SIROSIS HEPATIS
A. Konsep Teoritis
1. Pengertian
a. Arief, 2001
Istilah sirosis diberikan pertama kali oleh Laennec tahun 1819 yang berasal
dari kata kirrhos yang berarti kuning oranye, karena terjadinya perubahan warna
pada nodul-nodul hati yang terbentuk sirosis ditandai dengan fibrosis difus,
regenerasi nodul serta perubahan arsitektur vaskularisasi pada parenkim hati.
Pada sirosis, kelainan parenkim hati sifatnya difus dan melibatkan hampir
seluruh hati. Fibrosis biasanya bersifat progresif dan ireversibel. Fibrosis yang
terjadi di suatu daerah tidak termasuk ke dalam sirosis.
b. Doengus, 2001
Sirosis hati atau pengerasan hati dapat digolongkan stadium akhir dari
penyakit hati menahun, karena terjadinya fibrosis yang meluas, sehingga
terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati.Sirosis hati merupakan
stadium lanjut dari penyakit hati apa saja pun penyebabnya.
c. Mansjoer, FKUI, 2001
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan
difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi
dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim
hati
d. Smeltzer & Bare, 2001
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas. Pembentukan jaringan
ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat penambahan
jaringan ikat dan nodul tersebut.
e. Sujono, 2002
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan
stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati.
f. FKUI, 2006
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang difus, ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul.
g. Price, 2006
Sirosis hepatis juga didefinisikan sebagai penyakit hati kronik yang
dicirikan oleh distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan
ikat dan nodula-nodula regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan
vaskulatur normal.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sirosis hati
adalah penyakit hati kronis yang ditandai oleh adanya peradangan difus pada hati,
diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel hati disertai
nodul dan merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya
pengerasan dari hati.
3. Etiologi
Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain :
a. Malnutrisi
b. Alkoholisme
c. Virus hepatitis
d. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatica
e. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan)
f. Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
g. Zat toksik
Beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya sirosis hati adalah sebagai
berikut (Mansjoer, 2001)
a. Riwayat Hepatitis
Hepatitis adalah suatu proses peradangan difus pada jaringan hati yang
disebabkan oleh virus, bakteri dan obat-obatan. Sekitar 25-75% kasus sirosis
memiliki riwayat hepatitis virus sebelumnya. Kasus HCV merupakan sekitar
25% dari kasus sirosis. Hepatitis virus B lebih banyak mempunyai
kecenderungan untuk lebih menetap dan mengakibatkan gejala sisa serta
menunjukkan perjalanan yang kronis dibandingkan HVA. Sekitar 10%
penderita Hepatitis Virus B akut perkembangannya akan menjadi kronis
bahkan dapat menjadi sirosis. Penderitengan hepatitis aktif kronis banyak
yang menjadi sirosis karena banyak terjadi kerusakan sel hati yang kronis.
b. Konsumsi alkohol
Sejumlah 10 hingga 15% peminum alkohol mengalami sirosis. Para
pakar umumnya setuju bahwa minuman beralkohol menimbulkan efek
toksik langsung terhadap hati. Perubahan pertama pada hati yang
ditimbulkan alkohol adalah akumulasi lemak secara bertahap didalam sel-sel
hati. Bila kebiasaan minum alkohol diteruskan, terutama apabila semakin
berat, dapat terjadi suatu hal yang akan memacu seluruh proses sehingga
akan terbentuk jaringan parut yang luas. Penyalahgunaan alkohol yang
kronik dapat menyebabkan tiga bentuk perubahan jaringan hati yaitu
perlemakan hati, hepatitis alkoholik, dan sirosis hati. Hepatitis alkoholik
mungkin reversibel, terutama bila penyebabnya ringan dan kontak dengan
alkohol selanjutnya dapat dicegah. Banyak laporan menyatakan bahwa
penderita dapat bertahan jika berhenti minum alkohol, yaitu sekitar 5 tahun
dan hampir 90% pada penderita tanpa ikterus, asites, atau hematemesis,
tetapi turun drastis sekitar 50-60% pada penderita yang melanjutlkan minum
alkohol. Selama masa penjatahan anggur di Paris selama 4 tahun angka
kematian akibat sirosis hati turun dari 36 menjadi 6 per 100.000 penduduk.
