Anda di halaman 1dari 27

PENERAPAN TEORI KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN SAINS

Makalah Ini Disusun Untuk Mata Kuliah Laboratorium Sains

Dosen Pengampu : Eny Rosydatun, M. Si

Disusun Oleh:

2008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

JURUSAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sains merupakan mata pelajaran yang memberikan pengalaman pembelajaran cara berpikir sebagai
suatu struktur pengetahuan yang utuh. Sains menggunakan pendekatan empiris dalam mencari
penjelasan alami tentang fenomena alam.

Pembelajaran Sains dapat disetting menjadi pembelajaran yang mengeksplorasi fakta-fakta aktual
untuk membangun sebuah konsep dan nilai. Namun, mengeksplorasi fakta saja belumlah cukup bagi
siswa untuk membangun jiwa kreatif dan kritis, sehingga pembelajaran mestinya memberikan ruang
bagi anak mengembangkan kemampuan menganalisa dan mengevaluasi fakta-fakta yang ada untuk
mengonstruksi fakta baru sebagai gagasan terhadap solusi atas masalah yang ditemukan (belajar
melebihi fakta).

Kajian dalam makalah ini difokuskan pada penerapan teori konstruktivisme dalam pembelajaran
sains(IPA) sebagai wujud kepedulian dan tanggung jawab terhadap terciptanya pendidikan yang
berkualitas dimanifestasikan dengan turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pembelajaran.

1.2 . Rumusan Masalah

Untuk memberikan arah yang jelas dan oprasional berdasarkan

latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah teori konstruktivisme dalam pembelajaran sains dan kegiatan praktikum?


2. Peranan teori konstruktivisme dalam pembelajarn sains dan kegiatan praktikum?

1.3.Tujuan

Dari rumusan masalah yang sudah ditentukan, ada pun tujuan-tujuan yang ingin dicapai
adalah sebagai berikut.

a. Mengetahui teori yang melandasi pembelajaran sains :

a.1. Teori konstruktivisme

a.2. Hakikat pembelajaran konstruktivisme

a.3. Aspek-aspek pembelajaran konstruktivistik

a.4. Pandangan-pandangan konstruktivistik

a.5. Rancangan pembelajaran konstruktivistik

a.6. Konstruktivisme-perubahan konsepsi

b. Mengetahui hakikat pembelajaran sains

1.4.Metode Penulisan

Metodologi penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah dengan studi pustaka melalui
membaca buku-buku yang berkaitan dengan penulisan makalah ini dan internet.

BAB II

PEMBAHASAN

Belajar IPA dalam kerangka pengajaran dan pendidikan di sekolah adalah proses aktivitas siswa
arahan dan bimbingan untuk mempelajari materi mata pelajaran IPA. Menurut Ausubel, ada dua
macam proses belajar yakni belajar bermakna dan menghafal. Belajar bermakna berarti, informasi
baru diasimilasikan dalam struktur pengertian lamanya. Belaja menghafal hanya perlu bila
pembelajar mendapatkan fenomena atau informasi yang sama sekali baru dan belum ada
hubungannya dalam struktur pengertian lamanya.

Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat
menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan
sesuatu bagi diri mereka sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas pendidikan tidak hanya
menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan
bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa.

Penggunaan media pembelajaran adalah salah satu upaya agar siswa bersifat aktif dan dapat
memperoleh gambaran kongkrit konsep yang harus dipahami. Sebagaimana diungkapkan oleh ahli
psikologi Jerome Bruner (dalam Muhamad, 2005:9), menyatakan bahwa pengajaran seharusnya
dimulai dari pengalaman langsung menuju representasi ikonik dan baru kemudian menuju
representasi simbolik. Urutan bagaimana siswa menerima materi ajar memiliki pengaruh langsung
pada pencapaian ketuntasan belajar tersebut.
Oleh karena itu, pembelajaran ilmu pengetahuan alam di sekolah hendaknya dirancang untuk
memupuk tumbuhnya sikap ilmiah dan meningkatkan pola berpikir logis yang menjadi landasan
dalam proses ilmiah untuk menghasilkan produk ilmiah, sebagaimana tercantum dalam kurikulum
2006.

A. Teori Yang Melandasi Pembelajaran Sains

Dalam mempelajari IPA banyak menerapkan konsep dasar dan prinsip dasar, maka siswa dituntut
untuk berfikir secara ilmiah dan memiliki sifat ilmiah, oleh karena itu penggunaan pendekatan
keterampilan proses sangat tepat dilakukan. Hal ini dapat diwujudkan melalui penerapan teori
pembelajaran kognitif yang dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori konstruktivisme
dan memberikan penjelasan tentang pembelajaran yang berpusat pada proses mental yang sulit
diamati.

1. Teori Konstruktivisme

Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat
menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan
sesuatu bagi diri mereka sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas pendidikan tidak hanya
menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan
bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa.

Sesungguhnya ada dua kutub dalam pendidikan saat ini, yaitutabula rasa dan konstruktivisme.
Menurut rujukan tabula rasa. yangseakan-akan siswa bersifat pasif dan memiliki keterbatasan dalam
belajar. Menurut rujukan konstruktivisme, setiap orang yang belajar sesungguhnya membangun
pengetahuannya sendiri. Jadi siswanya dapat aktif dan terus meningkatkan diri dalam kondisi
tertentu.

Teori konstruksivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstuksivisme adalah salah satu pengetahuan
yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentuk (konstruksi) kita sendiri (Von Glaserfeid).

Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada.
Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan memuat
struktur, kategiri, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.

Teori yang dikenal dengan constructivist theories of lerning menyatakan bahwa siswa harus
menemukan sendiri dan mentransformasi informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan itu apabila tidak lagi sesuai.

Lebih lanjut dikatakan bahwa salah satu konsep kunci dari teori belajar konstruktivis adalah
pembelajaran dengan pengaturan diri (self regulated learning) yaitu seseorang yang memiliki
pengetahuan tentang strategi belajar efektif dan bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan
itu (Nur dan Retno, 2000:12). Jadi apabila siswa memiliki strategi belajar yang efektif dan motivasi
serta tekun menerapkan strategi itu sampai pekerjaan terselesaikan maka kemungkinan mereka
adalah pelajar yang efektif.

Salah satu pendekatan dalam pengajaran konstruktivis yang sangat berpengaruh dari Jerome Bruner
adalah belajar penemuan dimana siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui partisipasi
aktif mereka sendiri dengan konsep dan prinsip dimana guru mendorong siswa untuk memiliki
pengalaman serta dapat melakukan eksperimen yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-
prinsip untuk diri mereka sendiri. (Nur dan Retno,2000:10)

Pendekatan yang lain dalam pengajaran dan pembelajaran yang juga berlandaskan pada teori
konstruktivis adalah pengajaran dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).
Pengajaran dan pembelajaran kontekstual merupakan suatu konsepsi yang membantu guru
mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat
hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga, warga Negara dan tenaga kerja (U.S. Department of Education and the National School-to-
Work Office yang dikutip oleh Blanchard, 2001 dalam Nur,2001a:1).

a. Teori Piaget

Teori belajar kognitif berkembang dari Piaget, Vygotsky dan teori pemprosesan informasi. Teori
kognitif yang terkenal adalah teori Piaget. Dalam pandangan Piaget pengetahuan datang dari
tindakan jadi perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif
memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya.

Ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu : struktur, isi dan fungsi. (Dahar ,1988:179). Struktur
atau skemata merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang terbentuk pada individu waktu ia
berinteraksi dengan lingkungannya. Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada
responnya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. Sedangkan fungsi adalah cara
yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Fungsi itu terdiri dari organisasi
dan adaptasi. Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk beradaptasi atau menyesuaikan
diri dengan lingkungan mereka.

Cara beradaptasi ini berbeda antara organisme yang satu dengan yang lain. Adaptasi terhadap
lingkungan dilakukan melalui 2 proses yaitu : assimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi
seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah
yang dihadapinya dalam lingkungan. Dan proses akomodasi seseorang memerlukan modifikasi
struktur mental yang ada untuk mengadakan respon terhadap tantangan lingkungan.

