Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DERMATOVENEROLOGI

Oleh :

Tria Claresia Bungarisi, S.Ked


H1AP10004

Pembimbing :
dr. Sabrina YST.

KEPANITERAAN KLINIK DERMATOVENEROLOGI


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2017
DAFTAR ISI

COVER i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2

Definisi 2

Patofisiologi 2

Etiologi 3

Manifestasi Klinis 5

Diagnosis 5

Diagnosis Banding 8

Penatalaksanaan 10

Prognosis 11

BAB III KESIMPULAN 12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang
mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari
ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat
menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu
kegawatdaruratan penyakit kulit.1

Stevens Johnson Syndrome pertama diketahui pada tahun 1922 oleh dua dokter, dr.
Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak
dapat menentukan penyebabnya.2

Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk penyakit ini, diantaranya Ektoderma
Erosive Pluriorifisialis, Sindroma Mukokutanea-Okuler, Eritema Multiformis tipe
Hebra, Eritema Mulitiforme Exudatorum dan Eritema Bulosa Maligna. Meskipun
demikian yang umum digunakan ialah Sindroma Stevens Johnson.1

Kejadian SJS di dunia cenderung meningkat. Penyebabnya belum diketahui dan


diperkirakan dapat terjadi secara multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap
sering ialah alergi sistemik terhadap obat. Di negara barat, beberapa obat yang
ditemukan sering menjadi penyebab terjadinya sindroma ini adalah obat-obatan
golongan Non Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) dan sulfonamid. Sedangkan
di negara timur, obat yang lebih sering menginduksi terjadinya SJS adalah golongan
karbamazepin.3 Selain itu, obat alopurinol juga diketahui merupakan penyebab
tersering terjadinya SJS di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Malaysia,
Singapura, Taiwan, dan Hongkong.4

Di Indonesia sendiri tidak terdapat data pasti mengenai morbiditas terjadinya Stevens
Johnson Syndrome. Namun, berdasarkan data oleh Djuanda beberapa obat yang sering
menyebabkan SJS di Indonesia adalah obat golongan analgetik/antipiretik (45%),
karbamazepin (20%), jamu (13.3%) dan sisanya merupakan golongan obat lain seperti
amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, dan seftriakson.5

1
Karena menimbulkan gejala yang serius secara akut, Stevens Johnson Syndrome
seringkali dianggap sebagai suatu tindakan malpraktik medis oleh dokter kepada
pasiennya. Padahal sesungguhnya SJS merupakan sindroma yang bisa terjadi kapan saja
kepada pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
Stevens Johnson Syndrome dan bagaimana penanganan yang tepat apabila sindroma ini
terjadi pada pasien.

2
BAB II

ISI

2.1. Definisi
Stevens Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai oleh trias
kelianan kulit, mukosa orifisium serta mata disertai dengan gejala umum berat.
Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity,
atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III.

Gejala prodromal dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan terdapat sputum
purulen, sakit kepala, malaise, dan arthralgia.

Pasien mungkin mengeluhkan ruam pembakaran yang dimulai secara simetris pada
wajah dan bagian atas dari torso tubuh. Selain itu, ada beberapa tanda dari keterlibatan
kulit dalam SJS, antara lain:

a. Eritema
b. Edema
c. Sloughing
d. Blister atau vesikel
e. Ulserasi
f. Nekrosis.4

2.2. Patofisiologi

Patofisiologi SJS sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan
reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks
soluble dari antigen atau metaboliknya dengan antibody IgM dan IgG, serta reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV) yang merupakan reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang
spesifik.6 Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang
membentuk mikropresipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya
terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisosim dan menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat

3
limposit T yang tersensitisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.1

Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM, IgA,
C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab berupa
hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik
sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat berupa
faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk yang
timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang
rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun
beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan
jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi. Kerusakan
jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang dihasilkannya.
Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat
pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya.
Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang akhirnya
menyebabkan kerusakan epidermis.7

Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi
seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan, stress hormonal
diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan
termoregulasi, kegagalan fungsi imun, dan infeksi.8

2.3. Etiologi

Penyebab pasti dari SJS ini idiopatik atau belum diketahui. Namun penyebab yang
paling sering terjadi ialah alergi sistemik terhadap obat yaitu reaksi berlebihan dari
tubuh untuk menolak obat-obatan yang masuk ke dalam tubuh. Ada pula yang
beranggapan bahwa sindrom ini merupakan Eritema Multiforme yang berat dan disebut
Eritema Multiforme Mayor, sehingga dikatakan mempunyai penyebab yang sama.1

Diperkirakan sekitar 75% kasus SJS disebabkan oleh obat-obatan dan 25% karena
infeksi dan penyebab lainnya.9 Paparan obat dan reaksi hipersensitivitas yang dihasilkan
adalah penyebab mayoritas yangsangat besar dari kasus SJS. Dalam angka absolut
kasus, alopurinol adalah penyebab paling umum dari SJS di Eropa dan Israel, dan

4
sebagian besar pada pasien yang menerima dosis harian setidaknya 200 mg.10

Sindrom ini juga dikatakan multifaktorial. Berikut merupakan beberapa faktor yang
dapat menyebabkan timbulnya SJS antara lain:

1. Obat-obatan
Alergi obat tersering adalah golongan obat analgetik (pereda nyeri) dan antipiretik
(penurun demam). Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan SJS antara
lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin,
Analgetik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat, Pirazolon, Metamizol,
Metampiron dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat (Fenobarbital),
Kinin Antipirin, Chlorpromazin, Karbamazepin dan jamu-jamuan.1
2. Infeksi
a. Virus, antara lain Herpes Simplex Virus, virus Epstein-Barr, enterovirus, HIV,
Coxsackievirus, influenza, hepatitis, gondok, lymphogranuloma venereum,
rickettsia dan variola.
b. Bakteri, antara lain Grup A beta-hemolitik streptokokus, difteri, brucellosis,
mikobakteri, Mycoplasma pneumoniae, tularaemia dan tifus.
c. Jamur, meliputi coccidioidomycosis, dermatofitosis dan histoplasmosis.
d. Protozoa, meliputi malaria dan trikomoniasis.9
3. Imunisasi
Terkait dengan imunisasi - misalnya, campak, hepatitis B.9
4. Penyebab lain :
a. Zat tambahan pada makanan (Food Additive) dan zat warna
b. Faktor Fisik: Sinar X, sinar matahari, cuaca dan lain- lain
c. Penyakit penyakit Kolagen Vaskuler
d. Penyakit-penyakit keganasan: karsinoma penyakit Hodgkins, Limfoma,
Myeloma, dan Polisitemia
e. Kehamilan dan Menstruasi
f. Neoplasma
g. Radioterapi.1

5
2.4. Manifestasi Klinis

Stevens Johnson Syndrome memiliki fase perjalanan penyakit yang sangat akut. Gejala
awal yang muncul dapat berupa demam tinggi, nyeri kepala, batuk berdahak, pilek,
nyeri tenggorokan, dan nyeri sendi yang dapat berlangsung selama 1-14 hari.1 Muntah
dan diare juga dapat muncul sebagai gejala awal.4 Gejala awal tersebut dapat
berkembang menjadi gejala yang lebih berat, yang ditandai dengan peningkatan
kecepatan denyut nadi dan laju pernapasan, rasa lemah, serta penurunan kesadaran.1

