio Bens. Selama lima tahun berturut-turut, Bens selalu memperoleh tempat di kalangan
emapt besar, bahkan menjadi nomor satu di tahun 2005-2007. Perubahan terjadi pada tahun 2008 saat Gen
FM memasuki pasar radio. Gen yang baru saja berdiri di tahun 2008, langsung menembus posisi nomor 3 dan
naik menjadi nomor 1 di tahun 2009. Nama lain yang cukup konsisten adalah radio Dangdut TPI,
Megaswara, Pop FM, dan RKM.
Untuk Kota Medan, melalui tabel tersebut, dapat diketahui bahwa dari kurun waktu 2004-2009, nama-nama
radio di Medan relatif tetap dan tidak banyak mengalami perubahan. Meskipun demikian, audience share
pada setiap radio di Medan sangat dinamis dan cenderung mudah mengalami kenaikan dan penurunan, begitu
pula dengan tingkat konsentrasi pasarnya secara keseluruhan. Meskipun demikian, industri radio di Medan
masih terpusat pada beberapa pemain tertentu. Dua pemain utama di Medan ialah Most FM dan Radio
Simfoni yang selalu menduduki empat besar perolehan pendengar. Selain kedua redio tersebut, juga terdapat
radio lain yang juga memiliki cukup banyak pendengar, yaitu Sikamoni, Radio Dangdut TPI, Kardopa, KISS
FM, dan RRI PRO2.
Lain halnya dengan Medan dan Jakarta, industri radio di Makassar jutsru tak banyak perubahan,
baik dari segi audience share per radio, maupun nama-nama pemain di pasar. Hal ini terjadi karena pilihan
pendengar tampaknya telah menetap pada tiga pemain utama. Radio yang paling menonjol adalah Radio
Gamasi yang selama 5 tahun dari 2004-2009 konsisten memperoleh paling banyak pendengar. Selanjutnya
terdapat Venus dan Telstar yang selalu bergantian menempati posisi kedua dan ketiga. Selain ketiga radio
tersebut, ada juga radio Madama dan Sonata yang juga sering menempati posisi keempat. Adanya beberapa
nama lama yang telah melekat erat ini menyebabkan tak banyak nama-nama baru muncul di peta industri
radio Makassar. Meskipun demikian, Makassar FM cukup berpotensi karena baru muncul pada tahun 2008
dan langsung sukses merebut 8% pendengar, bahkan progresif menjadi 11,6% di tahun 2009.
Di industri radio Surabaya, dari segi pemain pasar, terdapat dua radio yang secara konsisten memperoleh
pendengar yang paling banyak, yaitu Suara Giri dan Wijaya FM. Kedua radio tersebut memiliki tingkat
audience share yang tertinggi dan cukup jauh jika dibandingkan dengan Radio Merdeka dan
Radio Suzana yang menempati tempat ketiga dan keempat. Hal paling mencolok yang terjadi dalam
industri radio Surabaya selama tahun 2004-2009 ialah terjadinya penurunan tingkat konsentrasi yang cukup
secara gradual dengan tingkat penurunan yang cukup siginifikan. Hal ini disebabkan karena menurunnya
audiende share radio-radio besar di Surabaya. Hal ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun selama
2004-2009, pasar audience share radio di Surabaya terdistribusi lebih merata secara konsisten.
Berdasarkan keempat tabel audience share di setiap kota di atas, dapat digambarkan bagaimana
perbandingan rasio konsentrasi pasar dan tingkat persaingan di tiap kota.
Untuk menganalisis tingkat persaingan industri radio, digunakan unit analisis pembelanjaan iklan radio.
Industri radio yang memiliki tingkat persaingan tertinggi ditunjukkan oleh pasar Jakarta (Indeks H paling
rendah). Intensitas persaingan berikutnya secara urut ditempati oleh Medan dan Surabaya, serta Makasssar.
Hal tersebut dapat dilihat dari indeks H dalam pasar Jakarta yang selalu berada di bawah 0,2 selama dari tahun
2005-2009. Artinya, industri radio di Jakarta memiliki karakteristik pasar persaingan sempurna.
Tingkat persaingan di pasar Jakarta selama lima tahun juga cenderung menunjukkan stabilitas. Persaingan
persaingan paling ketat terjadi pada tahun 2009. Hal ini akibat nama-nama baru yang muncul pada tahun 2008
telah lebih matang.