Dari uraian tersebut pembelajaran menurut konstruktivis dilakukan dengan memusatkan perhatian
kepada berfikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya dan mengutamakan peran
siswa dalam kegiatan pembelajaran serta memaklumi adanya perbedaan individu dalam kemajuan
perkembangan yang dapat dipegaruhi oleh perkembangan intelektual anak.

b. Teori Vygotsky

Teori Vygotsky ini memberi penekanan pada hakekat sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky
menyatakan bahwa pembelajaran terjadi apabila peserta didik bekerja atau belajar menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas itu masih berada dalam jangkauan
kemampuan atau tugas itu berada dalam zone of proximal development daerah terletak antara
tingkat perkembangan anak saat ini yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. (Nur dan Retno,2000:4).

Teori Vigotsky dalam kegiatan pembelajaran juga dikenal apa yang dikatakan scaffolding
(perancahan), dimana perancahan mengacu kepada bantuan yang diberikan teman sebaya atau
orang dewasa yang lebih lompeten, yang berarti bahwa memberikan sejumlah besar dukungan
kepada anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan dan
memberikan kesempatan kepada anak itu untuk mengambil tanggung jawab yang semakin besar
segera setelah ia mampu melakukannya sendiri. (Nur, 1998:32)
Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan pengajaran top down daripada bottom-
up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah kompleks untuk dipecahkan dan kemudian
memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang
diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up tradisional yang mana keterampilan-keterampilan
dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks.
(Slavin, 1997 dalam Nur dan Retno,2000:7).

Sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa peran guru adalah
membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan
memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.
2.Hakikat Pembelajaran Konstruktivisme

Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang siswa yang aktif menciptakan


struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur
kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh
realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh siswa itu sendiri. Struktur
kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme
yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses
rekonstruksi.

Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, siswa yang
harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang
harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu
dikembangkan.

Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi
kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang
kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya
aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar.

Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu:

(1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan.

(2) mengutamakan proses,

(3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social,

(4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman

Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky (Karpov & Bransford, 1995),
yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran
kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan.

Empat prinsip kunci yang diturunkan dari teorinya telah memegang suatu peran penting. Salah satu
diantaranya adalah penekanannya pada hakekat sosial dari pembelajaran. Ia mengemukakan bahwa
siswa belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Pada
proyek kooperatif, siswa dihadapkan pada proses berfikir teman sebaya mereka: metode ini tidak
hanya membuat hasil belajar terbuka untuk seluruh siswa, tetapi juga membuat proses berfikir siswa
lain terbuka untuk seluruh siswa.
Vygotsky memperhatikan bahwa pemecahan masalah yang berhasil berbicara kepada diri mereka
sendiri tentang langkah-Iangkah pemecahan masalah yang sulit. Dalam kelompok kooperatif, siswa
lain dapat mendengarkan pembicaraan dalam hati ini yang diucapkan dengan keras oleh pemecah
masalah dan belajar bagaimana jalan pikiran atau pendekatan yang dipakai pemecah masalah yang
berhasil ini.

Hakekat dari teori konstruktivis adalah ide bahwa siswa harus menjadikan informasi itu miliknya
sendiri (Nur dan Retno,2000:2). Pendekatan konstruktivisme dalam pengajaran menekankan
pengajaran top down daripada bottom-up. Top down berarti bahwa siswa mulai dengan masalah
kompleks untuk dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru)
keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan. Sedangkan pendekatan bottom-up tradisional
yang mana keterampilan-keterampilan dasar secara tahap demi tahap dibangun menjadi
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks. (Slavin, 1997 dalam Nur dan Retno,2000:7).
Sehingga dapat dikatakan bahwa di dalam kelas yang terpusat pada siswa peran guru adalah
membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan
memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan kelas.

3.Aspek-Aspek Pembelajaran Konstruktivistik

Fornot mengemukakan aspek-aspek konstruktivitik sebagai berikut: adaptasi (adaptation), konsep


pada lingkungan (the concept of envieronmet), dan pembentukan makna (the construction of
meaning). Dari ketiga aspek tersebut diadaptasi terhadap lingkungan yang dilakukan melalui dua
proses yaitu :

1. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.

2. Akomodasi. ketidak cocokan mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah
dipunyai. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang
baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.

Tingkatan pengetahuan atau pengetahuan berjenjang ini oleh Vygotskian disebutnya


sebagai scaffolding. Scaffolding berarti memberikan kepada seorang individu sejumlah besar
bantuan selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan
memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar
segera setelah mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan pembelajar dapat berupa
petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk lain yang memungkinkan
siswa dapat mandiri.

Vigotsky mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan


permasalahan, yaitu : (1) siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai
keberhasilan dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan.

Scaffolding, berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai
keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi
menjadi optimum.

Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan dikonstruksi secara kolaboratif antar


individual dan keadaan tersebut dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi
diarahkan memalui adaptasi intelektual dalam konteks social budaya. Dalam hubungan ini, para
konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada penerapan teknik saling tukar gagasan antar
individual. Terdapat dua prinsip penting yang diturunkan dari teori Vigotsky adalah:
(1) mengenai fungsi dan pentingnya bahasa dalam komunikasi social yang dimulai proses
pencanderaan terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi dan pengetahuan,

(2) Zona of Proximal Development (ZPD) Pembelajar sebagai mediator memiliki peran mendorong
dan menjembatani siswa dalam upayanya membangun pengetahuan, pengertian dan kompetensi.

4.Pandangan-pandangan Konstruktivistik

a.Pandangan Konstruktivistik tentang belajar dan pembelajaran

Pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Belajar
adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta
interpretasi. Mengajar adalah menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna
seta menghargai ketidakmenentuan.

Si belajar akan memiliki pemahaman yag berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada
pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. Mind berfungsi sebagai
alat untuk menginterpretasi peristiwa, objek, atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga
makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik.

b.Pandangan Konstruktivistik tentang penataan Lingkungan Belajar

Ketidakteraturan, ketidakpastian, kesemrawutan, Si belajar harus bebas. Kebebasan menjadi unsur


yang esensial dalam lingkungan belajar. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau
ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai. Kebebasan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar.

c.Pandangan Konstruktivistik tentang Tujuan Pembelajaran

Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar (learn how to learn)

d.Pandangan Konstruktivistik tentang strategi pembelajaran

Penyajian isi menekankan pada penggunaan pengetahuan secara bermakna mengikuti urutan dari
keseluruhan-ke-bagian. Pembelajaran lebih banyak diarahkan untuk meladeni pertanyaan atau
pandangan si belajar,penekanan pada keterampilan berpikir kritis ,menekankan pada proses.

e.Pandangan Konstruktivistik tentang evaluasi

Evaluasi menekankan pada penyusunan makna secara aktif yang melibatkan keterampilan
terintegrasi, dengan menggunakan masalah dalam konsteks nyata. Evaluasi yang menggali
munculnya berpikir divergent, pemecahan ganda, bukan hanya satu jawaban benar.

5.Rancangan Pembelajaran Konstruktivistik

Berdasarkan teori Vygotsky yang telah dikemukakan di atas maka pembelajaran dapat
dirancang/didesain dalam model pembelajaran konstruktivis di kelas sebagai berikut:

Identifikasi prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasi awal terhadap gagasan intuitif yang
mereka miliki terhadap lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan
akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan
dengan tes awal, interview.

Penyusunan program pembelajaran. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan


pelajaran.
Orientasi dan elicitasi. situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu
diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang
akan dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya.

Refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul
pada tahap orientasi dan elicitasi direflesikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap
awal. Miskonsepsi ini diklasifikasi berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk
memudahkan merestrukturisasikannya.

Resrtukturisasi ide, berupa : (a) tantangan, siswa diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang gejala-
gejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk
meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu. (b) konflik
kognitif dan diskusi kelas. Siswa akan dapat melakukan dengan ramalan mereka. Mereka didorong
untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan. Sehingga ada usaha memikirkan dan
mencari penjelasan yang dapat dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman
atau guru yang pada kapasistasnya sebagai fasilitator dan mediator. (c) membangun ulang kerangka
konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki
konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari
gagasan yang lama.

Aplikasi. Menyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepsi
ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam
situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudia menguji penyelesaian secara
empiris.

Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam
upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran.

Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang muncul kembali bersifat
sangar resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya
menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan
rendahnya prestasi siswa bersangkutan.

Berikut ini diberikan 6 keunggulan penggunaan pandangankonstruktivisme dalam pembelajaran di


sekolah, yaitu:

Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk


mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi
gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.

pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan


gagasan yang telah dimiliki siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena
dan memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.

pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya.


Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori,
mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.

pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba


gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan menggunakan
berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk
menggunakan berbagai strategi belajar.

pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka


setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi
perubahan gagasan mereka.

pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa
mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang
benar.

6.Konstruktivisme-Perubahan Konsepsi

Menurut pandangan konstruktivisme, keberhasilan belajar tergantung bukan hanya pada lingkungan
atau kondisi belajar, tapi juga bergantung pada pengetahuan awal siswa (prior knowledge). Implikasi
dari pandangan konstruktivisme ini di sekolah adalah bahwa pengetahuan itu tidak dapat
dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa. Pengetahuan itu harus secara aktif dibangun
oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Senada dengan pernyataan ini, penelitian
pendidikan mengungkapkan bahwa proses belajar merupakan proses konstruktif yang menghendaki
partisipasi aktif dari siswa, sehingga peran guru sekarang berubah dari sumber dan pemberi
informasi menjadi pendiagnosis dan fasilitator belajar siswa.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa pembelajaran dalam pandangan konstruktivisme mengandung


empat kegiatan inti, yaitu: (1)berkaitan dengan pengetahuan awal atau prakonsepsi (prior
knowledge) siswa; (2) mengandung kegiatan pengalaman nyata (experience); (3) melibatkan
interaksi sosial (social interaction); (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making).

Dalam pandangan konstruktivisme, belajar adalah prosesperubahan konsepsi. Oleh karena itu
belajar dipandang sebagai suatu kegiatan yang rasional. Dalam perubahan konsepsi, siswa
dipandang sebagai pemroses informasi dan pemproses pengalaman. Gagasan yang baru tidak begitu
saja ditambahkan pada gagasan yang telah ada, tetapi mereka saling berinteraksi yang kadang-
kadang memerlukan perubahan.

Perubahan konsepsi ini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

(1) Pembedaan: artinya konsep baru muncul dari konsep lebih umum yang sudah ada;

(2) Perluasan konsepsi: konsep lama yang mengalami perkembangan menjadi konsep baru;

(3) Konseptualisasi ulang (restrukturisasi): terjadi perubahan signifikan dalam bentuk dan hubungan
antar konsep.

B. Hakikat Pembelajaran Sains

Pada dasarnya manusia ingin tahu lebih banyak tentang IPA atau Sains, antara lain sifat sains, model
sains, dan filsafat sains. Pada saat setiap orang mengakui pentingnya sains dipelajari dan dipahami,
tidak semua masyarakat mendukung. Pada umumnya siswa merasa bahwa sains sulit, dan untuk
mempelajari sains harus mempunyai kemampuan memadai seperti bila akan menjadi seorang
ilmuan. Ada tiga alasan perlunya memahami sains antara lain :

pertama bahwa kita membutuhkan lebih banyak ilmuan yang baik,kedua untuk mendapatkan
penghasilan, ketiga karena tiap kurikulum menuntut untuk mempelajari sains.
Beberapa ilmuwan memberikan definisi sains sesuai dengan pengamatan dan pemahamannya. Carin
(1993:3) mendefinisikan science sebagai The activity of questioning and exploring the universe and
finding and expressing its hidden order, yaitu Suatu kegiatan berupa pertanyaan dan penyelidikan
alam semesta dan penemuan dan pengungkapan serangkaian rahasia alam.

Sains mengandung makna pengajuan pertanyaan, pencarian jawaban, pemahaman jawaban,


penyempurnaan jawaban baik tentang gejala maupun karakteristik alam sekitar melalui cara-cara
sistematis (Depdiknas,2002a: 1).

Berdasar pada definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa sains
selain sebagai produk juga sebagai proses tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Belajar sains tidak sekedar belajar informasi sains tentang fakta dan merupakan kegiatan-kegiatan
empiris di dalam sains dan konsep, prinsip, hukum-hukum, teori merupakan kegiatan-kegiatan
analisis di dalam sains. Sebagai proses sains dipandang sebagai kerja atau sesuatu yang harus
dilakukan dan diteliti yang dikenal dengan proses ilmiah atau metode ilmiah, melalui keterampilan
menemukan antara lain, mengamati, mengklasifikasi, mengukur, menggunakan keterampilan
spesial, mengkomunikasikan, memprediksi, menduga, mendefinisikan secara operasional,
merumuskan hipotesis, menginterprestasikan data, mengontrol variabel, melakukan eksperimen.
Sebagai sikap sains dipandang sebagai sikap ilmiah yang mencakup rasa ingin tahu, berusaha untuk
membuktikan menjadi skeptis, menerima perbedaan, bersikap kooperatif, menerima kegagalan
sebagai suatu hal yang positif.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya sains terdiri atas tiga komponen, yaitu
produk, proses, dan sikap ilmiah. Jadi tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau fakta
yang dihafal, namun juga merupakan kegiatan atau proses aktif menggunakan pikiran dalam
mempelajari rahasia gejala alam.

Ilmu pengetahuan alam pada hakekatnya adalah ilmu yang mempelajari

fenomena-fenomena di alam semesta. Ilmu pengetahuan alam memperoleh kebenaran tentang


fakta dan fenomena alam melalui kegiatan inkuiri. Ilmu pengetahuan alam berkaitan dengan fakta,
konsep, prinsip dan juga proses penemuan itu sendiri. Penemuan diperoleh melalui kegiatan
eksperimen yang dapat dilakukan di Laboratorium maupun di alam bebas (Muhamad, 2002:23)

Melalui kegiatan belajar IPA siswa diharapkan memperoleh pengertian tentang fakta-fakta, konsep
IPA, prinsip, hukum, metode ilmiah dan sikap ilmiah serta saling keterkaitan antar komponen-
komponen itu. Selanjutnya semua hal yang dipelajari tersebut diharapkan dapat diterapkan dalam
kehidupan nyata dan dapat digunakan untuk mempelajari perkembangan sains dan teknologi

BAB III

PENUTUP

Ilmu Pengetahuan Alam (sains) merupakan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan,
dan konsep yang terorganisir, tentang alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman melalui
serangkaian proses ilmiah. Mengajar tidak secara otomatis menjadikan siswa belajar. Tugas guru
dalam mengajar antara lain adalah membantu transfer belajar. Tujuan transfer belajar ialah
menerapkan hal-hal yang telah dipelajari pada situasi baru, artinya apa yang telah dipelajari itu
dibuat umum sifatnya.

Hal ini berarti bahwa IPA harus diajarkan pada siswa secara utuh baik sikap ilmiah, proses ilmiah,
maupun produk ilmiah, sehingga siswa dapat belajar mandiri untuk mencapai hasil yang optimal.
Kemampuan siswa dalam menggunakan metode ilmiah perlu dikembangkan untuk memecahkan
masalah-masalah dalam kehidupan nyata.

Berdasarkan uraian di atas maka untuk mengatasi beraneka ragam persoalan dalam pembelajaran
yang semakin rumit,maka perlu mencari alternatif pembelajaran yang lebih mampu mengatasi
semua persoalan pembelajaran yang ada, salah satunya adalah pendekatan konstruktivistik yang
telah diuraikan. Pendekatan ini menghargai perbedaan, menghargai keunikan invidu, menghargai
keberagaman dalam menerima dan memaknai pengetahuan.semua itu merupakan pembelajaran
yang merupakan perwujudan dari pembelajaran konstruktivistik. Pembelajaran yang membuat
pebelajarnya membangun maknanya sendiri, bukan mentranfer makna/pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Nur, M. dan Wikandari P.R. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan
Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya University Press.

