Anda di halaman 1dari 27

EXTENDED SYSTEM OF ACCOUNTING : THE INCORPORATION OF SOCIAL AND

ENVIRONMENTAL FACTORS WITHIN EXTERNAL REPORTING

Pendahuluan
Kita telah banyak belajar mengenai isu-isu terkait dengan pertanggungjawaban aktivitas
perusahaan dalam aspek non financial dengan mengeksplorasi teori-teori yang menjelaskan
praktek pelaporan sukarela perusahaan. Pada makalah ini akan membahas isu-isu pengembangan
pemahaman teori lebih jauh dengan mempelajari aspek pertumbuhan badan penelitian yang
menyelidiki praktek pelaporan sosial dan lingkungan yang diadopsi oleh banyak organisasi
akhir-akhir ini.
Praktek pelaporan sosial dan lingkungan sering menunjuk pada pelaporan yang
berkelanjutan yang seringkali menutupi aspek kesinambungan keuangan/ ekonomi dalam
penambahan kesinambungan sosial dan lingkungan. Istilah pelaporan berkelanjutan
(sustainability reporting) dan pelaporan sosial lingkungan (social environmental reporting)
secara bergantian akan digunakan untuk mengacu pada arti dari peraturan/ ketentuan menuju
rentang stakeholders, informasi mengenai kinerja entitas dalam hal interaksi secara fisik dan
lingkungan sosial termasuk informasi mengenai dukungan entitas tehadap karyawan, komunitas
lokal dan asing, catatan keamanan dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam.
Sedikit mengejutkan bahwa banyak siswa akuntansi yang melengkapi kualifikasi
akuntansi mereka tanpa mempertimbangkan isu-isu terkait pertanggungjawaban bisnis. Namun
demikian praktek akuntansi pada tingkatan yang lebih sederhana dapat didefinisikan sebagai
ketentuan informasi mengenai kinerja entitas yang ditujukan bagi kelompok pengguna laporan
keuangan tertentu yang tidak bisa dipisahkan dari pertimbangan tingkat responsibilitas dan
akuntabilitas sebuah entitas. Sebagai seorang akuntan kita akan menerima tugas untuk
menyediakan akun kinerja sosial dan lingkungan pada sebuah organisasi bila kita telah mengakui
bahwa sebuah entitas memiliki responsibilitas dan akuntabilitas kinerja sosial dan lingkungan.
Begitu juga sebaliknya.
Karena area pelaporan sosial dan lingkungan ini relatif masih baru dan masih terus
mengalami perubahan maka bagi seorang akuntan akan sangat menarik untuk ikut terlibat
didalamnya. Kita akan mulai melihat akuntan jenis baru yaitu akuntan lingkungan

1
(environmental accountants) dan akuntan sosial (social accountants) yang bekerja berdampingan
bersama dengan akuntan keuangan tradisional.

Tahap-tahap Pelaporan Berkelanjutan (Sustainability Reporting)


Ada beberapa variasi langkah-langkah/ tahap dalam laporan yang terkait atau
berkelanjutan dengan produksi suatu lingkungan sosial. Langkah yang diambil seharusnya
dilakukan secara berurutan sebagaimana sebuah keputusan yang diambil pada masing-masing
tahap (selanjutnya) tergantung pada keputusan yang diambil pada tahap sebelumnya.
Dalam pelaporan berkelanjutan tahap pertama adalah pada saat sebuah perusahaan
memutuskan tujuan organisasi secara garis umum untuk melakukan pelaporan sosial dan
lingkungan, dengan kata lain adalah alasan mengapa perusahaan diharapkan untuk menghasilkan
sebuah laporan yang berkelanjutan. Hal ini kelihatan seperti alasan secara umum untuk
pembangunan kebijakan dan praktek tanggungjawab sosial dan lingkungan, dimana kebijakan
dan prakteknya biasa disebut tanggungjawab sosial perusahaaan (Corporate Social
Responsibility/ CSR). Alasan yang secara umum akan memicu munculnya CSR dan pelaporan
berkelanjutan dalam sebuah organisasi dapat berangkat dari dorongan keinginan secara etis untuk
memastikan keuntungan perusahaaan atau menghindari dampak negatif lingkungan alam dan
sosial, meskipun motif utamanya secara ekonomi adalah memanfaatkan pelaporan lingkungan
sosial dan CSR guna melindungi atau meningkatkan nilai finansial pemegang saham.
Ketika sebuah organisasi telah menentukan apa tujuan utamanya dalam mempublikasikan
laporan sosial dan lingkungan (CSR) tahap berikutnya yang akan dilakukan dalam proses
pelaporan adalah mengidentifikasikan siapa (stakeholders) yang membutuhkan informasi atas
laporan tersebut, dengan kata lain siapa saja pihak yang secara langsung berkepentingan dengan
pelaporan lingkungan sosial tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa jika pelaporan sosial dan
lingkungan perusahaan hanya terdorong oleh keinginan secara eksklusif pihak manajemen, maka
para stakeholders yang memiliki pelaporan sosial dan lingkungan perusahaan akan secara picik
mengarahkannya hanya untuk kepentingan para stakeholders yang memegang dan
memanfatakan kekuasaan ekonomi terbesar atas perusahaan tersebut. Sebaliknya jika pelaporan
sosial dan lingkungan perusahaan dimotivasi oleh alasan etika/ moral maka pelaporan
perusahaan akan mencari keterbutuhan informasi pada rentang stakeholders yang lebih luas.

2
Setelah melakukan identifikasi tentang siapa saja stakeholders yang memiliki
kepentingan dan kebutuhan atas informasi yang akan dihasilkannya, tahap ketiga yang harus
dilakukan perusahaan dalam pelaporan yang berkelanjutan adalah memastikan apa saja informasi
yang dibutuhkan oleh para stakeholders, dengan kata lain masalah (isu-isu) apa yang dituju
dalam pelaporan sosial dan lingkungan perusahaan. Dalam mengidentifikasikan masalah, sebuah
entitas mempunyai tanggungjawab dan akuntabilitas atas stakeholders yang terkait, termasuk
melakukan dialog antara perusahaan dengan target stakeholders yang ditentukan. Beberapa
penelitian telah membahas mengenai proses komunikasi dengan stakeholders ini.
Ketika suatu perusahaan telah menentukan tujuan dari proses pelaporan (mengapa
melaporkan), stakeholders yang dituju dengan adanya proses pelaporan ini ( untuk siapa laporan
tersebut dimaksudkan), dan informasi apa saja yang diminta oleh stakeholders ( apa masalah
yang dipertanggungjawabkan oleh para stakeholders entitas, atau apa masalah yang seharusnya
dicover), maka tahap terakhir dalam proses pelaporan sosial dan lingkungan adalah
menghasilkan sebuah laporan (mungkin dalam bentuk lebih dari satu macam) mengenai suatu
isu/ masalah (informasi yang dibutuhkan para stakeholders). Hal ini merupakan langkah umum
yang melibatkan lebih banyak hal-hal yang lebih detail mengenai bagaimana laporan tersebut
akan disusun. Pada tahap ini beberapa elemen dari proses pelaporan sosial dan lingkungan akan
sangat jauh menyimpang dari proses pelaporan keuangan yang diwujudkan dalam kerangka
konseptual akuntansi keuangan, meskipun beberapa masalah (seperti reliability information)
masih dianggap penting pada kedua proses tersebut.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai struktur pelaporan keuangan berkelanjutan
sesuai dengan tahap-tahap mengapa siapa untuk apa bagaimana dalam proses pelaporan
sosial dan lingkungan. Dimulai dari eksplorasi detail mengenai motif atau tujuan organisasi
secara umum dan bisnis perusahaaan secara khusus dalam rangka menjamin CSR dan pelaporan
berkelanjutan. Disusul langkah kedua dengan memberikan argumen bahwa rentang stakeholders
yang dituju oleh praktek pelaporan sosial dan lingkungan perusahaan akan mengalir langsung
dari alasan filosofi yang mendasari mengapa hal tersebut akan memberikan jaminan dalam
pelaporan sosial dan lingkungan.
Pada bagian berikutnya akan dibahas mengenai tahap ketiga dengan mempertimbangkan
kajian penelitian yang mendemonstrasikan bahwa pada kenyataannnya ada permintaan dari para
stakeholders atas informasi tentang masalah-masalah sosial dan lingkungan. Bagian ini akan
3
mempelajari perspektif teori dalam proses dialog para stakeholders, yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasikan masalah para stakeholders entitas tertentu yang memegang tanggungjawab
dan akuntabilitas, dan kemudian apa masalah yang akan dimaksudkan dalam pelaporan sosial
dan lingkungan. Selanjutnya dikuti dengan bagian berikutnya yang membahas mengenai kajian
penelitian yang menyelidiki beberapa masalah-masalah dan proses yang tekait dengan tahap
bagaimana menghasilkan laporan sosial dan lingkungan perusahaan. Termasuk di dalamnya
sebuah analisa mengenai pembatasan atas proses dan praktek pelaporan keuangan konvensional
dalam menangkap dampak sosial dan lingkungan perusahaan, proporsi dan pembatasan atas
pelaporan triple bottom line dalam menyediakan proses dan praktek pelaporan sosial dan
lingkungan yang cocok.

