Anda di halaman 1dari 28

MODUL 3

PRAKTIKUM MATRIKULASI

2017

STANDARDISASI SISTEM KERJA

LABORATORIUM REKAYASA SISTEM KERJA DAN ERGONOMI


PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2017
MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

a. Tujuan Praktikum
Melalui praktikum ini, praktikan diharapkan:

1. Mampu memahami berbagai metode pengukuran waktu kerja serta kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing metode.

2. Mampu melakukan pengukuran waktu kerja yang mencakup pemilihan elemen-elemen


operasi, pengukuran waktu siklus, pengolahan data hingga menentukan waktu baku
untuk suatu kegiatan perakitan.

3. Mampu melakukan perancangan stasiun kerja permesinan untuk operator berdasarkan


prinsipprinsip ergonomi dan rekayasa sistem kerja.

b. Dasar teori
Perancangan sistem kerja akan menghasilkan beberapa alternatif rancangan sistem kerja. Dari
beberapa alternatif tersebut harus dipilih alternatif yang terbaik. Sutalaksana et al [2006]
menyatakan bahwa pemilihan alternatif rancangan sistem kerja harus berlandaskan empat
kriteria utama, yaitu:

1) Kriteria waktu
2) Kriteria fisik
3) Kriteria psikis
4) Kriteria sosiologis

Dari keempat kriteria ini, suatu sistem kerja dipandang baik bila memberikan waktu
penyelesaian pekerjaan tercepat, penggunaan tenaga fisik paling ringan, dan memberi dampak
psikis dan sosiologis paling rendah.

Selain itu, faktor manusia (pekerja) pun harus dapat banyak perhatian. Manusia adalah variabel hidup,
dengan berbagai sifat dan kemampuannya memberikan pengaruh yang sangat besar atas keberhasilan
suatu sistem kerja dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, untuk dapat merancang suatu sistem
kerja yang baik, diperlukan perhatian terhadap kemampuan dan keterbatasan manusia.

1. Pengukuran Waktu Kerja


Pengukuran waktu dilakukan untuk mendapatkan waktu yang dibutuhkan oleh seorang pekerja
normal secara wajar untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dalam suatu sistem kerja terbaik.
Secara umum teknik pengukuran waktu terbagi dua, yaitu secara langsung dan tidak langsung.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 1


MODUL 43STANDARDISASI SISTEM KERJA

1. Langsung
Pengukuran dilakukan langsung di tempat kerja. Terdapat dua metode yaitu:
Metode jam henti (stopwatch)
Pengukuran waktu dengan metode ini digunakan untuk jenis pekerjaan yang
dilakukan berulang-ulang dalam jangka waktu yang lama. Pada modul ini,
pengukuran dilakukan menggunakan metode jam henti.

Contoh: operator pabrik pada kegiatan perakitan, cenderung memiliki tipe


pekerjaan yang sama/konstan antarwaktu.
Metode sampling
Pengukuran waktu dengan metode ini digunakan untuk jenis pekerjaan yang
memiliki variasi tugas. (Ditentukan dengan jadwal yang random, biasa
menggunakan tabel bilangan random)
Contoh: sekretaris, karena pekerjaan sekretaris bisa bervariasi di banyak waktu.

Kelebihan pengukuran waktu secara langsung yaitu praktis. Pengamat hanya perlu
mengukur waktu. Sedangkan kekurangannya adalah dibutuhkan waktu yang lebih lama
untuk mengumpulkan banyak data, agar memenuhi tingkat kepercayaan dan keyakinan
tertentu. Selain itu, biaya yang dikeluarkan relatif mahal.

2. Tidak langsung
Perhitungan waktu tanpa berada di tempat kerja. Terdapat dua data yaitu:
Data waktu baku

Berisi data dari waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang telah
diteliti pada waktu yang lalu. Data waktu tersebut berisi elemen-elemen gerakan baku.
Apabila terdapat kegiatan yang memiliki elemen gerakan yang sama dengan kegiatan
yang waktunya sudah ada sebelumnya, maka waktu penyelesaian pekerjaan tersebut
sudah dapat ditentukan. Data ini biasanya digunakan oleh perusahaan dan terdapat
perbedaan antara satu perusahaan dan lainnya.

