MORBUS HANSEN
Oleh :
Hanifah Astri Ernawati
G99131041
Pembimbing :
dr. Nurrachmat Mulianto, SpKK, M.Sc
MORBUS HANSEN
A. DEFINISI
B. SINONIM
Sinonim Morbus Hansen dalam bahasa yang berbeda adalah, Aussatz
(German), Lepre (French), Lepra (Spanish), Prokaza (Russian), Maffung
(Chinese), Rabyo (Japanese), Judham (Arabic) and Kustha (Hindi).4
C. EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia, sekitar 250.000 kasus baru kusta dilaporkan setiap tahun
dan sekitar 2 juta orang memiliki cacat kusta yang terkait. Tiga negara endemik
utama (India, Brasil, dan Indonesia) tercatat untuk 77% dari semua kasus baru. Di
Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008 adalah 22.359 orang
dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang. Distribusi tidak merata,
yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Prevalensi
pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0,72.3
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dapat
menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 taun, sedangkan
pada kelompok anak umur 10-12 tahun.5 Pada ras kulit hitam didapatkan insidensi
bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada kulit putih lebih cenderung tipe
lepromatosa.2 Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit,
folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat di dalam urin.
Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang berasal dari traktus
respiratorius atas. 3
D. ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A.
HANSEN pada 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat
dibiakkan pada media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8
m x 0,5 m, tahan asam dan alkohol serta positif-Gram.3
Reservoir utama M. leprae adalah manusia. Transmisi lepra secara pasti
belum diketahui, dimungkinkan transmisi melalui droplet hidung, kontak dengan
bagian tubuh yang terinfeksi, dan vektor serangga. Portal masuknya M. leprae
kurang dipahami, tetapi mencakup inokulasi melalui kulit (gigitan, goresan, luka
kecil, tato) atau inhalasi ke saluran hidung atau paru-paru.1 Masa inkubasi sangat
bervariasi yaitu 2-5 tahun pada tipe tuberkuloid dan 8-12 tahun pada tipe
lepromatosa.6
E. PATOGENESIS
Sel Schwann (SC) adalah target utama untuk infeksi oleh M. leprae
menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan cacat konsekuen. Pengikatan
M. leprae dengan SC menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi
aksonal. Telah terbukti bahwa M. leprae dapat menyerang SC dengan protein
laminin-mengikat spesifik 21 kDa selain PGL-1. PGL-1 (sebuah glycoconjugate
unik, dominan pada permukaan M. leprae) mengikat laminin-2. Hal ini
menjelaskan kecenderungan predileksi bakteri di saraf perifer. Identifikasi dari
reseptor bertarget SC M. leprae, dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul
ini dalam degenerasi saraf awal. M. leprae yang disebabkan demielinasi adalah
hasil dari ligasi bakteri langsung ke neuregulin reseptor, erbB2 dan Erk1/2
aktivasi, dan selanjutnya MAP kinase memberikan sinyal dan proliferasi.7
Makrofag adalah salah satu sel inang yang paling banyak bersentuhan
dengan mikobakteri. Fagositosis M. leprae oleh makrofag monosit yang
diturunkan dapat dimediasi oleh reseptor komplemen CR1 (CD35), CR3
(CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18) dan diatur oleh protein kinase. Tidak
beresponnya terhadap M. leprae tampaknya berkorelasi dengan profil sitokin
Th2.7
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
mempunyai nama khusus yang dari kulit disebut histiosit. Kalau ada kuman
(M.leprae) masuk, akibatnya bergantung pada Sistem Imunitas Seluler (SIS)
orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi
yang harus difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya
massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel
akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae
yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembangbiak dan
disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat angkut
penyebarluasan.3
Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan
tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan
gambaran lepromatosa. Agar proses ini selanjutnya lebih jelas lihat bagan
patogenesis ini.3
Kontak
95% Subklinis
Sembuh
70%
Indeteminate (I)
30%
Deteminate
I TT Ti BT BB BL Li LL
F. KLASIFIKASI
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: Tuberkuloid indefinite
BT: Borderline tuberculoid
BB: Mid borderline bentuk yang labil
BL: Borderline lepromatous
Li: Lepromatosa indefinite
LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.3
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi
berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa
polar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak
mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline
atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah
tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan
Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya.
Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke
arah TT maupun LL.3
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi bentuk Multibasilar
(MB) dan Pausibasilar (PB). MB berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe
LL, BL, BB. Sedangkan PB berarti mengandung sedikit kuman yakni tipe TT,
BT, dan I. Pada klasifikasi Ridley-Jopling yang termasuk MB adalah tipe LL, BL
dan BB dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan PB adalah tipe I, TT
dan BT dengan IB kurang dari 2+.3
Pada tahun 1987 telah terjadi perubahan, yang dimaksud dengan kusta PB
adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu
tipe I, TT, dan BT. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan
dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita
kusta tipe BB, BL, dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA postif,
harus diobati dengan regimen MDT-MB.3
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di
lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis
kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini tercantum
dalam tabel 1.3
Tabel 1. Bahan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995) 5,7
PB MB
Lesi Kulit - 1-5 lesi - >5 lesi
(makula datar, - hipopigmentasi / eritema
papul yang meninggi, - distribusi tidak asimetris - distribusi lebih simetris
nodus) - hilangnya sensasi yang jelas - hilangnya sensasi kurang jelas
G. DIAGNOSIS
Diagnosis MH dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan
klinis. Perlu dicari tanda pokok atau cardinal signs yaitu:
- Lesi kulit berupa hipopigmentasi atau kemerahan dengan rasa tebal/anestesi.
- Kerusakan dan penebalan saraf perifer, yang berupa mati rasa dan
kelemahan otot tangan, kaki, atau muka.
- Keberadaan basil tahan asam (BTA).
Untuk menegakkan diagnosis ini, diperlukan setidaknya satu cardinal
signs. Kemudian dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi dan
serologi.8
1. Manifestasi Klinis
Onset kusta yaitu menyebar dengan tersembunyi dan tanpa rasa sakit;
pertama mempengaruhi sistem saraf perifer dengan parestesia yang
menyakitkan persisten atau berulang dan mati rasa tanpa tanda-tanda klinis
yang terlihat. Pada tahap ini mungkin ada erupsi kulit makula sementara,
lecet, tetapi trauma tidak disadari.9
Ada lima tipe abnormalitas syaraf tepi yang biasa dijumpai pada
penderita kusta:
a. Penebalan syaraf (biasanya asimetri), terutama pada syaraf yang dekat
dengan kulit, seperti pada syaraf auricularis magnus, ulnaris, radialis,
medianus, poplitea lateralis dan tibialis posterior
b. Penurunan sensorik pada lesi di kulit
c. Kelemahan syaraf tubuh, salah satunya ditandai dengan tanda dan gejala
peradangan atau tanpa manifestasi, seperti neuropati, kelemahan dan atau
kelumpuhan sensorik dan motorik, jika lama dengan kontraktur.
d. Gejala penurunan sensorik stocking-glove (S-GPSI), dari serat tipe C
(yang melibatkan diskriminasi panas dan dingin sebelum hilangnya rasa
sakit atau sentuhan ringan) dimulai di daerah akral dan dari waktu ke
waktu, meluas terpusat terbatas pada telapak tangan, setidaknya untuk
sementara waktu.
e. Anhidrosis pada telapak tangan dan kaki, menunjukkan keterlibatan safar
simpatis.1
Perlu juga ditanyakan riwayat kontak dengan penderita, latar belakang
keluarga dengan riwayat tinggal di daerah endemis, dan riwayat pengobatan
sebelumnya.8
2. Pemeriksaan Fisik
Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan fisik
sebagai berikut3,5:
a. Inspeksi
Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya
makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan
kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis). Pasien diminta
memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk
mengetahui fungsi saraf wajah. 3,5.
