Anda di halaman 1dari 14

Paper Koasistensi Mikrobiologi

IMMUNOSUPPRESSIVE

oleh Sub grup 1 :

1. Teuku Shaddiq Rosa (1602101020097)


2. Arini Ulfakhaira (1602101020107)
3. Rozana Pratiwi Salamena (1602101020047)
4. Suharmita Darmin (1602101020040)
5. Siri Wardianah MTD (1602101020145)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2017
IMMUNOSUPPRESSIVE

Imunosupresi adalah suatu perubahan reaksi kekebalan tubuh dalam


keadaan negatif sehingga respon tubuh ternak terhadap masuknya benda asing
menjadi berkurang atau bisa menjadi pemicu serangan berbagai penyakit ke dalam
tubuh ternak. Ketika imunosupresi menyerang ternak maka akan menyebabkan 2
kerugian sekaligus, yaitu kerugian karena faktor/agen immunosuppressive yang
disebut immunosuppressant dan agen penyakit lainnya yang menjadi lebih mudah
masuk ke dalam tubuh ternak (Medion, 2008).

Mekanisme Imunosupresi
Terjadinya imunosupresi akan ditunjukkan dengan adanya hambatan atau
gangguan pada satu atau lebih komponen sistem kekebalan tubuh. Mekanisme
terjadinya imunosupresi biasanya terjadi melalui 3 mekanisme yaitu :
Secara langsung mengganggu fungsi sistem kekebalan atau merusak organ
dan kelenjar limfoid primer (bursa Fabricius dan thymus) sekaligus
organ/kelenjar limfoid sekunder (limfa, proventrikulus, seka tonsil dll).
Mekanisme ini biasanya disebabkan serangan Gumboro, Mareks,
reovirus, limfoid leukosis dan aspergilosis
Merusak atau mengganggu fungsi dan sistem pertahanan yang bersifat
sekunder (limfa, proventrikulus, seka tonsil, sel harderian) karena
serangan penyakit swolen head syndrome, kolera, ILT dan snot (korisa)
Menguras zat kebal (antibodi) tubuh yang telah terbentuk dari hasil
vaksinasi, yang disebabkan serangan koksidiosis
Gangguan sistem kekebalan tubuh, seperti adanya kegagalan vaksinasi
(meskipun vaksin yang digunakan berkualitas dan tata laksana vaksinasi
telah dilakukan dengan tepat), reaksi post vaksinasi meningkat (contoh
ayam nampak bersin-bersin dan muncul gejala gangguan lainnya setelah
vaksinasi ND), turun atau hilangnya keampuhan pengobatan bahkan
meningkatnya kasus penyakit yang tidak umum, seperti gangrenous
dermatitis, aplastic anemia atau inclusion body hepatitis
Meningkatnya penyakit yang menyerang saluran/sistem pernapasan yang
diikuti infeksi sekunder oleh bakteri

Gejala spesifik atau khusus dari munculnya imunosupresi ditunjukkan


dengan adanya kerusakan atau gangguan fungsi sel atau organ yang penting dalam
sistem kekebalan (sistem imunologi) tubuh. Organ tubuh yang penting dalam
sistem imunologi ialah bursa Fabricius dan thymus. Kerusakan kedua organ ini
akan mengakibatkan menipisnya atau hilangnya sel limfoid. Selain itu, jaringan
dan organ yang meliputi hati, limfa, sumsum tulang, kumpulan sel limfoid
mempunyai peranan yang penting dalam memelihara respon sistem kekebalan
tubuh ayam. Oleh karena itulah, saat terserang imunosupresi daya tahan tubuh
ayam terhadap serangan penyakit menjadi lemah dan respon vaksinasi menjadi
kurang optimal. Secara keseluruhan, saat ayam terserang imunosupresi
produktivitas ayam menjadi tidak optimal, yaitu :
Berat badan rendah (di bawah standar) dan pertumbuhan tidak merata
Produksi telur cenderung berfluktuasi dan sulit mencapai puncak produksi
Mortalitas cenderung tinggi bila terjadi infeksi penyakit
Feed conversion ratio (FCR) mengalami peningkatan

Penyebab Imunosupresi
Penyakit imunosupresi yang menyerang ayam dapat disebabkan oleh
bebeberapa faktor yaitu :
1. Agen penyakit (infeksius)
Agen penyakit yang bersifat imunosupresi antara lain mareks, avian leukosis,
gumboro, viral arthritis, avian reticuloendotheliosis, chicken anemia dan
adenovirosis.