Data lain yang mengungkapkan hubungan antara konsumsi alkohol dengan
penyakit hati adalah angka kematian yang lebih tinggi akibat sirosis hati
yakni 15-34 per 100.000 penduduk di berbagai negara penghasil anggur
daripada angka kematian di negara bukan penghasil anggur, yakni kira-kira
2-6 per 100.000 penduduk.
c. Zat Hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati secara akut
akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis
akan berupa sirosis hati. Pemberian bermacam-macam obat-obatan
hepatotoksis secara berulangkali dan terus menerus, mula-mula terjadi
kerusakan setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan
akhirnya dapat terjadi sirosis hati. Penggunaan parasetamol dalam jumlah
yang berlebihan dapat menimbulkan luka pada hepatosit. Tetrasiklin dan
khususnya klortetrasiklin dapat menimbulkan perlemakan dengan pigmen
lipofuksin yang menonjol. Fungsi hati dapat terganggu bahkan dapat terjadi
gagal hati. Pemberian metotreksat yang terus menerus pada pasien leukemia
dan psoriasis sering ada kaitannya dengan radang portal, fibrosis dan
perlemakan hati. Pada beberapa kasus timbul hepatitis kronik aktif yang
dapat berkembang menjadi sirosis hati.
d. Hemokromatis
Hemokromatis merupakan kelainan metabolisme hepar, yaitu zat besi
ditimbun dalam sel parenkim berbagai organ terutama di hepar dan pankreas.
Pada keadaan lanjut, penimbunan zat besi akan menyebabkan sirosis
mikronodular ( hepar berwarna cokelat). Hepar akan mengalami sirosis
dengan banyak nodul berdiameter
e. Malnutrisi
Kekurangan zat protein dalam makanan dan kekurangan kalori pada
umumnya bisa menyebabkan kerusakan hati dengan terjadinya micronodular
cirrhosis atau nutritional cirrhosis Waterloo dalam Hadi berpendapat bahwa
factor kekurangan nutrisi terutama kekurangan protein hewani menjadi
penyebab timbulnya sirosis hati. Protein yang memegang peranan penting
ialah kholin dan methionin. Demikian pula kekurangan bahan makanan
lainnya misalnya vitamin B kompleks, tokoferol, cystine, dapat
menyebabkan terjadinya sirosis. Individu yang mengonsumsi alkohol dalam
jumlah berlebihan juga mungkin tidak makan selayaknya sehingga
kerusakan hati semakin buruk saat malnutrisi. Pnderita dapat mengalami
defisiensi nutrisi termasuk tiamin, asam folat, piridoksin, niasin, asam
askorbat dan vitamin A. Asupan vitamin K, besi, dan seng juga cenderung
menurun pada penderita tersebut
4. Patofisiologi
Meskipun ada beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi sirosis,
konsumsi minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yangutama.
Sirosis terjadi dengan frekuensi paling tinggi pada peminumminuman keras.
Meskipun defisiensi gizi dengan penurunan asupanprotein turut menimbulkan
kerusakan hati pada sirosis, namun asupan alkohol yang berlebihan merupakan
faktor penyebab yang utama pada perlemakan hati dan konsekuensi yang
ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah terjadi pada individu yang
tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras dan pada individu yang dietnya
normal tetapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi (Smeltzer & Bare, 2001).
Sebagian individu tampaknya lebih rentan terhadap penyakit ini
dibanding individu lain tanpa ditentukan apakah individu tersebut memiliki
kebiasaan meminum minuman keras ataukah menderitamalnutrisi. Faktor
lainnya dapat memainkan peranan, termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu
(karbon tetraklorida, naftalenterklorinasi, asen atau fosfor) atau infeksi
skistosomiasis yangmenular. Jumlah laki-laki penderita sirosisadalah dua kali
lebih banyak daripada wanita, dan mayoritas pasien sirosis berusia 40-60 tahun
(Smeltzer & Bare, 2001).Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis
Laennec ditandai oleh pembentukan jaringan parut yang difus, kehilangan sel-sel
hati yang uniform, dan sedikit nodul regeneratif. Sehingga kadang-kadang
disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular dapat pula diakibatkan oleh
cedera hati lainnya. Tiga lesi utama akibat induksi alkohol adalah perlemakan
hati alkoholik, hepatitis alkoholik, dan sirosis alkoholik (Tarigan, 2001)
5. Klasifikasi Serosis Hepatis
a. Sirosis Laennec
Disebut juga sirosis alkoholik, portal, dan sirosis gizi merupakan suatu pola
khas sirosis terkait penyalahgunaan alkohol kronis yangjumlahnya sekitar
75% atau lebih dari kasus sirosis.
b. Sirosis pascanekrotik
Terjadi setelah nekrosis berbercak pada jaringan hati. Hepatosit dikelilingi
dan dipisahkan oleh jaringan parut dari sel hati yang rusak dan diselingi
dengan parenkim hati normal. Sekitar 75% kasus cenderung berkembang
dan berakhirdengan kematian dalam 1 hingga 5 tahun. Kasuspascanekrotik
berjumlah sekitar 10% dari seluruh kasus sirosis.
c. Sirosis biliaris yaitu kerusakan sel hati yang dimulai disekitar duktus bliaris
yang menimbulkan pola sirosis. Penyebab tersering sirosis biliaris adalah
obstruksi biliaris pascahepatik. Stasis empedu menyebabkan penumpukan
empedu didalam massa hati dan kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-
lembar fibrosa di tepi lobulus, hati membesar, keras, bergranula halus dan
berwarna kehijauan.
