Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

Cedera kepala merupakan epidemi yang tersembunyi, oleh karena


sebagian besar masyarakat belum begitu mengetahui tentang cedera kepala beserta
akibatnya. Lima belas persen dari pasien yang dirawat dengan cedera kepala akan
mengalami skuele (problem gangguan kronik) sepanjang hidupnya.
Secara statistik diperkirakan setiap tahun 2% penduduk dunia mengalami
cedera kepala. Di Amerika Serikat,2011, 5,3 juta penduduk setiap tahun
mengalami cedera kepala. Trauma menjadi penyebab utama kematian pada pasien
berusia dibawah 45 tahun dan hampir 50%-nya merupakan cedera kepala
traumatik.
Penyebab cedera kepala traumatik terbanyak akibat kecelakaan kendaraan
bermotor (50%), akibat jatuh (21%), akibat olahraga (10%), sisanya akibat
kejadian lain.Puncak insiden cedara kepala pada usia 5 tahun, 15-24 tahun dan di
atas 70 tahun. Cedera kepala pada laki-laki lebih sering daripada wanita.Cedera
kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila
dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena
struktur anatomik dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan
konsistensi cair, lunak dan padat yaitu cairan otak, selaput otak, jaringan saraf,
pembuluh darah dan tulang.
Kraniotomi adalah suatu metode operasi membuka tengkorak untuk
memperbaiki fungsi otak. Kraniotomi dilakukan pada hampir seluruh tindakan
untuk menangkat tumor otak, pendarahan otak meliputi subdural hematoma,
epidural hematoma, subarachnoid hematoma, dan intracerebral hematoma.
Sehingga kraniotomi menjadi pilihan untuk dekompresi dari otak dan mengurangi
gejala pasien.
Pada saat ini, ICU modern tidak terbatas menangani pasien pasca bedah
atau ventilasi mekanis saja, namun telah menjadi cabang ilmu sendiri yaitu
Intensive Care Medicine. Ruang lingkup pelayanannya meliputi dukungan fungsi

1
organ-organ vital seperti pernapasan, kardiosirkulasi, susunan saraf pusat, ginjal
dan lain-lainnya, baik pada pasien dewasa atau pasien anak.

2
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Tanggal : 4 Juli 2017

Nama : Ny. M

Jenis Kelamin : Wanita

Umur : 51 tahun

Alamat : RT 1 Ampelu Muara Tembesi Kab.Batanghari

No Reg : 861187

Ruangan : Kelas III

Gol Darah : A+

TB/BB/IMT : 153 cm/40 kg/19.3

Diagnosis : CKR + EDH parietal sinistra

Tindakan : Kraniotomi

MRS : 27 Juni 2017

2.2 HASIL KUNJUNGAN PRA ANESTESI

2.2.1 ANAMNESIS

a. Keluhan Utama:

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala yang semakin lama semakin
memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit.

3
b. Riwayat Perjalanan Penyakit :

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala yang semakin lama semakin
memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan nyeri kepala seperti
di pukul, nyeri kepala dirasakan terus menerus, nyeri kepala dirasakan mendadak
setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuat pasien terjatuh
dari motor, tidak ada kondisi yang memperberat maupun memperingan keluhan
nyeri kepala pasien, pasien juga mengeluh setelah terjatuh pasien tidak sadarkan
diri, diperjalanan menuju ke rumah sakit batanghari pasien sadar. Kemudian
dirujuk ke RSUD Rd. Mattaher di perjalanan pasien kembali tidak sadar, menurut
keluarga pasien terjatuh dengan kepala terlebih dahulu, kepala yang terkena
merupakan kepala bagian kiri, saat kecelakaan pasien tidak menggunakan
pelindung kepala, selama di rumah sakit batanghari pasien mengeluhkan muntah
sebanyak 2 kali dan pandangan mata sedikit kabur, sesak (-), demam (-), BAB dan
BAK juga tidak ada keluhan.

c. Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat Hipertensi : (-) disangkal


- Riwayat DM : (-) disangkal
- Riwayat Asma : (-) disangkal
- Riwayat Batuk lama : (-) disangkal
- Riwayat Operasi : (-) disangkal
- Riwayat sakit jantung : (-) disangkal
- Riwayat stroke : (-) disangkal
- Riwayat alergi obat z : (-) disangka
- Riwayat minum obat rutin : (-) disangkal

d. Riwayat Kebiasaan:

- Merokok : (-)
- Minum Alkohol : (-)
- Riwayat alergi makanan : (-)

e. Riwayat Sosial Ekonomi

Suami pasien bekerja sebagai petani dan pasien sebagai ibu rumah tangga. Biaya
pengobatan ditanggung oleh jamkesda. Kesan : sosial ekonomi kurang.

4
f. Pasien tidak menggunakan gigi palsu

2.2.2 PEMERIKSAAN FISIK UMUM

a. Vital Sign

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15 (E4 M6 V5)
TD : 110/70 mmHg
Respirasi : 21 x/ menit
Nadi : 94 x/ menit, isi dan tegangan cukup
Suhu : 36,9 C
b. Kepala : Normocephal, jejas (+) pada daerah parietal sinistra, vulnus
ekskoriatum pada maksilla sinistra, nyeri tekan (+) regio parietal sinistra.
c. Mata : Conjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-), Pupil Isokor, Reflek
Cahaya (+/+), hematom (+)
d. THT : Perdarahan (-), faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1, Mallampati 1
e. Leher : gerakan leher terbatas, JVP 5-2 cmH2O, pembesaran KGB (-),
pembesaran tiroid (-).
f. Thorax:
Paru :
- Inspeksi : Simetris kanan kiri, retraksi (-)
- Palpasi : Vocal Fremitus normal, kanan kiri sama
- Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis ICS V linea midclavikula
sinistra.
- Perkusi : Batas jantung normal
- Auskultasi : BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)
g. Abdomen :
- Inspeksi : Datar, sikatriks (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar
lien tidak teraba.
- Perkusi : Timpani, shifting dullnes (-)
h. Ekstremitas:
- Superior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)
- Inferior : Akral hangat, sianosis (-/-), edema (-/-)

2.2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

5
LABORATORIUM

a. Darah rutin
WBC : 7,42 x 103/mm3
RBC : 3,73 x 106/mm3
HB : 11,2 g/dl
HT : 30,7 %
PLT : 148 x 103/mm3
CT : 3,5 menit
BT : 2,5 menit
GDS : 103 mg/dl
b. Fungsi Hepar:
Bilirubin total : 1,9 mg/dl
Bilirubin direk : 0,3 mg/dl
Bilirubin indirek : 1,6 mg/dl
Protein Total : 6,3 g/dl
Albumin : 3,8 g/dl
Globulin : 2,5 g/dl
SGOT : 22 U/L
SGPT : 16 U/L
c. Fungsi Ginjal
Ureum : 24 mg/dl
Kreatinin : 0,8 mg/dl

