Anda di halaman 1dari 51

Acara I

KARBOHIDRAT

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM


BIOKIMIA PANGAN

Disusunoleh:
Klara Paskarena 14.I1.0063
Kelompok: B5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1. TINJAUAN PUSTAKA
Karbohidrat atau sakarida adalah komponen makrobiologi yang sangat penting bagi aktivitas
makhluk hidup khususnya manusia yang digunakan sebagai sumber energi melalui proses
katabolisme atau penguraian senyawa karbohidrat menjadi rantai yang lebih pendek
(Wirahadikusumah, 1985). Di dalam komponen makrobiologi tersebut terdapat senyawa-
senyawa kimia yang menyusun karbohidrat. Senyawa tersebut adalah polihidroksi aldehid
dan keton atau senyawa yang merupakan hasil hidrolisis dari polihidroksi aldehid dan
polihidroksi keton (Martoharsono, 1991). Perbedaan polihidroksi aldehid dengan polihidroksi
keton terletak pada gugus karbonilnya. Gugus karboksil pada polihidroksi aldehida terletak
pada ujung rantai, sedangkan gugus karbonil pada polihidroksi keton terletak pada rantai
nomor 2 dari senyawa tersebut. (Gaman & Sherrington, 1994).

Dalam proses fotosintesis tumbuhan hijau, karbohidrat dihasilkan dalam bentuk glukosa yang
dihasilkan dari reaksi antara karbondioksida dan air dengan bantuan sinar matahari. Proses
fotosintesis dapat dilihat melalui reaksi di bawah ini.
klorofil + sinar matahari
6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2
Klorofil merupakan zat warna (pigmen) hijau yang mampu menyerap energi dari matahari
sehingga menyebabkan tanaman mampu melakukan reaksi fotosintesis dari karbondioksida
dan air (deMan, 1997). Karbohidrat selain sebagai sumber energi, memiliki fungsi lain yaitu
sebagai struktur penyusun atau penyangga di dalam sel khususnya glikogen dan pati
(Wirahadikusumah, 1985).

Karbohidrat memiliki rumus empiris (CH2O)n sehingga terlihat bahwa karbohidrat tersusun
atas karbon dan hidrogen. Karbohidrat terdiri dari beberapa monomer yang bergabung
menjadi satu dengan ikatan kovalen yang disebut dengan ikatan glikosidik. Ikatan glikosidik
inilah yang akan membentuk polimer rantai panjang dengan struktur yang kuat. Karbohidrat
dapat dibedakan menjadi tiga golongan besar berdasarkan jumlah monomer yang
menyusunnya, yaitu monosakarida, oligosakarida dan polisakarida (Armstrong, 1995).

Monosakarida merupakan monomer karbohidrat yang berasal dari gula pereduksi karena
karbohidrat golongan aldosa kan ketosa memiliki kemampuan atau daya mereduksi.
Monosakarida yang sering terdapat di alam adalah glukosa, galaktosa, dan fruktosa, yang
ketiganya mampu mereduksi senyawa dengan sifat oksidator kuat (Kusnawidjaya, 1993).
Glukosa adalah monosakarida yang memiliki rantai tertutup yang seharusnya tidak memiliki
1
2

kemampuan untuk mereduksi, tetapi glukosa dalam bentuk larutan ada rantai yang terbuka
dan tertutup sehingga larutan glukosa tersebut masih memiliki daya mereduksi, walaupun
tidak sebesar apabila semua berupa rantai terbuka (Ebbing, 1987). Monosakarida yang
memiliki 3 atom C disebut triosa sedangkan yang memiliki 4 atom C disebut tetrosa. Glukosa
dan fruktosa merupakan heksosa (memiliki 6 atom C) yang terdapat bebas di alam dan
merupakan anggota monosakarida dalam jumlah besar. Monosakarida memiliki rasa manis,
maka dari itu golongan ini disebut gula. Fruktosa adalah gula yang memiliki rasa paling
manis daripada glukosa dan galaktosa. Golongan monosakarida yang memiliki sifat reduktor
kuat adalah glukosa sehingga dapat bereaksi dengan pereaksi Luff, Tollens, dan Fehling
(Sudarmadji et al., 1989). Ada pula reaksi lain yang dapat dilakukan untuk menguji
keberadaan monosakarida sebagai pereduksi, yaitu reaksi Tollens atau Benedict, reaksi yang
terjadi adalah:
R-C-H + 2Cu2+ + 5OH- ----> R-C-O- + Cu2O (endapan merah coklat) + 3H2O
(Kusnawidjaya, 1993).

Oligosakarida adalah senyawa karbohidrat yang terdiri dari dua atau lebih monosakarida.
Hidrolisis dari oligosakarida dapat menghasilkan monosakarida yang identik dengan dua atau
lebih monosakarida yang berbeda. Oligosakarida dapat disebut disakarida, trisakarida dan
seterusnya tergantung pada jumlah monosakarida. Disakarida adalah salah satu senyawa
oligosakarida yang palinh sering ditemukan. Yang dimaksud dengan disakarida adalah
senyawa yang terbentuk dari dua molekul monosakarida yang bergabung dengan cara
melepaskan air. Reaksi disakarida dapat digambarkan sebagai berikut :
C6H12O6 + C6H12O6 C12(H2O)11 + H2O
Dua molekul monosakarida berupa glukosa dari hasil fotosintesis bergabung membentuk
disakarida dengan rumus molekul C12(H2O)11 dengan melepaskan air. Disakarida dapat
dhidrolisis melalui pengaruh asam-asam mineral encer panas dengan bantuan enzim
disakaridase, yang pada kondisi tertentu akan menghasilkan monosakarida yang
menyusunnya. Disakarida yang terbentuk dari monosakarida antara lain adalah sukrosa,
laktosa, dan maltosa (Gaman & Sherrington, 1994).

Sukrosa memiliki rasa yang manis, yang biasanya terdapat pada buah-buahan termasuk tebu.
Hidrolisis sukrosa akan menghasilkan dua molekul monosakarida berupa satu molekul
glukosa dan satu molekul fruktosa meskipun tidak memiliki kemampuan mereduksi. Laktosa
adalah disakarida yang terkandung dalam susu yang menyebabkan rasa manis pada susu.
3

Hidrolisis laktosa akan menghasilkan dua molekul monosakarida berupa satu molekul
glukosa dan satu molekul galaktosa, selain itu dapat pula memberikan reaksi positif terhadap
reaksi Luff, Tollens dan Fehling meskipun tidak memiliki gugus aldehid. Sedangkan maltosa
banyak terdapat pada pati atau zat tepung. Hidrolisis maltosa dapat menghasilkan dua
molekul monosakarida berupa dua molekul glukosa dan dapat pula memberikan reaksi positif
terhadap reaksi Luff, Tollens, dan Fehling. (Lubert, 1988).

Sukrosa merupakan disakarida yang tidak mempunyai kemampuan mereduksi atau bukan
sebagai gula pereduksi. Hal ini dikarena adanya ikatan antar C dari monomer satu dengan C
dari monomer lain, sehingga kedua gugus karbon dari kedua monomer ini telah saling
berikatan satu sama lain tanpa harus melakukan reduksi. Karena bukan sebagai gula
pereduksi, sukrosa tidak dapat memberikan hasil positif terhadap pengujian Fehling,
Benedict, Luff dan Barfoed (ditandai dengan tidak terjadinya perubahan pada uji-uji tersebut)
karena uji-uji tersebut menggunakan prinsip sifat pereduksi pada sakarida yang dapat
mereduksi oksidator kuat dalam bentuk ion Cu (Amstrong, 1995).

Polisakarida adalah karbohidrat kompleks yang terdiri atas beberapa molekul monosakarida.
Maksudnya, polisakarida disusun oleh banyak sekali molekul monosakarida yang masing-
masing diikat oleh oksigen. Seperti halnya disakarida, polisakarida pun dapat dihidrolisis
menjadi bagian yang lebih sederhana yang kemudian kembali membentuk monosakarida.
Polisakarida disebut sebagai polimer kondensasi, maka dapat dikatakan bahwa monosakarida
merupakan turunan aldosa dan ketosa yang terbentuk karena polimer kondensasi.
Polisakarida sendiri memiliki rumus molekul (C6H10O5)n (Norman, 1987).

Polisakarida memiliki beberapa sifat umum yang dapat diketahui, yaitu:


- reaksi bersifat stabil terhadap pengaruh basa (alkali)
- tidak dapat melakukan reduksi
- tidak menunjukkan peristiwa mutarotasi (rantai membentuk siklik)
- tidak dapat membentuk ozason
(Martoharsono, 1994).