Sejarah Perkembangan Praktek Pelaporan Sosial dan Lingkungan


Praktek pelaporan dampak sosial dan lingkungan operasi perusahaan mulai diungkapkan
pada masyarakat umum secara sukarela oleh perusahaan sejak awal tahun 1990an, pada saat itu
banyak perusahaan membuat kemajuan dalam pertimbangan aspek pelaporan dampak
lingkungan perusahaan. Sekitar pertengahan tahun 1990an pelaporan mengenai aspek dampak
sosial dari operasi perushaaan menjadi praktek yang sangat populer. Perkembangan praktek ini
pada awal hingga pertengahan tahun 1990an cenderung mengambil bentuk pengungkapan dalam
laporan tahunan tentang kebijakan lingkungan (dan kemudian sosial), praktek dan/ atau dampak
dari laporan perusahaan.
Saat ini praktek pelaporan ini semakin meluas, dan pengungkapan sosial dan lingkungan
yang dibuat oleh beberapa perusahaan menjadi semakin luas pula, beberapa perusahaaan terkenal
mulai memisahkan pengungkapan sosial dan lingkungan yang lebih detail dari laporan tahunan
mereka. Sejak akhir tahun 1990an banyak perusahaaan yang mulai menggunakan internet untuk
menyebarluaskan informasi mengenai aspek kebijakan dan kinerja sosial dan lingkungan
mereka.

Tujuan Proses Pelaporan Sosial dan Lingkungan- Tahap Why


Beberapa teori yang dapat diaplikasikan untuk menjelaskan mengapa perusahaan secara
sukarela memilih untuk menyedialan informasi mengenai strategi perusahaan, termasuk kinerja
sosial dan lingkungan mereka diantaranya adalah :
4
Legitimacy Theory dan ditemukannya gagasan kontrak sosial
Menurut perspektif ini berpendapat bahwa sebuah entitas (organisasi) akan melakukan
aktivitas sosial tertentu (dan menyediakannya) jika pihak manajemen merasa bahwa
komunitas dimana mereka beroperasi mengharapkan perusahaan untuk melakukan suatu
aktivitas tertentu.
Stakeholders Theory
Menurut teori ini pihak manajemen perusahaan akan lebih suka untuk fokus pada harapan
dari stakeholders yang memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mengendalikan sumber daya
langka dan penting untuk mencapai tujuan perusahaan (dalam hal ini manager).
Accountability Model (Gray, Owen and Adam, 1996)
Menurut perspektif model ini perusahaan mempunyai banyak tanggungjawab, dan dalam
setiap tanggungjawab perusahaan ini ditetapkan hak para stakeholders termasuk hak atas
informasi dari perusahaaan yang menunjukkan pertanggungjawabannya dalam hubungan
dengan harapan para stakeholdersnya.
Institutional Theory
Perspektif menurut teori ini mengasumsikan bahwa manajer perusahaaan akan
mengembangkan atau mengadopsi praktek baru (seperti pelaporan tangggungjawab sosial
perusahaan - CSR dan/ atau tanggungjawab lingkungan) dikarenakan adanya sebuah tekanan
institusional.
Reputation Risk Management
Menurut perspektif ini diasumsikan bahwa motivasi utama pihak manajemen dalam
pelaporan secara sukarela adalah memaksimalkan laba. Dengan manajemen resiko reputasi
ini terdapat asumsi bahwa reputasi sebuah perusahaan memiliki nilai ekonomi, dan manajer
akan menggunakan pelaporan sukarela (seperti pelaporan berkelanjutan) untuk melindungi
dan meningkatkan nilai dan potensi pendapatan secara umum.
Positive Accounting Theory
Menurut teori ini diprediksi bahwa semua orang dipicu oleh kepentingan pribadi (self
interest), sehingga diprediksi juga bahwa aktivitas lingkungan sosial tertentu dan hubungan
pengungkapan mereka hanya akan terjadi jika memiliki implikasi kemakmuran positif pada
keterlibatan manajemen.
Perpektif selanjutnya yang mendorong manajer untuk melakukan CSR dan pelaporan
berkelanjutan diberikan oleh Unerman dan ODwyer (2004)
Perspektif ini menggambarkan teori sosial (social theory) dari Anthony Giddens (1990, 1991,
1994) dan Ulrich Beck (1992, 1994, 1999, 2000) yang menyatakan bahwa di dunia dimana
5
perpsepsi dari hasil negatif masa depan dari suatu kegiatan industri dan konsumsi produk
yang lazim, maka manajer akan menggunakan pelaporan sosial dan lingkungan sebagai
bagian dari strategi untuk mencoba meyakinkan secara ekonomi para stakeholders terkuat
mereka bahwa produk dan aktivitas mereka membawa resiko yang rendah pada masyarakat
ataupun pada individu di dalam masyarakat.
Tanggungjawab Bisnis
Digerakan oleh banyak perusahaan di seluruh dunia untuk melaksanakan mekanisme
pelaporan yang menyediakan informasi mengenai kinerja sosial dan lingkungan suatu entitas
mengimplikasikan bahwa pihak manajemen perusahaan mempertimbangkan bahwa mereka tidak
hanya memiliki tanggungjawab atas kinerja ekonomi saja, tetapi juga untuk kinerja sosial dan
lingkungan perusahaan. Meski ini adalah menurut pandangan banyak individu namun bukan
berarti akan menjadi suatu pandangan yang diterima secara universal. Banyak orang yang masih
menganggap bahwa tujuan utama sebuah entitias bisnis adalah menghasilkan keuntungan bagi
para pemegang saham sehingga mereka akan lebih menyukai bila mendapatkan keuntungan yang
lebih tinggi. Tujuan ini lebih merujuk kepada memaksimalkan nilai pemegang saham
(maximizing shareholder value).
Bagaimana sebuah entitas individual menentukan tanggungjawabnya sangat tergantung
pada penilaian pribadi pihak manajemen yang terlibat di dalamnya. Hal ini relevan dengan tujuan
dari praktek pelaporan sosial dan lingkungan yang dipilih oleh entitas itu sendiri karena
tanggungjawab bisnis dan akuntabilitasnya dirasakan berjalan beriringan. Berdasarkan definisi
yang diberikan oleh Gray, Owen dan Adam (1996, hal 38) tanggungjawab dapat didefinisikan
sebagai :
Tugas untuk menyediakan sebuah akun (tidak berarti selalu akun finansial) atau
perhitungan dari tindakan-tindakan untuk pihak yang bertanggungjawab
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa ada dua tugas atau tanggungjawab yang
termasuk di dalam akuntabilitas :
1. Tanggungjawab untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu (atau menahan diri dari
melakukan tindakan tertentu)
2. Tanggungjawan untuk menyediakan sebuah akun bagi tindakan-tindakan tersebut
Beberapa diskusi mengenai pelaporan sosial dan lingkungan selalu membutuhkan
pertimbangan mengenai apa tanggungjawab perusahaan dan apa yang dirasakannya, kemudian
kepada siapa tanggungjawab tersebut ditujukan, apakah untuk pemilik langsung (pemegang
saham) saja atau lebih luas lagi pada masyarakat sekitar dimana perusahaan beroperasi. Masalah

6
lainya adalah apakah tanggungjawab perusahaan hanya terbatas pada saat sekarang saja dan apa
saja implikasinya bagi generasi di masa mendatang. Juga ada masalah terkait jabatan publik yang
mendominasi pengambilan keputusan dalam perusahaan.
Berikut ini adalah beberapa contoh mengenai kepedulian dan tanggungjawab perusahaan
terhadap pihak lain diluar para pemegang saham terkait masalah akuntabilitas perusahaan.
Unilever (2004)
Dalam pernyataan pembuka review laporan tahunan terdapat pernyataan perusahaan yang
meyakini bahwa untuk meraih kesuksesan mengharuskan standar tertinggi perilaku
perusahaan terhadap semua orang yang bekerja bersama mereka, masyarakat yang
bersentuhan dengan perusahaan, dan lingkungan yang ikut tepengaruh oleh perusahaan.
British Communication (2004)
Grup multinasional ini menyatakan dalam laporan CSR perusahaan bahwa konsep
pembangunan berkelanjutan merepresentasikan sebuah dunia baru dimana pertumbuhan
ekonomi memberikan masyarakat yang adil dan inklusif, dan pada saat yang bersamaan
melestarikan lingkungan alam dan sumber daya dunia yang tidak dapat diperbaharui bagi
gernerasi penerus di masa depan.
Sebuah Peternakan Ikan di Skotlandia
Georgekopoulos dan Thomson (2005) memberikan contoh sebuah peternakan ikan di
Skotlandia sebuah institut yang mempraktekkan pertanian organik dan menyatakan bahwa
pergeseran ke produksi organik tidak bermasalah dan relatif tidak mahal. Hal ini bukan
merupakan reaksi untuk memprotes gerakan atau bahwa salmon organik dianggap sebagai
produk yang lebih aman dan sehat. Pergeseran tesebut dipicu oleh prospek harga pasar yang
lebih tinggi dan untuk mengamankan penjualan dalam iklim penurunan harga pasar dan
volume untuk salmon anorganik.
Dukungan Terhadap Pandangan Sempit Tanggungjawab Bisnis
Dari waktu ke waktu banyak orang terkenal yang memberikan pandangan mereka
mengenai tanggungjawab bisnis. Dalam bukunya yang telah banyak dikutip, Capitalism and
Freedom (1962), Milton Friedman menolak pandangan bahwa manajer perusahaan mempunyai
kewajiban moral lebih dari keinginan memaksimalkan keuntungannya. Para pendukung
Friedman cenderung berpendapat bahwa tindakan semua individu adalah didorong oleh
kepentingan individual (self interest) untuk memaksimalkan kemakmuran pribadi, kemudian hal
ini akan memberikan manfaat bagi masyarakat (melalui pertumbuhan ekonomi) karena
kemakmuran dihasilkan oleh kesuksesan yang akan menular pada mereka yang kurang sukses