EKG : Normal Sinus Ritem


Foto Thorak : Cor Pulmo normal
CT scan kepala : Epidural hematom sinistra

Penentuan Status Fisik ASA : 1 / 2 / 3 / 4 / 5


Mallapati :I
Persiapan Pra Anestesi :
- Informed Consent dan SIO
- Puasa 6 jam sebelum operasi
- Persiapan ICU
- Persiapan darah 2 kolf PRC

2.3 RENCANA TINDAKAN ANESTESI

1. Diagnosis pra bedah : CKR + EDH Parietal sinistra

2. Tindakan Bedah : Craniotomy

3. Status fisik ASA : 2 Non EMG

4. Jenis tindakan anestesi : Anastesi Umum

6
1) Metode : Anestesi Umum (Intubasi)
2) Premedikasi :
- Ondansentron (0,05-0,2 mg/kgBB) = 4 mg
- Ranitidin (1 mg/KgBB) = 50 mg
- Asam Traneksamat (20 mg/KgBB) = 500 mg
- Dexametason 5 mg
3) Analgetik Pre Induksi
Phentanyl (1-2 mcg/KgBB) = 50-100 mcg
4) Induksi :
Recofol (Propofol) (2-2,5 mg/KgBB) = 100-125 mg

5) Persiapan alat :
STATICS
Scope : Stetoskop dan Laringoskop dewasa
Tube : ETT Non Kinking no 7,0
Airway : Goodle No 3
Tape : Plaster Panjang 2 buah dan pendek 2 buah
Intorducer : Mandrin 1 buah
Connector : Penyambung Pipa
Suction : Suction No 12
6) Relaksan : Roculax (0,5-0,6 mg/KgBB) = 25-30mg
7) Intubasi : Insersi ETT no.7,0
8) Maintenance : Sevoflurans + N2O : O2
Kebutuhan Cairan Perioperatif

Maintenance (M)
M = 2 cc/KgBB/jam

M = 2 x 40 Kg 80 cc/jam

Pengganti Puasa (P)


P = M X Lama puasa

P = 80X 10 800 cc

Stres operasi (O)


O = BB X 8 (Operasi Besar)

O = 40X 8 320 ml

EBV : 65 x BB
EBV : 65 x 40 2600 cc

7
EBL : 20% x EBV
EBL : 20% x 2600 cc 520 cc
Kebutuhan cairan selama operasi :

Jam I :1/2 (800 ml) + 80 ml + 320 ml = 800 ml


Jam II : 1/4 (800 ml) + 80 ml + 320 ml = 600 ml
Total cairan 1400 ml

8
BAB III

LAPORAN ANESTESI

Tanggal : 4 Juli 2017

Ahli bedah : dr. Apriyanto Sp.BS

Ahli anestesi : dr. Ade Susanti, Sp.An

Asisten anestesi : DP Anestesi

3.1 TINDAKAN ANESTESI


- Metode : Anestesi umum (intubasi)
- Premedikasi : Ondansetron 4 mg
Ranitidin 50 mg
Asam Traneksamat 500 mg
Dexametason 5 mg
Fentanyl 70 g
- Induksi : Recofol (propofol) 100 mg
- Relaksasi : Roculax 30 mg
- Insersi ETT ukuran 7,0 dengan balon
- Pemeliharaan : sevofluran 1-2 % + N2O 50% : O2 100%
- Pemulihan diberikan O2
- Medikasi tambahan : -
- Respirasi: nafas kendali
- Ekstubasi : setelah pasien sadar

3.2 KEADAAN SELAMA OPERASI


- Keadaan selama operasi
1) Posisi Penderita : terlentang dengan kepala menoleh ke kanan
2) Penyulit waktu anestesi : tidak ada
3) Lama Anestesi : 2 jam
4) Jumlah Cairan
Input : RL 3 Kolf 1500 ml
PRC 1 kolf 250 ml
Total 1750 ml
Output : 100 cc
Perdarahan : 100 cc

MONITORING

9
TD awal: 110/60 mmHg, N: 92 x/I, RR: 21/i
Jam TD Nadi RR SPO2
10 : 00 110/60 82 18 99%
10 : 15 110/60 84 19 98%
10 : 30 100/60 88 18 100%
10 : 45 100/60 90 17 99%
11 : 00 94/59 96 19 99%
11 : 15 96/59 99 18 99%
11 : 30 100/60 92 18 100%
11 : 45 110/60 86 19 98%
12 :00 110/60 88 20 99%

3.3 RUANG PEMULIHAN


a. Masuk jam : 12 : 05 WIB
b. Keadaan umum : Kesadaran : Compos Mentis, GCS : 15
Tekanan darah : 110/60mmHg
Nadi : 84 x/mnt, isi dan tegangan cukup
Respirasi : 19 x/mnt
c. Pernafasan : Baik
Skoring alderette

- Aktifitas :2
- Pernafasan :2
- Warna kulit :2
- Sirkulasi :2
- Kesadaran :1
Jumlah :9

Instruksi anestesi post operasi :

- Observasi keadaan umum, vital sign, dan perdarahan tiap 15 menit


selama 24 jam
- Tirah baring tanpa menggunakan bantal 1x24 jam
- Puasa sampai sadar penuh
- Cek Hb post operasi, jika Hb 10 mg/dl tranfusi 1 kolf PRC
- Terapi selanjutnya disesuaikan dengan : dr. Apriyanto Sp.BS
1. Inj. RL + ketorolak 1amp
2. Inj. Ceftrioaxon 1x 2 gram
3. Inj. Asam Traneksamat 3 x 250 mg
4. Cek Hb post op
- Pasien masuk ke ruang perawatan ICU

10
Status ICU

JAM 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00


Kesadaran CM CM CM CM CM CM CM
Pupil Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor
Reflex Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif
pupil
SPO2 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
RR 18 16 19 20 17 17 18
TD 100/58 110/66 110/70 100/60 110/75 100/60 100/65
N 58 56 58 57 54 56 58
EKG SB SB SB SB SB SB SB
Pernafasan BC BC BC BC BC BC BC

Enteral -
Parenteral 90 90 90 90 90 90 90
Intake 90/90 90/180 90/270 90/360 90/450 90/540 90/630
Urin - - 200 100 100 100 100
NGT
BAB
DRAIN
IWL 25 25 25 25 25 25 25
Output 25/25 25/50 225/275 125/400 125/525 125/650 125/77
5
Balance +65 +130 -5 -40 -75 -110 -145
Lab

Hb 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7


Leukosit 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43
Trombosit 186 186 186 186 186 186 186
RBC 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88
HCT 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7

JAM 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 01.00 02.00


Kesadaran CM CM CM CM CM CM CM
Pupil Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor
Reflex Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif
pupil
SPO2 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

11
RR 20 17 17 18 20 19 22
TD 100/55 110/60 114/60 105/50 110/75 112/55 108/60
N 58 57 54 56 56 58 55
EKG SB SB SB SB SB SB SB
Pernafasan BC BC BC BC BC BC BC