Contoh polisakarida antara lain adalah pati (amilum), selulosa, dekstrin, glikogen, pektin, dan
inulin.
4

o Selulosa merupakan polisakarida yang tahan terhadap kerja enzim pencernaan dan
menyumbang massa yang besar tehadap makanan.
o Dekstrin merupakan zat amorf atau zat yang tidak memiliki bentuk, zat ini dapat
mereduksi Fehling dan Luff dengan kuat, dan merupakan hasil antara pencernaan pati
untuk dibentuk menjadi maltosa.
o Glikogen adalah zat pati pada hewan yang disimpan dalam hati dan jaringan otot.
o Pektin adalah polisakarida yang dapat membentuk koloid, yang berperan penting dalam
pembentukan kulit buah.
o Inulin merupakan polisakarida yang berperan penting dalam pengobatan dan dipakai
dalam test fungsi ginjal.
Polisakarida yang dapat dicerna hanya dekstrin dan pati, sedangkan yang lainnya tidak.
Seperti halnya selulosa dan hemiselulosa yaitu agar dan pektin tidak dapat larut dalam air
(Suhardjo & Kosbart, 1992).

Pati dapat ditemukan pada biji-bijian, akar, umbi-umbian, buah yang belum matang, dan
serealia seperti beras, jagung, ubi dan lain-lain. Pati dibagi menjadi dua bentuk, yaitu amilosa
dan amilopektin. Amilosa memiliki bentuk rantai lurus (tunggal), memiliki sifat larut dalam
air, memiliki ikatan -(1,4) D-glukosa, dan membentuk warna biru jika direaksikan dengan
iodine. Sedangkan amilopektin memiliki bentuk rantai bercabang, memiliki sifat tidak larut
dalam air atau larut dalam pelarut organik, memiliki ikatan -(1,4) D-glukosa dan -(1,6) D-
glukosa, dan membentuk warna ungu-merah jika direaksikan dengan iodine (Winarno, 1992).
Kadar amilosa dalam pati kurang lebih sebesar 20%, sedangkan kadar pada amilopektin
dalam pati kurang lebih sebesar 80% (Riawan, 1990). Rantai polimer pati berbentuk heliks
atau berpilin (spiral) yang dapat membentuk senyawa inklusi dengan berbagai bahan seperti
iodium. Apabila pati dipanaskan maka bentuk spiral pada pati akan merenggang dan molekul-
molekul iodin akan terlepas sehingga warna biru khas pati akan pudar (Winarno, 1997).

Secara umum, pati tidak dapat larut dalam air bersuhu rendah, namun akan membentuk
koloid pada air bersuhu tinggi. Lebih spesifik lagi, pati yang semula ditambah iod
menimbulkan warna biru tua, kemudian dihidrolisis akan berubah menjadi dextrin dan
apabila direaksikan dengan iod memberikan warna ungu untuk yang berat molekulnya besar
dan memberikan warna merah untuk yang berat molekulnya kecil, kemudian dihidrolisis
5

lebih lanjut menjadi maltosa dan glukosa yang bila direaksikan dengan iod tidak akan
memberikan warna atau berubah menjadi jernih (Quellette, 1994).

Pati merupakan polimer D-glukosa yang terdiri atas dua polimer yang berlainan, memiliki
senyawa rantai lurus (amilosa), dan memiliki komponen yang bercabang (amilopektin). Pati
memiliki warna putih dan berbentuk serbuk tidak larut dalam air dingin, tetapi pati dapat larut
dalam air panas, maka dengan pemanasan, butiran pati secara langsung akan menggembung
atau mengalami pembengkakan yang diakibatkan oleh peningkatan suhu dan proses hidrolisis
yang dialami oleh pati. Peningkatan suhu yang terjadi akan membentuk gel yang disebut suhu
penggelatinan. Sedangkan proses tersebut dinamakan dengan proses gelatinasi. Pati tidak
dapat larut dalam air dingin dikarenakan lapisan luar granula-granula yang terkandung di
dalamnya tersusun sangat rapat sehingga tidak dapat ditembus oleh air dingin. Hidrolisis
rantai pati dari 20 sampai dengan30 satuan menghilangkan sama sekali kecenderungan
asosiasi dan pengendapan (deMan, 1997). Pati dapat diidentifikasi keberadaannya dengan
menggunakan larutan iod dan dapat diubah menjadi glukosa dengan pemanasan air dan
penambahan sedikit asam, yaitu HCl atau H2SO4 (Gaman & Sherington, 1981).

Amilum merupakan polimer D-glukosa yang ditemukan sebagai karbohidrat simpanan dalam
tumbuhan. Pada umumnya pati berupa amilopektin yaitu bagian yang tidak larut dalam air
dan beberapa bagian kecilnya ( 20% ) terdapat dalam bentuk amilosa yaitu bagian yang larut
dalam air (Scott et al, 1992). Hemiselulosa merupakan golongan polisakarida heterogen yang
dapat tersusun dari berbagai macam satuan monosakarida berupa heksosa dan pentosa.
Kadangkala hemiselusosa bersifat residu terhadap asam glukuronat ( Tranggono, 1989 ).

Dari reaksi-reaksi antar molekul karbohidrat, karbohidrat itu sendiri memiliki sifat-sifat
umum, yaitu:
a. Memiliki Daya Pereduksi
Monosakarida berupa glukosa dan fruktosa apabila ditambahkan ke dalam larutan Luff
atau Benedict akan membentuk endapan berwarna merah muda. Unsur atau ion yang
penting terdapat pada Benedict adalah Cu2+ yang berwarna biru. Gula reduksi akan
mengubah atau mereduksi ion Cu2+ menjadi Cu+ (Cu2O) yang mengendap dan berwarna
merah bata. Zat pereduksi ini sendiri akan berubah menjadi sifat asam.
b. Memiliki Pengaruh Asam
6

Monosakarida memiliki sifat yang stabil terhadap asam mineral encer dan panas. Asam
yang bersifat pekat akan menyebabkan dehidrasi menjadi furfural yang merupakan
turunan dari aldehid.
c. Memiliki Pengaruh Alkali
Larutan basa encer pada suhu kamar akan mengubah sakarida. Perubahan tersebut terjadi
pada atom C.
d. Memiliki Daya Polimerisasi
Reaksi komponen karbohidrat dengan larutan basa yang memiliki kadar tinggi akan
mengalami polimerisasi, yaitu reaksi kimia yang mereaksikan dua atau lebih molekul
kecil untuk membentuk molekul yang berukuran lebih besar.
e. Mudah Mengalami Dekomposisi
Pemanasan unsure karbohidrat akan merombak struktur karbohidrat atau menjadi
terdekomposisi sehingga dapat menghasilkan reaksi browning tanpa ada peran dari
enzim (reaksi non-enzimatis).
(Soeharsono, 1978).

Untuk menguji atau mengidentifikasi adanya kandungan senyawa karbohidrat dalam suatu
bahan pangan, dapat dilakukan dengan beberapa uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan
senyawa karbohidrat dalam larutan uji. Uji kualitatif tersebut antara lain adalah:
1. Uji Benedict
Uji Benedict merupakan suatu uji biokimia karbohidrat yang berfungsi untuk mendeteksi
gula monosakarida atau gula pereduksi dalam suatu larutan. Reagen yang digunakan
dalam uji Benedict ini berupa campuran Cu2SO4 (kupri sulfat) dan hasil saringan dari
campuran Natrium sitrat berhidrat dengan Natrium karbonat berhidrat. Campuran ini
ditambahkan ke dalam larutan yang diuji yang kemudian dididihkan. Jika hasil uji
menunjukkan konsentrasi gula pereduksi dengan kadar yang tinggi, maka akan
membentuk endapan berwarna merah, sedangkan konsentrasi gula pereduksi dengan kadar
yang rendah akan mementuk endapan berwarna kuning. Uji Benedict ini memiliki
kelebhan yaitu lebih peka dibandingkan dengan uji gula pereduksi yang sejenis, seperti uji
Fehling (Daintith, 1999).

Gula reduksi dengan larutan Benedict (campuran garam kupri sulfat, Natrium sitrat, dan
Natrium karbonat) akan mengalami reaksi reduksi oksidasi dan menghasilkan endapan
berwarna merah dari kupro oksida (Sudarmadji et al., 1996).
7

Pembentukan yang berasal dari gula reduksi karbohidrat dengan larutan Benedict dapat
dilihat melalui reaksi berikut:
O O

R C H + CuO Cu2O + R C OH
Reaksi Benedict yang terjadi adalah sebagai berikut :
R-C-H + 2Cu2+ + 5OH- ----> R-C-O- + Cu2O (endapan merah coklat) + 3H2O
(Wirahadikusumah, 1985).

Apabila dalam uji Benedict timbul endapan berwarna hijau, kuning atau merah oranye
maka larutan karbohidrat maka menunjukkan adanya gula pereduksi (Winarno, 1997).
Dalam larutan Benedict yang terbuat dari campuran CuSO 4, NaOH, dan Na sitrat, gula
tersebut akan mereduksi Cu+ yang berupa Cu(OH)2 menjadi Cu+ sebagai CuOH,
selanjutnya menjadi Cu2O yang tidak larut, dari sinilah akan terbentuk warna kuning atau
merah (Girindra, 1993).