7
(trickel down theory). Memang teori ini biasanya dianggap pengulangan dari kunci pembenaran
moral sistem kapitalis.
Masalah utama dalam pembenaran moral pada fokus eksklusif dan sempit dalam
memaksimalkan nilai/ kemakmuran pemegang saham ini adalah sedikitnya (bila ada) bukti yang
menunjukkan bahwa hal itu terjadi. Bahkan sejumlah bukti ekonomi justru menunjukkan hal
yang sebaliknya. Sebagai contoh Hutton (1996,172) memberikan bukti bahwa dalam sebagian
besar kondisi ekonomi pasar bebas di Inggris pada tahun 1980an, pendapatan riil dari sepuluh
orang terkaya naik lebih dari 50%, sementara 15% dari penduduk yang miskin mengalami
penurunan pendapatan riil.
Poin lainnya adalah bahwa keuntungan memberikan sebuah pengukuran atas
pendapatan (dividen) masa depan yang mungkin diperoleh bagi satu kelompok stakeholders
yaitu pemegang saham. Dalam mengomentari perusahaan untuk keuntungan yang tinggi
mungkin kita meletakkan kepentingan investor (pemilik) dibawah kepentingan stakeholders lain.
Sangat tidak biasa untuk melihat sebuah laporan dalam tekanan finansial bahwa perusahaan
tertentu menghasilkan sebuah keuntungan dengan peningkatan biaya gaji/ upah. Dalam konteks
ini terdapat implikasi bahwa pendapatan satu stakeholder (pegawai) entah bagaimana buruk
tetapi keuntungan stakeholder lainnya (pemilik modal) adalah bagus.

Dukungan Terhadap Pandangan Luas Tanggungjawab Bisnis


Kontras dengan pandangan sempit yang menyatakan bahwa tujuan utama manajer
perusahaan adalah memaksimalkan keuntungan, ada beberapa penelitian yang bekerja di
wilayah pelaporan sosial perusahaan (CSR). Bahwa organisasi, privat ataupun publik
mendapatkan hak mereka untuk beroperasi dalam masyarakat. Hak tersebut diberikan oleh
masyarakat di mana mereka berada dan bukan semata-mata oleh pihak-pihak yang
berkepentingan langsung secara finansial ataupun oleh pemerintah. Menurut Donaldson (1982)
jika sebuah masyarakat dapat memilih untuk menciptakan sebuah organisasi mereka juga bisa
memilih untuk tidak menciptakan organisasi atau justru menciptakan entitas yang berbeda.
Sebagai akibatnya, perusahaan memperoleh ijin untuk beroperasi dari masyarakat dan akhirnya
harus bertanggungjawab kepada masyarakat juga mengenai apa dan bagaimana operasinal
perusahaan.
Bagaimanapun masyarakat memiliki harapan yang besar (seperti produk atau pelayanan
yang bagus dan aman, tidak mengekploitasi karyawan ataupun lingkungan alam, dll) terhadap
perusahaan, sehingga sangat disangsikan apakah perusahaan yang asyik dengan keuntungannya
8
sendiri dapat terus eksis dan bertahan. Dukungan terhadap penalaran tersebut dilaporkan
berdasarkan beberapa survei dan wawancara yang dilakukan pada para pimpinan beberapa
perusahaan besar dunia.

Mengembangkan Gagasan Berkelanjutan


Sejak tahun 1970an telah banyak diskusi dalam beberapa forum tentang implikasi dari
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan untuk lingkungan dan berhubungan dengan kebaikan
umat manusia. Keberlanjutan lingkungan bukanlah sesuatu yang dapat dicapai dengan mudah.
Langkah yang signifikan dalam penempatan keberlanjutan (sustainability) dalam agenda
pemerintah dan bisnis sedunia adalah sebuah laporan yang dimulai oleh General Assembly of the
United Nations. Laporan berjudul Our Common Future dipersembahkan oleh World Commission
of Environment and Development pada tahun 1987, dokumen penting ini lebih dikenal sebagai
The Bundtland Report. Laporan ini secara singkat menghasilkan sebuah agenda untuk perubahan
dalam rangka memerangi dan meringankan tekanan yang sedang berlangsung di lingkungan
global. Secara umum perusahaan harus merubah cara mereka berbisnis dan perusahaan juga
harus mempertanyakan tujuan dan prinsip yang ada dalam bisnis tradisional.
The Bundtland Report mengidentifikasikan secara jelas bahwa masalah ekuitas, dan
masalah tertentu yang berkaitan dengan ekuitas antar generasi adalah pusat dari agenda
keberlanjutan. Secara global kita harus memastikan bahwa pola konsumsi generasi kita tidak
akan berdampak negatif pada kualitas hidup generasi mendatang. Terdapat bukti dari berbagai
sumber bahwa dalam beberapa tahun ini pengaruh ekologis aktivitas manusia (termasuk bisnis)
telah melampaui kapasitas bumi untuk menyerap dampak tersebut. Bila kita terus mengkonsumsi
sumber daya bumi pada level ini akan tiba masa ketika biosfer tidak mampu lagi mendukung
kehidupan manusia, lebih jelasnya posisi alam, masyarakat dan keuntungan bisnis yang tidak
berkelanjutan.
Definisi implisit dari keberlanjutan adalah sebuah kebutuhan akan masalah ekuitas antar
generasi yang ditujukan pada perlu dipenuhinya kebutuhan penduduk dunia saat ini, yaitu
membutuhkan strategi untuk mengurangi kemiskinan dan kelaparan yang saat ini melanda
beberapa negara.
Peritiwa yang cukup signifikan selanjutnya adalah Earth Summit di Rio de Janeiro pada
tahun 1992. Masalah yang diangkat pada pertemuan ini adalah pengembangan berkelanjutan
pada politik dan bisnis internasional di garis depan. Hasil penting pertemuan ini adalah agenda

9
21 yang dianggap sebagai action plan abad 21 dan menempatkan keberlanjutan (sustainability)
sebagai pertimbangan utama pembangunan nasional dan global yang sedang berlansung.
Pada tahun yang sama Uni Eropa (EU) merilis dokumen berjudul Toward Sustainability
sebagai bagian dari Fifth Action Programmenya. Salah satu saran dari program tersebut adalah
agar profesi akuntansi mengambil peran dalam implementasi sistem biaya yang
menginternalisasi beberapa biaya lingkungan. Seperti bahasan sebelumnya dalam akuntansi
keuangan tradisional biasanya mengabaikan biaya dan manfaat lingkungan sosial.
Menindaklanjuti Earth Summit di Rio Janeiro, pada tahun 2002 pertemuan berikutnya
digelar di Johanesburg. Salah satu hasil pertemuan ini adalah peluncuran ketentuan yang direvisi
dari pedoman untuk proses pelaporan dampak sosial dan lingkungan dari operasi sebuah
perusahaan. Pedoman ini dikenal sebagai Sustainability Reporting Guidelines dan dikembangkan
oleh berbagai organisasi dibawah bantuan Global Reporting Initiative (GRI).