Nur, M. 1998. Teori-teori Perkembangan. Surabaya : Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Oahar, Ratna Willis. (1988). Konstruktivisma dalam Mengajar dan Belajar (Makalah)

Pebruanto, D.S., 2007, Mengelolah Kurikulum 2006: melatih siswa menjadi produsen, file arsip

http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/ 01 Juni 2008

http://www.scribd.com/doc/5005560/menyusuri-pembelajaran-sains-10-demonstrasi-dan-
percobaan http://www.muhfida.com

Diposkan oleh etikurniati_bi_2b_uinjkt di 06:14 Diposkan oleh syaerina di 05:12

Rujukan:

http://ok-luk.blogspot.my/2016/02/makalah-penerapan-teori-konstruktivisme.html
PEMBELAJARAN SAINS YANG MENYENANGKAN MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME DI
SEKOLAH MADRASAH

A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia semakin hari kualitas guru semakin rendah. Berdasarkan
Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas
pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, menempati peringkat 10 dari 14 negara.
Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Hal
ini terbukti pada hasil pemerataan pendidikan indonesia dinilai masih memprihatinkan dilihat dari
indikator hasil ujian yang masih berada di bawah angka standar dan sedikitnya anak memiliki
kesempatan untuk belajar (Diambil tanggal 12 januari 2009, dari http://media/indonesia/com).
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi,
membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek
kehidupan, termasuk pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar
biasa itu terbentuknya suatu kumonitas global, lebih parah lagi karena komunitas global itu
ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi telah menghadirkan dunia
baru yang benar-benar hyper-reality. Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak
bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan.
Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-
faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau
yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan
perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini,
maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini.
Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawaban-jawaban tersebut
begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-
metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper
bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita
telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun
mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat
dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab
dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep
konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS.
Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang
dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau
dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa
individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan
individunya. Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan
reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan,
melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada
penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai
perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku
manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh
virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara. Longworth (1999)
meringkas fenomenan ini dengan menyatakan: Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu
dipelajari menjadi bagaimana caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah
perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu
menjadi suatu hal yang lebih penting daripada fakta-fakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu
sendiri. Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam
sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah
tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di
mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara
berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di
mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993)
menagaskan, Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan
baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang
dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian.
Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih
penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama. Kebutuhan akan
orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik
dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita
semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma
pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus,
alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik Dalam proses pembelajaran
IPA juga guru jarang mengaitkan materi pembelajaran dengan masalah yang nyata yang sering
dihadapi siswa dan guru pelajaran IPA juga kurang menguasai materi yang disampaikan kepada siswa
sehingga kecakapan dalam memahami konsep IPA dan motivasi siswa menjadi rendah. Sedangkan
masalah siswa yang dihadapi dalam proses belajar adalah siswa kurang menggunakan benda-benda
yang tidak nyata (konkrit) sebagai media pembelajaran. Akibatnya, siswa belum mengalami
pengalaman langsung dalam proses belajar dan kurang mampu menyelesaikan masalah IPA dalam
kehidupan sehari-hari A. Pendekatan kontruktivisme dalam IPA 1. Pengertian Pendekatan
Konstruktivisme Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Konstruktivistik merupakan landasan filosofi yang meyakini
bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta konsep
atau kaidah yang siap untuk diambi dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata (Nurhadi, 2002:10-11). Sedangkan Suparno (1997:28)
mengatakan konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia.
Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman
dan lingkungan. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Dua tokoh konstruktivis
adalah Piaget dan Vygotsky. Piaget yang dikenal dengan konstruktivis radikal, sedangkan Vygotsky
dikenal dengan konstruktivisme sosial. Menurut Piaget (dalam dahar 1988:181), perkembangan
intelektual anak didaarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Model konstruktivis Piaget
dalam mengajar, hendaknya memperhatikan 8 hal berikut : 1) Siapkanlah benda-benda nyata yang
digunakan siswa 2) Pilihlah pedekatan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak 3)
Perkenalkan kegiatan yang layak dan menarik dan berilah para siswa untuk menolak saran-saran
guru 4) Tekankan penciptaan pertanyaan-pertanyaan dan massalah-masalah seta pemecahannya. 5)
Anjurkan para siswa untuk saling berinteraksi 6) Hindari istlah-istilah teknis dan berfikir 7) Anjurkan
para siswa berfikir dengan cara mereka sendiri 8) Perkenalkan ulang materi dan kegiatan yang sama
dalam beberapa tahun. Implikasi teori Piaget dalam pembelajaran 1) Memusatkan perhatian pada
proses berfikir anak, bukan sekedar pada hasil 2) Menekankan pada pentingnya peranan siswa
dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan secara aktif dalam pembelajaran 3) Memaklumi adaya
perbedaan individual dalam kemajuan perkembangan. Sedangkan teori Vygotsky menekankan pada
hakikat sosiokultural dari pembelajaran yaitu siswa belajar menangani tugas-tugas yang dipelajari
melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman dewasa. Implementasi teori Vygotsky dalam
pembelajaran: 1) Pembelajaran kooperatif antar siswa tertata dengan baik 2) Pendekatan Vygotsky
dalam pembelajaran menerapkan scafolding yaitu pemberian sejumlah besar bantuan pada siswa
pada awal bantuan pembelajarn, kemudian siswa mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar setelah ia dapat melakukannya. 3) Memaklumi adanya perbedaan perbedaan individu dalam
hal kemajuan pemahaman. Konstruktivisme bukanlah satu konsep baru. Ia berasal daripada bidang
falsafah dan telah digunakan dalam bidang sosiologi dan antropologi dan juga dalam bidang
psikologi kognitif dan pendidikan. Pada tahun 1710, ahli falsafah konstruktivis yang pertama, yaitu
Giambatista Vico, mengatakan one only knows something if one can explain it (Yager, 1999).
Pembelajaran bermakna (meaningful learning), mengikut John Dewey (1966), melibatkan belajar
dengan membuat (learning by doing), yang kemudiannya dapat membantu pelajar berfikir dan
membentuk kefahaman tentang masalah yang cuba dihuraikan. Dewey mempelopori gerakan
progresivisme dalam pendidikan. Dalam keadaan yang sama, kita menyaksikan Jean Piaget (1951)
lebih awal mengutarakan tentang perkembangan kognitif dalam karya terjemahan, Play, Dreams
and Imitation in Childhood dan Vygotsky (1978) dalam Mind in Society yang dikaitkan dengan
perspektif konstruktivisme dalam perkembangan minda kanak-kanak. Sejak satu setengah dekad
yang lampau, di Amerika Serikat pengajaran dan buku teks telah diolah agar lebih menjurus kepada
penggalakan proses berfikir, menyelesaikan masalah dan membina keupayaan untuk belajar. Inilah
gerakan konstruktivisme yang sudah dilaksanakan di Amerika Syarikat, yang juga mengambil kira
pemikiran Dewey dan Bruner. Dalam konteks tempatan, kita menyaksikan gerakan ini sudah
bermula dalam pembelajaran sains dan matematik yang cuba menyemarakkan perspektif
konstruktivisme. Pendekatan konstruktivisme memiliki beberapa konsep umum, antara lain: 1)
Pelajar aktif membina pengetahuan berdasarkan pengalaman yang sudah ada. 2) Dalam konteks
pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka. 3) Pentingnya membina
pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara
pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. 4) Unsur terpenting dalam teori ini ialah
seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru
dengan pemahamannya yang sudah ada. 5) Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi
pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya
tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah. 6) Bahan pengajaran yang disediakan perlu
mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar. Konsttruktivisme
mempunyai lima fase, yaitu: 1) Guru menerka pengetahuan sedia ada murid pada permulaan
sesuatu pelajaran melalui soal jawab atau ujian. 2) Guru menguji ide atau pendirian murid melalui
aktivitas yang menjabar ide atau pendiriannya. 3) Guru membimbing murid menstruktur semula ide.
4) Guru memberi peluang kepada murid mengaplikasikan ide baru yang telah diperoleh untuk
menguji kebenarannya. 5) Guru membimbing murid membuat refleksi dan perbandingan ide lama
dengan ide yang baru diperoleh. Menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah,
yaitu tidak sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu
menjadi mediator dan fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa
tugas sebagai berikut: 1) Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung
jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah
tugas utama seorang guru. 2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang
keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope, 1989). 3) Memonitor, mengevaluasi, dan
menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan
apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan. Guru
membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997). Dalam pelaksanaan teori
belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran yaitu
sebagai berikut : 1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya
dengan bahasa sendiri. 2) Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga lebih kreatif dan imajinatif. 3) Memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru. 4) Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah
dimiliki siswa. 5) Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka. 6) Menciptakan
lingkungan yang kondusif. Dari berbagai pandangan di atas, bahwa pembelajaran yang mengacu
pada pandangan konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih berpengalaman untuk
mengonstruksikan sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Agar peran dan
tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan
juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar. 1) Guru perlu banyak berinteraksi
dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan. 2) Tujuan dan apa
yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat. 3) Guru
perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat
dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar. 4) Diperlukan keterlibatan
dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka dapat belajar.
5) Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran
siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno,
1997). 2. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan
kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30)
mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah
peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah
mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (1991: 12) mendukung
pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar
konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh
struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian
melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana
pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan
pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari
kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang
baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar
tersebut. Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang
mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa
lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar
pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya. Dalam upaya mengimplementasikan teori
belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan
rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk
berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dari beberapa
pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar
konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman
mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh
guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka
melalui asimilasi dan akomodasi. 3. Pembelajaran dan Pengajaran Konstruktivisme Pembelajaran
dan pengajaran menggunakan pendekatan konstruktivisme boleh dilaksanakan dengan memberikan
perhatian kepada perkara-perkara berikut: Memberi peluang kepada pelajar mengemukakan
pandangan tentang sesuatu konsep. Memberi peluang kepada pelajar berkongsi persepsi antara
satu sama lain. Menggalakkan pelajar menghormati pandangan alternatif rakan mereka.
Menghormati semua pandangan pelajar dan tidak memandang rendah terhadap pandangan mereka.
Melaksanakan pengajaran berpusatkan pelajar. Menyediakan aktiviti-akativiti berbentuk hands
on dan minds on. Mementingkan kemahiran saintifik dan kemahiran berfikir di kalangan pelajar.
Menggalakkan pelajar merenung kembali proses pembelajaran yang dilaluinya. Meminta pelajar
menghubungkait idea asal dengan idea yang baru dibina. Menggalakkan pelajar mengemukakan
hipotesis. Tidak menyampaikan maklumat secara terus kepada pelajar. Memberi peluang pelajar
berinteraksi dengan guru dan peljar-pelajar lain. Memberi perhatian kepada keperluan, kebolehan
dan minat pelajar. Menggalakkan pelajar bekerja dalam kumpulan. (Ramlah & Mahani, 2002) 4.
Prinsip-prinsip pembelajaran Konstruktivisme Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan
dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil adalah: 1) Pengetahuan
dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, 2) pengetahuan tidak dapat
dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar, 3)
murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju
konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, 4) guru sekadar membantu
penyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997). 5.
Prinsip-prinsip pembelajaran IPA SD Prinsip-prinsip dalam pembelajaran IPA SD adalah: Prinsip 1:
Pemahaman kita tentang dunia di sekitar kita di mulai melalui pengalaman baik secara inderawi
maupun noninderawi. Karena itu, siswa perlu diberi kesempatan memperoleh pengalaman itu. Para
siswa perlu dibuat agar aktif melakukan sesuatu agar memperoleh pengalaman. Prinsip 2:
Pengetahuan yang diperoleh ini tidak pernah terlihat secara langsung, karena itu perlu diungkap
selama proses pembelajaran. Pengetahuan siswa yang diperoleh dari pengalaman itu perlu diungkap
di setiap awal pembelajaran. Prinsip 3: Pengetahuan pengalaman mereka ini pada umumnya kurang
konsisten dengan pengetahuan para ilmuwan, pengetahuan yang Anda miliki. Pengetahuan yang
demikian Anda sebut miskonsepsi. Anda perlu merancang kegiatan yang dapat membetulkan
miskonsepsi ini selama pembelajaran. Prinsip 4: Dalam setiap pengetahuan mengandung fakta, data,
konsep, lambang, dan relasi dengan konsep yang lain. Tugas Anda sebagai guru IPA adalah mengajak
siswa untuk mengelompokkan pengetahuan yang sedang dipelajari itu ke dalam fakta, data, konsep,
symbol, dan hubungan dengan konsep yang lain. Prinsip 5: IPA terdiri atas produk, proses, dan
prosedur. Karena itu, Anda perlu mengenalkan ketiga aspek ini walaupun hingga kini masih banyak
guru yang lebih senang menekankan pada produk IPA saja. Namun, perlu diingat bahwa
perkembangan IPA sangat pesat. Kita tidak mampu mengikuti secara terus-menerus perkembangan
itu setiap saat. Dan, kalaupun mampu, menajdi pertanyaan besar adalah apakah semuanya
disampaikan kepada siswa. Oleh karena itu, akan lebih baik jika siswa dibekali dengan keterampilan
menemukan pengetahuan, yaitu: proses dan prosedur IPA. Proses menyangkut kegiatan penelitian.
Sedangkan prosedur menyangkut metode ilmiah yang digunakan dalam kegiatan penelitian. Berikut
ini diberikan 6 keunggulan penggunaan pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran di sekolah,
yaitu: 1. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi
gagasan dengan temannya, dan mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya. 2.
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan
gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa
agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk
merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan memadukan gagasan
tentang fenomena yang menantang siswa. 3. pembelajaran konstruktivisme memberi siswa
kesempatan untuk berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif,
imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat
yang tepat. 4. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri dengan
menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi
siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar. 5. pembelajaran konstruktivisme mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta
memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka. 6. pembelajaran
konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang mendukung siswa
mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang
benar Refrensi pembelajaran. Ibarat sebuah botol kosong. Sebaliknya, dalam paradigma Refrensi
Nasution, H. Noehi. 1999. Pendidikan IPA di SD. Jakarta : Universitas Terbuka. Nuryantini, Ade Yenti.
2004. Pandai Belajar Sains SD Kelas III. Bandung : Regina. telah me Dr. Hamzah, M.Ed. adalah dosen
pada FMIPA Universitas Negeri Makassar
@http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/08/20/teori-belajar-konstruktivismengetahuan.
Pengetahuan yang dimiliki gas-tugas yang

