Anda di halaman 1dari 61

REFRAT

PERDARAHAN GASTROINTESTINAL

Oleh :
Hanifah Astrid Ernawati

G99131041

Nimas Ayu Suri P.

G99131057

Pratiwi Prasetya P.

G99131064

Irene Yunita P.

G99131043

Bobbi Juni Saputra

G99131024

Pembimbing :
dr. Sulistyani K, M.Sc., Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK SMF RADIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdarahan saluran cerna sering ditemukan di masyarakat. Gejalanya dapat
bermacam-macam dari perdarahan yang tidak terlihat hingga perdarahan masif. Hal
yang paling cepat harus ditemukan adalah menentukan beratnya perdarahan.
Hematemesis menunjukkan perdarahan dari saluran cerna bagian atas, proksimal dari
ligamentum Treitz. Melena adalah akibat perdarahan saluran cerna bagian atas,
meskipun demikian perdarahan dari usus halus atau kolon bagian kanan, juga dapat
menimbulkan melena. Sedangkan Hematoskezia adalah perdarahan segar yang keluar
lewat anus/rektum. Hal ini merupakan manifestasi klinis perdarahan Saluran Cerna
Bagian Bawah (SCBB) yang paling sering. Sumber perdarahan pada umumnya
berasal dari anus, rektum, atau kolon bagian kiri (sigmoid atau kolon descendens),
tetapi juga dapat berasal dari usus kecil atau saluran cerna bagian atas (SCBA) bila
perdarahan tersebut berlangsung masif (sehingga sebagian volume darah tidak sempat
kontak dengan asam lambung) dan masa transit usus yang cepat.
Perdarahan Saluran Cerna adalah salah satu penyakit yang sering dijumpai.
Berbagai kondisi pasien yang datang dengan perdarahan saluran cerna bermacammacam dari yang berkondisi stabil hingga keadaan gawat darurat.
Dewasa ini insidensi perdarahan saluran cerna telah menurun, tetapi angka
kematian dari perdarahan akut saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan
belum ada perubahan selam 50 tahun terakhir.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.

ANATOMI DAN FISIOLOGI


Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal adalah sistem organ dalam
manusia yang berfungsi untuk menerima makanan dan mencernanya menjadi zat-zat
gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah serta membuang bagian
makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa proses pencernaan tersebut
dari tubuh. Sistem Pencernaan merupakan saluran yang menerima makanan dari luar
dan mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan
(pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim dan zat cair yang
terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus.Saluran pencernaan terdiri dari mulut,
tenggorokan (faring), kerongkongan (esofagus), lambung (gaster), usus halus, usus
besar (kolon), rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang
terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.2

Gambar 1. Saluran Pencernaan

Gambar 2. Ligamentum Treitz

I.

Mulut
1. Mulut adalah permulaan saluran pencernaan. Fungsi rongga mulut:
Mengerjakan pencernaan pertama dengan jalan mengunyah
Untuk berbicara
Bila perlu, digunakan untuk bernafas.
2. Pipi dan bibir

Mengandung otot-otot yang diperlukan dalam proses mengunyah dan bicara,


disebelah luar pipi dan bibir diselimuti oleh kulit dan disebelah dalam
diselimuti oleh selaput lendir (mukosa).
3. Gigi
Terdapat 2 kelompok yaitu gigi sementara atau gigi susu mulai tumbuh
pada umur 6-7 bulan dan lengkap pada umur 2 tahun jumlahnya 20
buah dan gigi tetap (permanen) tumbuh pada umur 6-18 tahun
jumlahnya 32 buah.
Fungsi gigi: gigi seri untuk memotong makanan, gigi taring untuk

memutuskan makanan yang keras dan liat dan gigi geraham untuk
mengunyah makanan yang sudah dipotong-potong.
4. Lidah
Fungsi Lidah:

Untuk membersihkan gigi serta rongga mulut antara pipi dan gigi
Mencampur makanan dengan ludah
Untuk berbicara
Untuk mengecap manis, asin dan pahit
Untuk merasakan dingin dan panas.

Bagian lidah yang berperan dalam mengecap rasa makanan adalah


papilla.Papilla ini merupakan bentukan dari saraf-saraf sensorik (penerima
rangsang). 3
5. Kelenjar ludah
Kelenjar parotis, terletak disebelah bawah dengan daun telinga
diantara otot pengunyah dengan kulit pipi. Cairan ludah hasil
sekresinya dikeluarkan melalui duktus stesen kedalam rongga mulut
melalui satu lubang dihadapannya gigi molar kedua atas. Saliva yang

disekresikan sebanyak 25-35 %.


Kelenjar Sublinguinalis, terletak dibawah lidah salurannya menuju
lantai rongga mulut. Saliva yang disekresikan sebanyak 3-5 %

Kelenjar Submandibularis, terletak lebih belakang dan kesamping dari


kelenjar sublinguinalis. Saluran menuju kelantai rongga mulut
belakang gigi seri pertama. Saliva yang disekresikan sebanyak 60-70

%
6. Ada 2 jenis pencernaan didalam rongga mulut:
Pencernaan mekanik

Pencernaan kimiawi

II. Tenggorokan (Faring)


Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari
bahasa yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring terdapat tonsil yaitu
kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan
pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan
jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan
ruas tulang belakang.2

III. Kerongkongan (Esofagus)


Kerongkongan atau esofagus adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata
yang dilalui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung.
Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses
peristaltik. Sering juga disebut esophagus (dari bahasa Yunani: i, oeso
membawa, dan , phagus memakan).

Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut
histologi. Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:

Bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)

Bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)

Berta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

IV. Gaster (lambung)


Lambung terletak pada epigastrium dan terdiri dari mukosa, submukosa,
lapisan otot yang tebal, dan serosa. Mukosa ventriculus berlipat-lipat atau rugae.
Secara anatomis ventriculus terbagi atas kardiaka, fundus, korpus, dan pilorus.
Sphincter cardia mengalirkan makanan masuk ke dalam ventriculus dan
mencegah refluks isi ventrikulus memasuki oesophagus kembali. Di bagian
pilorus ada sphincter piloricum. Saat sphincter ini berrelaksasi makanan masuk
ke dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sphincter ini mencegah terjadinya
aliran balik isi duodenum (bagian usus halus) ke dalam ventriculus.3

Lapisan epitel mukosa lambung terdiri dari sel mukus tanpa sel goblet.
Kelenjar bervariasi strukturnya sesuai dengan bagiannya. Pada bagian cardiac
kelenjar terutama adalah sel mukus. Pada bagian fundus dan corpus kelenjar
mengandung sel parietal yang mensekresi HCl dan faktor intrinsik, dan chief
cell mensekresi pepsinogen. Bagian pilorus mengandung sel G yang
mensekresi gastrin.

Mukosa lambung dilindungi oleh berbagai mekanisme dari efek erosif asam
lambung. Sel mukosa memiliki permukaan apikal spesifik yang mampu

menahan difusi asam ke dalam sel. Mukus dan HCO3 dapat menetralkan asam
di daerah dekat permukaan sel. Prostaglandin E yang dibentuk dan disekresi
oleh mukosa lambung melindungi lambung dan duodenum dengan
merangsang peningkatan sekresi bikarbonat, mukus lambung, aliran darah
mukosa, dan kecepatan regenarasi sel mukosa. Aliran darah mukosa yang
bagus, iskemia dapat mengurangi ketahanan mukosa.4

Fungsi utama lambung adalah sebagai tempat penampungan makanan,


menyediakan makanan ke duodenum dengan jumlah sedikit secara teratur.
Cairan asam lambung mengandung enzim pepsin yang memecah protein
menjadi pepton dan protease. Asam lambung juga bersifat antibakteri.
Molekul sederhana seperti besi, alkohol, dan glukosa dapat diabsorbsi dari
lambung.5

V. Usus halus

Usus halusadalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di antara


lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu
melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga
melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.

Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot


melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan
lapisan serosa ( Sebelah Luar ). Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus
dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan
(ileum). 5

1. Usus dua belas jari (Duodenum)


Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus
halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus
kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian
terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir
di . Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak
terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari
yang normal berkisar pada derajat sembilan.
Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari
pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa
Latin duodenum digitorum, yang berarti dua belas jari. Lambung
melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang
merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam
duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna
oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal
kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan. Pada
duodenum terdapat Ligamentum Treitz (m. Suspensorium duodeni)
yang terletak pada flexura duodenojejunalis yang merupakan batas
antara duodenum dan jejunum. Ligamentum Treitz memisahkan
saluran cerna atas dan saluran cerna bawah. 2
2. Jejunum
Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum)
adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari
(duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa,
panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian

usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam


tubuh dengan mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan
terdapat jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus.
Secara histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni
berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan
dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri.
Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan
secara makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang
berarti lapar dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari
bahasa Laton, jejunus, yang berarti kosong. 2

3. Ileum
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus
halus. Pada sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar
2-4 m dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan
oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit
basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-garam
empedu.3

VI.

Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari :
Kolon asendens (kanan)
Kolon transversum
Kolon desendens (kiri)
Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus
besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini
penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya
terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan
terjadilah diare. 5

VII.

Sekum
Sekum (Bahasa Latin: caecus, buta) dalam istilah anatomi adalah suatu
kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari
usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil.
Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora
eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan
oleh umbai cacing. 2

VIII. Umbai Cacing (Appendix)


Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi
pada organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang
parah dapat menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam
rongga abdomen atau peritonitis (infeksi rongga abdomen).
Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform
appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung
dengan caecum. Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam
orang dewasa, Umbai cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2
sampai 20 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing
bisa berbeda bisa di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap
terletak di peritoneum. 2

IX.

Rektum
Rektum (Bahasa Latin: regere, meluruskan, mengatur) adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir
di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses.
Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi,
yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke
dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB).
Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan material di dalam rektum
akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk melakukan
defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke

usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak
terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. 2

X.

Anus
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah
keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan
sebagian lainnya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot
sphincter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar
BAB), yang merupakan fungsi utama anus. 2

XI.

Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi
utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting
seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan
erat dengan duodenum (usus dua belas jari).
Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :

Asinimenghasilkan enzim-enzim pencernaan

Pulau Langerhans menghasilkan hormon


Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan

hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna

protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam


bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif.
Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas
juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi
duodenum dengan cara menetralkan asam lambung. 3

XII.

Hati
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan
memiliki

berbagai

fungsi,

beberapa

diantaranya

berhubungan

dengan

pencernaan. Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan


memiliki beberapa fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis
protein plasma, dan penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting
dalam pencernaan. Istilah medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai
dalam hepat- atau hepatik dari kata Yunani untuk hati, hepar.
Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan
pembuluh darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke
dalam vena yang bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya
masuk ke dalam hati sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluhpembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang masuk diolah. Hati melakukan
proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-zat
gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum. 2

XIII. Kandung empedu

Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah


pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk
proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10
cm dan berwarna hijau gelap bukan karena warna jaringannya, melainkan
karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan
dengan hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu.
Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:

Membantu pencernaan dan penyerapan lemak


Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama

haemoglobin (Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan
kolesterol. 5

XIV. Vaskularisasi Saluran Cerna

a. Sistem Arteri

i. Truncus Coeliacus
Dibawah hiatus aorticus, setinggi V Th XII

ii. A. Mesemterica Sup

iii. A. Mesenterica Inf

b. Sistem Vena
i. Vena Porta

ii. Vena Cava Inferior


Vena Cava
Inf

v. phrenica inferior dextra


v. prenica inferior sinistra
v. renales
v. suprarenales dextra
v. suprarenalis sinistra
v. testikularis (ovarica) dx
v. testikularis (ovarica) sn
v. hepatica

v. iliaca communis dx et sn

Sistem Arteri

Sistem Vena

B.

PERDARAHAN SALURAN CERNA

1. Perdarahan Saluran Cerna Atas


a. Definisi
Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran
makanan proksimal mulai dari esofagus, gaster, duodenum, jejunum
proksimal (batas anatomik di ligamentum treitz). Sebagian besar
perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi sebagai akibat penyakit ulkus
peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan oleh H. Pylori atau
penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau alkohol.
Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan
penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang.6
b. Epidemiologi
Upper gastrointestinal tract bleeding (UGI bleeding) atau lebih
dikenal perdarahan saluran cerna bagian atas memiliki prevalensi sekitar
75 % hingga 80 % dari seluruh kasus perdarahan akut saluran cerna.
Insidensinya telah menurun, tetapi angka kematian dari perdarahan akut
saluran cerna, masih berkisar 3 % hingga 10 %, dan belum ada perubahan
selam 50 tahun terakhir. Tidak berubahnya angka kematian ini
kemungkinan besar berhubungan dengan bertambahnya usia pasien yang
menderita perdarahan saluran cerna serta dengan meningkatnya kondisi
comorbid.
Peptic ulcers adalah penyebab terbanyak pada pasien perdarahan
saluran cerna, terhitung sekitar 40 % dari seluruh kasus.Penyebab lainnya
seperti erosi gastric (15 % - 25 % dari kasus), perdarahan varises (5 % 25 % dari kasus), dan Mallory-Weiss Tear (5 % - 15 % dari kasus).
Penggunaan aspirin ataupun NSAIDs memiliki prevalensi sekitar 45 %
hingga 60 % dari keseluruhan kasus perdarahan akut.
Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui.
Berbeda dengan di negera barat dimana perdarahan karena tukak peptik

menempati urutan terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura


varises gastroesofagei merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 5060%, gastritis erosif hemoragika sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 1015% dan karena sebab lainnya < 5%. Mortalitas secara keseluruhan masih
tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada penderita ruptur varises bisa
mencapai 60% sedangkan kematian pada perdarahan non varises sekitar 912%. Sebahagian besar penderita perdarahan SCBA meninggal bukan
karena perdarahannya itu sendiri melainkan karena penyakit lain yang ada
secara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung,
penyakit hati kronis, pneumonia dan sepsis. 7
Ulkus peptikum yakni ulkus gaster dan duodenum masuk dalam 5
besar penyebab dispepsia. Angka kejadian lebih tinggi pada pria dan usia
lanjut. Hal ini dapat dijelaskan oeh karena berbagai penyebab, mulai dari
perbedaan definisi perdarahan SCBA, karakteristik populasi, prevalensi
obat obatan penyebab ulkus dan Helicobacter pylori. Mortalitas
dikaitkan dengan usia lanjut dan adanya komorbiditas berat. Mortalitas
juga meningkat dengan perdarahan berulang yang merupakan parameter
mayor.
Etiologi perdarahan, lebih sering pada perdarahan variseal dan jarang
pada lesi mukosal kecil seperti robekan Mallory Weiss. Perdarahan
ulkus peptikum merupakan penyebab tersering perdarahan SCBA berkisar
31 67 % dari semua kasus, diikuti oleh gastritis erosif, perdarahan
variceal, esofagitis, keganasan dan robekan. Di Indonesia 70 % penyebab
perdarahan SCBA adalah karena varises esofagus yang pecah. Namun
demikian, diperkirakan oleh karena semakin meningkatnya pelayanan
terhadap penyakit hati kronis dan bertambahnya populasi perdarahan oleh
karena ulkus peptikum akan meningkat.8
Tabel 1. Penyebab tersering perdarahan SCBA pada pasien yang menjalani endoskopi
di RSCM selama tahun 2001 2005

Penyebab
Pecahnya varises esofagus
Perdarahan ulkus peptikum
Gastritis erosiva
Tidak ditemukan
Lain lain
Total

Jumlah kasus
280 kasus
225 kasus
219 kasus
38 kasus
45 kasus
807 kasus

Persentase
33.4 %
26.9 %
26.2 %
4.5 %
9%
100 %

c. Etiologi dan Patofisiologi


Banyak kemungkinan penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas
yaitu 9:
1. Duodenal ulcer
2. Gastric atau duodenal erosions
3. Varices
4. Gastric ulcer
5. Mallory Weiss tear
6. Erosive esophagitis
7. Angioma
8. Arteriovenous malformation
9. Gastrointestinal stromal tumors
Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna
bagian atas disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor
defensif, dimana faktor agresif meningkat atau faktor defensifnya
menurun. Yang dimaksud dengan faktor agresif antara lain asam lambung,
pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat anti inflamasi non steroid
(OAINS) dan obat kortikosteroid, infeksi Helicobacter pylori dan faktor
radikal bebas , khususnya pada pasien lanjut usia. Yang dimaksud dengan
faktor defensif yaitu aliran darah mukosa yang baik, sel epitel permukaan
mukosa yang utuh, prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal,
sekresi bikarbonat, motilitas yang normal, impermeabilitas mukosa
terhadap ion H+ dan regulasi pH intra sel.