Adopsi Bisnis Ide Pembangunan Berkelanjutan


Berkelanjutan tampaknya telah menjadi bagian sentral dari bahasa bisnis sedunia, dan
definisi yang diberikan dalam The Bundtland Report telah memperoleh penerimaan secara luas.
Diantaranya adalah beberapa pernyataan dari CEO Nokia ( 2004), Perusahaan elektonik
multinasional dari Belanda, Philips (2004), Cooperatif Financial Services Group (CFS) dari
Inggris (2003) yang memberikan komitmen perusahaan-perusahaan tersebut dalam
pembangunan berkelanjut

Bisnis Berkelanjutan dan Prinsip Triple Bottom Line


Banyak perusahaaan yang membayangkan berkelanjutan terdiri atas tiga rangkaian :
ekonomi, sosial dan lingkungan. Model ini sering disebut sebagai pendekatan triple bottom line
an.berkelanjutan, sebuah istilah yang dikembangkan oleh John Elkington (1997). Kinerja
keuangan atau keuntungan dalam bahasa sehari-hari sering disebut sebagai inti utama dari
berbisnis, sehingga fokus semata-mata dalam kinerja ekonomi dapat dianggap sebagai fokus
pada mencari keuntungan finansial (single bottom line).
Tiga aspek berkelanjutan ini cenderung bertemu selama jangka waktu yang lebih lama.
Dalam jangka waktu yang pendek dimungkinkan untuk menghasilkan keuntungan ketika
berdampak negatif pada masyarakat. Dalam jangka waktu menengah, mengingat bahwa bisnis
beroperasi dalam masyarakat, dampak negatif pada masyarakat mengakibatkan kegiatan bisnis
mungkin menyebabkan kerusakan dalan fungsi sosial yang dibutuhkan untuk keberlangsungan
keuntungan bisnis. Agumentasinya adalah bahwa hampir semua kegiatan bisnis tergantung pada
10
fungsi efektifitas dari banyak sistem sosial, jika sistem ini rusak maka keuntungan masa depan
akan terancam.
Dalam jangka waktu yang panjang argumen untuk menyamakan ekonomi, sosial dan
kelestarian lingkungan sangat mudah. Argumennya adalah bahwa ekonomi (termasuk kegiatan
bisnis) dan semua sistem sosial beroperasi dalam lingkungan alam. Dalam jangka panjang
kelestarian lingkungan diperlukan bagi sosial dan ekonomi berkelanjutan sehingga perhatian
pada kinerja bottom line (atau meminimalkan dampak) dalam hal lingkungan diperlukan untuk
memastikan bottom line sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Implikasi argumen ini hampir
sama dengan implikasi dalam kebutuhan akan berkelanjutan antar generasi, dalam arti mungkin
diperlukan untuk mengobankan beberapa kebutuhan jangka pendek untuk memastikan
berkelanjutan keuntungan ekonomi dalam sistem ekonomi dan ekologis berkelanjutan.
Dillard, Brown dan Marshall (2005, 81) menjelaskan bahwa dalam praktek pendekatan
triple bottom line berkelanjutan ini terdapat hambatan bahwa sistem sosial ini telah menjadi
dominan dan mengeksploitasi sistem alam, dalam ekonomi khususnya, keuntungan berdasarkan
sistem sosial ini dominan.
Dalam akuntansi hubungan pendekatan triple bottom line berkelanjutan ini adalah bahwa
dalam akuntansi keuangan tradisional selama hanya memperhatikan pelaporan kinerja ekonomi,
dan menurut pendapat Elkington (1997) perlu dikembangkan peran lebih luas dengan adanya
pelaporan kinerja sosial dan lingkungan yang berkelanjutan.
Motivasi perusahaan untuk melakukan pelaporan kinerja sosial dan lingkungan yang
berkelanjutan bermacam-macam, mulai dari keinginan untuk memaksimalkan penerimaan
financial untuk para pemegang saham dan/ atau manajer dengan menggunakan pelaporan
tersebut sebagai alat untuk menjaga dan mempertahankan dukungan dari stakeholders yang
memiliki kekuatan ekonomi sampai pada keinginan untuk melaksanakan tugas akuntabilitas atas
dampak sosial dan lingkungan dari operasi perusahaan pada berbagai stakeholders.

Mengidentifikasi Stakeholder Tahap Siapa


Untuk organisasi dimana manajer memiliki motivasi untuk memaksimalisasi nilai
pemegang saham keuangan maka laporan sosial dan lingkungan akan digunakan untuk
mendapatkan dukungan yang kuat secara ekonomi dari para stakeholder.

Mengidentifikasi stakeholder yang relevan sesuai dengan cabang manajerial teori stakeholder
11
Kelompok-kelompok yang tepat dari stakeholder yang mampu menggunakan kekuatan
ekonomi yang lebih atas sebuah organisasi akan bervariasi dari satu organisasi ke organisasi, dan
juga dapat bervariasi dalam satu organisasi dari waktu ke waktu.
Untuk jenis perusahaan dimana konsumen cenderung untuk memegang kekuasaan
ekonomi yang cukup besar, mereka dapat dengan mudah beralih membeli produk pesaing jika
perusahaan melakukan sesuatu yang tidak mereka setujui. Sebaliknya, untuk pemasok monopoli
dari barang atau jasa penting, konsumen hanya memiliki sedikit kekuatan ekonomi secara
langsung karena mereka tidak akan memiliki alternatif sumber pasokan dan biasanya tidak
mampu menghentikan konsumsi produk atau layanan penting tersebut.
Dalam kasus pemasok monopoli, kebijakan pemerintah atas monopoli biasanya akan
memiliki kekuatan ekonomi yang cukup besar atas perusahaan, sebagai pembuat kebijakan
sering kali memiliki kemampuan untuk menentukan harga yang dibebankan kepada konsumen,
tingkat layanan yang diperlukan dan standar kualitas. Dengan demikian, sudut pandang
stakeholder manajerial akan memprediksi bahwa dalam kasus pemasok monopoli, pengungkapan
pertanggungjawaban akan ditujukan untuk membantu meyakinkan regulator bahwa monopoli
telah dioperasikan sesuai dengan standar ekonomi, sosial dan lingkungan yang dibutuhkan oleh
regulator dan dibutuhkan oleh para politisi yang menunjuk regulator tersebut.
Jadi dari sudut pandang stakeholder manajerial, stakeholder yang kuat secara ekonomi
dimana pandangan dan harapannya akan dipertimbangkan dalam menentukan tanggung jawab
sosial dan lingkungan perusahaan, dan tugas akuntabilitas termasuk dalam tanggung jawab ini,
akan cenderung bervariasi dari konsumen (untuk perusahaan yang menjual produk generik di
pasar yang kompetitif) ke regulator pemerintah (untuk pemasok monopoli produk atau jasa) yang
penting.
Sebagai contoh bagaimana stakeholder yang kuat secara ekonomi dapat bervariasi dari
waktu ke waktu dalam sebuah organisasi tunggal adalah dengan mempertimbangkan perubahan
dalam lingkungan ekonomi makro dimana perusahaan beroperasi. Bagi perusahaan yang
membutuhkan karyawan semi terampil dalan jumlah besar dan layak menjual produknya dalam
pasar kompetitif, konsumen memiliki kekuatan ekonomi yang besar saat resesi ekonomi tetapi
mungkin kehilangan sebagian kekuatannya saat booming ekonomi (ketika permintaan konsumen
tumbuh lebih cepat dari pasokan) sebaliknya tenaga kerja semi terampil dapat menjadi kuat
secara ekonomi selama ledakan ekonomi jika pengangguran jatuh dan umumnya kekurangan
12
pekerja semi terampil muncul. Dalam hal ini stakeholder yang kuat secara ekonomi dimana
pandangan perusahaan akan ditujukan sesuai dengan cabang manajerial dari teori stakeholder
bisa berubah dari konsumen perusahaan ke karyawannya.

Sebuah identifikasi yang lebih luas dari para stakeholder sesuai dengan cabang etika teori
stakeholder
Adanya tanggungjawab perusahaan dan pelaporan berkelanjutan dalam organisasi
dimotivasi oleh pertimbangan etika yang lebih luas untuk mengurangi dampak negatif
(memaksimalkan dampak positif), dimana setiap orang atau entitas yang kemungkinan terkena
dampak dari operasi organisasi merupakan stakeholder. Organisasi bertanggungjawab kepada
siapa operasi mereka bisa berdampak, baik kepada generasi manusia saat ini dan generasi
mendatang (dengan tidak mempedulikan seberapa jauh asal orang-orang tersebut dari
organisasi), juga pada hewan dan unsur alam yang berpotensi terkena dampak operasi organisasi
tersebut.
Berdasarkan teori ini, organisasi memiliki motivasi secara etis untuk memperhitungkan
pandangan dan kebutuhan semua stakeholder (sekarang dan masa depan) kepada siapa operasi
mereka berpotensi berdampak namun dalam prakteknya, pada kebanyakan organisasi yang
operasinya cenderung memiliki beberapa bentuk dampak pada orang, hewan dan unsur alam
lainnya mencoba untuk memperhitungkan semua potensi dampak dan berusaha untuk
berkomunikasi dengan semua orang yang berpotensi terkena dampak adalah hal yang mustahil.
Kemustahilan ini sebagian karena tingginya kompleksitas dan dunia yang saling terkait
maka banyak kegiatan memiliki potensi untuk menyebabkan banyak hal yang tidak diinginkan
dan konsekuensi yang tak terduga (Beck, 1992, 1999). Dimana konsekuensi masa depan dari
tindakan saat ini tidak dapat diduga, sulit untuk membayangkan bagaimana organisasi akan
memasukkannya dalam perhitungan ketika menentukan stakeholder yang terpengaruh (saat ini
dan masa depan) oleh operasi saat ini dan kepada siapa organisasi bertanggung jawab saat ini.
Kemustahilan ini juga sebagian muncul karena, ketika mengkomunikasikan elemen akuntabilitas
adalah hal yang tidak mungkin untuk mengefektifkan kominukasi hari ini dengan banyak elemen
bukan manusia dari alam atau dengan generasi masa depan.
Dengan demikian, meskipun ketika tanggungjawab sosial perusahaan sebuah organisasi
dan pelaporan sosial dan lingkungan dimotivasi oleh etika daripada alasan manajerial, organisasi
13
akan selalu memerlukan untuk mengidentifikasi sebagian dari semua stakeholder yang mungkin
terkena pengaruh dari operasi mereka. Sosial dan lingkungan memerlukan dan mengharapkan
sebagian dari stakeholder ini akan menentukan tanggungjawab sosial dan lingkungan dan
akuntabilitas organisasi, dan pelaporan sosial dan lingkungan dimana menunjukkan tugas dari
akuntabilitas.

