Anda di halaman 1dari 59

JAI

Volume II Nomor 02, Juli 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi (IDSAI) Jawa Tengah

JAI
Jurnal Anestesiologi Indonesia Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP Ketua Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Indonesia (IDSAI) Cabang Jawa Tengah Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, Msi. Med dr. Danu Soesilowati, SpAn dr. Hari Hendriarto, SpAn, Msi. Med Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO Dr.dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA Seksi Usaha: dr. Mochamat Administrasi: Maryani, Kamtini, Nik Sumarni Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326) Alamat Redaksi: Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.

Sejawat terhormat, Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) edisi ini memuat artikel penelitian klinik dan preklinik. Diantaranya adalah mengenai pengaruh injeksi levobupivakain pada IL-10 pada luka insisi, Pengaruh Infiltrasi Levobupivakain pada Skor Histologis MHC Kelas 1, dan Perbedaan Agregasi Trombosit pada pemberian Propofol dan Penthotal Dua tinjauan pustaka, mengenai Pengelolaan Cairan Pediatrik dan Penggunaan Sedasi dan Pelumpuh Otot di ICU diharapkan menambah wawasan kita dalam bidang anestesi dan terapi intensif. Semoga bermanfaat.

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Apabila akan menggunakannya sebagai acuan, hendaknya mencantumkan artikel tersebut sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

DAFTAR ISI
PENELITIAN Mochamad Rofii, Hariyo Satoto, Mohamad Sofyan Harahap Perbandingan Kadar IL-10 Serum dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Nyeri Pasca Insisi Infiltrasi Levobupivakain 0,25 % disekitar luka insisi meningkatkan kadar IL-10 serum. Kenaikan kadar IL-10 serum tertinggi adalah pada kelompok infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % yang terjadi pada hari kedua yaitu sebesar 130 %. Aria Dian Primatika, Uripno Budiono, Ery Leksana Pengaruh Infiltrasi Levobupivakain pada Skor Histologis MHC Kelas 1 pada Penyembuhan Luka Ekspresi MHC kelas I (skor histologi MHC I) pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Arliansah, Widya Istanto, Hariyo Satoto Perbedaan Agregasi Trombosit pada Penderita yang Mendapat Propofol dan Penthotal Propofol secara bermakna menurunkan agregasi maksimal trombosit dan menyebabkan hipoagregasi lebih banyak daripada penthotal. TINJAUAN PUSTAKA Aditya Kisara, Hariyo Satoto, Johan Arifin Pengelolaan Cairan Pediatrik Pemberian cairan pada anak berbeda dengan pemberian cairan pada dewasa. Untuk memudahkan menghitug jumlah kebutuhan cairan rumatan pada anak dapat digunakan rumus dari Holliday dan Segar. Pada anak yang akan mejalani operasi, perlu diberikan cairan pengganti puasa dan cairan yang hilang selama operasi Tatag Istanto, Jati Listiyanto, Danu Soesilowati Penggunaan Sedasi dan Pelumpuh Otot di Unit Rawat Intensif Sedasi sebaiknya diberikan pada pasien dengan penyakit kritis yang dirawat di ICU, dan pelumpuh otot jarang digunakan di ICU karena biasanya sedasi saja sudah mencukupi untuk menenangkan pasien dan memberikan kenyamanan pasien dengan ventilasi mekanik. Penggunaan sedasi yang terlalu berlebihan atau telalu sedikit meningkatkan angka morbiditas pasien. Penggunaan pelumpuh otot dalam waktu lama memiliki banyak kerugian yang harus dipertimbangkan. Hal 70

81

91

107

116

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Perbandingan Kadar IL-10 Serum dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Nyeri Pasca Insisi
Mochamad Rofii*, Hariyo Satoto*, Mohamad Sofyan Harahap*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSDK, Semarang

ABSTRACT Background : Incicion pain provokes the increase of glucocorticoid hormone that extends periode of the wound healing. Pain transmission will be inhibited by Levobupivacaine 0,25 % infiltration. This therapy will decrease the cellular immunity suppression so the macrophage function in helping the T cell activation are not inhibited. This cell activation will increase the IL-10 serum level. Objective : To compare IL-10 serum level with and without Levobupivacaine 0,25 % infiltration post incicion. Methods : This laboratoric experimental study was designed with randomized post test only control group method on thirty five Wistar rats. The experimental group was devided randomly into three groups. The control group (K) contained 5 Wistar rats, group P1 and P2 contained 15 Wistar rats of each. In the group K, the rats were anesthesized without incicion and without Levobupivacaine 0,25 % infiltration, the IL-10 serum level was examined on the day one. In the group P1, the rats were anesthesized followed with 2 cm subcutaneous depth incicion and without Levobupivacaine 0,25 % injection. And in the group P2 , the rats were anesthesized followed by 2 cm subcutaneous depth incicion and Levobupivacaine 0.25 % infiltration was administered. The reinfiltration on the group P1 and P2 was administered every 8 hour twice daily. IL- 10 serum level was examined on the day 1, 2 and 3. And then compared among three group.The statistic datas were analysed with SPSS 10,0 for windows programme. Results : The mean of rats body weight among three groups were not significantly different ( p = 0,874 ). IL-10 serum level in the group K was 0,13 0,02 pg/ml. The level of IL-10 serum in the group P1 on day one was 0,16 0,12 pg/ml ; day two was 0,16 0,06 pg/ml and day three was 0,18 0,07 pg/ml. There were 23 % increased of IL-10 serum level on the day one and day two, 38 % on the day three in the group P1. The IL-10 serum level in group P2 on day one, two and three were 0,21 0,15 pg/ml ; 0,30 0,11 pg/ml ; 0,29 0,13 pg/ml respectively. And in the group P2 there were 61 % increased of IL-10 serum level on the day one, 130 % on the day two and 123 % on the day three respectively. IL-10 serum level among three groups were significantly different with p = 0,000. The clinical parameter datas in the three groups were normaly distributed. The increase of IL-10 serum level was highest in group with Levobupivacaine 0,25 % infiltration on day two ( p < 0,05 was considered significant ).

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

70

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Conclusions : Infiltration of Levobupivacaine 0,25 % is increased IL-10 serum level. There are 23 % increased of IL-10 serum level on the day one and day two, 38 % on the day three in the group P1. And in the group P2 there are 61 % increased of IL-10 serum level on the day one, 130 % on the day two and 123 % on the day three respectively. The highest IL-10 serum level is 130 % that achieve in group with Levobupivacaine 0,25 % infiltration on day two. Keywords : IL-10 serum level, Levobupivacaine 0,25 % infiltration, incision pain.

ABSTRAK Latar belakang : Nyeri insisi menyebabkan peningkatan hormon glukokortikoid yang memperlama penyembuhan luka. Transmisi nyeri dapat dihambat dengan infiltrasi Levobupivakain 0,25 %. Terapi ini akan mengurangi supresi imunitas seluler sehingga fungsi makrofag dalam membantu aktifasi sel T tidak terhambat. Aktifasi sel T ini diduga akan meningkatkan kadar IL-10 serum. Tujuan : Membandingkan kadar IL-10 serum dengan dan tanpa infiltrasi Levobupivakain 0,25 %. Metode : Dilakukan penelitian eksperimental laboratorik dengan disain Randomized Post test only control group design, pada tigapuluh lima ekor tikus Wistar. Kelompok penelitian dibagi menjadi tiga kelompok secara acak. Kelompok kontrol (K) lima ekor tikus, kelompok Perlakuan 1 (P1) dan kelompok Perlakuan 2 (P2) masing-masing limabelas ekor tikus. Kelompok kontrol (K) tikus dibius, tanpa insisi dan tanpa infiltrasi lalu diperiksa kadar IL-10 serumnya pada hari pertama. Kelompok Perlakuan 1 (P1) tikus dibius lalu dilakukan insisi sepanjang 2 cm dipunggung kedalaman subkutis dan injeksi tanpa Levobupivakain 0,25 % disekitar luka. Kelompok Perlakuan 2 (P2) tikus dibius laku dilakukan insisi sepanjang 2 cm dipunggung kedalaman subkutis dan infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % disekitar luka. Injeksi pada kelompok P1 dan infiltrasi pada kelompok P2 diulangi dua kali tiap 8 jam selama 24 jam. Kadar IL-10 serum kelompok P1 dan kelompok P2 diperiksa pada hari ke pertama, kedua dan ketiga. Dibandingkan kadar IL-10 serum antara ketiga kelompok. Analisis statistik dengan program SPSS 10,0 for windows. Hasil : Dari hasil pengamatan rerata berat badan tikus pada ketiga kelompok berbeda tidak bermakna dengan p = 0,874 ( p > 0,05 ). Kadar IL-10 serum pada kelompok K 0,13 0,02 pg/ml, sedangkan kelompok perlakuan 1 (P1) hari pertama 0,16 0,12 pg/ml ; hari kedua 0,16 0,06 pg/ml dan hari ketiga 0,18 0,07 pg/ml. Terjadi kenaikan sebesar 23 % pada hari pertama dan hari kedua serta 38 % pada hari ketiga pada kelompok perlakuan 1 (P1). Kadar IL-10 serum kelompok P2 pada hari pertama, kedua dan ketiga adalah 0,21 0,15 pg/ml : 0,30 0,11 pg/ml ; 0,29 0,13 pg/ml. Terjadi kenaikan sebesar 61 % pada hari pertama, 130 % pada hari kedua dan 123 % pada hari ketiga. Data parameter klinis ketiga kelompok terdistribusi normal ( p > 0,05 ). Kadar IL-10 serum pada ketiga kelompok berbeda bermakna dengan nilai p 0,000 (p < 0,05). Kenaikan kadar IL-10 serum tertinggi

71

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

adalah pada kelompok dengan infiltrasi Levobupivakain 0,25 % pada hari kedua yaitu sebesar 130 %. Kesimpulan : Infiltrasi Levobupivakain 0,25 % disekitar luka insisi meningkatkan kadar IL10 serum. Terjadi kenaikan sebesar 23 % pada hari pertama dan hari kedua serta 38 % pada hari ketiga pada kelompok perlakuan 1 (P1). Dan pada kelompok perlakuan 2 (P2) terjadi kenaikan sebesar 61 % pada hari pertama, 130 % pada hari kedua dan 123 % pada hari ketiga. Kenaikan kadar IL-10 serum tertinggi adalah pada kelompok infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % yang terjadi pada hari kedua yaitu sebesar 130 %. Kata kunci: Kadar IL-10 serum, infiltrasi levobupivakain 0,25 % , nyeri insisi