Penyebab varises esofagus merupakan yang terbanyak di Indonesia,


disebabkan oleh penyakit sirosis hati.Sirosis hati di Indonesia masih
banyak disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan hepatitis C.Varises
esofagus adalah vena collateral yang berkembang sebagai hasil dari
hipertensi sistemik ataupun hipertensi segmental portal. Saat ini, faktorfaktor terpenting yang bertanggung jawab atas terjadinya perdarahan
varises adalah: tekanan portal, ukuran varises, dinding varises dan
tegangannya, dan tingkat keparahan penyakit hati.
Pada gagal hepar seperti sirosis hepatis kronis, kematian sel dalam
hepar mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta.Sebagai akibatnya
terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esophagus dan rektum serta
pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi
splenik menjauhi hepar.Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini,
maka vena tersebut menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh
darah dan timbul varises.Varises bisa pecah, mengakibatkan perdarahan
gastrointestinal masif.Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan darah
tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung dan penurunan curah
jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan
penurunan perfusi jaringan.
Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan
mekanisme

kompensasi

untuk

mencoba

mempertahankan

perfusi.Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala utama yang


terlihat.Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi jaringan
mengakibatkan

disfungsi

seluler.

Sel-sel

akan

berubah

menjadi

metabolisme anaerob dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah


akan mengakibatkan/ memberi efek pada seluruh sistem tubuh dan tanpa
suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami
kegagalan.10

Gambar 2. Hematemesis melena


Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia yaitu
gastritis erosif, tukak peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini
berhubungan dengan pemakaian obat anti inflamasi non steroid (OAINS),
infeksi Helicobacter pylori dan stres.Penggunaan NSAIDs merupakan
penyebab umum terjadi tukak gaster. Penggunaan obat ini dapat
mengganggu proses peresapan mukosa, proses penghancuran mukosa, dan
dapat menyebabkan cedera. Sebanyak 30% orang dewasa yang
menggunakan NSAIDs mempunyai GI yang kurang baik.
Faktor yang menyebabkan peningkatan penyakit tukak gaster dari
penggunaan NSAIDs adalah usia, jenis kelamin, pengambilan dosis yang
tinggi atau kombinasi dari NSAIDs, penggunaan NSAIDs dalam jangka
waktu yang lama, penggunaan disertai antikoagulan, dan severe comorbid
illness. Walaupun prevalensi penggunaan NSAIDs pada anak tidak
diketahui, tetapi sudah tampak adanya peningkatan, terutama pada anak
dengan arthritis kronik yang dirawat dengan NSAIDs. Penggunaan

kortikosteroid saja tidak meningkatkan terjadinya tukak gaster, tetapi


penggunaan bersama NSAIDs mempunyai potensi untuk menimbulkan
tukak gaster.11

Gambar 3. Hubungan NSID dengan tukak lambung

Sindroma Mallory-Weiss adalah sebuah kondisi di mana lapisan


mukosa di bagian distal esophagus pada gastroesophageal junction
mengalami laserasi yang dapat menyebabkan hematemesis (muntah
darah).

Laserasi

seringkali

juga

menyebabkan

perdarahan

arteri

submukosa. Perdarahan muncul ketika luka sobekan telah melibatkan


esophageal venous atau arterial plexus. Pasien dengan hipertensi portal
dapat meningkatkan resiko daripada perdarahan dibandingkan dengan
pasien hipertensi non-portal. Sindrom Mallory-Weiss biasanya sekunder

terhadap peningkatan mendadak tekanan intraabdominal. Faktor pencetus


meliputi muntah, mengedan saat buang air besar, mengangkat beban,
batuk, kejang epilepsi, cegukan di bawah anestesi, dada tertekan,
trauma abdomen, preparat kolonoskopi dan gastroskopi.12

Gambar 4. Mallory Weiss Tear

d. Manifestasi Klinik
Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami
perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80%
sumber perdarahannya berasal dari esofagus,gaster dan duodenum.7

Manifestasi klinis pasien dapat berupa :

Hematemesis: Muntah darah dan mengindikasikan adanya


perdarahan saluran cerna atas, yang berwarna coklat merah atau

coffee ground.
Melena: Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan
kotoran bercampur asam lambung, biasanya mengindikasikan
perdarahan saluran cerna bagian atas, atau perdarahan daripada
usus-usus ataupun colon bagian kanan dapat juga menjadi sumber

lainnya.
Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia,
sinkope,
gambaran

instabilitas
klinis

hemodinamikkarena

dari

komorbid

hipovolemik

seperti

penyakit

dan
hati

kronis,penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal.7,9


e. Diagnosis
Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana
dalammelaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan
anamnesis yang sangat cermat dan pemeriksaan fisik yang sangat detil,
dalam hal ini yang diutamakan adalahpenanganan A - B C ( Airway
Breathing Circulation ) terlebih dahulu. Bila pasiendalam keadaan tidak
stabil yang didahulukan adalah resusitasi ABC. Setelah keadaan pasien
cukup stabil maka dapat dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
lebihseksama.7
a. Anamnesis
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit
hati kronis, riwayatdispepsia,riwayat mengkonsumsi NSAID,obat
rematik,alkohol,jamu jamuan,obat untukpenyakit jantung,obat stroke.
Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal,riwayat penyakitparu dan
adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah
sebelumterjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan
adanya sindroma Mallory Weiss.

Dalam anamnesis yang perlu ditekankan13 :


1. Sejak kapan terjadinya perdarahan dan berapa perkiraan darah
2.
3.
4.
5.

yang keluar
Riwayat perdarahan sebelumnya
Riwayat perdarahan dalam keluarga
Ada tidaknya perdarahan dibagian tubuh lain
Penggunaan obat-obatan terutama antiinflamasi nonsteroid dan

antikoagulan
6. Kebiasaan minum alkohol
7. Mencari kemungkinan adanya penyakit hati kronis, demam
berdarah, demam tifoid, GGK, DM, hipertensi, alergi obatobatan
8. Riwayat transfusi sebelumnya
b. Pemeriksaan Fisik
Adanya stigmata penyakit hati kronik, suhu badan dan perdarahan
di tempat lain, tanda-tanda Langkah awal menentukan beratnya
perdarahan

dengan

memfokuskan

status

hemodinamiknya.

Pemeriksaan meliputi:
Tekanan darah dan nadi posisi baring
Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi
Ada tidaknya vasokonstriksi perifer ( akral dingin )
Kelayakan nafas
Tingkat kesadaran
Produksi urin.
Perdarahan akut dalam jumlah besar melebihi 20 %

volume

intravaskular akan mengakibatkan kondisi hemodinamik tidak stabil


dengan tanda tanda sebagai berikut:

Hipotensi ( tekanan darah < 90/60 mmHg , frekuensi nadi >

100x/menit )
Tekanan diastolik ortostatik turun > 10 mmHg atau sistolik

turun > 20 mmHg


Frekuensi nadi ortostatik meningkat > 15/menit
Akral dingin

Kesadaran menurun
Anuria atau oliguria

Kecurigaan perdarahan akut dalam jumlah besar selain ditandai


kondisi hemodinamik tidak stabil ialah bila ditemukan: hematemesis,
hematokezia, darah segar pada aspirasi pipa nasogastrik dengan,
hipotensi persisten, 24 jam menghabiskan transfusi darah melebihi
800-1000 mL.13
Pada pemeriksaan fisik perlu diperhatikan kulit dan mukosa
penyakit sistematik. Perlu juga dicari stigmata pasien dengan sirosis
hati karena pada pasien sirosis hati dapat disertai gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, ikterus dengan air
kemih berwarna seperti teh pekat, muntah darah atau melena
Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu masa abdomen, nyeri
abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru, penyakit jantung,
penyakit rematik dll. Pemeriksaan yang tidak boleh dilupakan adalah
colok dubur. Warna feses ini mempunyai nilai prognostik.Dalam
prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube
(NGT).Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak
aktif, aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif
sangat mungkin perdarahan arteri.Seperti halnya warna feses maka
warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas pasien. Walaupun
demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni
ditemukan adanya aspirat yang jernih pada NGT.7