Mengidentifikasi bagian stakeholder prioritas dalam cabang etika teori stakeholder


Beberapa ahli teori, seperti Gray et al (1997) dan Unerman dan Bennett (2004),
berpendapat bahwa pendekatan etika untuk mengidentifikasi dari sejumlah besar stakeholder
kepada siapa organisasi bertanggungjawab dan membutuhkan pertimbangan yang akuntabel dari
pandangan para stakeholder kepada siapa operasi organisasi memiliki dampak yang lebih. Dalam
hal ini tidak akan selalu ada orang/ stakeholder yang paling dekat dengan operasi organisasi
dalam ekonomi (atau bahkan secara fsik /geografis ).
Implikasi praktis dari pendekatan teoritis ini kepada stakeholder prioritas ( sesuai dengan
cabang etika teori stakeholder ) adalah bahwa organisasi dimana tanggungjawab sosial
perusahaan dan pelaporan sosial dan lingkungan dimotivasi oleh keinginan untuk meminimalkan
dampak negatif sosial dan lingkungan dari operasinya akan memprioritaskan kebutuhan
stakeholder sesuai dengan sejauh mana operasi organisasi berdampak dalam kehidupan
stakeholder tersebut. Dalam menentukan kebijakan dan praktik organisasi berusaha untuk
meminimalkan dampak negatif pada banyak stakeholder ini seminimal mungkin. Hal ini
menunjukkan kebutuhan dan harapan dari para stakeholder kepada siapa operasinya memiliki
dampak yang berpotensi besar dalam prioritas kebutuhan dan harapan stakeholder kepada siapa
itu cenderung memiliki dampak yang lebih rendah. Namun ODwyer (2005) menunjukkan
bagaimana masalah dari proses stakeholder prioritas ini dalam praktek, sebagai stakeholder
dimana beberapa mungkin memiliki ketergantungan yang tinggi pada organisasi untuk alasan
kemanfaatan dapat dihilangkan dari bagian prioritas stakeholder yang ditetapkan dan ditentukan
oleh para manajer organisasi.

Identifikasi Stakeholder dalam praktek


14
Sebagai contoh bagaimana beberapa organisasi mendefinisikan pemangku kepentingan
mereka dalam praktek, seperti dalam sustaiable reporting 2003 Co-operative Financial Services
(CFS) dalam kelompok UK (yang meliputi Co-operative Bank), organisasi mendefinisikan
stakeholder utamanya lebih luas yaitu sebagai pemegang saham, pelanggan, staff, pemasok,
masyarakat dan gerakan koperasi, dan menjelaskan bagaimana masing-masing dari kelompok
tersebut didefinisikan.
Dalam prakteknya, pendekatan mana untuk memilih prioritas stakeholder yang diambil
oleh organisasi apakah: memprioritaskan stakeholder atas dasar para stakeholder yang paling
mampu memberikan pengaruh pada keuntungan organisasi (atau nilai pemegang saham),
memprioritaskan stakeholder atas dasar mereka yang hidupnya paling dipengaruhi oleh kegiatan
organisasi, atau posisi suatu tempat diantara keduanya.
Apabila organisasi telah mengidentifikasi para stakeholder yang kebutuhan sosial dan
lingkungan dan harapan itu akan ditujukan, kemudian organisasi harus mengidentifikasi apa saja
kebutuhan informasi dan harapan stakeholder. Hal ini membawa pada tahap ketiga dari 'mengapa
- siapa - untuk apa - bagaimana' proses pelaporan sosial dan lingkungan.

Mengidentifikasi Kebutuhan Informasi dan Harapan Stakeholder - Tahap untuk apa


Menjawab pertanyaan untuk apa isu sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh
stakeholder yang menginginkan organisasi bertanggungjawab dan akuntabel adalah untuk
mengidentifikasi apakah ada permintaan antara stakeholder terhadap informasi sosial dan
lingkungan. Jika terdapat permintaan dari stakeholder atas informasi sosial dan lingkungan, hal
ini menunjukkan bahwa para stakeholder memegang tanggungjawab dan akuntabilitas
organisasi.

Tuntutan stakeholder untuk, dan reaksi terhadap informasi sosial dan lingkungan
Segala bentuk pelaporan publik agar menjadi berguna perlu ada sebuah permintaan
eksternal untuk, atau reaksi terhadap informasi tertentu yang diungkapkan. Deegan dan Rankin
(1997) menunjukkan kemampuan untuk membentuk persepsi melalui laporan tahunan atau
pengungkapan laporan sosial dan lingkungan hanya mungkin jika anggota masyarakat benar-
benar menggunakan informasi yang dilaporkan. Deegan dan Rankin (1997) meneliti masalah
apakah orang benar-benar menggunakan atau mengandalkan informasi kinerja lingkungan yang
15
diberikan dalam laporan tahunan, atau dengan kata lain meskipun jawaban atas pertanyaan untuk
apa akuntabel, setidaknya akuntabel untuk sesuatu. Mereka diminta, dengan cara survei
kuesioner, pandangan pemegang saham; pialang saham dan analis riset; akuntansi akademisi;
perwakilan lembaga keuangan; dan sejumlah organisasi melakukan review umum atau fungsi
pengawasan terkait dengan:
Materialitas isu-isu lingkungan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat yang
menggunakan laporan tahunan untuk mendapatkan informasi;
Informasi lingkungan apakah yang dicari dari laporan tahunan; dan
Bagaimana pentingnya informasi lingkungan dalam proses pengambilan keputusan
dibandingkan dengan informasi tanggung jawab sosial lainnya dan informasi tentang kinerja
dan posisi keuangan organisasi.
Deegan dan Rankin (1997) menemukan, pada tingkat yang signifikan secara statistik ,
bahwa pemegang saham dan individu dalam organisasi dengan review atau pengawasan fungsi
(termasuk asosiasi konsumen, kelompok karyawan, asosiasi industri dan kelompok lingkungan)
menganggap bahwa informasi lingkungan adalah material untuk melakukan keputusan tertentu
mereka. Selain itu, pemegang saham, akademisi akuntansi dan individu dari organisasi dengan
review atau pengawasan fungsi juga mencari informasi lingkungan dari laporan tahunan untuk
membantu dalam membuat berbagai keputusan mereka. Laporan tahunan ini dirasakan oleh
keseluruhan kelompok responden secara signifikan lebih penting (pada pertengahan 1990-an)
dibandingkan sumber informasi lain mengenai interaksi organisasi dengan lingkungan. Studi ini
menunjukkan bahwa berbagai kelompok stakeholder dalam masyarakat menuntut informasi
tentang kinerja sosial dan lingkungan organisasi, dengan demikian pada tingkat yang sangat luas
ada isu terus menerus dimana stakeholder memegang organisasi yang bertanggung jawab dan
akuntabel.
Juga untuk menjawab pertanyaan akuntabel untuk apa adalah untuk sesuatu, fokus pada
studi secara sempit ditujukan pada reaksi pasar saham terhadap pengungkapan informasi sosial.
Teori yang mendasari studi ini adalah hipotesis pasar efisien yang menyatakan bahwa isi
informasi dari pengumuman berita jika relevan dengan pasar maka akan segera dan secara tidak
bias tercakup dalam harga saham. Artinya jika item informasi tentang suatu organisasi dapat
dikaitkan dengan perubahan harga saham organisasi tersebut, maka diasumsikan bahwa
informasi penting bagi investor.