Enteral -
Parenteral 90 90 90 90 90 90 90
Intake 90/720 90/810 90/900 90/990 90/1080 90/1170 90/126
0
Urin 50 50 30 30 30 30 20
NGT
BAB
DRAIN 100
IWL 25 25 25 25 25 25 25
Output 175/950 75/1025 55/1135 55/1190 55/1245 55/1290 55/134
5
Balance -230 -215 -180 -145 -110 -75 -30
Lab

Hb 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7


Leukosit 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43
Trombosit 186 186 186 186 186 186 186
RBC 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88
HCT 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7

JAM 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00


Kesadaran CM CM CM CM CM CM
Pupil Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor
Reflex Positif Positif Positif Positif Positif Positif
pupil
SPO2 100% 100% 100% 100% 100% 100%
RR 22 19 20 20 18 17
TD 117/54 110/62 108/55 110/60 105/55 112/60
N 58 57 54 56 58 56
EKG SB SB SB SB SB SB
Pernafasan BC BC BC BC BC BC

Enteral -
Parenteral 90 90 90 90 90 90
Intake 90/1350 90/1440 90/1530 90/1620 90/1710 90/90
Urin 30 20 20 20 20 50

12
NGT
BAB
DRAIN
IWL 25 25 25 25 25 26
Output 55/1345 45/1390 45/1435 45/1480 45/1525 76/76
Balance +50 +95 +95 +140 +185 +14
Lab

Hb 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7


Leukosit 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43
Trombosit 186 186 186 186 186 186
RBC 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88
HCT 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7

Pasien pindah ruang perawatan


Tanggal 06 juli 2017
S : nyeri kepala (+), nyeri leher (+)
O : TD=100/70 mmhg
HR=68x/menit
RR=18x/menit
T=37,0
A : post craniotomy e.c EDH parietal sinistra rawatan hari ke III
P: Inj. RL + ketorolak 1amp
Inj. Ceftrioaxon 1x 2 gram
Inj. Asam Traneksamat 3 x 250 mg
Tanggal 07 juli 2017
S : nyeri kepala (+), nyeri leher (+)
O : TD=110/70 mmhg
HR=72x/menit
RR=19x/menit
T=37,0
A : post craniotomy e.c EDH parietal sinistra rawatan hari ke IV
P: Inj. RL + ketorolak 1amp
Inj. Ceftrioaxon 1x 2 gram
Inj. Asam Traneksamat 3 x 250 mg
Tanggal 08 juli 2017
S : nyeri kepala (+), nyeri leher (+)
O : TD=110/60 mmhg
HR=76x/menit
RR=21x/menit
T=36,9
A : post craniotomy e.c EDH parietal sinistra rawatan hari ke V

13
P: Inj. RL + ketorolak 1amp
Inj. Ceftrioaxon 1x 2 gram
Inj. Asam Traneksamat 3 x 250 mg
Tanggal 09 juli 2017
S : nyeri kepala (+), nyeri leher <<
O : TD=110/70 mmhg
HR=75x/menit
RR=18x/menit
T=37,0
A : post craniotomy e.c EDH parietal sinistra rawatan hari ke VI
P: Inj. RL + ketorolak 1amp
Inj. Ceftrioaxon 1x 2 gram
Inj. Asam Traneksamat 3 x 250 mg
Tanggal 10 juli 2017
S : nyeri kepala (+), nyeri leher <<
O : TD=110/80 mmhg
HR=78x/menit
RR=20x/menit
T=37,2
A : post craniotomy e.c EDH parietal sinistra rawatan hari ke VII
P: Pasien boleh pulang

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

14
I. Epidural Hematom

a. Definisi
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang di sebut dura dimana fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inilah yang di kenal dengan sebutan epidural
hematom. 1,2
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergensi
dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang
lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous epidural hematom
berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan.
Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah
tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi. 1,2

b. Patofisiologi
Pada epidural hematom, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak
melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan
dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar. 1,2

15
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada
lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian
medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini
menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim
medis.
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation
retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini
terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif, dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong
kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul
tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. 1,2
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus
keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur
mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu
beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat,
kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran
ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural
hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat
atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval
karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
1,2

Sumber perdarahan :
Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica
dan vena diploica

16
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf
karena progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura
sehingga langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi
trans dan infra tentorial.Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang
mengeluh nyeri kepala yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus
segera di rawat dan diperiksa dengan teliti.

c. Gambaran Klinis
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.
Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di
belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau
telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat
dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera
kepala. Gejala yang sering tampak :
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Bingung
Penglihatan kabur
Susah bicara
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Berkeringat
Pucat
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese
atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan

17
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak
seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda
lainnya menjadi kabur. 1,2

d. Gambaran Radiologi
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
lebih mudah dikenali. 1,2

Foto Polos Kepala


Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi
yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media.

Computed Tomography (CT-Scan)


Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,
paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen
(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang
akut ( 60 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat

18
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

e. Penatalaksanaan
Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

Terapi medikamentosa
Elevasi kepala 300 dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera
spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurang tekanan
intracranial dan meningkakan drainase vena. 1,2
Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan
dexametason (dengan dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam),
mannitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema
cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana
yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan fenitoin
sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya focus epileptogenic
dan untuk penggunaan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin.
Tri-hidroksimetil-amino-metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat
masuk ke susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium
bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial. Barbiturat dapat
dipakai unuk mengatasi tekanan inrakranial yang meninggi dan mempunyai efek
protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik dosis yang biasa diterapkan
adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan
dengan 5 mg/ kgBB setiap 3 jam serta drip 1 mg/kgBB/jam unuk mencapai kadar
serum 3-4mg%.

Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)

19
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak
ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
> 25 cc = desak ruang supra tentorial
> 10 cc = desak ruang infratentorial
> 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.

II. Anestesi pada Kraniotomi


Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-
obatan anestesi, adalah pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang
menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian
TIK,pemakaiannya sedapat mungkin harus dicegah. Satu yang terburuk dalam hal
ini adalah ketamin, yang merupakan vasodilator kuat dan karenanya secara umum
dicegah penggunaannya pada pasien cedera kepala. Semua obat anestesi inhalasi
dapat meninggikan aliran darah serebral secara ringan hingga berat. Obat inhalasi
volatil seperti halotan. enfluran dan isofluran, semua meninggikan aliran darah
serebral, namun mereka mungkin aman pada konsentrasi rendah. Isofluran
paling sedikit kemungkinannya menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous
oksida berefek vasodilatasi ringan yang mungkin secara klinik tidak bermakna,
dan karenanya dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk digunakan pada
pasien cedera kepala.