Mareks Disease
Mareks atau fowl paralysis, neurolymphomatosis, acute leukosis
merupakan suatu penyakit limfoproliferatif pada ayam yang sangat mudah
menular dan tersifat oleh adanya pembengkakan atau tumor limfoid pada berbagai
organ visceral, kulit, dan otot (Tabbu, 2000). Kasus serangan mareks yang berat
bisa menyebabkan degenerasi sumsum tulang belakang yang menjadi awal
pembentukan sel bakal bagi sel limfosit.
Etiologi :
Mareks disease disebabkan oleh Herpesvirus grup B yang bersifat highly
cell-associated (sangat bergantung pada sel). Virus MD dapat digolongkan
menjadi 3 serotipe yaitu:
Serotipe 1 : MDV yang bersifat onkogenik/patogenik dan galur virus
tersebut yang telah dilemahkan
Serotipe 2 : MDV yang bersifat non onkogenik/apatogenik
Serotipe 3 : MDV yang bersifat non onkogenik, yaitu HVT
Sebagai penyakit imunosupresi, virus mareks mempunyai target utama
merusak sel limfosit T pembantu (Th), sel limfosit T sitotoksik dan sebagian kecil
sel limfosit B. Selain itu, terjadi pengecilan bursa Fabricius, thymus dan limpa
yang merupakan pabrik sel limfosit T dan B. Menurut Tabbu (2000) Infeksi antara
MDV dengan sel dapat terjadi melalui 3 bentuk, yaitu:
Infeksi produktif (sitolitik)
Terjadi di dalam epitel folikel bulu dan menghasilkan virion yang
mempunyai envelope dan besifat infeksius. Infeksi produktif yang bersifat terbatas
dapat ditemukan di sel limfoid dan epitel dari ayam pada berbagai kultur sel. Sel
tersebut dapat menghasilkan antigen, tetapi virion tidak mempunyai ewnvelope
sehingga tidak bersifat infeksius pada semua jenis sel. Infeksi produktif
menyebabkan lisis, pembentukan benda inklusi intranuklear dan nekrosisi sel

Infeksi laten yang bersifat nonproduktif


Hanya ditemukan di dalam limfosit, terutama limfosit T. sebagian besar
limfosit B juga dapat menunjukkan infeksi laten. Pada infeksi laten genom
daripada virus sudah terbentuk, tetapi tidak diekspresikan.
Infeksi transforming
Dapat ditemukan pada sebagian besar sel yang mengalami transformasi
pada tumor limfoid yang disebabkan MD atau sel limfoblastosoid yang berasal
dari tumor limfoid. Infeksi transforming hanya ditemukan pada limfosit T dari
ayam dan hanya dihasilkan oleh MDV serotipe 1 yang bersifat virulen

Patogenesis:
Virus Mareks biasanya masuk melalui saluran pernapasan dan mungkin
difagositosis oleh makrofag. Dalam waktu yang singkat infeksi sitolitik dapat
dideteksi di dalam limpa, bursa Fabricius, dan timus yang mencapai puncak
sekitar 3-6 hari. Beberapa ahli melaporkan bahwa target primer pada ketiga organ
adalah sel B, walaupun sejumlah sel T yang telah aktif dapat terinfeksi dan
mengalami perubahan degeneratif. Perubahan nekrosis pada infeksi awal akan
menimbulkan reaksi radang yang ditandai infiltrasi makrofag, heterofil, dan
limfosit. Keadaan tersebut dapat diikuti reaksi hiperplastik pada limpa dan sekitar
7 hari ditemukan adanya efek imunosupresif yang bersifat sementara.
Bursa Fabricius dan timus dapat mengalami atrofi. Selama 6-7 hari, infeksi
akan bersifat laten yang bersamaan dengan timbulnya respon imun. Para ahli
melaporkan bahwa kekebalan berperantara seluler mempunyai peran yang penting
dalam infeksi MDV

