Anda di halaman 1dari 9

Kekerasan pada anak adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan, dapat secara fisik, emosional,

penyalahgunaan seksual, pelalaian, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan
kerugian yang nyata terhadap kesehatan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan martabat anak dan
dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.

Jenis-jenis kekerasan pada anak, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan
emosional. Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang menghasilkan luka yang bukan disebabkan oleh
kecelakaan. Kondisi ini dapat terjadi akibat hukuman fisik. Kekerasan emosional yaitu perilaku yang
menimbulkan trauma psikologis pada anak, misalnya menghina, merendahkan, dan mengancam anak.

Kasus kekerasan anak di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Data dari PKT-
RSCM, dari tahun 2000 sampai 2009 terdapat 2330 anak yang mengalami kekerasan seksual, terdiri dari
1206 (51,75%) kasus perkosaan anak perempuan, 964 (41,37%) kasus kekerasan seksual lain anak
perempuan, dan 160 (6,88%) kasus kekerasan seksual anak laki-laki. Komisi Perlindungan Anak
Indonesia beserta beberapa lembaga perlindungan anak lainnya melaporkan bahwa dari Januari sampai
Juni 2008 terdapat 21.000 kasus kekerasan anak, dan sebanyak 12.000 anak (62,7%) merupakan korban
kekerasan seksual. Korban terbanyak adalah anak usia 12-16 tahun, sedangkan pelaku terbanyak adalah
orang yang tidak memiliki hubungan keluarga dengan korban. Tempat kejadian tersering adalah di
rumah.

Pada kasus kekerasan pada anak beberapa faktor risiko dapat ditemukan, baik dari segi anak,
orangtua maupun dari lingkungan masyarakat. Faktor masyararakat di antaranya adalah tingkat
kriminalitas, kemiskinan, dan pengangguran yang tinggi, perumahan yang padat dan kumuh, adat-istiadat
mengenai pola asuh anak, serta pengaruh media massa. Faktor orang tua atau keluarga di antaranya
adalah riwayat orang tua dengan kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil, orang tua remaja, orang
tua dengan imaturitas emosi, adanya kekerasan dalam rumah tangga, riwayat depresi atau masalah
kesehatan mental lainnya, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat penggunaan zat dan obat-obatan
terlarang atau alkohol. Faktor anak adalah adanya vulnerable children, yaitu anak dengan cacat fisik,
cacat mental, anak yang tidak diinginkan, anak yang memiliki riwayat kekerasan sebelumnya, anak dari
orang tua tunggal, anak dari orang tua pecandu obat-obatan terlarang, anak kandung sendiri, dan anak
dengan kepercayaan diri serta prestasi yang rendah. Anak dengan kondisi di atas memiliki risiko lebih
besar untuk memperoleh kekerasan seksual. Pada kasus tindak kekerasan pada anak, faktor-faktor risiko
tersebut dapat memberikan kontribusi baik sebagai faktor risiko tunggal maupun kontribusi dari beberapa
faktor risiko. Hal tersebut dapat menerangkan patogenesis terjadinya tindak kekerasan pada anak.
Tindak kekerasan pada anak dapat berupa kekerasan seksual (sexual abuse), yaitu penganiayaan
seksual dimana terdapat hubungan ketergantungan pada kegiatan seksual antara pelaku terhadap anak
yang perkembangannya belum matang dan belum menyadari betul sehingga anak tidak dapat menyetujui.
Tindakan ini meliputi incest, perkosaan dan pedofilia, yang meliputi tindakan meraba-raba (fondling),
kontak oral genital, bersetubuh atau penetrasi, eksibisionisme, veyorisme, eksploitasi atau prostitusi, dan
produksi pornografi yang menggunakan anak.

Kekerasan Fisik adalah perbuatan yang menghasilkan luka/trauma yang tidak terjadi oleh karena
kecelakaan. Kondisi ini dapat terjadi sebagai akibat hukuman fisik. Penganiayaan fisik tersering
dilakukan oleh pengasuh atau keluarga dan dapat pula oleh orang asing bagi si anak. Manifestasi yang
biasanya ditemukan meliputi memar, luka bakar, patah tulang, trauma kepala, dan cedera pada perut.

Kekerasan psikis atau emosi adalah perilaku yang menimbulkan trauma psikologis pada anak
(menghina, merendahkan, mengancam, dan sebagainya). Sebagian besar kasus kekerasan psikis atau
emosi menyertai kejadian tindak kekerasan fisik atau kekerasan seksual pada anak.

