Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Pada negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia, trauma merupakan salah satu kasus
yang paling banyak terjadi dan paling sering menyebabkan. World Health Organization (WHO)
memprediksi akan terjadi peningkatan angka kematian sebesar 40% yang disebabkan oleh kasus
trauma di dunia antara tahun 2002 sampai 2030 (WHO, 2004). Kasus kecelakaan lalu lintas juga
diperkirakan meningkat drastis dari 1,2 juta di tahun 2002 menjadi 1,9 juta di tahun 2020
(Sebastian V. Demyttenaere, 2009). Hal ini menimbulkan masalah kesehatan yang pada akhirnya
bisa menyebabkan cardiac arrest, sehingga membutuhkan pendekatan multidisipliner yang
berorientasi pada manajemen trauma.

Manajemen cardiac arrest pada trauma dada khususnya kasus tamponade jantung (Cardiac
Tamponade), dan kasus herniasi otak (Cerebral herniation) yang berefek pada terjadinya gagal
napas karena penekanan pada pons cerebri. Pada kasus-kasus seperti ini seringkali menimbulkan
masalah dilema dalam memberikan pertolongan berupa tindakan resusitasi jantung paru (CPR)
untuk membantu mempertahankan kehidupan pasien. Tim medis sering mengalami kendala dalam
menentukan keputusan tindakan, karena belum ada pedoman yang baku untuk penatalaksanaan
kasus ini apakah dilakukan resusitasi atau diberikan label Do Not Resuscitation yang berarti
pasien dianggap sudah tidak mungkin untuk diberikan pertolongan sehingga tidak perlu
mendapatkan tindakan resusitasi.

DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan tenaga medis atau
masyarakat umum untuk tidak melakukan CPR. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat, dan tenaga
emergensi medis tidak akan melakukan usaha CPR emergensi bila pernapasan maupun jantung
pasien berhenti. Perintah DNR untuk pasien harus tertulis baik di catatan medis pasien maupun di
catatan yang dibawa pasien sehari-hari, di rumah sakit,atau untuk pasien di rumah. Perintah DNR
di rumah sakit memberitahukan kepada staf medis untuk tidak berusaha menghidupkan pasien
kembali sekalipun terjadi henti jantung. Bila kasusnya terjadi di rumah, maka perintah DNR berarti
bahwa staf medis dan tenaga emergensi tidak boleh melakukan usaha resusitasi maupun
mentransfer pasien ke rumah sakit untuk CPR.

DNR ini belum familiar di Indonesia dan di rumah sakit rumah sakit belum ada standar
operasional prosedur yang tetap tentang pemberian label pada pasien DNR. Namun keputusan
DNR ini sebenarnya sudah ada dan sering kita jumpai tetapi belum disampaikan secara jelas oleh
keluarga atau pihak yang bertanggung jawab atas perawatan pasien, hanya secara tersirat misalkan
saya sudah ikhlas. Jika kita telaah lebih dalam sebenarnya kata ini adalah suatu pernyataan putus
asa dari anggota keluarga terhadap kondisi pasien dan keluarga sudah siap jika sewaktu-waktu
pasien dinyatakan meninggal oleh dokter atau tim medis yang menangani pasien tersebut. Ada
beberapa keluarga pasien dengan penyakit-penyakit terminal yang pernah di rawat di ICU meminta
perawat dan tenaga kesehatan lain untuk tidak melakukan resusitasi. Jadi sebenarnya status klien
yang DNR di Indonesia sudah ada, namun belum terdokumentasi secara legal saja.

DO NOT RESUSCITATION (DNR), sebuah perintah jangan dilakukan Resusitasi, adalah pesan
untuk tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum untuk tidak mencoba melakukan atau
memberikan tindakan pertolongan berupa CPR (cardiopulmonary resuscitation) atau Resusitasi
Jantung Paru (RJP) jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau terjadinya henti
napas pada pasien. Perintah ini ditulis atas permintaan pasien atau keluarga tetapi harus ditanda
tangani dan diputuskan melalui konsultasi pada dokter yang berwenang. DNR merupakan salah
satu keputusan yang paling sulit, hal ini menimbulkan masalah dilema etika yang menyangkut
pada tenaga kesehatan lainnya yang terlibat. Apakah akan mengikuti sebuah perintah jangan
dilakukan resusitasi atau menerapkan prinsip beneficence yaitu melakukan hal yang terbaik untuk
pasien Sebagai seorang dokter yang memiliki rasa kemanusiaan pastinya anda tidak akan
membiarkan pasien mati dengan begitu saja, tetapi masalahnya jika kita mengikuti kata hati dan
melakukan CPR pada pasien tersebut, kita justru bisa dituntut oleh keluarga pasien tersebut karena
keluarga telah membuat keputusan untuk tidak dilakukan tindakan resusitasi. Ini adalah sebuah
dilema yang terjadi di dalam profesi kesehatan. Masalah seperti ini juga sering muncul pada pasien
yang menderita penyakit kronis dan terminal, pasien dengan kontra indikasi CPR ataupun pasien
yang telah diputuskan oleh keluarga untuk dilakukan euthanasia.
DNR ini belum familiar di Indonesia dan di rumah sakit rumah sakit belum ada standard
operasional prosedur yang tetap tentang pemberian label pada pasien DNR. Namun keputusan
DNR ini sebenarnya sudah ada dan sering kita jumpai tetapi belum disampaikan secara jelas oleh
keluarga atau pihak yang bertanggung jawab atas perawatan pasien, hanya secara tersirat misalkan
saya sudah ikhlas. Jika kita telaah lebih dalam sebenarnya kata ini adalah suatu pernyataan putus
asa dari anggota keluarga terhadap kondisi pasien dan keluarga sudah siap jika sewaktu-waktu
pasien dinyatakan meninggal oleh dokter atau tim medis yang menangani pasien tersebut. Ada
beberapa keluarga pasien dengan penyakit-penyakit terminal yang pernah di rawat di ICU meminta
perawat dan tenaga kesehatan lain untuk tidak melakukan resusitasi. Jadi sebenarnya status klien
yang DNR di Indonesia sudah ada, namun belum terdokumentasi secara legal saja.

Pasien DNR biasanya sudah diberikan label atau tanda untuk tidak dilakukan resusitasi. Label ini
biasa terdapat pada baju atau tempat tidur pasien, di ruang perawatan ataupun di pintu masuk ruang
perawatan bila pasien dirawat dalam satu kamar tersendiri. Pemberian tindakan perawatan dan
tindakan medis pada pasien DNR tidak berbeda dengan pasien pada umumnya, tetap sesuai dengan
advice dan kebutuhan pasien tanpa mengurangi kualitasnya. Pasien juga masih diperlakukan
dengan cara yang sama tanpa perkecualian. Label DNR hanya memiliki makna bahwa jika pasien
meninggal (berhenti bernapas, atau jantung berhenti berdetak) tim medis tidak akan melakukan
CPR/RJP. Jadi DNR tidak berarti pemberian obat pada pasien dihentikan begitu saja, pasien tetap
mendapatkan obat dan tindakan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Namun terkadang
dokter dan perawat akan berhenti fokus pada pengobatan, dan mulai fokus pada tindakan
pendampingan dan pemenuhan kebutuhan dasar pasien saja jika prognosis pasien sudah sangat
memburuk. Tindakan ini biasa disebut sebagai perawatan paliatif.
BAB II

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan studi jurnal dari American Heart Association (AHA), menyatakan bahwa Cardiac
Arrest yang terjadi pada kasus trauma secara umum pada dasarnya sama dengan manajemen pada
kasus trauma pada umumnya yaitu dimulai dari manajemen airway, breathing,
dan circulation (AHA, 2010). Dengan penyebab cardiac arrest yang harus diperhatikan sebagai
bahan pertimbangan untuk menentukan tindakan yang tepat. Meskipun resusitasi (CPR) lebih
prioritas dilakukan pada korban trauma yang mengalami syok atau nadi yang lemah, trauma lain
yang mungkin terjadi pada korban juga harus tetap diperhatikan karena tindakan yang tepat secara
keseluruhan diharapkan dapat menyelamatkan nyawa korban.

Ketika terjadi trauma multi sistem atau trauma juga yang mengenai kepala dan leher, kestabilan
tulang cervikal juga harus diperhatikan. Jaw thrust harus dilakukan untuk meminimalisir resiko
terjepitnya nervus pernafasan pada saat membuka jalan napas. Jika terjadi distress napas atau
perdarahan di sekitar wajah korban, maka harus dilakukan pemberian bantuan napas dengan
menggunakan Non-rebreathing mask atau Bag Valve Mask (BVM). Hentikan perdarahan dengan
memberikan balut tekan, dan saat korban mengalami gagal napas yang berlanjut pada cardiac
arrest, berikan rescue breathing dan tindakan resusitasi bila memungkinkan (AHA, 2010). Hal ini
dapat kita simpulkan bahwa pada pasien yang memiliki kemungkinan hidup sangat kecilpun tetap
kita berikan bantuan hidup dasar, meskipun pada akhirnya pasien akan meninggal. Pernyataan ini
juga didukung tulisan Gordon dkk yang dipublikasikan pada The Lancet tahun 1995 yang
berjudul Decision and Care at The end of life. Gordon menyatakan bahwa sebenarnya tindakan
DNR itu tetap berfokus pada proses penyembuhan, perawatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan
bimbingan atau persiapan menghadapi kematian seperti pasien pada umunya. Hanya saja yang
membedakan adalah tindakan yang diberikan saat pasien mengelami henti napas atau henti
jantung. Pasien tidak perlu dilakukan resusitasi, hanya dibantu atau dibimbing saja untuk mencapai
kematian yang damai.
Proses Pengambilan Keputusan DNR
Kriteria DNR
1. Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten mengambil keputusan, telah
mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten, keputusan
dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh pengadilan, atau oleh
surrogate decision-maker
2. Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi bahan diskusi perihal DNR
dengan pasien/walinya:
a. Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau CPR hanya
menunda proses kematian yang alami
b. Pasien tidak sadar secara permanen
c. Pasien berada pada kondisi terminal
d. Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian dibanding keuntungan jika
resusitasi dilakukan

Sebuah hasil review literatur oleh Mc Cormik dan Andrew J tahun 2011 yang dipublikasikan
pada jurnal Social Work tentang hak untuk meninggal dengan tenang dan budaya yang melatar
belakanginya. Disini dibahas bahwa kebudayaan setempat sangat berpengaruh terhadap proses
pengambilan keputusan oleh tim medis maupun oleh keluarga untuk memutuskan DNR pada
pasien. Di negara barat pengambilan keputusan seperti ini sering kali melalui pertimbangan yang
matang dan telah melewati proses konsultasi pada dokter atau tim medis yang merawat pasien.
Sehingga nantinya tidak akan ada penyesalan atau rasa bersalah dari keluarga maupun dari tim
medis yang merawat pasien. Berbeda sekali dengan di Indonesia, sampai saat ini belum diatur
secara tegas dan jelas tentang prosedur pengambilan keputusan tindakan DNR. Meskipun beberapa
rumah sakit telah membuat form permintaan DNR, tetapi form ini belum bisa menjamin legalitas
tindakan DNR yang diberikan pada pasien. Dikarenakan belum adanya patokan yang jelas dan
kapan tindakan DNR itu bisa diberikan pada pasien yang kontra indikasi dilakukan CPR.

Hal ini didukung hasil penelitian dari Van der Heide, dkk yang menuliskan bahwa di 6 negara
maju di dataran eropa angka permohonan tindakan DNR meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini
dipengaruhi oleh kebudayaan dan kehidupan setempat yang masyarakatnya mudah bangkit dan
tidak terlalu memikirkan masa lalu. Sehingga ketika dokter memberikan vonis prognosis pasien
memburuk, maka keluarga segera mengambil tindakan untuk berdiskusi dan mempertimbangkan
permohonan untuk dilakukan tindakan do not resuscitation. Inilah salah satu yang melatar
belakangi mengapa angka usia lanjut di negara maju cenderung lebih rendah daripada negara
berkembang lainnya.

Sebuah penelitian tentang dokumentasi permohonan DNR yang dilakukan oleh Zhukovsky dkk
pada tahun 2009 yang berjudul Wide Variation in Content of Inpatient do-not-resuscitation order
form used at National Cancer Institut, menyimpulkan bahwa masih banyak terjadi perbedaan
pembuatan atau pengisian form permohonan tindakan DNR oleh perawat yang bertugas di rumah
sakit kanker di Amerika. Hal ini yang harusnya menjadi perhatian WHO agar segera dibentuk,
ataupun dirumuskan form DNR yang bisa dipertanggungjawabkan dan memiliki kekuatan hukum
yang jelas. Sehingga jika sewaktu-waktu surat keterangan permohonan DNR ini diperlukan untuk
bukti dalam persidangan, dapat digunakan sebagai bukti yang kuat dan valid. Seharusnya di
Indonesia juga demikian bahkan di seluruh dunia perlu dilakukan konferensi atau pertemuan
semacam ini untuk membahas dan menetapkan form permohonan DNR yang valid dan konsisten.

Kejadian do not resuscitation di Belanda sebagian besar dilakukan hanya oleh pertimbangan satu
pihak, antara keluarga dengan dokter yang khusus menangani keluarga tersebut. Hal ini dapat kita
lihat dari hasil penelitian yang dilakukan Onwuteaka dkk, di Belanda pada tahun 2003 yang
berjudul Euthanasia and other end of life decision in Netherland, dan dipublikasikan di jurnal The
Lancet. Kejadian do not resuscitation ini dilakukan tanpa melalui pertimbangan dari konsultan
atau dokter yang lebih ahli dalam bidangnya. Sebagian sudah melakukan konsultasi dengan dokter
ahli, dan menolak untuk memberikan label DNR namun keluarga tetap bersikeras untuk diberikan
label DNR pada pasien. Sehingga dokter keluarga yang akhirnya memberanikan diri untuk
memberikan label DNR pada pasien. Kejadian semacam ini harusnya ada petunjuk baku tentang
bagaimana menghargai hak untuk hidup pada seseorang. Jadi dibuat sebuah pedoman baku kapan
DNR harus diberikan pada pasien dan kapan pasien tidak boleh diberikan label DNR. Dan agar
pedoman ini diakui oleh keluarga ataupun masyarakat, pedoman ini harus dilindungi oleh undang-
undang atau peraturan yang berlaku di masing-masing negara.
Sebuah upaya nyata permohonan do not resuscitation pada pasien di Canada, yang melalui proses
persidangan dan pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak ahli terkait dengan
penyakit yang diderita pasien. Dituliskan dalam The Lancet oleh Wayne Kondro pada tahun 1998
yang berjudul Do-not-resuscitate order lifted in Canada. Dalam tulisannya Wayne Kondro
menjelaskan bahwa proses pengambilan keputusan DNR yang dilakukan pada sebuah pengadilan
di Canada sangatlah bagus. Karena prosespengambilan keputusan melibatkan banyak pihak, dari
keluarga pasien yang mengajukan permohonan DNR, dokter spesialis yang menangani pasien,
sampai psikiater dan juga aktivis kemanusiaan yang saling mengajukan pendapat dalam forum
sidang. Sehingga keputusan yang diambil oleh hakim, merupakan keputusan terbaik yang telah
melalui proses diskusi dan pertimbangan yang matang. Dan keputusan ini memiliki kekuatan
hukum yang kuat. Jika suatu saat dokter yang memutuskan memberi label DNR pada pasien di
mintai keterangan oleh pihak pengadilan atau pihak terkait lainnya dia bisa memberikan
keterangan yang valid dan memiliki kekuatan hukum. Seharusnya hal semacam ini juga diterapkan
di berbagai negara di seluruh dunia, khususnya di Indonesia yang notabene masyarakatnya suka
mencari-cari permasalahan di bidang kesehatan untuk diangkat ke pengadilan. Jika proses seperti
ini diterapkan di Indonesia saya yakin dokter ataupun tim medis yang memutuskan pemberian
label DNR pada pasien akan dengan tegas dan yakin untuk melakukan tindakan tersebut.

Kontraindikasi CPR:

1. Penolakan atas dasar kehendak pasien yang berkompeten walaupun CPR bersifat terapi

2. Secara fisiologis yang tidak memungkinkan CPR/ CPR yang dilakukan akan sia sia. Hal ini
biasa terjadi pada seseorang yang kondisi medisnya sangat buruk dan ventilator yang tidak efektif,

3. Pada Non terapi CPR. Non terapi CPR dimaksudkan kepada pasien yang apabila dilakukan
resusitasi tidak mampu membalikkan proses kematian atau tidak memberikan manfaat bahkan
memperburuk keadaan pasien contohnya pada pasien yang memiliki gagal jantung

Peninjauan Perintah DNR pada pasien yang dioperasi.

Pasien diperbolehkan untuk dilakukan operasi terutama pada operasi yang mengurangi rasa sakit
atau mempermudah perawatan. Hasil resusitasi pada tempat operasi jauh lebih baik dibandingkan
dengan tempat non operasi sehingga perintah DNR wajib untuk dievaluasi. Maka dari itu proses
gagal jantung lebih bersifat reversible saat dianestesi sehingga perintah DNR dapat ditunda.
Namun pasien atau keluarga pasien dapat membatasi prosedur resusitasi saat proses operasi sedang
berlangsung.

