Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri merupakan masalah utama dalam populasi di dunia baik secara


klinis, sosial maupun ekonomi. Nyeri merupakan salah satu gejala dari berbagai
penyakit. Nyeri juga bisa digunakan sebagai indikator prognosis, penuntun
diagnostik dan menentukan penanganan medis yang digunakan (Henschke, 2015).
International Association for the Study of Pain (IASP) dan WHO (1986)
mendefinisikan bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan.
Berdasarkan durasinya nyeri bisa dibedakan menjadi dua yaitu nyeri akut
dan nyeri kronis. Nyeri akut menjadi alasan tersering mengapa pasien datang ke
departemen emergensi dan juga merupakan keluhan terbanyak pada pelayanan
penyakit dalam. Nyeri akut merupakan salah satu aspek dari penyakit, kelahiran,
trauma dan pembedahan. Pada terapi yang tidak adekuat nyeri akut dapat
memperpanjang durasi perawatan di rumah sakit dan dapat berkembang menjadi
nyeri kronik. Lebih dari 50% pasien menderita nyeri berlanjut setelah
pembedahan dan trauma (Pamela; Stephan, 2006).
Untuk itu penanganan nyeri akut haruslah tepat dan adekuat agar tidak
berlanjut menjadi nyeri kronis. Selain itu juga tujuan penanganan nyeri akut
adalah untuk mengurangi penderitaan pasien dan meningkatkan mutu kehidupan
pasien. Tanggal 11 oktober 2004 IASP mendeklarasikan Global Day Agains Pain
dengan selogan bebas dari nyeri adalah hak manusia (Pamela; Stephan, 2006).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Nyeri Akut


Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan (IASP, 1986).
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri karena stimulus noksius
karena ada kerusakan jaringan, proses penyakit ataupun fungsi abnormal dari otot
atau organ dalam (viscera). Biasanya bersifat nosiseptif dan merupakan bentuk
nyeri yang paling sering yang dihasilkan dari pasca trauma, paska operasi, nyeri
obstetrik dan kondisi medis akut. Nyeri akut biasanya sembuh selama kurang dari
satu bulan namun dapat juga memanjang hingga enam bulan diikuti dengan
kerusakan jaringan. Apabila nyeri gagal untuk sembuh akibat abnormal
penyembuhannya atau karena pengobatan yang tidak adekuat, nyeri dapat berubah
menjadi kronis (Fibuch; Wang, 2010).

2.2 Epidemiologi Nyeri Akut


Sembilan dari 10 orang Amerika berusia 18 tahun atau lebih, menderita
nyeri minimal sekali sebulan, dan 42% merasakannya setiap hari (Latief; Suryadi;
Dahlan, 2002). Pada penelitian yang dilakukan oleh Cordel (2000) 61,2% pasien
datang ke emergency room dengan keluhan utama nyeri, 34,1% tanpa keluhan
nyeri dan 4,7% datang untuk melakukan prosedur klinis.
Swain, Kamper dan Gomina (2014) menyebutkan dalam penelitiannya
bahwa pada anak-anak dan dewasa, perempuan lebih sering menderita nyeri
dibanding laki-laki. Pada dewasa, hubungan nyeri dengan jenis kelamin sangat
jelas, banyak penelitian menyebutkan bahwa wanita lebih berat, lebih sering dan
lebih lama durasi nyerinya dibanding pria.

2
2.3 Patofisiologi Nyeri Akut
Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada reseptor
nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada beberapa
jaringan di dalam tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi
dan falks serta tentorium tempurung kepala (Guyton, 2008). Reseptor nyeri
merupakan ujung-ujung bebas serat saraf aferen A delta dan C. Resepor-reseptor
ini diaktifkan oleh adanya rangsangan-rangsangan dengan intensitas tinggi,
misalnya berupa rangsangan termal, mekanik, elektrik atau rangsangan kimiawi.
Zat- zat algesik yang dapat mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, asam
laktat, serotonin, bradikinin, histamin dan prostaglandin (Mangku, Gde;
Senapathi, Tjokorda; 2010).
Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon
terhadap nyeri tersebut. Antara kerusakan jaringan (sebagai sumber stimulus
nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses
elektrofisiologik yang disebut sebagai nosisepsi (Mangku, Gde; Senapathi,
Tjokorda, 2010).
Ada empat proses yang jelas terjadi pada suatu nosisepsi, yaitu :
1. Transduksi : perubahan stimulus nyeri (baik dari stimulus mekanik,
kimia dan suhu) menjadi impuls saraf oleh nosiseptor. Proses
transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini
(nociceptors) merupakan bentuk respon terhadap stimulus yang
datang seperti kerusakan jaringan.