Berbeda dari Jakarta, industri radio di Medan, Makassar, dan Surabaya, menunjukkan karakteristik pasar
oligopoli (0,2 < HI < 0,7). Selain itu, di ketiga kota tersebut, tingkat persaingan industri radio dari tahun ke
tahun selama 2004-2009 bergerak lebih dinamis. Perkembangan paling dinamis ditunjukkan oleh pasar di
Medan dan Makassar.
Dalam pengukuran konsentrasi, unit analisis yang digunakan ialah audience share.
Dari keempat kota, rasio konsentrasi yang paling tinggi ditunjukkan Kota Makassar (CR4 tertinggi), dan
diikuti oleh Surabaya, Medan, dan Jakarta di tempat terakhir.
Selama 2004-2009, tingkat konsentrasi di pasar Makassar selalu melebihi 100% kecuali di tahun 2008. Hal
ini berarti, industri radio di Makassar masih sangat terpusat pada beberapa nama pemain tertentu. Perubahan
cukup mencolok terjadi dari 2007 ke 2008 di pasar Makassar dan Surabaya yang mengalami penurunan CR
secara gradual cukup signifikan. Hal ini berarti dari tahun 2007 ke 2008, pasar di kedua kota tersebut bergerak
lebih merata.
Kadar high concentration ditunjukkan oleh pasar Makassar, Medan, dan Surabaya. Hal yang berbeda
ditunjukkan pasar Jakarta. Dengan CR berkisar antara 45%-55%, rata-rata konsentrasi pasar di Jakarta selama
2004-2009 berada pada tingkat moderate. Artinya, industri radio di Jakarta memiliki distribusi pasar
yang paling merata.
Berikut merupakan data yang menggambarkan kondisi pasar periklanan dalam industri radio di Indonesia.
Dari segi pasar periklanan atau advertising market, radio memiliki nilai pembelanjaan iklan (adversiting
expenditure ADEX ) paling kecil dibanding jenis media lainnya. Radio hanya memiliki nilai ADEX
yang lebih besar dibanding iklan outdoor atau iklan pada reklame, baliho, dan media periklanan di ruang
terbuka lainnya. Data pada tabel ADEX Share juga menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun selama 2005-
2010, nilai iklan yang dibelanjakan di radio semakin mengalami penurunan dari tahun ke tahun.
Meskipun secara proporsional share iklan radio mengalami penurunan, nilai iklan radio secara real dari
kurun waktu 2005-2010 justru menunjukkan tren peningkatan (lihat grafik). Hal ini disebabkan oleh kecilnya
rate card radio dan minimnya peningkatan jumlah pendengar radio (tidak sebanding dengan televisi dan
koran) sementara nilai real seluruh iklan yang dibelanjakan di media mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun selama 2005-2010. Walaupun sempat mengalami penurunan pada tahun 2005 ke 2006, nilai iklan yang
dibelanjakan di radio terus meningkat sampai di tahun 2010. Secara keseluruhan selama lima tahun,
pendapatan iklan radio mengalami peningkatan sebesar 15,8%.
Berdasarkan nilai rate card atau harga periklanan radio, dapat diukur CPM (cost per mile) pada
masing-masing radio. CPM menunjukkan efektivitas dan efisiensi biaya yang dikeluarkan pengiklan iklan di
tiap-tiap stasiun radio. Angka CPM diperoleh dari perbandingan antara rate card dengan jumlah pendengar
masing-masing radio. Secara umum, semakin rendah nilai CPM, semakin efisien pula iklan di radio tersebut.
Meskipun demikian, perlu diperhitungkan nilai real rate card dan jumlah pendengar radio tersebut.
Perhitungan advertising expenditure yang menggambarkan market conduct industri radio di keempat
kota menunjukkan bahwa CPM radio tidak dapat dihitung secara nasional karena sifat audiens lokal, juga
dikarenakan adanya UU Penyiaran yang mengatur frekuensi siaran tiap-tiap stasiun radio di masing-masing
kota. Dengan demikian, kajian karakteristik pasar radio berdasarkan kerangka analisis ekonomi media hanya
dapat diimplementasikan dalam lingkup lokal.