Data waktu gerakan


Data waktu dari elemen-elemen gerakan baku. Perbedaannya dengan waktu
baku adalah data elemen gerakan sudah terstandarisasi dan siap pakai. Data
waktu gerakan ini biasanya dibuat oleh lembaga-lembaga Eropa. Beberapa
metodanya adalah:

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 2


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Work Factor (WF)


Maynard Operation Sequence Time (MOST)


Motion Time Measurement (MTM)


Standard Data System (SDS)

Kelebihan perhitungan waktu secara tidak langsung yaitu:


Waktu relatif singkat
Biaya lebih murah
Pengembangan metode dan perancangan produk

Sedangkan kekurangannya adalah:


Data waktu gerakan belum lengkap
Data waktu gerakan harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja

Tabel yang digunakan untuk orang Eropa tidak dapat digunakan di Indonesia
(Baru sedikit penelitian mengenai data waktu baku di Indonesia)

Untuk sistem kerja yang bersifat homogen, repetitif, dan memiliki produk nyata yang
terukur(kuantitatif); pengukuran waktu kerja secara langsung dapat menggunakan metode
jamhenti. Sutalaksana et al [2006] menyatakan secara terperinci langkahlangkah yang harus
dilakukan dalam pengukuranwaktu dengan metoda jamhenti. Salah satu langkah yang penting
dilakukan didalamnya adalah melakukan pemilahan elemen operasi, seperti yang dikembangkan
oleh Gilberth.

Tahapan perhitungan yang dilakukan hingga mendapatkan waktu baku digambarkan dalam
Gambar 1.

Gambar 1 Tahapan Perhitungan Waktu Baku

Keterangan: P= faktor penyesuaian


L= faktor kelonggaran

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 3


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Faktor penyesuaian diperhitungkan jika pengukur berpendapat bahwa operator bekerja dalam
keadaan tidak wajar sehingga hasil perhitungan waktu siklus perlu disesuaikan atau dinormalkan
terlebih dahulu agar mendapatkan waktu siklus rata-rata yang wajar. Sedangkan kelonggaran
adalah waktu yang diberikan kepada operator untuk hal-hal seperti kebutuhan pribadi,
menghilangkan fatigue, dan gangguan-gangguan yang tidak terhindarkan oleh operator.

Pengertian waktu siklus, waktu normal, dan waktu baku adalah sebagai berikut:

Waktu Siklus
Waktu siklus adalah waktu akumulasi dari setiap elemenelemen pekerjaan yang ada di
sebuah stasiun kerja untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

Waktu Normal
Waktu yang dibutuhkan untuk seorang operator dalam keadaan normal. Definisi
keadaan normal disini adalah operator yang bekerja dengan tidak terlalu cepat (ahli)
atau operator yang tidak pada tahap pembelajaran.

Waktu Baku

Waktu yang dibutuhkan oleh seorang operator untuk menyelesaikan suatu pekerjaan
spesifik dengan mempertimbangkan kondisi internal (kemampuan, keahlian, dll) maupun
eksternal (lingkungan).

Pengolahan waktu baku perakitan berdasarkan data yang diperoleh saat praktikum adalah:

Uji Keseragaman Data


Uji Kecukupan Data
Perhitungan Waktu:
1. Waktu Siklus

Keterangan: = rata-rata subgrup


Nsubgrup = banyak subgrup
2. Waktu Normal

Keterangan: = faktor penyesuaian

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 4


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

3. Waktu Baku

Keterangan: = faktor kelonggaran

2. Perancangan Stasiun Kerja


Dalam merancang stasiun kerja, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Jenis stasiun kerja


