Anda di halaman 1dari 46

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik Respirologi

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

ASMA BRONKIAL DAN TUBERKULOSIS PADA ANAK

Disusun oleh:
Muhammad Surya Tiyantara (1510029041)

Pembimbing:
dr. Hj. Sukartini, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
AGUSTUS 2016

1
Tutorial Klinik

ASMA BRONKIAL DAN TUBERKULOSIS PADA ANAK

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Anak


MUHAMMAD SURYA TIYANTARA
1510029041

Menyetujui,

dr. Hj. Sukartini, Sp. A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
AGUSTUS 2016

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Laporan yang berjudul Asma Bronkial dan Tuberkulosis pada Anak.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan referat ini tidak lepas
dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Sukartini, Sp. A., sebagai dosen pembimbing klinik selama stase anak.
2. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga
pendidikan saat ini.
3. Rekan sejawat dokter muda angkatan 2015 yang telah bersedia memberikan
saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis.
4. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Akhir kata, Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, penulis
membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun guna
memperbaiki laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semuanya.

Agustus, 2016

Penulis

3
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul...1

Halaman Pengesahan.....2

Kata Pengantar.......3

Daftar Isi............4

BAB I Pendahuluan.......5

Data Pasien7

BAB II Tinjauan Pustaka......14

Asma Bronkial......14

Tuberkulosis Anak........28

Daftar Pustaka...45

4
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh
belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada
anak-anak baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor
lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor1. Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%
pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut
berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan
untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian
berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat antiinflamasi dianjurkan
diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.3
Pengetahuan mengenai definisi, cara mendiagnosis, pencetus, patogenesis
dan tatalaksana yang tepat dapat mengurangi kesalahan berupa underdiagnosis
dan overtreatment serta overdignosis dan undertreatment pada pasien. Sehingga
diharapkan dapat mempengaruhi kualitas hidup anak dan keluarganya serta
mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang besar.
Tuberkulosis (TB) pada anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak
usia 0-14 tahun. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya
alat diagnostik yang child-friendly dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan
pelaporan kasus TB anak. Data TB anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus
TB anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9.4%, kemudian
menjadi 8.5% pada tahun 2011 dan 8.2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data
per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1.8% sampai 15.9%. Hal ini
menunjukkan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat bervariasi pada level

5
provinsi. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5.4% dari semua
kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6.3% dan tahun 2012 menjadi
6%. Diperkirakan banyak anak menderita TB yang tidak mendapatkan
penetalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS.
Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan
mortalitas anak.4

6
DATA PASIEN

Pasien masuk RS pada tanggal 6 Agustus 2016 melalui Instalasi Gawat


Darurat RSU A.W. Sjahranie Samarinda. Masuk ke Ruang Melati 6 Agustus
2016.

Identitas:
Nama : An. M.H
Umur : 2 tahun
Jenis kelamin : Pria
Alamat : Jl. Sebulu Modern, Tenggarong Seberang

Orang tua
Ayah : Bpk. T (20 tahun, swasta)
Ibu : Ibu. M (24 tahun, Ibu Rumah Tangga)

Anamnesis:
1. Keluhan Utama
Sesak
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1 jam sebelum masuk
rumah sakit (SMRS) disertai mengi. Sesak paling berat pada malam dan dini
hari, sehingga mengganggu aktivitas dan tidur.. Pasien merasa sulit bernapas
dalam posisi berbaring, dan nyaman pada posisi duduk bertopang tangan.
Saat sesak terjadi, pasien berbicara per-kata diselingi menarik nafas karena
sesak yang dialami. Menurut keterangan ibu pasien sesak napasnya muncul
akibat pasien kelelahan bermain. Dalam 1 bulan pasien mengalami serangan
sebanyak 3-4x dalam 1 bulan dan selalu membutuhkan nebulizer dirumah.
Namun serangan kali ini, keluhan tidak berkurang walaupun sudah di
nebulizer, sehingga pasien datang ke IGD. Saat di IGD pasien di nebulizer
tapi keluhan tidak ada perbaikan.