Industri surat kabar di Indonesia merupakan industri yang peka terhadap dinamika struktur pasar. Pemahaman
ini diperoleh dari adanya perubahan mencolok pada peta industri surat kabar akibat pengaruh perubahan rezim
politik dari Orde Baru ke Reformasi. Sebagai sebuah industri media massa yang diawasi secara ketat pada
masa Orde Baru, pers Indonesia serasa menemukan angin segar kebebasan ketika masa reformasi. Kebebasan
tersebut terwujud dari adanya serangkaian regulasi yang membebaskan berdirinya media cetak tanpa perlu
mendapatkan SIUP (Surat Izin Usaha Penerbitan).
Dari perspektif ekonomi media, liberalisasi surat kabar ini berarti sebagai hilangnya barrier to entry utama
yang menghalangi pendirian suatu media cetak. Oleh karena itu, semenjak reformasi tahun 1998, ratusan surat
kabar baru muncul. Jika pada tahun 1997 tercatat 167 surat kabar, pada tahun 2008 jumlah ini berkembang
pesat menjadi 515 surat kabar. Atau dengan kata lain, terjadi kenaikan sebesar 208% dari segi jumlah pemain
pasar.
Namun, lain lagi jika bicara mengenai audience share atau dalam terminologi media cetak disebut
readership. Meskipun jumlah pemain pasar atau produsen naik signifikan, jumlah konsumen atau pembaca
surat kabar dari tahun 1998 ke 2008 justru mengalami penurunan 2,6% sebanyak 300 ribu orang. Berikut
disajikan data detail mengenai readership share surat kabar di Indonesia pada tahun 1997 dan 2007.
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa jumlah pembaca surat kabar di Indonesia justru menurun
2,6% dari 9,3 juta di tahun 1997 menjadi sekitar 9 juta di tahun 1997. Oleh karena itu, secara real, kondisi
pasar surat kabar di Indonesia kini mengalami penurunan jumlah, tetapi diiringi peningkatan pemain pasar
(sellers up, buyers down). Penurunan ini merupakan konsekuensi dari perkembangan media baru.
Berkembangnya teknologi kini turut membawa berbagai alternatif media baru. Tak dapat dipungkiri,
masyarakat kini meletakkan preferensinya pada media online yang lebih cepat, praktis, mudah, dan murah.
Meskipun banyak terdapat pemain baru, dari segi product differentatiation, tidak banyak terjadi
perubahan nama-nama surat kabar yang menguasai pasar nasional. Kompas, Pos Kota, dan Jawa Pos tetap
ada di posisi 3 besar. Pemain baru yang cukup mencuri perhatian ialah Top Skor. Di tahun 1997, nama Top
Skor, tak masuk ke jajaran 10 besar, tetapi di tahun 2007 Top Skor menggantikan Suara Pembaruan di posisi
keempat. Menariknya, Suara pembaruan justru tak ada dalam daftar 10 teratas di tahun 2007. Meskipun
demikian, liberalisasi surat kabar tetap memunculkan nama-nama media yang potensial, antara lain Top Skor,
Berita Kota, Warta Kota, dan Seputar Indonesia.
Jika dilihat dari segi readership share, industri surat kabar nasional dalam kurun waktu 1997-2007
menunjukkan kecenderungan menurunnya share koran-koran besar. Pos Kota yang awalnya merebut 31%
pasar mengalami penurunan paling drastis menjadi 13%. Kompas mengalami penurunan sebesar 4% dari
awalnya 22% menjadi 18%. Pikiran Rakyat menurun dari 8% menjadi 4%.
Yang harus menjadi perhatian adalah Jawa Pos yang justru mengalami kenaikan share pembaca sebesar 7%.
Peningkatan share Jawa Pos ini erat kaitannya dengan ekspansi jaringan Jawa Pos yang memperluas
jangkauan koran lokalnya (suplemen Radar dearah) seiring dengan kemudahan mendirikan media
dan peningkatan efisiensi dalam tubuh internal organisasi media Jawa Pos.
Selain itu, Top Skor juga cukup fenomenal. Sebagai surat kabar baru, Top Skor langsung mampu merebut
pembaca sebesar 8% di tahun 2007. Keberhasilan Top Skor ini diasumsikan akibat genre yang diambilnya.
Dengan genre koran olahraga, Top Skor mampu membidik target pasar yang spesifik, yaitu para penikmat
olahraga.