PENDAHULUAN Penyembuhan luka merupakan proses kompleks dan dinamis dari perbaikan struktur sel dan jaringan. Penyembuhan luka melibatkan berbagai proses dengan urutan : hemostasis, inflamasi akut, regenerasi sel parenkim, migrasi dan proliferasi sel parenkim, sintesis protein extra cellular matrixs (ECM), remodelling jaringan ikat dan komponen parenkim, kolagenasi dan akuisisi kekuatan luka. Pembagian secara garis besar penyembuhan luka meliputi fase inflamasi, fase proliferasi dan remodeling 1, 2, 3 . Terdapat faktor sistemik dan lokal yang mempengaruhi penyembuhan luka. Salah satu faktor sistemik yang berperan adalah hormon glukokortikoid (kortisol). Hormon ini mempunyai efek anti inflamasi, supresi netrofil, menghambat pembentukan fibroblas dan mengganggu sintesis kolagen 1. Elenkov dkk melaporkan bahwa glukokortikoid, katekolamin dan histamin akan menyebabkan supresi imunitas seluler dan imunitas humoral. Pembedahan menimbulkan respon stres berupa peningkatan sekresi hormon katabolik yaitu glukokortikoid, hipermetabolisme, aktifasi sistem otonom, peningkatan kerja

jantung, rasa nyeri, gangguan terhadap paru, saluran cerna, gangguan sistem koagulasi, fibrinolitik dan imunosupresi 4, 5 . Pedersen mengurangi respon stres pembedahan dengan teknik pembedahan non invasif, penggunaan analgetik opioid dan blok saraf. Cara ini mampu menurunkan katabolisme protein, gangguan paru, mengurangi pelepasan katekolamin, kortisol dan glukosa 5. Bardram melaporkan teknik laparoskopi, anestesi ekstradural, nutrisi dini, mobilisasi dini, dan analgetik yang adekuat terbukti mampu mengurangi respon stres 6. Terjadinya proses penyembuhan luka tidak terlepas dari peran faktor pertumbuhan dan sitokin, salah satunya yaitu interleukin 10 (IL-10) 1, 2 . IL-10 adalah salah satu sitokin anti inflamasi yang berfungsi menghambat produksi beberapa jenis sitokin lain (TNF, IL-1, chemokine, dan IL-12) selain itu juga menghambat fungsi makrofag dalam membantu aktifasi sel T. Hasil akhir dari aktifasi IL-10 adalah hambatan reaksi imun non spesifik maupun spesifik yang diperantarai oleh sel T. Sato Y dkk melapork an bahwa kadar IL-10 mencapai puncak 3jam setelah insisi kulit kemudian turun ke normal sampai 24
72

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

jam, dan meningkat lagi serta mencapai puncak kedua pada 72 jam 6, 7, 8. Infiltrasi Bupivakain 0,25 % dosis tunggal dapat mengurangi nyeri selama 24 jam pasca operasi sehingga akan menurunkan sekresi hormon glukokortikoid8. Penggunaan konsentrasi 0,25 % lebih efektif dibandingkan 0,5 % namun berbeda tidak bermakna dengan konsentrasi 0,125 % 9,10. Penggunaan infiltrasi Bupivakain pada dosis berulang dengan menyisipkan kateter subkutan pada ujung luka terbukti efektif mengurangi nyeri, tanpa komplikasi infeksi dan inflamasi lokal 10,11. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dirumuskan masalah, apakah infiltrasi Levobupivakain 0,25 % meningkatkan kadar IL-10 serum. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek infiltrasi Levobupivakain 0,25 % terhadap peningkatan kadar IL-10 serum. METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain Randomized Post test only control group design. Kelompok penelitian dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok kontrol (K) ada 5 ekor tikus, kelompok perlakuan 1 (P1) ada 15 tikus dibagi lagi menjadi 3 kelompok (masing-masing 5 ekor tikus tiap kelompok untuk pemeriksaan pada hari pertama sampai hari ketiga) dan kelompok perlakuan 2 (P2) ada 15 ekor tikus dibagi juga menjadi 3 kelompok (masing-masing 5 ekor tikus tiap

kelompok untuk pemeriksaan hari pertama sampai hari ketiga). Jumlah total tikus yang digunakan ada 35 ekor tikus. Penjelasannya adalah sebagai berikut : K (kelompok kontrol) ada 5 ekor tikus yang tidak dilakukan insisi dan tidak diinfiltrasi kemudian dibius dan diambil darahnya pada hari pertama. Setelah diambil darahnya tikus dibius lagi dengan ether sampai mati. P1 (kelompok perlakuan 1) ada 15 ekor yang terdiri dari 3 kelompok masingmasing kelompok 5 ekor untuk pemeriksaan pada hari pertama, kedua dan ketiga. Sebelum perlakuan tikus dibius dengan ether kemudian dilakukan insisi dipunggung sepanjang 2 cm kedalaman subkutis dan diinjeksi tanpa Levobupivakain 0,25 % disekitar luka. Dilakukan injeksi ulang 2 kali tanpa Levobupivakain 0,25 % setiap 8 jam selama sehari. Darah diambil pada hari pertama sampai hari ketiga. Setelah diambil darahnya tikus dibius lagi dengan ether sampai mati. P2 (kelompok perlakuan 2) ada 15 ekor tikus yang terdiri dari 3 kelompok masingmasing kelompok 5 ekor untuk pemeriksaan pada hari pertama, kedua dan ketiga. Sebelum perlakuan tikus dibius dengan ether kemudian yang dilakukan insisi dipunggung sepanjang 2 cm kedalaman subkutis dan diinfiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % disekitar luka. Dilakukan infiltrasi ulang 2 kali dengan Levobupivakain 0,25 % setiap 8 jam selama sehari. Darah diambil pada hari pertama sampai hari ketiga. Setelah tikus

73

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

diambil darahnya lalu dibius lagi dengan eter sampai mati Sampel penelitian adalah tikus betina jenis Wistar yang diperoleh dari Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Kriteria inklusi adalah tikus Wistar betina, keturunan murni, umur 2 - 2,5 bulan, berat badan 250-300 gram, tidak ada abnormalitas anatomis. Kriteria eksklusi adalah sakit (gerakan tidak aktif) selama masa adaptasi, mati selama masa adaptasi, sakit selama masa perlakuan, mati selama masa perlakuan. Besar sampel menurut rumus WHO tiap kelompok minimal 5 ekor tikus. Pada penelitian ini jumlah sampel yang digunakan adalah 35 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok 12. Randomisasi dilakukan dengan menggunakan tabel random menjadi tiga kelompok yaitu kelompok kontrol (K) 5 ekor, kelompok perlakuan 1 (P1) 15 ekor, kelompok perlakuan 2 (P2) 15 ekor. Penelitian dan pengumpulan data dilakukan selama 6 bulan. Perlakuan pada tikus, proses pengambilan darah/serum dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Dan untuk pembacaan hasil dilakukan di Laboratorium PAU (Pusat Antar Universitas) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Cara pemeriksaan kadar IL-10 serum, sebanyak 0,5 ml darah perifer diambil dari hewan percobaan, darah kemudian di centrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 1.500 rpm dalam suhu 4 derajad
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Celsius, serum diambil dan diencerkan dengan pengencer standart dengan perbandingan 1:100 (1 l serum + 99 l pengencer standar), serum diteteskan pada microtitre plate kemudian diinkubasi selama 15 menit, dicuci dengan buffer pencuci sebanyak 2 kali, Microtitre plate ditetesi 100 l reagen antibodi yang telah dibiotinilasi dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar (20-25 0C), dicuci dengan buffer pencuci sebanyak 2 kali, ditetesi dengan streptavidin-HRP dan didiamkan selama 30 menit, dicuci dengan buffer pencuci sebanyak 2 kali, ditambahkan substrat pre-mix TMB, ditetesi dengan 100 l stop solution, ditutup dengan plate covers dan dibaca dengan ELISA reader spectrophotometer yang diatur pada 450 nm. Pembacaan hasil dengan membandingkan densitas optikal antara kurva standar dengan sampel yang diperiksa, dibaca serapannya dan kadar IL-10 standarnya. Seperti terlihat pada gambar 1.

Gambar 1. Kurve Standart IL-10

74

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Setelah data terkumpul dilakukan data cleaning, coding dan tabulasi data. Data dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 10.0 for windows dan dinyatakan dalam rerata simpang baku (mean SD). Kemudian dilakukan uji normalitas dengan Shapiro-Wilk test untuk mengetahui sebaran data dan uji beda kadar IL-10 serum antar kelompok dengan menggunakan uji Kruskal Wallis. Dengan batas derajat kemaknaan p < 0.05 dengan interval kepercayaan 95 %. Penyajian data dalam bentuk tabel dan grafik. HASIL Penelitian ini menggunakan 35 ekor tikus Wistar betina, dari keturunan murni, berumur dua sampai dua setengah bulan dan berat badan 250-300 gram. Tabel 2 memperlihatkan berat badan tikus pada masing-masing kelompok.
Tabel 2. Hasil pengamatan rerata berat badan tikus

(P1) 255,4 gram dan kelompok perlakuan 2 (P2) 257,0 gram. Ada 3 kelompok dalam penelitian ini yaitu kelompok K terdiri 5 ekor tikus yang tidak dilakukan insisi maupun infiltrasi. Kelompok P1 dan kelompok P2 masingmasing terdiri 15 ekor tikus yang terbagi menjadi 3 kelompok untuk pemeriksaan pada hari pertama, kedua dan ketiga. Kemudian dilakukan insisi dan injeksi tanpa Levobupivakain 0,25 % pada kelompok P1 dan insisi dan infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % disekitar luka pada kelompok P2. Injeksi ulang pada kelompok P1 dan infiltrasi ulang pada kelompok P2 dilakukan dua kali tiap 8 jam selama sehari. Dibandingkan kadar IL- 10 serum kelompok K, kelompok P1 dan kelompok P2 pada hari pertama, kedua dan ketiga. Hasilnya terlihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengamatan rerata simpang baku kadar IL-10 serum ( pg/ml ).

