Anda di halaman 1dari 28

BAB III

KONSEP TEORITIS PENYAKIT

3.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan

Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus)
adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran
darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan
sisa proses tersebut dari tubuh.

Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan,


lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi
organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan
kandung empedu.

Gambar 1:

9
A. Mulut

Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada
hewan. Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal
dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di anus. Mulut merupakan jalan
masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi oleh selaput
lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan
lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit.
Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari
berbagai macam bau.

Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh


gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah
dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari
makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai mencernanya.
Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya lisozim), yang memecah
protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan dimulai secara
sadar dan berlanjut secara otomatis.

Gambar 2 :

B. Tenggorokan ( Faring)

Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal dari


bahasa yunani yaitu Pharynk.

Skema melintang mulut, hidung, faring, dan laring

10
Gambar 3 :

Didalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang
banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap
infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan,
letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang
belakang

Keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan


lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan rongga mulut dengan
perantaraan lubang yang disebut ismus fausium

Tekak terdiri dari; Bagian superior =bagian yang sangat tinggi dengan hidung,
bagian media = bagian yang sama tinggi dengan mulut dan bagian inferior =
bagian yang sama tinggi dengan laring.

Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang


menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga,Bagian media disebut
orofaring,bagian ini berbatas kedepan sampai diakar lidah bagian inferior disebut
laring gofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring

C. Kerongkongan (Esofagus)

Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui


sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan
berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering

11
juga disebut esofagus(dari bahasa Yunani: οiσω, oeso – “membawa”, dan έφαγον,
phagus – “memakan”).

Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang belakang. Menurut
histologi.

Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:

Ø bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)

Ø bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)

Ø serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

D. Lambung

Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang keledai.

Terdiri dari 3 bagian yaitu

Ø Kardia.

Ø Fundus.

Ø Antrum.

Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot berbentuk cincin
(sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter
menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.

Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk
mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung
menghasilkan 3 zat penting :

* Lendir

Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap
kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada
terbentuknya tukak lambung.

12
* Asam klorida (HCl)

Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin
guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai
penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri

* Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)

Gambar 5 :

E. Usus halus (usus kecil)

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.

Lapisan usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M
sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah
Luar )

Gambar 6 : Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum),
usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).

13
1. Usus dua belas jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang terletak setelah
lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas
jari merupakan bagian terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan
berakhir di ligamentum Treitz.

Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus
seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal berkisar pada
derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara saluran yaitu dari
pankreas dan kantung empedu. Nama duodenum berasal dari bahasa Latin duodenum
digitorum, yang berarti dua belas jari.

Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang
merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum
melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika penuh,
duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti mengalirkan
makanan.

2. Usus Kosong (jejenum)

Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah bagian kedua
dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan
(ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2
meter adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan digantungkan
dalam tubuh dengan mesenterium.

Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus
(vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara histologis dapat dibedakan
dengan usus dua belas jari, yakni berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis
pula dapat dibedakan dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak
Peyeri. Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara
makroskopis.

14
Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti “lapar” dalam bahasa Inggris
modern. Arti aslinya berasal dari bahasa Laton, jejunus, yang berarti “kosong”.

3. Usus Penyerapan (illeum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada sistem
pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan terletak setelah
duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7
dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-
garam empedu.

Gambar 10 :

Diagram ileum dan organ-organ yang berhubungan

F. Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.

Usus besar terdiri dari :

* Kolon asendens (kanan)


* Kolon transversum
* Kolon desendens (kiri)
* Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)

Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa
bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi.

15
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin
K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta
antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar.
Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan
terjadilah diare.

G. Usus Buntu (sekum)

Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, “buta”) dalam istilah anatomi adalah
suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak
dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil.
Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif
memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai
cacing.

H. Umbai Cacing (Appendix)

Umbai cacing atau apendiks adalah organ tambahan pada usus buntu. Infeksi pada
organ ini disebut apendisitis atau radang umbai cacing. Apendisitis yang parah dapat
menyebabkan apendiks pecah dan membentuk nanah di dalam rongga abdomen atau
peritonitis (infeksi rongga abdomen).

Dalam anatomi manusia, umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform
appendix (atau hanya appendix) adalah hujung buntu tabung yang menyambung
dengan caecum.

Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Dalam orang dewasa, Umbai
cacing berukuran sekitar 10 cm tetapi bisa bervariasi dari 2 sampai 20 cm. Walaupun
lokasi apendiks selalu tetap, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda – bisa di
retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang jelas tetap terletak di peritoneum.