Gejala Klinis :
1. Bentuk alut (visceral)
Ditandai oleh adanya seba. Sebagian besar ayam yang menunjukkan gejala
depresi sebelum mati. Beberapa hari setelah gejala depress, ayam menunjukkan
ataksia, yang dapat berlanjut menjadi paralisis unilateral atau bilateral pada
ekstremitas (kaki/sayap). Sejumlah ayam dapat mengalami dehidrasi, emasiasi,
dan koma
2. Bentuk klasik (saraf, kronis)
Pada umumnya berhubungan dengan paresis progresif yang bersifat
asimetris dan pada stadium lanjut terjadi paralisis pada satu atau lebih ekstremitas.
Nervus dan pleksus brakhialis dan iskhiadikus seringkali terkena dan dapat
menyebabkan paralisis spastic yang progresif pada kaki dan sayap
3. Sindrom paralisis sementara
Merupakan manifestasi dari ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi
dengan MDV. Jarang muncul dan dapat ditemukan pada ayam umjur 5-18
minggu. Ayam yang terserang menunjukkan berbagai bentuk ataksia dan paralisis
baik parsial maupun total pada kaki, sayap, dan leher.

Pengobatan:
Pengobatan terhadap ayam yang terserang penyakit neoplastik belum
ditemukan

Pengendalian dan peencegahan


Praktek menejemen yang ketat, termasuk pengamanan biologis yang
optimal. Perlindungan yang optimal terhadap MD tergantung pada pengamanan
biologis, sanitasi/desinfeksi yang ketat, waktu istirahat kandang yang memadai,
dan penggunaan vaksin yang optimal.

Avian leukosis

Gambar 1. Pembengkakan bursa Fabricius akibat replikasi dan transformasi


retrovirus

Seperti halnya mareks, avian leukosis merupakan penyakit tumor yang


menyebabkan kerusakan pada organ limfoid primer. Avian leukosis disebabkan
infeksi virus retrovirus yang mempunyai target utama merusak sel limfosit B
matang yang telah mempunyai Ig M terikat membran. Selain itu, adanya replikasi
retrovirus pada bursa Fabricius dan limpa menyebabkan kedua organ limfoid ini
menjadi kisut (atropi). Kerusakan kedua organ limfoid tersebut sekaligus
kerusakan sel limfosit B matang akan menyebabkan respon kekebalan humoral
menjadi terganggu.

Gumboro
Penyakit yang pertama kali terjadi di wilayah Gumboro, Delaware
Amerika Serikat ini menjadikan sel limfosit B dan makrofag serta organ
limfoidnya sebagai target utama infeksi. Sel limfosit B matang dan makrofag di
jaringan usus menjadi sel yang terlebih dahulu terinfeksi virus Gumboro.
Kejadian Gumboro pada ayam broiler biasa terjadi pada umur 3-4 minggu.
Namun pada kenyataannya, diumur 2 minggu pun ayam bisa terserang Gumboro.
Penyebab penyakit ini adalah virus Birna (Birnavirus).
Virus Gumboro merupakan virus yang sangat stabil dan tahan panas.
Selain itu, struktur virus gumboro yang tidak beramplop menyebabkan virus tahan
terhadap desinfektan golongan amonium kuartener. Virus ini relatif tahan terhadap
panas dan beberapa macam desinfektan.
Virus Gumboro yang berkembang biak (replikasi) di bursa Fabricius akan
mengakibatkan rusaknya sel-sel limfosit B, terutama sel limfosit B matang,
bahkan pada kasus yang parah bisa juga merusak sel B prekursor. Akibatnya
proses pembentukan antibodi menjadi terhambat bahkan terhenti.

Gambar 2. Bursa Fabricius membesar dan disertai bintik-bintik perdarahan.