16
Berikut ini studi-studi yang meneliti reaksi pasar terhadap pengungkapan yang dibuat
oleh organisasi itu sendiri :
Ingram (1978) dan Anderson dan Frankie (1980) menemukan bahwa pasar tidak bereaksi
terhadap pengungkapan sosial, dengan Ingram menyimpulkan reaksi menjadi fungsi, antara
lain industri yang diikuti organisasi milik dan jenis pengungkapan sosial yang dibuat.
Belkaoui (1976) dan Jaggi dan Freedman (1982) mempelajari reaksi investor untuk
pengungkapan polusi. Belkaoui mengamati reaksi pangsa pasar yang positif untuk
perusahaan yang memberikan bukti prosedur pengendalian polusi yang bertanggung jawab,
dibandingkan dengan perusahaan yang tidak bisa menunjukkan tanggung jawab.
Jaggi dan Freedman (1982) mempelajari dampak pasar pengungkapan polusi dibuat oleh
perusahaan yang beroperasi dalam industri yang sangat berpolusi. Konsisten dengan hasil
Belkaoui itu, Jaggi dan Freedman mengamati reaksi pangsa pasar positif perusahaan-
perusahaan yang bisa menunjukkan kontrol polusi lebih besar.
Shane dan Spicer (1983) melakukan penelitian yang menyelidiki respon pasar terhadap
informasi kinerja lingkungan yang berasal dari sumber di luar perusahaan, khususnya yang
diproduksi oleh organisasi berbasis New York, Dewan Prioritas Ekonomi. Mereka
menemukan bahwa organisasi yang diidentifikasi memiliki peringkat kinerja pengendalian
polusi rendah lebih mungkin untuk memiliki security return negatif yang signifikan pada
hari yang peringkat yang dirilis ke publik dibandingkan dengan organisasi dengan peringkat
kinerja pengendalian polusi lebih tinggi. Shane dan Spicer menganggap bahwa hasilnya
konsisten dengan asumsi bahwa informasi yang dirilis oleh Dewan Prioritas Ekonomi
mengizinkan investor untuk membedakan antara organisasi dengan catatan kinerja
pengendalian polusi yang berbeda.
Lorraine, Collison dan Power (2004) meneliti reaksi harga saham di Inggris untuk publikasi
tentang denda bagi pencemaran lingkungan serta penghargaan tentang prestasi lingkungan
yang baik, selama 5,5 tahun mereka menemukan bahwa ada sedikit reaksi pasar pada hari
denda atau penghargaan diumumkan, namun ada dampak yang signifikan terhadap harga
saham dalam waktu seminggu dari pengumuman itu.
Freedman dan Patten (2004) memukan dimana perusahaan-perusahaan (di AS) menerbitkan
informasi dalam laporan tahunan mereka tentang tingginya tingkat polusi emisi dari pabrik
mereka, reaksi harga saham mereka lebih rendah dari pada perusahaan yang dikenal
mengeluarkan polusi yang tinggi tidak melaporkan hal itu dalam laporan tahunan mereka.

17
Blacconiere dan Patten (1994) meneliti reaksi pasar atas kebocoran kimia Union Carbide di
India pada tahun 1984. Menggunakan 47 sampel perusahaan US, mereka mengamati reaksi
pasar dalam industri signifikan atas kejadian tersebut. Namun perusahaan dengan
pengungkapan lingkungan yang lebih luas dalam laporan tahunan mereka sebelum bencana
mengalami reaksi negatif yang lebih kecil dibandingkan dengan pengungkapan yang kurang
luas.
Dari penelitian diatas, akan terlihat bahwa investor bereaksi terhadap pengungkapan
tanggung jawab sosial organisasi, karena itu jawaban yang luas atas pertanyaan akuntabel untuk
apa adalah akuntabel untuk beberapa tingkat dari praktek dan/atau dampak dari tanggung jawab
sosial.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, perbankan dan lembaga asuransi telah menjadi
pengguna utama informasi sosial dan lingkungan, khususnya tentang kinerja lingkungan
organisasi. Di beberapa negara, bank tidak akan memberikan dana untuk organisasi kecuali
informasi tentang kebijakan dan kinerja lingkungan mereka disediakan. Alasannya adalah bahwa
organisasi yang menunjukkan kinerja lingkungan yang buruk dianggap beresiko lebih tinggi
dalam hal kepatuhan terhadap lingkungan dan dalam hal potensi biaya yang berkaitan dengan
perbaikan kerusakan yang ditimbulkan. Selanjutnya, dalam beberapa industri adalah mungkin
bahwa jaminan yang disediakan untuk pinjaman (seperti tanah) mungkin terkontaminasi karena
sistem manajemen lingkungan yang buruk. Beberapa analis juga mengevaluasi kinerja sosial dan
lingkungan perusahaan sebagai bagian dari analisis investasi mereka. Misalnya, Solomon dan
Solomon (2005) menunjukkan semakin pentingnya informasi lingkungan dan sosial untuk
analisis investasi.

Mengidentifikasi kebutuhan informasi melalui dialog dengan para stakeholder


Bagi banyak organisasi komersial, stakeholder yang kuat akan sering berlokasi di negara-
negara maju (atau akan menjadi bagian dari elit kaya di negara-negara berkembang) dan akan
dapat diakses melalui media massa komersial seperti televisi / radio, surat kabar artikel dan
internet. Mereka bahkan mungkin membaca laporan keuangan tahunan melalui media tersebut.
Namun untuk organisasi yang tanggung jawab sosial dan pelaporan sosial dan lingkungan
dimotivasi oleh pertimbangan etis untuk meminimalkan dampak organisasi pada mereka yang
18
paling terkena dampak dari operasinya (dan memungkinkan para pemangku kepentingan untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan tentang isu-isu yang secara signifikan
mempengaruhi kehidupan mereka) mengetahui pandangan, kebutuhan dan harapan dari
stakeholder akan menimbulkan banyak problema. Pertama, ada kemungkinan yang luas dari para
stakeholder yang pandangannya harus diketahui. Kedua, sementara banyak dari stakeholder yang
signifikan berpengaruh pada aktivitas organisasi (seperti karyawan) mungkin dekat dengan
organisasi, banyak yang lainnya (seperti mereka yang terkena dampak tidak langsung tetapi
secara substansial kerusakan lingkungan disebabkan oleh operasi organisasi, atau pekerja
subkontraktor di bagian-bagian terpencil di dunia) kemungkinan jauh dari organisasi itu sendiri.
Ketiga, Ketiga, seperti yang ditunjukkan oleh O'Dwyer (2005), beberapa stakeholder yang sangat
dipengaruhi oleh operasi organisasi mungkin merasa dibatasi oleh kekhawatiran tentang
konsekuensi dari organisasi yang selalu menganggap mereka paling benar, dalam hal ini
organisasi dapat dianggap sebagai pemegang posisi kekuasaan yang mencegah dialog terbuka
dan jujur dengan beberapa stakeholder. Keempat, Adams (2004,P.716) melaporkan bahwa
seringkali terdapat stakeholder yang kurang sadar bahkan tidak peduli terhadap dampak
perusahaan sehingga mengurangi kapasitas stakeholder untuk terlibat dalam dialog dengan
organisasi. Akhirnya sulit bagi organisasi untuk terlibat secara efektif dalam dialog dengan para
stakeholder untuk langsung memastikan pandangan, kebutuhan dan harapan mereka mengenai
kebijakan dan praktek organisasi saat ini.
Untuk mengatasi beberapa kesulitan tersebut organisasi perlu menggunakan berbagai
saluran komunikasi untuk terlibat secara aktif (dan tidak hanya reaktif) berdialog dengan para
stakeholder mereka. Sebagai contoh, beberapa perusahaan telah memanfaatkan fasilitas
komunikasi interaktif internet untuk menjaring pandangan orang diseluruh dunia mengenai
sosial, lingkungan, etika, ekonomi dan tanggung jawab yang harus diterapkan pada organisasi
mereka. Namun, Unerman dan Bennet (2004) berpendapat, karena akses internet tidak tersedia
untuk semua orang yang berpotensi terkena dampak kegiatan organisasi (khususnya di banyak
negara berkembang) maka harus dilengkapi denga saluran komunikasi lainnya, misalnya
pertemuan tatap muka dengan berbagai stakeholder, survey kuesioner, jajak pendapat, fokus
kelompok dan undangan untuk menulis kepada perusahaan tentang isu-isu tertentu. Menurut
Downey (2005) bahwa saluran komunikasi apapun yang digunakan untuk melibatkan

19
stakeholder dalam dialog, agar menjadi efektif saluran komunikasi tersebut perlu disesuaikan
dengan perbedaan budaya yang dihadapi antara berbagai kelompok stakeholder.