Dari tabel 3 terlihat adanya perbedaan kadar IL-10 serum ketiga kelompok pada hari pertama, kedua dan ketiga. Kadar IL10 serum kelompok K adalah 0,13 0,02 pg/ml. Hasil pengamatan rerata berat badan tikus pada ketiga kelompok secara umum hampir sama. Berat badan kelompok kontrol 255,0 gram, kelompok perlakuan 1 Kelompok P1 hari pertama 0,16 0,12 pg/ml ; hari kedua 0,16 0,06 pg/ml dan hari ketiga 0,18 0,07 pg/ml. Kadar IL-10 serum kelompok P2 berturut-turut pada

75

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data parameter klinis atau laboratoris terdistribusi normal. Uji normalitas kadar IL-10 serum dilakukan dengan tehnik Shapiro-Wilk. Hasil uji normalitas kadar IL-10 serum ini terlihat pada tabel 5.
Tabel 5. Hasil uji normalitas kadar IL-10 serum

Gambar 2. Kadar IL-10 serum (pg/ml)

hari pertama, kedua dan ketiga adalah 0,21 0,15 pg/ml : 0,30 0,11 pg/ml ; 0,29 0,13 pg/ml. Perbedaan kadar IL-10 serum pada ketuga kelompok secara lebih jelas terlihat pada gambar 2. Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data klinis berat badan pada ketiga kelompok sama. Uji homogenitas ini dilakukan dengan menggunakan Levene test. Hasil uji homogenitas berat badan terlihat pada tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengamatan rerata simpang baku berat badan tikus

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa parameter klinis dan laboratoris kadar IL-10 serum pada kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan 1 (P1) dan kelompok perlakuan 2 (P2) terdistribusi normal dengan nilai p > 0,05. Uji beda dilakukan untuk mengetahui ada perbedaan kadar IL-10 serum pada kelompok K, kelompok P1 dan kelompok P2. Uji beda ini dilakukan dengan menggunakan Kruskal Wallis Test. Hasil uji beda kadar IL-10 serum pada ketiga kelompok terlihat pada tabel 6.

Dari tabel 4 untuk uji homogenitas nilai rerata berat badan pada ketiga kelompok berbeda tidak bermakna dengan nilai p = 0,874 ( p > 0,05 ).

Tabel 6. Hasil uji beda kadar IL-10 serum.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

76

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Dari tabel 6 dapat dilihat bahwa kadar IL10 pada kelompok K, kelompok P1 maupun kelompok P2 berbeda bermakna dengan nilai p = 0,000 (p < 0,05). PEMBAHASAN Dari hasil pengamatan rerata berat badan tikus pada kelompok K, kelompok P1 dan kelompok P2 secara umum hampir sama, seperti terlihat pada tabel 2. Pada uji homogenitas tentang data klinis berat badan tikus (tabel 4) pada ketiga kelompok menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,874 (p > 0,05). Hal ini berarti bahwa meskipun ada perbedaan berat badan tikus pada ketiga kelompok tetapi tidak bermakna atau bisa dianggap sama / homogen sehingga layak untuk dibandingkan. Adaptasi selama seminggu dengan memberikan makan dan minum standart yang sama serta asal tikus dari satu keturunan menyebabkan berat badan tikus pada ketiga kelompok secara umum hampir sama. Dari tabel 3 dan gambar 2 terlihat adanya perbedaan kadar IL-10 serum ketiga kelompok pada hari pertama, hari kedua dan hari ketiga. Kadar IL-10 serum kelompok K adalah 0,13 0,02 pg/ml , ini bisa dianggap sebagai kadar normal IL-10. Pada kelompok P1 kadar IL-10 hari pertama lebih tinggi dibanding kelompok K yaitu sebesar 0,16 0,12 pg/ml atau terjadi kenaikan sebesar 23 % pada hari pertama, sedangkan pada hari kedua relatif hampir sama dibandingkan dengan hari pertama (0,16 0,06 pg/ml). Pada hari ketiga terjadi kenaikan lagi kadar IL-10 menjadi 0,18 0,07 pg/ml atau terjadi kenaikan
77

sebesar 38% pada hari ketiga. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sato Y, bahwa kadar IL-10 meningkat dan mencapai puncak pertama setelah 3 jam insisi kemudian turun mendekati normal pada hari kedua dan meningkat lagi serta mencapai puncak kedua setelah 72 jam (3 hari). Kadar IL-10 serum kelompok P2 pada hari pertama, hari kedua dan hari ketiga adalah 0,21 0,15 pg/ml : 0,30 0,11 pg/ml dan 0,29 0,13 pg/ml. Kadar IL-10 serum kelompok P2 pada hari pertama lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol dan kelompok P1 hari pertama. Demikian juga pada hari kedua dan hari ketiga kadar IL-10 kelompok P2 lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol dan kelompok P1 hari kedua dan hari ketiga. Dapat dilihat disini terjadi kenaikan kadar IL-10 serum pada kelompok P2 sebesar 61 % pada hari pertama, selanjutnya sebesar 130 % pada hari kedua serta sebesar 123 % pada hari ketiga. Kenaikan kadar IL-10 serum pada kelompok P2 yang lebih tinggi dibandingkan kelompok P1 baik itu pada hari pertama, hari kedua maupun hari ketiga terjadi akibat infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 %. Menurut Constantinnides P, nyeri akut bila tidak dikelola secara tepat akan berakibat memperpanjang fase katabolik dengan akibat terjadi peningkatan kortisol yang menimbulkan disregulasi sitem imun sehingga menghambat penyembuhan luka. Dengan menghambat jalur nyeri menggunakan infiltrasi Levobupivakain 0,25 % disekitar luka insisi, maka sistem imun tidak terganggu sehingga kadar IL 10
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

serum meningkat dan fase inflamasi menjadi lebih pendek. Sebagai akibatnya penyembuhan luka menjadi lebih cepat. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Mulyata S, stres pada hewan coba menyebabkan hambatan penyembuhan luka pasca episiotomi. Sedangkan pada hewan coba yang tidak stres penyembuhan lukanya lebih cepat. Vintar N, melaporkan penggunaan Bupivakain melalui kateter pada luka cukup efektif mengurangi nyeri setelah operasi hernia inguinalis dan penyembuhan luka menjadi lebih baik13. Kenaikan tertinggi kadar IL-10 serum pada kelompok P2 yang terjadi pada hari kedua yaitu sebesar 130 % seperti terlihat pada gambar 2. Hal ini mempertegas peran IL10 yang meningkat akibat infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % sehingga fase inflamasi pada proses penyembuhan luka menjadi lebih pendek. Dari analisis statistik dengan uji beda kadar IL-10 serum menggunakan Kruskal Wallis test didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti kadar IL-10 serum pada kelompok K, kelompok P1 dan kelompok P2 berbeda bermakna. Penelitian ini bertujuan membandingkan kadar IL-10 serum dengan dan tanpa infiltrasi Levobupivakain 0,25 % pada nyeri pasca insisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hari kedua kadar IL-10 serum pada kelompok P2 lebih tinggi (130%) dibandingkan kelompok P1 (123%). Pada luka insisi yang diinfiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 %, IL-10 serumnya lebih cepat naik atau lebih cepat muncul dibandingkan tanpa infiltrasi Levobupivakain 0,25 %. IL-10 terutama diproduksi oleh sel Th2 akibat rangsang dari makrofag yang
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

teraktifasi. Sedangkan makrofag muncul pertama kali pada 48-96 jam setelah terjadi luka dan mencapai puncak pada hari ke 3. Adanya IL-10 pada hari pertama baik pada kelompok K, kelompok P1 dan kelompok P2 menunjukkan bahwa IL-10 juga diproduksi oleh sel-sel lain yaitu sel B, keratinosit serta Neutrofil meskipun dalam jumlah sedikit. Hollman mengemukakan bahwa makrofag tetap ada di dalam luka sampai proses penyembuhan berjalan sempurna14. Nyeri yang tak dikelola dengan baik menyebabkan kortisol tetap tinggi, hal ini mengakibatkan depresi pada Th2 sehingga produksi IL-10 akan menurun. Akibatnya tidak ada yang menghambat makrofag teraktifasi untuk memproduksi sitokin proinflamasi sehingga fase inflamasi relatif menjadi lebih panjang. Dengan infiltrasi Levobupivakain 0,25 % akan terjadi blokade atau terputusnya transmisi nyeri sehingga respon nyeri akibat insisi tidak terjadi. Selain itu juga munculnya makrofag teraktifasi akan mengakibatkan Th2 memproduksi IL-10 dan selanjutnya IL-10 ini akan menekan makrofag untuk memproduksi sitokin proinflamasi (umpan balik negatif). Pada kelompok P2 kadar IL-10 mencapai puncak tertinggi pada hari kedua, sedangkan kelompok P1 puncak tertinggi terjadi pada hari ketiga. Artinya munculnya hambatan terhadap makrofag dalam memproduksi sitokin proinflamasi lebih cepat pada kelompok P2 dibandingkan kelompok P1. Percepatan hambatan ini memperpendek fase inflamasi menjadi dua hari (pada kelompok P1 tiga hari) dan menyebabkan proses penyembuhan menjadi lebih singkat.

78

Jurnal Anestesiologi Indonesia

SIMPULAN Infiltrasi Levobupivakain 0,25 % terbukti meningkatkan kadar IL-10 serum. Puncak tertinggi kenaikan kadar IL-10 serum dicapai pada hari kedua pada kelompok dengan insisi dan infiltasi Levobupivakain 0,25 % , yaitu sebesar 130 %. Fase inflamasi pada kelompok dengan insisi dan infiltasi Levobupivakain 0,25 % lebih pendek menjadi dua hari dibandingkan pada kelompok insisi dan injeksi tanpa Levobupivakain 0,25 % yaitu tiga hari. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diatas dapat disarankan pada luka insisi / operasi sebaiknya dilakukan infiltrasi Levobupivakain 0,25 % di sekitar luka karena kadar IL-10 serumnya akan meningkat dibandingkan tanpa infiltrasi Levobupivakain 0,25 %, sehingga fase inflamasi menjadi lebih pendek dan penyembuhan luka akan menjadi lebih cepat dan dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan infiltrasi Levobupivakain 0,25 % dengan faktorfaktor lain yang berpengaruh pada proses penyembuhan luka. DAFTAR PUSTAKA
1. Cotran RS, Kumar V, Collins T. Pathology basic of disease. 6th ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1999: p21-201. Constantinnides P. General pathobiology. 1st ed. Norwalk Connecticut: Appleton and Lange, 1994: p173-186.

3.