7
Selain dicetuskan oleh kelekahan pasien juga mengalami serangan
apabila terkena cuaca dingin. Pasien meniliki riwayat alergi snack. Keluhan
selain sesak, pasien juga mengeluhkan batuk. Pasien mengeluhkan batuk
berdahak sejak 5 hari SMRS. Batuk cenderung terjadi pada malam dan dini
hari. Dahak berwarna putih bening dan encer. Batuk terjadi tanpa disertai
demam.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien
memiliki riwayat asma berulang dan saat ini pasien menjalani pengobatan TB
selama 4 bulan dan saat ini pasien tidak minum obat TB selama 5 hari.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Paman pasien juga menderita infeksi paru dan tinggal bersama pasien.
Paman pasien sudah menjalani pengobatan TB selama 6 bulan.

5. Riwayat Lingkungan
Kebersihan di rumah menurut pengakuan keluarga cukup bersih dan
paman pasien juga merokok di dalam rumah. Bantal dan tempat tidur pasien
terbuat dari kapuk.

6. Riwayat Kehamilan , Persalinan, dan Post Persalinan


Ibu rutin melakukan pemeriksaan ANC ke bidan. Selama hamil ibu
tidak mengalami permasalahan, demam tidak ada, hipertensi tidak ada,
diabetes tidak ada, mengkonsumsi obat-obatan tidak ada.
Pasien anak pertama, lahir spontan ditolong oleh bidan. Pasien lahir
aterm dengan BB 2900 gram, langsung menangis kuat.

7. Riwayat Makanan & Minuman


ASI dari lahir sampai umur 3 bulan. ASI dihentikan dengan alasan
produksinya tidak mencukupi lagi untuk anaknya. MPASI mulai umur 3

8
bulan. Makan menu keluarga mulai dapat diikuti pasien sejak umur 1 tahun
sampai sekarang.

8. Riwayat Imunisasi
Imunisasi wajib lengkap

Pertumbuhan dan perkembangan anak


BB Lahir : 2900 gram BB sekarang : 10 kg

PB Lahir : 46 cm TB sekarang : 81 cm
Gigi keluar : 9 bulan Berdiri : 12 bulan

Tersenyum : lupa Berjalan : 13 bulan

Miring : lupa Berbicara 2 suku kata : 14 bulan

Tengkurap : 6 bulan Masuk TK :-

Duduk : 9 bulan Masuk SD :-

Merangkak : 11 bulan Sekarang kelas :-

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : composmentis
Tanda-tanda vital
1. Tekanan darah : mmHg 3. Frekuensi nafas : 48x/menit
2. Frekuensi nadi : 102x/menit 4. Suhu : 37,1oC
Status Gizi
Berat Badan : 10 kg
Tinggi Badan : 81 cm

BB/TB : 94% (gizi baik)

9
Status generalisata
Kepala
Bentuk : Normochepali
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor,
refleks cahaya (+/+)
Hidung : nafas cuping hidung -|- , secret (-)
Mulut : mukosa basah, tidak pucat, faring tidak hiperemis

Leher
KGB : Pembesaran kelenjar getah bening (-) .

Thorax
Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, retraksi (-) suprasternal
dan subcostal dangkal.
Palpasi : fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ekspirasi memanjang, wheezing
(+/+), bunyi jantung I & II tunggal reguler, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Simetris, datar, scar (-)
Palpasi : supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) 9 kali/menit

Ekstremitas
Superior & Inferior : akral hangat, CRT <2 detik, tidak edema

Pemeriksaan Penunjang:

10
1. Darah lengkap
10/2/2015
Lab Value
Haemoglobin 12,7 11-16,5 g/dl
Leukosit 7800 4000-10000/
Trombosit 342.000 150000-450000/
Hematokrit 36,9 36,0-54,0 %

2. Glukosa Darah sewaktu: 98 mg/dl


3. Natrium : 140; Kalium : 3.9; Cl : 109

Diagnosa utama: Asma bronkial akut derajat berat episode jarang


Diagnosa lainnya : Limfadenitis TB

Penatalaksanaan di IGD : Nebulisasi salbutamol 2.5 mg sebanyak 3 kali.