Stasiun kerja dapat dikelompokkan menjadi tiga macam berdasarkan posisi tubuh pada
saat bekerja:
1. Stasiun kerja untuk operator duduk
Stasiun kerja untuk operator duduk sesuai untuk situasi:
Semua objek (material, alat, dll) yang dibutuhkan dalam bekerja dapat diambil
dengan mudah dan berada dalam jangkauan tangan dalam posisi duduk
Pekerjaan tidak membutuhkan gaya/tenaga yang besar
Pekerjaan memerlukan kontrol yang teliti pada bagian kaki dan tangan
Objek yang dipegang tidak lebih dari 15 cm jauhnya dari landasan kerja
Pekerjaan dilakukan dalam waktu yang lama

Gambar 2 Stasiun Kerja Operator Duduk (1)

Sumber: B4D3 Consultant

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 5


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Gambar 3 Stasiun Kerja Operator Duduk (2)

Sumber : Barnes, 1963; Squire, 1956

2. Stasiun kerja untuk operator berdiri


Stasiun kerja untuk operator berdiri sesuai untuk situasi:
Tidak tersedia tempat untuk menyangga kaki dan lutut.

Sering dilakukan penangan untuk objek yang berat (lebih dari 4.5
kg). Sering dilakukan gerakan menjangkau yang terlalu jauh/dekat.
Sering dilakukan pekerjaan dengan aktivitas menekan ke bawah.
Mobilitas untuk bergerak di sekitar stasiun kerja tinggi.

Gambar 4 Stasiun Kerja Operator Berdiri

Sumber : Workplace Health, Safety and Compensation Commission of New Brunswick

Selain itu terdapat beberapa rekomendasi ergonomik tentang ketinggian landasan kerja

posisi berdiri yang didasarkan kepada ketinggian siku berdiri, yaitu sebagai berikut ini:
Untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian tinggi, landasan kerja yang
direkomendasikan adalah 5 10 cm di atas tinggi siku berdiri.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 6


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Untuk pekerjaan yang melibatkan banyak peralatan dan material, tinggi landasan
kerja yang direkomendasikan adalah 10 15 sm di bawah tinggi siku berdiri.
Untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan dengan kuat, tinggi landasan
kerja yang direkomendasikan adalah 15 40 cm di bawah tinggi siku berdiri.
3. Stasiun kerja untuk operator duduk berdiri
Desain stasiun kerja sangat ditentukan oleh jenis dan sifat pekerjaan yang
dilakukan.Baik desain stasiun kerja untuk posisi duduk maupun berdiri, keduanya
memiliki keuntungan dan kerugian. Clark (1996) mencoba mengambil keuntungan
dari ke kedua posisi tersebut dan mengombinasikan desain stasiun kerja untuk posisi
duduk dan berdiri menjadi satu desain dengan batasan sebagai berikut:

Pekerjaan dilakukan dengan duduk pada saat tertentu dan dalam posisi berdiri
pada saat yang lainnya. Perubahan posisi kerja dilakukan bergantian;

Pekerja perlu menjangkau sesuatu lebih dari 40 cm ke depan dan atau 15 cm di


atas landasan kerja; dan

Tinggi landasan kerja antara 90-120 cm merupakan ketinggian yang paling tepat
dan baik untuk posisi duduk maupun berdiri.

Gambar 5 Stasiun Kerja Operator Duduk Berdiri

Sumber : Das and Grady, 1983a

b. Bidang Kajian Ergonomi


Terdapat lima bidang kajian ergonomi, yaitu biomekanika, antropometri, fisiologi,
penginderaan, dan psikologi kerja. Pada modul ini, bidang kajian yang dijelaskan dibatasi
mengenai visual display dan aspek lingkungan fisik.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 7


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

1. Perancangan Visual Display


a. Tingkat Pemahaman
Tipe kalimat
Broadbent (1977) menyatakan bahwa kalimat yang sederhana dan dalam bentuk
aktif, lebih mudah untuk dipahami.
Kata perintah
Katakata yang digunakan dalam kalimat perintah harus sesuai dengan perintah
yang akan dikerjakan.
Dalam pemasangan visual display, hal-hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Display harus dapat dilihat dan dibaca dengan baik oleh siapapun, dari semua sudut
yang dikehendaki, serta pada saat kapanpun (siang atau malam hari).
2. Display tidak boleh menimbulkan perbedaan penafsiran atas artinya.