6. Manifestasi Klinis
a. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar dan sel-
selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi
tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi
sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat dan baru saja terjadi
sehingga mengakibatkan regangan pada selubung fibrosa hati(kapsula
Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan
berkurang setelahjaringan parut menyebabkan pengerutan jaringan hati.
Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba berbenjol-
benjol(noduler).
b. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang
kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari
organ-organ digestif praktis akanberkumpul dalam vena porta dan dibawa ke
hati. Karena hati yangsirotik tidak memungkinkan perlintasan darah yang
bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus
gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat
kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan
dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik.
Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dyspepsia kronis
dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur
mengalami penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk dirongga peritoneal akan
menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan adanya
shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-
jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring
berwarna biru kemerahan,yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap
wajah dankeseluruhan tubuh.
c. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik
juga mengakibatkan pembentukan pembuluhdarah kolateral dalam sistem
gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke
dalam pembuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai
akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah
abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput
medusae), dan distensi pembuluh darah diseluruh traktus gastrointestinal.
Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering
mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi pembuluh
darah ini akan membentuk varises atau hemoroid tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan tekanan
yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluhdarah inidapat mengalami ruptur
dan menimbulkan perdarahan. Karena itu,pengkajian harus mencakup
observasi untuk mengetahuiperdarahan yang nyata dan tersembunyi dari
traktusgastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami
hematemesis ringan : sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur
varises pada lambung dan esofagus.
d. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati
yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi
predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan
akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.
e. Defisiensi Vitamin dan Anemia
Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu
yang tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena
hemoragik yang berkaitan dengandefisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan
gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak
adekuat dan gangguan fungsi hati turut menimbulkan anemia yang sering
menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan
pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu
kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
f. Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan
ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu, pemeriksaan
neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan mencakup perilaku umum
pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola
bicara.
7. Komplikasi
a. Hipertensi Portal
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan vena porta yang menetap di
atas nilai normal yaitu 6-12 cm H2O. Penyebabnya adalah resisitensi aliran
darah yang keluar masuk melalui vena hepatika dan peningkatan aliran
arteria splangnikus sehingga terjadi peningkatan tekanan pada sistem portal.
Pembebanan berlebihan sistem portal merangsang timbulnya aliran kolateral
guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada sistem
portal menyebabkan splenomegali dan asites.
Splenomegali terjadi karena kongesti darah di limpa. Asites terjadi
karena meningkatnya tekanan hidrostatik di dalam sistem vena porta yang
mengakibatkan transudasi plasma darah ke dalam rongga peritoneum. Pada
hipertensi portal timbul sirkulasi kolateral yang pada normalnya tidak
berfungsi. Aliran darah mencari jalan untuk sampai ke jantung melalui
sirkulasi kolateral di berbagai tempat salah satunya yaitu pleksus vena
esophagus. Sirkulasi kolateral ini mengenai esofagus bagian bawah dan
menyebabkan dilatasi vena-vena tersebut sehingga menimbulkan varises
esofagus.
b. Perdarahan Saluran Cerna
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan paling
berbahaya pada sirosis adalah perdarahan dari varises esophagus yang
merupakan penyebab dari sepertiga kematian. Perdarahan saluran cerna
merupakan salah satu faktor pentingyang mempercepat terjadinya
ensefalopati hepatik.Varises ini terjadi pada sekitar70% penderita sirosis
lanjut. Varises terjadi akibatpembendungan vena porta padasirosis yang
menimbulkan vena kolateral pada dinding perut atau di esophagus dancardia.
Varises akan pecah dan menimbulkan pendarahan saluran makanan bagian
atas dan terjadilah muntah darah dan feses berwarna hitam. Faktor yang
pentingdalam terjadinya varises ini adalah tingginya tekanan vena porta.
c. Asites
Asites adalah akumulasi cairan di rongga peritoneum. Suatu tanda asites
adalah meningkatnya lingkar abdomen. Penimbunan cairan yang sangat
nyata dapat menyebabkan napas pendek karena diafragma meningkat.