Deksametason IV 1 ampul (5 mg)
Follow up :

11 Juli 2016 12 Juli 2016 13 Juli 2016


S Batuk (+), Batuk (+), Batuk (),
Sesak (+), Sesak (), Sesak (),
Demam (-), Makan minum (+) Makan minum (+)
Makan minum ()
O Composmentis Composmentis Composmentis
HR: 102x/menit HR: 92x/menit HR: 98x/menit
RR: 42x/menit RR: 34x/menit RR: 35x/menit
T: 36,5 C T: 36,8 C T: 36,5 C
Kepala: ane (-), ikt (-), Kepala: ane (-), ikt (-), Kepala: ane (-), ikt (-),
sianosis (-), napas sianosis (-), napas sianosis (-), napas
cuping hidung (-) cuping hidung (-) cuping hidung (-)
tonsil dan faring dbn tonsil dan faring dbn tonsil dan faring dbn

11
Thorax: retraksi (+), Thorax: retraksi (-), Thorax: retraksi (-),
whe (+), rho (-), s1s2 whe (+), rho (-), s1s2 whe (+), rho (-), s1s2
tunggal regular, tunggal reguler tunggal reguler
murmur (-), gallop(-) murmur (-), gallop(-) murmur (-), gallop(-)
Abdomen:nyeri tekan Abdomen:nyeri tekan (- Abdomen:nyeri tekan (-
(-), BU (+)N ), BU (+)N ), BU (+)N
Ekstremitas: akral Ekstremitas: akral Ekstremitas: akral
hangat, CRT <2 detik hangat, CRT <2 detik hangat, CRT <2 detik
A Asma bronchial akut Asma bronchial akut Asma bronchial akut
derajat berat episode derajat berat episode derajat berat episode
jarang + limfadenitis jarang + limfadenitis jarang + limfadenitis
TB TB TB
P 1. IVFD D5 NS 1. IVFD D5 NS 1. IVFD D5 NS
1250 cc/24 jam 1250 cc/24 jam 1250 cc/24 jam
2. Ephedrin 7.5mg ; 2. Ephedrin 7.5mg ; 2. Ephedrin 7.5mg ;
Ambroxol 7.5 mg; Ambroxol 7.5 mg; Ambroxol 7.5 mg;
Salbutamol 1.5 mg Salbutamol 1.5 mg Salbutamol 1.5 mg
mf pulv 3 x 1 pulv mf pulv 3 x 1 pulv mf pulv 3 x 1 pulv
3. Nebulizer ventolin 3. Nebulizer ventolin 3. Nebulizer ventolin
per 4 jam per 4 jam per 4 jam
4. KDT 1 x 3 4. KDT 1 x 3 4. KDT 1 x 3

14 Juli 2016
S Batuk (),
Sesak (),
Makan minum (+)
O Composmentis
HR: 92x/menit
RR: 31x/menit

12
T: 36,9 C
Kepala: ane (-), ikt (-),
sianosis (-), napas
cuping hidung (-)
tonsil dan faring dbn
Thorax: retraksi (-),
whe (-), rho (-), s1s2
tunggal reguler
murmur (-), gallop(-)
Abdomen:nyeri tekan
(-), BU (+)N
Ekstremitas: akral
hangat, CRT <2 detik
A Asma bronchial akut
derajat berat episode
jarang + limfadenitis
TB
P 1. IVFD D5 NS
1250 cc/24 jam
2. Ephedrin 7.5mg ;
Ambroxol 7.5 mg;
Salbutamol 1.5 mg
mf pulv 3 x 1 pulv
3. Nebulizer ventolin
per 4 jam
4. Ketotifen 2 x cth
1/2
5. KDT 1 x 3