Banyak orang percaya umbai cacing tidak berguna dan organ vestigial (sisihan),
sebagian yang lain percaya bahwa apendiks mempunyai fungsi dalam sistem limfatik.

16
Operasi membuang umbai cacing dikenal sebagai appendektomi.

I. Rektum dan anus

Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah ruangan


yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus.
Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya
rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada
kolon desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum,
maka timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding
rektum karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf
yang menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak
terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan
air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama,
konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi.

Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi
dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang
penting untuk menunda BAB.

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan


limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit)
dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur oleh otot
sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang air besar –
BAB), yang merupakan fungsi utama anus.

Gambar 11 :

17
J. Pankreas

Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi utama
yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti
insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat
dengan duodenum (usus dua belas jari).

Pankraes terdiri dari 2 jaringan dasar yaitu :

* Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan

* Pulau pankreas, menghasilkan hormon

Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam duodenum dan melepaskan


hormon ke dalam darah. Enzim yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna
protein, karbohidrat dan lemak. Enzim proteolitik memecah protein ke dalam
bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan dilepaskan dalam bentuk inaktif.
Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran pencernaan. Pankreas juga
melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi melindungi
duodenum dengan cara menetralkan asam lambung.

K. Hati

Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan memiliki
berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.

Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa
fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan
penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Istilah
medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik
dari kata Yunani untuk hati, hepar.

Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh
darah yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang

18
bergabung dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati
sebagai vena porta. Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam
hati, dimana darah yang masuk diolah.

Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya
dengan zat-zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum.

Gambar 12 :

Hati adalah organ yang terbesar di dalam badan manusia.

L. Kandung empedu

Kandung empedu (Bahasa Inggris: gallbladder) adalah organ berbentuk buah pir
yang dapat menyimpan sekitar 50 ml empedu yang dibutuhkan tubuh untuk
proses pencernaan. Pada manusia, panjang kandung empedu adalah sekitar 7-10
cm dan berwarna hijau gelap – bukan karena warna jaringannya, melainkan
karena warna cairan empedu yang dikandungnya. Organ ini terhubungkan dengan
hati dan usus dua belas jari melalui saluran empedu.

Empedu memiliki 2 fungsi penting yaitu:

· Membantu pencernaan dan penyerapan lemak

· Berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin


(Hb) yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol.

3.2 Definisi Tifoid

Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi usus halus. Sinonim dari
demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever,

19
tifus, dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi yang
sama dengan dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan.

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di indonesia. Penyakit ini


termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun
1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang
mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.

3.3 Etiologi

Etiologi demam tifoid adalah Salmonella tyjpi. Sedangkan demam paratifoid di


sebabkan oleh organism yg termasuk dalam spesies Salmonella enteritidis, yaitu S.
enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteridis
bioserotipe paratifi C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama S. paratyphi A,
S. schottmuelleri, dan S. hirschfeldii.

3.4 Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typi) dan Salmonella paratyphi (S.
paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos ke dalam usus
dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan
kemuadian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar keseluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meningggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan

20
bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit
infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang


biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian
masuk lagi kedalm sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif,
maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan beberapa
mamediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.

Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi


hiperplasia jaringan (S.thypi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, sehingga dapat
mengakibatkan perforasi.
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguanorgan lainnya.

3.5 Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala yg di timbulkan
bervariasi dari ringan samapai berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit
yang khas disertai komplikasi hingga kematian.. Dalam minggu pertama, keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umunya, yaitu demam, nyeri kepala,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut,

21
batuk, dan epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya di dapatkan peningkatan suhu
badan.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi
relative (peningkatan suhu 1ºCtidak di ikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per
menit), lidah tifoid(kotor di tengah, tepi ujung merah dan tremor), hepatomegali,
splenomegali, meteorimus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma,
sedangkan roseolae jarang di temukan pada orang Indonesia.

3.6 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :

1. Komplikasi intestinal
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskular : kegagalan sirkulasi perifer (renjatan,sepsis),
miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia dan/atau koagulasi
intravaskular diseminata dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis.
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, sindrom Gualain-Barre, psikosis, dan sindrom
katatonia.

Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi.


Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan
umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.

22
3.7 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan rutin
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia,
dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat
terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan
anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat
terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid
dapat meningkat.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat,tetapi akan kembali menjadi normal
setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan
khusus.

Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S.typhi pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman s.typhi dengan anti bodi yang
disebut agglutinin. Antigen gen yang digunakan pada uji widal adalah supensi
salmonella yang sudah dimatikan daan diolah di laboratorium. Magsud uji widal
adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita demam
typoid yaitu: a).aglutinin o ( dari tubuh kuman), b). agglutinin h ( flagella kuman),
dan c). agglutinin Vi ( simpai kuman).
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin o dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam typhoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat,
dan tetep tinggi selama beberapa mingggu. Pada fase akut mula-mula timbul
algutinin O masih dapat dijumpai 4-6 bulan, sedangkan agglutinin h menetap
lebih lama antara 9-12 bulan.oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan
kesembuhan penyakit.
Ada beberapa factor yang mempengaruhi uji widal yaitu:
1. Pengobatan dini dengan antibiotik

23
2. Ganguan pembentukan antibody, dan pemberian kartikosteroid
3. Waktu pengambilan darah
4. Daerah endemic atau non-endemik
5. Riwayat vaksinasi
6. Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7. Factor teknik pemeriksaan laboratorium,akibat aglutinasi silang, dan
strain salmonella yang digunakan untuk supensi antigen

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang
bermakna diagnostic utuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja , hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda
di berbagai laboratorium setempat

Kultur darah

Hasil biakan darah yang positif memastikan deman tifoid, akan tetapi hasil
negative tidak menyingkirkan demam tifoid karena mungkin disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut:

1. Telah mendapat terapi antibiotic,bila pasien sebelum dilakukan kultur


darah telah mendapat antibiotic.pertumbuhan kuman dalam media
biakan terhambat dan hasil mungkin negative
2. Volume darah yang kurang ( diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila
darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negative.darah yang
diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukan ke dalam
media cair empedu ( oxgall) untuk pertumbuhan kuman;
3. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di massa lampau menimbulkan antibody
dalam darah pasien. Antibody ( agglutinin) ini dapat menekan
bakteremia hingga biakan darah dapat negative.
4. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin
semakin meningkat.

24
3.8 Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogy penatalaksanaan demam typoid yaitu:

1. Pemberian antibiotic; untuk menghentikan dan memusnahkan penyebaran kuman.


Antibiotik yang dapat digunakan :
a. Kloranfenikol; dosis hari pertama 4x250 mg,hari ke dua 4x 500 mg, diberikan
selama demam, dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam ,kemudian dosis
diturunkan menjadi 4x250 mg selam 5 hari kemudian. Penelitian terakhir
( Nelwan,dkk. Di RSUP persahabatan),penggunaan kloranfenikol masih
memperlihatkan hasil penurunan suhu 4 hari, sama seperti obat-obat terbaru
dari jenis kuinolon
b. Ampisilin/Amoksisilin;dosis 50-150 mg/kb BB, diberikan selama 2 minggu.
c. Kotrimokazol; 2x2 tablet ( 1 tablt mengandung 400 mg sulfametoksazol-80
mg trimetropin, diberikan selama 2 minggu pula
d. Sefalosporin generasi II dan III. Di Subbagian penyakit tropic dan Infeksi
FKUI-RSCM, pemberian sefalosporin berhasil mengatasi demam typhoid
dengan baik. Demam pada umumnya mengalamimereda pada hari ke-3 atau
menjelang hari ke-4. Regimen yang dipakai adalah:
Seftriakson 4 g/hari selama 3 hari
Norfloksasin 2x400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari
Oflaksasin 600 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
2. Istirahat dan perawatan professional; bertujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolute sampai minimal 7
hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi dilakukan
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Dalam perawatan perlu sekali
dijaga hygiene perseorangan, kebersihan tempat tidur,pakaian,dan peralatan yang
dipakai oleh pasien. Pasien dengan kesadaran menurun, posisinya perlu diubah-
ubah untuk mencegah dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang

25
air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi
urin.
3. Diet dan terapi penunjang ( simtomatis dan suportif)
Pertama pasien diberi diet ubur saring,kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi
sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukan
bahwa pemberian makanan padat ini, yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
( pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga
diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan
umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis,
system imun akan tetep berfungsi dengan optimal.
Pada kasus perforasi intestinal septic diperlukan perawatan intensif dengan nutrisi
parenteral total. Spektrum antibiotik maupun kombinasi beberapa obat yang
bekerja secara sinergis dapat dipertimbangkan. Kartikosteroid selalu perlu
diberikan pada renjatan septic. Prognosis tidak begitu baik pada kedua keadaan
diatas.

3.9 Pencegahan

Pencegahan demam Tifoid dapat dilakukan dengan berbagai cara , yaitu :

1. Preventif dan Kontrol penularan

Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan


kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banayak aspek, mulai dari segi
kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor host serta faktor
lingkungan.