2. Transmisi : penghantaran impuls dari tempat transduksi tersebut


(perifer) menuju korda spinalis melalui traktus spinotalamikus ke
talamus diteruskan ke korteks serebri (juga sistem retikular,
sistem limbik, dan lainnya). Proses transmisi melibatkan saraf
aferen yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang
serta yang berdiameter besar (Davis, 2003). Saraf aferen akan ber-
axon pada dorsal horn di spinalis. Selanjutnya transmisi ini
dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic melalui

3
ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral(Mangku,
Gde; Senapathi, Tjokorda; 2010). Saraf sensoris perifer yang
melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis disebut
sebagai neuron aferen primer. Jaringan saraf yang naik dari
medula spinalis ke batang otak dan talamus disebut neuron
penerima kedua. Neuron yang menghubungkan dari talamus ke
korteks serebri disebut neuron penerima ketiga (Latief; Suryadi;
Dahlan, 2002).

3. Modulasi : perubahan atau hambatan transmisi impuls nyeri di


korda spinalis yang melibatkan Descending Modulatory Pain
Pathway/DMPP (descending modulatory input berasal dari otak)
menyebabkan eksitasi/peningkatan transmisi impuls nyeri atau
inhibisi/penurunan impuls nyeri. Proses modulasi melibatkan
sistem neural yang komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat
saraf, transmisi impuls nyeri ini akan dikontrol oleh system saraf
pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini kebagian lain dari
system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri ini
akan ditransmisikan melalui saraf-saraf descend ke tulang
belakang untuk memodulasi efektor.

4. Persepsi : hasil akhir dari 3 proses interaksi yang kompleks dan


unik tersebut menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal
sebagai persepsi nyeri. Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan
dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi
juga meliputi cognition (pengenalan) dan memory (mengingat)
(Davis, 2003). Oleh karena itu, faktor psikologis, emosional, dan
berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon dalam
mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut.

4
Gambar 2.1 Proses Elektrofisiologik Nosisepsi
Sumber: www.ebscohost.com

2.4 Penilaian nyeri


Penialaian nyeri dilakukan untuk mengukur derajat nyeri. Skala nyeri
dapat dibagi menjadi dua, yaitu self report dan skala observasional. Skala self
report terbatas pada pasien dengan kognitif yang baik, dapat menceritakan secara
verbal mengenai perasaannya, umumnya pada anak di atas 5 tahun. Skala self
report yang sering digunakan adalah Faces Pain Rating Scale, dimana terdapat
variasi ekspresi wajah dan angka 0 yang mengindikasikan tidak nyeri dan 10 yang
berarti sangat nyeri (Tobias, 2014).

Gambar 2.2 Faces Pain Rating Scale


Sumber: National Health and Medical Research Council, 2011

5
FLACC behavioral pain assessment scale adalah penilaian skala nyeri
meliputi tingkahlaku pada anak usia 2 bulan hingga 7 tahun atau pada pasien yang
tidak bisa berkomunikasi secara verbal. FLACC memiliki lima kategori (face,
legs, activity, cry, consolability) dengan nilai 0 sampai 2 dan total nilai 0 sampai
10 (National Health and Medical Research Council, 2011).