b. Pemeriksaan Sensibilitas
Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit kulit
sehingga perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang
lain. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia
sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu
jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum
terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas
dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu
panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.3
c. Pemeriksaan Fungsi Saraf Tepi
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsistensi, penebalan, dan nyeri tekan. Beberapa saraf superfisial yang
dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N.
radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior. Bagi tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Gejala-gejala kerusakan saraf:
1) N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari
manis; clawing kelingking dan jari manis; atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
2) N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah; tidak mampu aduksi ibu jari; clawing ibu
jari, telunjuk, dan jari tengah; ibu jari kontraktur; atrofi otot tenar dan
kedua otot lumbrikalis lateral.
3) N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari
telunjuk; tangan gantung (wrist drop); tak mampu ekstensi jari-jari
atau pergelangan tangan.
4) N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan
dorsum pedis; kaki gantung (foot drop); kelemahan otot peroneus.
5) N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki; claw toes; paralisis otot
intristik kaki dan kolaps arkus pedis.
6) N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik); kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal,
mandibular dan servikal).
7) N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.3
Manifestasi klinik organ lain yang dapat diserang:
a) Mata : Iritis, Iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
b) Hidung : Epistaksis, hidung pelana.
c) Tulang dan sendi : Absorbsi, mutilasi, arthritis
d) Lidah : ulkus, nodus
e) Testis : ginekomastia,epididmis akut, orkitis, atrofi
f) Kelenjar Limfe : Limfadenitis
g) Rambut : Alopesia, Madarosis
h) Ginjal : Glomerulonefritis, amilodosis ginjal, piolonefritis,
nefritis interstisial. Diagnosis banding berbagai tipe kusta
tercantum pada tabel 2 dan 3.3
d. Pemeriksaan Fungsi Saraf Otonom
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom
perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan
dapat pula tidak, yang dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda
Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit
normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal
bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan
adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu,
tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar
menentukannya. Kekeringan ini terjadi karena adanya infiltrasi
granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut3,5.
3. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mendukung diagnosis kusta, antara lain:
a. Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA, antara lain dengan Ziehl
Nielsen. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah
tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tanpa menghiraukan ada
atau tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman
tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak.3
M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan
butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan
fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa
membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan
indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.3
I. KOMPLIKASI
1. Reaksi Kusta
Adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik.10 Adapun patofisiologinya belum jelas betul,
terminologi dan klasifikasinya masih bermacam-macam. Mengenai
patofisiologinya yang belum jelas akan diterangkan secara imunologik.3
Reaksi kusta terdiri dari:
Tabel 5. Reaksi Kusta3,10
Keterangan Reaksi tipe 1/Delayed Reaksi tipe 2/Eritema
hipersensitivity Nodusum Leprosum
reaction/Upgrading, reversal, (ENL)
atau downgrading reactions
J. PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
Penatalaksanaan nonmedikamentosa dapat diberikan rehabilitasi
medik, karya, sosial. Selain itu perlu juga diberikan penyuluhan kepada
pasien, keluarga, dan masyarakat.3
2. Medikamentosa
Pengobatan kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah
DDS (Diamino difenil sulfon) atau Dapson, kemudian Klofazimin, dan
Rifampisin. Untuk mencegah resistensi, mulai tahun 1997 WHO menetapkan
pengobatan menggunakan MDT (Multi Drug Treatment). Adanya MDT
adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai
penularan.3
Penatalaksanaan kusta adalah MDT, standar WHO (1997):
a. Tipe MB (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif):
1) Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
2) DDS 100 mg/hari
3) Klofazimin 300 mg tiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg
sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.3
Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 sampai
36 bulan dengan syarat bakterioskopis harus negatif. Apabila
bakterioskopis masih positif, harus dilanjutkan sampai bakterioskopis
negatif. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap
bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar
kemungkinan pengobatan kusta MB ini hanya selama 2 sampai 3 tahun.3
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment
(RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa pengobatan) secara
klinis dan bakteriologis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Kalau
bakterioskopis tetap negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan dan disebut Release From Control
(RFC). Saat ini apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan,
pemberian obat dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.3
b. Tipe PB (I, TT, BT, dengan BTA negatif):
1) Rifampisin 600 mg setiap bulan
2) DDS 100 mg/hari.10
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan,
berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara
klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir
pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun
secara klinis dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.3
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan
pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu PB dengan lesi
tunggal, PB dengan lesi 2-5 buah, dan penderita MB dengan lesi >5 buah.
Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada tahun 1998
telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB menjadi 12 dosis
dalam 12-18 bulan, sedangkan untuk kasus PB dengan lesi kulit 2-5 buah
tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus PB dengan lesi tunggal
pengobatan adalah Rifampisin 600 mg ditambah dengan Ofloksasin 400
mg, dan Minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.3
Regimen obat baru yang disarankan untuk kusta pada tahun 2009
oleh "WHO Report of the Global Programme Managers Meeting on
Leprosy Control Strategy" adalah sebagai berikut: Untuk pasien MB yang
masih peka rifampisin, regimen bulanan sepenuhnya diawasi mencakup:
Rifapentin 900 mg (atau rifampicin 600 mg), moksifloksasin 400 mg, dan
klaritromisin 1000 mg (atau minocycline 200 mg) selama 12 bulan.
Untuk pasien yang resisten terhadap rifampisin, fase intensif dapat
mencakup moksifloksasin 400 mg, klofazimin 50 mg, klaritromisin 500
mg, dan minocycline 100 mg per hari diawasi selama enam bulan. Fase
lanjutan terdiri moksifloksasin 400 mg, klaritromisin 1000 mg, dan
minocycline 200 mg sebulan sekali, diawasi selama 18 bulan.12
3. Rawat inap
a. Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat
b. Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus, gangren)
c. Pasien dengan rencana tindakan operatif.10
K. PROGNOSIS
Pengobatan kusta sangat efektif dengan risiko relaps rendah, tetapi harus
diminum berbulan-bulan. Setelah satu tahun pengobatan, masalah utama adalah
manajemen defisit neurologis, kontraktur dan perubahan tangan dan kaki. Jika
tidak diobati, pasien borderline dapat berubah menjadi lepromatosa sehingga
akan terjadi reaksi yang lebih berat. Pasien borderline berisiko terkena reaksi
reversal yang dapat merusak saraf. Reaksi tipe 1 (reversal) bertahan 2-4 bulan
pada pasien BT dan lebih dari 9 bulan pada BL. ENL terjadi pada 50 % individu
dengan LL dan 25 % pada BL selama 2 tahun pertama pengobatan. Banyak
pasien yang mengalami kerusakan saraf permanen. Pengobatan neuritis tidak
memuaskan, dan beberapa pasien dengan neuritis dapat mengalami kerusakan
saraf permanen walaupun dengan pengobatan kortikosteroid. Kerusakan saraf
dan komplikasi lainnya dapat menyebabkan kecacatan terutama apabila keempat
ekstremitas dan mata terkena. 9,13
DAFTAR PUSTAKA
1. Rea TH dan Modlin RL. Leprosy. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatricks dermatology in general
medicine 7th ed. New York: Mc Graw Hill; 2008. h. 1786-1796.
2. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit edisi 2. Jakarta: EGC; 2005. h.
154-155.
3. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoedalli ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Djuanda A,
Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi keenam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h. 296-299.
4. Yawalkar S. J. Leprosy for medical practitioners and paramedical workers.
Novartis Foundation for Sustainable Development, Basle, Switzerland. Eight
revised edition. 2009. Page 11
5. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Dua. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. Hlm: 65-
72.