1.
2.
3.
4.

c. Pemeriksaan penunjang
Kelengkapan pemeriksaan yang perlu diperhatikan13 :
Elektrokardiagram (terutama pasien berusia > 40 tahun)
BUN, kreatinin serum
Elektrolit (Na, K, Cl)
Pemeriksaan lainnya :

1) Endoskopi
Dalam

prosedur

diagnosis

ini

pemeriksaan

endoskopi

merupakan gold standard.Tindakan endoskopi selain untuk


diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak perlu
dilakukan segera( bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan
dalam kurun waktu 12 - 24 jam setelah pasien masuk dan keadaan
hemodinamik stabil . Tidak ada keuntungan yang nyata bila
endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan
endoskopi ini lebih dari 95% pasien-pasien dengan hemetemesis,
melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi
perdarahan dan penyebab perdarahannya.7
Lokasi dan sumber perdarahan

Esofagus: Varises, erosi, ulkus, tumor


Gaster: Erosi, ulkus, tumor, polip, angiodisplasia, varises,

gastropati kongestif
Duodenum :Ulkus,erosi,tumor,divertikulitis

Di Negara barat tukak peptic berada di urutan pertama penyebab


perdarahan

SCBA

dengan

frekuensi

sekitar

50%.Walaupun

pengelolaan perdarahan SCBA telah banyak berkembang namun


mortalitasnya

relative

tidak

berubah.

Hal

ini

dikarenakan

bertambahnya kasus perdarahan dengan usia lanjut dan akibat


komorbiditas yang menyertai.13
Klasifikasi aktivitas perdarahan tukak peptic menurut Forest :

Forrest Ia :Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri


Forrest Ib :Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing
Forrest II : Perdarahan berhenti dan masih terdapat sisa-sisa
perdarahan
Forrest III : Perdarahan berhenti tanpa sisa perdarahan

Gambar 5. Gambaran endoskopi pada pasien gastric ulcer akibat penggunaan


NSAIDs dan test H.Pylori negatif (Vakil, N., 2010)

Gambar 6. Gambaran endoskopi pada pasien duodenal ulcer dengan test H.Pylori
positif tetapi tidak ada riwayat penggunaan NSAIDs (Vakil, N., 2010)

Gambar 7. Gambaran endoskopi dari esophageal varices (Shah, V.H., et al., 2010)

Gambar 8. Gambaran endoskopi pada pasien Mallory-Weiss Tear (Savides, T.J., et al.,
2010)
2) Angiography
Angiography
menatalaksana

dapat

digunakan

perdarahanberat,

untuk

khususnya

mendiagnosa
ketika

dan

penyebab

perdarahan tidak dapat ditentukan dengan menggunakan endoskopi


atas maupun bawah.7
3) Conventional radiographic imaging
Conventional radiographic imaging

biasanya tidak terlalu

dibutuhkan pada pasien dengan perdarahan saluran cerna tetapi


adakalanya dapat memberikan beberapa informasi penting. Misalnya

pada CT scan; CT Scan dapat mengidentifikasi adanya lesi massa,


seperti tumor intra-abdominal ataupun abnormalitas pada usus yang
mungkin dapat menjadi sumber perdarahan.7
Tabel 2. Perbedaan perdarahan SCBA dan SCBB13
Manifestasi

klinik

umumnya
Aspirasi nasogatrik
Rasio (BUN/kreatinin)
Auskultasi Usus

Perdarahan SCBA
pada Hematemesis dan atau melena
Berdarah
Meningkat > 35
hiperaktif

Perdarahan SCBB
Hematokezia
Jernih
< 35
Normal

Penatalaksanaan
Stabilisasi Hemodinamik pada Perdarahan Saluran Cerna
Pada kondisi hemodinamik tidak stabil, berikan infus cairan kristaloid
(misalnya cairan garam fisiologis dengan tetesan cepat dengan menggunakan dua
jarum berdiameter besar (minimal 16 G) dan pasang monitor CVP (central venous
pressure); tujuannya memulihkan tanda-tanda vital dan mempertahankan tetap stabil.
Biasanya tidak sampai memerlukan cairan koloid (misalnya dekstran) kecuali pada
kondisi hipoalbuminemia berat. Secepatnya kirim pemeriksaan darah untuk
menentukan darah golongan darah, kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit,
leukosit. Adanya kecurigaan diatesis hemoragik pelu ditindaklanjuti dengan
melakukan test rumple-leed, pemeriksaan waktu perdarahn, waktu pembekuan,
retraksi bekuan darah, PPT dan aPTT.
Kapan transfusi darah diberikan sifatnya sangat individual tergantung dengan
jumlah darah yang hilang, perdarahan masih aktif atau sudah berhenti, lamanya
perdarahan berlangsung, dan akibat klinik perdarahan tersebut. Pemberian transfusi
darah dapa perdarahan saluran cerna dipertimbangkan pada keadaan berikut ini :
1. Perdarahan dalam kondisi hemodinamik tidak stabil

2. Perdarahan baru atau masih berlangsung dan diperkirakan jumlahnya 1 liter


atau lebih
3. Perdarahan baru atau masih berlangsung dengan hemoglobin kurang dari 10
gr% atau hematokrit kurang dari 30%
4. Terdapat tanda-tanda oksigenasi jaringan yang menurun
Perlu dipahami bahwa nilai hemtokrit untuk memperkirakan jumlah
perdarahan kurang akurat bila perdarahan sedang atau baru berlangsung. Proses
hemodilusi dari cairan ekstravaskular selesai 24-72 jam setelah onset perdarahan.
Target pencapaian hematokrit setelah transfusi darah tergantung kasusyang dihadapi,
untuk usia muda dengan kondisi sehat cukup 20-25%, usia lanjut 30%, sedangkan
pada hipertensi portal jangan melebihi 27-28%.13
Terapi Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas
Non-Endoskopis
a. Kumbah lambung
Salah satu usaha menghentikan perdarahan yang sudah lama dilakukan adalah
kumbah lambung lewat pipa nasogastrik dengan air suhu kamar. Prosedur ini
diharapkan mengurangi distensi lambung dan memperbaiki proses hemostatik,
namun demikian manfaatnya dalam menghentikan perdarahan tidak terbukti.
Kumbah lambung ini sangat diperlukan untuk persiapan pemeriksaan endoskopi
dan dapat dipakai untuk membuat perkiraan kasar jumlah perdarahan.
Berdasarkan percobaan hewan, kumbah lambung dengan air es kurang
menguntungkan, waktu perdarahan menjadi memanjang,perfusi dinding
lambung menurun dan bisa timbul ulserasi pada mukosa lambung.
b. Pemberian vitamin K
Pemberian vitamin K pada pasien dengan penyakit hati kronis yang mengalami
perdarahan SCBA diperbolehkan, dengan pertimbangan pemberiaan tersebut
tidak merugikan dan relatif murah.
c. Vasopressin
Vasopressin dapat menghentikan perdarahan SCBA lewat efek vasokonstriksi
pembuluh darah splanknik, menyebabkan aliran darah dan tekanan vena porta

melihat. Digunakan di klinik untuk perdarahan akut varises esofagus sejak


1953. Pernah dicobakan pada perdarahan non varises, namun berhentinya
perdarahan tidak berbeda dengan plasebo. Terdapat dua bentuk sediaan, yakni
pitresinyang mengandung vasopressin murni dan preparat pituitari gland yang
mengandung vasopressin dan oksitosin. Pemberiaan vasopressin dilakukan
dengan mengencerkan sediaan vasopressin 50 unit dalam 100 ml dekstrose 5%,
diberikan 0,5-1 mg/menit/IV selama 20-60 menit dan dapat diulang tiap 3
sampai 6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infus 0,1-0,5
U/menit.