3. Display hendaknya memiliki warna yang cukup kontras dengan lingkungan


sekelilingnya.
4. Display ditempatkan pada sudut pandang normal.
5. Display tidak terhalangi oleh bendabenda lain.
6. Hindari timbulnya bayangan pada permukaan display yang berasal dari penutupnya
atau dari bagian display yang lain.
7. Hindari distorsi optikal akibat pantulan lampu pada display.

b. Legibilitas

Legibilitas adalah sifat mudah dibaca, yaitu sifat kemudahan untuk membedakan dan
mengenali antara huruf dan angka.

Font Case
Text dapat ditampilkan dalam lowercase (huruf kecil) atau uppercase (huruf
kapital). Poulton (1967) mengatakan bahwa teks dengan lowercase lebih mudah
dibaca daripada teks dengan uppercase seluruhnya. Hal ini disebabkan
ketajaman huruf lowercase lebih tinggi daripada uppercase.
Font Size

Dalam buku Engineering Psychology and Cognitive Ergonomics, menyatakan bahwa font
size memiliki peranan penting dalam ketersampaian informasi dari suatu

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 8


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

tulisan. Perbandingan antara lebar, tebal, dan tinggi huruf menentukan


kemampuan sebuah tulisan atau teks dapat dibaca atau dilihat dengan jelas.
Perbandingan antara lebar dan tinggi huruf yang sering digunakan adalah 3:5,
sedangkan untuk tebal dan tinggi huruf perbandingannya adalah 1:5.

Gambar 6 Lebar, Tebal, dan Tinggi Huruf

Sumber: Heglin,1973.

Selain itu, warna huruf dan latar belakang (kekontrasan) juga


mempengaruhikemampuan baca sebuah tulisan.Heglin (1973) menyatakan
beberapa kekontrasan huruf yang baik:

Dengan pencahayaan yang baik, perbandingan tebaltinggi tulisan black


on white adalah 1:6 sampai 1:8, sedangkan untuk white on black adalah
1:8sampai 1:10.
Jika pencahayaan dikurangi, tulisan dengan huruf yang tebal lebih mudah
dibacadaripada tulisan dengan huruf tipis.

Jika kekontrasan tulisan dengan latar belakang rendah, maka huruf yang
sebaiknya digunakan adalah huruf tipe boldface dengan
perbandingantebal/lebar dan tinggi yang rendah (misalnya 1:5).

Untuk tulisan yang terang, perbandingan tebaltinggi huruf yang


digunakan adalah 1:12 sampai 1:20.

Untuk huruf hitam dengan latar belakang yang sangat terang, digunakan
huruf yang sangat tebal.
Font Style

Font Style yang mudah dibaca adalah font style yang cenderung lebih simple,
tegas, dan tidak terlalu banyak ukiran/lekukan(subjektif).
Kontras warna
Kontras warna yang baik dapat mempengaruhi kecepatan membaca. Menurut
Kodak, berikut warna-warna yang sesuai untuk display:

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 9


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Tabel 1 Tingkat Kekontrasan Warna

c. Keterbacaan
Keterbacaan adalah kemampuan suatu tulisan mudah untuk dibaca (membedakan antar
kata dan spasi).
Jarak pembacaan
Menurut Berger dalam Sutalaksana (1979), huruf dapat dilihat dari jauh berdasarkan
tebal dan tinggi huruf. Menurut Kodak, ukuran huruf tergantung pada jaraknya:

Tabel 2 Jarak Pembacaan

Layout
Keterbacaan juga penting hubungannya dalam penentuan border dan spacing.
Sebagai contoh: border harus dibuat agak tebal dan diberi spacing.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 10


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Spasi antar huruf

Moriarty dan Scheiner (1984) mengatakan bahwa tulisan dengan spasi huruf yang
dekat atau rapat lebih cepat dibaca daripada tulisan dengan spasi huruf biasa.
Spasi antar baris

Wilkins dan NimmoSmith (1987) menyatakan bahwa kejelasan isi sebuah tulisan
akan semakin baik bila spasi antar baris dari tulisan tersebut semakin besar.