Mekanisme yang menyebabkan terjadinya asites pada penderita sirosis
adalah:
1) Hipertensi portal mengakibatkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam
jaringan pembuluh darah intestinal dan peningkatan pembentukan limfa
hepatic dari hati hingga ke rongga peritoneum yang menyebabkan
tingginya kandungan protein dalam cairan asites.
2) Hipoalbuminemia atau penurunan produksi albumin terjadi karena
menurunnya sintesis yang dihasilkan oleh sel-sel hati yang terganggu.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan osmotik koloid.
3) Penurunan volume sirkulasi menyebabkan hiperaldosterinism yang
mengakibatkan retensi natrium dan gangguan ekskresi air.
d. Ensefalopati Hepatikum (Koma Hepatikum)
Penyebabnya adalah ketidakmampuan hepar untuk memetabolisme
ammonia menjadi ureum. Ammonia bersifat toksik pada SSP (susunan
syaraf pusat) yang ditandai dengan peningkatan ammonia didalam darah dan
CSF (Cerebro Spinal Fluid). Setiap proses yang meningkatkan protein
didalam usus seperti peningkatan intake protein atau perdarahan saluran
cerna akan meningkatkan ammonia dalam darah. Ensefalopati hepatikum
biasanya dipercepat oleh keadaan seperti: perdarahan saluran cerna, asupan
protein berlebihan, obat diuretik, hipokalemia (kekurangan kalium) dan
pemberian morfin atau obat yang mengandung NH Ensefalopati hepatikum
merupakan sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat.
Sindrom ini ditandai dengan kekacauan mental dan tremor otot.
Ensefalopatik hepatic yang berakhir dengan koma adalah mekanisme
kematian yang terjadi pada sepertiga kasus sirosis yang fatal.
e. Infeksi
Penderita sirosis hepatis bisa mendapat infeksi akut misalnya infeksi
paru-paru seperti TBC atau pneumonia atau infeksi saluran makanan seperti
tifus. Semua infeksi menyebabkan kegagalan hati yang menyebabkan koma
hepatikum. Bila terjadi infeksi perlu diberi antibiotika yang tepat. Menurut
pendapat dari peneliti hati, komplikasi infeksi yang sering terjadi pada
pasien dengan sirosis hati, meliputi Peritoinitis Bacterial Spontan(PBS).
Menurut laporan, bakteri pada peritoinitis ini yang sering juga ditemukan
adalah Mycobacterium atypicdari beberapa spesies.
f. Karsinoma Hepatoseluler (Hepatoma)
Hepatoma merupakan tumor ganas yang berasal dari hepatosit. Di
Amerika Serikat frekuensi hepatoma lebih bnayak pada sirosis postnekrotik
dan sirosis pigmen, sedang pada sirosis alkoholik frekuensinya rendah. Di
Eropa, hepatoma terutama ditemukan pada orang yang mengidap sirosis hati,
tepatnya sirosis makronoduler.60-80% hepatoma timbul pada sirosis hati
dengan risiko tertinggi pada makronodular yang berhubungan dengan infeksi
HBV kronis, kemudian sedikit lebih rendah pada sirosis pigmen, dan paling
rendah pada sirosis alkoholik. Kemungkinan sirosis menjadikan hati lebih
peka terhadap efek karsinogenik.
9. Penatalaksanaan
Pengobatan sirosis biasanya tidak memuaskan. Tidak ada agen farmakologik
yang dapat menghentikan atau memperbaiki proses fibrosis. Terapi terutama
ditujukan pada penyebabnya (seperti penyalahgunaan alkohol atau obstruksi
saluran empedu) lalu mengatasi berbagai komplikasi (perdarahan saluran cerna,
asites dan ensefalopati hepatik. Pengobatan tergantung dari derajat kegagalan
hati dan hipertensi portal. Bila hati masih dapat mengkompensasi kerusakan
yang terjadi maka penderita dianjurkan untuk mengontrol penyakitnya secara
teratur, istirahat yang cukup, dan melakukan diet sehari-hari yang tinggi kalori
dan protein disertai lemak secukupnya. Dalam hal ini bila timbul komplikasi
maka hal-hal berikut harus diperhatikan :
a. Ensefalopati hepatic
Langkah pengobatan ensefalopati hepatik dipusatkan pada mekanisme
penyebabnya. Pengobatan awal adalah menyingkirkan semua protein dari
diet dan menghambat kerja bakteri terhadap protein usus. Neomisin (suatu
antibiotic yang tidak diabsorbsi) biasanya merupakan obat terpilih untuk
penghambatan bakteri usus. Lakukan koreksi faktor pencetus seperti
pemberian kalium pada hipokalemia, pemberian antibiotic pada infeksi, dan
lain-lain.