20
Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksida (50-70 % dengan
oksigen), relaksan otot intravena, dan tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan
mannitol sebelum dan selama induksi dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan
membatasi hipertensi intrakranial pada batas tertentu saat kranium mulai dibuka.
Bila selama operasi pembengkakan otak maligna terjadi, yang refraktori
terhadap hiperventilasi dan mannitol, tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-
10 mg/kg) harus digunakan. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi, terutama
pada pasien hipovolemik, karenanya harus digunakan hati-hati. Sebagai pilihan
terakhir, penggunaan hipotensi terkontrol, dengan trimetafan (Arfonad) atau
nitroprussida (Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan, penting
untuk memastikan penyebab pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat
kompresi leher dan adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral
dari sisi kraniotomi.

a. Anestesi Umum (General Anesthesia)


Anestesi merupakan suatu peristiwa hilangnya sensasi, perasaan nyeri
bahkan hilangnya kesadaran sehingga memungkinkan dilakukan pembedahan.
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias
anestesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot. 3,4

b. Anestesi inhalasi

Obat anestesia inhalasi adalah obat anestesia yang berupa gas atau cairan
mudah menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Campuran gas atau
uap obat anestesia dan oksigen masuk mengikuti udara inspirasi, mengisi seluruh
rongga paru, selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler sesuai dengan
sifat fisik masing-masing gas.5

Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering digunakan pada anestesia
umum. Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik volatil pada oksigen
inspirasi dapat menyebabkan keadaan tidak sadar dan amnesia, yang merupakan
hal yang penting dari anestesia umum. Bila ditambahkan obat intravena seperti

21
opioid atau benzodiazepin, serta menggunakan teknik yang baik, akan
menghasilkan keadaan sedasi/hipnosis dan analgesi yang lebih dalam. Kemudahan
dalam pemberian (dengan inhalasi sebagai contoh) dan efek yang dapat dimonitor
membuat anestesi inhalasi disukai dalam praktek anestesia umum. Tidak seperti
anestetik intravena, kita dapat menilai konsentrasi anestesi inhalasi pada jaringan
dengan melihat nilai konsentrasi tidal akhir pada obat-obat ini. Sebagai tambahan,
penggunaan gas volatil anestesi lebih murah penggunaanya untuk anestesia
umum. Hal yang harus sangat diperhatikan dari anestesi inhalasi adalah sempitnya
batas dosis terapi dan dosis yang mematikan. Sebenarnya hal ini mudah
diatasi,dengan memantau konsentrasi jaringan dan dengan mentitrasi tanda-tanda
klinis dari pasien. 5
Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada anestesi
umum, akan tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada pasien anak-
anak. Gas anestesi inhalasi yang banyak dipakai adalah isofluran dan dua gas baru
lainnya yaitu sevofluran dan desfluran. sedangkan pada anak-anak, halotan dan
sevofluran paling sering dipakai. Walaupun dari obat-obat ini memiliki efek yang
sama (sebagai contoh : penurunan tekanan darah tergantung dosis), namun setiap
gas ini memiliki efek yang unik, yang menjadi pertimbangan bagi para klinisi
untuk memilih obat mana yang akan dipakai. Perbedaan ini harus disesuaikan
dengan kesehatan pasien dan efek yang direncanakan sesuai dengan prosedur
bedah. 5

1). Halotan

Halotan merupakan anestetik umum inhalasi dengan nama IUPAC 2-


bromo-2-kloro-1,1,1-trifluoroetan. Halotan merupakan satu dari dua agen
anestetik inhalasi yang terdaftar dalam formulasi WHO 2004 untuk anestesi
induksi dan pemeliharaan, selain eter. Perbedaannya adalah, halotan merupakan
agen anestetik yang bersifat terfluorinasi.5
Halotan memiliki karakter fisik bersih, tidak berwarna, tidak mudah
terbakar, dan tidak iritatif. Titik didih 50,30C. Dekomposisi dapat terjadi setelah
pemajanan sinar, dan untuk menghindari hal ini, halotan perlu ditambahkan timol
0,01%.5

22
Untuk induksi anestesi, halotan diberikan dengan konsentrasi 2 4% v/v
pada dewasa, dan 1,52 % v/v pada anak-anak, dan diberikan bersama oksigen
atau campuran oksigen-nitrous oksida. Induksi dapat dimulai dengan konsentrasi
0,5% v/v dan secara bertahap dititrasi dengan meningkatkan dosis ke level
tertentu. Untuk dosis pemeliharaan dewasa dan anak-anak adalah 0,5 2 % v/v.
Untuk orang tua, dosis dapat dikurangi.
Penggunaan halotan perlu mempertimbangkan fisiologis hepar, karena
halotan secara bermakna dapat memicu hepatitis fulminan. Halotan juga bersifat
mendepresi miokardial sehingga menyebabkan bradikardi dan hipotensi.
Peningkatan sensitivitas terhadap katekolamin mampu menyebabkan aritmia
jantung. Efek samping lainnya adalah PONVS (Postoperative nausea, vomiting,
and Shivering), peningkatan tekanan intrakrnial, penurunan aliran darah renal dan
GFR, hipertermia. 6

2). Sevofluran
Sevofluran memiliki nama kimia fluorometil heksafluoroisopropil eter,
merupakan agen anestesi inhalasi berbagu manis, tidak mudah meledak, yang
merupakan hasil fluorinasi metil isopropil eter. Sevofluran memiliki titik didih
58,6 oC dan nilai MAC 2 vol%. Penggunaan sevofluran dapat diberikan bersama
oksigen dan N2O. Onset kerja obat sangat cepat, dan konsentrasinya dalam darah
relatif rendah.6
Sevofluran dapat membentuk 2 senyawa hasil degradasi selama anestesi
dilakukan, yaitu senyawa A dan senyawa B, yang pembentukannya akan
meningkat terutama bila suhu terlalu tinggi atau sodalime telah rusak. Senyawa A
dapat menyebabkan nekrosis renal pada tikus, sedangkan pada manusia, derajat
kerusakan jaringan ginjal masih sedang dalam penelitian. Dengan memperhatikan
hal ini, sevofluran dianjurkan diberikan dengan minimum aliran gas 2 liter/menit,
karena aliran yang rendah akan memicu peningkatan temperatur sodalime.5

3). Nitrous Oksida


Nitrous oksida merupakan gas inhalan yang digunakan sebagai agen
pemelihara anestesi umum. Penggunaan nitrous oksida bersama dengan oksigen
atau udara. Efek anestesi nitrous oksida menurun bila digunakan secara tunggal,
sehingga perlu pula penambahan agen anstetik lainnya dengan dosis rendah.
Nitrous oksida memiliki efek analgetik yang baik. Penggunaan campuran nitrous