Tidak hanya sel limfosit B di bursa Fabricius yang terinfeksi virus
Gumboro, makrofag juga terinfeksi. Akibatnya makrofag akan mengalami
perubahan sifat yang cenderung bersifat detrimental (merugikan tubuh) seperti
perdarahan berbagai jaringan dalam tubuh ayam.
Gambar 3. Gejala klinis penyakit Gumboro

Virus Gumboro yang berkembang di bursa Fabricius akan mengakibatkan


rusaknya sel-sel limfosit B sehingga pembentukan antibodi pun akan terhenti.
Selain menyerang limfosit B, virus tersebut juga merusak sel-sel makrofag hingga
sel tersebut berubah menjadi sel yang merugikan tubuh. Hal itu bisa menimbulkan
perubahan berupa perdarahan pada organ yang terserang. Adanya kerusakan bursa
Fabricius akibat Gumboro akan menyebabkan antibodi yang dihasilkan organ
tersebut berkurang jumlahnya dan terjadilah penurunan respon antibodi terhadap
program vaksinasi.
Perubahan patologi anatomi yang terjadi akibat Gumboro seringkali mirip
dengan penyakit-penyakit yang lain seperti AI, ND, IB dan leucocytozoonosis.
Pada hasil bedah ayam yang terserang Gumboro akan ditemukan peradangan pada
bursa Fabricius dan titik perdarahan pada perbatasan antara proventrikulus dan
ventrikulus. Namun pada kasus ND, titik perdarahan terdapat pada puncak
mukosa ventrikulus. Perdarahan berbentuk garis pada otot juga ditemukan pada
kasus Gumboro. Sedangkan pada kasus leucocytozoonosis ditemukan perdarahan
dalam bentuk bintik-bintik, dan pada AI muncul perdarahan yang tidak beraturan.

Gambar 4. Perubahan patologi pada organ ayam


Jenis desinfektan yang tepat untuk mengeliminasi virus Gumboro yaitu
golongan oxidizing agent (kompleks iodium) dan golongan aldehyde (formalin).
Produk yang dapat digunakan yaitu Antisep, Neo Antisep atau Formades.

2. Agen kimia
Agen kimia yang dapat mengakibatkan imunosupresi adalah toksin atau
racun jamur dan kandungan nutrisi yang kurang.

Mikotoksin

Mikotoksin atau racun jamur akan sangat mudah ditemukan saat kondisi
lingkungan lembab, terutama saat musim penghujan. Selain itu ransum atau bahan
baku ransum dengan kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur yang
menghasilkan racun atau toksin. Jamur yang tumbuh pada ransum dan bahan baku
ransum dapat dengan mudah dimatikan, namun tidak demikian dengan racun
jamur yang terbentuk. Racun itu sangat sulit untuk dihilangkan.
Racun jamur yang terkonsumsi oleh ayam biasanya tidak langsung
dikeluarkan dari tubuh, namun akan terakumulasi dan saat kadarnya telah
mencapai titik tertentu (batas normal) maka ayam akan mulai menunjukkan
gejala. Salah satunya ialah melemahnya sistem pertahanan tubuh ayam atau sering
disebut imunosupresi. Imunosupresi yang disebabkan oleh mikotoksin bersifat
kronis. Namun jika konsentrasi tinggi akan bersifat akut.
Imunosupresi merupakan gejala awal saat kadar mikotoksin relatif rendah,
selanjutnya terjadi gangguan metabolisme, timbul gejala klinis dan akhirnya
timbul kematian. Dari sekitar 300 jenis mikotoksin yang telah terdeteksi dari
100.000 spesies jamur, setidaknya ada 4 jenis mikotoksin yang bersifat
imunosupresi pada ayam, yaitu aflatoksin, ochratoksin, fumonisin dan
trichothecenes (T2).
Aflatoksin dapat menyebabkan pengecilan bursa Fabricius, limpa maupun
thymus. Aflatoksin juga dapat merusak sel limfosit B, mengganggu fungsi fagosit
sel-sel fagositik serta menurunkan aktivitas fungsional dari komplemen.
Ocratoksin mengakibatkan atropi thymus, menghambat fungsi fagositosis sel-sel
heterofil fagositik dan menyebabkan penipisan sel limfosit T dan B. Atropi organ
limfoid dan kerusakan makrofag juga diakibatkan oleh adanya fumonisin
sedangkan trichothecenes mengakibatkan nekrose jaringan limfoid dan sumsum
tulang belakang.