2. Lingkungan Fisik

Dalam perancangan sistem kerja, lingkungan fisik di sekitar tempat kerja perlu
diperhatikan karena performansi kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan fisik kerjanya. Kondisi lingkungan fisik yang dimaksud adalah:

1. Iklim Kerja

Iklim kerja terdiri dari suhu, kelembaban, kecepatan gerakan udara, serta panas radiasi.

Suhu

Suhu menunjukkan derajat panas benda. Suhu mempengaruhi kualitas kerja


seseorang. Dengan suhu yang nyaman, maka akan tercipta sistem kerja yang baik
sehingga dapat meningkatkan performansi kerja seseorang.
Kelembaban
Kelembaban adalah jumlah air yang terkandung dalam udara yang biasanya
dinyatakan dalam persentase. Semakin panas dan semakin lembab lingkungan, maka
semakin banyak oksigen yang diperlukan, sehingga mempercepat berdetaknya denyut
jantung. Oleh karena itu, dalam suatu lingkungan kerja harus dilakukan penyesuaian
temperatur dan kelembabannya.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 11


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Kecepatan gerakan udara


Kecepatan gerakan udara berkaitan dengan sirkulasi udara. Untuk menjaga agar udara
di sekitar tempat kerja tetap sehat dalam artian mengandung oksigen yang cukup,
udara harus bersirkulasi dengan baik.
Panas radiasi
Panas radiasi dapat menyebabkan kenaikan suhu pada tempat kerja sehingga dapat
mempercepat kelelahan pekerja.

2. Kebisingan

Kebisingan merupakan bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki telinga yang dapat


menyebabkan hal-hal berikut.

Mengganggu konsentrasi
Mengurangi ketenangan kerja
Menyulitkan komunikasi
Merusak pendengaran dalam jangka waktu panjang

Untuk mengetahui kebisingan yang terjadi, terdapat parameter-parameter sebagai berikut.

Durasi
Intensitas
Frekuensi

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No. 1405 tentang Persyaratan


Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, standar untuk tingkat kebisingan
di ruang kerja adalah maksimal 85 dBA.
Berdasarkan Keputusan Tenaga Kerja Nomor : KEP-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas
Faktor Fisika di Tempat Kerja, nilai ambang batas kebisingan adalah sebagai berikut.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 12


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Tabel 3 Nilai Ambang Batas Kebisingan

3. Pencahayaan

Pencahayaan merupakan jumlah penyinaran pada suatu bidang kerja.


Pencahayaan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melihat objek secara jelas,
cepat, dan benar. Kemampuan mata melihat objek secara jelas ditentukan oleh ukuran
objek, derajat kontras antara objek dan sekelilingnya, luminensi, dan lama melihat.
Selain itu, letak sumber cahaya juga mempengaruhi efektivitas mata dalam melihat.

Standar pencahayaan berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan No. 07 Tahun


1964 Tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan serta Penerangan Dalam Tempat Kerja
dijelaskan dalam tabel berikut.

Kondisi Intensitas (lux)


Penerangan darurat 5
Halaman dan jalan perusahaan 20
Pekerjaan membedakan benda kasar 50
Pekerjaan membedakan benda sepintas lalu 100
Pekerjaan membedakan barang kecil agak teliti 200

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 13


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Pekerjaan membedakan yang teliti dari barang kecil dan halus 300
Pekerjaan membedakan barang halus dengan kontras sedang dan dalam
500 - 1000
waktu lama
Pekerjaan membedakan barang sangat halus dengan kontras yang sangat
1000
kurang dan dalam waktu lama
Tabel 4 Standar Pencahayaan

4. Getaran

Getaran adalah gerakan yang teratur dari suatu benda atau media dengan arah
bolak-balik dari kedudukan keseimbangannya. Getaran membutuhkan struktur mekanik
sebagai media transmisi, yaitu mesin, bangunan, tubuh manusia, dll. Getaran dapat
mempengaruhi konsentrasi bekerja dan mempercepat datangnya kelelahan.