b. Asites
Apabila timbul asites lanjut maka penderita perlu istirahat di tempat
tidur. Konsumsi garam perlu dikurangi hingga kira-kira 0,5 g per hari
dengan total cairan yang masuk 1,5 liter per hari. Penderita diberi obat
diuretik dital yaitu Spironolakton 4x25 g per hari. Yang dapat dinaikkan
sampai dosis total 800 mg per hari. Bila perlu, penderita diberikan obat
diuretic loop yaitu Furosemid dan dilakukan koreksi kadar albumin didalam
darah. Peritoneovenous shunt merupakan operasi kecil untuk mengurangi
cairan asites secara teratur dan memasukkan melalui suatu pipa yang diberi
katub sehingga hanya memberikan tekanan satu arah ke dalam vena jugularis
pada penderita dengan asites yang tidak berhasil diobati dengan diuretika.
c. Varises esophagus
Pada perdarahan varises esophagus penderita memerlukan perawatan di
rumah sakit. Vasopresin (Pitressin) telah digunakan untuk menghentikan
perdarahan. Bila penderita pulih dari perdarahan, operasi pirau porta-kacal
dapat mengurangi tekanan portal dengan melakukan anastomosis vena porta
(tekanan tinggi) dengan vena kava inferior (tekanan rendah)
d. Hipertensi portal
Pemberian vasokontriktor (pitresin/vasopressin atau somastotasin) dapat
menurunkan tekanan porta dengan mengurangi aliran darah splangnik,
walaupun efeknya hanya bersifat sementara. Bloker beta adrenergic
(propanolol, metoprolol atau atenolol) dapat mengurangi denyut jantung dan
tekanan darah.
e. Sindroma hepatorenal
Apabila timbul sindroma hepatorenal yaitu terjadinya gagal ginjal akut
yang berjalan progresif pada penderita penyakit hati kronis dan umumnya
disertai sirosis hati dengan asites maka perlu perawatan segera di rumah
sakit.
(FKUI, 2009)
11. Pencegahan
Ada tiga pencegahan sirosis hepatis menurut FKUI (2009), yaitu :
a. Pencegahan Primer
Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mencegah agar tidak terjadi
penyakit sirosis hati dengan cara mengendalikan faktor resiko dari sirosis
hati dengan sasarannya orang-orang yang masih sehat. Kegiatan yang
dilakukan meliputi promosi kesehatan, pendidikan kesehatan, dan
perlindungan kesehatan. Tindakan dalam masyarakat yang penting untuk
mencegah hepatitis mencakup penyediaan makanan dan air bersih yang
aman, serta sistem pembuangan sampah yang efektif. Melakukan
penyuluhan mengenai hepatitis dan program imunisasi untuk Hepatitis B
dimana bayi dan anak merupakan sasaran utama karena mereka memiliki
risiko besar untuk menderita hepatitis jika terinfeksi, serta masyarakat
dewasa yang berisiko tinggi. Menghindari penyalahgunaan alkohol dan
memakai pelindung diri saat menggunakan bahan kimia beracun.Yang
terpenting adalah menjaga agar organ hati jangan sampai berkembang
menjadi sirosis hati.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan
penyakit atau cedera menuju suatu perkembangan kearah kerusakan,
mencegah komplikasi dan membatasi ketidakmampuan dengan cara deteksi
dini, mempertahankan perilaku sehat dan mengubah gaya hidup.
c. Pencegahan Tersier
Tujuan dari pencegahan tersier adalah untuk mencegah agar tidak terjadi
komplikasi sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan
perawatan intensif. Sirosis tidak dapat disembuhkan karena sel hati yang
rusak tidak dapat diregenerasi. Banyak pasien dengan penyakit hati secara
bertahap akan memburuk meskipun dengan pengobatan dan komplikasi
sirosis akan meningkat dan menjadi sulit diobati. Adapun rehabilitasi fisik
yang dilakukan adalah membatasi aktivitas fisik dengan istirahat di tempat
tidur minimal 12 jam setiap hari. Transplantasi hati adalah satu-satunya
pilihan untuk pengobatan. Kemajuan terbaru dalam bedah transplantasi dan
pengobatan untuk mencegah infeksi dari transplantsi hati
sangatmeningkatkan kelangsungan hidup setelah operasi. Rata-rata, lebih
dari 80% pasien yang menerima transplantasi hati bertahan hidup sampai
lima tahun.