Formulir standar DNR di rumah sakit mungkin bukan alat terbaik untuk mempertimbangkan dan
mendokumentasikan status DNR selama periode perioperatif. Sebagai alternatif, kesepakatan
dengan pasien dan / atau keluarga pada salah satu dari tiga pilihan berikut ini dapat memenuhi
kebutuhan sebagian besar pasien dengan status DNR yang membutuhkan anestesi dan operasi:

Pilihan 1: Resusitasi Penuh Pasien menginginkan tindakan resusitasi penuh digunakan selama
operasi dan di ICU, terlepas dari situasi klinisnya.

Pilihan 2: Resusitasi Terbatas: Prosedur-Spesifik Pasien menginginkan tindakan resusitasi penuh


untuk dipekerjakan, kecuali prosedur spesifik tertentu, seperti penekanan pada dada atau versi
kardio listrik. Seperti disebutkan di atas, bagaimanapun, prosedur tertentu sangat penting untuk
memberikan perawatan anestesi (seperti manajemen saluran napas dan cairan intravena).
Penolakan prosedur ini tidak akan sesuai dengan permintaan anestesi dan pembedahan.

Pilihan 3: Resusitasi Terbatas: Sasaran-Spesifik Pasien menginginkan usaha resusitasi selama


operasi dan di ICU hanya jika kejadian klinis yang merugikan diyakini bersifat sementara dan
reversibel, dalam penilaian klinis ahli anestesi dan ahli bedah yang hadir. Pilihan ini mengharuskan
pasien dan / atau pengganti untuk mempercayai penilaian ahli anestesi dan perawat lainnya untuk
menggunakan intervensi resusitasi secara bijaksana, berdasarkan pemahaman mereka tentang nilai
dan tujuan pengobatan pasien.

BAB III

KESIMPULAN

Dari berbagai hasil review literatur dan tinjauan pustaka diatas, dapat kita simpulkan bahwa
sebenarnya permohonan tindakan DNR sudah sangat sering kita jumpai, hanya saja masih secara
tersirat disampaikan oleh keluarga pasien khususnya di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
belum jelasnya peraturan ataupun hukum yang mengatur tentang tindakan ini sehingga keluarga
ataupun tim medis masih takut untuk menjelaskan pada keluarga pasien dan sering secara sepihak
memutuskan tindakan DNR pada pasien. Dilihat dari beberapa permasalahan di atas, solusi yang
bisa dilakukan adalah dengan pembuatan undang-undang atau peraturan yang tegas tentang
tindakan DNR pada pasien dengan prognosis yang buruk. Selain itu tim medis atau badan
kolegium juga menetapkan format dan pedoman yang baku kapan tim medis boleh memberikan
keputusan DNR dan bagaimana prosedur yang harus dilakukan mulai dari permohonan diajukan
sampai konsultasi pada dokter ahli dan didukung dengan kekuatan hukum yang ada di masing-
masing negara. Jika telah ada pedoman yang baku seperti ini, saya yakin tindakan dokter atau tim
medis dalam mengambil keputusan NDR tidak akan terkendala oleh masalah-masalah etis dan
juga masalah pidana ataupun tuntutan dari keluarga/orang terdekat pasien.

DAFTAR PUSTAKA

AHA. (2010). Executive Summary: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122, 646.

Cormic, M. (2011). Self dtermination, The Right to Die and Culture. Social Work, 56(2), 119-128.
Demetriades. (2009). Asessment and Management of Trauma. from
http://www.surgery.usc.edu/divisions/trauma/

Gordon, M. (1995). Decisions and Care at The end-of-life. The Lancet, 346(8968), 163-166.

Heide, V. d. (2003). End-of-life Decision making in six European Countries. The Lancet,
362(9381), 345-350.

Jacker, N. S. (1994). Ethical Decision at The end-of-life. The Gerontologist, 34(6), 850-851.

Kondro, W. (1998). Do-not-resuscitate order lifted in Canada. The Lancet, 352(9141), 1689.

Philipsen, O. (2003). Euthanasia and other end-of-life decisions in Netherland. The Lancet,
362(9381), 395-399.

Sebastian V. Demyttenaere, C. N., Alice Nganwa, Milton Mutto, Ronald Lett, Tarek Razek.
(2009). Injury in Kampala, Uganda 6 years ago. Canadian Journal of Surgery, 52(5), 146-150.

WHO. (2004). Guideline for Essential Trauma Care.

Zhukovsky. (2009). Wide Variation in Content of Inpatient do-not-resuscitate order forms used at
National Cancer Institute Supportive Care in Cancer, 17(2), 109-115.

Anda mungkin juga menyukai