BAB 2
13
TINJAUAN PUSTAKA
A. Asma Bronkial
2.1 Definisi
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.1
Definisi asma menurut Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi IDAI
menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada malam / dini
hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau
atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya.2

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik meliputi: hiperreaktivitas,
atopi/alergi bronkus, jenis kelamin, ras/etnik. Faktor lingkungan meliputi: alergen
didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur), alergen di luar
ruangan (tepung sari), makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,
kacang, makanan laut, susu sapi, telur), obat-obatan tertentu (misalnya golongan
aspirin, NSAID, beta-blocker dll), bahan yang mengiritasi (misalnya parfum,
household spray dll), ekspresi emosi berlebih, asap rokok dari perokok aktif dan
pasif, polusi udara di luar dan di dalam ruangan, exercise induced asthma, mereka
yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas tertentu, dan perubahan
cuaca.3,4

2.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics (NCHS) pada
tahun 2003, prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per
1000 anak dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000. Jumlah perempuan yang
14
mengalami serangan lebih banyak daripada laki-laki. WHO memperkirakan
terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan
NCHS pada tahun 2000 terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi.5
Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh
belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada
anak-anak baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan
tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor
lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor1. Prevalensi asma pada
anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%
pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal tahun 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain
inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut
berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan
untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian
berkembang dengan antiinflamasi sehingga obat antiinflamasi dianjurkan
diberikan pada asma, kecuali pada asma yang sangat ringan.3
2.4. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan
ditandai oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas
hiperreaktif. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel
limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Pencetus serangan asma dapat
disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain, alergen, virus, iritan yang dapat
menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan
pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.4
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Degranulasi sel
mast mengeluarkan histamin dan berbagai mediator inflamasi lainnya yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus, dan vasodilatasi.
15
Reaksi fase lambat pada asma timbul sekitar 6-9 jam setelah fase awal. Meliputi
pengerahan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan
makrofag.4
Pada remodeling saluran pernapasan, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Berbagai sel terlibat dalam proses remodeling seperti sel-sel
inflamasi, matriks ekstraseluler, membran retikular basal, fibrogenic growth
factor, pembuluh darah, otot polos dan kelenjar mukus. Perubahan struktur yang
terjadi pada proses remodeling yaitu: hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran
napas, hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus, penebalan membran reticular
basal, pembuluh darah meningkat, peningkatan fungsi matriks ekstraselular,
perubahan struktur parenkim, dan peningkatan fibrogenic growth factor. Dengan
adanya airway remodeling, terjadi peningkatan tanda dan gejala asma seperti
hipereaktivitas jalan napas, distensibilitas dan obstruksi jalan napas.4

Gambar 1. Patogenesis Asma

2.5 Patofisiologi Asma


2.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos
bronkial yang dipicu oleh mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi.
Akibatnya terjadi hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi
deposisi matriks pada saluran nafas. Selain itu, dapat pula terjadi hipersekresi
16
mukus dan pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi
bronkial dan debris seluler.6

Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik

2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori


Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8g% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan karakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan
metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut saraf dan
sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.6
2.5.3 Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan

17
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pada
struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi
etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik.6
2.5.4 Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab
obstruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan bronkodilator.6

2.6. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan
batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau
dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan/atau atopi pada pasien.2,7
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi
lebih definitif. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal
paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow
meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamin, metakolin, gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan
salin hipertonis sangat menunjang diagnosis. Pemeriksaan ini berguna untuk
mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara yaitu didapatkannya:8
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator.
3. Penurunan 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.