Adapun 3 kelainan utama yang muncul pada SJS, antara lain:

a. Kelainan pada kulit


Kelainan yang dapat terjadi pada kulit penderita sindrom Stevens-Johnson, antara
lain timbulnya ruam yang berkembang menjadi eritema, papula, vesikel, dan bula.1
Sedangkan tanda patognomonik yang muncul adalah adanya lesi target atau
targetoid lesions.
Berbeda dengan lesi target pada eritema multiforme, lesi target pada sindrom
Stevens-Johnson merupakan lesi atipikal datar yang hanya memiliki 2 zona warna
dengan batasan yang buruk. Selain itu, makula purpura yang banyak dan luas juga
ditemukan pada bagian tubuh penderita sindrom Stevens-Johnson.11 Lesi yang
muncul dapat pecah dan meninggalkan kulit yang terbuka. Hal tersebut
menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi sekunder.4

Gambar 2.1. Kelainan pada kulit

6
Pengelupasan kulit umum terjadi pada sindrom ini, ditandai dengan tanda Nikolsky
positif. Pengelupasan paling banyak terjadi pada area tubuh yang tertekan seperti
pada bagian punggung dan bokong. Apabila pengelupasan menyebar kurang dari
10% area tubuh, maka termasuk sindrom Stevens-Johnson. Jika 10-30% disebut
Stevens Johnson Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis (SJS-TEN). Serta jika
lebih dari 30% area tubuh, maka disebut Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).11,12

b. Kelainan pada mukosa


Kelainan pada mukosa sebagian besar melibatkan mukosa mulut dan esofageal,
namun dapat pula melibatkan mukosa pada paru-paru dan bagian genital.13 Adanya
kelainan pada mukosa dapat menyebabkan eritema, edema, pengelupasan,
pelepuhan, ulserasi, dan nekrosis.4
Pada mukosa mulut, kelainan dapat berupa stomatitis pada bibir, lidah, dan mukosa
bukal mulut. Stomatitis tersebut diperparah dengan timbulnya bula yang dapat
pecah sewaktu-waktu. Bula yang pecah dapat menimbulkan krusta atau kerak
kehitaman terutama pada bibir penderita.1 Selain itu, lesi juga dapat timbul pada
mukosa orofaring, percabangan bronkitrakeal, dan esofagus, sehingga
menyebabkan penderita sulit untuk bernapas dan mencerna makanan. Serta pada
saluran genitalurinaria sehingga menyulitkan proses mikturia atau buang air kecil.12

Gambar 2.2. Kelainan pada mukosa


c. Kelainan pada mata
Kelainan pada mata yang terjadi dapat berupa hiperemia konjungtiva. Kelopak
mata dapat melekat dan apabila dipaksakan untuk lepas, maka dapat merobek

7
epidermis. Erosi pseudomembran pada konjungtiva juga dapat menyebabkan
sinekia atau pelekatan antara konjungtiva dan kelopak mata. Seringkali dapat pula
terjadi peradangan atau keratitis pada kornea mata.4,13

Gambar 2.3. Kelainan pada mukosa mata

2.5. Diagnosis
Dokter sering dapat mengidentifikasi sindrom Stevens-Johnson berdasarkan riwayat
kesehatan, pemeriksaan fisik dan tanda-tanda khas gangguan dan gejala. Untuk
mengkonfirmasi diagnosis, dokter akan mengambil sampel jaringan kulit pasien (biopsi)
untuk diperiksa di bawah mikroskop.14
Infiltras sel dermal inflamasi yang minim dan nekrosis sel yang tebal juga luas di
epidermis merupakan temuan histopatologis yang khas yang dapat ditemui pada pasien
dengan Steven Johnson Syndrome. Pemeriksaan histopatologis lain dari kulit yang juga
dapat ditemukan antara lain:
a. Perubahan pertemuan epidermal-dermal mulai dari perubahan vacuolar lecet
subepidermal
b. Infiltrasi dermal: superfisial dan sebagian perivaskular
c. Apoptosis keratinosit
d. CD4+ T limfosit mendominasi dalam dermis, CD8 + T limfosit mendominasi di
epidermis; persimpangan dermoepidermal dan epidermis sebagian besar disusupi
oleh CD8+ T limfosit.4