Mast AB. Normal Wound healing. In: Achauer BM, Eriksson E, eds. Plastic Surgery, Indications, Operations and Outcomes. Mosby: Mosby Inc, 2000: p3753 Elenkov IJ, Webster E, Torpy DJ, et al. Stress, Corticotropin-releasing Hormone, Glucocorticoids, and the immune/inflammatory response: acute and cronic effects. Annals of the New York academy of sciences 1999; 876: 1-13. Available from: URL. http://annalsnyas.org/cgi/876/1/1 Pedersen D. Accelerated surgical stay programe. Annals of Surgery 1994; 219: p374-81. Bardram L, Funch-Jensen P, Kehlet H. Recovery after laparoscopic colonic surgery with epidural analgesia and early oral nutrition and mobilisation. Lancet 1995; 345: p763-4. Kresno SB.Imunologi: Diagnosis dan prosedur laboratorium. FKUI 2001; ed.4: p7-12. Sato Y, Ohshima T, Kondo T. Regulatory of endogenous interleukin-10 in cutaneus inflamatory response of murine wound healing. Biochem Biophys Res Commun.1999 Nov; 265(1): p194-9. Christie JM, Chen GW. Secondary hyperalgesia is not affected by wound infiltration with bupivacaine. Can J of An 1993; 40: p1034-37.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

2.

10. Mulyata S. Paket penyuluhan kognitif dan senam prapersalinan pada primigravida, mengurangi cemas dan nyeri persalinan, meningkatkan skor Apgar bayi, serta mempercepat penyembuhan luka persalinan [dissertasion]. Surakarta: Universitas Sebelas Maret; 2002.

79

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

11. Pettersson N, Berggren P, Larsson M, et al. Pain relief by wound infiltration with bupivacaine or high dose ropivacaine after inguinal hernia repair. Reg Anesth Pain Med 1999; 24: p569-75. 12. Cervero F. Mechanism of visceral pain, past and present. In: Gebhart GF. ed. Visceral pain, progress in pain research and management. Seattle: IASP press, 1995; 5: p469-88. 13. Vintar N, Pozlep G, Rawal N, Godee M, Rakovec S. Incisional selfadministration of bupivacaine or ropivacaine provides effective analgesia after inguinal hernia repair. Can J Anaesth 2002; 49: p48114. Hollmann, Markus W, Durieux E. Local anesthetics and the inflammatory response: A new therapeutic indication? Anesthesiology 2000; 93: p858-75.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

80

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Pengaruh Infiltrasi Levobupivakain pada Skor Histologis MHC Kelas 1 pada Penyembuhan Luka
Aria Dian Primatika *, Uripno Budiono*, Ery Leksana*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSDK, Semarang

ABSTRACT Background : Post operative acute pain stimulates clinical pathofisiologic symptoms, suppreses immune respons, reduces the activity of the immune system and inhibits wound healing. Levobupivacaine is a long acting local anaesthetic, suitable for pain control. Presenting class I MHC antigens to cytotoxic T lymphocytes, this is important to response immune. The ability of cytotoxic T lymphocytes to kill infected target cells depends on the amount of class I MHC expression. Objective : To prove the influence of levobupivacaine infiltration on class I MHC expression. Methods : This study was an animal experimental study with randomized post test only control group design. Randomly 15 Wistar rats were divided into 3 groups. Group I was the group for control without treatment. Group II, rats that got incisions without levobupivacaine infiltration. Group III, rats that got incisions and levobupivacaine infiltration dosed 12.6 mcg/gram BW every 8th hours for 24 hours. The expression class I MHC cell around wound incision was analized with histologic score from samples with immunohistochemistry stainning. Samples were taken from tissue biopsy on 5th day because in normal wound healing the amount of lymphocytes T were significant at 5th day and the peak at 7th day. Data were analyzed using Kruskal-Wallis test. Results : This study showed that control group have the expression of class I MHC with histologic scor mean 4.92. The incission tissue with levobupivacaine has lower class I MHC histologic score (mean value 5,26) than group without levobupivakain (mean value 8,12). There was a significant difference of class I MHC (p=0,011). Conclusions : The expression of class I MHC (histologic score) in levobupivacaine infiltration group is lower than without levobupivacaine infiltration group. Keywords: levobupivacaine, histologic score MHC Class I, wound healing ABSTRAK Latar belakang: Nyeri akut pasca pembedahan memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis, menekan respons imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang akan menghambat penyembuhan luka. Levobupivakain, anestetik lokal durasi panjang yang efektif mengurangi nyeri akut. MHC kelas I sebagai petanda permukaan sel yang terinfeksi memberi sinyal pada sel T sitotoksik sehingga fungsinya dalam respons imun sangat penting.

81

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kemampuan limfosit T sitotoksik untuk melisiskan sel merupakan fungsi langsung dari banyaknya MHC kelas I yang diekspresikan. Tujuan: Membuktikan pengaruh infiltrasi anestetik lokal levobupivakain terhadap ekspresi MHC kelas I. Metode: Dilakukan penelitian eksperimental pada hewan coba, randomized post test only control group design, menggunakan tikus Wistar. Sampel 15 ekor dibagi menjadi 3 kelompok; kelompok I kontrol, kelompok II insisi subkutis tanpa infiltrasi levobupivakain, kelompok III insisi subkutis dan infiltrasi levobupivakain dosis 12,6 mcg/gram BB setiap 8 jam selama 24 jam. Ekspresi MHC kelas I pada sekitar luka insisi dinilai dengan skor histologi dengan menggunakan pengecatan secara imunohistokimia. Biopsi jaringan diambil pada hari kelima karena pada penyembuhan luka normal jumlah limfosit T bermakna pada hari kelima dan mencapai puncak pada hari ketujuh. Data dianalisis dengan uji beda Kruskal-Wallis. Hasil: Penelitian menunjukan pada kelompok kontrol terdapat ekspresi MHC kelas I dengan hasil rerata skor histologi 4,92. Hasil rerata skor histologi MHC kelas I pada kelompok levobupivakain lebih rendah (8,12) dibanding kelompok tanpa levobupivakain (5,26) dan secara statistik berbeda bermakna (p=0,011). Simpulan: Ekspresi MHC kelas I (skor histologi MHC I) pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Kata Kunci: levobupivakain, skor histologis MHC Kelas I, penyembuhan luka penyembuhan luka tidak terlepas dari peran sitokin dan faktor pertumbuhan, seperti: Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Fibroblast Growth Factor (FGF), Transforming Growth Factor 1 (TGF1), Vascular Endothelial Growth Factor (VeGF), Angiopoetin, Interleukin 1 (IL 1), IL 6, Tumor Necrosis Factor alfa (TNF ), Interferon (IFN ), serta makrofag yang diproduksi oleh limfosit dan leukosit pada tahap sintesis kolagen sebagai penyembuhan luka secara primer apabila terjadi penyatuan tepi luka secara sempurna, biasanya terjadi pada luka bersih. Limfosit T selain memproduksi sitokin sebagai sel anti inflamasi juga sebagai sintesis dari factor pertumbuhan. Penelitian oleh Blotnick S dkk. mengisolasikan limfosit T dari darah tepi manusia yang menghasilkan dua

PENDAHULUAN Respons imun merupakan hal penting yang akan membantu tubuh untuk proteksi terhadap agen infektif. Apabila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh terdapat dua cara pertahanan utama yang berperan yaitu efek perusakan oleh bahan bahan kimiawi yang larut seperti halnya enzim bakterisidal dan mekanisme fagositosis. Pada proses penyembuhan luka respons imun memegang peranan penting. Penurunan sistem imun akan mengakibatkan terjadinya infeksi yang berakibat gangguan penyembuhan luka sehingga penyembuhan luka menjadi memanjang, sedangkan penyembuhan yang baik merupakan faktor penting yang diharapkan terjadi dalam proses penyembuhan luka. Terjadinya proses
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

82

Jurnal Anestesiologi Indonesia

karakteristik faktor pertumbuhan yaitu Heparin-binding Epidermal Growth Factor (HB-EGF) dan Basic Fibroblast Growth Factor (bFGF). Suatu tindakan bedah akan menimbulkan respons stres berupa peningkatan sekresi hormon katabolik yaitu glukokortikoid, hipermetabolisme, aktivasi system otonom, peningkatan kerja jantung, rasa nyeri, gangguan terhadap paru, saluran cerna, gangguan sistem koagulasi, fibrinolitik dan imunosupresi. Proses penyembuhan luka sangat erat hubungannya dengan proses inflamasi, tanpa adanya inflamasi tidak akan terjadi proses penyembuhan luka, sedangkan organ yang terluka akan tetap menjadi sumber nyeri selama proses inflamasi dan penyembuhan luka terjadi. Nyeri menjadi stresor yang memicu timbulnya gejala klinis patofisiologis, memicu modulasi respons imun, sehingga menyebabkan penurunan sistem imun yang berakibat pemanjangan penyembuhan luka. Salah satu faktor sistemik yang menghambat penyembuhan luka adalah adanya peningkatan hormon glukokortikoid, yaitu akan menghambat pembentukan fibroblas, sebagai anti inflamasi, dan mengganggu sintesis kolagen. Nyeri bila tidak dikelola dengan tepat akan berakibat memperpanjang fase katabolik berupa peningkatan glukagon, kortikoid dan resistensi insulin. Apabila hormon glukokortikoid meningkat akibatnya akan menghambat respons imun. Rasa nyeri yang timbul merupakan salah satu pencetus peningkatan hormon glukokortikoid.

Sistem imun didapat terdiri dari sistem imun humoral (sel B) dan sistem imun seluler (selT). Sel T atau limfosit T terdiri dari T helper, T supresor dan T sitotoksik, masing-masing dibedakan karena mempunyai fungsi yang berbeda dan mengekspresikan antigen permukaan yang karakteristik dan berkorelasi dengan stadium diferensiasi di timus. CD8+ (Cluster of Differentiation atau cluster designation) merupakan subset sel T sitotoksik. MHC kelas I (Class I Major Histocompatibility Complex) terdapat hampir di semua sel tubuh yang berinti dan merupakan bagian dari kromosom yang selain mengatur ekspresi antigen transplantasi, juga mengandung gen yang mengatur respons imun dan menentukan kepekaan terhadap kelainan imunologik. Fungsi MHC kelas I sebagai petanda permukaan sel yang terinfeksi member sinyal pada sel T sitotoksik sehingga fungsinya dalam respons imun sangat penting. MHC kelas I berasosiasi dengan CD8+ sitotoksik (CD8+ sebagai coreceptor sel T sitotoksik), maka kemampuan limfosit T sitotoksik untuk melisiskan sel merupakan fungsi langsung dari banyaknya MHC kelas I yang diekspresikan. Pada beberapa penelitian dalam proses penyembuhan luka, CD8+ turut mengatur proses penyembuhan luka dalam hal down regulating wound healing. Dalam hal ini CD8+ akan menghambat penyembuhan luka, sehingga apabila terjadi penyembuhan luka yang baik maka ekspresi CD8+ dan MHC kelas I akan berkurang. Nyeri akan merangsang kelenjar pituari melepaskan adreno corticotrophin
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

83

Jurnal Anestesiologi Indonesia

hormone (ACTH) yang akan mengaktifkan kelenjar adrenal sehingga melepas hormon steroid (kortisol) , dimana hormon steroid ini akan menekan sistem imun. Infiltrasi anestetik lokal pada sekitar luka insisi diharapkan dapat mengurangi intensitas nyeri akut dengan menghambat jalur transmisi impuls nyeri. Nyeri yang berkurang berakibat sekresi hormon glukokortikoid juga menurun sehingga akan menghilangkan salah satu faktor sistemik penghambat penyembuhan luka, yaitu glukokortikoid. Anestetik lokal yang terpilih adalah levobupivakain karena mempunyai durasi yang panjang sekitar 8 jam dengan pemberian tiga kali dalam 24 jam. Pemberian ini diharapkan nyeri akut pada luka insisi yaitu nyeri pada 24 jam pertama dapat dikurangi. Hambatan terhadap nyeri akut diharapkan akan meningkatkan respons imun sehingga proses penyembuhan menjadi lebih baik. Beberapa peneliti telah melaporkan pemakaian anestetik lokal lidokain, bupivakain topikal pada luka bakar terbukti menghambat ekstravasasi plasma, mengurangi nyeri serta komplikasi infeksi maupun alergi, tidak menyebabkan peradangan lokal, memiliki efek bakteriostatik serta proses penyembuhan luka lebih baik. Penelitian ini akan menerapkan hal baru yaitu penggunaan levobupivakain, obat anestetik lokal dengan depresi jantung dan sistem saraf pusat minimal, lama kerja obat 6-8 jam pada penggunaan secara infiltrasi, efektif untuk mengurangi nyeri akut selama 24 jam pertama pasca pembedahan. Pengaruh penggunaan infiltrasi levobupivakain di sekitar luka terhadap ekspresi MHC kelas I
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

belum pernah dilaporkan sebelumnya. MHC kelas I dipilih dalam penelitian ini bertujuan untuk lebih memastikan respons imun yang terjadi pada sel T sitotoksik dengan jumlah bermakna pada hari ke 5. Pada penyembuhan luka normal, jumlah limfosit T bermakna pada harikelima dan mencapai puncak pada hari ketujuh. Ekspresi MHC kelas I (dinilai dengan skor histologi) dapat dihitung jumlahnya pada pemeriksaan imunohistokimia dengan menggunakan monoklonal antibodi anti MHC kelas I dengan pewarnaan metode streptavidinbiotin. Jumlah MHC dapat dihitung berdasarkan intensitas warna yang terlihat pada mikroskop dengan menggunakan skor histologi. Penelitian ini dilakukan pada binatang percobaan tikus karena perlakuan insisi tanpa analgetik serta tindakan biopsi jaringan pada jam ke24 pasca insisi sehinga tidak etis bila diterapkan pada manusia. Pemilihan tikus Wistar berdasarkan pertimbangan karena tikus ini mudah diperoleh galur murninya. METODE Sejumlah 15 ekor tikus Wistar dilakukan adaptasi di laboratorium dengan dikandangkan secara individual dan diberi pakan standar ad libitum selama 7 hari. Tikus dibagi menjadi 3 kelompok masingmasing terdiri dari 5 ekor tikus yang ditentukan secara acak. Perlakuan yang diberikan adalah: K1 : Kelompok 1, tikus tanpa perlakuan.;K2 : Kelompok 2, tikus yang setelah dilakukan insisi 2 cm, sampai ubkutan tanpa diberikan infiltrasi

84

Jurnal Anestesiologi Indonesia

levobupivakain. (untuk mendapat perlakuan stres yang sama tiap 8 jam dalam 24 jam I juga dilakukan infiltrasi sekitar luka dengan spuit kosong). K3 : Kelompok 3 , tikus yang setelah dilakukan insisi 2 cm sampai subkutan, diberikan infiltrasi levobupivakain dengan semprit tuberkulin dosis 12,6 g/gram BB dengan perlakuan sama tiap 8 jam dalam 24 jam pertama. Setelah adaptasi selama 7 hari , tikus-tikus dari kelompok perlakuan (K2 dan K3) dibius dengan ether dalam kandang tertutup. Sesudah terbius, bulu di sekitar punggung dicukur bersih dan didesinfeksi menggunakan betadine. Selanjutnya dibuat irisan sepanjang 2 cm dan kedalaman sampai subkutis. Luka irisan dibersihkan dan dioles larutan betadine, kemudian luka ditutup dengan 5 jahitan tunggal sederhana menggunakan benang monofilamen steril nomor 4-0. Selanjutnya jahitan dibersihkan dan dioles dengan betadine dan dirawat. Pasca bedah diberikan penicillin oil 15 mg, intra muskular. Pada hari ke-5 pasca perlakuan, pada ketiga kelompok masing-masing 5 ekor. Dilakukan pembiusan dengan menggunakan ether dalam kandang tertutup. Setelah tikus terbius kemudian dibuat eksisi biopsi pada jaringan bekas irisan kira-kira 0,5 cm persegi melintasi garis irisan. Jaringan biopsi diproses secara imunohistokimia menjadi preparat setelah dibuat dengan blok parafin, kemudian tikus dimatikan. Pemeriksaan imunohistokimia dengan menggunakan monoclonal antibodi anti MHC kelas I
85

dengan pewarnaan metode streptavidinbiotin pada preparat eksisi biopsi jaringan sekitar luka pada hari ke-5 yang berwarna merah kecoklatan. Dengan mikroskop Olympus seri BX 41 yang dilengkapikamera digital DP-70 dengan pembesaran 400 X dan memakai sofware olysia tahun 2000 yang merupakan satu kesatuan dengan seperangkat alat komputer, intensitas warna dapat diketahui sebagai nilai kuantitatif. Interpretasi hasil dilakukan di laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UNS HASIL DAN PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian hewan coba pengaruh infiltrasi levobupivakain terhadap skor histologi MHC kelas I pada penyembuhan luka. Hewan coba menggunakan 15 ekor tikus Wistar, betina, dewasa umur kurang lebih 3 bulan, berat badan 250 - 300 gram dan tanpa kelainan anatomis. Kelompok perlakuan : Kelompok 1 (K1: tanpa perlakuan): 5ekor tikus; Kelompok 2 (K2: infiltrasi tanpa anestetik lokal): 5 ekor tikus; Kelompok 3 (K3: dengan infiltrasi anestetik lokal): 5 ekor tikus Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Unit Pemeliharaan Hewan Percobaan UGM Yogyakarta dan pembuatan preparat imunohistokimia dan pembacaan dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UNS Surakarta.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pada penelitian ini dilakukan pengujian efek perlakukan terhadap ekspresi MHC kelas I pada hari ke lima.

Tabel 1. Data berat badan tikus

Nilai rerata kelompok kontrol lebih kecil daripada kelompok perlakuan (K1 danK2). Nilai rerata MHC kelas I pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain (K3) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi obat tersebut (K2).
Tabel 5. Uji bedaMHC kelas 1

Dari tabel 1 untuk uji homogenitas nilai rerata berat badan pada ketiga kelompok MHC I berbeda tak bermakna (p=0,874).
Tabel 2. Skor histologi MHC kelas I pada hari ke 5

Distribusi data MHC kelas I diuji menggunakan uji normalitas ShapiroWilk. Hasil uji normalitas MHC kelas I pada ketiga kelompok terdistribusi normal (p>0,05). Dari tabel 5 di atas menunjukkan skor histologi MHC kelas I antara kelompok tanpa levobupivakain dan dengan levobupivakain berbeda bermakna (p=0.011; p<0.05).. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi MHC kelas I pada kelompok yang diberi infiltrasi levobupivakain lebih kecil daripada kelompok tanpa infiltrasi anestetik lokal levobupivakain.

Tabel 3 . Nilai rerata MHC kelas 1

Tabel 4. Uji Normalitas MHC kelas 1

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

86

Jurnal Anestesiologi Indonesia

CD8+ dengan infiltrasi levobupivakain lebih kecil daripada tanpa infiltrasi levobupivakain. Penelitian terhadap MHC kelas I bertujuan bahwa untuk membuktikan suatu masalah harus didukung oleh parameter-parameter lain, dalam hal ini MHC I dan CD8+. MHC kelas I berasosiasi dengan CD8+, sedangkan MHC kelas II berasosiasi dengan CD4+. Dalam penyembuhan luka CD8+ merupakan down regulator wound healing sedangkan CD4+ merupakan up regulator wound healing. Dari gambar 4 dapat diketahui nilai rerata MHC kelas I pada K2 lebih besar daripada kelompok K3, hal ini menunjukkan bahwa ekspresi pada MHC kelas I dengan infiltrasi levobupivakain akan lebih kecil. Pada kelompok K1 terdapat ekspresi MHC kelas I meskipun lebih kecil daripada kelompok yang diberi dan yang tidak diberi infiltrasi levobupivakain. Pengambilan biopsi jaringan pada luka dilakukan pada hari kelima, karena jumlah limfosit T bermakna pada hari kelima sampai dengan hari ketujuh pada proses penyembuhan luka normal. Penelitian mengenai proses inflamasi yang terjadi tidak dilakukan dalam penelitian ini. Untuk uji homogenitas ketiga kelompok MHC I dengan variabel yang dapat diukur yaitu berat badan, dimana didapat hasil statistik berbeda tidak bermakna. Hasil penelitian menunjukan bahwa akibat pemberian infiltrasi anestetik lokal levobupivakain skor histologi MHC kelas I pada jaringan sekitar luka lebih kecil dibanding kelompok tanpa infiltrasi obat. Ini berarti ekspresi MHC kelas I lebih sedikit terjadi pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain. Ekspresi MHC kelas I yang kecil, sesuai dengan hasil ekspresi pada CD8+ yang juga kecil pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain. Ekspresi CD8+ yang lebih sedikit maka penyembuhan luka menjadi lebih baik, hal ini sesuai dengan

Gambar 5. Gambar mikroskopik MHC kelas I (pembesaran 400x)

Pada penelitian ini dilakukan penilaian terhadap ekspresi MHC I sedangkan ekspresi CD8+ juga telah diteliti sebelumnya dan hasilnya bahwa ekspresi
87

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

penelitian terdahulu bahwa deplesi limfosit CD8+ memperlihatkan kenaikan yang signifikan terhadap kekuatan, kekenyalan dan kekerasan jaringan luka. Dalam hal ini CD8+ merupakan down regulator wound healing. Pemberian infiltrasi levobupivakain maka nyeri akut akan berkurang sehingga sekresi hormon anti inflamasi, menghambat pembentukan fibroblast serta mengganggu sintesis kolagen, sehingga sekresi hormon glukokortikoid yang berlebihan akan dengan menurunnya ekspresi MHC kelas I dan CD8+. Pada penelitian ini kelompok kontrol MHC I masih terekspresi meskipun tikus tidak diberi insisi dan perlakuan, hal ini membuktikan bahwa meskipun secara fisik tikus tidak terinfeksi tetapi ekspresi MHC kelas I dan CD8+ sitotoksik tetap terjadi. Kemungkinan yang dapat terjadi, MHC I yang terdapat pada semua sel yang berinti akan terekspresi bila ada infeksi, jadi tidak menutup kemungkinan terjadi infeksi pada kelompok kontrol meskipun telah diusahakan untuk menghilangkan faktor infeksi Untuk selanjutnya perlu dipertimbangkan penelitian mengenai faktor pertumbuhan (TGF, FGF, PDGF, dan VeGF) serta faktor inflamasi. Dengan meneliti faktor pertumbuhan, maka proses penyembuhan luka dengan infiltrasi levobupivakain dapat dianalisis secara spesifik. Aplikasi klinis infiltrasi anestetik lokal levobupivakain selain dapat dijadikan alternatif untuk mengendalikan nyeri akut pasca pembedahan serta respons stres juga terjadi penyembuhan luka yang lebih baik.

glukokortikoid menurun maka penyembuhan luka menjadi lebih baik. Hormon glukokortikoid selain menghambat respon imun juga akan mengganggu penyembuhan luka. Berkurangnya nyeri akut maka respon imun akan meningkat, yang ditandai SIMPULAN DAN SARAN Skor histologi MHC kelas I pada kelompok dengan infiltrasi Levobupivakain di sekitar luka lebih kecil dibanding kelompok tanpa infiltrasi levobupikain. Pengendalian nyeri akut dan memperbaiki penyembuhan luka dapat dilakukan dengan infiltrasi anestetik lokal levobupivakain disekitar luka. Perlu dilakukan analisis terhadap faktor pertumbuhan lain seperti TGF, FGF, PDGF, dan VeGF serta analisis mengenai proses inflamasi sehingga dapat diketahui proses penyembuhan luka secara spesifik dan dapat diketahui sampai hari keberapa proses inflamasi akan terjadi. DAFTAR PUSTAKA
1. Cotran Ramzi S, Kumar V, Collins T. Pathology basic of disease. 6th ed. Philadelphia: W B Saunders Co, 1999: p.21-201. Mast AB. Normal wound healing. In: Achauer BM, Eriksson E, eds. Plastic Surgery, Indications, Operations and Outcomes. Mosby: Mosby Inc,2000: p.3753. Roit I. Imunology. Jakarta: Medika, 2003: p.67-92. Widya

2.

3.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

88

Jurnal Anestesiologi Indonesia

4.

Albert B, Lewis DBJ, Raff M, Roberts K, Watson JD. The immune system. In: Molecular biology of the cell.3rd ed. New York & London: Garland Publishing Inc, 1994: p1229-51. Constantinnides P. General pathobiology. 1st ed. Norwalk Connecticut: Appleton and Lange, 1994 : p.173-86. Fileds H L, The peripheral pain sensory system. In: Pain 1st ed. New York: McGraw Hill Co. Inc, 1987: p.13-37. Melzacks R, Wall P. The gate control theory of pain. In : Melzacks R, Wall P. The challenge of pain 1st ed. Penguin education, 1994: p.223-61 Cervero F. Mechanism of visceral pain, past and present. In: Gebhart G F. Ed.72Visceral pain, progress in pain research and management. Seattle: Vol 5. IASP Press, 1995: p469-88. Galindo M A, Levobupivacain, a long acting local anaesthetic, with less cardiac and neurotoxicity. Available from:http://www.ndaa.ox.ac.uk/wfs

13. Pleuvry B J. The chemical modulation of nociceptive responsses and pain. In : Healy T E J, Cohen P J. eds. A practice of anesthesia. 6th ed.London : Edward Arnold, 1995 : p80-88. 14. Bonica J J. Anatomic and physiologic basis of pain and nociception and pain. In: Bonica J J. ed. The management of pain. Pennsylvania: Lea and Febiger London, 1990: p12-28. 15. Churchill H C, Davidson. Pain clinical and operative nerve block. In: Apractice of anesthesia. 5th ed. Singapore: PG Pub. Pte. Ltd, 1986: p893-900. 16. Notosoedirjo M, Nyeri dan tatalaksana penangulangannya. Disajikan dalam pertemuan klinik yang diselenggarakan oleh ikatan dokter ahli jiwa cabang Surabaya di Batu, Malang pada tanggal 8 9 Juni 1996. 17. Wound Healing.2000. Available from:

5.

6.

7.

8.

9.

URL: http://www.orthoteers.co.uk/ 18. Unanue E R. In: Tizard Ian R. Imunology, an introduction. 4th ed. Philadelphia: Saunders College Pub. Harcourt College, 1995 : p75-87. 19. Kresno Boedina S. Imunologi, diagnosis dan prosedur laboratorium. 4th ed. Jakarta: Balai penerbit FK UI, 2003: p4-32. 20. Vintar N, Pozlep G, Rawal N, et all. Incisional self-administration of bupivacaine or ropivacaine provides effective analgesia after inguinal hernia repair. CJA 2002; 49: p4816.

a/html/u
10. Hollmann, Markus W, Durieux E. Local anesthetics and the inflammatory responsse: A new therapeutic indication?, Anesthesiology, September 2000; 93: p858-75. 11. Raymond R G, William G B. Pain management. In: Morgans G E, Mikhail M S. eds. Clinical anesthesiology. 1st ed. New Jersey: Prentice Hall int. Inc, 1992: p269- 73. 12. Devor M. Pain mechanism and pain syndrome. In: Champbell J N. Pain 1996 an update review. Seattle: IASP Press, 1996: p103-12.

89

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

21. Blotnick S, Peoples G E, Freeman M R, Eberlein T J, Klagsbrun M. T 74 lymphocytes synthesize and export heparin-binding epidermal growth factorlike growth factor and basic fibroblast growth factor, mitogens for vascular cells and fibroblasts: Differential production and release by CD4+ and CD8+T cells, Cell Biology. April 1994 Vol 91: p2890-94. 22. Boyce DE, Jones WD, Ruge F. The Role of Lymphocytes in Human Dermal Wound Healing. Aidline national library or medicine 2000 Jul; 143 (1): 59-65. Available from:

28. Sudrajad I, Ekspresi CD8+ dan perbandingan ekspresi CD4+/CD8+ di jaringan sekitar luka dengan dan tanpa infiltrasi levobupivakain pada nyeri pasca insisi. Studi imunohistokimia pada tikus wistar. Tesis S2 Universitas Diponegoro Semarang. 2006

URL:

http://www.aegis.com/
23. Davis PA, Corless DJ, Aspinal R, Wastell C. Effect of CD4(+) and CD8(+) Cell depletion on wound healing. Departement of Academic Surgery, Imperial College School of Medicine, Chelsea and Westminter Hospital, London, UK.

peteralexanderdavis@yahoo.com
24. Mulyata S. Paket penyuluhan kognitif dan senam prapersalinan pada primigravida mengurangi cemas dan nyeri persalinan, meningkatkan skor apgar bayi, serta mempercepat penyembuhan luka persalinan. Disertasi S3 Universitas Airlangga Surabaya. 2002 : p122-124. 25. World Health Organization. Resarch guidelines for evaluating the safety and afficacy of herbal medicines. New York, 1993: p44.75 26. Wasito R, Imunohistokimia. Dalam: Pedoman kuliah imunohistopatologi Dep Dikbud. Proyek pengembangan pusat fasilitas bersama antar universitas. PAU Bioteknologi-Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 1991 : p36-80. 27. Sudigdo S, Sofyan I, Dasar dasar metodologi penelitian klinis edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2002: p247-49.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

90

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Perbedaan Agregasi Trombosit pada Penderita yang Mendapat Propofol dan Penthotal
Arliansah*, Widya Istanto*, Hariyo Satoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Background : Perioperative bleeding is a serious and common problem in surgery. Some induction anesthetic agents are thought to inhibit platelet aggregation. The propofol and penthotal had effect on platelet aggregation. Objective : Determine the difference effects of propofol and penthotal administration on platelet aggregation. Method: An Randomized Clinical Control Trial study on 34 patients who received general anesthesia, divided into two groups (n: 17). Both groups received Propofol or Penthotal were examined TAT before and five minutes after induction All data were analyzed by pair t-test and independent t-test for Propofol or Penthotal and platelet aggregation. Result : Maximal platelet aggregation before and after the administration of propofol and penthotal is significant, difference. In propofol and penthotal group, the percentage of maximal platelet aggregation was 54,939,38 and 66,268,94 (p=0,0001). We found 64,71% hypoaggregation, 17,65% mild hypo aggregation and 17,65% normo aggregation on propofol group, and 11,76% of hypo aggregation, 23,53% mild hypoaggregation and 64,71% normoaggregation on penthotal group. Statistically, propofol caused significant hypoaggregation of platelet compared to penthotal). Conclusion : Propofol significantly lowers the percentage of maximal platelet aggregation and causes more hypoaggregation than penthotal. Keywords: propofol, penthotal, ADP, platelet aggregation ABSTRAK Latar belakang penelitian: Perdarahan perioperatif merupakan masalah yang sering dihadapi dalam setiap operasi. Penggunaan obat anestesi induksi mempunyai pengaruh menghambat agregasi trombosit. Propofol dan Penthotal mempengaruhi Agregasi Trombosit. Tujuan: Membuktikan perbedaan pengaruh Propofol dan Penthotal terhadap Agregasi Trombosit. Metode: Merupakan penelitian Randomized Clinical Control Trial pada 34 pasien yang menjalani anestesi umum, dibagi menjadi 2 kelompok (n=17), Propofol dan Penthotal. Masing-masing kelompok diperiksa TAT sebelum induksi dan 5 menit setelah induksi. Uji

91

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

statistik pair t-test dan independent t-test terhadap propofol atau penthotal dan agregasi trombosit. Hasil: Agregasi maksimal trombosit, sebelum dan sesudah pemberian propofol atau penthotal berbeda bermakna. Kelompok penthotal persentase agregasi maksimal trombosit 68,73 6,06% dan propofol 54,68 9,55%, menunjukkan perbedaan yang bermakna antara keduanya (p=0,001). Hasil sesudah perlakuan, kelompok propofol 14 orang hipoagregasi (82,4%), dan 3 orang normoagregsi (17,6%). Sementara kelompok penthotal 5 orang hipoagregasi (29,4%), dan sisanya 12 orang normoagregasi (70,6%). Secara statistik propofol secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada penthotal. Kesimpulan : Propofol secara bermakna menurunkan agregasi maksimal trombosit dan menyebabkan hipoagregasi lebih banyak daripada penthotal. Kata kunci : propofol, penthotal, ADP, agregasi trombosit cabang vaskuler yang dapat mengancam nyawa. Faktor utama yang PENDAHULUAN bertanggungjawab dalam proses hemostasis adalah: (1) vasospasme Perdarahan selama dan sesudah operasi pembuluh darah, (2) reaksi trombosit merupakan masalah yang sering terjadi (adhesi, pelepasan, dan agregasi), (3) dalam setiap operasi. Apabila perdarahan pengaktifan faktor-faktor koagulasi. ini tidak teratasi dengan baik, akan menyulitkan dan menyebabkan serta meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas selama dan sesudah operasi. Disfungsi trombosit diketahui merupakan Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi salah satu penyebab kelainan perdarahan hemodinamik selama dan sesudah operasi selama periode perioperatif, yang adalah jenis dan lamanya operasi, merupakan masalah serius dalam kompetensi operator, obat anestesi yang pengelolaan pasien yang menjalani digunakan, serta faktor intrinsik dari operasi. Salah satu faktor yang pasien seperti penyakit sistemik, penyakit mempengaruhi terjadinya disfungsi berat dan kronis, serta kelainan fungsi trombosit adalah interaksi obat-obat yang koagulasi. Mekanisme fisiologis digunakan selama proses anestesi dengan tubuhuntuk mengendalikan perdarahan thrombosis. Interaksi tersebut dapat yaitu dengan cara mengaktifkan proses memperberat risiko komplikasi hemostasis dan pembekuan melalui perdarahan, mengingat peran trombosit pembentukan bekuan trombosit dan fibrin yang penting pada proses homeostasis pada tempat cedera. Pembekuan akan selama dan sesudah pembedahan. disusul oleh resolusi atau lisis bekuan dan Hampir semua tindakan pembedahan regenerasi endotel. Proses ini akan dilakukan dibawah pengaruh anestesi, dan melindungi individu dari perdarahan masif sebagian besar dengan anestesi umum. sekunder akibat trauma. Dalam keadaan Karena berpengaruh secara seluler, abnormal, dapat terjadi perdarahan atau anestesi umum perlu mendapat perhatian trombosis dan penyumbatan cabangVolume II, Nomor 2, Tahun 2010 92

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dalam hal interaksi obat anestesi dengan trombosit. Anestesi umum adalah suatu keadaan reversible yang mengubah status fisiologis tubuh, yang ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi), hilangnya persepsi nyeri (analgesia) hilangnya memori (amnesi) dan relaksasi. Sebagian besar operasi yang dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang dilakukan dengan anestesi umum. Propofol dan penthotal merupakan obat anestesi induksi yang sering digunakan pada anestesi umum selain ketamin. Propofol (2,6 diisopropylphenol) merupakan zat anestesi induksi intravena yang banyak digunakan pada praktik klinis harian. Secara struktur, zat ini sangat serupa dengan -tokoferol dan asam asetilsalisilat. Efek anti oksidannya disebabkan oleh kesamaan struktur dengan -tokoferol. Pada suatu penelitian yang dilatarbelakangi oleh keserupaan struktur propofol dengan asam salisilat, memperlihatkan bahwa zat anestesi ini akan menghambat agregrasi trombosit pada whole blood secara in vitro dalam kisaran konsentrasi yang serupa seperti pada plasma manusia setelah pemberian intravena. Temuan yang penting dalam penelitian ini adalah bahwa propofol memperlihatkan efek anti agregrasi ditemukan serupa pada PRP dan whole blood. Efek ini terkait dengan dua mekanisme dasar : penghambatan sintesis tromboksan trombosit A2, dan peningkatan sintesis NO oleh sel leukosit. Kedua efek dapat secara bergantian, terkait dengan efek antioksidan
93

propofol . Efek agregasi trombosit ini tidak terlihat bermakna pada pasien yang dinduksi dengan obat anestesi induksi penthotal. Penelitian Dordoni, dkk penthotal secara bermakna mengurangi agregasi yang diinduksi kolagen di akhir induks. Penthotal mengurangi fungsi trombosit baik ex-vivo dan in-vitro. Hasil penelitian Parolari A, dkk penthotal secara bermakna menghambat aktivasi trombosit yang menginduksi prostaglandin pada konsentrasi terapeutik baik in-vitro dan exvivo pada pasien operasi, sementara ADP menginduksi aktivasi yang hanya mempengaruhi konsentrasi obat supraterapi. Penelitian Gries, dkk thiopental 200 g/ml juga memberikan kelengkapan penghambatan trombosit secara bermakna. Penelitian yang dilakukan oleh Aoki, dkk di Jepang propofol 5 mg/kg/jam menghambat agregasi trombosit. Dari penelitian Mendez D, dkk didapatkan setelah 5 menit pemberian propofol 2,5 mg/kg secara bolus intrvena, terjadi penurunan agregasi trombosit secara bermakna pada whole blood, dan tidak bermakna dengan pemberian penthotal 4 mg/kg intravena.11,16,20 Yang biasa digunakan di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan anestesi umum adalah dengan anestesiinduksi propofol dengan dosis 1,52,5 mg/kg intravena dan penthotal 5 mg/kg intravena. Pemakaian dengan dosis tinggi akan berbahaya terhadap hemodinamik karena

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dapat menyebabkan hipotensi. Hal ini disebabkan efek vasodilatasi pembuluh darah oleh obat anestesi induksi tersebut. Perbedaan dosis ini tentunya juga akan mempengaruhi hasil yang didapat pada penelitian ini. Agregasi trombosit dinilai melalui suatu pemeriksaan yang disebut dengan Tes Agregasi Trombosit (TAT). Pemilihan jenis pemeriksaan agregasi trombosit untuk pemantauan tergantung dari macam obat yang digunakan. Beberapa agonis/induktor yang dapat digunakan adalah trombin, tromboksan A2, asam arakidonat, serotonin, vasopresin, dan ADP yang dipakai pada Laboratorium Patologi Klinik di RSUP Dr. Kariadi. TAT berdasarkan perubahan transmisi cahaya sampai sekarang masih dianggap sebagai baku emas untuk menilai fungsi agregasi trombosit. Setiap peningkatan transmisi cahaya dicatat sebagai suatu agregasi trombosit. Hasilnya akan dididapatkan prosentaseagregasi maksimal trombosit yang terjadi dengan pemberian ADP 2 M; 5M dan 10 M sebagai induktor agonis trombosit. Berdasarkan temuan dari beberapa penelitian diatas, akan dilakukan penelitian perbedaan pengaruh pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena dan penthotal 5 mg/kg intravena terhadap agregasi trombosit (Dosis anestesi induksi propofol 2,5 mg/kg ekuivalen dengan dosis induksi dengan penthotal 5 mg/kg). Pada penelitian ini ditambahkan hasil yang mempertimbangkan interpretasi Tes Agregasi Trombosit dengan mengamati gambaran pola kurva agregasi.
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Penelitian ini bertujuan membuktikan adanya perbedaan pengaruh pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena dan penthotal 5 mg/kg intravena terhadap agregasi trombosit. Tujuan lain untuk membuktikan perbedaan prosentase agregasi maksimal trombosit sebelum dan sesudah pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena. Membuktikan perbedaan prosentase agregasi maksimal trombosit sebelum dan sesudah pemberian penthotal 5 mg/kg intravena. Membuktikan perbedaan prosentase agregasi maksimal trombosit sesudah pemberian propofol 2,5 mg/kg intravena dan sesudah pemberian penthotal 5 mg/kg intravena.Untuk membuktikan perbedaan antara propofol 2,5 mg/kg intrvena dan penthotal 5 mg/kg intravena dalam menyebabkan hipoagregasi. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinik fase 2 dengan bentuk rancangan Randomized Clinical Control Trial. Dalam rancangan eksperimental, pengukuran atau observasi dilakukan di awal & setelah perlakuan. Ruang lingkup keilmuan:Anestesiologi, Farmakologi dan Patologi Klinik. Ruang lingkup tempat: Instalasi Bedah Sentral dan Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Kariadi Semarang. Ruang lingkup waktu :Desember 2008 sampai Maret 2009. Populasi terjangkau:Semua pasien di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUP Dr. Kariadi pada bulan Desember 2008 sampai Maret 2009. Populasi target : semua pasien Bedah Onkologi di Instalasi Bedah Sentral
94

Jurnal Anestesiologi Indonesia

(IBS) RSUP Dr. Kariadi pada bulan Desember 2008 sampai Maret 2009. Sampel meliputi semua pasien Bedah Onkologi di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUP Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada bulan Desember 2008 sampai Maret 2009. Sampel yang ada di kelompokkan menjadi dua kelompok menggunakan Randomized Clinical Control Trial. Sampel dikelompokkan dengan cara acak, dimana pasien pertama dikelompokkan dalam kelompok 1 (K1), pasien kedua dimasukkan kedalam kelompok 2 (K2), pasien ketiga masuk ke dalam kelompok 1 (Kl) dan seterusnya secara berselangseling. Peneliti tidak mengetahui pasien berikutnya (blind) karena urutan pasien berdasarkan pendaftaran di loket Instalasi Bedah Sentral yang berubah setiap harinya. Kedua kelompok penelitian ini diberikan perlakuan yang berbeda sebagai berikut : Kelompok 1 (Kl): menggunakan obat anestesi induksi propofol 2,5 mg/kg intravena (dosis anestesi induksi 1,5-2,5 mg/kg intravena) sebagai obat anestesi induksi. Kelompok 2 (K.2): menggunakan obat anestesi induksi penthotal 5 mg/kg intravena (dosis anestesi induksi 4-5 mg/kg intravena) yang juga sebagai obat anestesi induksi. Kriteria inklusi Menjalani operasi elektif dengan general anestesia (GA), pasien bedah onkologi,