2.6.1 Anamnesis
18
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan
gejala batuk dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan
batuk dijumpai sesak nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala
yang timbul bergantung pada derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala
yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih lancar berbicara dan aktifitasnya
tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah berat anak sulit
mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan sianosis
dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.8

2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya.
Pada serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai
adanya retraksi baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam
batas normal. Pada serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing
terutama pada saat ekspirasi, retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut
nadi bahkan dapat dijumpai sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi,
seperti dermatitis atopi dapat ditemukan.8
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi
kronik saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lendir, udem dinding
bronkus dan konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas
mengakibatkan timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi
basah kasar dan mengi. Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak
dengan komponen ekspiratori yang lebih menonjol.8
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada
AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2
(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru
bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya
penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal.8
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total
19
umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan
pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi
positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan.8

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak 7,8


Parameter klinis Asma episodik Asma episodik Asma persisten
Kebutuhan obat, jarang sering (asma berat)
dan faal paru (asma ringan) (asma sedang)
1.Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan 1/bulan
2.Lama serangan <1 minggu 1 minggu Hampir sepanjang
tahun, tidak ada remisi
3.Intensitas serangan Ringan Sedang Berat
4.Diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam
5.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu Sangat terganggu
<3x/minggu >3x/minggu
6.Pemeriksaan fisis Normal, tidak Mungkin terganggu Tidak pernah normal
diluar serangan ditemukan kelainan (ditemukan kelainan)
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ Perlu, steroid inhalasi
steroid inhalasi dosis Dosis 400 g/hari
100-200 g
8.Uji faal paru PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%
(di luar serangan) Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal 20% 30% 50%
paru
(bila ada serangan)

Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma8


Parameter klinis, Ringan Sedang Berat
Fungsi paru,
Laboratorium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi : Bayi :
Menangis keras Tangis pendek Tidak mau
& lemah minum /
Kesulitan makan
menetek dan
makan
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
Duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat

20
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya
irritable irritable Irritable
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada
Wheezing Sedang, sering Nyaring, Sangat
hanya pada Sepanjang nyaring,
akhir ekspirasi Terdengar
ekspirasi inspirasi tanpa
stateskop
Penggunaan otot Biasanya tidak Biasanya ya Ya
Bantu respiratorik
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam,
Retraksi ditambah ditambah
Interkosta Retraksi Napas cuping
suprasternal hidung
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak
sadar:
Usia frekuensi napas normal
<2 bulan < 60 / menit
2-12 bulan < 50 /menit
1-5 tahun < 40 / menit
6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi
Pedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :
Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit
1-2 tahun < 120 / menit
3-8 tahun < 110 / menit

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada


<10 mmHg 10-20 mmHg >20 mmHg
PEFR atau FEV1 (% Nilai Nilai terbaik)
- Prabronkodilator dugaan/ 40-60% <40%
- Pascabronkodilator >60% 60-80% <60%
>80% Respon < 2
jam
SaO2 % >95% 91-95% 90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

2.7.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan
jangka panjang.8 Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk
menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal sesuai dengan
potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah:7
21
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk
bermain dan berolah raga,
2. sedikit mungkin angka absensi sekolah,
3. gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu),
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang
mencolok pada PEF,
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga
hari, dan tidak ada serangan,
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak,
Tujuan tatalaksana saat serangan:2
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah
kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu
tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau
bila tujuan telah tercapai dan stabil 1 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan
penurunan pelan pelan (step down). Berikut ini adalah syarat step up dan step
down:7,8
Syarat Step Up Syarat Step down
pengendalian lingkungan dan hal-hal Pengendalian lingkungan harus tetap
yang memberatkan asma sudah baik
dilakukan
pemberian obat sudah tepat susunan Asma sudah terkendali selama 3 bulan
dan caranya berturut-turut
tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap
-6 minggu 3 bulannya sampai dengan dosis
terkecil yang masih dapat
mengendalikan asmanya.