2. Uji Barfoed
Uji Barfoed merupakan salah satu uji biokimia karbohidrat yang berfungsi untuk
mendeteksi gula monosakarida (pereduksi) dalam suatu larutan. Reagen yang digunakan
dalam uji Barfoed ini adalah campuran asam etanoat/asetat dengan tembaga (II) asetat
yang ditambahkan ke dalam larutan, kemudian dididihkan. Jika terdapat gula pereduksi
dalam larutan yang telah ditetesi oleh reagen Barfoed, maka akan terbentuk endapan
berwarna merah. Warna merah yang dihasilkan merupakan warna yang dimiliki oleh
tembaga (II) oksida. Reaksi ini bersifat negatif untuk gula disakarida karena gula tersebut
adalah bahan pereduksi yang lemah (Daintith, 1999).

Larutan Barfoed (campuran cupri asetat dan asam asetat) yang bereaksi dengan gula
reduksi (monosakarida) akan menghasilkan endapan merah kuprooksida. Maka dalam
suasana asam ini, gula reduksi yang termasuk dalam golongan disakarida memberikan
reaksi yang sangat lambat dengan larutan Barfoed sehingga tidak akan memberikan
endapan merah, kecuali waktu percobaan diperpanjang. Waktu percobaan yang
diperpanjang ini memiliki tujuan untuk menunjukkan adanya gula reduksi monosakarida
8

(Sudarmadji et al., 1996). Maka, untuk mengetahui keberadaan karbohidrat dalam suatu
bahan pangan dengan menggunakan uji Barfoed, dilakukan dengan penambahan larutan
Barfoed sebanyak kurang lebih 2 ml lalu dipanaskan selama beberapa menit (Robert,
1972).

3. Uji Selliwanoff
Uji Selliwanoff merupakan uji biokimia yang berfungsi untuk mengidentifikasi
keberadaan gula ketosa. Gula ketosa misalnya dapat berupa fruktosa dalam suatu larutan.
Untuk menguji adanya gula ketosa dalam suatu larutan, dilakukan dengan meneteskan
beberapa tetes reagen berupa kristal resorcinol yang dilarutkan dalam air dan asam
hidroklorida dalam jumlah yang sama. Kemudian dipanaskan dengan larutan yang akan
diuji. Apabila terbentuk endapan berwarna merah berarti menunjukkan hasil yang positif,
atau dengan kata lain terdapat gula ketosa dalam larutan (Daintith, 1999). Uji Seliwanoff
yang dilakukan untuk menunjukkan adanya kadungan gula ketosa dalam suatu bahan
pangan, dapat dilakukan dengan menambahkan larutan HCl pekat ke dalam bahan yang
kemudian dipanaskan (Robert, 1972).

Uji Selliwanoff akan menunjukkan hasil yang negatif apabila peristiwa dehidrasi
monosakarida ketosa menjadi furfural lebih cepat dibandingkan dengan dehidrasi
monosakarida aldosa. Hal ini dikarenakan aldosa lebih dahulu mengalami transformasi
menjadi ketosa sebelum mengalami dehidrasi. Pada pengujian ini furfural yang terbentuk
dari dehidrasi tersebut dapat bereaksi dengan resorcinol membentuk senyawa kompleks
berwarna merah. Sebagai zat untuk dehidrator dapat digunakan asam klorida 12 % atau
asam asetat atau asam sulfat alkoholik (Sudarmadji et al., 1996).

4. Uji Luff
Uji Luff merupakan salah satu uji biokimia karbohidrat untuk menentukan adanya fruktosa
dan glukosa pada larutan yang diuji. Luff merupakan campuran dari CuSO 4, Na2CO3, dan
asam nitrat. Gula pereduksi dengan reagen ini akan membentuk endapan warna kuning-
oranye atau merah bata dari Cu2O (Gaman & Sherrington, 1994). Pada penentuan gula
dengan cara Luff-Schroll, memiliki tujuan untuk menentukan kuprooksida dalam larutan
sebelum direaksikan dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan
sampel gula reduksi (titrasi sampel). Titrasi dilakukan dengan menggunakan Na-tiosulfat
(Na2S2O3) Selisih titrasi blanko dengan titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen
9

dengan kuprooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen terhadap jumlah gula reduksi yang
ada pada larutan bahan yang akan diuji (Sudarmadji et al., 1996).

Spektrofotometri adalah alat yang digunakan sebagai suatu perpanjangan dari penilikan
visual dalam warna studi yang lebih terinci mengenai penyerapan energi cahaya oleh spesies
kimia, yang dapat memungkinkan kecermatan yang lebih besar (validitas tinggi) dalam
perincian dan pengukuran kuantitatif. Dengan menggantikan mata manusia dengan detektor-
detektor radiasi lain, dimungkinkan studi absorbsi (serapan) di luar daerah secara automatik.
Untuk memperoleh hasil pengukuran yang benar, sebelum sampel di masukkan dalam
spektofotometer, harus didahului dengan pengukuran absorbansi blanko bernilai 0 (nol). Yang
perlu diperhatikan adalah, cuvet yang digunakan untuk meletakkan larutan yang akan diteliti,
tidak boleh tersentuh oleh tangan maupun tergores, karena hal ini akan mempengaruhi hasil
deteksi absorbansi. Selain itu, peletakan cuvet juga harus diperhatikan agar bagian yang
ditembus oleh sinar tidak berubah-ubah atau kotor atau dengan kata lain posisi cuvet untuk
blanko dan sampel harus sama, yaitu pada bagian garis putih cuvet merupakan satu garis
lurus dengan garis standar pada spektofotometer (Day & Underwood, 1992).

Hubungan absorbansi dengan konsentrasi adalah dari substansi yang menyerap cahaya di
dalam larutan sampel. Substrat akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu dan
kemudian reaksinya akan dapat diikuti dengan adanya perubahan absorbansi pada panjang
gelombang tersebut. Panjang gelombang antara 400-700 nm merupakan panjang gelombang
yang termasuk ke dalam visible light. Water bath diperlukan untuk menjaga temperatur agar
analisis enzim tetap dapat berjalan dengan baik (Palmer, 1991). Kesalahan-kesalahan yang
sering terjadi dalam pemakaian spektrofotometer adalah:
1. Kuvet kotor atau tergores
2. Penempatan kuvet tidak tepat
3. Ukuran kuvet tidak seragam
4. Terdapat gelembung udara dalam larutan
5. Penyiapan larutan sampel dan blanko kurang sempurna
6. Panjang gelombang yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang tertera pada alat
(Pomeranz, 1994)

2. TUJUAN PRAKTIKUM
10

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui dan memahami teori-teori
tentang karbohidrat, khususnya uji kuantitatif dengan menentukan kadar amilosa, dan uji
kualitatif yang terdiri dari uji benedict, uji barfoed, uji selliwanoff, serta uji luff schroll.
3. MATERI METODE

a. Materi
i. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah timbangan analitik, penjepit kayu,
erlenmeyer, kertas saring, waterbath, sentrifuge, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur,
beaker glass, labu takar, corong, pompa pilleus, pipet volume, pipet tetes, gelas arloji, dan
spektrofotometer.

ii. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah etanol 95%, NaOH 1 N, asam asetat 1 N,
larutan iod, buffer fosfat pH 7,5, larutan Benedict, larutan Barfoed, HCl pekat, larutan
resorcinol 1,5% dalam alkohol, larutan CuSO 4 5%, larutan asam nitrat pekat 65%, larutan
Na2CO3 5% ,aquades, dan sampel berupa ubi kayu kukus (untuk kelompok 1-5), dan ubi
kayu mentah (untuk kelompok 6-11).

b. Metode
i. Uji Kuantitatif (Penentuan Kadar Amilosa)
Pertama-tama, bahan ditimbang sebanyak 100 mg dan dimasukkan ke dalam beaker glass.
Kemudian sebanyak 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N ditambahkan kemudian
dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 10 menit sampai membentuk gel. Lalu
seluruh gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml lalu dikocok dan ditambahkan aquades
sampai tanda tera, kemudian kocok kembali. Larutan yang terbentuk diambil sebanyak 5 ml
dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N
dan 2 ml larutan iod. Aquades ditambahkan sampai tanda tera, lalu dikocok dan didiamkan
selama 20 menit. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 625 nm.

Kadar Amilosa pada masing-masing sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Persamaan regresi (Kurva Standar) y = 0,148x 0,0186
x = .
Rumus: x * 2000 = a ppm

11
12

ax = b gr

Konsentrasi amilosa = = . ppm

ii. Uji Kualitatif


1. Persiapan Bahan (Ekstraksi Pati)
Pertama-tama bahan yang telah disiapkan, dihancurkan hingga benar-benar halus. Setelah
halus, bahan tersebut diambil sebanyak 30 gram lalu ditambahkan dengan buffer fosfat pH
7,5 sebanyak 30 ml. Campuran yang terbentuk disaring dengan menggunakan kertas saring
dengan dialasi es batu. Kemudian, filtrat yang didapat disentrifuge pada kecepatan 4000 rpm
pada suhu 5C selama 15 menit. Pada bagian yang cair diambil dengan pipet lalu diletakkan
di dalam erlenmeyer, kemudian cairan yang didapat tersebut digunakan untuk pengujian
kualitatif. Untuk membuat larutan sampel, sebanyak 20 gram bahan yang sudah direbus
dilarutkan dalam 100 ml aquades. Kemudian campuran tersebut disaring dengan
menggunakan kertas saring yang dialasi es batu, cairan yang didapat tersebut digunakan
untuk pengujian kualitatif.