B. Asuhan Keperawatan Teoritis
I. Pengkajian
A. Identitas Diri Klien
Identitas klien terdiri dari nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, status
perkawinan, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, tanggal masuk rumah sakit,
No. MR, sumber informasi dan diagnosa medis. Biasanya Serosis Hepatis paling
sering didapat pada orang yang aktivitasnya sering terpapar toksin dan pada usia
diatas 30tahun dikarenakan rentan timbulnya berbagai penyakit yaitu fungsi organ
tubuh mengalami penurunan tidak seperti usia pada waktu muda serta pola hidup
pada waktu muda dan laki-laki beresiko lebih besar dari pada perempuan.
B. Identitas Keluarga Klien
Keluarga terdekat yang dapat segera dihubungi (orang tua, suami, istri, dll)
C. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Pada stadium awal (kompensasi), dimana kompensasi tubuh terhadap
kerusakan hati masih baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga
sering ditemukan pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin.
Gejala-gejala awal sirosis meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera
makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada
laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil dan dada membesar, serta
hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut, (berkembang menjadi
sirosis dekompensata) gejala-gejala akan menjadi lebih menonjol terutama bila
timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi kerontokan
rambut badan, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi. Selain itu,
dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh
pekat, hematemesis, melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa,
sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma. beberapa gejala yang dapat
mengarah pada keluhan yang sering didapat pada sirosis hati yaitu lemas pada
seluruh tubuh, mual dan muntah yang disertai penurunan nafsu makan. Selain
itu, ditemukan juga beberapa keluhan yang terkait dengan kegagalan fungsi
hati dan hipertensi porta, diantaranya perut yang membesar dan bengkak pada
kedua kaki, gangguan tidur, air kencing yang berwarna seperti teh, ikterus
pada kedua mata dan kulit, nyeri perut yang disertai dengan melena, dan
gangguan tidur juga dialami pasien.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat hepatitis kronis, penyakit gangguan metabolisme seperti DM,
obstruksi kronis ductus coleducus, gagal jantung kongestif berat dan kronis,
penyakit autoimun, riwayat malnutrisi kronis terutama KEP..
3. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada keluarga mengalami penyakit yang sama seperti yang
dialami klien atau penyakitlain yang dapat memperberat seperti hepatitis,
hipertensi, DM.
D. Pemeriksaan fisik
1. Status kesehatan umum
Mengukur TD, N, P dan S klien, kaji kesadaran klien. Biasanya klien tampak
lemah, Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan
cairan).
2. Pemeriksaan Kepala
I : Bagaimana karakteristik rambut, kebersihan Rambut
P : Kaji apakah adanya masa, benjolan, lesi. Biasanya pada klien dengan
SH tidak ditemukan kelianan pada kepala kecuali pada kondisi tertentu,
seperti kelianan bawaan.
3. Pemeriksaan Mata
I : simetris atau tidak, sclera biasanya ikterik pada klien dengan SH dan
conjungtiva anemis, serta kaji bagaimana kornea yaitu iris, reflek pupil.
Kaji tanda-tanda radang, edema palpebrae, rasa sakit
4. Telinga
I : Bagaimana keadaan daun telinga dan liang telinga, membran timpani,
ada atau tidaknya serumen dan pendarahan.
5. Hidung
I : Simetris atau tidaknya bentuk hidung, membrane mukosa, tes
penciuman atau ketajaman membedakan bau dan alergi atau tidak
terhadap sesuatu serta cara mengatasinya. Biasanya pada pasien SH
jarang ditemukan kelianan pada hidung kecuali pada kondisi tertentu.
6. Mulut dan tenggorokkan
I : bagaimana keadaan mulut, mukosa mulut, lidah, gigi dan tonsil. Tes
rasa (ketajaman mengecap rasa) serta kesulitan menelan. Pada klien
dengan SH jarang ditemukan masalah pada mulut, namun pada
esophagus biasanya ditemukan adanya varises esophagus peceh
sehingga menimbulkan muntah darah atau hemetemesis.
7. Leher
I : apakah tampak pembengkakan kelenjer tiroid
P : Palpasi yaitu arteri karotis, vena jagularis. Nodus limfa, pembesaran
kelenjar dan adanya kaku kuduk atau tidak
8. Thorak
I : Kaji bagaimana usaha dan frekuensi pernapasan yang disertai
penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada untuk melihat simetris
atau tidak, retraksi otot-otot intercostalis, sifat dan irama pernafasan.
P : Palpasi biasanya apakah taktil fomitus normal atau tidak serta apakah
ada ekspansi paru.
P :Perkusi untuk mengetahui bagaimana batas paru
A : auskultasi untuk mengetahui bagaimana bunyi nafasnya. Biasanya pada
pasien dengan SH ditemukan masalah pada pau terkait efek penyakit.