8
Pemeriksaan mata dapat menunjukkan sebagai berikut:

a. Biopsi konjungtiva dari pasien dengan penyakit mata aktif menunjukkan sel-sel
plasma dan infiltrasi limfosit subepitel, limfosit juga hadir di sekitar dinding
pembuluh, sedangkan limfosit infiltrasi dominan adalah sel T Helper
b. Immunohistology konjungtiva mengungkapkan banyak sel HLA-DR-positif dalam
substantia propria, dinding pembuluh, dan epitel.4

Gambar 2.4. Gambaran histopatologi


2.6. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang merupakan diagnosa banding SJS:
1. Eritema multiformis (EM)
Bagian tubuh yang terkena EM ialah kulit dan kadang-kadang selaput lendir.
Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Yang dapat membedakan EM dengan
SJS ialah luas permukaan tubuh yang terkena. Pada EM ialah <10% sedangkan
pada SJS ialag >30%.
2. Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
Penyakit ini sangat mirip dengan Sindrom Stevens- Johnson. Pada NET terdapat
Epidemolisis (Epidermis terlepas dari dasarnya) yang menyeluruh dan keadaan
umum penderita biasanya lebih buruk/berat.
3. Eritroderma dan erupsi obat eritematosa
Eritema makulopapular yang umum dan simetris dari erupsi obat dapat meniru awal
SJS/NET. Namun, pada erupsi obat eritematosa keterlibatan mukosa kurang tapi
nyeri kulit pada TEN menonjol.
4. Erupsi Pustural Obat

9
Reaksi obat pustular, termasuk acute generalized exanthematous pustulosis
(AGEP), juga bisa menjadi berat dan mirip dengan gejala awal SJS/NET. AGEP
merupakan erupsi yang terdiri dari non-follicularly centered pustules yang sering
dimulai di leher dan daerah intertriginosa.
5. Erupsi Fototoksik
Erupsi fototoksik disebabkan oleh interaksi langsung bahan kimia dengan sinar
matahari yang dapat menjadi racun untuk kulit. Reaksi fototoksik paling umum
yang dibingungkan dengan SJS/NET adalah reaksi fototoksik yang terjadi akibat
pemakaian oral. Sebagai contoh, fluoroquinolones dapat menghasilkan reaksi
fototoksik, yang dapat menyebabkan pengelupasan epidermis luas.
6. Toxic shock syndrome
Toxic shock syndrome (TSS) yang klasik disebabkan oleh Staphylococcus aureus,
meskipun gangguan yang sama dapat disebabkan oleh racun rantai elaborasi dari
Grup A streptokokus. Dibandingkan dengan SJS/NET, TSS hadiah dengan
keterlibatan lebih menonjol dari beberapa sistem organ.
7. Staphylococcal scalded skin syndrome
SSSS dibedakan secara klinis dari SJS/NET terutama oleh epidemiologi dan dari
selaput lendir. Diagnosis didukung oleh pemeriksaan histologis, yang
mengungkapkan peluruhan hanya lapisan atas epidermis.15

2.7. Penatalaksanaan
Pasien harus ditangani dengan perhatian khusus pada jalan nafas dan stabilitas
hemodinamik, status cairan, luka/perawatan luka bakar, dan kontrol nyeri.
Menghentikan penggunaan obat-obatan yang mungkin menyebabkan hal itu adalah hal
yang paling penting dalam mengobati SJS. Karena sulit untuk menentukan mana obat
yang dapat menyebabkan masalah tersebut.4
Perawatan suportif
Saat ini tidak ada rekomendasi standar untuk mengobati SJS. Perawatan suportif
mungkin dapat di terima saat dirawat di rumah sakit meliputi:
a. Pengganti cairan dan nutrisi. Karena kehilangan kulit dapat mengakibatkan
kerugian yang signifikan cairan dari tubuh, menggantikan cairan merupakan bagian
penting dari pengobatan.