Mengidentifikasi kebutuhan informasi dan harapan stakeholder dalam praktek


Dalam menangani proses dialog stakeholder, pada akhir tahun 1999 Institute of Social
and Ethical Accountability (ISEA) meluncurkan kerangka akuntabilitas sosial dan lingkungan,
AA1000, yang menempatkan komunikasi antara organisasi dan stakeholder pada inti dari praktek
akuntabilitas sosial dan lingkungan. Pada bagian tengah kerangka ini berisi panduan tentang
proses pemahaman kebutuhan informasi dan harapan stakeholder (dengan kata lain, memahami
isu stakeholder untuk apa organisasi bertanggung jawab dan akuntabel.
Sebagai refleksi manfaat mematuhi AA1000 bagi perusahaan, Simon Zadek, seorang
wakil dari ISEA, menyatakan (seperti dikutip dalam Akuntansi Berwawasan Lingkungan dan
Audit Reporter 2000, P. 2) ada semakin banyak bukti bahwa organisasi yang mendengarkan
stakeholdernya lebih mungkin berhasil dalam jangka panjang. Secara terus menerus siklus
AA1000 tentang konsultasi dengan stakeholder dirancang untuk mendorong transparansi,
penetapan tujuan dan pembangunan kepercayaan dalam hubungannya dengan orang-orang.
Organisasi yang mematuhi prinsip-prinsip dan prosesnya dapat menarik kekuatan dari asosiasi
dan dengan standar kualitas ini akhirnya dapat berharap mencapai keunggulan kompetitif.
Grup elektronik dari Belanda yaitu Phlilips dalam laporan berkelanjutan (2004)
memberikan contoh beberapa saluran komunikasi yang digunakan untuk memahami pandangan,
kebutuhan dan harapan stakeholder yang digambarkan dalam beberapa cara melibatkan
stakeholder dengan membaginya menjadi stakeholder ekonomi (pelanggan, karyawan,
pemasok/mitra bisnis, investor mainstream, investor sosial dan penyedia jasa keuangan) dan
stakeholder sosial ( komunitas, badan pengawas lokal/nasional/internasional, organisasi non
pemerintah, akademisi dan media).
Contoh lebih lanjut adalah dari Shell (2004) dalam laporannya menyebutkan kontribusi
untuk pembangunan berkelanjutan bagi mereka berarti, selain membantu untuk memenuhi
tantangan global energi dengan menanggapi kebutuhan masyarakat yang tumbuh dengan cepat
untuk energi dan petrokimia dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab secara lingkungan
dan sosial. Hal ini dimulai dengan mendengarkan stakcholders, sehingga bisa memahami
perubahan harapan masyarakat dan belajar untuk melihat bisnis melalui lensa yang lebih luas.
20
Kemudian melibatkan orang lain dalam pekerjaan untuk menyediakan solusi energi inovatif yang
diperlukan untuk memenuhi harapan tersebut, serta berperilaku jujur dan transparan tentang
keberhasilan dan kegagalan mereka.

Negosiasi konsensus di antara persaingan kebutuhan dan harapan stakeholder


Harapan stakeholder (atau masyarakat) cenderung berubah dari waktu ke waktu. Lewis
dan Unerman (1999) telah menjelaskan hal ini dalam hal nilai-nilai sosial (di mana harapan
stakeholder atas perilaku perusahaan yang menjadi basis) berubah dari waktu ke waktu. Nilai-
nilai ini juga dapat berbeda pada satu titik dalam waktu antara kelompok yang berbeda dalam
masyarakat. Oleh karena itu, untuk menyiratkan bahwa terdapat satu set harapan masyarakat
pada suatu titik tertentu tampaknya tidak realistis.
Dalam prakteknya, banyak organisasi dihadapkan dengan berbagai nilai-nilai dan harapan
stakeholder yang berbeda dan sering nilai-nilai dan harapan tidak cocok satu sama lain sehingga
organisasi tidak akan dapat memenuhi semua harapan. Sebaliknya, organisasi harus menemukan
cara untuk memilih nilai-nilai tertentu dan harapan yang menunjukkan tanggung jawab sosial
perusahaan dan pelaporan sosial dan lingkungan.
Unerman dan Bennett (2004) menyarankan bahwa sementara prosedur demokratis ideal
untuk tercapainya pandangan konsensus stakeholder diantara semua organisasi apapun itu
mengenai organisasi sosial, tanggung jawab lingkungan dan ekonomi yang mungkin mustahil
untuk dilaksanakan sepenuhnya dalam praktek, proses dialog dan debat para stakeholder dapat
bergerak menuju cita-cita demokrasi. Prosedur teoritis yang ideal yang disarankan oleh Unerman
dan Bennet berdasarkan beberapa teori dari filsuf Jerman Jurgen Habermas (1992) bahwa
membutuhkan semua orang yang berpotensi terkena dampak dari tindakan organisasi untuk
terlibat dalam dialog terbuka dan jujur satu sama lain (dan bukan hanya dengan organisasi)
tentang dampak-dampak dan penerimaan moral dari dampak tersebut. Mereka juga
mengharuskan seseorang hanya berpendapat jika menurut pertimbangan moral dapat diterima
oleh orang lain yang berada dalam posisi negatif (perdebatan berlaku secara universal), dan
persyaratan akhir yang penting adalah bahwa semua stakeholder siap untuk mendengarkan
argumen orang lain dan siap mengubah pandangan mereka.
Seperti yang disebutkan diatas teori tersebut adalah idealnya, meskipun situasinya tidak
mungkin untuk direalisasikan tetapi implementasi parsial dari prosedur ini dalam prakteknya
21
dapat mengakibatkan pergerakan menuju proses yang lebih demokratis dan lebih adil dalam
menentukan untuk apa sebuah organisasi bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan dan
hubungannya dengan kewajiban dan praktek akuntabilitas.

Perspektif Teoritis Pada Beberapa Prosedur Pelaporan Sosial dan Lingkungan - Tahap
Bagaimana
Karena ada kurangnya regulasi di bidang pelaporan sosial dan lingkungan, serta tidak
adanya kerangka kerja konseptual yang diterima untuk pelaporan sosial dan lingkungan, ada
begitu banyak variasi bagaimana pelaporan ini dilakukan dalam praktek.

Beberapa kemungkinan keterbatasan akuntansi keuangan tradisional dalam menangkap dan


melaporkan kinerja sosial dan lingkungan
Akuntansi keuangan sering dikritik atas dasar bahwa ia mengabaikan banyak
eksternalitas sosial dan lingkungan yang disebabkan oleh entitas pelapor. Beberapa alasan
mengapa akuntansi keuangan tradisional mungkin tidak dapat efektif dalam mencerminkan
dampak sosial dan lingkungan organisasi meliputi:
a. Akuntansi keuangan berfokus pada kebutuhan informasi dari pihak-pihak terlibat dalam
membuat keputusan alokasi sumber daya.
b. Salah satu pilar akuntansi keuangan adalah gagasan tentang 'materialitas' yang cenderung
menghalangi informasi pelaporan sosial dan lingkungan mengingat kesulitan yang terkait
dengan mengukur biaya sosial dan lingkungan
c. masalah lain yang muncul dalam akuntansi keuangan adalah bahwa entitas pelaporan sering
mengurangi kewajiban, terutama yang tidak akan dilunasi selama bertahun-tahun ke nilai
sekarang. Hal ini cenderung membuat pengeluaran masa depan kurang signifikan pada
periode ini.
d. akuntansi keuangan mengadopsi 'entitas asumsi', yang mengharuskan organisasi untuk
diperlakukan sebagai entitas yang terpisah dari pemiliknya, organisasi-organisasi lain, dan
stakeholder lainnya
e. Sebuah wilayah yang terkait di mana sistem akuntansi keuangan tradisional kita
menghasilkan hasil agak aneh yaitu perlakuan izin polusi yang bisa diperdagangkan

22
f. Dalam akuntansi keuangan dan pelaporan, biaya didefinisikan sedemikian rupa untuk
mengecualikan pengakuan setiap dampak pada sumber daya yang tidak dikendalikan oleh
entitas (seperti lingkungan), kecuali denda atau arus kas lainnya yang timbul.
g. Terdapat isu pengukuran. Untuk item yang akan direkam untuk tujuan akuntansi keuangan
itu harus diukur dengan akurasi yang memadai.
Meskipun terdapat kesulitan diatas, ada berbagai pendekatan eksperimental di seluruh
dunia yang bertujuan untuk mengembangkan pendekatan full cost untuk perhitungan laba
dengan menempatkan sebuah 'nilai' ekonomi terhadap dampak sosial dan lingkungan dari
organisasi individu. Beberapa studi akademis juga telah mengembangkan pendekatan teoritis di
daerah ini (misalnya, Bebbington dan Gray, 2001, Gray, 1992). Pendekatan ini merupakan
perkembangan dari akuntansi konvensional. Namun kekurangannya dengan kondisi saat ini
akuntansi keuangan dan pelaporan menunjukkan bahwa akuntansi keuangan dan pelaporan
tampaknya tidak memiliki mekanisme yang cocok untuk menangkap dan melaporkan dampak
sosial dan lingkungan organisasi. Akibatnya, mekanisme lain perlu digunakan untuk memberikan
perhitungan sosial dan lingkungan sesuai dengan stakeholder. Salah satu mekanisme yang luas
yang telah dibahas secara luas di dunia bisnis sebagai cara untuk memberikan keseimbangan
yang diinginkan informasi tentang sosial dan lingkungan, di samping ekonomi, kinerja organisasi
adalah laporan triple bottom line.