9. Kardiovaskuler
I : Kaji ictus cordis normal atau tidak untuk mengetahui ada atau tidak
pergeseran jantung.
P : Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung, kedalaman, teratur atau
tidak detak jantung. Perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung.
Auskultasi dilakukan untuk menentukan bunyi jantung I dan II
10. Payudara
I : Inspeksi yaitu bagaimana simetris atau tidaknya bentuk payudara,
warna kulit, penyebaran vena, masanya bagaimana, areolanya
bagaimana, dan hiperpigmentasinya bagaiamana.
P : Pada palpasi, adanya masa atau tidak, sekresi, putting, adanya nyeri
tekan atau tidak.
11. Abdomen
I : Biasanya perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen,
P : ada nyeri tekan abdomen, asites atau tegang pada perut kanan atas dan
A : penurunan bunyi usus
12. Neurologi
I : Pada saat dilakukan inspeksi, tingakat kesadaran perlu dikaji, setelah
sebelumnya diperlukan pemeriksaan GCS untuk menentukan apakah
klien berada dalam keadaan composmentis, somnolen atau koma.
Selain itu fungsi-fungsi sensorik juga perlu dikaji seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan. Biasanya pasien
serosis hepatis mengalami Perubahan mental, bingung halusinasi,
koma, bicara lambat/ tak jelas.
13. Eksremitas
I : Apakah pada eksremitas bawah dan atas terdapat keterbatasan gerak
nyeri sendi atau edema. Kaji bagaimana kekuatan otot dan refleknya.
14. Genitalia
I : Periksa apakah ada hernia atau tidak serta kelaianan yang lain biasanya
adanya gejala gangguan menstruasi pada perempuan dan impoten pada
laki-laki dengan tanda atrofi testis, ginekomastia, kehilangan rambut
(dada, bawah lengan dan pubis). Terpasang kateter atau tidak.
15. Kulit
I : Bagaimana warna kulit, ada atau tidaknya jaringan perut atau lesi dan
turgor kulit.
16. Pola Nutrisi
Yaitu bagaimana berat badan, tinggi badan selama sakit, frekuensi makan
selama sakit, jenis makanan selama sakit, makanan yang disukai, nafsu makan
selama sakit serta pola makan. Pasien serosis hepatis biasanya mengalami
gejala anoreksia, tidak toleran terhadap makanan atau tidak dapat mencerna,
mual/ muntah dengan tanda penurunan berat badan/ peningkatan (cairan), kulit
kering, turgor jelek, ikterik : angioma spider, napas berbau/ fetor hepatikus,
perdarahan gusi.
17. Pola Eliminasi
Yaitu bagaimana frekuensi, warna, konsistensi BAB dan BAK selama sakit.
Biasanya pasien serosis hepatis mengalami gejala flatus, dengan tanda distensi
abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites), penurunan atau tidak adanya
bising usus, feses warna tanah liat, melena, urine gelap, pekat.
18. Pola tidur dan istirahat
Yaitu bagaimana waktu, lama, kebiasaan dan kesulitan pada saat tidur selama
sakit
19. Pola aktivitas dan latihan
Yaitu bagaimana kegiatan dan aktivitas banyak duduk atau kurang aktivitas.
Biasanya klien mengalami kelemahan dan kelelahan
20. Pola bekerja
Yaitu jenis pekerjaan, lama bekerja dan jumlah jam kerja klien
21. Aspek psikososial
Bagaimana psikososial klien baik pola pikir, persepsi diri, hubungan
komunikasi serta spiritual klien.
2.Monitor nutrisi
BB bpasien dalam
batas normal
Monitor adanya
penurunan BB
Monitor tipe dan
jumlah aktivitas
yang biasa
dilakukan
Monitor lingkungan
selama makan
Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak
selama makan
Monitor kulit kering
dan perubahan
pigmentasi
Monitor turgor kulit
Monitor kekeringan,
rambut kusam, dan
mudah patah
Monitor mual dan
muntah
Monitor kadar
alnumin
Monitor kalori dan
intake nutrisi
Catat adanya edema,
hiperemik,
hipertonik, papila
lidah dan cavitas
oral.
