Anda di halaman 1dari 3

Cara Sahabat Berinteraksi dengan Alquran

"Generasi pertama terangkat kemuliaannya karena menempatkan Alquran di atas segala-


galanya. Sedangkan generasi sekarang jatuh kemuliaannya karena menempatkan Alquran
di bawah nafsu dan kehendak dirinya". (Dr Muhammad Al Ghazali)

Abu Thalhah Al Anshari adalah sosok lelaki ideal. Wajahnya tampan, badannya atletis,
kaya raya pula. Ia pun menduduki status sosial yang tinggi di masyarakatnya. Di samping
itu, lelaki yang memiliki nama asli Zaid bin Sahal An Najjary ini dikenal sebagai
penunggang kuda hebat dari Bani Najjar, serta pemanah jitu dari Yatsrib yang
diperhitungkan banyak orang.

Setelah masuk Islam, praktis semua miliknya dipersembahkan untuk dakwah: waktu,
harta, tenaga, kedudukan, pemikiran, hingga nyawa. Pengorbanan ini terus ia lakukan
hingga ia berusia lanjut. Alhamdulillah, suami Ummu Sulaim ini dikaruniai usia panjang.

Pada zaman Khalifah Usman bin Affan, kaum Muslimin harus berperang di lautan.
Sebagai seorang mujahid kawakan, Abu Thalhah tentunya tidak mau ketinggalan.
Bersama pasukan kaum Muslimin lainnya, ia bersiap-siap turut dalam peperangan
tersebut.

"Wahai Bapak, Bapak sudah tua. Bapak sudah turut berjuang bersama Rasulullah SAW,
bersama Abu Bakar, dan Umar bin Khathab. Kini waktunya Bapak beristirahat. Biarlah
kami yang menggantikan Bapak berperang," ungkap anak-anaknya.

Apa jawaban Abu Thalhah? Ia membaca sebuah ayat Alquran, ''Berangkatlah kamu
dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu menyadari.'' (QS At Taubah [9]:
41).

"Firman ini memerintahkan kita semua, baik tua atau pun muda, untuk berperang. Allah
tidak membatasi usia seseorang untuk menegakkan agama Allah," lanjut Abu Thalhah. Ia
menolak permintaan anak-anaknya untuk tinggal di rumah.

Sejarah mencatat, mujahid dakwah ini meninggal di kapal satu minggu sebelum
mencapai daratan. Selama enam hari di kapal jenazah Abu Thalhah tidak berubah sedikit
pun. Ia telihat seperti sedang tidur pulas. Subhanallah!

Tiga sikap sahabat


Kisah ini memperlihatkan sosok sahabat yang memiliki komitmen luar biasa terhadap
Alquran. Lihatlah, demi mengamalkan satu ayat saja (QS At Taubah [9]: 41), ia rela
mengorbankan hartanya yang paling berharga (baca: nyawa).
Padahal, dilihat dari segi fisik, Abu Thalhah masuk kelompok yang mendapatkan
keringanan untuk tidak berperang. Namun, ia tidak melakukannya.

Abu Thalhah tidaklah sendirian. Semua sabahat Rasul memiliki sikap dan perhormatan
yang luar biasa terhadap Alquran. Tak heran bila zaman mereka hidup menjadi zaman
terbaik dalam sejarah manusia. Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah
kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu
tiada memahaminya? Demikian janji Allah dalam QS Al Anbiyaa' [21] ayat 10.

Interaksi mereka terwujud dalam tiga bentuk. Pertama, mereka menepatkan ayat-ayat
Alquran seakan ditujukan kepada dirinya sendiri. Saat Alquran memerintahkan sesuatu
(shalat, zakat, puasa, menuntut ilmu, berjihad, dsb), maka mereka menggap perintah itu
ditujukan untuk dirinya, bukan untuk orang lain. Demikian pula saat Alquran melarang
sesuatu, maka larangan tersebut seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri.

Sebuah peristiwa menakjubkan terlihat saat turunnya ayat yang melarang meminum
khamr (minuman keras). Tanpa banyak tanya, para sahabat membuang dan
menumpahkan botol-botol khamr yang mereka miliki selama-lamanya. Padahal
kebiasaan tersebut sudah berurat dan berakar dalam kesehariannya.

Kedua, saat berinteraksi dengan Alquran, mereka meninggalkan ego dan semua atribut
keduniawian yang dimiliki. Tidak ada khalifah, saudagar kaya, pemikir, panglima perang.
Semuanya hamba dhaif di hadapan kalam-kalam Ilahi. Contoh terbaik adalah Umar bin
Khatbah. Walau menjabat sebagai khalifah yang luas kekuasaannya, kuat intelegensi,
fisik dan keimanannya, namun saat membaca Alquran ia menganggap dirinya hamba
yang hina dina.

Dikisahkan, Umar pernah terguncangan jiwanya ketika ia membaca rangkaian QS At


Thuur [52] ayat 9-14, ''Pada hari ketika langit benar-benar bergoncang. Dan gunung
benar-benar berjalan. Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang
mendustakan, (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan. Pada hari mereka
didorong ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), 'Inilah
neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya'.'' Setelah mendengar ayat ini, Umar
sakit keras selama sebulan lebih.

Ketiga, mereka berinteraksi dengan Alquran dalam bingkai hidayah Allah. Artinya, saat
berinteraksi mereka tidak lepas dari pemahaman untuk tujuan apa Alquran diturunkan.
Allah SWT menurunkan Alquran sebagai penerang (QS Ali Imran [3]: 138) dan petunjuk
(hudan) bagi orang yang bertakwa (QS Al Baqarah [2]: 2). Inilah fungsi utama. Karena
memahami Alquran sebagai penerang dan petunjuk, maka mereka berlomba-lomba
membaca, menelaah, memahami lalu mengamalkannya. Mereka yakin hanya dengan
Alquran-lah kebahagiaan di dunia dan akhirat akan mereka gapai. Karena itu, mereka
tidak pernah berbuat, kecuali perbuatan tersebut selaras dengan Alquran.

Dalam shirah nabawiyyah, kita pun melihat bagaimana antusiasnya sahabat menantikan
turunnya ayat-ayat Alquran. Saat sebuah ayat turun, mereka berlomba-lomba membaca,
menghapal dan mengamalkannya. Para sahabat pun memiliki kebiasaan untuk tidak
membaca atau menelaah Alquran, sebelum mereka mengamalkannya ayat-ayat yang telah
dibaca dan ditelaah sebelumnya.

Sebuah perbandingan
Sudah menjadi "rahasia umum" bahwa penyebab kemunduran kita, baik sebagai sebuah
umat maupun sebagai individu, dipengaruhi oleh rendahnya tingkat interaksi dengan
Alquran. Pola interaksi kita "umumnya" hanya sebatas lisan (membaca), tanpa
melibatkan aspek lainnya (menghapal, menelaah, memahami, dan mengamalkan).
Walaupun mengamalkan, tidak jarang pengamalannya masih parsial.

Ada perbandingan menarik dari ulama Mesir, Dr Muhammad Al Ghazali (alm) tentang
pola interaksi generasi Khulafaur Rasyidin dengan generasi sekarang terhadap Alquran.
"Generasi pertama terangkat kemuliaannya karena menempatkan Alquran di atas segala-
galanya. Sedangkan generasi sekarang jatuh kemuliaannya karena menempatkan Alquran
di bawah nafsu dan kehendak dirinya". Wallaahu a'lam.

Anda mungkin juga menyukai