2. Uji Benedict Larutan Sampel


Sebanyak 1 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan larutan
Benedict sebanyak 3 ml lalu dipanaskan pada waterbath selama 10 menit dan perubahan
warna yang terjadi diamati dan dicatat.

3. Uji Benedict Ekstrak Pati


Sebanyak 1 ml larutan ekstrak pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan larutan
Benedict sebanyak 3 ml lalu dipanaskan pada waterbath selama 10 menit dan perubahan
warna yang terjadi diamati dan dicatat.

4. Uji Barfoed Larutan Sampel


Sebanyak 2 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan dengan
2 ml larutan Barfoed. Kemudian tabung reaksi dipanaskan dalam waterbath selama 10 menit,
kemudian perubahan warna yang terjadi diamati dan dicatat.
13

5. Uji Barfoed Ekstrak Pati


Sebanyak 2 ml larutan ekstrak pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan
dengan 2 ml larutan Barfoed. Kemudian tabung reaksi dipanaskan dalam waterbath selama
10 menit, kemudian perubahan warna yang terjadi diamati dan dicatat.

6. Uji Selliwanoff Larutan Sampel


Sebanyak 2 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian sebanyak 2 ml
HCl pekat ditambahkan ke dalam tabung reaksi lalu dipanaskan pada waterbath selama 30
menit. Kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan resorcinol 1,5% dalam alkohol. Perubahan
warna yang terjadi diamati dan dicatat.

7. Uji Selliwanoff Ekstrak Pati


Sebanyak 2 ml larutan ekstrak pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian sebanyak
2 ml HCl pekat ditambahkan ke dalam tabung reaksi lalu dipanaskan pada waterbath selama
30 menit. Kemudian ditambahkan 0,5 ml larutan resorcinol 1,5% dalam alkohol. Perubahan
warna yang terjadi diamati dan dicatat.

8. Uji Luff Schroll Larutan Sampel


Sebanyak 5 ml larutan sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan
larutan CuSO4 5% sebanyak 2 ml, larutan asam nitrat pekat 65% sebanyak 1 ml, dan Na2CO3
5% sebanyak 1 ml. Perubahan warna yang terjadi diamati dan dicatat.

9. Uji Luff Schroll Ekstrak Pati


Sebanyak 5 ml larutan ekstrak pati dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambahkan larutan CuSO4 5% sebanyak 2 ml, larutan asam nitrat pekat 65% sebanyak 1 ml,
dan Na2CO3 5% sebanyak 1 ml. Perubahan warna yang terjadi diamati dan dicatat.
4. HASIL PENGAMATAN
4.1. Uji Kuantitatif (Penentuan Kadar Amilosa)
Hasil pengamatan Uji Kuantitatif dengan menentukan kadar amilosa dapat dilihat pada
Tabel 1.

Kurva Standar :

Tabel 1. Tabel Hasil Pengamatan Penentuan Kadar Amilosa pada Berbagai Sampel

Kelompok Sampel Absorbansi Konsentrasi Amilosa (ppm)


B1 Ubi kayu kukus 0,039 7782
B2 Ubi kayu kukus 0,033 6972
B3 Ubi kayu kukus 0,052 9540
B4 Ubi kayu kukus 0,097 15622
B5 Ubi kayu kukus 0,011 4000
B6 Ubi kayu mentah 0,038 7648
B7 Ubi kayu mentah 0,037 7514
B8 Ubi kayu mentah 0,042 8190
B9 Ubi kayu mentah 0,038 7648
B10 Ubi kayu mentah 0,041 8054
B11 Ubi kayu mentah 0,042 8190

Pada tabel 1, dapat diketahui data absorbansi dan kadar amilosa setiap bahan berbeda.
Menurut tabel 1, yang memiliki nilai absorbansi terbesar adalah kelompok B4
menggunakan bahan ubi kayu kukus dengan nilai absorbansi 0,097 dan kadar amilosa
15622 ppm. Sedangkan kelompok lain memiliki nilai absorbansi dan kadar amilosa
berturut turut yaitu : kelompok B1 dengan bahan ubi kayu kukus memiliki nilai

14
15

absorbansi 0,039 dan kadar amilosa 7782 ppm, kelompok B2 dengan bahan ubi kayu
kukus memiliki nilai absorbansi 0,033 dan kadar amilosa 6972 ppm, kelompok B3
dengan bahan ubi kayu kukus memiliki nilai absorbansi 0,052 dan kadar amilosa 9540
ppm, pada kelompok B5 dengan bahan yang sama, yaitu ubi kayu kukus memiliki nilai
absorbansi 0,011 dan kadar amilosa 4000 ppm, kelompok B6-B11 yang menggunakan
bahan yang sama yaitu ubi kayu mentah, memiliki nilai absorbansi dan kadar amilosa
berturut-turut: 0,038 dan 7648 ppm, 0,037 dan 7514 ppm, 0,042 dan 8190 ppm, 0,038
dan 7648 ppm, 0,041 dan 8054 ppm, 0,042dan 8190 ppm.

4.2. Uji Kualitatif


4.2.1. Uji Benedict pada Berbagai Larutan Sampel
Hasil pengamatan Uji Benedict pada berbagai larutan sampel dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tabel Hasil Pengamatan Uji Benedict pada Berbagai Larutan Sampel

Kelompok Sampel Gambar Awal Gambar Akhir Keterangan


Putih keruh
B1 Ubi kayu kukus hijau kebiruan, ada
endapan
Putih keruh
B2 Ubi kayu kukus
hijau tua
Putih keruh
B3 Ubi kayu kukus hijau tua, endapan
kuning
Putih keruh
B4 Ubi kayu kukus hijau tua, endapan
kuning

Putih keruh
B5 Ubi kayu kukus
hijau kebiruan

Putih keruh biru


B6 Ubi kayu mentah
kehijauan

Putih keruh
B7 Ubi kayu mentah
hijau kebiruan

Putih keruh biru


B8 Ubi kayu mentah
pekat
16

Putih keruh biru


B9 Ubi kayu mentah
bening

Putih keruh
B10 Ubi kayu mentah
hijau kebiruan

Putih keruh biru


B11 Ubi kayu mentah
tua

Pada tabel 2 dapat diketahui hasil uji Benedict dari berbagai larutan sampel, seluruh
larutan memiliki warna putih keruh, dan kemudian berubah warna yang terjadi pada
masing-masing kelompok, yaitu kelompok B1 menjadi hijau kebiruan, kelompok B2
menjadi hijau tua, kelompok B3 menjadi hijau tua dengan endapan kuning tua,
kelompok B4 menjadi hijau tua dengan endapan kuning, kelompok B5 menjadi hijau
kebiruan, kelompok B6 menjadi biru kehijauan, kelompok B7 menjadi hijau kebiruan
disertai adanya endapan, kelompok B8 menjadi biru pekat, kelompok B9 menjadi biru
bening, kelompok B10 menjadi hijau kebiruan, dan kelompok B11 berubah warna
menjadi biru tua.

4.2.2. Uji Benedict pada Berbagai Larutan Ekstrak Pati


Hasil pengamatan Uji Benedict pada berbagai larutan ekstrak pati dapat dilihat pada
Tabel 3.

Tabel 3. Tabel Hasil Pengamatan Uji Benedict pada Berbagai Larutan Ekstrak Pat

Kelompok Sampel Gambar Awal Gambar Akhir Keterangan


Putih keruh
B1 Ubi kayu kukus
kuning kecoklatan

Putih keruh
B2 Ubi kayu kukus
hijau kekuningan
Putih keruh
B3 Ubi kayu kukus hijau kekuningan,
endapan kuning
Putih keruh
B4 Ubi kayu kukus hijau kekuningan,
endapan kuning
17

Putih keruh
B5 Ubi kayu kukus
hijau kekuningan

Putih keruh
B6 Ubi kayu mentah
hijau tua

Putih keruh
B7 Ubi kayu mentah
hijau kebiruan

Putih keruh
B8 Ubi kayu mentah
hijau pekat

Putih keruh
B9 Ubi kayu mentah
hijau keruh

Putih keruh
B10 Ubi kayu mentah
hijau tua

Putih keruh
B11 Ubi kayu mentah
hijau kebiruan

Pada tabel 3, dapat diketahui hasil uji Benedict pada berbagai larutan ekstrak pati,
menurut hasil pengamatan di atas semua warna awal larutan adalah putih keruh, pada
kelompok B1 dan B2 berubah menjadi kuning kecoklatan, kelompok B3 berubah
menjadi kuning kecoklatan dengan endapan kuning, kelompok B4 menjadi hijau
kekuningan dengan endapan kuning, kelompok B5 menjadi koloid coklat susu,
kelompok B6 menjadi hijau tua, kelompok B7 menjadi hijau kebiruan, kelompok B8
menjadi hijau pekat, kelompok B9 berubah warna menjadi hijau keruh, kelompok B10
menjadi hijau tua, dan kelompok B11 berubah warna menjadi hijau kebiruan dari warna
awalnya.
18