Dinamika readership share ini menarik untuk menjadi dasar analisis struktur pasar surat kabar nasional,
terutama dari segi tingkat persaingan dan konsentrasi pasar. Dengan menggunakan perhitungan rasio
konsentrasi empat pemain terbesar (CR4) untuk menunjukkan konsentrasi pasar dan indeks Herfindahl untuk
menunjukkan struktur persaingan, maka diperoleh grafik yang menunjukkan perkembangan struktur pasar
surat kabar nasional sebagai berikut.
Konsentrasi Pasar
Dipandang dari karakteristik struktur persaingan pasar yang dikur melalui indeks Herfindahl, hasil yang
terekam dalam grafik di samping menunjukkan angka di bawah 0,2. Menurut indikator yang dikemukakan
Albarran (1996), angka indeks H <0,2 berarti struktur pasar persaingan sempurna. Oleh karena itu, indeks H
pada grafik di samping menjelaskan bahwa struktur industri surat kabar nasional menujukkan kecenderungan
karakterisktik pasar persaingan sempurna, baik di tahun 1997 maupun 2007.
Meskipun demikian, tetap terjadi perubahan selama 10 tahun berjalan, yaitu penurunan indeks H sebesar 0,7
dari 0.18 menjadi 0,11. Penurunan indeks H ini menunjukkan bahwa pasar telah bergerak ke arah yang lebih
bebas. Artinya, persaingan dalam industri surat kabar nasional di tahun 2007 menjadi lebih ketat dan terbuka.
Meningkatnya persaingan ini disebabkan oleh menigkatnya jumlah pemain di pasar sebagai konsekuensi
hilangnya barrier to entry politis, sedangkan di sisi lain, jumlah konsumen surat kabar nasional secara
keseluruhan menurun. Akibatnya, ruang yang tersisa bagi masing-masing surat kabar menjadi lebih sempit
dan setiap surat kabar lebih berlomba-lomba mencapai pembacanya.
INDUSTRI FILM
Dari segi struktur pasar, pasar produksi film Selama tiga tahun dari 2007-2009, grafik rasio
Indonesia pada tahun 2007 - 2009 tak banyak konsentrasi industri produksi film di Indonesia
menunjukkan perubahan dalam tingkat selalu menunjukkan angka di bawah 33% yang
persaingan. Selama tiga tahun, indeks H berkisar berarti tingkat konsentrasi pasar produksi film
antara 0.29-0.37. Hal ini berarti bahwa pasar Indonesia berada dalam level low
produksi film di Indonesia memiliki karakteristik concentration. Artinya, industri produksi
oligopoli. Kondisi pasar oligopoli ini didominasi film di Indonesia tidak terlalu terpusat pada
dengan produk pasar (dalam hal ini film) beberapa nama yang menduduki posisi empat
yang kurang terdifferensiasi dan cenderung teratas. Rendahnya rasio konsentrasi ini juga
homogen akibat pemain di pasar (rumah produksi) merepresentasikan perbedaan yang tidak terlalu
yang jumlahnya sedikit, yaitu kurang dari 10. signifikan dalam hal jumlah produksi film pada
Minimnya rumah produksi ini diakibatkan karena setiap rumah produksi. Meskpun demikian tetap
barriers to entry dalam memasuki industri terjadi perubahan rasio konsentrasi selama 2007-
produksi film yang membutuhkan modal finansial 2009. Di tahun 2007 ke 2008, terjadi penurunan
yang besar dibekali dengan skill dan pengalaman. CR4 dimana dari 30,19% menjadi 26,42%. Hal
Kenaikan tipis dari tahun 2007 ke 2008 ini sebagai akibat dari kenaikan jumlah produksi
menunjukkan indikasi bahwa kondisi pasar secara keseluruhan dibanding perkembangan
semakin ketat dengan adanya kenaikan jumlah jumlah film yang diproduksi empat pemain utama.
produksi film dari setiap rumah produksi. Di Kenaikan jumlah film disebabkan prospek bisnis
2009, penurunan jumlah film yang diproduksi film yang menguntungkan. Pada tahun 2009, CR4
juga turut memicu turunnya indeks H yang naik menjadi 29,4%, karena empat pemain utama
mengakibatkan pasar bergerak ke arah yang lebih menaikkan jumlah produksi filmnya, terutama
bebas dari sisi produksi Starvision Kharisma