2. Indentifikasi dan Eradikasi S.Typhi pada Pasien Tifoid Asimtomatik, Karier dan
Akut.

Tindakan identifikas atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini cukup


sulit dan memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala
nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran

26
maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau
swasta.

3. Pencegahan Transmisi Langsung dari Penderita Terinfeksi S.Typhi

Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun dirumah dan


lingkungan sekitar orang yang telah diketahui penginap kuman S.typhi.

4. Proteksi pada Orang yang Beresiko Tinggi Tertular Dan Terinfeksi.

Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di
daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya
endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat
hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu berisiko,
yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan.

5. Vaksinasi

Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960
efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88 %
(WHO) dan sebesar 67% ( Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi
tidak mampu proteksi bila terpapar 107 bakteri.

Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah
lain. Indikasi vaksinasi adalah bila,

a. Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam tifoid


semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika)

b. Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid,

c. Petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.

Adapun jenis vaksin yang digunakan yaitu : Vaksin oral Ty21a (vivotif Berna)
belum beredar di Indonesia dan Vaksin Parenteral ViCPS (Typhim Vi/Pasteur
Merieux), vaksin kapsul polisakarida.

27
3.10 WOC ( Web Of Caution)

Tipoid

Salmonella Thypi

Makanan

Saluran Pencernaan

Lambung Lolos ke usus Diserap oleh Usus Aktivasi IgA

Kel. Limfa Plaque Penyeri Makrofag Fagosit Lamina Propia Sel Epitel

Duktus Torasikus Sirkulasi Darah/ infeksi sistemik

Hati Endotoksin

Empedu

Usus

28
Hiperplasia

Nekrosis Jaringan Demam Pernafasan

Perdarahan saluran cerna Batuk


Peningkatan suhu tubuh
Batuk
Mual muntah Perforasi
Resiko kurang volume cairan Bersihan jalan nafas tidak efektif
Sakit bagian perut

Perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan tubuh
Nyeri Akut

Lemah, lemas Defisit Perawatan diri

Intoleransi Aktivitas

29
3.11 Asuhan Keperawatan Teoritis
1. Pengkajian
a. Pola Persepsi Kesehatan – Manejemen Kesehatan.
Kaji adanya riwayat Tipoid pada pasien, penggunaan obat-obatan tertentu, ,
sesak nafas.
b. Pola Nutrisi Metabolik
Kaji adanya kehilangan nafsu makan, kesulitan mencerna, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, / kering, bersisik, kehilangan otot / lemak subkutan,
demam.
c. Pola Eliminasi Cairan
Kaji adanya muntah
d. Pola Aktivitas Latihan
Kaji adanya kelelahan umum dan kelemahan, dispnoe saat bekerja, kelemahan
otot, sesak nafas, , peningkatan frekwensi pernafasan,
e. Pola Istirahat Tidur
Kaji adanya kesulitan tidur pada malam hari atau demam malam hari,
menggigil, berkeringat, sesak nafas.
f. Persepsi Kognitif
Kaji adanya faktor ( stress ) lama, perasaan tidak berdaya, ketakutan, ansietas.
g. Pola Persepsi Konsep Diri
Kaji penyangkalan tehadap penyakitnya, pandangan terhadap
tubuhnya,harapan akan kesembuhan, perubahan pola biasa dan tanggung
jjawab / perubahan kapasitas fisik untuk melakukan peran.
h. Pola Hubungan Sosial
Kaji bagaimana interaksi dengan masyarakat sekitar, penolakan terhadap
masyarakat sekitar,hubungan dengan keluarga dan teman sebaya.
i. Pola Hubungan Seksual
Kaji bagaimana perasaan pasien terhadap pasangan.
j. Pola Koping Toleransi Stress
Bercerita tentang penyakitnya, memerlukan bantuan dalam perawatan.

30
k. Pola Spiritual
Kepecayaan terhadap penyakit adalah suatu cobaan dari tuhan, kepercayaan
yang dianut oleh pasien, pengobatan dan perawatan yang berhubungan dengan
kepercayanan yang dianut oleh pasien.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat
b. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh,
proses inflamasi dan peradangan
c. Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan pada usus halus akibat
infeksi bakteri sallmonela thipy
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan inflamasi
e. Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan output cairan tubuh yang
berlebihan akibat mual muntah.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen.
g. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurangnya
informasi
h. Deficit Perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan pasien untuk
bergerak.