4.2.3. Uji Barfoed pada Berbagai Larutan Sampel


Hasil pengamatan Uji Barfoed pada berbagai larutan sampel dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Tabel Hasil Pengamatan Uji Barfoed pada Berbagai Larutan Sampel

Kelompok Sampel Gambar Awal Gambar Akhir Keterangan

B1 Ubi kayu kukus Putih keruh biru

Putih keruh biru


B2 Ubi kayu kukus
bening

Putih keruh
B3 Ubi kayu kukus
biru, endapan putih

Putih keruh biru


B4 Ubi kayu kukus
bening

Putih keruh biru


B5 Ubi kayu kukus
muda
19

Putih keruh biru


B6 Ubi kayu mentah
tua

B7 Ubi kayu mentah Putih keruh biru

Putih keruh biru


B8 Ubi kayu mentah
muda

Putih keruh biru


B9 Ubi kayu mentah bening (ada
gumpalan putih)

Putih keruh biru


B10 Ubi kayu mentah
(endapan)
20

Putih keruh biru


B11 Ubi kayu mentah
muda

Pada tabel 4 hasil pengamatan uji barfoed pada berbagai larutan sampel, dari tabel
tersebut dapat diketahui pada semua kelompok memiliki warna awal putih keruh.
Kelompok B1, B7, B8 memiliki warna awal putih keruh kemudian menjadi biru. Pada
kelompok B2 dan B4 warna awal putih keruh kemudian menjadi biru bening. Pada
kelompok B5 dan B11 warna awalnya putih keruh kemudian menjadi biru muda.
Sedangkan kelompok B3 berubah menjadi biru dengan endapan putih, kelompok B6
berubah menjadi biru tua, kelompok B9 menjadi biru bening denan endapan putih, dan
kelompok B10 berubah warna menjadi biru disertai dengan endapan.

4.2.4. Uji Barfoed pada Berbagai Larutan Ekstrak Pati


Hasil pengamatan Uji Barfoed pada berbagai larutan ekstrak pati dapat dilihat pada
Tabel 5.

Tabel 5. Tabel Hasil Pengamatan Uji Barfoed pada Berbagai Larutan Ekstrak Pat

Kelompok Sampel Gambar Awal Gambar Akhir Keterangan

Putih keruh biru


B1 Ubi kayu kukus
muda, ada endapan
21

Putih keruh biru


B2 Ubi kayu kukus
muda

Putih keruh biru


B3 Ubi kayu kukus muda banyak
endapan putih

Putih keruh biru


B4 Ubi kayu kukus
keruh

Putih keruh
B5 Ubi kayu kukus
koloid biru muda

Putih keruh biru


B6 Ubi kayu mentah
muda (endapan)
22

Putih keruh biru


B7 Ubi kayu mentah dengan endapan
putih

Putih keruh biru


B8 Ubi kayu mentah muda endapan
putih

Putih keruh biru


B9 Ubi kayu mentah
(ada endapan)

Putih keruh biru


B10 Ubi kayu mentah
(endapan)

Putih keruh
B11 Ubi kayu mentah
biru, endapan putih

Pada tabel 5 dapat diketahui hasil uji barfoed pada berbagai larutan ekstrak pati pada
seluruh kelompok memiliki warna awal yaitu putih keruh dan rata-rata berubah menjadi
biru atau biru muda dengan disertai endapan, kecuali pada kelompok B2 yang berubah
23

menjado warna biru muda saja. Kemudian kelompok B4 yang berubah warna menjadi
biru keruh. Lalu kelompok B5 yang berubah warna mejadi koloid biru muda.

4.2.5. Uji Selliwanoff pada Berbagai Larutan Sampel


Hasil pengamatan Uji Selliwanoff pada berbagai larutan sampel dapat dilihat pada Tabel
6.
Tabel 6. Tabel Hasil Pengamatan Uji Selliwanoff pada Berbagai Larutan Sampel
Kel Sampel Gambar awal Gambar akhir Keterangan

Ubi kayu
B1 Putih keruh merah
kukus

Ubi kayu
B2 Putih keruh merah bening
kukus

Ubi kayu
B3 Putih keruh merah
kukus

Ubi kayu
B4 Putih keruh merah terang
kukus
24

Ubi kayu
B5 Putih keruh merah
kukus

Ubi kayu
B6 Putih keruh merah bening
mentah

Ubi kayu
B7 Putih keruh merah
mentah

Ubi kayu
B8 Putih keruh merah
mentah

Ubi kayu
B9 Putih keruh merah bening
mentah
25

Ubi kayu
B10 Putih keruh merah
mentah

Ubi kayu
B11 Putih keruh merah
mentah

Pada tabel 6, dapat diketahui hasil pengamatan uji selliwanoff pada berbagai larutan
sampel, yang memiliki warna awal larutan pada masing-masing kelompok adalah putih
keruh. Untuk kelompok B1, B3, B7, B8, B10, dan B11 dari warna awalnya adalah putih
keruh kemudian menjadi merah. Kelompok B2, B4, B6, dan B9 berubah warna menjadi
merah bening. Sedangkan kelompok B5, berubah warna menjadi merah bata dari warna
awalnya, yaitu putih keruh.

4.2.6. Uji Selliwanoff pada Berbagai Larutan Ekstrak Pati


Hasil pengamatan Uji Selliwanoff pada berbagai larutan ekstrak pati dapat dilihat pada
Tabel 7.
Tabel 7. Tabel Hasil Pengamatan Uji Selliwanoff pada Berbagai Larutan Ekstrak Pat
Kel Sampel Gambar awal Gambar akhir Keterangan

Putih keruh terbentuk


Ubi kayu
B1 dua lapisan (bening dan
kukus
coklat)
26

Putih keruh merah,


B2
terdapat endapan
Ubi kayu
kukus

Ubi kayu Putih keruh merah,


B3
kukus endapan putih

Ubi kayu Putih keruh merah


B4
kukus gelap, endapan kuning

Ubi kayu
B5 Putih keruh merah bata
kukus

Ubi kayu
B6 Putih keruh merah tua
mentah
27

Ubi kayu
B7 Putih keruh merah
mentah

Ubi kayu Putih keruh merah bata,


B8
mentah endapan putih

Ubi kayu
B9 Putih keruh merah bata
mentah

Ubi kayu
B10 Putih keruh merah
mentah

Ubi kayu Putih keruh merah,


B11
mentah endapan putih

Pada tabel 7, kelompok B1 memiliki hasil pengujian awal uji selliwanoff pada berbagai
larutan ekstrak pati yaitu berwarna putih keruh kemudian menjadi bening coklat.
28

Kelompok B2, B3, dan B11 warna awalnya yaitu putih keruh, kemudian berubah
menjadi merah dengan endapan. Kelompok B4 berubah warna dari putih keruh menjadi
merah gelap dengan endapan kuning. Kemudian kelompok B5, B7, dan B11 memiliki
data yang sama, yaitu perubahan warna dari putih keruh menjadi merah. Kelompok B6
berubah menjadi merah tua, dan kelompok B9 berubah warna menjadi merah bata, dari
warna awalnya yaitu putih keruh.

4.2.7. Uji Luff pada Berbagai Larutan Sampel


Hasil pengamatan Uji Luff pada berbagai larutan sampel dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Tabel Hasil Pengamatan Uji Luff Schroll pada Berbagai Larutan Sampel

Kelompok Sampel Gambar Awal Gambar Akhir Keterangan


B1 Ubi kayu Awal: putih
kukus keruh
Akhir: biru
bening, ada
cincin ungu

B2 Ubi kayu Awal: putih


kukus keruh
Akhir: biru
bening

B3 Ubi kayu Awal: putih


kukus keruh
Akhir: kuning
dengan cincin
ungu di atas

B4 Ubi kayu Awal: putih


kukus keruh
Akhir: hijau
bening

B5 Ubi kayu Awal: putih


kukus keruh
Akhir: hijau
muda
29

B6 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: hijau
kebiruan

B7 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: biru
muda

B8 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: biru
muda

B9 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: putih
kebiruan

B10 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: biru
kekuningan

B11 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: biru
muda bening

Berdasarkan tabel 8, dapat diketahui bahwa pengamatan uji Luff pada berbagai larutan
sampel, setiap kelompok memiliki warna awal putih keruh, dan mengalami perubahan
warna yang berbeda-beda pada setiap kelompok. Kelompok B1 menjadi biru bening
dengan cincin berwarna ungu, kelompok B2 menjadi biru bening, kelompok B3 menjadi
kunin dengan cincin ungu, kelompok B4 menjadi hijau bening, kelompok B5 menjadi
hijau, kelompok B6 menjadi hijau kebiruan, kelompok B7 dan B8 menjadi biru muda,
30

kelompok B9 menjadi putih kebiruan, kelompok B10 menjadi biru kekuningan, dan
kelompok B11 berubah warna menjadi biru muda bening.