Gambar 3. Jagung yang terkontaminasi aflatoksin

Jagung merupakan bahan baku ransum yang rentan terkontaminasi


aflatoksin. Kadar aflatoksin di atas 50 pbb dapat menimbulkan efek imunosupresi.
Pastikan kadar air jagung < 14% dan simpan pada tempat yang tidak lembab

Defisiensi nutrisi
Zat nutrisi yang terkandung dalam ransum, seperti energi, protein, vitamin
dan mineral memiliki peranan penting dalam sistem kekebalan (imunitas). Protein
sangat diperlukan untuk perkembangan organ limfoid. Bahkan beberapa asam
amino memiliki peranan langsung terhadap sistem kekebalan. Contohnya
metionin yang berperan meningkatkan aktivitas kerja thymus dan bursa Fabricius.
Kekurangan metionin akan mengakibatkan ayam kekurangan sel darah putih dan
ukuran bursa Fabricius menjadi lebih kecil dibandingkan ukuran normalnya.
Ketersediaan lisin yang cukup dapat meningkatkan level Ig M dan Ig G
yang menentukan level/titer antibodi. Selain itu lisin juga digunakan untuk
memelihara sistem kekebalan dan sintesa imunoglobulin yang disekresikan lewat
mukosa usus. Arginin dan sistin juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh
ayam. Vitamin juga berperan sebagai kofaktor dalam alur proses pembentukan
antibodi.
Vitamin C berfungsi memelihara stabilitas membran sel leukosit dan
mengoptimalkan aktivitas fagosit dari sel neutrofil. Vitamin yang spesifik
berperan dalam sistem kekebalan yaitu vitamin A yang berperan menjaga fungsi
normal membran mukosa dan perkembangan sel limfosit B; vitamin B6 berfungsi
dalam perkembangan dan pemeli-haraan jaringan limfoid; vitamin D3 diperlukan
untuk aktivitas makrofag dan level perlindungan cellular mediated immunity
(CMI) dan vitamin E melindungi struktur lipoprotein membran sel dan ikut dalam
proses pembentukan humoral mediated immunity (HMI) dan CMI.

Antibiotik over dosis


Beberapa antibiotik diduga bisa menyebabkan imunosupresi, diantaranya
tetrasiklin, sulfonamid, penisilin, chlorampenicol dan streptomisin.

Pencegahan Terhadap Imunosupresi


1. Mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor penyebab imunosupresi, baik
agen infeksius maupun non-infeksius.
2. Lakukan vaksinasi dengan tepat
Vaksinasi bertujuan menggertak sistem kekebalan tubuh guna
menghasilkan antibodi. Untuk mencegah penyakit Gumboro, penentuan waktu
vaksinasi disesuaikan dengan waktu serangan penyakit. Vaksinasi yang dilakukan
pada DOC saat kadar antibodi maternal masih tinggi dengan pemilihan vaksin
yang kurang tepat akan memicu efek netralisasi virus vaksin oleh antibodi
maternal, serta memicu stres yang lebih tinggi. Akibatnya, vaksin tidak bisa
bekerja optimal menggertak pembentukan antibodi.
Pada kondisi tertentu di mana serangan Gumboro terjadi pada umur < 21
hari, atau > 21 hari dengan kematian tinggi (> 5%), maka perlu digunakan vaksin
yang tepat dengan jenis intermediate plus seperti Medivac Gumboro A. Jika
serangan yang terjadi < 21 hari, vaksinasi dapat dilakukan pada umur 7 hari.
Medivac Gumboro A sangat direkomendasikan karena memiliki daya tembus
yang tinggi terhadap antibodi maternal sehingga netralisasi dapat dihindari.
Namun jika umur serangan > 21 hari, dengan tingkat kematian rendah (< 5%),
maka bisa menggunakan Medivac Gumboro B pada ayam umur 10 14 hari.
Penentuan umur vaksinasi Gumboro yang lebih tepat lagi bisa dibantu
dengan mengukur antibodi maternal yang dimiliki oleh anak ayam. Caranya
dengan mengambil sampel darah (serum, red) anak ayam umur 1-4 hari.
Kemudian diuji dengan metode ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay).
Dari data titer antibodi maternal ini bisa dihitung perkiraan umur vaksinasi
Gumboro dan pemilihan jenis vaksinnya.
Namun jika peternak kesulitan untuk melakukan pemeriksaan titer
antibodi maternal, umur vaksinasi dapat diperkirakan berdasarkan umur serangan
Gumboro pada periode-periode sebelumnya. Vaksinasi dilakukan paling lambat 2
minggu sebelum terjadinya serangan, karena antibodi protektif dari vaksinasi
menggunakan vaksin aktif (live-vaccine) terbentuk 2 3 minggu post vaksinasi.