Tabel 5 Nilai Ambang Batas Getaran

Sumber : Pusat K3 Kemenakertrans RI

5. Bau-bauan dan debu

Bau-bauan dan debu dapat mempengaruhi konsentrasi kerja, kelainan


pernafasan, dan kepekaan penciuman pekerja.

6. Warna

Warna yang terdapat pada lingkungan kerja, seperti pada dinding, benda kerja,
kemasan produk, dan lain-lain dapat memberikan efek psikologis pekerja (kuning
memberikan efek kesegaran, oranye memberikan efek kehangatan, dsb.)

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 14


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

c. Prinsip-prinsip rekayasa sistem kerja yang perlu diketahui


Beberapa prinsip-prinsip rekayasa sistem kerja lainnya yang perlu diketahui dalam
melakukan perancangan stasiun kerja usulan adalah 5S, pokayoke, dan SMED.

1. 5S

5S merupakan lima kata yang berasal dari bahasa Jepang yang diartikan ke dalam bahasa
Inggris dan diawali dengan huruf S. 5S adalah metode yang digunakan dalam mengatur
dan mengelola ruang kerja (workspace) dan aliran kerja (workflow) yang bertujuan untuk
menghilangkan pemborosan, memperbaiki aliran kerja, dan mengurangi proses yang
tidak diperlukan. Dalam bahasa Indonesia, 5S sering dikenal dengan nama 5R, yaitu:
1. Seiri = Sorting = Ringkas

Ringkas dalam hal ini berarti dapat memilah mana alat/barang yang dibutuhkan
dan yang tidak dibutuhkan dalam suatu sistem kerja. Memiliki barang yang tidak
dibutuhkan dalam suatu sistem kerja tidak membawa nilai tambah sehingga
sebaiknya disingkirkan.
2. Seiton = Straighten or Set in Order = Rapi

Setelah meringkas, selanjutnya adalah merapikan atau mengorganisasikan


peralatan di sistem kerja. Merapikan ini dimaksudkan untuk meletakkan dengan
peralatan di tempat yang mudah bagi orang untuk menemukan atau
menggunakan peralatannya.
3. Seis = Sweeping = Resik
Resik seperti arti katanya yaitu bersih. Resik dalam sistem kerja berarti menjaga
kebersihan di sistem kerja tersebut, seperti menyapu lantai, mencuci peralatan,
dan sebagainya.
4. Seiketsu = Standardizing = Rawat

Rawat berarti menjaga kondisi peralatan/barang pada sistem kerja tetap ringkas,
rapi, dan resik. Perawatan juga digunakan untuk menjaga kondisi peralatan tetap
baik.
5. Shitsuke = Sustaining = Rajin
Rajin ini berarti tetap mempertahankan 4S sebelumnya. Kedisiplinan dalam
melaksanakan 4S dapat mengurangi banyak pemborosan.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 15


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Gambar 7 Alur Penggunaan 5S

Sumber : http://www.tpfeurope.com

2. Poka Yoke

Poka Yoke dalam bahasa Jepang dari Yokeru berarti untuk menghindaridan Poka berarti
kesalahan karena ketidakhati-hatian. Maka, Poka Yoke berarti alat untuk menghindari
kesalahan. Dalam literatur barat Poka Yoke dikenal sebagai mistake proofing. Dengan
Poka Yoke maka jumlah cacat produk akan berkurang karena mencegah atau mengoreksi
kesalahan secepatnya. Poka Yoke terdiri dari 2 kategori, yaitu Prevention dan Detection.