4.2.8. Uji Luff pada Berbagai Larutan Ekstrak Pati


Hasil pengamatan Uji Luff pada berbagai larutan ekstrak pati dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Tabel Hasil Pengamatan Uji Luff Schroll pada Berbagai Larutan Ekstrak Pati

Kelompok Sampel Gambar Awal Gambar Akhir Keterangan


B1 Ubi kayu Awal: putih
kukus keruh
Akhir: hijau
keputihan

B2 Ubi kayu Awal: putih


kukus keruh
Akhir: hijau
kebiruan

B3 Ubi kayu Awal: putih


kukus keruh
Akhir: kuning
bening

B4 Ubi kayu Awal: putih


kukus keruh
Akhir: kuning
bening, ada
gumpalan biru

B5 Ubi kayu Awal: putih


kukus keruh
Akhir: koloid
hijau muda
31

B6 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: hijau
kebiruan

B7 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: kuning
kehijauan

B8 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: biru
kehijauan

B9 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: putih
kebiruan

B10 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: biru
kekuningan

B11 Ubi kayu Awal: putih


mentah keruh
Akhir: putih
kebiruan

Berdasar tabel 9, dapat diketahui hasil uji Luff pada berbagai larutan ekstrak pati,
menurut hasil pengamatan di atas semua warna awal larutan adalah putih keruh, pada
kelompok B1 berubah warna menjadi hijau keputihan dan B2 berubah menjadi hijau
kebiruan. Kelompok B3 dan B4 berubah menjadi kuning bening, namun pada kelompok
B4 terdapat gumpalan berwarna biru. Kelompok B5 menjadi koloid hijau muda, dan
kelompok B6 menjadi hijau kebiruan. Kelompok B7 menjadi kuning kehijauan, dan
kelompok B8 menjadi biru kehijauan. Sedangkan kelompok B9 berubah warna menjadi
32

putih kebiruan, kelompok B10 menjadi biru kekuningan, dan kelompok B11 berubah
warna menjadi putih kebiruan dari warna awalnya.
5. PEMBAHASAN
Karbohidrat atau sakarida adalah komponen makrobiologi yang sangat penting bagi
aktivitas makhluk hidup khususnya manusia yang digunakan sebagai sumber energi
melalui proses katabolisme atau penguraian senyawa karbohidrat menjadi rantai yang
lebih pendek (Wirahadikusumah, 1985). Dalam proses fotosintesis tumbuhan hijau,
karbohidrat dihasilkan dalam bentuk glukosa yang dihasilkan dari reaksi antara
karbondioksida dan air dengan bantuan sinar matahari. Proses fotosintesis dapat dilihat
melalui reaksi di bawah ini.
klorofil + sinar matahari
6 CO2 + 6 H2O C6H12O6 + 6 O2

Klorofil merupakan zat warna (pigmen) hijau yang mampu menyerap energi dari
matahari sehingga menyebabkan tanaman mampu melakukan reaksi fotosintesis dari
karbondioksida dan air (deMan, 1997).

Uji Kuantitatif (Penentuan Kadar Amilosa)


Dalam praktikum bab karbohidrat ini dilakukan 2 pengujian yaitu uji kuantitatif dan uji
kualitatif. Dalam praktikum bab karbohidrat ini dilakukan 2 pengujian yaitu uji
kuantitatif dan uji kualitatif. Uji kuantitatif diawali dengan merebus masing-masing
bahan selama 10 menit, kemudian bahan ditimbang sebanyak 100 mg dan dimasukkan
ke dalam beaker glass. Setelah ituemudian sebanyak 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1
N ditambahkan kemudian dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 10 menit
sampai membentuk gel. Lalu seluruh gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml lalu
dikocok dan ditambahkan aquades sampai tanda tera. Larutan yang terbentuk diambil
sebanyak 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian ditambahkan 1
ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Aquades ditambahkan sampai tanda tera, lalu
dikocok dan didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 625 nm. Kadar Amilosa pada masing-
masing sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Persamaan regresi (Kurva Standar) y =.
x = .
Rumus: x * 20 = a ppm

ax = b gr

Konsentrasi amilosa = = . ppm.

33
34

Uji Kualitatif
Persiapan Bahan
Pada uji kualitatif, terdapat 2 jenis larutan yang hendak di uji, yaitu larutan sampel dan
ekstrak pati. Larutan sampel merupakan larutan bahan tanpa proses ekstraksi, sedangkan
ekstrak pati harus melalui tahap pengekstrakan terlebih dahulu. Lee (1992)
mendefinisikan ekstraksi sebagai suatu proses yang berfungsi untuk memisahkan suatu
komponen dari campuran baik berupa larutan maupun suspensi dengan menggunakan
pelarut. Dalam kehidupan nyata ekstraksi digunakan sebagai sarana untuk memisahkan
suatu senyawa organik dari larutan/suspensi sehingga dapat digunakan pada tahap
berikutnya.

Mula-mula bahan dihancurkan hingga benar-benar halus. Penghalusan bahan bertujuan


untuk membuat bahan menjadi lebih homogen dan untuk memecahkan struktur bahan
sehingga enzim yang terkandung di dalamnya mudah untuk diekstrak (Palmer, 1991).
Setelah halus, bahan tersebut diambil sebanyak 30 gram untuk pembuatan ekstrak pati,
kemudian ditambahkan dengan buffer fosfat pH 7,5 sebanyak 30 ml. Sedangkan
pembuatan sampel, bahan diambil sebanyak 20 gram dan kemudian dilarutkan dalam
100 ml aquades. Kemudian cairan campuran tersebut disaring dengan kertas saring dan
dialasi es batu. Cairan yang didapat digunaan untuk pengujian kualitatif.

Pada pembuatan larutan ekstrak pati ditambahkan buffer fosfat pH 7,5 sebanyak 30 ml
hal ini dikarenakan karbohidrat akan cepat rusak apabila bertemu dengan asam dan suhu
tinggi. Maka sebelum dilakukan pengekstrakan sangat dianjurkan untuk menetralkannya
karena pada dasarnya karbohidrat yang terkandung dalam bahan pangan bersifat asam
(Nielsen, 1998). Selain itu menurut Fox (1991) pengkondisian buffer basa pertama kali,
yaitu penambahan buffer pH 7, berfungsi merusak dinding sel yang mengandung enzim
sehingga ekstraksi dengan sentrifugasi lebih mudah. Larutan buffer/larutan penyangga
merupakan larutan yang tahan panas terhadap perubahan pH. Baik itu karena
penambahan asam atau basa, dan membutuhkan pH yang terkontrol dan tepat (Fardiaz,
1992). Buffer dapat mempertahankan kondisi enzim presipitat agar tidak terjadi
perubahan pH dan mencegah agar enzim tidak mengalami inaktivasi (Winarno, 1995).
35

Kemudian campuran tersebut disaring dengan kain saring, kemudian disaring lagi
menggunakan kertas saring. Campuran disaring di erlenmeyer yang berada di dalam
baskom yang telah berisi es batu. Penyaringan ini berfungsi untuk memisahkan antar
partikel padat dengan partikel cair termasuk gas. Pada penyaringan campuran yang
terdiri atas partikel padat yang terdispersi dalam fase cair atau gas, dilewatkan dengan
melalui medium berpori. Sebagai medium penyaring, dapat digunakan kain saring,
anyaman kawat, dan anyaman plastik (Suyitno, 1989).

Filtrat yang didapat disentrifuge pada kecepatan 4000 rpm, suhu 50C selama 15 menit.
Kemudian bagian yang cair diambil dengan menggunakan pipet dan diletakkan ke
dalam erlenmeyer untuk pengujian kualitatif.

Uji Benedict Larutan Sampel dan Ekstrak Pati


Setelah mendapatkan larutan sampel dan ekstrak pati, maka dilakukan uji kualitatif,
salah satunya yaitu uji Benedict. Uji benedict merupakan suatu uji biokimia yang
berfungsi untuk mendeteksi gula pereduksi dalam suatu larutan (Daintith, 1999).
Langkah yang dilakukan dalam uji Benedict yaitu pertama-tama disiapkan 2 tabung
yaitu tabung reaksi yang diisi dengan larutan sampel dan tabung reaksi yang diisi
larutan ekstrak pati sebanyak 1 ml. Kemudian larutan tersebut ditambahkan dengan 3 ml
larutan Benedict dan dipanaskan dengan menggunakan waterbath selama 10 menit,
perubahan warna yang terjadi diamati dan dicatat. Hal ini sesuai dengan Daintith (1999)
reagen yang digunakan dalam uji benedict yaitu campuran tembaga II sulfat dan hasil
saringan dari campuran natrium sitrat berhidrat dengan natrium karbonat berhidrat.
Campuran ini ditambahkan ke dalam larutan yang diuji dan kemudian dididihkan.