Rujukan:

http://arifsaintis.blogspot.my/2010/11/pembelajaran-sains-yang-menyenangkan_03.html
Pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme adalah : Pembelajaran dibangun
oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang
terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat
fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata
(Depdiknas,2003 : 11)
Proses interaksi siswa dapat dibina dan merupakan proses pembelajaran, seperti yang
dikemukakan oleh Corey (1986) dalam Syaiful Sagala (2003:61) dikatakan bahwa :
pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja
dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam
kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu
Selanjutnya Syaiful Sagala menyatakan bahwa pembelajaran mempunyai dua
karakteristik, yaitu : Pertama, dalam proses pembelajaran melibatkan proses
berpikir, Kedua, dalam proses pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses
tanya jawab terus menerus yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan berpikir siswa, yang pada gilirannya kemampuan berpikir itu dapat
membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri
(Syaiful Sagala,2003,63).
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam
bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center). Guru dituntut untuk
menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa bekerja sama secara
gotong royong (cooperative learning).
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam
struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dalam teori ini, penekanan
diberikan kepada siswa lebih dari pada guru. Hal ini karena siswalah yang berinteraksi
dengan bahan dan peristiwa dan memperoleh kepahaman tentang bahan dan
peristiwa tersebut. Mc Brien & Brandt (dalam Isjoni,2007) menyebutkan
konstruktivisme adalah satu pendekatan pengajaran berdasarkan pada penyidikan
tentang bagaimana manusia belajar.
Tobin dan Timmons dalam Remsey, (1996) menegaskan bahwa pembelajaran yang
berlandaskan pandangan konstruktivisme harus memperhatikan empat hal yaitu (1)
berkaitan dengan awal pengetahuan awal siswa (prior knowledge), (2) belajar melalui
pengalaman (experiences), (3) melibatkan interaksi sosial (social interaction), (4)
kepemahaman (sense making).
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri, Von Glasersfeld dalam
sardiman,A.M. (2007 : 37) menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah suatu tiruan
dari kenyataan yang ada, tetapi pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu
konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang.
Kebanyakan akhli berpendapat setiap individu membina pengetahuan dan bukannya
hanya menerima pengetahuan dari orang lain. Teori ini berkembang dari teori Piaget,
Vygotsky, teori-teori pemrosesan informasi, dan teori kognitif yang lain seperti teori
Bruner, Slavin dalam Trianto,(2007).
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah pendidikan.
Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha keras Jean
Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan kognitif kearah
perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya sudah ada mulai
bergeser karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui proses ketidak
seimbangan (disequlibrium). Selain itu, Jean Piaget dan Vygotsky juga menekankan
pada pentingnya lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi
kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan pengubahan secara
konseptual (Baharuddin & Esa Nur Wahyuni, 2007:117).
Menurut Piaget (dalam Suparno:2000), pengetahuan terbentuk berdasarkan kektifan
orang itu sendiri dalam berhadapan dengan permasalahan, bahan, atau lingkungan
yang baru. Hal ini berarti dalam membentuk pengetahuannya, orang itu sendiri yang
membentuknya, sedangkan proses terbentuknya pengetahuan baru menurut Piaget
adalah melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan terbentuknya struktur
pengetahuan baru berdasarkan pengetahuan yang sudah ada, sedangkan akomodasi
adalah proses menerima pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan
lama sehingga terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Untuk mencapai
keseimbangan, struktur pengetahuan lama dimodifikasi untuk menampung serta
menyesuaikan dengan pengalaman yang baru muncul tersebut. Terjadinya
keseimbangan ini menunjukkan adanya terjadi peningkatan intelektualnya.
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan
paham konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan
sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda.
Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus
saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran
kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok
belum menguasai bahan pelajaran.
Strategi pembelajaran kooperatif (cooperatif learning) merupakan strategi
pembelajaran kelompok yang akhir-akhir ini menjadi perhatian dan dianjurkan para
akhli pendidikan untuk digunakan Slavin dalam Wina Sanjaya, (2008:242)
mengemukakan dua alasan, pertama, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa
penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa
sekaligus dapat meningkatkan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima
kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua,
pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar
berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan
keterampilan. Dari dua alasan tersebut, maka pembelajaran kooperatif merupakan
bentuk pembelajaran yang dapat memperbaiki sistem pembelajaran yang selama ini
memiliki kelemahan.***
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,
pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga
adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur
kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian
melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak
secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu
didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk
mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori
belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam
kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan
cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih
bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi
kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman
yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa
untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang
mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
PEMBELAJARAN IPA YANG BERSIFAT KONSTRUKTIF DI SEKOLAH DASAR
Setidaknya ada lima cakupan yang harus dipelajari dalam pelajaran IPA di sekolah
dasar. Keempat cakupan tersebut adalah:
1) Konsep IPA terpadu
2) biologi
3) fisika
4) ilmu bumi dan antariksa
5) IPA dalam perspektif interdisipliner
Sampai saat ini, konten sains bagi kebanyakan guru diberikan melalui metode
ceramah dan kegiatan pembuktian di laboratorium, dengan sedikit fokus terhadap
pemberian pengalaman dalam melakukan penelitian atau aplikasi IPA dalam konteks
teknologi.
Hurd (1998) yang menyatakan bahwa orang yang dinyatakan melek sains memiliki 3
ciri sebagai berikut:
(1) dapat membedakan teori dari dogma, data dari hal-hal yang bersifat mistis, sains
dari pseudo sains, bukti dari propaganda dan pengetahuan dari pendapat.
(2) mengenal dan memahami hakikat IPA, keterbatasan dari saintifk inkuiri,
kebutuhan untuk pengumpulan bukti.
(3) memahami bagaimana cara untuk menganalisis dan memproses data.
Untuk menjadi orang yang melek sains ini diperlukan cara pengajaran yang berisfat
konstruktif. Ciri pembelajaran yang bersifat kosntruktif ini dapat dibedakan dengan
pembelajaran yang bersifat tradisional dengan ciri-ciri sebagai berikut:
lebih memahami dan merespon minat, kekuatan, pengalaman dan keperluan siswa
secara individual.
senantiasa menyeleksi dan mengadaptasi kurikulum.
berfokus pada pemahaman siswa dan menggunakan pengetahuan sains, ide serta
proses inkuiri.
membimbing siswa dalam mengembangan saintifik inkuiri.
menyediakan kesempatan bagi siswa untuk berdiskusi dan berdebat dengan siswa
lain.
secara berkesinambungan melakukan asesmen terhadap pemahaman siswa.
memberikan bimbingan pada siswa untuk berbagai tanggung jawab dengan siswa lain.
mensuport pembelajaran kooperatif (cooperative learning), mendorong siswa untuk
bekerjasama dengan guru sains lain dalam mengembangkan proses inkuiri.
C. PANDANGAN KONSTRUKTIVISME TENTANG BELAJAR IPA
1. Belajar sebagai perubahan konsepsi
Menurut pandangan konstruktivisme keberhasilan belajar bergantung bukan hanya
pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa.
Belajar melibatkan pembentukan makna oleh siswa dari apa yang mereka lakukan,
lihat, dan dengar (West & Pines, 1985). Jadi pembentukan makna merupakan suatu
proses aktif yang terus berlanjut.
2. Perubahan Konsepsi dalam Pembelajaran IPA
Implikasi dari pandangan konstruktivisme disekolah ialah pengetahuan itu tidak
dapat dipindahkan secara utuh dari pikiran guru ke siswa, namun secara aktif
dibangun oleh siswa sendiri melalui pengalaman nyata. Jadi dalam belajar sains/IPA
merupakanh proses konstruktif yang menghendaki partisipasi aktif dari siswa.(Piaget
dalam Dahar,1996), sehingga peran guru berubah, dari sumber dan pemberi informasi
menjadi pendiagonsis dan fasilitator belajar siswa.
Pembelajaran dan prespektif konstruktivisme mengandung empat kegiatan inti, yaitu:
(1) berkaitan dengan prakonsepsi atau pengetahuan awal (prior knowledge); (2)
mengandung kegiatan pengalaman nyata (experience); (3) melibatkan interaksi social
(social interation); (4) terbentuknya kepekaan terhadap lingkungan (sense making).
3. Pentingnya Konteks
Perlu diupayakan pembelajaran yang memungkinkan siswa dengan sadar mengubah
apa yang diyakininya yang ternyata tidak konsistan dengan konsep ilmiah. Dengan
kata lain informasi dan pengalaman yang dirancang guru-guru untuk siswa
seharuanya koheren dengan konsep yang dibawa anak atau disesuaikan dengan
pengetahuan awal siswa.
Perubahan konsepsi akan terjadi apabila kondisi yang memungkinkan terjadinya
perubahan konsepsi terpenuhi dan tersedia konteks ekologi konsepsi untuk
berlangsungnya perubahan itu (Posner et al., dalam West & Pines, 1985; Dahar, 1996).
Ekologo konsep yang dimaksud adalah sebagai berikut; (a) Anak merasa tidak puas
dengan gagasan yang dimilikinya; (b) Gagasan baru harus dapat dimengerti
(inteligible); (c) Konsepsi yang baru harus masuk akal (plausible); (d) Konsepsi yang
baru harus dapat member suatu kegunaan (fruitful)
D. MODEL-MODEL PEMBELAJARAN UNTUK PERUBAHAN KONSEPSI
Dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran IPA ahkir-ahkir ini para ahli
mengembangkan berbagai model pembelajaran yang dilandasi pandangan
konstruktivisme dari Piget. Pandangan ini berpendapat bahwa dalam proses belajar
anak membangun pengetahuannya sendiri dan memperoleh banyak pengetahuan di
luar sekolah (Dahar, 1989: 160). Oleh karena itu, setiap siswa akan membawa
konsepsi awal mereka yang diperoleh selama berinteraksi dengan lingkungan dalam
kegiatan belajar mengajar.
Konstruktivisme memberikan kesempatan yang luas bagi siswa untuk melakukan
dialog dengan guru dan teman-temannya karena hal ini bisa meningkatkan
pengembangan konsep dan ketrampilan berpikir para siswa. Dikenal beberapa model
pembelajaran yang dilandasi kontruktivisme yaitu model siklus belajar (Learning
cycle model), model pembelajaran generative (generative learning model), model
pembelajaran interaktif (interactive learning model), model CLIS (Children learning
in science), dan model strategi pembelajaran kooperatif atau CLS (Cooperative
learning strategies). Masing-masing model tersebut memiliki kekhasan tersendiri,
tetapi semuanya mengembangkan kemampuan struktur kognitif untuk membangun
pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional. Kekhasn model-model tersebut
tampak pada tahapan kegiatan pembelajaran yang dilakukan.
Selanjutnya Tytler (1996: 11-17) dalam buku Materi dan Pembelajaran IPA SD
menyatakan bahwa setiap model memiliki fase-fase dengan istilah yang berbeda,
tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu: (a) menggali gagasan siswa,
(b) mengadakan klarifikasi dan perluasan terhadap gagasan tersebut, kemudian (c)
merefleksikannya secara eksplisit. Perbandingan fase-fase dari model-model tersebut
tampak pada table dibawah ini.
E. CONTOH MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Salah satu contoh yang disarankan adalah memulai dari apa yang menurut siswa hal
yang biasa, padahal sesungguhnya tidak demikian. Perlu diupayakan terjadinya
situasi konfik pada struktur kognitif siswa. Contohnya mengenai cecak atau cacing
tanah. Mereka menduga cecak atau cacing tanah hanya satu macam, padahal
keduanya terdiri lebih dari satu genus (bukan hanya berbeda species). Berikut ini akan
dicontohkan model untuk pembelajaran mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap
dalam pembelajaran kntruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)
Fase Eksplorasi
Diperlihatkan tanah berisi cacing dan diajukan pertanyaan: Apa yang kau ketahui
tentang cacing tanah?.
Semua jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan tulis jika perlu).
Siswa diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan yang sesungguhnya, dan diberi
kesempatan untuk merumuska hal-hal yang tidak sesuai dengan jawaban mereka
semula.
Fase Klarifikasi
Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
Siswa merumuskan kembali pengetahuan mereka tentang cacing tanah.
Guru memberikan masalah berupa pemilihan cacing yang cocok untuk
dikembangbiakkan.
Siswa mendiskusikannya secara berkelompok dan merencanakan penyelidikan.
Secara berkelompok siswa melakukan penyelidikan untuk menguji rencananya.
Siswa mencari tambahan rujukan tentang manfaat cacing tanah dulu dan sekarang.
Fase Aplikasi
Secara berkelompok siswa melaporkan hasilnya, dilanjutkan dengan penyajian oleh
wakil kelompok dalam diskusi kelas.
Secara bersama-sama siswa merumuskan rekomendasi untuk para pemula yang
ingin ber-ternak cacing tanah.
Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang perkehidupan jenis cacing tanah
tertentu sesuai hasil pengamatannya.
KEUNGGULAN PENGGUNAAN KONSRUKTIVISTIK DI DALAM PEMBELAJARAN
IPA SEKOLAH DASAR
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengungkapkan ide atau gagasan dan mengintegerasikan dengan hasil
rekonstruksi pengetahuan yang mereka miliki dengan menggunakan bahasa siswa
sendiri.
Siswa memiliki kesempatan membagi dan berdiskusi serta saling bertukar
pengalaman yang berkaitan dengan mata pelajaran IPA kepada temannya.
pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir tentang
pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif, imajinatif, mendorong
refleksi tentang model dan teori, mengenalkan gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh kepercayaan diri
dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal maupun yang baru
dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai strategi belajar.
pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan perubahan
gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta memberi kesempatan siswa
untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang kondusif yang
mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari
kesan selalu ada satu jawaban yang benar.