23
oksida dengan oksigen 50:50 v/v disebut entonox, yang digunakan sebagai
analgesi daripada anestesi.5
N2O diserap dengan cepat dalam tubuh, yaitu 1 liter/menit dalam menit
pertama. Terdapat 3 fase pengambilan N2O berdasarkan saturasi arteri, yaitu
pertama, dalam 5 menit mencapai 50% saturasi; kedua, dalam 30-90 menit
mencapai 90% saturasi; dan dalam 5 jam mencapai saturasi penuh. Dalam 100 mL
darah dapat terlarut 47mL N2O, dan hampir seluruhnya dikeluarkan kembali
melalui paru.6
N2O nerupakan zat anestesi lemah, menimbulkan efek analgesia dan
hipnotik lemah. Efek kardiovaskular minimal, sehingga perubahan pada frekuensi
jantung, irama dan curah jantung maupun EKG juga minimal. Pernapasan tidak
banyak dipengaruhi. Depresi napas terjadi pada pemakaian N 2O tanpa oksigen.
Sensitivitas laring dan trakea terhadap manipulasi menurun.7

d. Anestetik Intravena

Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh
otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat-obat ini akan diedarkan
ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target
organ masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan
farmakodinamiknya masing-masing.8
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.
Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping
yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek
samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan
efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.8

1). Propofol
Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol)
yang digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut,
serta mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol dan 1,2% purified egg
phosphatide. Obat ini secara struktur kimia berbeda dari obat sedatif-hipnotik

24
yang digunakan secara intravena lainnya. Penggunaan propofol 1,5 2,5
mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5 mg/kgBB atau methohexital 1,5
mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik) menimbulkan turunnya
kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna
mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan
secara cepat. Selain sepat mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala
sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila obat
disuntikan pada pembuluh darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi
dengan pemilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar dan
penggunaan lidokain 1%.5
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma
aminobutyric acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion
channel lainnya. Propofol dianggap memiliki efek sedatif hipnotik melalui
interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmiter
penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar klorida
transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post
sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk
barbiturat dan etomidate) dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA
menurunkan neurotransmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi
pembukaan GABA yang teraktifasi melaui chloride channel sehingga terjadi
hiperpolarisasi dari membran sel.9
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh
cytochrome P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi
juga ekstrahepatik. Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak
menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam
glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol membentuk 4-hydroxypropofol
oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide
menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek
hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh
propofol adalah 0,5-1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari
propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit.
Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena
metabolisme propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali

25
dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofol mirip seperti aldentanil dan
thiofentanil yang memiliki efek singkat di otak setelah pemberian melalui
intravena. 10
Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek
mengembalikan kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau
tanpa obat anestesia lain menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi
atau sebagai bagian penyeimbang atau anestesi total iv. Penggunaan propofol
melalui infus secara terus menerus sering digunakan di ruang ICU.9
Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5-2,5 mg/kgBB
intravena dengan kadar obat 2-6 g/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang
bergantung pada usia pasien. Mirip seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan
dosis induksi yang lebih besar tiap kilogram berat badannya yang mungkin
disebabkan volum distribusi yang besar dan kecepatan bersihan yang lebih. Pasien
lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih kecil (25% - 50%) sebagai akibat
penurunan volume distribusi dan penurunan bersihan plasma. Kesadaran kembali
saat kadar propofol di plasma sebesar 1,0 1,5 g/ml. Kesadaran yang komplit
tanpa gejala sisa SSP merupakan karakter dari propofol dan telah menjadi alasan
menggantikan thiopental sebagai induksi anestesi pada banyak situasi klinis.
Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus
menerus, kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian
kesadaran yang cepat tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang
rendah membuat propofol diterima sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah
25-100g/kgBB/menit secara intravena dapat menimbulkan efek analgesik dan
amnestik. Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat dikombinasikan
dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman
menurun.
Propofol yang digunakan sebagai sedasi selama ventilasi mekanik di ICU
pada beberapa populasi termasuk pasien post operasi (bedah jantung dan bedah
saraf) dan pasien yang mengalami cedera kepala. Propofol juga memiliki efek
antikonvulsan, dan amnestik Setelah pembedahan jantung, sedasi propofol
mengatur respon hemodinamik post operasi dengan menurunkan insiden dan
derajat takikardia dan hipertensi. Asidosis metabolik, lipidemia, bradikardia, dan
kegagalan myokardial yang progresif pada beberapa anak yang mendapat sedasi
propofol selama penanganan gagal napas akut di ICU.

26
Pada sistem saraf pusat, propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate
terhadap oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intra kranial (TIK).
Penggunaan propofol sebagai sedasi pada pasien dengan lesi yang mendesak
ruang intra kranial tidak akan meningkatkan TIK. Dosis besar propofol mungkin
menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan aliran
darah ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan
aliran darah ke otak yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Akan
tetapi, aliran darah ke otak dipengaruhi oleh PaCO2 pada pasien yang mendapat
propofol dan midazolam. Propofol menyebabkan perubahan gambaran
electroencephalograpic (EEG) yang mirip pada pasien yang mendapat thiopental.
Propofol tidak mengubah gambaran EEG pasien kraniotomi. Mirip seperti
midazolam, propofol menyebabkan gangguan ingatan yang mana thipental
memiliki efek yang lebih sedikit serta fentanyl yang tidak memiliki efek gangguan
ingatan.
Pada sistem kardiovaskular, propofol lebih menurunkan tekanan darah
sistemik daripada thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi
perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos
pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitaas simpatis vasokontriksi. Suatu
efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas kalsium intrasel
akibat penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung
laringoskop dan intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan
darah. Propofol juga menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal
mask airway. Pengaruh propofol terhadap desflurane mediated sympathetic
nervous system activation masih belum jelas.
Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada
pasien dewasa sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia-
related death selama anestesia propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi
yang parah dan fatal pada anak di ICU ditemukan pada pemberian sedasi propofol
yang lama. Anestesi propofol dibandingkan anestesi lain meningkatkan refleks
okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama pemberian
antikolonergik.

27
III. Intensive Care Unit (ICU)

a. Definisi
Intensive Care Unit (ICU) atau Unit Perawatan Intensif (UPI) adalah tempat
atau unit tersendiri di dalam rumah sakit yang menangani pasien-pasien gawat
karena penyakit, trauma atau komplikasi penyakit lain. Intensive Care Unit (ICU)
merupakan cabang ilmu kedokteran yang memfokuskan diri dalam bidang life
support atau organ support pada pasien-pasien sakit kritis yang kerap
membutuhkan monitoring intensif. Pasien yang membutuhkan perawatan intensif
sering memerlukan support terhadap instabilitas hemodinamik (hipotensi), airway
atau respiratory compromise dan atau gagal ginjal, kadang ketiga-tiganya.
Perawatan intensif biasanya hanya disediakan untuk pasien-pasien dengan kondisi
yang potensial reversibel atau mereka yang memiliki peluang baik untuk bertahan
hidup11

b. Prosedur Pelayanan Perawatan/Terapi (ICU)


Ruang lingkup pelayanan yang diberikan di ICU :

Diagnosis dan penantalaksanaan spesifik penyakit-penyakit akut yang


mengancam nyawa dan dapat menimbulkan kematian dalam beberapa
menit sampai beberapa hari

Memberikan bantuan dan mengambil alih fungsi vital tubuh sekaligus


melakukan penatalaksanaaan spesifik problema dasar

Pemantauan fungsi vital tubuh terhadap komplikasi :

- Penyakit

- Penatalaksanaan spesifik

- Sistem bantuan tubuh

- Pemantauan itu sendiri

28
Penatalaksanaan untuk mencegah komplikasi akibat koma yang dalam,
immobilitas berkepanjangan, stimulasi berlebihan dan kehilangan sensori

Memberikan bantuan emosional terhadap pasien yang nyawanya pada saat


itu bergantung pada fungsi alat/mesin dan orang lain11

c. Indikasi Masuk dan Keluar ICU


Prosedur medis yang menyangkut criteria masuk dan keluar ICU
seharusnya disusun bersama antar disiplin terkait oleh semacam tim
tersendiri dari dokter, perawat dan tenaga administrasi rumah sakit.
Pelayanan ICU meliputi pemantauan dan terapi intensif, karena itu secara
umum prioritas terakhir adalah pasien dengan prognosis buruk untuk
sembuh. 11

Persyaratan masuk dan keluar ICU hendaknya juga didasarkan pada


manfaat terapi di ICU dan harapan kesembuhannya. Kepala ICU atau
wakilnya memutuskan apakah pasien memenuhi syarat masuk ICU dan
keluar, kepala icu dan wakilnya akan memutuskan pasien mana yang harus
diprioritaskan 11

Indikasi Masuk ICU


Yang memerlukan perawatan di ICU adalah pasien dengan krisis atau
kegagalan pada:
Sistem pernapasan

Sistem hemodinamik

Sistem syaraf pusat

Sistem endokrin dan metabolik

Overdosis obat, reaksi obat dan keracunan

Sistem pembekuan darah

Infeksi berat (sepsis)

Indikasi pasien masuk ICU dapat dibagi menjadi 3 prioritas, yaitu :

29
1. Prioritas I
Pasien kritis, pasien tidak stabil yang memerlukan tindakan terapi intensif
dan agresif untuk mengatasinya, seperti bantuan ventilasi, infus obat-obat
vasoaktif dan lain-lain. Pada pasien seperti ini terapi tidak dibatasi ( do
everything), Contoh : edema paru, status convulsivus, septic shock.

2. Prioritas II
Pasien golongan ini pada saat masuk tidak dalam keadaan kritis tetapi kondisi
klinisnya membutuhkan pemantauan intensif baik secara invansif maupun non
invasif atau keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan ancaman gangguan pada
sistem organ vital. Pada pasien seperti ini terapi juga tidak dibatasi. Misalnya :
Pasca bedah ekstensif

Pasca henti jantung dalam keadaan stabil.

Pasca bedah jantung dan pasca bedah dengan penyakit jantung.

3. Prioritas III
Pasien dalam keadaan kritis dengan harapan kecil untuk penyembuhannya.
Pasien kelompok ini memerlukan terapi intensif terbatas untuk mengatasi krisis
penyakit, tetapi tidak dilakukan terapi invasif seperti intubasi dan resusitasi (do
something).Misalnya : pasien dengan metastase keganasan, penyakit jantung dan
paru terminal dengan komplikasi akut. 11

Indikasi keluar ICU


Pasien prioritas I dipindahkan keluar ICU jika tidak membutuhkan lagi
terapi yang intensif atau terapi mengalami kegagalan sehingga prognosis buruk
dan terdapat sedikit kemungkinan untuk pulih kembali. Pasien prioritas II
dipindahkan keluar ICU jika hasil pemantauan intensif menunjukkan bahwa terapi
intensif dan monitoring khusus tidak diperlukan lagi atau apabila terdapat pasien
prioritas I yang memerlukan perawatan. Pasien prioritas III dipindahkan jika
terapi intensif tidak dibutuhkan lagi, dan dapat dipindahkan lebih awal jika
diketahui kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil atau keuntungan terapi
sangat sedikit.11

30
d. Jenis-jenis ICU

Adapun beberapa jenis ICU yang sudah masyarakat kenal, berikut ini akan
dijelaskan lebih lanjut mengenai masing-masing jenis ICU.11

Intensive Coronary Care Unit (ICCU)

Merupakan unit perawatan intensif untuk penyakit jantung, terutama


penyakit jantung koroner, serangan jantung, gangguan irama jantung yang
berat, gagal jantung

Neonatal Intensive Care Unit (NICU)

NICU adalah unit perawatan intensif yang khusus merawat bayi baru lahir
yang sakit atau prematur.

Pediatric Intensive Care Unit (PICU)

PICU adalah unit perawatan intensif yang khusus merawat bayi yang sakit
kritis, anak-anak, dan remaja.

Post Anesthesia Care Unit (PACU)

PACU adalah unit perawatan intensif pasca operasi dan stabilisasi pasien
setelah operasi bedah dan anestesi. Pasien biasanya berada dalam PACU
untuk waktu terbatas dan harus memenuhi kriteria sebelum ditransfer
kembali ke bangsal.12

IV. Bradikardi

a. Definisi
Sinus bradikardia dapat didefinisikan sebagai suatu sinus rythem dengan
denyut jantung pada saat istirahat < 60x/menit. Namun beberapa pasien benar-
benar mengalami gejala hingga detak jantung mereka turun menjadi <50x/menit.12

b. Klasifikasi

31
Secara klini bradikardi dapat ditemukan dalam bentuk :13
1. Sinus Bradikardi
Secara umum bradikardi disebabkan oleh kegagalan pembentukan
impuls oleh nodus sinoatrial (SA node) atau kegagalan penghantaran
(konduksi) impuls dari SA node ke ventrikel (hambatan pada AV node).

Bradikardi biasanya juga disebabkan oleh stimulasi vagal yang


berlebihan atau penurunan tonus simpatis. Bradikardi juga dapat terjadi saat
muntah atau sinkop vasovagal, peningkatan tekanan intracranial dan hipoksia
berat.

Gambar 1.4. sinus bradikardi

c. Manifestasi Klinis
Bila frekuensi jantung yang lambat mengakibatkan perubahan hemodinamika
yang bermakna, sehingga menimbulkan sinkop (pingsan), angina, atau disritmia
ektopik, maka penatalaksanaan ditujukan untuk meningkatkan frekuensi jantung.14
1. Perubahan TD (hipertensi atau hipotensi); nadi mungkin tidak teratur,
defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut menurun;
kulit pucat, cyanosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila
curah jantung menurun berat.
2. Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
3. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat
antiangina, gelisah.
4. Nafas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan, bunyi
nafas tambahan (krekels, ronchi, mengi) mungkin ada menunjukkan
komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau
fenomena tromboembolitik pulmonal, hemoptisis.

32
5. Demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, odema
(trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan.

d. Algoritma Bradikardi

Gambar 1.9. Algoritma Bradikardi13

e. Penatalaksanaan
1). Farmakologis

33
Berikan sulfas Atropin 0,5 mg IV sambil perhatikan monitor EKG
untuk melihat respon peningkatan denyut jantung, jika tidak ada
ulangi lagi 0,5 mg (setiap 3 5 menit), sampai ada respon
peningkatan denyut jantung atau dosis atropine telah mencapi 3
mg.
Jika dosis sulfas atropine telah mencapai 3 mg dan belum terjadi
peningkatan denyut jantung >60x/menit, pertimbangkan
pemberian obat yang lain seperti epinefrin 2 -10 microgram/ menit
atau dopamine 2-10 microgram/kgBB/menit.15

2). Pacemaker (Arhythmia Device Theraphy)


Pemberian stimulus elektrik tambahan ke otot jantung bila mana
denyut jantung tidak mampu menghasilkan curah jantung yang adekuat
sesuai dengan kebutuhan fisiologis.15

34
BAB V
ANALISIS KASUS

1. Ny. M/ 51 tahun/ post kraniotomi et causa EDH parietal sinistra


Anamnesis :

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala yang semakin lama semakin
memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan nyeri kepala seperti
di pukul, nyeri kepala dirasakan terus menerus, nyeri kepala dirasakan mendadak
setelah pasien mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuat pasien terjatuh
dari motor, tidak ada kondisi yang memperberat maupun memperingan keluhan
nyeri kepala pasien, pasien juga mengeluh setelah terjatuh pasien tidak sadarkan
diri, diperjalanan menuju ke rumah sakit batanghari pasien sadar. Kemudian
dirujuk ke RSUD Rd. Mattaher di perjalanan pasien kembali tidak sadar, menurut
keluarga pasien terjatuh dengan kepala terlebih dahulu, kepala yang terkena
merupakan kepala bagian kiri, saat kecelakaan pasien tidak menggunakan
pelindung kepala, selama di rumah sakit batanghari pasien mengeluhkan muntah
sebanyak 2 kali dan pandangan mata sedikit kabur, sesak (-), demam (-), BAB dan
BAK juga tidak ada keluhan.

Pemeriksaan penunjang CT-SCAN : Epidural hematom parietal sinistra

Sesuai dengan teori bahwa dalam waktu beberapa jam , penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur
menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah
terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada Epidural hematom.

35
Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua
penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut
interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan
pada Epidural hematom.

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat


dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera
kepala. Gejala yang sering tampak :
Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
Nyeri kepala yang hebat
Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
Mual
Pusing
Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.
Ditambah hasil pemeriksaan penunjang CT-Scan bahwa Pemeriksaan CT-
Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi cedara intracranial
lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja (single) tetapi dapat pula
terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah
temporoparietal.

2. Ny. M dilakukan terapi Kraniotomi dengan General Anestesi

Pilihan terapi kraniotomi dipilih atas dasar teori Operasi di lakukan bila terdapat :
Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
Keadaan pasien memburuk
Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk
fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi
operasi emergenci. Biasanya keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak
ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

36
> 25 cc = desak ruang supra tentorial
> 10 cc = desak ruang infratentorial
> 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
Penurunan klinis
Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
General anestesi dipilih berdasarkan pertimbangan utama dalam memilih
obat anestesi, atau kombinasi obat-obatan anestesi, adalah pengaruhnya terhadap
TIK. Karena semua obat yang menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin
berakibat peninggian TIK,pemakaiannya sedapat mungkin harus dicegah. Satu
yang terburuk dalam hal ini adalah ketamin, yang merupakan vasodilator kuat
dan karenanya secara umum dicegah penggunaannya pada pasien cedera kepala.
Semua obat anestesi inhalasi dapat meninggikan aliran darah serebral secara
ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti halotan. enfluran dan isofluran,
semua meninggikan aliran darah serebral, namun mereka mungkin aman pada
konsentrasi rendah. Isofluran paling sedikit kemungkinannya menyebabkan
vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek vasodilatasi ringan yang mungkin
secara klinik tidak bermakna, dan karenanya dipertimbangkan sebagai obat yang
baik untuk digunakan pada pasien cedera kepala.

Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksida (50-70 % dengan


oksigen), relaksan otot intravena, dan tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan
mannitol sebelum dan selama induksi dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan
membatasi hipertensi intrakranial pada batas tertentu saat kranium mulai dibuka.
Bila selama operasi pembengkakan otak maligna terjadi, yang refraktori
terhadap hiperventilasi dan mannitol, tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-
10 mg/kg) harus digunakan. Obat ini dapat menyebabkan hipotensi, terutama
pada pasien hipovolemik, karenanya harus digunakan hati-hati. Sebagai pilihan
terakhir, penggunaan hipotensi terkontrol, dengan trimetafan (Arfonad) atau
nitroprussida (Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan, penting

37
untuk memastikan penyebab pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat
kompresi leher dan adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral
dari sisi kraniotomi.

Anestesi intravena yang dipilih karena Propofol lebih cepat dan sempurna
mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan
secara cepat. Selain sepat mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala
sisa yang minimal pada SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila obat
disuntikan pada pembuluh darah vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi
dengan pemilihan tempat masuk obat di daerah vena yang lebih besar dan
penggunaan lidokain 1%.2
3. Ny. M masuk perawatan di ruang ICU
Status ICU

JAM 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00


Kesadaran CM CM CM CM CM CM CM
Pupil Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor
Reflex Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif
pupil
SPO2 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
RR 18 16 19 20 17 17 18
TD 100/58 110/66 110/70 100/60 110/75 100/60 100/65
N 58 56 58 57 54 56 58
EKG SB SB SB SB SB SB SB
Pernafasan BC BC BC BC BC BC BC

Enteral -
Parenteral 90 90 90 90 90 90 90
Intake 90/90 90/180 90/270 90/360 90/450 90/540 90/630
Urin - - 200 100 100 100 100
NGT
BAB
DRAIN
IWL 25 25 25 25 25 25 25
Output 25/25 25/50 225/275 125/400 125/525 125/650 125/77
5
Balance +65 +130 -5 -40 -75 -110 -145
Lab

Hb 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7

38
Leukosit 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43
Trombosit 186 186 186 186 186 186 186
RBC 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88
HCT 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7

JAM 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 01.00 02.00


Kesadaran CM CM CM CM CM CM CM
Pupil Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor
Reflex Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif
pupil
SPO2 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%
RR 20 17 17 18 20 19 22
TD 100/55 110/60 114/60 105/50 110/75 112/55 108/60
N 58 57 54 56 56 58 55
EKG SB SB SB SB SB SB SB
Pernafasan BC BC BC BC BC BC BC

Enteral -
Parenteral 90 90 90 90 90 90 90
Intake 90/720 90/810 90/900 90/990 90/1080 90/1170 90/126
0
Urin 50 50 30 30 30 30 20
NGT
BAB
DRAIN 100
IWL 25 25 25 25 25 25 25
Output 175/950 75/1025 55/1135 55/1190 55/1245 55/1290 55/134
5
Balance -230 -215 -180 -145 -110 -75 -30
Lab

Hb 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7


Leukosit 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43
Trombosit 186 186 186 186 186 186 186
RBC 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88
HCT 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7

JAM 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00

39
Kesadaran CM CM CM CM CM CM
Pupil Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor Isokor
Reflex Positif Positif Positif Positif Positif Positif
pupil
SPO2 100% 100% 100% 100% 100% 100%
RR 22 19 20 20 18 17
TD 117/54 110/62 108/55 110/60 105/55 112/60
N 58 57 54 56 58 56
EKG SB SB SB SB SB SB
Pernafasan BC BC BC BC BC BC

Enteral -
Parenteral 90 90 90 90 90 90
Intake 90/1350 90/1440 90/1530 90/1620 90/1710 90/90
Urin 30 20 20 20 20 50
NGT
BAB
DRAIN
IWL 25 25 25 25 25 26
Output 55/1345 45/1390 45/1435 45/1480 45/1525 76/76
Balance +50 +95 +95 +140 +185 +14
Lab

Hb 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7 11.7


Leukosit 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43 9.43
Trombosit 186 186 186 186 186 186
RBC 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88 3,88
HCT 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7 31,7

Nadi < 60x/menit bradikardi


Kebutuhan cairan rumatan 4cc/kgbb/jam untuk 10 kg pertama
2cc/kgbb/jam untuk 10 kg kedua
1cc/kgbb/jam untuk BB berikutnya
(4x10)+(2x10)+(1x20)=80cc/jam
Intake parenteral berasal dari RL+Ketorolac 30 mg 30gtt/menit = 1,5cc/menit=
90cc/jam
Urin 0,5-1,0cc/kgbb/jam BB=40 kg 20cc/jam-40cc/jam
IWL 15cckgbb/hari 600cc/24 jam = 25cc/jam
Balance = output-input

40
Perawatan ICU
Prioritas II
Pasien golongan ini pada saat masuk tidak dalam keadaan kritis tetapi kondisi
klinisnya membutuhkan pemantauan intensif baik secara invansif maupun non
invasif atau keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan ancaman gangguan pada
sistem organ vital. Pada pasien seperti ini terapi juga tidak dibatasi. Misalnya :
Pasca bedah ekstensif

Pasca henti jantung dalam keadaan stabil.

Pasca bedah jantung dan pasca bedah dengan penyakit jantung.

Pasien mengalami sinus bradikardi pasca operasi kraniotomi dengan


general anestesi hal ini dapat disebabkan dan dipicu oleh anestesi intravena,
Propofol. Sesuai dengan teori bahwa Walaupun propofol diterima sebagai anestesi
prosedur bedah yang singkat, tetapi propofol lebih sering digunakan pada operasi
yang lama ( < 2 jam) dipertanyakan mengingat harga dan efek yang sedikit
berbeda pada waktu kembalinya kesadaran dibandingkan standar teknik anestesi
inhalasi. Anestesi umum dengan propofol dihubungkan dengan efek yang minimal
pada rasa mual dan muntah post operasi, pengembalian kesadaran. Propofol juga
memiliki efek antikonvulsan, dan amnestik Setelah pembedahan jantung, sedasi
propofol mengatur respon hemodinamik post operasi dengan menurunkan insiden
dan derajat takikardia dan hipertensi. Asidosis metabolik, lipidemia, bradikardia,
dan kegagalan myokardial yang progresif. Ditemukan bradikardia dan asistol
setelah pemberian propofol telah pada pasien dewasa sehat sebagai propilaksis
antikolinergik. Risiko bradycardia-related death selama anestesia propofol
sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal ditemukan pada
pemberian sedasi propofol yang lama.

41
BAB VI
KESIMPULAN

Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergensi


dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang
lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Untuk mengurangi angka
mortalitas pada pasien dengan epidural hematom makan terapi yang menjadi
pilihan adalah kraniotomi. Dengan tujuan untuk life saving dan untuk fungsional
saving. Tindakan kraniotomi dengan general anestesi.
Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-
obatan anestesi, adalah pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang
menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian
TIK,pemakaiannya sedapat mungkin harus dicegah. Satu yang terburuk dalam hal
ini adalah ketamin, yang merupakan vasodilator kuat dan karenanya secara umum
dicegah penggunaannya pada pasien cedera kepala
Maka dari itu penting untuk memantau dan monitoring pasien post
kraniotomi di Intensive Care Unit(ICU). Mengingat bahwa pasien yang
membutuhkan perawatan intensif sering memerlukan support terhadap instabilitas
hemodinamik (hipotensi), airway atau respiratory compromise dan atau gagal
ginjal, kadang ketiga-tiganya. Perawatan intensif biasanya hanya disediakan untuk
pasien-pasien dengan kondisi yang potensial reversibel atau mereka yang
memiliki peluang baik untuk bertahan hidup

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de Jong. Buku-Ajar Ilmu Bedah Edisi ke 2. Jakarta : EGC. 2003

2. Steven, Parks N. Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. Jakarta:
Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI). 2004

3. Soenarto, R.F. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestesiologi dan


Intensive Care FKUI. Jakarta . 2004

4. Latief, S.A. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi


Intensife FKUI. Jakarta. 2002

5. Mangku, Gde. Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Obat-obat


anestetika. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta.
2010

6. Dachlan R. Farmakologi obat-obat anestesia. Dalam Anestesiologi FKUI.


Editor: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dachlan R. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989

7. Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. Basic principles of
clinical pharmacology. Dalam Clinical Anesthesia 5th edition. Lippincott
Williams & Wilkins. 2006

8. Santoso S, Hadi RD. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas


Kedokteran Indonesia. Jakarta. 1995

9. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 10th edition. Singapore :


Mc Graw Hill Lange. 2007

10. Latief, Said A.; Suryadi, Kartini A,; Dachlan, M. Ruswan. Petunjuk Praktis
Anestesiologi Edisi 3. Jakarta : Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007

11. Kementrian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Pelayanan Intensive Care Unit
(ICU) di Rumah Sakit. Jakarta. 2011

43
12. Karo, Santoso.dkk. (2009) Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung
Lanjut ACLS (Advanced Cardiac Life Support) Indonesia. Jakarta:PERKI-
2008

13. Pedoman American Heart Assosiation 2015 untuk CPR dan ECC.2015

14. Dharma, Surya. Sistematika Interpretasi EKG: Pedoman Praktis. Jakarta:


EGC.2009

15. Guyton AC, Hall JE. Potensial Membran dan Potensial Aksi. In: Rachman LY,
Hartanto H, Novrianti A, Wulandari N, Editors Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran (Text Book Of Medical Fisiology) Edisi 11. ECG 2007.

44

Anda mungkin juga menyukai