Tabel 2.1 FLACC behavioral pain assessment scale


0 1 2
Face Tanpa ekspresi Meringis, Cemberut konstan,
atau senyum cemberut, mengepal rahang,
menyendiri dagu bergetar
Legs Posisi normal atau Gelisah, tegang Menendang
relaks
Activity Posisi normal, Menggeliat, tidak Kaku, menyentak
mudah bergerak tenang
Cry Tidak menangis Merintih, menangis
mengeluh
Consolability Isi, relaks Stimuli dengan Sulit dihibur, tidak
sentuhan nyaman
Sumber: National Health and Medical Research Council, 2011

Cara sederhana lainnya untuk mementukan derajat nyeri secara kualitatif


(Verbal Descriptor Scale) adalah sebagai berikut (Mangku, Gde; Senapathi,
Tjokorda, 2010):
1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul terutama sewaktu
melakukan aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu, yang
hilang apabila penderita tidur.
3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang
hari, penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan
nyeri sewaktu tidur.

Sedangkan cara semi-kuantitatif yang sering digunakan adalah dengan


menggunakan penggaris yang diberi angka pada skala 0 yang berarti tidak nyeri
sampai 10 untuk nyeri yang maksimal. Cara ini disebut Numerical Rating Score.
(Mangku, Gde; Senapathi, Tjokorda; 2010).

6
Gambar 2.3 Numerical Rating Score (NRS)
Sumber: National Health and Medical Research Council, 2011

2.5 Respon Sistemik pada Nyeri Akut Berat


Dahulu orang percaya bahwa nyeri bersifat alami, tidak dapat dihindari,
diterima dan merugikan yang merupakan konsekuensi dari tindakan pembedahan
ataupun trauma. Namun, pengobatan yang tidak adekuat pada nyeri akut berat,
berhubungan dengan respon fisiologi terhadap pembedahan yang disebut sebagai
injuri atau stres respon. Dimana hal ini dapat menyebabkan peningkatan resiko
nyeri kronis dan respon sistemik seperti yang terlihat pada tabel 2.1. dan gambar
2.4 (Tobias, 2014).
Tabel 2.2 Respon Sistemik Nyeri Akut Berat
Sistem Organ Respon Sistemik
Kardiovaskular Takikardi, hipertensi, peningkatan peripheral
vascular resistence, peningkatan konsumsi
oksigen miokardial, iskemik miokardial,
perubahan aliran darah regional, DVT, PE
Respiratory Penurunan Volume Paru, atelektasis,
penurunan batuk, sputum retention, infeksi,
hipoksemia
Gastrointestinal Penurunan motilitas lambung dan usus
Genitourinari Retensi urin
Neuroendokrin/ Metabolik Peningkatan hormon katabolik, glukagon, GH,
Vassopressin, Aldosteron, renin, angiotensin,
mengurangi hormon anabolik: insulin,
testosteron.
Hiperglikemia, peningkatan pemecahan protein
dan negative nitrogen balance, gangguan
penyembuhan luka
Muskuloskeletal Spasme otot, DVT
CNS Nyeri kronis
Psychological Cemas, takut, sleep deprivation
(Sumber: Pediatric Annuals, 2014)

7
Gambar 2.4 Respon Sistemik Nyeri Akut Berat
Sumber: www.ebscohost.com

Penggunaan analgesik yang efektif memungkinkan mengurangi efek


yang merugikan seperti yang tercantum dalam tabel 2.1. di atas sehingga
pengobatan nyeri akut sangat penting tidak hanya untuk kenyamanan tetapi juga
untuk menghasilkan outcome yang baik, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.

2.6 Penatalaksanaan Nyeri Akut


Nyeri merupakan masalah internasional yang membutuhkan solusi
internasional. WHO, sebagai badan kesehatan tertinggi PBB , memegang peranan
penting dalam pencarian solusi. Adapun solusinya antara lain: promosi dan
sosialisasi pedoman manajemen nyeri, advokasi peningkatan akses terhadap
analgesik opioid, dan program nasional perawatan paliatif dan nyeri. (Bennan,
Daniel; 2007)
Pada tahun 1989 WHO telah membuat guideline penanganan nyeri yang
dikenal Three Step Analgesic Ladder (Davies; Reid, 2004). Terlepas dari