3. Perencanaan
a. Prioritas Masalah
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
tidak adekuat
2. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme
tubuh, proses inflamasi dan peradangan
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses peradangan pada usus halus akibat
infeksi bakteri sallmonela thipy

31
b. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan criteria Intervensi Rasional
. hasil
1. Nutrisi kurang dari Setelah dilakukan  Timbang berat badan pada  Untuk mengetahui penambahan
kebutuhan tubuh tindakan keperawatan, interval yang tepat. BB.
berhubungan intake yang selama 3 kali 24 jam  Anjurkan makanan sedikit  Untuk mencegah rasa penuh
tidak adekuat diharapkan nutrisi tapi sering. dalam lambung.
pasien adekuat.  Sajikan makanan selagi  Untuk merangsang nafsu makan.
hangat dan dalam bentuk
1. Berat badan
yang menarik.
meningkat.
 Berikan informasi kepada  Untuk meningkatkan
2. Nafsu makan
keluarga tentang pengetahuan pasien dan
pasien kembali
kebutuhan nutrisi dan keluarga tentang nutrisi yang
meningkat.
bagaimana untuk baik dan adekuat.
3. Pasien mampu
memenuhinya.
menghabiskan
 Kolaborasi dengan ahli  Untuk menentukan tindakan lebih
makanannya.
gizi. lanjut dan menentukan diet yang
4. Pasien tidak merasa
tepat.
mual dan muntah. .
5. Lidah pasien
terlihat bersih

32
6. Pasien terlihat
2. Peningkatan suhu tubuh segar dan bertenaga
berhubungan dengan
peningkatan metabolism Setelah dilakukan
 Observasi TTV dan keadaan
tubuh, proses inflamasi tindakan keperawatan
selama 2 X 24 jam umum  Untuk mengetahui peningkatan
dan peradangan
diharapkan hipertermi  Observasi warna kulit dan suhu tubuh dan keadaan pasien.
teratasi. suhu.  Kembalinya warna kulit ke
Dengan kriteria hasil:  Berikan kompres air hangat keadaan seperti yang semula
1. TTV dalam batas  Berikan penjelasan tentang menunjukkan panas tubuh telah
normal meliputi : penyebab demamnya. menurun.
- Suhu tubuh pasien  Kolaborasi dalam pemberian  Untuk menurunkan suhu tubuh.
kembali normal antipiretik, yaitu  Agar pasien tau tentang
(36,8°C – 37,4°C) paracetamol penyebab demamnya dan dapat
- RR 16 – 24 x per mencegahnya.
menit  Untuk membantu menurunkan
- N = 60 – 100 x per suhu tubuh
menit
- TD =
120
mmHG
80

33
2. Tidak terjadi
kemerahan pada
kulit pasien
3. Pasien mengetahui
tentang penyebab
demamnya.  Kaji skala nyeri yang
4. Tubuh pasien tidak komprehensif, meliputi
teraba panas. lokasi, durasi, frekuensi,
3. Nyeri akut berhubungan
5. Bibir pasien kualitas, intensitas nyeri.
dengan proses peradangan
tampak lembab (PQRST)
pada usus halus akibat
kembali.
infeksi bakteri sallmonela  Untuk menentukan tindakan
 Observasi isyarat
thipy yang tepat.
Setelah dilakukan ketidaknyamanan non
tindakan keperawatan verbal.’
selama 3x 24 jam,  Berikan teknik non
diharapkan nyeri pada farmakologi, misalnya teknik
pasien berkurang / relaksasi.  Untuk mengetahui rasa sakit.
hilang. Dengan  Berikan penjelasan terhadap
kriteria hasil: penyebab nyeri
1. Nyeri pada bagian  Berikan analgetik sesuai  Untuk meningkatkan rasa
abdomen pasien nyaman dan mengurangi rasa

34
kebutuhan. nyeri.
hilang.
 Agar pasien tau tentang
2. Ekspresi wajah
penyebab rasa nyerinya
pasien rileks.
 Untuk menghilangkan rasa
3. Pasien mengetahui
nyeri.
tentang penyebab
nyerinya.

35
c. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi
kestatus kesehatan yang  baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Gordon, 1994, dalam Potter & Perry, 1997). Ukuran intervensi
keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan, pengobatan,
tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien-keluarga, atau
tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari.
Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai
dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif
(intelektual), kemampuan dalam hubungan interpersonal, dan keterampilan dalam
melakukan tindakan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada
kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan,
strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi. (Kozier et al.,
1995).

d. Evaluasi
a. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
b. Suhu tubuh kembali normal
c. Pasien tidak merasakan nyeri lagi
d. Toleransi aktivitas meningkat.
e. Pasien tahu dan mengerti tentang penyakitnya.
f. Melakukan perawatan diri dengan mandiri.
g. Jalan nafas sudah tak ada masalah
h. Kebutuhan cairan terpenuh

36

Anda mungkin juga menyukai