10
b. Perawatan luka, kompres basah akan membantu menenangkan lecet saat mereka
sembuh. Tim medis akan mengeliminasi kulit mati, dan kemudian menempatkan
krim dengan anestesi topikal di atas area yang terkena, jika diperlukan.
c. Perawatan mata, karena risiko kerusakan mata, pengobatan harus mencakup
konsultasi dengan seorang spesialis mata (ophthalmologist).4
Obat-obatan yang biasa digunakan dalam pengobatan SJS meliputi:
a. Obat nyeri untuk mengurangi ketidaknyamanan
b. Antihistamin untuk meredakan gatal
c. Antibiotik untuk mengendalikan infeksi, bila diperlukan
d. Steroid topikal untuk mengurangi peradangan kulit.4
Selain itu, salah satu dari jenis berikut obat yang saat ini sedang dipelajari dalam
pengobatan SJS:
a. Kortikosteroid intravena
Untuk orang dewasa, obat ini dapat mengurangi keparahan gejala dan
mempersingkat waktu pemulihan jika dimulai dalam satu atau dua hari ketika
gejala muncul pertama kali. Untuk anak-anak, mereka dapat meningkatkan risiko
komplikasi.
b. Imunoglobulin intravena (IVIG)
Obat ini mengandung antibodi yang dapat membantu sistem kekebalan tubuh Anda
menghentikan proses SJS.
c. Pencangkokan kulit
Jika area besar tubuh Anda terpengaruh, pencangkokan kulit, yaitu menghilangkan
kulit dari satu area tubuh dan melampirkan ke lain atau menggunakan pengganti
kulit sintetis mungkin diperlukan untuk membantu penyembuhan. Perawatan ini
jarang diperlukan.
Jika penyebab SJS dapat dihilangkan dan reaksi kulit berhenti, kulit Anda mungkin
mulai tumbuh lagi dalam beberapa hari. Dalam kasus yang parah, pemulihan penuh
mungkin memakan waktu beberapa bulan.4

2.8. Prognosis
Pada kasus SJS kematian dilihat dari tingkat pengelupasan kulit. Ketika permukaan
tubuh mengelupas kurang dari 10% itu menandakan presentase tingkat kematianya

11
adalah sekitar 1-5%. Namun ketika pengelupasan kulit lebih dari 30% maka tingkat
presentase kematiannya adalah sekitar 25-35% bahkan bisa mencapai 50%.
Selain pengelupasan di kulit pada kasus SJS ini bisa dilihat juga dari variabel yang
berhubungan dengan usia penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar
glukosa, kadar BUN dan tingkat bikarbonat. Untuk usia penderita biasanya lebih dari 40
tahun selain itu bisa juga dilihat dari keganasan yang ditimbulkan, denyut jantung >120,
kadar glukosa >14 mmol / L, kadar BUN >10 mmol / L, dan tingkat bikarbonatnya <
20 mmol / L.
Di setiap variabel ini kita berikan nilai 1 point, dari variabel itu kita bisa melihat tingkat
mortalitasnya adalah sebagai berikut: untuk skor 0-1 presentasenya adalah 3.2%, skor 2
presentasenya adalah 12.1% , skor 3 presentasenya adalah 35.3%, skor 4 presentasenya
adalah 58.3%, skor 5 atau lebih presentasenya adalah 90%.4

12
BAB III

SIMPULAN

Stevens Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu sindroma atau kumpulan gejala yang
mengenai kulit, selaput lendir, dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari
ringan sampai berat. Adapun gejala dari SJS dapat berupa batuk yang produktif dan
terdapat sputum purulen, sakit kepala, malaise, arthralgia, disertai dengan kelainan yang
terjadi pada kulit, mukosa, dan mata.

Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian,
oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawatdaruratan penyakit kulit.
Sindroma ini merupakan salah satu contoh immune-complex-mediated hypersensitivity,
atau yang juga disebut reaksi hipersensitivitas tipe III, di mana kejadiaannya dapat
diinduksi oleh paparan obat, infeksi, imunisasi, maupun akibat paparan fisik lain kepada
pasien.

Karena berisiko menimbulkan kematian, perawatan dan pengobatan pasien SJS sangat
membutuhkan penanganan yang tepat dan cepat. Adapun terapi yang bisa diberikan
antara lain perawatan terhadap kulit dan penggantian cairan tubuh, perawatan terhadap
luka, serta perawatan terhadap mata. Obat-obatan yang dapat diberikan antara lain, obat
penghilang nyeri, antihistamin untuk meringankan reaksi hipersensitivitas, antibiotik
apabila terjadi infeksi, dan steroid topikal untuk mengobati peradangan kulit.

Kelangsungan hidup pasien Stevens Johnson Syndrome bergantung pada tingkat


pengelupasan kulit, di mana apabila pengelupasan kulit semakin meluas, maka
prognosisnya dapat menjadi semakin buruk. Selain itu, variabel lain seperti dengan usia
penderita, keganasan penyakit tersebut, denyut jantung, kadar glukosa, kadar BUN dan
tingkat bikarbonat juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup pasien.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Monica. Sindrom Stevens-Johnson. Didapat dari: http://elib.fk.uwks.ac.id/.


Diakses pada: 2 Juni 2017.
2. Adithan C. Stevens-Johnson syndrome in drug alert. Department of
Pharmacology. JIPMER. 2016;2(1). Didapat dari: http//www.jipmer.edu. Diakses
tanggal: 2 Juni 2017.
3. Fernando SL, Broadfoot AJ. Prevention of severe cutaneous adverse drug
reactions: the emerging value of pharmacogenetic screening. CMAJ.
2013;182(5):476-80.
4. Foster CS. Stevens-Johnson syndrome. Medscape. 2016. Didapat dari:
http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 2 Juni 2017.
5. Djuanda A. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5.
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007:163-5.
6. NN. Sindrom Steven - Johnson. Didapat dari: http://childrenallergyclinic.gov.au
Diakses pada: 2 Juni 2017.
7. NN. Sindrom Steven-Johnson, manifestasi klinis, dan penanganannya. Didapat
dari: http://allergyclinic.co.uk Diakses pada: 2 Juni 2017.
8. Curtis, Julia A. et al. 2016. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis treatments. American Academy of Dermatology. 74(2): 379-380
9. Vinas, Miguel et al. 2014. Atypical StevensJohnson syndrome. American
Academy of Dermatology. 70(5): AB37
10. Halevy S, Ghislain PD, Mockenhaupt M, Fagot JP, Bouwes Bavinck JN, Sidoroff
A, Naldi L, Dunant A, Viboud C, Roujeau JC: Allopurinol is the most common
cause of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in Europe and
Israel. J Am Acad Dermatol 2013, 58:25-32.
11. Mockenhaupt M. The current understanding of Stevens-Johnson syndrome and
toxic epidermal necrolysis. Expert Review Clinical Immunology. 2011;7(6):803-
15.
12. Klein PA. Dermatologic manifestation of Stevens-Johnson syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Medscape. 2013. Didapat dari:
http://emedicine.medscape.com/. Diakses pada: 3 Juni 2017.
13. Harr T, French LE. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome.
Orphanet Journal of Rare Disease. 2014;5:39.
14. Creamer D. Et al. 2016. U.K. guidelines for the management of StevensJohnson
syndrome/toxic epidermal necrolysis in adults 2016. British Journal of
Dermatology. 174: 1194-1227
15. Nirken, M. H. dan High, W. A. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal
necrolysis: Clinical manifestations; pathogenesis; and diagnosis. Didapat dari
http://nihlibrary.ors.nih.gov/. Diakses pada 3 Juni 2017.

Anda mungkin juga menyukai