8
pilihan agen farmakologis, tangga analgesik ini menyatakan bahwa (Leung,
2012):
1. Penilaian pasien diperlukan sebelum inisiasi dan terapi secara berkala.
2. Analgesik oral lebih disukai dan dipilih.
3. Analgesik harus diberikan secara berkala dan bukan pada permintaan.
4. Tidak ada dosis standar dan terapi secara individual yang sesuai
dengan tingkat nyeri seperti yang dirasakan.
5. Tujuan utama adalah untuk meringankan rasa sakit.
6. Pengobatan adjuvan harus ditambahkan bila diperlukan .

Gambar 2.5 Three Step Analgesic Ladder by WHO


Sumber: www.ebscohost.com

Managemen nyeri akut dimulai dengan penilaian derajat nyeri pasien.


Ketika nyeri telah diidentifikasi makan perlu dilakukan terapi farmakologi, non
farmakologi maupun kombinasi. Hal penting yang perlu dipertimbangkan adalah
(Tobias, 2014):
1. Pasien mungkin perlu dirawat inap apabila terapi adekuat tidak
menunjukkan hasil yang positif pada pasien rawat jalan.
2. Ketika pasien dirawat dengan penyakit lain yang menyertai dan
memerlukan analgesik, administrasi oral perlu diperhatikan dan
dimulai dengan obat non opioid.

9
Tabel. 2.3 Analgesic Ladder untuk mangemen nyeri akut
Derajat Nyeri Rekomendasi
Nyeri ringan NSAID, Acetaminophen, atau
Salicylate.

Nyeri sedang 1.NSAID atau Acetaminophen dengan


opioid ringan (Oxycodone,
Hydrocodone, Codeine)
2.Intravenous opioids (dengan
tambahan fixed-interval NSAID
atau Acetaminophen)
a. Opioid i.v. PCA atau NCA
b. Lanjutkan infus opioid dengan
dosis yang aman yang
dibutuhkan
c. Fixed-interval dosing of opioid
3. Tehnik anestesi regional

Nyeri berat Lanjutkan fixed-interval dosing


NSAID atau Acetaminophen,
pertimbangkan obat tambahan seperti:
1.Intravenous opioid by PCA or NCA
2. Tehnik anestesi regional
(Sumber : Pediatric Annals, 2014)

Sesuai dengan WHO analgesic ladder maka penatalaksanaan nyeri ringan


dimulai dari tangga pertama yaitu penggunaan parasetamol dan NSAID. NSAID,
Acetaminophen, dan salisilat menghambat enzim siklooksigenase, sehingga
menghalangi pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab terhadap
respon inflamasi dari kerusakan jaringan. Dosis Acetaminophen yang digunakan
ialah 15mg/kg (Dosis maksimum 650mg), Ibuprofen 10mg/kg (dosis maksimum
600mg). Penggunaan NSAID juga tidak dapat digunakan dalam jangka panjang
karena dapat menyebabkan ulkus peptikum (Gregory, 2014). Penelitian yang
dilakukan Clark dan Plint (2006) menunjukkan bahwa Ibuprofen memberikan
efek analgesia yang paling baik dibanding Acetaminophen dan Codein yang
diberikan secara single dose pada pasien anak dengan trauma muskuloskeletal.
Namun penelitian lainnya menyebutkan bahwa kombinasi antara Paracetamol dan
NSAID memberikan efek analgesik yang hebat dibanding penggunaan obat
tunggal ( Cliff; Robin, 2010).