4 Gangguan Elektrolit & acid Fluid Management
Keseimbangan cairan base balance
dan elektrolit Fluid balance Timbang
berhubungan dengan Hidration popok/pembalut jika
plasma protein diperlukan
Kriteria Hasil: Pertahankan catatan
Terbebas dari intake dan output yang
edema akurat
Bunyi nafas Pasang urine kateter
bersih, tidak ada jika diperlukan
dispneu/ortopneu Monitor hasil lab yang
Terbebas dari sesuai dengan retensi
distersi vena cairan
jugularis, reflek Monitor status
hepatijugular (+) hemodinamik
Memelihara Monitor indikasi
tekanan vena retensi / kelebihan
sentral cairan
Terbebas dari Kaji lokasi dan luas
kelelahan, edema
kecemasan/ Fluid Monitoring
kebingungan
Menjelaskan Tentukan riwayat
indikator jumlah dan tipe intake
kelebihan cairan cairan dan eliminasi
Tentukan
kemungkinan faktor
resiko dari
ketidakseimbangan
cairan
Monitor BB
Amonitor serum dan
elektolit urine
Monitor serum dan
osmolalitas urine
Monitor TTV
Monitor parameter
hemidinamik
Monitort adanya
distensi leher, ronchi,
edema
Monitor tanda dan
gejala dari edema
5. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan Tawarkan diet tinggi
keperawatan 3 x 24 kalori, tinggi protein
jam klien dapat (TKTP)
beraktivitas dengan Berikan suplemen
indikator : vitamin (A, B
kompleks, C dan K)
Melaporkan Motivasi pasien
peningkatan untuk melakukan
kekuatan dan latihan yang
kesehatan diselingi istirahat
pasien
Motivasi dan bantu
Merencanakan pasien untuk
aktivitas untuk melakukan latihan
memberikan dengan periode
kesempatan waktu yang
istirahat yang ditingkatkan secara
cukup bertahap
Meningkatkan
aktivitas dan
latihan
bersamaan
dengan
bertambahnya
kekuatan
Memperlihatk
an asupan
nutrien yang
adekuat dan
menghilangka
n alkohol dari
diet.
6 Kerusakan integritas Tissue Integrity : Pressure Management
kulit b.d faktor mekanik Skin and Mucous
Anjurkan pasien
Membranes
untuk menggunakan
Wound Healing :
pakaian yang
primer dan sekunder
longgar
Setelah dilakukan
Hindari kerutan pada
tindakan
tempat tidur
keperawatan
Jaga kebersihan kulit
selama.. kerusakan
agar tetap bersih dan
integritas kulit pasien
kering
teratasi dengan
Mobilisasi pasien
kriteria hasil:
(ubah posisi pasien)
setiap dua jam sekali
Integritas kulit
Monitor kulit akan
yang baik bisa
adanya kemerahan
dipertahankan
Oleskan lotion atau
(sensasi,
minyak/baby oil
elastisitas, pada derah yang
temperatur, tertekan
hidrasi, Monitor aktivitas
pigmentasi) dan mobilisasi
Tidak ada pasien
luka/lesi pada Monitor status
kulit nutrisi pasien
Perfusi Memandikan pasien
jaringan baik dengan sabun dan air
Menunjukkan hangat
pemahaman Kaji lingkungan dan
dalam proses peralatan yang
perbaikan menyebabkan
kulit dan tekanan
mencegah Observasi luka :
terjadinya lokasi, dimensi,
sedera kedalaman luka,
berulang karakteristik,warna
Mampu cairan, granulasi,
melindungi jaringan nekrotik,
kulit dan tanda-tanda infeksi
mempertahan lokal, formasi traktus
kan Ajarkan pada
kelembaban keluarga tentang
kulit dan luka dan perawatan
perawatan luka
alami Kolaburasi ahli gizi
Menunjukkan pemberian diae
terjadinya TKTP, vitamin
proses Cegah kontaminasi
penyembuhan feses dan urin
luka Lakukan tehnik
perawatan luka
dengan steril
Berikan posisi yang
mengurangi tekanan
pada luka
IV. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan, sebelum melaksanakan tindakan yang telah direncanakan perawat perlu
memvalidasi dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan
klien oleh klien saat ini. Pada saat akan melaksanakan tindakan keperawatan, perawat
membuat kontrak dengan klien yang isinya menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan
peran serta yang diharapkan dari klien. Dokumentasikan semua tindakan yang telah
dilaksanakan beserta respons klien.
V. Evaluasi
Merupakan hasil dari implementasi yang telah dilaksanakan yang terdiri dari
subjektif, objektif, analisa dan planning (S,O,A,P)
S : Respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
telahdilaksanakan
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan
A : Analisa atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau ada data yang
kontradiksi dengan masalah yang ada
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien
DAFTAR PUSTAKA
Arief. (2001). Keperawatan medikal bedah 2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran (EGC).
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (2001). Rencana
asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Doenges, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (2004). Rencana
asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (2006). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (2006). Patofisiologi, konsep klinis proses-
proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.