6. Lockwood Diana N. J. Bacterial Tropical Infection. The medicine Publishing
Company. 2005. Page 26-29
7. Bhat RM dan Prakash C. Leprosy: an overview of pathophysiology.
Interdisciplinary Perspectives on Infectious Disease. 2012;181089.
8. Smith DS. 2014. Leprosy Clinical Presentation.
http://emedicine.medscape.com/article/220455-clinical (akses 29 Juni 2014)
9. Wolff K dan Johnson RA. Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical
dermatology 6th edition. New York: Mc Graw Hill; 2009. h. 665-671
10. PERDOSKI. Kusta. Dalam: Sugito TL, Hakim L, Suseno LSU, Suriadiredja
ASD, Toruan TL, Alam TN. Panduan pelayanan penyakit medis dokter spesialis
dan kulit kelamin perhimpunan dokter spesialis kulit dan kelamin indonesia
(PERDOSKI). Jakarta: PP PERDOSKI; 2011. h. 88-91.
11. A.D.A. M. Health Guide Medline Plus. Dalam: Vyas Jatin. M, editor. Lepromin
SkinTest;2013. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003383.htm
(akses 29 Juni 2014)
12. Rao PN dan Jain S. Newer management options in leprosy. Indian journal of
dermatology. 2013;58(1): 6-11.
13. Lockwood, D.N.J.. Leprosy. Dalam : Tony Burns Stephen Breathnach, Neil Cox,
dan Christopher Griffiths, editor Rooks Textbook of Dermatology 7th edition.
Blackwell Science Ltd. 2004. h. 29.1-29.16
STATUS RESPONSI
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
I. ANAMNESIS
A. Identitas
Nama : Tn. AS
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Alamat : Ngargoyoso, Karanganyar
Tanggal periksa : Selasa, 25 Juni 2014
No rekam medik : 01009325
B. Keluhan utama
Timbul luka dan nyeri pada kaki dan tangan
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSDM dengan keluhan timbul luka dan nyeri pada
kaki dan tangan. Kurang lebih 2 minggu SMRS pasien mengeluh muncul
bercak hitam dan terasa panas di ujung tangan , kaki, dan siku. Bercak
kemudian timbul lepuh dan kemudian menjadi luka yang parah, keluhan
disertai dengan nyeri. Riwayat muncul bercak mati rasa (-). Pasien kemudian
dibawa ke puskesmas dan dirujuk ke RS Karanganyar, pasien dirawat selama 5
hari kemudian dirujuk ke RS Dr. Moewardi.
Pasien pernah mondok di RSDM dan di diagnosis kusta 4 tahun yang
lalu. Pasien tidak pernah mendapatkan pengobatan MDT.
D. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit serupa : (+) 4 tahun yang lalu
Riwayat pengobatan kusta : (-)
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat atopi : disangkal
Riwayat kontak dengan penyakit sejenis : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
E. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat atopi : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
B. Status dermatologi
Extremitas superior : tampak patch hiperpigmentasi, sebagian tampak
eritema multiple dengan ulkus multiple, diameter
bervariasi, sebagian konfluens, tepi ireguler, dasar
eritema, tertutup pus dan jaringan nekrotik, nyeri
tekan (+).
Extremitas inferior : tampak patch hiperpigmentasi, sebagian tampak
eritema multiple dengan ulkus multiple, diameter
bervariasi, sebagian konfluens, tepi ireguler, dasar
eritema, tertutup pus dan jaringan nekrotik, nyeri
tekan (+)
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan BTA:
- IB = +4
- IM = 10%
VI. PLAN
- Cek Darah Rutin
- Biopsi
- Kultur pus
VIII. TERAPI
Non medikamentosa
1. MRS bangsal
Medikamentosa
1. IVFD Ringer Laktat 20 tpm
2. Metil Prednisolon tab 16 mg (2-0-0)
3. Paracetamol tab 3 x 500 mg
4. Medikasi ulkus (kompres Nacl 0,9% 2x15, asam fusidat cream 2x oles, tutup
kasa steril)
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia
Ad sanam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Ad kosmetikam : dubia