Vasopressin dapat menimbulkan efek samping serius berupa

insufisiensi koroner mendadak, oleh karena itu pemberiannya disarankan


bersamaan preparat nitrat, misalnya nitrogliserin intravena dengan dosis awal 40
mcg/menit kemudian secara titrasi dinaikkan sampai maksimal 400mcg/menit
dengan tetap mempertahankan tekanan sistolik di atas 90 mmHg.
d. Somatostatin dan analognya (octreotid)
Somatostatin dan analognya (octreotid) diketahui dapat menurunkan aliran
darah splanknik, khasiatnya lebih selektif dibanding dengan vasopressin.
Penggunaan di klinik pada perdarahan akut varises esofagus dimulai sekitar
tahun 1978. Somatostatin dapat menghentikan perdarahan akut varises esofagus
pada 70-80% kasus, dan dapat pula digunakan pada perdarahan non varises.
Dosis pemberian somastatin, diawali dengan bolus 250 mcg/iv, dilanjutkan per
infus 250 mcg/jam selama 12-24 jam atau sampai perdarahan berhenti, octreotid
dosis bolus 100 mcg intravena dilanjutkan perinfus 25 mcg/jam selama 8-24
jam atau sampai perdarahan berhenti.
e. Obat-obatan golongan antisekresi asam
Obat-obatan golongan antisekresi asamyang dilaporkan bermanfaat untuk
mencegah perdarahan ulang SCBA karena tukak peptik ialah inhibitor proton
dosis tinggi. Diawali oleh bolus omeprazole 80 mg/iv kemudian dilanjutkan per
infus 8 mg/KGBB/jam selama 72 jam, perdarahan ulang pada kelompok
plasebo 20% sedangkan yang diberi omeprazole hanya 4,2%. Suntikan
omeprazole yang beredar di Indonesia hanya untuk pemberian bolus, yang bisa

digunakan per infus ialah persediaan esomeprazole dan pantoprazole dengan


dosis sama seperti omeprazole. Pada perdarahan SCBA ini antasida, sukralfat,
dan antagonis reseptor H2 dalam mencegah perdarahan ulang SCBA karena
tukak peptik kurang bermanfaat.
f. Balon tamponade
Penggunaan balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esofagus
dimulai sekitar tahun 1950, paling populer adalah sengstaken blakemore tube
(SB-tube) yang mempunyai 3 pipa serta 2 balon masing-masing untuk esofagus
dan lambung. Komplikasi pemasangan SB-tube yang bisa berakibat fatal ialah
pneumonia aspirasi, laserasi sampai perforasi. Pengembangan balon sebaiknya
tidak melebihi 24 jam. Pemasangan SB-tube seyogyanya dilakukan oleh tenaga
medik yang berpengalaman dan ditidaklanjuti dengan observasi yang ketat.13
Endoskopis
Terapi endoskopi ditujukan pada perdarahan tukak yang masih aktif atau tukak
dengan pembuluh darah yang tampak. Metode terapinya meliputi:
1) Contact thermal (monopolar atau bipolar elektrokoagulasi, heater probe)
2) Noncontact thermal (laser 3). Nonthermal (misalnya suntikan adrenalin,
polidokanol, alkohol, cyanoacrylate, atau pemakain klip).
Berbagai cara terapi endoskopi tersebut akan efektif dan aman apabila
dilakukan ahli endoskopi yang termapil dna berpengalaman. Endoskopi terapeutik ini
dapat diterapkan pada 90% kasus perdarahan SCBA, sedangkan sisanya 10% sisanya
tidak dapat dikerjakan karena alasan teknis seperti darah terlalu banyak sehingga
pengamatan terhalang atau letak lesi tidak terjangkau. Secara keseluruhan 80%
perdarahan tukak peptik dapat berhenti spontan, namun pada kasus perdarahan
arterial yang bisa berhenti spontan hanya 30%.
Terapi endoskopi yang relatif murah dan tanpa banyak peralatan pendukung
ialah penyuntikan submukosa sekitar titik perdarahan dengan menggunakan adrenalin
1 : 10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas dosis 10 ml atau alkohol
absolut (98%) tidak melebihi 1 ml. Penyuntikan bahan sklerosan sepert alkohol

absolut atau polidoklonal umumnya tidak dianjurkan karena bahaya timbulnya tukak
atau perforasi akibat nekrosis jaringan dilokasi penyuntikan. Keberhasilan terapi
endoskopi dalam menghentikan perdarahan bisa mencapai di atas 95% dan tanpa
terapi tambahan lainnya perdarahan ulang frekuensinya sekitar 15-20%.
Hemostasis endoskopi merupakan terapi pilihan pada perdarahan karena varises
esofagus.Ligasi varises merupakan pilihan pertama untuk mengatasi perdarahan
varises esofagus.Dengan ligasi varises dapat dihindari efek samping akibat
pemakaian sklerosan, lebih sedikit frekuensi terjadinya ulserasi dan striktur. Ligasi
dilakukan mulai distal mendekati kardia bergerak spiral setiap 1-2 cm. Dilakukan
pada varises yang sedang berdarah atau bila ditemukan tanda baru mengalami
perdarahan seperti bekuan yang melekat, bilur-bilur merah, noda hematokistik, vena
pada vena. Skleroterapi endoskopi sebagai alternative bila ligasi endoskopi sulit
dilakukan karena perdarahan yang massif, terus berlangsung, atau teknik tidak
memungkinkan. Sklerosan yang bisa digunakan antarla lain campuran sama banyak
polidokanol 3%, NaCl 0,9% dan alkohol absolut. Campuran dibuat sesaat sebelum
skleroterapi dikerjakan. Penyuntikan dimulai dari bagian paling distal mendekati
kardia dilanjutkan ke proksimal bergerak spiral sampai sejauh 5cm. Pada perdarahan
varises lambung dilakukan penyuntikan cyanoacrylate, skleroterapi untuk varises
lambung kurang baik.13
Radiologi
Angiografi perlu pertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum
bisa ditentukan asal perdarahan, atau bila terapi endoskopi dinilai gagal dan
pembedahan sangat berisiko.Tindakan hemostasis yang bisa dilakukan dengan
penyuntikan vasopressin atau embolisasi arterial. Bila dinilai tidak ada kontra indikasi
dan fasilitas dimungkinkan, pada perdarahan varises dapat dipertimbangkan TIPS
(Trans Jugular Intrahepatic Porto Systemic Shunt). 13

Arteri Hepatica Communis

Arteri Splenicus
Pembedahan
Pembedahan pada dasarnya dilakukan bila terapi medik, endoskopi dan
radiologi dinilai gagal. Ahli bedah seyogyanya dilibatkan sejak awal dalam bentuk
tim multi disipliner pada pengelolaan kasus perdarahan SCBA untuk menentukan
waktu yang tepat kapan tindakan bedah baiknya dilakukan. 13

Gambar 9. Penanganan Perdarahan Saluran Cerna14


g. Prognosis
Identifikasi letak perdarahan adalah langkah awal yang paling penting
dalam

pengobatan.Setelah

letak

perdarahan

terlokalisir,

pilihan

pengobatan dibuat secara langsung dan kuratif. Meskipun metode


diagnostik untuk menentukan letak perdarahan yang tepat telah sangat

meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari pasien dengan


perdarahan saluran cerna bagian bawah tidak dapat dibuktikan sumber
perdarahannya. Oleh karena itu, masalah yang kompleks ini membutuhkan
evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi persentase kasus
perdarahan saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.
Dalam penatalaksanaan perdarahan SCBA banyak faktor yang
berperan terhadap hasil pengobatan. Ada beberapa prediktor buruk dari
perdarahan SCBA antara lain, umur diatas 60 tahun, adanya penyakit
komorbid lain yang bersamaan, adanya hipotensi atau syok, adanya
koagulopati, onset perdarahan yang cepat, kebutuhan transfusi lebih dari 6
unit, perdarahan rekurens dari lesi yang sama. Setelah diobati dan
berhenti, perdarahan SCBA dapat berulang lagi atau rekurens. Secara
endoskopik ada beberapa gambaran endoskopik yang dapat memprediksi
akan terjadinya perdarahan ulang antara lain tukak peptik dengan bekuan
darah yang menutupi lesi, adanya visible vessel tak berdarah, perdarahan
segar yang masih berlangsung.15
2. Perdarahan Saluran Cerna Bawah
Perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB) dapat didefinisikan
sebagai perdarahan yang terjadi atau bersumber pada saluran cerna di bagian
distal dari ligamentum Treitz. Jadi dapat berasal dari usus kecil dan usus
besar. Pada umumnya perdarahan ini (sekitar 85%) ditandai dengan keluarnya
darah segar per anum/per rektal yang bersifat akut, transient, berhenti sendiri,
dan tidak mempengaruhi hemodinamik
a. Gambaran Klinis
Perdarahan SCBB dapat bermanifestasi dalam bentuk hematoskezia,
maroon stool, melena, atau perdarahan tersamar.
Hematoskezia adalah:

Darah segar yang keluar lewat anus/rektum. Hal ini merupakan


manifestasi klinis perdarahan SCBB yang paling sering. Sumber
perdarahan pada umumnya berasal dari anus, rektum, atau kolon bagian
kiri (sigmoid atau kolon descendens), tetapi juga dapat berasal dari usus
kecil atau saluran cerna bagian atas (SCBA) bila perdarahan tersebut
berlangsung masif (sehingga sebagian volume darah tidak sempat kontak
dengan asam lambung) dan masa transit usus yang cepat.
Maroon stool:
Darah yang berwarna merah hati (kadang bercampur dengan melena)
yang biasanya berasal dari perdarahan di kolon bagian kanan (ileo-caecal)
atau juga dapat dari SCBA/usus kecil bila waktu transit usus cepat.
Melena
Buang air besar atau feses yang berwarna hitam seperti kopi (bubuk
kopi) atau seperti ter (aspal), berbau busuk dan hal ini disebabkan
perubahan hemoglobin menjadi hematin. Perubahan ini dapat terjadi
akibat kontak hemoglobin dengan asam lambung (khas pada perdarahan
SCBA) atau akibat degradasi darah oleh bakteri usus. Misalnya pada
perdarahan yang bersumber di kolon bagian kanan yang disertai waktu
transit usus yang lambat. Perdarahan SCBB akan tersamar bila jumlah
darah sedikit sehingga tidak mengubah warna feses yang keluar.
Gambaran klinis lainnya akan sesuai dengan penyebab perdarahan
(misalnya pada tumor rektum, teraba massa pada pemeriksaan colok
dubur) dan dampak hemodinamik yang terjadi akibat perdarahan tersebut
(misalnya anemia atau adanya renjatan).Sebagian besar perdarahan
SCBB (lebih kurang 85%) berlangsung akut, berhenti spontan, dan tidak
menimbulkan gangguan hemodinamik.

Perdarahan SCBB diklasifikasikan sebagai perdarahan akut dan


berat bila:
a. Telah menimbulkan keadaan hipotensi ortostatik atau renjatan
b. terdapat penurunan hematokrit minimal 8-10% setelah resusitasi
volume intravaskular dengan cairan kristaloid atau plasma expander,
dan
c. terdapat faktor risiko seperti pada usia lanjut atau terdapat penyulit
lainnya yang bermakna.
b. Penyebab
Lokasi lesi sumber perdarahan pada kasus dengan hematoskezia
(sebagai tanda yang paling umum untuk SCBB): 74% berada di kolon,
11% berasal dari SCBA, 9% usus kecil, dan 6% tidak diketahui
sumbernya.
Perdarahan akut dan hebat pada umumnya disebabkan oleh
angiodisplasia dan divertikulosis. Sedangkan yang kronik intermiten
disebabkan oleh hemoroid dan keganasan kolon. Etiologi perdarahan
SCBB yang harus dipertimbangkan dan cukup sering dihadapi di
Indonesia adalah perdarahan di usus kecil pada demam tifoid.
c. Initial Assessment
Tiap kasus perdarahan saluran cerna, walaupun tampaknya darah yang
keluar berdasarkan anamnesis sedikit, harus diperhatikan diperlakukan
secara cermat, cepat, dan tepat pada waktu awal pemeriksaan. Sebab
rongga/lumen saluran cerna dapat menampung darah cukup banyak
sebelum

bermanifestasi

sebagai

hematoskezia,

sehingga

dapat

mengecohkan kita sehingga pasien dapat segera masuk ke dalam keadaan


gangguan hemodinamik. Pada initial assessment ini (sesuai dengan
Airway Breathing Circulation-nya bidang emergensi) kita sudah harus

segera mendapatkan gambaran apakah kasus perdarahan ini sudah terdapat


atau potensial terjadi gangguan hemodinamik, perlu tidaknya tata laksana
emergensi atau dapat ditangani secara elektif (terencana). Dan akurasi
penilaian ini sangat mempengaruhi prognosis kasus perdarahan pada
umumnya dan khususnya perdarahan saluran cerna (atas atau bawah).
d. Riwayat Penyakit
Nilai dalam anamnesis apakah perdarahan/darah tersebut bercampur
dengan feses (seperti terjadi pada kolitis atau lesi di proksimal rektum)
atau terpisah/menetes (terduga hemoroid), pemakaian antikoagulan, atau
terdapat gejala sistemik lainnya seperti demam lama (tifoid, kolitis
infeksi), menurunnya berat badan (kanker), perubahan pola defekasi
(kanker), tanpa rasa sakit (hemoroid intema, angiodisplasia), nyeri perut
(kolitis infeksi, iskemia mesenterial), tenesmus ani (fisura, disentri).
Apakah kejadian ini bersifat akut, pertama kali atau berulang, atau kronik,
akan membantu ke arah dugaan penyebab atau sumber perdarahan.
e. Pemeriksaan Fisis
Segera nilai tanda vital, terutama ada tidaknya renjatan atau hipotensi
postural (Tilt test). Jangan lupa colok dubur untuk menilai sifat darah yang
keluar dan ada tidaknya kelainan pada anus (hemoroid interna, tumor
rektum). Pemeriksaan fisis abdomen untuk menilai ada tidaknya rasa nyeri
tekan (iskemia mesenterial), rangsang peritoneal (divertikulitis), massa
intraabdomen (tumor kolon, amuboma, penyakit Crohn). Pemeriksaan
sistemik lainnya: adanya artritis (inflammatory bowel disease), demam
(kolitis infeksi), gizi buruk (kanker), penyakit jantung koroner (kolitis
iskemia).

f. Laboratorium
Segera harus dinilai adalah kadar hemoglobin, hematokrit, trombosit,
dan kalau sarana lengkap waktu protrombin. Laboratorium lain sesuai
indikasi. Penilaian hasil laboratorium harus disesuaikan dengan keadaan
klinis yang ada. Penilaian kadar hemoglobin dan hematokrit, misalnya
pada perdarahan akut dan masif, akan berdampak pada kebijakan pilihan
jenis darah yang akan diberikan pada proses resusitasi.
g. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Pemeriksaan ini sangat tergantung pada keadaan klinis pasien waktu
masuk rumah sakit, penyebab atau lesi sumber perdarahan, perjalanan
penyakit pasien dan tidak kalah pentingnya adalah sarana diagnostik
penunjang yang tersedia. Secara teori, modalitas sarana pemeriksaan
anoskopi, sigmoidoskopi, kolonoskopi, enteroskopi, barium enema (colon
in loop), angiografi/artereriografi, blood flow scintigraphy, dan operasi
laparatomi eksplorasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi lesi sumber
perdarahan dan diagnosis penyakitnya. Tidak jarang modalitas diagnostik
ini dapat dipakai sekaligus untuk terapi (endoskopi terapeutik, embolisasi
pada waktu arteriografi). Masing-masing modalitas diagnostik ini
mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan modalitas lainnya.
Misalnya pada perdarahan yang berlangsung masif, peran kolonoskopi
akan terhambat oleh sulitnya memperoleh lapang pandang yang akurat
untuk menilai di mana dan apa sumber perdarahannya. Sedangkan
arteriografi lebih mudah untuk mendapatkan lokasi sumber perdarahan
(kalau perlu sekaligus terapinya). Mulai dari diagnostik (terlebih lagi pada
waktu terapi) sudah diperlukan kerja sama tim (internis, internis konsultan
gastroenterologi, ahli bedah, radiologis, radiologis interventional, dan
anestesi) yang optimal sehingga langkah diagnostik (dan terapi) dapat
selaras untuk kepentingan pengobatan pasien seutuhnya. Pada keadaan