Pelaporan Triple Bottom Line


Tiga pelaporan bottom line didasarkan pada pendekatan triple bottom line bisnis
berkelanjutan dimana dicari keseimbangan antara ekonomi, sosial dan lingkungan berkelanjutan.
Pendukung dari laporan triple bottom line berpendapat bahwa, jika diterapkan dengan benar,
seharusnya memberikan informasi kepada orang lain yang memungkinkan untuk menilai
seberapa berkelanjutan organisasi atau masyarakat dimana operasi berada. Perspektif yang
diambil adalah bahwa untuk suatu organisasi (atau masyarakat) menjadi berkelanjutan
(perspektif jangka panjang) itu harus aman secara finansial (yang dibuktikan dengan langkah-
langkah seperti profitabilitas); harus meminimalkan (atau idealnya menghilangkan) dampak
negatif lingkungan; dan harus bertindak sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu

23
pelaporan triple bottom line menyediakan jawaban yang sangat luas atas pertanyaan bagaimana
sebuah organisasi harus melaporkan pada konteks sosial, lingkungan dan ekonomi dampak (atau
kinerja).
Brown, Dillard dan Marshall (2005) menyoroti masalah dengan menerapkan model
pelaporan garis triple bottom dalam praktek adalah : pertama, sementara penggunaan metafora
bottom line telah berhasil menarik perhatian manajer untuk masalah dampak sosial dan
lingkungan, metafora ini sangat terbatas sebagai istilah bottom line yang terkesan akan sesuatu
yang dapat diukur dalam satu nomor. Kedua, garis bawah ekonomi umumnya dipahami oleh
kalangan manajer sebagai metrik yang harus dimaksimalkan. Ketiga, jika tidak mungkin untuk
mengadopsi metrik yang memperlakukan setiap bottom line sama, maka gagasan dari pemisahan
tiga bottom line mungkin memberikan kesan bahwa ekonomi, sosial dan lingkungan tidak saling
berhubungan.
Meskipun terdapat kesulitan dengan menerapkan konsep pelaporan triple bottom line
dalam praktek, Gray (2005) berpendapat bahwa hal itu bisa memberikan struktur dimana
organisasi pelopor kemudian dapat menggunakannya untuk membantu mengembangkan
pelaporan berkelanjutan yang inovatif. Oleh karena itu muncul bahwa proses triple bottom line
intinya adalah saat ini tidak membantu dalam memberikan panduan bagi organisasi mengenai
penjelasan tentang bagaimana untuk menghasilkan pelaporan berkelanjutan yang akan menjawab
kebutuhan informasi spesifik stakeholder mereka. Mungkin yang dibutuhkan untuk memberikan
bimbingan yang lebih berguna adalah kerangka kerja konseptual untuk pelaporan sosial dan
lingkungan.

Inisiatif pelaporan global - kerangka kerja konseptual untuk pelaporan sosial dan
lingkungan?
Sebagai upaya untuk menyusun praktek pelaporan terbaik, beberapa badan telah aktif
dalam mengembangkan pedoman untuk pelaporan sosial dan lingkungan. Pada tingkat
internasional, pedoman utama dalam lingkup pelaporan sosial dan lingkungan adalah Global
Reporting Initiatives Sustainable Reporting Guidelines (Sering disebut sebagai GRI).
GRI menyediakan beberapa kategori untuk mengungkapkan informasi kinerja lingkungan,
bersama dengan indikator kinerja terkait. kategori kunci dari pengungkapan berkaitan dengan :
jenis dan jumlah bahan yang digunakan bersama-sama dengan informasi tentang limbah
24
penggunaan energi
penggunaan air
isu keanekaragaman hayati
emisi dan limbah
pemasok terkait isu lingkungan
dampak lingkungan yang signifikan dari barang dan jasa
kepatuhan hukum
dampak lingkungan yang signifikan dari transportasi
total belanja lingkungan
Bagian isi laporan adalah bagian utama dari dokumen dan menjelaskan lima komponen
yang mungkin ditemukan dalam laporan berkelanjutan terdiri dari:
1. Visi dan strategi, menjelaskan strategi organisasi pelaporan yang berkaitan dengan
keberlanjutan, termasuk pernyataan dari CEO
2. Profil, gambaran struktur organisasi pelaporan dan operasi dan ruang lingkup laporan
3. Sistem manajemen dan struktur perusahaan, menjelaskan struktus organisasi, kebijakan dan
sistem manajemen termasuk upaya keterlibatan stakeholder.
4. Daftar isi GRI, tabel yang disediakan oleh organisasi pelapor untuk mengidentifikasi di mana
informasi yang tercantum dalam bagian C dari pedoman GRI yang terletak dalam laporan
organisasi.
5. Indikator kinerja, ukuran dampak atau efek dari organisasi pelapor dibagi menjadi
terintegrasi, indikator kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial.
Dari perspektif akuntansi, bahwa informasi secara umum dapat diterima yaitu harus
sebanding jarak waktu dan antara entitas, atribut komparatif juga sesuatu yang telah
dipromosikan dalam pedoman GRI. Karakteristik kualitatif lainnya yang dikembangkan dalam
GRI meliputi: transparansi, inklusivitas, dapat audit, relevan, kelengkapan, konteksnya
berkelanjutan, akurat, netralitas, kehandalan, kejelasan, ketepatan waktu, dan dapat diverifikasi.

Audit Sosial (atau Jaminan)


Terkait erat dengan akuntansi sosial dan lingkungan adalah praktek audit sosial dan
lingkungan, atau pengesahan independen (atau verifikasi) informasi pelaporan sosial dan
lingkungan. Menurut Elkington (1997) tujuan audit sosial dan lingkungan bagi suatu organisasi
untuk menilai kinerja dalam kaitannya dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Hasil dari
audit sosial atau pernyataan jaminan, sering menjadi dasar bagi entitas untuk mempublikasikan
perhitungan sosial dan hasil dari audit sosial dapat dianggap sebagai bagian penting dari dialog
yang sedang berlangsung dengan berbagai kelompok stakeholder.
25
Dalam pedoman standar pada pelaporan jaminan sosial dan lingkungan The Institute of
Social and Ethical Accountability mendefinisikan jaminan sebagai metode evaluasi yang
menggunakan satu set prinsip-prinsip dan standar tertentu untuk menilai kualitas materi subyek
organisasi pelapor, seperti laporan, dan organisasi yang berdasarkan sistem, proses dan
kompetensi yang mendukung kinerjanya. Jaminan meliputi komunikasi dari hasil evaluasi ini
untuk memberikan kredibilitas kepada subyek bagi penggunanya.
Dalam website The Institute of Social and Ethical Accountability (ISEA, 2005)
menggariskan tiga prinsip utama yang mendasari audit sosial yang ideal harus mencakup:
Materialitas : apakah laporan berkelanjutan menyediakan perhitungan yang mencakup semua
bidang dari kinerja, bahwa stakeholder perlu menilai kinerja berkelanjutan organisasi?
Kelengkapan : apakah informasi lengkap dan cukup akurat untuk menilai dan memahami
kinerja organisasi dalam semua bidang?
Responsiveness : apakah organisasi telah merespon secara koheren dan konsisten untuk
perhatian dan kepentingan stakeholder?
Meskipun panduan ini mengenai komponen yang ideal dari audit sosial, tidak semua
audit sosial menyediakan jenis informasi. Owen dan 0'Dwyer (2005) menunjukkan bahwa ada
dua pendekatan yang berbeda untuk audit sosial, dan cenderung luas terkait dengan jenis
organisasi yang melakukan audit sosial atas nama sebuah pelaporan organisasi. Salah satu jenis
organisasi yang sering melakukan audit sosial adalah praktik akuntansi multinasional besar yang
juga melakukan audit keuangan; jenis lainnya adalah konsultan sosial / lingkungan.
Dalam membandingkan praktik audit sosial dari kedua jenis penyedia dari audit sosial,
Owen dan 0'Dwyer ( 2005) menemukan bahwa audit sosial yang diberikan oleh akuntansi
perusahaan cenderung untuk mengadopsi pendekatan yang hati-hati, yang sebagian besar
berfokus pada masalah konsistensi informasi yang muncul dalam laporan organisasi berdasarkan
kumpulan data, dan sebagian besar gagal untuk megulas apakah informasi sosial dan lingkungan
dalam laporan disajikan dengan pandangan yang benar dan adil berdasarkan kinerja sosial dan
lingkungan atau apakah ini informasi yang lengkap. Sebaliknya audit sosial oleh konsultan
sosial/ lingkungan tidak cenderung pada pernyataan pendapat mengenai kelengkapan, keadilan,
dan keseluruhan keseimbangan dari informasi laporan sosial dan atau lingkungan dan juga
memberikan lebih banyak ulasan tentang sistem, pelaporan dan kelemahan kinerja.

26
Dari sudut pandang organisasi, kegiatan seperti audit sosial dilakukan sebagai katalis bagi
organisasi dan penting bagi manajemen senior untuk merangkul nilai-nilai baru. Suatu organisasi
berkelanjutan perlu memastikan audit sosial sesuai harapan masyarakat, dengan demikian audit
sosial akan membuat baik naluri bisnis dalam jangka panjang, dan merupakan sarana untuk
mendapatkan beberapa legitimasi dari stakeholder.

27

Anda mungkin juga menyukai