22
efek samping ICS (inhaled Bila step down gagal, perlu dicari
cortikosteroid) tidak ada sebabnya dan kalau sudah dikoreksi,
ICS dapat diturunkan bersama dengan
penambahan LABA dan atau LTRA

2.7.1. Tatalaksana Medikamentosa


Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah
teratasi dan sudah tidak ada lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau
diberikan bila perlu. Kelompok kedua adalah obat pengendali yang disebut juga
obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas. Dengan demikian pemakaian
obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya
kemudian pemberiannya diturunkan pelan pelan yaitu 25 % setiap penurunan
setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 8 minggu.9

Obat obat Pereda (Reliever)


1. Bronkodilator
a. Short-acting 2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak. Reseptor 2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,
sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12).
Dengan pemberian short acting 2 agonist, diharapkan terjadi relaksasi otot polos
jalan napas yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi, peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan
mediator sel mast. Obat yang sering dipakai adalah salbutamol, fenoterol,
terbutalin.9
Dosis salbutamol:
Oral: 0,05 - 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 8 jam.

23
Nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB), interval
20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 0,5 mg/kgBB/jam
(dosis maksimum 15 mg/jam) atau 2.5mg/kali nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam. Pemberian inhalasi
(inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10
menit, lama kerjanya 4 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 4 semprotan tiap 3 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 10 semprotan tiap 1 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat karena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek
samping takikardi lebih sering terjadi.9
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping 2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine

Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan 2 agonist inhalasi, tapi


karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi 2 agonist dan
antikolinergik(12). Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal,
atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena menimbulkan
nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung akan
memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat
besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati
plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism
hati, sebagian besar dieksresi bersama urin. Efek samping obat ini adalah mual,
muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang,

24
takikardi dan aritmia. Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia : 16
bulan: 0,5mg/kgBB/Jam; 611 bulan: 1 mg/kgBB/Jam; 19 tahun: 1,2 1,5
mg/kgBB/Jam; > 10 tahun: 0,9 mg/kgBB/Jam.9

c. Antikolinergik
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi 2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0,1 ml/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. Obat ini dapat juga diberikan dalam
larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas 6 tahun 8 20 tetes; usia kecil 6
tahun 4 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak
dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka
panjang pada anak.9
d. Epinefrine
Epinefrin subkutan dapat diberikan sebagai alternatif untuk serangan asma
akut. Obat ini diberikan secara subkutan dengan dosis 0.01 ml/kgbb dalam larutan
1:1000 (dosis maksimum 0.3 ml) menggunakan semprit 1 ml. Jika tidak ada
perbaikan setelah 20 menit, dapat diulang dua kali dengan interval dan dosis yang
sama.

e. Kortikosteroid sebagai tambahan Pereda


Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan: (1) terapi inisial
inhalasi 2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang cukup lama; (2)
serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler; (3) serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan
berat sebelumnya. Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam
untuk mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 24
jam. Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 3 kali sehari selama 3 5 kali
sehari. Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 6

25
jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 6 8 jam.9

Obat obat Pengontrol


Obat obat asma pengontrol pada anak anak termasuk inhalasi dan sistemik
yaitu: glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled 2-agonist,
teofilin, kromolin, dan long acting oral 2-agonist.1,10
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal
dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam
pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-
gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di
rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan. Dosis yang
dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa
gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada
gigi dan mulut.1,10
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin
hasilnya lebih baik. LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan
cystenil leukotriane. Selain itu LTRA mempunyai efek bronkodilator dan
perlindungan terhadap bronkokonstriktor dan dapat mencegah early asma
reaction dan late asthma reaction. LTRA dapat diberikan per oral,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati. Preparat LTRA yaitu
montelukas dan zafirlukas. Zafirlukas digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.1,10
3. Long acting 2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian
ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan,
FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral, menurunnya hiperreaktivitas dan
airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu
26
kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan
formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI.
Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan meningkatkan kepatuhan
memakai obat.1,10
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.1,10

2.7.2 Terapi Suportif


Bentuk terapi suportif yang dapat diberikan antara lain terapi oksigen dan
terapi cairan. Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui nasal
kanul ataupun masker. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya
diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).9
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya
asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic
teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati karena pada asma berat terjadi
peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yang memudahkan terjadinya
retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang
memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5
kali kebutuhan maintenance.9

27
4.7.2. Cara Pemberian Obat7

UMUR ALAT INHALASI


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat
perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
Alat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler,
Turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser
MDI (metered dose inhaler)
Alat Hirupan Bubuk
Autohaler

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut


(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi
efek sistemik. Sebaliknya, deposisi dalam paru lebih baik sehingga didapat efek
terapeutik yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering memerlukan
inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.

