PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.3 Patofisiologi Nyeri Akut
Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada reseptor
nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada beberapa
jaringan di dalam tertentu, misalnya periosteum, dinding arteri, permukaan sendi
dan falks serta tentorium tempurung kepala (Guyton, 2008). Reseptor nyeri
merupakan ujung-ujung bebas serat saraf aferen A delta dan C. Resepor-reseptor
ini diaktifkan oleh adanya rangsangan-rangsangan dengan intensitas tinggi,
misalnya berupa rangsangan termal, mekanik, elektrik atau rangsangan kimiawi.
Zat- zat algesik yang dapat mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, asam
laktat, serotonin, bradikinin, histamin dan prostaglandin (Mangku, Gde;
Senapathi, Tjokorda; 2010).
Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon
terhadap nyeri tersebut. Antara kerusakan jaringan (sebagai sumber stimulus
nyeri) sampai dirasakan sebagai persepsi nyeri terdapat suatu rangkaian proses
elektrofisiologik yang disebut sebagai nosisepsi (Mangku, Gde; Senapathi,
Tjokorda, 2010).
Ada empat proses yang jelas terjadi pada suatu nosisepsi, yaitu :
1. Transduksi : perubahan stimulus nyeri (baik dari stimulus mekanik,
kimia dan suhu) menjadi impuls saraf oleh nosiseptor. Proses
transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu reseptor yang berfungsi
untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi reseptor ini
(nociceptors) merupakan bentuk respon terhadap stimulus yang
datang seperti kerusakan jaringan.
3
ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral(Mangku,
Gde; Senapathi, Tjokorda; 2010). Saraf sensoris perifer yang
melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis disebut
sebagai neuron aferen primer. Jaringan saraf yang naik dari
medula spinalis ke batang otak dan talamus disebut neuron
penerima kedua. Neuron yang menghubungkan dari talamus ke
korteks serebri disebut neuron penerima ketiga (Latief; Suryadi;
Dahlan, 2002).
4
Gambar 2.1 Proses Elektrofisiologik Nosisepsi
Sumber: www.ebscohost.com
5
FLACC behavioral pain assessment scale adalah penilaian skala nyeri
meliputi tingkahlaku pada anak usia 2 bulan hingga 7 tahun atau pada pasien yang
tidak bisa berkomunikasi secara verbal. FLACC memiliki lima kategori (face,
legs, activity, cry, consolability) dengan nilai 0 sampai 2 dan total nilai 0 sampai
10 (National Health and Medical Research Council, 2011).
6
Gambar 2.3 Numerical Rating Score (NRS)
Sumber: National Health and Medical Research Council, 2011
7
Gambar 2.4 Respon Sistemik Nyeri Akut Berat
Sumber: www.ebscohost.com
8
pilihan agen farmakologis, tangga analgesik ini menyatakan bahwa (Leung,
2012):
1. Penilaian pasien diperlukan sebelum inisiasi dan terapi secara berkala.
2. Analgesik oral lebih disukai dan dipilih.
3. Analgesik harus diberikan secara berkala dan bukan pada permintaan.
4. Tidak ada dosis standar dan terapi secara individual yang sesuai
dengan tingkat nyeri seperti yang dirasakan.
5. Tujuan utama adalah untuk meringankan rasa sakit.
6. Pengobatan adjuvan harus ditambahkan bila diperlukan .
9
Tabel. 2.3 Analgesic Ladder untuk mangemen nyeri akut
Derajat Nyeri Rekomendasi
Nyeri ringan NSAID, Acetaminophen, atau
Salicylate.
10
Jika langkah pertama dari tangga nyeri gagal untuk mengontrol rasa sakit,
NSAID, aspirin, atau Acetaminophen dapat dikombinasikan dengan agen opioid
lemah. Kombinasi obat analgesik yang memiliki cara kerja yang berbeda dapat
meningkatkan penyembuhan nyeri dan mengurangi dosis obat yang digunakan.
Obat yang termasuk opioid lemah adalah Codein, Oxycodone, Hydrocodone, dan
Tramadol. Bentuk sediaannya adalah cair dan tablet. Literatur terbaru
menunjukkan potensi bahaya Codein, termasuk kematian yang terkait dengan
metabolismenya. Codeine dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati yang
merupakan bagian penting efek analgesik. Pada pasien yang memiliki aktivitas
enzim mikrosomal rendah, Codeine tidak memiliki efek. Potensi metabolisme
cepat Codein dan morfin mengakibatkan plasma konsentrasi cukup tinggi untuk
menyebabkan depresi pernafasan dan kematian, bahkan dengan dosis yang tepat
(Tobias, 2014). Waktu paruh Codein adalah 3 jam dan memiliki efikasi 1/10
Morfin seta efek ketrgantungan yang lebih rendah. Dosis oral Codein adalah
30mg, oxycodone 5-10mg per oral setiap 4-6 jam, dan dosis Hydrocodone ialah
10-30 mg per hari (Benyamin; Trescot, 2008).
Jika langkah kedua dari tangga nyeri juga gagal untuk mengontrol rasa
sakit, maka dilanjutkan ke tangga ketiga. Morfin, burpenorphine dan fentanil
adalah opioid kuat yang sering digunakan. Morfin dimetabolisme di hati dan
berkonjugasi dengan asam glukoronik dan diekskresikan via ginjal. Ketika
meresepkan oral opioid kepada pasien penting untuk mempertimbangkan efek
sampingnya. Antisipasi konstipasi dan jelaskan pada pasien bagaimana mencegah
efek samping dengan cairan yang adekuat. Antiemetik dan antihistamin
diperlukan untuk mencegah efek samping yang ditimbulkan (Gregory, 2014).
Penggunaan opioid kuat haruslah dengan hati-hati dan dengan dosis yang tepat
karena selain banyak efek samping yang ditimbulkan opioid juga menginduksi
perubahan hormon dan bersifat toleran, sehingga peresepannya haruslah dengan
dosis terendah dan memberikan efek yang adekuat (Benyamin; Trescot, 2008).
Senapati dan Magku (2010) dalam bukunya menyebutkan bahwa pada
nyeri akut berat, penatalaksanaannya mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1
(WHO Three Step Analgesic Ladder). Dimulai dengan titrasi dosis opioid secara
11
intravena. Misalnya dengan Morfin 2,5- 5mg i.v. sebagai dosis awal dan dititrasi
setiap 5-10 menit. Pada pasien tua atau pasien dengan penyakit kardiovaskular,
penggunaan dosis awal morfin <2,5 mg i.v. dengan tambahan dosis titrasi 0,5-1
mg. Apabila pasien kontraindkasi dengan morfin maka pertimbangkan untuk
menggunakan Fentanyl 25-50mcg iv. (National Health and Medical Research
Council, 2011).
12
BAB III
PENUTUP
13