Gambar 8 Gambar USB menyatakan bagian atas kabel untuk mencegah kesalahan

Sumber : http://agilesoftwaredevelopment.com

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 16


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

3. SMED

SMED atau Single Minute Exchange Dies yaitu suatu metode untuk meminimasi waktu
setup dari satu jenis produk ke produk lainnya. Ada dua jenis setup, yaitu setup internal
dan setup eksternal. Setup internal adalah setup yang dapat dilakukan jika mesin mati
atau mesin tidak beroperasi sedangkan setup eksternal adalah setup yang dapat
dilakukan pada keadaan mesin menyala atau tanpa mematikan mesin. Tahap dalam
SMED terdiri dari identifikasi pekerjaan, identifikasi mana yang merupakan setup internal
dan setup eksternal, dan kemudian merekayasa agar setup internal berkurang sehingga
sedemikian sehingga setup dapat dilakukan dengan mematikan mesin sesedikit mungkin.
Hal inilah yang akan meminimasi waktu setup.

Gambar 9 Prinsip SMED

Sumber : http://eng.managerservices .nl

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 17


Daftar Pustaka
Eastman Kodak Company. Ergonomic Design for People at Work. (1983). Belmont,
California: Lifetime Learning Publications.
Hirano, Hikayuki. The Complete Guide to Just-in-Time Manufacturing Vol.2 (1990). New
York : CRC Press.
Niebel, B. W., & Freivalds, A. Methods, Standards and Work Design. (1999). New York: Mc-
Graw-Hill.

Salvendy, G. Handbook of Human Factors and Ergonomics. (1997). New York: John Wiley
& Sons Inc.

Sutalaksana, Iftikar Z., & Anggawisastra, Ruhana, & Tjakraatmadja, Jann H. Teknik
Perancangan Sistem Kerja. (2006). Bandung: Penerbit ITB.

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 18


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Flowchart Praktikum

Gambar 7 Flowchart Praktikum

Alat dan Bahan


Sub-assembly dongkrak (disediakan oleh asisten)
Stopwatch (boleh menggunakan hp/jam digital)
Lembar pengamatan
Tiga lembar kertas HVS
Tabel penyesuaian Westinghouse
Tabel kelonggaran
Data antropometri (persentil)
Data kondisi lingkungan fisik
Lampiran dibawa terpisah saat Responsi dan Praktikum

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 19


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

TATA TULIS LAPORAN

Laporan dibuat dengan susunan sebagai berikut:

Cover
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
1.3 Flowchart Pengolahan Data
BAB 2 PENGOLAHAN DATA
2.1 Rekapitulasi Data
2.1.1 Data Waktu Perakitan
2.1.2 Data Kondisi Lingkungan Fisik
2.2 Pengujian Data Waktu
2.2.1 Uji Seragam
2.2.2 Uji Cukup
2.3 Proses Perhitungan Waktu Baku
2.4 Desain Stasiun Kerja Existing
2.4.1 Stasiun Kerja Keseluruhan Existing
2.4.2 Stasiun Kerja Satu Mesin Existing
2.5 Desain Perbaikan Stasiun Kerja
2.5.1 Stasiun Kerja Keseluruhan
2.5.2 Stasiun Kerja Satu Mesin
BAB 3 ANALISIS
3.1 Analisis Pemilihan Nilai Faktor Penyesuaian dan Faktor Kelonggaran dalam Perhitungan Waktu
Baku
3.2 Analisis Pemilihan Dimensi Perancangan Stasiun Kerja
3.3 Analisis Rancangan Perbaikan Stasiun Kerja Satu Mesin
3.4 Analisis Rancangan Perbaikan Stasiun Kerja Keseluruhan
3.5 Analisis Penggunaan Waktu Baku di Industri
3.6 Analisis Keterkaitan Antar Modul
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Format laporan mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a. Ukuran kertas A4
b. Margin : kiri 2.5 cm; kanan-atas-bawah 2 cm
c. Dikirimkan dalam format PDF
d. Jenis font
Isi laporan : Calibri 10
Judul bab dan sub bab : Cambria 11 Bold
e. Spasi : Multiple 1.2
f. Header
Kiri : Modul 3 Standardisasi Sistem Kerja
Kanan : Nama dan NIM Asisten
g. Footer :
Kiri : Nama singkat anggota kelompok
Kanan : Nomor halaman
h. Cover:
Harus ada nama dan nomor mata kuliah, judul modul, nomor kelompok, nama masing-masing
anggota kelompok, nama laboratorium, logo ITB, prodi, fakultas, dan tahun.
Lampiran