tidak adanya gangguan hemodinamik atau keadaan yang masih


memungkinkan kita merencanakan langkah diagnostik yang berencana
(elektif),

eksplorasi

diagnostik

sumber

perdarahan

relatif

tidak

menimbulkan permasalahan. Tetapi bila keadaan pasien tidak stabil,


adanya gangguan hemodinamik, diperlukannya segera pilihan terapi,
permasalahan algoritme diagnostik (juga berdampak pada algoritme terapi
tidak jarang muncul dan terjadi perbedaan persepsi antara disiplin terkait.
Pemeriksaan penunjang ini akan berbeda pelaksanaannya dan akan
berbeda

hasil

yang

diharapkan

dicapai

bila

menghadapi

kasus

akut/emergensi atau kasus kronik/elektif. Pada makalah ini akan lebih


ditekankan pada prosedur diagnostik dan terapi pada kasus yang akut dan
bersifat emergensi.
Anoskopi/Rektoskopi
Pada umumnya dapat segera mengetahui sumber perdarahan
tersebut bila berasal dari perdarahan hemoroid interna atau adanya
tumor rektum. Dapat dikerjakan tanpa persiapan yang optimal.
Sigmoidoskopi
Perdarahan dari sigmoid (misalnya tumor sigmoid) masih
mungkin dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ini dengan hanya
persiapan laksan enema (YAL) atau klisma, mengingat darah dalam
lumen usus itu sendiri sudah bersifat laksan.

Kolonoskopi
Pada keadaan yang bersifat elektif dengan persiapan yang
optimal, pemeriksaan ini dapat dengan relatif mudah mengidentifikasi
sumber perdarahan di seluruh bagian kolon sampai ileum terminal.

Tetapi pada keadaan perdarahan aktif, lumen usus penuh darah


(terutama bekuan darah), maka lapang pandang kolonoskop akan
terhambat. Diperlukan usaha yang berat untuk membersihkan lumen
kolon secara kolonoskopi. Sering sekali lumen skop tersumbat total
sehingga pemeriksaan harus dihentikan. Tidak jarang hanya dapat
menyumbangkan informasi adanya demarkasi atau batas antara lumen
kolon yang bersih dari darah dan diambil kesimpulan bahwa letak
sumber perdarahan di distal demarkasi tersebut

Push Enteroskopi
Pemeriksaan ini dilakukan melalui SCBA dan melewati
ligamentum Treitz serta dapat mengidentifikasi perdarahan pada usus
kecil. Sarana ini masih sangat jarang di Indonesia.
Barium Enema (colon in loop)
Pada keadaan perdarahan akut dan emergensi, pemeriksaan ini
tidak mempunyai peran. Bahkan kontras yang ada akan memperlambat
rencana pemeriksaan kolonoskopi (kontras barium potensial dapat
menyumbat saluran pada skop) atau skintigrafi (kontras barium akan
mengacaukan interpretasi) bila diperlukan. Serta tidak ada tambahan
manfaat terapeutik. Tetapi pada keadaan yang elektif, pemeriksaan ini
mampu mengidentifikasi berbagai lesi yang dapat diprakirakan sebagai
sumber perdarahan (tidak dapat menentukan sumber perdarahan).

Angiografi/Arteriografi
Injeksi zat kontras lewat kanul yang dimasukkan melalui arteri
femoralis dan arteri mesenterika superior atau inferior, memungkinkan
visualisasi lokasi sumber perdarahan. Dengan teknik ini biasanya
perdarahan arterial dapat terdeteksi bila lebih dari 0,5 ml per menit.
Arteriografi dapat dilanjutkan dengan embolisasi terapeutik pada
pembuluh darah yang menjadi sumber perdarahan.

Arteri Mesenterica inferior

Arteri mesenterica inferior

Arteri Mesenterica Superior

Blood Flow Scintigraphy (Nuclear Scintigraphy)


Darah pasien diambil dan dilabel dengan zat radioaktif
(99m.technitium), kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh.
Darah yang berlabel tersebut akan bersirkulasi dan keluar pada
daerah/lokasi lesi. Tehnik ini dilaporkan dapat mendeteksi perdarahan
yang relatif sedikit (0,1 ml per menit). Scanning diambil pada jam 1
dan 4 setelah injeksi darah berlabel serta 24 jam setelah itu atau sesuai
dengan prakiraan terjadinya perdarahan. Sehingga dapat mendeteksi
perdarahan yang bersifat intermiten dengan cara mengambil scanning
pada jam-jam tertentu.
Operasi Laparatomi Eksplorasi
Tentunya

proses

operasi

secara

langsung

dapat

mengidentifikasi sumber perdarahan. Tetapi masalahnya adalah kapan


tindakan ini akan dilakukan sebagai modalitas diagnostik sekaligus
terapeutik, bagaimana pertimbangan toleransi operasi bagi pasien dan
sejauh mana kemudahan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
durante operasi. Secara nyata dalam praktek penatalaksanaannya di
rumah sakit, hal ini sering menimbulkan kontroversi. Keadaan ini
membutuhkan koordinasi multidisiplin yang terkait. Pada dasarnya
laparatomi eksplorasi diindikasikan bila perdarahan hebat yang tidak
dapat diatasi secara konservatif. Perdarahan berulang pada keadaan
yang sudah teridentifikasi sumber perdarahan pada pemeriksaan
kolonoskopi, arteriografi, atau scanning, juga tidak memerlukan
intervensi operasi. Risiko operasi akan menurun bila pada operasi
tersebut

dapat

dilakukan

identifikasi

sumber

kolonoskopik, baik sebelum maupun durante operasi.


h. Tata Laksana

perdarahan

per

Penatalaksanaan

perdarahan

SCBB

tentunya

akan

bervariasi

tergantung pada penyebab atau lesi sumber perdarahan, dampak


hemodinamik yang telah terjadi pada waktu masuk rumah sakit, pola
perdarahan yang bersifat akut atau telah berlangsung lama/kronik.
Algoritme tata laksana perdarahan SCBB dalam makalah ini, merupakan
hasil konsensus dalam beberapa tahapan pertemuan sidang organisasi
profesi Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
Terapi pada Keadaan Akut
Resusitasi
Pada prinsipnya proses resusitasi sama dengan perdarahan
SCBA atau perdarahan akut lainnya, yaitu koreksi defisit volume
intravaskular dan stabilisasi hemodinamik. Pemasangan jalur intravena
pada pembuluh besar harus dikerjakan (bukan pada pembuluh vena
kecil walaupun diduga perdarahan sedikit). Pada awalnya larutan
fisiologis NaCI dapat dipakai untuk mencukupi defisit volume
intravaskular.
Bila jelas hemodinamik terganggu dan belum ada darah,
plasma ekspander dapat dipakai untuk keperluan ini. Kadar Hb dan Ht
dapat dipakai untuk parameter kebutuhan transfusi darah dan
biasanya transfusi dengan target Hb 10-11 g/dl atau sesuai dengan
kondisi sistemik pasien (umur, toleransi kardiovaskular, dan lain-lain).
Dapat dipakai whole blood bila masih diperhitungkan perlunya
resusitasi volume intravaskular atau red packed cell bila hanya tinggal
perlu menaikkan kadar hemoglobin. Bila terdapat defisiensi faktor
pembekuan. Kombinasi red packed cell dan fresh frozen plasma dapat
menjadi pilihan pertama pada proses resusitasi. Bila terdapat proses
gangguan faktor koagulasi lainnya, tentunya harus dikoreksi sesuai
kebutuhan.