B. Tuberkulosis pada Anak


2.1.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium Tuberculosis), yang disebut juga basil tahan asam. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis pada anak didefinisikan sebagai tuberkulosis yang diderita oleh anak
<15 tahun.1 Seorang anak dikatakan terpapar TB jika anak memiliki kontak yang
signifikan dengan orang dewasa atau remaja yang terinfeksi TB, pada tahap ini
test tuberkulin negatif, rontgen toraks negatif. Infeksi terjadi ketika seseorang
menghirup droplet nuclei Mycobacterium tuberculosis dan kuman tersebut
menetap secara intraseluler pada jaringan paru dan jaringan limfoid sekitarnya,
pada tahap ini rontgen toraks bisa normal atau hanya terdapat granuloma atau
kalsifikasi pada parenkim paru dan jaringan limfoidnya serta didapatkan uji
28
tuberkulin yang positif. Sementara itu, seseorang dikatakan sakit TB jika terdapat
gejala klinis yang mendukung serta didukung oleh gambaran kelainan rontgen
toraks, pada tahap inilah seseorang dikatakan menderita tuberkulosis.4

2.1.2. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) pada anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14
tahun. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat
diagnostik yang child-friendly dan tidak adekuatnya sistem pencatatan dan
pelaporan kasus TB anak. Data TB anak Indonesia menunjukkan proporsi kasus
TB anak di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9.4%, kemudian
menjadi 8.5% pada tahun 2011 dan 8.2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data
per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1.8% sampai 15.9%. Hal ini
menunjukkan kualitas diagnosis TB anak yang masih sangat bervariasi pada level
provinsi. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5.4% dari semua
kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6.3% dan tahun 2012 menjadi
6%. Diperkirakan banyak anak menderita TB yang tidak mendapatkan
penetalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS.
Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan
mortalitas anak.4
Terdapat beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya infeksi TB
maupun timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi
faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit. Faktor
risiko terjadinya infeksi TB antara lain anak yang terpajan dengan orang dewasa
dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan
yang tidak sehat dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti
perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.3

Anak yang terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi
sakit TB. Faktor risikonya adalah usia, infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir,
malnutrisi, keadaan imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik.2

29
2.1.3. Etiologi

Mycobacterium tuberculosis (MTB) adalah suatu jenis kuman yang


berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um,

mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan 2. MTB
memiliki dinding yang sebagian besar terdiri atas lipid, kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih
tahan asam dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman
dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan dingin ( dapat tahan
bertahun-tahun dalam lemari es ) dimana kuman dalam keadaan dormant.
Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit

tuberkulosis menjadi aktif lagi 2.

Kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma


makrofag di dalam jaringan. Makrofag yang semula memfagositosis kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah
aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan
yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian
apikal paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini

merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis 2.

2.1.4. Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun


timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor
resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko
penyakit)2.
1. Resiko infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan,
lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak membaik), tempat
penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan lain) yang
banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.

30
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi
jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan
kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara
yang kurang baik.

Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam
sekret endobronkial pasien anak. Hal tersebut karena:

a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena


imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu
menyebabkan sakit.

b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer


biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak
terjadi produksi sputum.

c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor
batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB
anak.
2. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut ini
adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi
sakit TB.
a. Usia
Anak berusia 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi
infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara
bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki
risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan
meningitis TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan
timbulnya sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala
yang akut.
31
a. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif
menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,
pengangguran, pendidikan yang rendah.
c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV,
keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.
2.1.5. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang terhirup
setelah melewati barier mukosa basil TB akan mencapai alveolus. Pada sebagian
kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis
nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman
TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag,
dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk
lesi di tempat tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer)2.