3. Atasi stres lingkungan


Menciptakan suasana nyaman bagi ayam dengan memperhatikan sistem
sirkulasi udara yang baik. Pilih bahan atap yang mampu mengurangi
panas, tinggi kandang panggung antara 1,5-1,75 m, memperhatikan jarak
antar kandang (minimal 1x lebar kandang), dan mengatur kepadatan
kandang
Menghindari perlakuan kasar saat vaksinasi, pindah kandang, potong
paruh, dan saat penimbangan ayam
Pemberian vitamin sebelum dan setelah ayam divaksin

4. Perbaiki manajemen pemeliharaan


Atur konsumsi air minum dan ransum. Saat suhu tinggi nafsu minum akan
meningkat drastis, bahkan jika suhu mencapai 32oC konsumsi air minum
bisa meningkat 50%. Berikan air minum dan ransum dengan kualitas yang
baik dan jumlah yang cukup. Suhu air minum yang baik adalah 20 24oC
Mengatur distribusi tempat minum dan ransum serta kontrol ketersediaan
air secara berkala (terutama jika menggunakan tempat minum manual),
jika perlu tambahkan tempat minum sehingga ayam lebih mudah
menjangkau tempat minum yang tersedia
Saat kondisi panas, kurangi ransum yang diberikan
Pastikan ransum tidak menggumpal atau ditumbuhi jamur. Simpan ransum
pada tempat yang tidak lembab dan berikan alas pada tumpukan ransum,
serta rutin melakukan uji kualitas ransum. Dan untuk mengikat mikotoksin
yang sudah terbentuk, tambahkan toxin binder ke dalam ransum, misalnya
dengan Freetox
Tingkatkan kondisi tubuh ayam dengan memberikan terapi supportif
berupa multivitamin, elektrolit, dan asam amino seperti Fortevit, Vita
Stress, atau Solvit.
Penggantian litter yang basah dan lembab dengan litter yang kering untuk
mengurangi amonia. Bisa juga diberikan Ammotrol yang dilarutkan ke
dalam air minum atau disemprotkan ke feses untuk mengurangi amonia di
dalam kandang
Rutin melakukan pembuangan feses, minimal 1 minggu sekali
Lakukan cleaning program dengan antibiotik

5. Perketat biosecurity
Rutin melakukan pembersihan dan desinfeksi air minum
Rutin melakukan desinfeksi kandang, pada saat kandang masih terisi
ayam, gunakan desinfektan yang aman seperti Antisep, Neo Antisep, atau
Medisep.
Lakukan flushing terhadap saluran air minum jika sudah terbentuk kerak
(biofilm) dengan mengalirkan air bertekanan ditambah dengan hidrogen
peroksida (H2O2) 15-20 ppm, asam sitrat 1,5-2 g/l atau asam cuka 8 ml/l,
karena pada kondisi sudah terdapatnya biofilm yang tebal dan banyak,
senyawa desinfektan tidak bisa bekerja optimal
Terapkan sistem celup kaki maupun semprot badan saat akan masuk
ataupun keluar kandang
Minimalisir vektor penyakit seperti kumbang hitam, lalat dan nyamuk
Desinfeksi kendaraan dan peralatan kandang secara rutin dan konsisten
DAFTAR PUSTAKA

Medion. 2008. Info Medion Edisi Juni : Immunosuppressive.


http://info.medion.co.id/artikel.html?catid=0&id=86. Diakses Tanggal 22
Juli 2017.
Medion. 2014. Info Medion Edisi Agustus : Imunosupresi pada Ayam Broiler.
https://info.medion.co.id/component/content/article.html?id=1324:imunos
upresi-pada-ayam-broiler. Diakses Tanggal 22 Juli 2017.
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya : Penyakit Bakterial,
Mikal, dan Viral Volume 1. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai