Anda di halaman 1dari 10

PENATALAKSANAAN WEILS DISEASE

DI INTENSIVE CARE UNIT


Reza W. Sudjud, Indriasari, Tias D. Setiari
Departemen Anestesiologi dan terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Leptospira merupakan penyakit zoonosis infeksi bakteri dimana hewan pengerat dan hewan
ternak sebagai reservoir. Bentuk berat (Weils disease) disebabkan oleh Leptospira yang
berpotensi fatal yang meliputi gagal hati, gagal ginjal dan pneumonitis hemoragik. Gejala awal
leptospira seperti mialgia, pusing, konjungtivitis dan demam mungkin tidak didapatkan.
Anamnesa yang teliti berupa kontak dengan pengerat atau tinja dan atau hewan ternak
sebaiknya di pertimbangkan untuk mengidentifikasi pasien dengan resiko tinggi leptospirosis.
Pasien dengan perdarahan paru dan gagal ginjal harusnya diskrining untuk leptospirosis. Gagal
ginjal dapat timbul beberapa minggu setelah terpapar. Dilaporkan sebuan kasus dengan Weils
disease yang pada awalnya sulit untuk didiagnosa.

Kata Kunci: Leptospirosis, Penyakit Weil

MANAGEMENT WEILS DISEASE


IN INTENSIVE CARE UNIT
Abstract

Leptospirosis is a zoonotic bacterial infection with a reservoir in rodents and farm animals. The
severe form (Weils disease) caused by Leptospira is potentially fatal and includes liver failure,
renal failure and haemorrhagic pneumonitis. Typical early symptoms of leptospirosis such as
myalgia, headache, conjunctivitis and fever may be absent. Careful history-taking for contact
with rodents or their excrement and/or farm animals should be performed to identify patients
at risk for leptospirosis. Patients with pulmonary haemorrhage and kidney failure should be
screened for leptospirosis. Liver failure may be attenuated or delayed by weeks. We describe
a case which proved difficult to diagnose.

Keywords: Leptospirosis, Weils disease

1
2

Pendahuluan

Leptospirosis merupakan suatu penyakit spirocheta yang ditularkan melalui air yang

umum terjadi pada iklim tropis. Tikus dan hewan liar merupakan reservoir yang utama.

Infeksi pada manusia terjadi akibat kontak dengan urin, jaringan hewan terinfeksi, atau

air dan tanah yang terkontaminasi. Leptospirosis sistemik terjadi apabila infeksi yang

terjadi mengenai banyak organ. Manifestasi klinis dapat beragam mulai dari occult

infection (tersembunyi) hingga komplikasi yang fatal seperti kegagalan hepatorenal.

Diagnosis dini penting untuk mencegah terjadinya kasus berat.1,2

Patogenesis leptospirosis belum dapat dipahami sepenuhnya, diperkirakan bahwa

tampilan klinisnya disebabkan oleh toksin bakteri atau faktor-faktor virulensi kuman.

Bentuk non-ikterik leptospirosis merupakan bentuk yang paling sering dijumpai,

tampilan klinisnya hanya berupa penyakit demam akut atau menyerupai influenza.

Icterohaemorrhagic leptospirosis atau Weils Syndrome merupakan manifestasi klinis

terberat yang mirip dengan sepsis bakterialis dan disertai keterlibatan banyak organ

seperti ginjal dan paru-paru, sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Kematian yang terjadi sering diakibatkan oleh kegagalan banyak organ dan perdarahan

paru-paru. Diagnosis ditegakkan dari tes serologi, atau kultur darah, cairan

serebrospinal, dan urine pada media spesifik. Pengobatan dilakukan dengan kombinasi

antibiotik dan penunjang lainnya.3,4

Diagnosis klinis leptospirosis dapat menjadi sulit akibat keragaman tampilan klinis

yang kompleks dan tidak terjalin proses anamnesa yang baik. Sebuah laporan kasus

mengenai seorang laki-laki berusia 52 tahun yang dibawa ke rumah sakit karena sesak
3

napas, ikterus berat dan demam disertai perubahan status mental, gagal ginjal, sehingga

harus dibawa ke unit perawatan intensif (ICU). Diagnosis dikonfirmasi dengan tes

deteksi antibodi IgM. Pendekatan terapi dilakukan dengan pemilihan antibiotik. 5

Laporan kasus

Seorang laki-laki usia 52 tahun datang ke rumah sakit dengan diagnosa syok sepsis

dengan gagal organ multipel (Acute Kidney Injury (AKI) stage III, Disseminated

Intravascular Coagulation (DIC), liver involvement) et causa Comminuted Acquired

Pneumonia (CAP) dengan diagnosa banding pneumonia bakteri; infection virus;

dengue shock syndrome (DSS) dan stress ulcer. Pasien datang ke rumah sakit dengan

keluhan sesak napas, demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS), sering

mengantuk, pasien memiliki riwayat badan berwarna kuning sejak 3 hari SMRS.

Bercak kemerahan pada badan baru disadari ketika pasien berada di RS, juga

didapatkan riwayat batuk berdarah dan keluar cairan kehitaman dari lambung. Pasien

merupakan pekerja buruh di pasar.

Pemeriksaan fisik di ICU didapatkan kesadaran sopor, tekanan darah 110/58

mmHg laju nadi 100 x/menit dengan norepinefrin 0,1 mcg/kg/menit, dengan respirasi

20 x/menit dan saturasi 100% terhubung dengan ventilator SIMV14 PS 10 PEEP 6

FiO2 60% suhu 38,2 oc. Kedua lapang paru didapatkan adanya ronki namun tidak

terdapat mengi. Pasien dalam kondisi anuria dan dari selang nasogastric keluar cairan

kehitaman.
4

Pemeriksaan laboratorium menunjukan adanya anemia (Hb 8), leukositosis

(17.500), trombositopenia (37.000), peningkatan dari nilai bilirubin (total 11,95; direct

10,55), faal hati (OT 339, PT 99), fosfatase (126), gamma GT (233), alfa amilase (560),

lipase (203,2), dengan imbalance elektrolit (K 7,1; Na 126; Cl 95; Ca 4,31; Mg 3,35).

Dari pemeriksaan foto thorax didapatkan adanya bronkopneumonia bilateral.

Pasien sebelumnya dirawat di ruang resusitasi selama 2 hari dan dilakukan

intubasi. Selama di ruang resusitasi pasien mendapatkan terapi berupa Cefotaxim

3x1gr, azitromisin 1 x 500 mg, trombosit 6 unit dan dilakukan pemasangan kateter vena

sentral. Pemeriksaan kultur dan resistensi pada darah dan sputum juga dilakukan.

Pasien dipindahkan ke ICU pada hari ke 3 perawatan. Hasil pemeriksaan kultur

sebelumnya keluar sekitar 4 hari setelah pengambilan sampel dan tidak didapatkan

adanya pertumbuhan bakteri pada darah dan sputum. Pasien masih didiagnosa dengan

syok septik dengan gagal organ multipel pada hari keempat. Pada awal perawatan di

ICU pasien diberikan antibiotik spectrum luas berupa meropenem, dilakukan koreksi

untuk imbalance elektrolit, pemberian lasix bahkan dilakukan dialisis oleh karena

pasien masih dalam kondisi anuria, hiperkalemia dan didapatkannya peningkatan nilai

dari ureum dan kreatinin.

Kondisi pasien tak kunjung menunjukan adanya perbaikan. Gejala berupa anuria,

ikterik, gambaran pneumonia, adanya tanda-tanda perdarahan dan riwayat bekerja

sebagai buruh di pasar, mengarahkan adanya infeksi yang disebabkan oleh Leptospira,

kemudian dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan terhadap antigen antibodi


5

leptospira. Hasil pemeriksaan IgM leptospira ditemukan positif dan akhirnya diagnosa

pasien berubah menjadi Weils Disease.

Kondisi klinis pasien dari hari pertama hingga ketujuh di ICU tampak sakit berat

dengan kesadaran sopor, mendapatkan support berupa noradrenalin hingga hari

perawatan ke 6. Hari ke-8 perawatan, terjadi peningkatan dari tekanan darah pasien dan

cenderung ke arah hipertensi, sehingga penggunaan noradrenalin dihentikan, bahkan

diberikan perdipin untuk membantu menurunkan tekanan darah. Pasien ini memang

memiliki riwayat hipertensi yang tidak pernah diterapi sebelumnya. Hari ke-9

perawatan, kesadaran mulai meningkat dari sopor menjadi somnolen dan hari ke-10

kesadaran makin meningkat menjadi komposmentis.

Klinis pasien menunjukan perbaikan yang signifikan, namun masih terdapat

kesulitan dalam menyapih penggunaan ventilasi mekanis. Kedua lapang paru

didapatkan suara tambahan berupa ronki. Hasil kultur dan resistensi didapatkan adanya

bakteri berupa Acinetobacter baumanii dari kultur sputum yang sensitif terhadap

amikasin dan tigesiklin. Hasil foto rontgen juga tidak menunjukan adanya perbaikan.

Penilaian terhadap pneumonia dilakukan dengan nilai Clinical Pulmonary Infection

score (CPIS) untuk Ventilator Acquired Pneumonia (VAP) sebesar 8. Diagnosa

kemudian ditambahkan menjadi Weils disease yang diperberat VAP. Pasien diberikan

antibiotik berupa tigesiklin, kemudian berganti menjadi amikasin mengikuti hasil

biakan kultur.

Selama perawatan di ICU, dilakukan pemberian diuretika dan dilakukan 4x dialisis

untuk mengatasi anuria akibat AKI. Pasien memberikan respons yang baik, urin pasien
6

berangsur-angsur kembali normal. Pemeriksaan klinis dan penunjang lainnya pun

menunjukan respons yang baik terhadap pengobatan. Hari ke-23 perawatan pasien

menunjukan perbaikan yang signifikan, tidak ditemukan adanya tanda-tanda distress

pernapasan, dilakukan ekstubasi dan diobservasi. Pada hari ke-25 perawatan pasien

dipindahkan ke ruang rawat biasa.

Pembahasan

Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat ditemukan di seluruh dunia,

disebabkan oleh genus Leptospira yang patogen. Namun, adanya gejala dan tanda

leptospirosis yang tidak khas seperti demam, nyeri kepala, mual, dan muntah sering

dianggap sebagai penyakit infeksi virus. Gejala klinis yang tidak khas dan konfirmasi

laboratorium yang jarang dilakukan,menyebbkan terjadinya kesulitan dalam

penegakan diagnosa Leptospirosis. Sembilan puluh persen kasus leptospirosis

bermanifestasi sebagai penyakit demam akut dan mempunyai prognosis baik,

sedangkan 10% kasus lainnya mempunyai gambaran klinis lebih berat sehingga

menyebabkan kematian pada 10% kasus. Manifestasi leptospira yang berat dan

seringkali fatal dikenal sebagai penyakit Weil atau leptospirosis ikterik, dengan

gambaran klasik berupa demam, ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan.4,6

Leptospira ditularkan melalui urin yang terinfeksi, melalui invasi mukosa atau

kulit yang tidak utuh. Infeksi dapat terjadi dengan kontak langsung atau melalui kontak

dengan air atau tanah yang tercemar. Pada keadaan ideal, leptospira dapat bertahan

selama 16 hari di air dan 24 hari di tanah. Petani, pegawai kebersihan (pembuang
7

sampah), pemelihara binatang, orang yang berolahraga air, dan nelayan merupakan

kelompok risiko tinggi terkena leptospirosis.4,7

Gejala khas penyakitnya adalah flu-like syndrome akut yang membaik dalam 2

minggu. Fase imunologisnya sering nampak sebagai meningitis aseptik. Fase

imunologis lanjut yang parah (sindrom Weil) dapat menyebabkan ikterus, gagal ginjal,

adult respiratory distress syndrome, koagulasi intravaskular diseminata, dan kematian.

Pemberian antibiotik dapat dimulai sebelum hari keempat sakit dengan deteksi

laboratorium. Kejadian leptospirosis di Amerika Serikat belakangan ini meningkat

sehingga dibutuhkan diagnosis serta terapi yang cepat dan akurat untuk mencegah

komplikasi yang mengancam jiwa.5,8,9

Awal masuk ke rumah sakit pasien di diagnosa dengan syok septik dengan gagal

organ multipel (AKI st III, DIC, liver involvement) et causa CAP dengan diagnosa

banding pneumonia bakteri; infeksi virus; DSS dan stress ulcer karena pada pasien ini

menunjukan gejala berupa sesak napas demam sejak 5 hari sebelum MRS, pasien

memiliki riwayat badan berwarna kuning, Bercak kemerahan pada badan baru disadari

ketika pasien berada di RS, juga terdapat riwayat batuk berdarah dan keluar cairan

hitam dari lambung.

Pasien didiagnosa sebagai DSS karena didapatkan adanya demam, tanda-tanda

perdarahan (peteki, batuk brdarah), tanda-tanda syok, anuria, pneumonia,

trombositopenia. Diagnosa ini akhirnya dapat disingkirkan pada hari perawatan ke-4

di ICU. Pasien dicurigai sebagai Weils disease karena memiliki riwayat pekerjaan

sebagai buruh pasar, terdapatnya gejala berupa adanya ikterus, anuria serta perdarahan
8

pada paru yang merupakan tanda-tanda yang mengarah pada Weils disease. Kemudian

dilakukan pemeriksaan terhadap antibodi leptospira dan didapatkan hasil yang positif.

Pada pasien ini juga didiagnosa dengan DIC, namun diagnosa tersebut tidak dpt

ditegakan karena pada awal masuk nilai DIC <5, dan tidak dilakukan pemeriksaan

fibrinogen dan d-dimer.

Kasus yang jarang menyebabkan leptospirosis menjadi underdiagnosis atau

overdiagnosis. Ketika awal masuk pasien tidak dipikirkan bahwa pasien terinfeksi

leptospira, dan dipertimbangkan dengan multidiagnosa dimana sebenarnya semua

gejala yang dimiliki oleh pasien adalah bentuk berat dari leptospirosis yang merupakan

satu kesatuan diagnosa, yaitu Weils Disease.

Awalnya pasien diterapi dengan cefotaxim dan azitromisin karena awal didiagnosa

dengan infeksi bakteri. Ketika di ICU, antibiotik diganti dengan meronem sambil

menunggu hasil kultur keluar. Pada hari ke-7 perawatan pasien menunjukan adanya

perbaikan. Respons klinis terhadap pengobatan baik, berupa peningkatan kesadaran

dari sopor hingga composmentis, leukosit turun, demam turun, trombosit naik, urine

keluar tanpa lasix, nilai dari fungsi ginjal dan hepar membaik. Namun pada pasien ini

fungsi paru pasien tidak menunjukan adanya perbaikan, sehingga sulit untuk dilakukan

penyapihan dari ventilasi mekanis. Ketika dilakukan pemeriksaan terhadap kultur

sputum ternyata didapatkan adanya biakan dari Acinetobacter baumanii dan sensitif

terhadap amikasin dan tigesiklin. Pemberian antibiotik kemudian dilakukan sesuai

dengan kultur biakan dan resistensi. Pasien memberikan respons yang sangat baik
9

terhadap pengobatan. Pada hari ke 23 perawatan di ICU pasien diekstubasi dan 2 hari

setelahnya pasien dipindahkan ke ruang rawat biasa.

Jarangnya kasus dari leptospirosis bukan berarti tidak menjadi pertimbangan utk

melakukan pemeriksaan terhadap antibodi leptospira. Perlunya anamnesa dan

pemeriksaan fisik yang seksama untuk mendapatkan diagnosa yg tepat dan penanganan

yang sesuai berdampak terhadap hasil luaran dari pasien. Diagnosis dini sangat penting

dalam pemberian antibiotik yang sesuai, sehingga dapat meminimalkan terjadinya

komplikasi. Pasien dengan tanda-tanda perdarahan paru, gagal ginjal dapat diwasadai

sebagai resiko leptospirosis. Gagal hati juga dapat terjadi beberapa minggu setelah

terpapar leptospira. Mortalitas tetap tinggi walaupun dengan perawatan ICU dan akan

meningkat apabila perawatan kurang memadai. 10

Simpulan

Keterlambatan mendiagnosa leptospira berhubungan dengan gejala klinis yang

awalnya tidak terlalu mencolok. Kasus yang jarang menyebabkan perhatian terhadap

penyakit ini menjadi berkurang. Penyakit weil atau bentuk berat dari leptospira

sebaiknya dicurigai apabila pasien memiliki riwayat bekerja yang kontak dengan

binatang, buruh pasar (resiko tinggi), gejala flu-like ilness, batuk berdarah serta gagal

ginjal, sehingga apabila sudah terdiagnosa, penanganan yang tepat dan pemberian

antibiotik yang sesuai dapat diberikan kepada pasien.


10

Daftar Pustaka

1. Rathinam SR, Namperumalsamy P. Ocular Manifestation of Leptospirosis.


Journal of Postgraduated Medicine. 2005;7(2):10918.
2. Lomar AV, Diament D, Torres JR. Leptospirosis in Latin America. Infect Dis
Clin North Am. 2000;14(1):239.
3. Setiadi B, Setiawan A, Effendi D, Hadinegoro SRS. Leptospirosis. Sari
Pediatri. 2001;3(3):1637.
4. Vivani M, Berlot G, Poldini F, Silvestri L, Sabadini D, Dezzoni R.
Leptospirosis Description of a clinical case and review of the literature.
Minnerva Anstesiology. 1998;64(10):4659.
5. Visweswaran RK, Sreelatha M. Leptospirosis: A case of "overdiagnosis" and
"underdiagnosis". Jams. 2012; 2(1):389.
6. Leptospirosis: an underrecognized and underdiagnosed disease. Oever JT,
Pickkers P. Neth J Crit Care. 2012;16:3.
7. Togal T, Sener A, Yucel N, et al. Intensive Care of a Weils Disease With
Multiorgan Failure. JCMR. 2010;2(3):1459.
8. Weils Disease (Fulminating Leptospirosis) Complicating as Acute Respiratory
Distress Syndrome. Fulara SN, Fulara NY. OJCD. 2016;6:1924.
9. Esteghamati VZ, Allameh SF, Peiman S. Leptospirosis as a Zoonotic Infection.
CRCP. 2016;1(1):257.
10. Toyokawa T, Ohnishi M, Koizumi N. Diagnosis of acute leptospirosis. Expert
Rev Anti Infect Ther. 2011;9(1):111-21.

Anda mungkin juga menyukai