Bila masih diduga adanya perdarahan yang masif berasal dari


SCBA, maka pemasangan NGT untuk proses diagnostik harus
dipertimbangkan. Aspirat NGT yang jernih, belum menyingkirkan
perdarahan bukan berasal dari SCBA.
Medikamentosa
Pada

keadaan

perdarahan

akut,

adanya

gangguan

hemodinamik, belum diketahui sumber perdarahan, tidak ada studi


yang dapat memperlihatkan manfaat yang bermakna dari obat-obatan
untuk keadaan ini. Kecuali telah diketahui, misalnya perdarahan akibat
pemberian antikoagulan atau pada kasus yang telah diketahui adanya
koagulopati. Obat-obat hemostatika yang banyak dikenal dan beredar
luas, dapat disepakati saja dipakai (bila jelas tidak ada kontra indikasi
pada tahap ini dengan mempertimbangkan cost-effective). Demikian
pula obat yang tergolong vasoaktif seperti vasopresin, somatostatin,
dan okreotid.
Endoskopi Terapeutik
Pada keadaan di mana endoskopi mendapat peluang (keadaan
dalam lumen kolon cukup bersih) dalam segi identifikasi lesi sumber
perdarahan, teknik ini sekaligus dapat dipakai sebagai modalitas
terapeutik (bila fasilitas tersedia). Kauterisasi pada lesi angiodisplasia
atau tumor kolon, akan mengurangi derajat atau menghentikan proses
perdarahan. Polipektomi pada polip kolon yang berdarah dapat bersifat
kuratif.
Radiologi Intervensional
Dengan teridentifikasinya lokasi perdarahan, durante tindakan
dapat diberikan injeksi intraarterial vasopresin yang dilaporkan dapat

mengontrol perdarahan pada sebagian besar kasus perdarahan


divertikel

dan

angiodisplasia.

Hanya

harus

diwaspadai

efek

vasokonstriksi obat tersebut pada sirkulasi tubuh yang lain, terutama


sirkulasi koroner jantung. Alternatif lain dari prosedur ini adalah
tindakan embolisasi pada pembuluh darah yang menjadi sumber
perdarahan teridentifikasi tersebut. Harus diwaspadai kemungkinan
terjadinya infark segmen usus terkait akibat prosedur embolisasi
tersebut.
Surgikal
Pada prinsipnya operasi dapat bersifat emergensi tanpa
didahului identifikasi sumber perdarahan atau elektif setelah sumber
perdarahan teridentifikasi. Tentunya hal ini mempunyai dampak risiko
yang berbeda. Operasi emergensi mempunyai angka kesakitan dan
kematian yang tinggi bila dilakukan pada keadaan yang tidak stabil.
Kombinasi antara kolonoskopi pre dan durante operasi diharapkan
dapat mengurangi waktu operasi yang dibutuhkan.
Hemoroid Interna
Penyebab tersering perdarahan SCBB, biasanya ringan, tidak mempengaruhi
hemodinamik dan dapat berhenti spontan. Perdarahan biasanya terjadi setelah
defekasi, menetes, darah terpisah dari feses. Harus dibedakan dengan tumor
atau polip rektum karena tata laksananya sangat berbeda. Terapi konservatif,
terapi sklerosing/ligasi, atau surgikal dapat dikerjakan sesuai indikasi yang
dikaitkan dengan derajat hemoroidnya. Derajat IV atau adanya trombus
memerlukan peran surgikal.
Angioma/Angiodisplasia kolon
Lokasi terutama di daerah kolon kanan atau sekum, biasanya bersifat multipel.
Bila dapat diidentifikasi pada waktu perdarahan, tindakan kauterisasi

perendoskopik dapat menghentikan perdarahan pada sebagian kasus. Di


samping itu alternatif lain berupa embolisasi selektif waktu dilakukan
angiografi. Vasopresin intraarterial dilaporkan cukup bermanfaat dalam
menghentikan perdarahan.
Divertikulosis Kolon
Biasanya perdarahan tanpa rasa nyeri, merah segar atau maroon stool, sering
bersumber dari kolon bagian kanan. Pada umumnya spontan berhenti dan
tidak ada terapi medikamentosa yang spesifik pada sebagian besar kasus.
Kekerapan semakin meningkat sesuai umur.
Divertikulum Meckel
Biasanya teridentifikasi dengan teknik pemeriksaan skintigrafi. Terapi
surgikal merupakan pilihan pertama.
Tumor Kolon
Perdarahan biasanya sedikit, bercampur feses, bersifat kronik. Jarang
menimbulkan permasalahan diagnostik dan terapeutik emergensi.
Kolitis Iskemik
Harus dipertimbangkan sebagai penyebab hematoskezia, terutama pada usia
lanjut atau terdapat gangguan koagulasi atau trombosis. Pada umumnya
bermanifestasi bersamaan dengan nyeri perut, terutama setelah makan. Terapi
pilihan sesuai dengan penyakit dasarnya.
Kolitis Radiasi
Adanya riwayat radiasi (terutama radiasi internal pada karsinoma serviks),
harus dipertimbangkan adanya perdarahan SCBB akibat proktitis radiasi.
Pengobatannya masih mengecewakan. Steroid dan sukralfat enema dapat
dipakai dengan hasil yang bervariasi.

Inflammatory Bowel Disease


Secara medikal diusahakan dengan 5-ASA dan steroid. Bila perdarahan hebat
dapat dilakukan operasi kolektomi.

Kolitis Infeksi
Hematoskezia terjadi bersamaan dengan klinis tanda infeksi SCBB, seperti
diare dan nyeri perut. Pengobatannya baku sesuai dengan penyebab dasar.
Jarang perdarahan ini menimbulkan gangguan hemodinamik.

BAB III
KESIMPULAN
A. SIMPULAN
Identifikasi letak perdarahan adalah langkah awal yang paling
penting dalam pengobatan.Setelah letak perdarahan terlokalisir, pilihan
pengobatan dibuat secara langsung dan kuratif. Meskipun metode
diagnostik untuk menentukan letak perdarahan yang tepat telah sangat
meningkat dalam 3 dekade terakhir, 10-20% dari pasien dengan
perdarahan saluran cerna bagian bawah tidak dapat dibuktikan sumber
perdarahannya. Oleh karena itu, masalah yang kompleks ini
membutuhkan evaluasi yang sistematis dan teratur untuk mengurangi
persentase kasus perdarahan saluran cerna yang tidak terdiagnosis dan
tidak terobati.
B. SARAN
Sebaiknya sebagai tenaga kesehatan, terutama dokter layanan
primer yang akan menjadi lini pertama pelayanan kesehatan, memiliki
pengetahuan, kemampuan dalam pemanfaatan pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan radiologis guna membantu menegakkan diagnosis
dan memberikan penanganan yang optimal bagi pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Makanan

Diet

Sehat,

sistem

pencernaan

manusia.

Available

from:

http://makanandietsehat.com/sistem-pencernaan-manusia/.( Accessed 7Mei 2014)


2. Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-6. Jakarta:
EGC
3. Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical
Aspect.Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
4. Price S. Wilson L.2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed
6. Vol 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Guyton, AC dan Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed: ke-9. Jakarta:
EGC
6. Dubey, S., 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam: Greenberg, M.I., et
al. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta: Penerbit
Erlangga
7. Djumhana A;Hadi S;Abdurachman SA;Wijojo J;Saketi R: Upper GI bleeding in
Hasan
8. Holster IL, Kuipers EJ. Management of acute nonvariceal upper gastrointestinal
bleeding: current policies and future perspectives. World J Gastroenteral. 2012;
18:1207-7
9. Porter, R.S., et al., 2008. The Merck Manual of Patient Symptoms. USA: Merck
Research Laboratories
10. de Franchis R. Evolving Consensus in Portal Hypertension Report of the Baveno
IV Consensus Workshop on methodology of diagnosis and therapy in portal
hypertension -Special report. J Hepatology 2005;43:167-176
11. Anand, B.S., Katz, J., 2011. Peptic Ulcer Disease, Medscape Reference,
Professor. Department of Internal Medicine, Division of Gastroenterology, Baylor
College of Medicine. Available from:http://emedicine.medscape.com/ ( Accessed
23 April 2011)
12. Jutabha, R., et al. 2003. Acute Upper Gastrointestinal Bleeding. Dalam: Friedman,
S.L., et al. Current Diagnosis & Treatment in Gastroenterology 2 ed. USA:
McGraw-Hill Companies, 53 67.
13. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus SK, Setiati S. 2007. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

14. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Available


From :http://www.dokterbedahherryyudha.com/. (Accesed 29 Juni 2009)
15. Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. Available
Form :http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/viewFile/75/78.
(Accesed September 2013)

Anda mungkin juga menyukai