Pada uji Benedict yang menggunakan larutan sampel, hasil uji menunjukkan seluruh
larutan memiliki warna awal putih keruh, dan kemudian perubahan warna yang terjadi
pada masing-masing kelompok berbeda-beda, yaitu kelompok B1 menjadi hijau
kebiruan, kelompok B2 menjadi hijau tua, kelompok B3 menjadi hijau tua dengan
endapan kuning tua, kelompok B4 menjadi hijau tua dengan endapan kuning, kelompok
B5 menjadi hijau kebiruan, kelompok B6 menjadi biru kehijauan, kelompok B7 menjadi
36

hijau kebiruan disertai adanya endapan, kelompok B8 menjadi biru pekat, kelompok B9
menjadi biru bening, kelompok B10 menjadi hijau kebiruan, dan kelompok B11
berubah warna menjadi biru tua. Sedangkan hasil uji Benedict pada berbagai larutan
ekstrak pati, menurut hasil pengamatan semua warna awal larutan adalah putih keruh,
pada kelompok B1 dan B2 berubah menjadi kuning kecoklatan, kelompok B3 berubah
menjadi kuning kecoklatan dengan endapan kuning, kelompok B4 menjadi hijau
kekuningan dengan endapan kuning, kelompok B5 menjadi koloid coklat susu,
kelompok B6 menjadi hijau tua, kelompok B7 menjadi hijau kebiruan, kelompok B8
menjadi hijau pekat, kelompok B9 berubah warna menjadi hijau keruh, kelompok B10
menjadi hijau tua, dan kelompok B11 berubah warna menjadi hijau kebiruan dari warna
awalnya.

Menurut Kusnawidjaya (1993) larutan Benedict hanya dapat mereduksi gula tertentu
sehingga warna larutan akhir yang biru menandakan bahwa Benedict tak dapat
mereduksi gula tersebut dan mengidentifikasikannya. Larutan kompleks tidak
memunculkan endapan CuO dalam hasil akhirnya, sehingga tidak mengalami perubahan
dan tidak terbentuk endapan setelah dipanaskan. Sedangkan menurut Winarno (1997),
timbulnya endapan warna hijau, kuning, biru atau merah oranye dalam uji benedict
menunjukkan adanya gula pereduksi. Sehingga dapat diketahui bahwa ubi kayu kukus
maupun ubi kayu mentah mengandung gula pereduksi.

Uji Barfoed Larutan Sampel dan Ekstrak Pati


Uji barfoed merupakan salah satu uji biokimia yang berfungsi untuk mendeteksi gula
monosakarida (pereduksi) dalam suatu larutan (Daintitih, 1999). Langkah yang
dilakukan yaitu disiapkan 2 buah tabung reaksi, tabung pertama diisi dengan 2 ml
larutan ekstrak pati sedangkan tabung kedua diisi dengan lautan sampel. Kemudian
ditambahkan larutan Barfoed sebanyak 2 ml. Selanjutnya, tabung reaksi tersebut
dipanaskan pada waterbath selama 10 menit. Lalu, diamati dan dicatat perbuahan warna
yang terjadi. Menurut Daintitih (1999) reagen yang digunakan dalam pengujian ini
adalah campuran asam etanoat atau asetat dengan tembaga II asetat ditambahkan ke
dalam larutan dan dididihkan. Sedangkan menrut Robert (1972) Uji Barfoed juga dapat
37

dilakukan untuk mengetahui keberadaan karbohidrat, yaitu dengan menambahkan


larutan Barfoed sebanyak kurang lebih sebanyak 2 ml, kemudian dipanaskan.

Pada hasil uji barfoed pada berbagai larutan sampel pada setiap kelompok mendapat
data yang berbeda-beda. Kelompok B1, B7, B8 memiliki warna awal putih keruh
kemudian menjadi biru. Pada kelompok B2 dan B4 warna awal putih keruh kemudian
menjadi biru bening. Pada kelompok B5 dan B11 warna awalnya putih keruh kemudian
menjadi biru muda. Sedangkan kelompok B3 berubah menjadi biru dengan endapan
putih, kelompok B6 berubah menjadi biru tua, kelompok B9 menjadi biru bening denan
endapan putih, dan kelompok B10 berubah warna menjadi biru disertai dengan endapan.
Sedangkan pada uji barfoed pada berbagai larutan ekstrak pati didapat hasil seluruh
kelompok memiliki warna awal yaitu putih keruh dan rata-rata berubah menjadi biru
atau biru muda dengan disertai endapan, kecuali pada kelompok B2 yang berubah
menjado warna biru muda saja. Kemudian kelompok B4 yang berubah warna menjadi
biru keruh. Lalu kelompok B5 yang berubah warna mejadi koloid biru muda.

Menurut Dainith (1999) apabila terdapat gula pereduksi, maka pada uji Barfoed akan
terbentuk endapan yang berwarna merah dari tembaga (II) oksida. Namun pada hasil
percobaan tidak ada yang menunjukkan hasil positif pada uji Barfoed. Hal ini
dikarenakan reaksi ini akan memberikan hasil yang negatif untuk gula disakarida. Yang
disebabkan karena gula ini merupakan bahan pereduksi lemah (Daintitih, 1999). Dalam
suasana asam gula reduksi yang termasuk dalam golongan disakarida memberikan
reaksi yang sangat lambat dengan larutan Barfoed sehingga tidak meberikan endapan
merah kecuali pada waktu percobaan yang diperlama (Sudarmadji et al., 1989).
Sedangkan pada bahan yang merupakan berbagai jenis ubi kayu, kandungnnya sebagian
besar adalah pati. Dan pati termasuk dalam polisakarida. Sifat-sifat umum dari
polisakarida adalah tidak mereduksi, tidak menunjukkan peristiwa mutarotasi, dan
reaksi stabil terhadap pengaruh basa/alkali. Beberapa polisakarida yang penting antara
lain pati (amilum), glikogen dan selulosa (Martoharsono, 1994). Hal inilah yang
menyebabkan hasil dari uji Barfoed negatif pada semua bahan. Menurut Sudarmadji et
al., (1989) uji ini digunakan untuk penunjukan gula reduksi monosakarida. Sehingga
menyebabkan hasil percobaan uji barfoed menjadi negatif.
38

Uji Selliwanoff Larutan Sampel dan Ekstrak Pati


Selliwanoff merupakan suatu uji biokimia yang berfungsi untuk mengidentifikasi
keberadaan gula ketosa, seperti fruktosa dalam suatu larutan. Uji Selliwanoff dilakukan
dengan memberikan beberapa tetes reagen yang terdiri dari kristal resorsinol yang
dilarutkan dalam air dan asam hidroklorida dalam jumlah sama, yang kemudian
dipanaskan dengan larutan uji (Daintith, 1999). Sesuai dengan yang dilakukan pada
praktikum yaitu dengan menambahkan 2 ml HCl pekat ke dalam sampel. Selanjutnya,
dipanaskan pada waterbath selama 30 menit. Kemudian, 0,5 ml larutan resorcinol 1,5 %
dalam alkohol ditambahkan. Robert (1972) menyatakan bahwa uji Seliwanoff dapat
dilakukan dengan menambahkan HCl pekat ke dalam bahan yang kemudian dipanaskan.
Sedangkan sebagai zat untuk dehidrator dapat digunakan asam klorida 12% atau asam
asetat atau asam sulfat alkoholik (Sudarmadji et al., 1989).

Pada hasil pengamatan dapat diketahui hasil pengamatan uji selliwanoff pada berbagai
larutan yaitu, untuk B1, B3, B7, B8, B10, dan B11 dari warna awalnya adalah putih
keruh kemudian menjadi merah. Kelompok B2, B4, B6, dan B9 berubah warna menjadi
merah bening. Sedangkan kelompok B5, berubah warna menjadi merah bata dari warna
awalnya, yaitu putih keruh. Sedangkan pada pengamatan ekstrak pati didapat hasil
kelompok B1 memiliki warna awal berwarna putih keruh kemudian menjadi bening
coklat. Kelompok B2, B3, dan B11 warna awalnya yaitu putih keruh, kemudian berubah
menjadi merah dengan endapan. Kelompok B4 berubah warna dari putih keruh menjadi
merah gelap dengan endapan kuning. Kemudian kelompok B5, B7, dan B11 memiliki
data yang sama, yaitu perubahan warna dari putih keruh menjadi merah. Kelompok B6
berubah menjadi merah tua, dan kelompok B9 berubah warna menjadi merah bata, dari
warna awalnya yaitu putih keruh. Menurut Winarno (1992) warna merah cherry dalam
uji Selliwanoff menunjukkan adanya fruktosa. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kedua jenis bahan yaitu ubi kayu kukus dan ubi kayu mentah mengandung fruktosa.