Sumber :
http://www.idonbiu.com/2009/05/hakikat-pembelajaran-menurut-teori.html
http://pembelajaranguru.wordpress.com/2008/05/31/konstruktivisme-6-
keunggulan-penggunaan-pandangan-konstruktivisme-dalam-pembelajaran/
http://fip.uny.ac.id/pjj/wp-content/uploads/2008/02/inisiasi_pengembangan_
pembelajaran _ipa_1.pdf)
www.geocities.com/no_vyant/Ss_inisiasi_sem2/Inisiasi_Pemngembangan_
Pembelajaran_IPA_4.doc -)
http://latipduniailmiah.blogspot.com/2009/03/pembelajaran-ipa-sekolah-dasar-
sd.html
http://sahabatguru.wordpress.com/2010/01/04/strategi-pembelajaran-ipa-untuk-
sekolah-dasar-evi-afifah-hurriyatim-si-trainer-makmal-pendidikan/
http://edukasi.kompasiana.com/2010/07/01/strategi-pembelajaran-ipa-dengan-
pendekatan-konstruktivisme-bagi-kelas-v/

Rujukan:

http://febriaanisa.blogspot.my/2013/01/konstruktivistik-dalam-pembelajaran_27.html
Pendekatan Konstruktivisme dalam pembelajaran Sains
dikirimkan di Education, Sains, Society by anjarwinning

didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa
yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam
kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini
menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme
mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.


2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi
antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara
membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang
pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik
miknat pelajar.
Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan satu pendekatan yang didapati sesuai dipraktikkan dalam pengajaran dan
pembelajaran sains. Dalam pendekatan ini murid dianggap telah mempunyai idea yang tersendiri tentang
sesuatu konsep yang belum dipelajari. Idea tersebut mungkin benar atau tidak.
Konstruktivisme melibatkan lima fase, iaitu:
1. Guru meneroka pengetahuan sedia ada murid pada permulaan sesuatu pelajaran melalui soal jawab atau ujian.
2. Guru menguji idea atau pendirian murid melalui aktiviti yang mencabar idea atau pendiriannya.
3. Guru membimbing murid menstruktur semula idea.
4. Guru memberi peluang kepada murid mengaplikasikan idea baru yang telah diperoleh untuk menguji
kebenarannya.
5. Guru membimbing murid membuat refleksi dan perbandingan idea lama dengan idea yang baru diperoleh.
Prinsip-prinsip Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan suatu pendekatan p&p yang berdasarkan premis bahawa kognisi (pembelajaran)
diakibatkan oleh pembinaan mental. Dengan kata-kata lain, pelajar mempelajari dengan mencantumkan
maklumat baru dengan pengetahuan sedia adanya. Ahli konstruktivis menegaskan bahawa pembelajaran
dipengaruhi oleh konteks sesuatu idea diajar serta kepercayaan dan sikap pelajar.
Caine dan Caine (1991) menenaraikan 12 prinsip pembelajaran ala konstruktivisme:
1. Otak itu prosesor yang selari. Ia memproses banyak jenis maklumat termasuk fikiran, emosi dan pengetahuan
budaya. Pengajaran yang efektif menggunakan pelbagai strategi pengajaran.
2. Pembelajaran melibatkan keseluruhan fisiologi. Guru tidak boleh menumpukan kepada intelek sahaja.
3. Usaha untuk mencari makna bersifat semula jadi. Pengajaran efektif menyedari bahasa pengertian bagi
seseorang adalah personal dan unik, pemahaman seseorang pelajar bergantung kepada pengalaman uniknya.
4. Usaha untuk mencari makna berlaku melalui pencorakan. Pengajaran efektif menghubungkaitkan idea dan
maklumat dengan konsep dan tema global.
5. Emosi adalah kritikal kepada pencorakan. Pembelajaran dipengaruhi oleh emosi, perasaan dan sikap.
6. Otak memproses bahagian kecil dan keseluruhannya secara serentak. Orang menghadapi masalah
membelajari sesuatu jika bahagian kecil atau keseluruhan diabaikan.
7. Pembelajaran melibatkan perhatian berfokus dan persepsi keliling (peripheral). Pembelajaran dipengaruhi
oleh persekitaran, kebudayaan dan iklim.
8. Pelajaran melibatkan proses sedar dan tak sedar. Pelajar memerlukan masa untuk memproses apa dan
bagaimana isi pelajarannya.
9. Terdapat sekurang-kurangnya dua jenis ingatan: sistem ingatan ruang (spartial) dan sistem ingatan untuk
pembelajaran hafalan. Pengajaran yang terlalu mengutamakan pembelajaran hafalan tidak memajukan
pembelajaran ruang dan pembelajaran berasaskan pengalaman boleh menghalang pemahaman murid.
10. Pelajar memahami dan mengingati dengan baik jika fakta dan kemahiran diselitkan dalam ingatan natural
dan ruang. Pembelajaran eksperimen adalah paling efektif.
11. Pembelajaran diperkuatkan oleh cabaran dan dibantutkan oleh ancaman. Iklim bilik darjah harus mencabar
tetapi tidak mengugut pelajar.
12. Setiap otak adalah unik. Pengajaran mestilah dipelbagaikan agar murid-murid dapat menyatakan
kecenderungan masing-masing.
Filsafat Kontruktivis dan Pembelajaran Kontekstual
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa pendekatan baru dalam pembelajaran matematika yang relevan dengan
paradigma baru pendidikan sebagaimana dijelaskan di atas. Pedekatan terebut adalah: konstruktivis dan
pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).
Konstruktivis
Menurut faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu
(skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema
sendiri tentang apa yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi
proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga terbentuk suatu skema (jamak:
skemata) yang baru. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan
terus-menerus (Suparno, 1997).
Prinsip-prinsip kontruktivisme banyak digunakan dalam pembelajaran sains dan matematika. Prinsip-prinsip
yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial, (2)
pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya dengan keaktifan siswa sendiri untuk
menalar, (3) murid aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju
konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, (4) guru sekadar membantu penyediakan
sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus (Suparno, 1997).
Menurut filsafat konstruktivis berpikir yang baik adalah lebih penting daripada mempunyai jawaban yang benar
atas suatu persoalan yang dipelajari. Seseorang yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara
berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomen baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam
menghadapi persoalan lain (Suparno, 1997).
Seringkali diungkapkan bahwa menurut paradigma baru pendidikan peran guru harus diubah, yaitu tidak
sekedar menyampaikan materi pelajaran kepada para siswanya, tetapi harus mampu menjadi mediator dan
fasilitator. Fungsi mediator dan fasilitator dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.
1. Menyediakan pengalaman belajar yang memeungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat
rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu memberi ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
2. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu
mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka (Watt & Pope,
1989). Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif. Menyediakan kesempatan dan
pengalaman yang paling mendukung proses belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu
menyediakan pengalaman konflik (Tobin, Tippins, & Gallard, 1994).
3. Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si siswa jalan atau tidak. Guru menunjukkan
dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa. (Suparno, 1997).
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan
juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar.
1. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan
pikirkan.
2. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa sungguh terlibat.
3. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan
dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah pelajar.
4. Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa bahwa mereka
dapat belajar.
5. Guru perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa,
karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru. (Suparno, 1997).
Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual berangkat dari suatu kenyakinan bahwa seseorang tertarik untuk belajar apabila ia
melihat makna dari apa yang dipelajarinya. Orang akan melihat makna dari apa dipelajarinya apabila ia dapat
menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan dan pengelamannya terdahulu. Sistem
pembelajaran kontekstual didasarkan pada anggapan bahwa makna memancar dari hubungan antara isi dan
konteksnya. Konteks memberi makna pada isi. Lebih luas konteks, dalam mana siswa dapat membuat
hubungan-hubungan, lebih banyak makna isi ditangkap oleh siswa. Bagian terbesar tugas guru, dengan
demikian, adalah menyediakan konteks. Apabila siswa dapat semakin banyak menghubungkan pelajaran
sekolah dengan konteks ini, maka lebih banyak makna yang akan mereka peroleh dari pelajaran-pelajaran
tersebut. Menemukan makna dalam pengetahuan dan ketrampilan membawa pada penguasaan pengetahuan dan
ketrampilan tersebut (Johnson, 2002).
Ketika siswa menemukan makna dari pelajaran di sekolah, mereka akan memahami dan mengingat apa yang
telah mereka pelajari. Pembelajaran konteksual memungkina siswa mampu menghubungkan pelajaran di
sekolah dengan konteks nyata dalam kehidupan sehari-hari sehingga mengetahui makna apa yang dipelajari.
Pembelajaran kontekstual memperluas konteks pribadi mereka, sehingga dengan menyediakan pengalaman-
pengalaman baru bagi para siswa akan memacu otak mereka untuk membuat hubungan-hubungan yang baru,
dan sebagai konsekuensinya, para siswa dapat menemukan makna yang baru (Johnson, 2002).
Pembelajaran kontekstual merupakan sistem yang holistik (menyeluruh). Ia terdiri dari bagian-bagian yang
saling berkaitan, yang apabila dipadukan akan menghasilkan efek yang melebihi apa yang dapat dihasilkan oleh
suatu bagian secara sendiri (tunggal). Persis seperti biola, celo, klarinet dan alat musik yang lain dalam suatu
orkestra yang mempunyai suara yang berbeda, tetapi secara bersama-sama alat-alat musik tersebut
menghasilkan musik. Jadi, bagian-bagian yang terpisah dari CTL melibatkan proses yang berbeda, apabila
digunakan secara bersama-sama, memungkinkan siswa membuat hubungan untuk menemukan makna. Setiap
elemen yang berbeda dalam sistem CTL memberikan kontribusi untuk membantu siswa memahami makna
pelajaran atau tugas-tuga sekolah. Digabungkan, elemen-elemen tersebut membentuk suatu siswa yang
memungkinkan siswa melihat makna dari pelajaran sekolah, dan menyimpannya (Johnson, 2002).
Dari uraian di atas, CTL didefinisikan sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat
makna dari pelajaran sekolah yang sedang mereka pelajari dengan menghubungkan pelajaran tersebut dengan
konteksnya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, sosial, maupun budaya. Untuk mencapai tujuan
itu, sistem tersebut meliputi delapan komponen: (1) membuat hubungan yang bermakna, (2) melakukan
pekerjaan yang berarti, (3) pengaturan belajar sendiri, (4) kolaborasi, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6)
mendewasakan individu, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian autentik. (Johnson,
2002).
MODUL 8MODEL-MODEL PEMBELAJARAN IPA
Kegiatan Belajar 1Konstruktivisme dalam Pembelajaran IPA
Tugas guru dalam mengajar terutama adalah membantu transfer belajar. Tujuan melakukan transfer belajar
adalah menerapkan hal-hal yang sudah dipelajari ada situasi baru. Caranya dengan menjadikannya lebih bersifat
umum. Terdapat perbedaan mendasar antara pendapat penganut teori belajar perilaku dengan penganut teori
belajar kognitif. Perbedaan tersebut terutama dalam hal perubahannya. Menurut teori belajar perilaku belajar
melibatkan perubahan perilaku, sedangkan menurut teori belajar kognitif belajar melibatkan perubahan
pemahaman. Pandangan konstruktivis lebih menekankan belajar sebagai upaya membangun konsep atau
argumen yang harus dilakukan sendiri oleh siswa yang belajar (dengan bantuan guru atau orang dewasa).
Konsepsi awal siswa mendapat perhatian dalam pembelajaran berdasarkan pandangan konstruktivis. Tugas guru
adalah menciptakan situasi konflik setelah siswa mengemukakan gagasannya, dan memberi kesempatan kepada
siswa untuk melakukan eksperimen atau observasi (atau membaca) melalui interaksi sosial, mengemukakan
konsepsi barunya dan menerapkannya pada situasi baru. Agar belajar IPA menjadi bermakna, maka perlu ada
konteks ekologi konsepsi yang sesuai, seperti rasa tidak puas pada anak dengan gagasan yang dimilikinya;
gagasan baru yang dapat dimengerti (inteligible); konsepsi baru yang masuk akal (plausible); dan konsepsi baru
yang bermanfaat (fruitful).
B.Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran IPA
Konstruktivis adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi kita sendiri (Von Glaserfelt dalam
Suparno, 1997). Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan, bahwa
anak-anak diberi kesempatan agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar
secara sadar, sedangkan guru yang membimbing siswa ke tingkat pengetahuan
yang lebih tinggi (Slavin, 1994; Abruscato, 1999).
Ide pokoknya adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka
sendiri, otak siswa sebagai mediator, yaitu memproses masukan dari dunia luar
dan menentukan apa yang mereka pelajari. Pembelajaran merupakan kerja mental
aktif, bukan menerima pengajaran dari guru secara pasif. Dalam kerja mental
siswa, guru memegang peranan penting dengan cara memberikan dukungan,
tantangan berfikir, melayani sebagai pelatih atau model, namun siswa tetap
merupakan kunci pembelajaran (Von Glaserfelt dalam Suparno, 1997; Abruscato,
1999).
Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa agar secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberikan kepada siswa atau peserta didik anak tangga yang membawa
siswa akan pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri harus
memanjat anak tangga tersebut (Slavin, 1994).
Pada bagian ini akan dikemukakan dua teori yang melandasi pendekatan
konstruktivis dalam pembelajaran IPA yaitu Teori Perkembangan Kognitif
Piaget, dan Teori Perkembangan Mental Vygotsky.
Diposkan oleh Damaskus Beny di Yogyakarta 05.22.artikel ini disadur dari
: http://sungebanjur.blogspot.com/2008/12/pendekatan-konstruktivisme-dalam.html

Rujukan:

https://magicalsains.wordpress.com/2013/05/20/pendekatan-konstruktivisme-dalam-
pembelajaran-sains/

Anda mungkin juga menyukai