10
Jika langkah pertama dari tangga nyeri gagal untuk mengontrol rasa sakit,
NSAID, aspirin, atau Acetaminophen dapat dikombinasikan dengan agen opioid
lemah. Kombinasi obat analgesik yang memiliki cara kerja yang berbeda dapat
meningkatkan penyembuhan nyeri dan mengurangi dosis obat yang digunakan.
Obat yang termasuk opioid lemah adalah Codein, Oxycodone, Hydrocodone, dan
Tramadol. Bentuk sediaannya adalah cair dan tablet. Literatur terbaru
menunjukkan potensi bahaya Codein, termasuk kematian yang terkait dengan
metabolismenya. Codeine dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati yang
merupakan bagian penting efek analgesik. Pada pasien yang memiliki aktivitas
enzim mikrosomal rendah, Codeine tidak memiliki efek. Potensi metabolisme
cepat Codein dan morfin mengakibatkan plasma konsentrasi cukup tinggi untuk
menyebabkan depresi pernafasan dan kematian, bahkan dengan dosis yang tepat
(Tobias, 2014). Waktu paruh Codein adalah 3 jam dan memiliki efikasi 1/10
Morfin seta efek ketrgantungan yang lebih rendah. Dosis oral Codein adalah
30mg, oxycodone 5-10mg per oral setiap 4-6 jam, dan dosis Hydrocodone ialah
10-30 mg per hari (Benyamin; Trescot, 2008).
Jika langkah kedua dari tangga nyeri juga gagal untuk mengontrol rasa
sakit, maka dilanjutkan ke tangga ketiga. Morfin, burpenorphine dan fentanil
adalah opioid kuat yang sering digunakan. Morfin dimetabolisme di hati dan
berkonjugasi dengan asam glukoronik dan diekskresikan via ginjal. Ketika
meresepkan oral opioid kepada pasien penting untuk mempertimbangkan efek
sampingnya. Antisipasi konstipasi dan jelaskan pada pasien bagaimana mencegah
efek samping dengan cairan yang adekuat. Antiemetik dan antihistamin
diperlukan untuk mencegah efek samping yang ditimbulkan (Gregory, 2014).
Penggunaan opioid kuat haruslah dengan hati-hati dan dengan dosis yang tepat
karena selain banyak efek samping yang ditimbulkan opioid juga menginduksi
perubahan hormon dan bersifat toleran, sehingga peresepannya haruslah dengan
dosis terendah dan memberikan efek yang adekuat (Benyamin; Trescot, 2008).
Senapati dan Magku (2010) dalam bukunya menyebutkan bahwa pada
nyeri akut berat, penatalaksanaannya mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1
(WHO Three Step Analgesic Ladder). Dimulai dengan titrasi dosis opioid secara

11
intravena. Misalnya dengan Morfin 2,5- 5mg i.v. sebagai dosis awal dan dititrasi
setiap 5-10 menit. Pada pasien tua atau pasien dengan penyakit kardiovaskular,
penggunaan dosis awal morfin <2,5 mg i.v. dengan tambahan dosis titrasi 0,5-1
mg. Apabila pasien kontraindkasi dengan morfin maka pertimbangkan untuk
menggunakan Fentanyl 25-50mcg iv. (National Health and Medical Research
Council, 2011).

12
BAB III
PENUTUP

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak


menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau
cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan (IASP, 1986). Pada terapi yang tidak adekuat nyeri akut dapat
memperpanjang durasi perawatan di rumah sakit dan dapat berkembang menjadi
nyeri kronik.
Terdapat empat proses yang jelas terjadi pada suatu nosisepsi, yaitu
transduksi, transmisi, modulasi, persepsi. Penilaian nyeri dapat dilakukan dengan
Visual Analogue Scale (VAS), ataupun Numerical Rating Score (NRS).
Pengobatan yang tidak adekuat pada nyeri akut berat, berhubungan dengan respon
fisiologi terhadap pembedahan yang disebut sebagai injuri atau stres respon.
Dimana hal ini dapat menyebabkan respon sistemik pada kardiovaskular,
respiratori, gastrointestinal, genitourinari, neuroendokrin, muskuloskeletal, CNS
dan psikologikal. Penatalaksanaan nyeri akut dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi, non farmakologi maupun kombinasi serta mengikuti three step
analgesic ladder WHO.
Pemahaman mengenai menegemen nyeri akut dapat menghindarkan resiko
pasien nyeri akut berubah menjadi nyeri kronis dan juga dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien.

13

Anda mungkin juga menyukai