Hal yang mudah bila ditemukan luka yang tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat dipercaya. Jika
luka tidak sesuai dengan cerita yang diberikan atau dengan perkembangan anak, kecurigaan kekerasan
harus dilaporkan. Ketika anak sakit atau terluka, orang tua akan membawa mereka secepatnya untuk
diperiksa. Terlambatnya mencari pertolongan medis meningkatkan kecurigaan ke arah penganiayaan atau
penelantaran. Memar adalah gejala yang paling sering ditemukan pada child abuse dan dapat ditemukan
di berbagai tempat di permukaan tubuh. Memar yang tidak disengaja, dari trauma benturan adalah yang
paling sering ditemukan pada permukaan yang tipis di atas tulang seperti tulang kering, lengan bawah,
dagu, dan alis. Memar pada bokong, punggung, genitalia, telinga, dan telapak tangan lebih jarang
disebabkan karena kecelakaan. Anak dapat diracuni, dipukul, dibenturkan, dibakar, digigit, dicakar, atau
ditusuk. Dari bentuk, kedalaman dan tipe luka dapat diketahui obyek yang digunakan. Tongkat, ikat
pinggang, tangan, atau alat lain meninggalkan tanda yang spesifik. Memar yang baru biasanya berwarna
biru, atau merah-keunguan. Memar yang sudah lama berwarna kuning, hijau, atau coklat. Memar dengan
warna yang beragam di permukaan tubuh yang sama biasanya tidak sesuai dengan satu kejadian. Kulit
yang gelap menyamarkan memar.
Tanda anak yang diabaikan (neglect) dapat berupa anak yang sering absen dari sekolah, mencuri
atau mengemis makanan atau uang, atau kurang terpenuhinya kebutuhan perawatan gigi serta imunisasi.
Anak juga sering terlihat kotor, bau, dan merokok. Pada orang tua dapat terlihat orang tua yang depresi,
berperilaku aneh atau irasional, merokok, atau menggunakan obat-obatan.

Pada anak perlu dipikirkan mengalami pelecehan seksual (sexual abuse) jika terdapat perilaku
seksual, gangguan tidur, timbul fobia, prestasi sekolah menurun, enuresis (mengompol), atau enkopresis
(BAB tidak pada tempatnya). Anak juga dapat mengeluh nyeri, gatal, kemerahan, adanya sekret, atau
perdarahan. Adanya kutu pada bulu mata juga perlu dicurigai adanya sexual abuse. Bila dijumpai tanda
dan gejala seperti itu, segera periksakan ke dokter dan mencari pertolongan segera.

Tindakan pencegahan terjadinya kekerasan pada anak sebaiknya dimulai sejak dini, dimulai dari
kontak antara ibu dengan anak sejak dalam kandungan dan setelah lahir. American Academy of Pediatrics
merekomendasikan orangtua untuk mencari cara lain selain memukul dalam mendisiplinkan anaknya,
karena hal itu dapat mengakibatkan kecenderungan perilaku agresif pada anak, serta meningkatkan risiko
terjadinya tindakan kriminal dan penggunaan zat terlarang pada anak saat dewasa.

Penulis:
Rini Sekartini (UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial)

Sumber: http://idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/bagaimana-mencurigai-tindak-
kekerasan-pada-anak-child-abuse

1. Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Anak Dalam Rumah Tangga


Kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan
seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi
seksual, serta trafficking jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap
anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau mereka
yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga
dekat, dan guru. Dampak yang terjadi akibat kekerasan tersebut mungkin saja diingat dalam jangka
panjang oleh anak hingga ia merajak dewasa. Dan tidak menutup kemungkinan kekerasa yang terjadi
menimpanya akan ia lakukan juga terhadap anaknya nanti. Selama ini, berbagai kasus telah membuktikan
bahwa terjadinya kekerasan terhadap anak sering disertai dengan penelantaran terhadap anak. Baik
penganiayaan terhadap anak maupun penelantaran terhadap anak dapat memberikan dampak pada
kesehatan fisik dan kesehatan mental anak Dampak terhadap kesehatan fisik bisa berupa : luka memar,
luka-luka simetris di wajah (di kedua sisi), punggung, pantat dan tungkai. Luka yang disebabkan karena
suatu kecelakaan biasanya tidaklah memberikan gambaran yang simetris. Dari segi tingkah lahu anak-
anak yang sering mengalami penganiayaan sering menunjukkan : penarikan diri, ketakutan atau mungkin
juga tingkah laku agresif, emosi yang labil. Mereka juga sering menunjukkan gejala depresi, jati diri yang
rendah, kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya, menjadi
bersifat keras, gangguan stress pasca trauma dan terlibat dalam penggunaan zat adiktif.

2. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga
Perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi tanggung
jawab seluruh komponen bangsa. Perlindungan hukum tidak hanya pengaturan mengenai sanksi pidana
kepada pelaku, melainkan juga mengatur tentang proses tuntutan hukumnya (hukum formil/acara),
kompensasi, pemihan dan pengamanan diri korban yang telah di atur di dalam Peraturan perundang-
undangan Indonesia seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga
yang bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan memberikan
perlindungan hukum bagi korban kekerasan dalam rumah tangga.7 Berdasarkan Pasal 20 UU
Perlindungan Anak menyatakan bahwa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.
Selanjutnya mengenai perlindungan dan tanggungjawab terhadap anak diuraikan dalam Pasal 21 dan 25
UU Perlindungan Anak. UU No. 23 Tahun 2004 pada ketentuan Pasal 2 juga mencakup mengenai
perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga. Penjatuhan pidana yang diutamakan
adalah pelaku sebagai bentuk tanggungjawab dari perbuatan yang dilakukannya dengan dipenjara sekian
tahun, korban hanya dapat menerima tindakan pembalasan tersebut dengan penjatuhan hukuman yang
diberikan hakim kepada pelaku. Setelah mendapat putusan yang bersifat incracht dari pengadilan, si anak
sebagai korban dikembalikan pada orangtuanya tanpa direhabilitasi. Kemudian dalam hal medis, seperti
melakukan perawatan (kalau terdapat luka fisik), dan visum anak sebagai korban dibebani biaya sendiri.
Dalam hal ini anak tidak memperoleh ganti kerugian seperti restitusi maupun kompensasi dan bantuan
hukum lainnya.????????????????????????????????????????????????????

FAKTOR RISIKO CAN


Faktor risiko (ISPCAN akhir-akhir ini menggunakan istilah indikator risiko) adalah faktor-faktor yang
dapat berkontribusi untuk terjadinya suatu masalah atau kejadian. Variabel dalam faktor risiko secara
signifikan/bermakna mempunyai asosiasi dengan hasil akhir yang buruk. Sedangkan dampak adalah hasil
akhir dari suatu proses atau masalah. Dampak dapat dibagi menjadi dampak langsung atau dampak tidak
langsung; dampak saat ini (akut) dan dampak jangka panjang (kronik).
Faktor-faktor risiko terhadap kejadian child abuse dapat ditinjau dari 3 aspek, yaitu faktor masyarakat
atau sosial, faktor orang tua atau situasi keluarga dan faktor anak. Faktor-faktor risiko tersebut adalah:
1. Faktor masyarakat / sosial
Tingkat kriminalitas yang tinggi
Layanan sosial yang rendah
Kemiskinan yang tinggi
Tingkat pengangguran yang tinggi
Adat istiadat mengenai pola asuh anak
Pengaruh pergeseran budaya
Stres para pengasuh anak
Budaya memberikan hukuman badan kepada anak
Pengaruh media massa

2. Faktor orangtua atau situasi keluarga


Riwayat orang tua dengan kekerasan fisik atau seksual pada masa kecil

Orangtua atau orang dewasa yang pernah mengalami penganiayaan di


masa kecilnya dapat beranggapan bahwa tindakan tersebut wajar
dilakukan terhadap anak.

Orang tua remaja


Imaturitas emosi
Kurangnya kemampuan merawat anak
Kepercayaan diri yang rendah
Dukungan sosial rendah
Keterasingan dari masyarakat
Kemiskinan
Kepadatan hunian (rumah tempat tinggal)
Masalah interaksi dengan lingkungan
Kekerasan dalam rumah tangga
Riwayat depresi dan masalah kesehatan mental lainnya (ansietas, skizoprenia, dll)
Mempunyai banyak anak balita
Kehamilan yang tidak diinginkan
Riwayat penggunaan zat atau obat-obatan terlarang (NAPZA) atau alkohol

Orangtua yang kecanduan narkotik/zat adiktif lainnya, serta yang menderita gangguan
mental seringkali tidak dapat berfikir dan bertindak wajar dalam banyak hal, termasuk
masalah mengasuh dan mendidik anak. Mereka cenderung melakukan tindak kekerasan atau
menelantarkan anak.

Kurangnya dukungan sosial bagi keluarga


Diketahui adanya riwayat child abuse dalam keluarga
Kurangnya persipan menghadapi stress saat kelahiran anak
Kehamilannya disangkal
Orangtua tunggal
Riwayat bunuh diri pada orangtua / keluarga
Pola asuh dan mendidik anak

Orang tua yang tidak mengetahui cara yang baik dan benar dalam mengasuh dan mendidik
anak, akan cenderung memperlakukan anak secara salah.

Nilai nilai hidup yang dianut orangtua

Harapan orangtua yang terlampau tinggi tanpa mengetahui batas kemampuan anak adalah hak
milik, pandangan bahwa anak merupakan aset ekonomi bagi orangtua

Kurangnya pengertian mengenai perkembangan anak

Kurangnya pengetahuan mengenai perkembangan anak, menyebabkan


orangtua tidak mengerti akan kebutuhan dan kemampuan anak sesuai
umurnya, sehingga memperlakukan anak secara salah.

3. Faktor anak
Prematuritas
Berat badan lahir rendah
Cacat
Anak dengan masalah perilaku / emosi

Anda mungkin juga menyukai