Melalui saluran limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe


regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahiler, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan
terlibat adalah kelenjar para trakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis,
dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.2
Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan terbentuknya
komplek primer secara lengkap) bervariasi antara 4-8 minggu. Pada saat
terbentuknya komplek primer inilah, infeksi TB primer terjadi. Hal tersebut

32
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yaitu
timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin.

Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru dapat


mengalami salah satu hal sebagai berikut, mengalami resolusi secara sempurna,
atau membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis pengkejuan
dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di
jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini.

Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi yang disebabkan oleh


fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
pengkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu yaitu obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal yang akan
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Dapat juga terjadi obstruksi total
yang menyebabkan atelektasis.
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat terjadi
penyebaran secara hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk komplek primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk kedalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh dan disebut penyakit sistemik. Penyebaran hematogen
sering tersamar (occult hematogenic spread) sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh dan
biasanya yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik terutama
apek paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler
yang akan membatasi pertumbuhannya, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman
dan bisa terjadi reaktivasi jika daya tahan tubuh pejamu turun.2
33
Gambar 3.1. Patogenesis tuberkulosis3

Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic


spread). Kuman TB kemudian membuat focus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian
hari.

2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis


regional.

3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran


hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular spesifik, hingga
pasien mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit TB primer.

34
4 Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena mekanismenya bisa
melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau reinfeksi (infeksi
sekunder dan seterusnya) oleh kuman TB dari luar (eksogen).

Perjalanan alamiah

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang


konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu
kalender terjadinya TB di berbagai organ.3

Gambar 3.2. Kalender perjalanan penyakit TB primer3

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin


biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.
Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-
6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi

35
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama,
yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB
terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian
karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.3
Gejala TB pada anak
Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik.
b. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
f. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung pada jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang dan kulit,
adalah sebagai berikut:
a. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak
nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
b. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
36
c. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di
daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang
jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi
ulkus (skin bridge).
e. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
f. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai
bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas
dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian
yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit
menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman
Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan dahak, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsy jaringan. Diagnosis pasti TB
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri dari beberapa cara,
yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau biopsi jaringan untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala
TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan
serologi tidak direkomendasikan untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB
dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan
Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan
diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena
sulitnya mendapatkan contoh uji. Contoh uji dapat diambil berupa dahak, induksi
dahak atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila
fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah
37
pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan
gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma
dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel
datia langhans dan atau kuman TB.
Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah
satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya,
perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji
tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas
terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung
menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau
anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu
menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas
yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik
maka pasien tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang
disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah dan
tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta
menunjukkan gejala klinis maupun radiologis.
Gejala klinis dan radiologis TB pada anak sangat tidak spesifik, karena
gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah
diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun hasil foto
toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB
pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji
tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah
PPD RT-23 2 TU. Namun uji tuberkulin belum tersedia di semua fasilitas
pelayanan kesehatan. Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah
pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena
juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks
saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.
Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
38
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian
oleh para ahli yang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan
disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB
pada anak terutama di fasilitas kesehatan dasar.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:


Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai
nilai tertinggi yaitu 3.
Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis
TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

39
40
41
42
43
44
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and


prevention asthma in children. 2015

2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak.


Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI

3. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian Ilmu


Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jakarta.
4. Kementrian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
5. OByrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.
Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;
2006.
6. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
7. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI ;2009; 5-11.
8. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
9. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
10. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.
11. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam :
Manajemen Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi
pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.
12. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,
Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.
45
13. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
14. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.

46

Anda mungkin juga menyukai