Uji Luff Schroll Larutan Sampel dan Ekstrak Pati


Tabung reaksi diisi dengan 5 ml larutan bahan dan kemudian ditambahkan 2 ml larutan
CuSO4 5%, 1 ml larutan asam nitrat pekat 65%, dan 1 ml larutan Na 2CO3 5%. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Gaman & Sherington (1994) yag menyatakan bahwa
Luff merupakan campuran dari CuSO4, Na2CO3, dan asam nitrat. Penentuan gula
39

dengan cara Luff Schroll, yang ditentukan adalah kuprioksida dalam larutan sebelum
direaksikan dengan gula reduksi dan sesudah direaksikan dengan sampel gula reduksi.
Banyaknya CuO tersebut ekuivalen dengan banyaknya iod yang dibebaskan. Asam
sulfat yang ditambahkan akan bereaksi dengan CuO membentuk CuSO 4, kemudian akan
bereaksi dengan KI membentuk CuI2 yang nantinya akan terurai menghasilkan I2 bebas
( Sudarmadji et al., 1989 ).

Berdasarkan tabel 8, dapat diketahui bahwa pengamatan uji Luff pada berbagai larutan
sampel, setiap kelompok memiliki warna awal putih keruh, dan mengalami perubahan
warna yang berbeda-beda pada setiap kelompok. Kelompok B1 menjadi biru bening
dengan cincin berwarna ungu, kelompok B2 menjadi biru bening, kelompok B3 menjadi
kunin dengan cincin ungu, kelompok B4 menjadi hijau bening, kelompok B5 menjadi
hijau, kelompok B6 menjadi hijau kebiruan, kelompok B7 dan B8 menjadi biru muda,
kelompok B9 menjadi putih kebiruan, kelompok B10 menjadi biru kekuningan, dan
kelompok B11 berubah warna menjadi biru muda bening.

Sedangkan brdasar tabel 9, dapat diketahui hasil uji Luff pada berbagai larutan ekstrak
pati, menurut hasil pengamatan di atas semua warna awal larutan adalah putih keruh,
pada kelompok B1 berubah warna menjadi hijau keputihan dan B2 berubah menjadi
hijau kebiruan. Kelompok B3 dan B4 berubah menjadi kuning bening, namun pada
kelompok B4 terdapat gumpalan berwarna biru. Kelompok B5 menjadi koloid hijau
muda, dan kelompok B6 menjadi hijau kebiruan. Kelompok B7 menjadi kuning
kehijauan, dan kelompok B8 menjadi biru kehijauan. Sedangkan kelompok B9 berubah
warna menjadi putih kebiruan, kelompok B10 menjadi biru kekuningan, dan kelompok
B11 berubah warna menjadi putih kebiruan dari warna awalnya.

Maka dapat diketahui sampel tidak mengandung gula pereduksi, karena menghasilkan
hasil negatif pada uji ini. Hal ini didasari oleh pernyataan Gaman & Sherington (1994)
bahwa gula pereduksi dengan reagen Luff akan membentuk endapan berwarna kuning -
oranye atau merah bata dari Cu2O. Jika polisakarida dihidrolisis juga bisa menghasilkan
dekstrin yang merupakan zat amorf (tidak berbentuk) yang dapat mereduksi Fehling dan
Luff dengan kuat (Norman, 1987). Hidrolisis pati dapat dilakukan oleh penambahan
40

asam atau enzim. Jika pati dipanaskan dengan asam, akan terurai menjadi molekul
molekul yang lebih kecil secara berurutan dan hasil akhirnya adalah glukosa (de Man,
1989). Menurtut Scott et al, (1992) glukosa dan fruktosa akan memberikan hasil yang
positif terhadap Luff test. Hal ini disebabkan karena glukosa dan fruktosa merupakan
reduktor yang kuat atau gula pereduksi.
6. KESIMPULAN
Karbohidrat memiliki rumus empiris (CH2O)n.
Karbohidrat tersusun atas karbon dan hidrogen.
Karbohidrat terdiri dari beberapa monomer yang bergabung menjadi satu dengan
ikatan kovalen yang disebut dengan ikatan glikosidik.
Karbohidrat dapat dibedakan menjadi tiga golongan besar berdasarkan jumlah
monomer yang menyusunnya, yaitu monosakarida, oligosakarida dan
polisakarida.
Uji kualitatif merupakan pengujian yang dilakukan untuk menganalisa adanya
jenis karbohidrat tertentu di dalam suatu bahan pangan.
Sedangkan uji kuantitatif karbohidrat merupakan suatu cara untuk menentukan
kadar (banyak sedikitnya) karbohidrat dalam bahan pangan.
Semakin besar nilai absorbansi maka semakin besar kadar amilosanya.
Uji benedict merupakan suatu uji biokimia yang berfungsi untuk mendeteksi
gula pereduksi dalam suatu larutan.
Pengujian Benedict memberikan hasil positif apabila terdapat gula pereduksi
dalam bahan, yang ditandainya dengan munculnya endapan warna hijau, kuning
atau merah oranye.
Uji barfoed merupakan salah satu uji biokimia yang berfungsi untuk mendeteksi
gula monosakarida (pereduksi) dalam suatu larutan.
Apabila terdapat gula pereduksi, maka pada uji Barfoed akan terbentuk endapan
yang berwarna merah dari tembaga (II) oksida.
Uji Luff Schroll menggunakan campuran CuSO4, Na2CO3, dan asam nitrat
memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan gula pereduksi bila
terbentuk endapan warna kuning-oranye atau merah bata dari Cu2O.
Selliwanoff merupakan suatu uji biokimia yang berfungsi untuk
mengidentifikasi keberadaan gula ketosa, seperti fruktosa dalam suatu larutan.

Semarang, 28 September 2015

Praktikan, Asisten dosen:

- Helen Novita Sari

41
42

Klara Paskarena D.
14.I1.0063
Kelompok B5
7. DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, F. B. (1995). Buku Ajar Biokimia. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Daintith, J. (1999). Kamus Lengkap Kimia. Erlangga. Jakarta.

Day, B.A. & A.L. Underwood. (1992). Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga.
Jakarta.

DeMan, M. J. (1997). Kimia Makanan Second Edition. ITB. Bandung.

Ebbing, D. B. (1987). General Chemistry. Houghton Mifflin Company. Boston.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia. Jakarta.

Fox, P. F. 1991. Food Enzymologi Vol 1. Elsevier Applied Sciences. London.

Gaman, P.M & K.B. Sherington (1981). Ilmu Pangan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.

Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan


dan Nutrisi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Girindra, A. (1993). Biokimia I. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Kusnawidjaya, K. (1993). Petunjuk Praktikum Biokimia 2nd Edition. Bandung.

Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall International, New


Jersey.

Lubert, S. (1988). Biochemistry Third Edition. Freeman and Company. New York

Martoharsono, S. (1991). Biokimia Jilid I. UGM Press. Yogyakarta.

Martoharsono, S. (1994). Biokimia I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Nielsen, S. S. 1998. Food Analysis 2nd Ed . Aspen Publishers, Inc . Maryland-USA.

Norman,N P. (1987). Food Science. Ithaca. New York.

Palmer, T. (1991). Understanding Enzymes 3rd Edition. Ellis Horwood Limited.


England.

43
44

Pomeranz, Y & C. E. Meloan. (1994). Food Analysis Theory and Practice, 3 rd Ed.
Publishing Company Inc. USA.

Qullette, R. J. (1994). Organic Chemistry. Premtice Hall, Inc. New Jersey.

Riawan, S. (1990). Kimia Organik, edisi 1. Binarupa Aksara. Jakarta.

Robert, S. (1972). Organic Chemistry. Mc Graw Hill Comp. New York.

Scoot, P; et.al. (1992). College Chemistry : An introduction A General, Organic and


Biochemistry. Cole Publishing Company. California.

Soeharsono. (1978). Petunjuk Praktikum Biokimia. PAU Pangan dan Gizi.


Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Sudarmadji, S.; B. Haryono & Suhardi. (1989). Analisa Bahan Makanan Dan
Pertanian. Liberty Bekerjasama Dengan PAU Pangan Dan Gizi UGM. Yogyakarta.

Sudarmadji, S.; B. Haryono & Suhardi. (1996). Analisa Bahan Makanan Dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Suhardjo, & C. M. Kosbart. (1992). Prinsip Prinsip Ilme Gizi. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.

Suyitno. 1989. Petunjuk Laboratorium Rekayasa Pangan. Pusat Antar Universitas


Pangan & Gizi UGM. Yogyakarta.

Tranggono & B. Setiaji et al., (1989). Biokimia Pangan. Gadjahmada University


Press. Yogyakarta.

Winarno. (1992). Biofermentase dan Biosintesa Protein. PT. Angkasa. Bandung.

Winarno, F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gzi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wirahadikusumah, M. (1985). Biokimia : Metabolisme Energi, Karbohidrat, dan


Lipid. ITB. Bandung. Armstrong, F. B. (1995). Buku Ajar Biokimia. ECG. Jakarta.
8. LAMPIRAN
8.1. Perhitungan

Rumus:

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B1

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B2

45
46

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B3

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B4
47

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B5

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B6
48

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B7

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B8
49

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B9

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B10

konsentrasi amilosa =

KELOMPOK B11
50

konsentrasi amilosa =

8.2. Laporan Sementara

8.3. Viper

Anda mungkin juga menyukai