Lampiran 1 - Tabel Penyesuaian Westinghouse


Tabel 1 Penyesuaian Metode Westinghouse yang Sudah Disesuaikan untuk Orang Indonesia

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 20


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Sumber: Sutalaksana, Iftikar Z., & Anggawisastra, Ruhana, & Tjakraatmadja, Jann H. Teknik Perancangan
Sistem Kerja. (2006). Bandung: Penerbit ITB.

Ciri-ciri setiap kelas antara lain :

Super skill :

1. Bekerja secara sempurna


2. Tampak seperti telah terlatih sangat baik
3. Gerakan-gerakannya halus tetapi sangat cepat sehingga sulit untuk diikuti
4. Perpindahan dari satu elemen pekerjaan ke elemen lainya tidak terlampau terlihat
karena lancarnya
5. Tidak terkesan adanya gerakan berpikir dan merencanakan tentang apa yang dikerjaka

Excellent Skill :

1. Percaya pada diri sendiri


2. Tampak cocok dengan pekerjaannya
3. Terlihat terlatih baik
4. Bekerja dengan teliti sehingga tidak banyak melakukan pengukuran atau pemeriksaan lagi
5. Gerakan kerja dan urutan dikerjakan tanpa kesalahan

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 21


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

6. Bekerja cepat tapi halus


7. Bekerja berirama dan terkoordinasi

Good Skill :

1. Kualitas hasil baik


2. Bekerja lebih cepat dibanding pekerja lainya
3. Dapat memberi petunuk pada pekerja lain
4. Tidak memerlukan banyak pengawasan
5. Tidak ada keragu-raguan
6. Bekerja stabil
7. Gerakan cepat

Average Skill :

1. Gerakan cepat tapi tidak cepat


2. Terlihat adanya pekerjaan perencanaan
3. Bekerja cukup teliti
4. Secara keseluruhan cukup memuaskan
5. Mengkoordinasikan tangan dan pikiran cukup baik

Fair Skill :

1. Tampak terlatih tetapi belum cukup baik


2. Mengenal peralatan dan lingkungan secukupnya
3. Terlihat adanya perencanaan sebelum melakukan gerakan
4. Tidak tampat terlalu yakin akan pekerjaan yang dilakukan
5. Saat tidak fokus, output akan sangat rendah
6. Tidak memiliki kepercayaan diri yang cukup

Poor Skill :

1. Tidak bisa mengkoordinasikan tangan dan pikiran


2. Gerakan kaku
3. Terlihat ketidakyakinan pada urutan gerakan
4. Seperti yang tidak terlatih untuk pekerjaan yang bersangkutan
5. Ragu-ragu dalam melaksanakan gerakan kerja

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 22


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

6. Sering melakukan kesalahan

Lampiran 2 Tabel Kelonggaran


Tabel 2 Besarnya Kelonggaran Berdasarkan Faktor-Faktor yang Berpengaruh

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 23


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Catatan: H. Kelonggaran untuk kebutuhan pribadi bagi Pria ( 0-2.5 %) dan Wanita ( 2-5%).

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 24


MODUL 3 STANDARDISASI SISTEM KERJA

Lampiran 3 Lembar Pengamatan


LEMBAR PENGAMATAN

Nama Pengamat :

Hari/Tanggal :

Jam Pengamatan :

Stasiun Pengamatan: Duduk/Berdiri

Laboratorium Rekayasa Sistem Kerja dan Ergonomi 25

Anda mungkin juga menyukai