Status fisik ASA I-II, usia 19-39 tahun, berat badan normal Kriteria eksklusi Pasien menderita DM, hipertensi, menggunakan obat NSAID, kadar trombosit < 100.000/L -atau > 400.000/L, riwayat merokok, kadar kolesterol > 200 mg/dl. Seleksi penderita dilakukan saat kunjungan prabedah di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada penderita yang akan menjalani operasi elektif dengan anestesi umum, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Penderita diberikan penjelasan tentang hal-hal yang akan dilakukan, serta bersedia untuk mengikuti penelitian dan mengisi informed consent. Pasien secara random dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok 1 (K1): propofol dan kelompok 2 (K2): penthotal, sehingga masing-masing kelompok berjumlah 17 orang. Semua pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi, kebutuhan cairan selama puasa dipenuhi sebelum operasi dengan menggunakan Ringer Laktat. Sampel diambil dari akses jalur pembuluh darah vena perifer sebanyak 10 cc. Sampel dimasukkan tabung vaccum yang sudah berisi citrate anticoagulant. Sampel segera dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Kariadi sebagai sampel sebelum perlakuan untuk dilakukan pemeriksaan agregasi trombosit. Pengambilan sampel sebanyak 10 cc akan di bagi untuk mengisi ke-3 tabung sebanyak 3 cc/tabung sesuai

95

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dengan pemberian ADP 2 M; 5M dan 10 M sebagai induktor agonis trombosit. Saat operasi semua pasien diinduksi dengan propofol atau penthotal. Untuk pemeliharaan anestesi pada kedua kelompok mendapat perlakuan tidak berbeda, kelompok 1 menggunakan obat anestesi induksi propofol 2,5 mg/kg intravena, sedangkan kelompok 2 mengunakan obat anestesi induksi penthotal 5 mg/kg intravena. Anestesi dipertahankan pada seluruh kasus dengan inhalasi campuran N2O:O2 (50%:50%). Pasien menerima premedikasi ranitidin 50 mg 2 jam sebelum operasi. Setelah dilakukan kanulasi pada pembuluh vena, larutan saline fisiologis diberikan dan 1-2 g/kg fentanyl. Kemudian dilakukan induksi anestesi dengan cara yang telah tersebut di atas. Pelemah otot digunakan atracurium 0.5 mg/kg. Pada semua kelompok sampel darah diambil sebelum dilakukan pemberian obat anestesi induksi (propofol atau penthotal) dan 5 menit setelah dilakukan obat anestesi induksi (propofol atau penthotal). Pengambilan sampel dilakukan 5 menit setelah anestesi induksi berdasarkan dari onset (mula kerja), durasi (lama kerja) kedua obat anestesi induksi dan penelitian terdahulu. Onset dan durasi dari propofol adalah 40 detik dan 5-10 menit, sedangkan penthotal adalah 10-20 detik dan 5-15 menit. Sampel darah diambil sebanyak 10 cc, dimasukkan ke dalam tabung vaccum yang sudah berisi citrate anticoagulant. Sampel segera dikirim ke Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Kariadi sebagai sampel sesudah perlakuan untuk dilakukan
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

pemeriksaan agregasi trombosit. Pengambilan sampel sebanyak 10 cc akan di bagi untuk mengisi ke-3 tabung sebanyak 3 cc/tabung sesuai dengan pemberian ADP 2 M; 5M dan 10 M sebagai induktor agonis trorbosit. Data yang terkumpul kemudian diedit, dikoding dan di-entry ke dalam file komputer. Setelah itu dilakukan cleaning data. Analisis deskriptif dilakukan dengan menghitung proporsi gambaran karakteristik responden menurut kelompok perlakuan. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisis analitik dilakukan untuk menguji prosentase agregasi maksimal trombosit kedua kelompok dengan uji paired t-test. Semua uji analitik menggunakan = 0,05 Semua perhitungan statistik menggunakan software SPSS 15. HASIL Telah dilakukan penelitian tentang perbedaan pengaruh pemberian propofol dan penthotal terhadap agregasi trombosit pada 34 orang penderita yang menjalani operasi dengan status fisik ASA I dan II setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok, masing- masing adalah : Kelompok 1 (K1) : menggunakan obat anestesi induksi propofol 2,5 mg/kg intravena (dosis anestesi induksi 1,5-2,5 mg/kg intravena) sebagai obat anestesi induksi.

96

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kelompok 2 (K2) : menggunakan obat anestesi induksi penthotal 5 mg/kg intravena (dosis anestesi induksi 4-5 mg/kg intravena) sebagai obat anestesi induksi.
Tabel 2. Karakteristik.umum subyek pada masingmasing kelompok
No Variabel Kel. Propofol (n=17) Jenis Kelamin 1 Laki-laki Perempuan 2 Umur (tahun) Body Mass Index Tek Darah Sistol Tek Darah (mmHg) Diastol Nadi (mmHg) Status ASA ASA I ASA II 8 Jumlah trombosit Gula darah sewaktu 2 (11,8%) 33,295,15 7 22,9012,9 16 126,127,0 88 74,596,03 2 82,5313,0 77 15 (88,2%) 2 (11,8%) 248,88 48,385 116,65 12,584 3 (17,6%) 34,123,777 0,911 15 (88,2%) 14 (82,4%) Kel. Penthotal P (n=17)

tekanan darah diastol, nadi, jumlah trombosit, dan gala darah sewaktu sebelum dilakukan perlakuan. Pada tabel 3 menunjukkan data sebelum perlakuan pada kelompok I (Propofol) dan II (Penthotal) didapatkan hasil uji normalitas menunjukkan nilai prosentase agregasi trombosit maksimal berdistribusi normal dengan induktor 10 M ADP, 5 M ADP, dan 2 M ADP.
Tabel 3. Uji normalitas prosentase agregasi trombosit sebelum perlakuan
Perlakuan Variabel Induktor Propofol (n=17) Penthotal (n=17) prosentase Propofol Penthotal Propofol Penthotal 0,307 0,505 0,570 0,188 0,428 0,590 P

22,5382,778

0,784

4 5 6 7

127,299,157 74,767,604 79,829,112 14 (82,4%) 3 (17,6%) 240,06 48,073 115,65 13,076

0,603 0,616 0,375

agregasi maks. 10 m ADP trombosit prosentase agregasi maks. 5 m ADP trombosit prosentase agregasi maks. 2 m ADP

Propofol Penthotal

0,582

trombosit

0,822

Uji normalitas Shapiro-Wilk digambarkan pada tabel 2, dimana karakteristik umum subyek pada masing-masing kelompok memiliki distribusi yang normal (p > 0,05), sehingga untuk uji homogenitas diperlukan analisis statistik dengan independent t test. Hasilnya didapatkan data yang homogen (perbedaan yang tidak bermakna, p > 0,05) dari semua variabel yakni umur, BMI, tekanan darah sistol,
97

Pada tabel 4 menunjukkan data sesudah perlakuan pada kelompok I (Propofol) dan II (Penthotal) didapatkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk menunjukkan nilai prosentase agregasi maksimal trombosit berdistribusi normal dengan induktor 10 M ADP, 5 M ADP, dan 2 M ADP.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 4. Uji normalitas prosentase agregasi trombosi sesudah perlakuan


Perlakuan Variabel prosentase agregasi maks. trombosit prosentase agregasi maks. trombosit prosentase agregasi maks. trombosit 2 m ADP 5 m ADP Induktor Propofol (n=17) Propofol Penthotal (n=17) Penthotal Propofol Penthotal Propofol Penthotal p Keterangan

Tabel 5. Nila rerata dan prosentase agregasi maksimal trombosit sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok propofol dan penthotal (dengan induktor ADP 10 M)
No Keterangan Kel. Propofol Kel. Penthotal Sebelum 73,04 7,68 74,54 7,15 Sesudah 54,68 9,55 68,73 6,06 P 0,0001 0,000

10 m ADP

0,090 0,268 0,234 0,095 0,068 0,234

distribusi normal distribusi normal distribusi normal distribusi normal distribusi normal distribusi normal

1 2

Data dianalisis secara parametrik menggunakan uji pair t-test untuk melihat perbedaan prosentase agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan dengan 10 M ADP. Dari tabel 5 nampak bahwa sebelum dan sesudah perlakuan dengan .induktor ADP 10 M pada kelompok propofol terbukti menyebabkan penurunan prosentase agrgegasi maksimal trombosit yang secara statistik berbeda secara bermakna p < 0,0001 (p < 0,05). Sedangkan untuk kelompok penthotal didapatkan perbedaan yang bermakna terhadap prosentase agregasi maksimal trombosit dengan p = 0,1000 (p < 0,05). Pada gambar 1 digambarkan perbandingan perubahan prosentase agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kedua kelompok dengan menggunakan induktor 10 M ADP, 5 M ADP, dan 2 M ADP.

Gambar 2. Perbandingan perubahan prosentase agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok propofol dan penthotal.

Berikut dalam tabel 6 digambarkan bahwa sebelum diberi perlakuan antara kelompok propofol dan penthotal yang diberi induktor ADP 10 M ditemukan perbedaan prosentase agregasi maksimal trombosit yang tidak bermakna p = 0,562 (p > 0,05), kemudian yang sesudah diberi perlakuan antara kelompok propofol dan penthotal yang diberi induktor ADP 10 M juga ditemukan perbedaan prosentase agregasi maksimal trombosit yang bermakna p < 0,0001 (p < 0,05). Pada gambar 2 menggambarkan delta perubahan rerata prosentase agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian propofol dan sesudah pemberian penthotal

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

98

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dengan ADP 10 M, ADP 5 M, dan ADP 2 M sebagai induktor.


Tabel 6. Perbedaan prosentase agregasi maksimal trombosit sesudah perlakuan pada kelompok propofol dan penthotal (dengan induktor ADP 10 M, 5 M ADP, dan 2 M ADP)
N o 1 Indukt or ADP 10 M Kel. Propofol (n=17) Sebelum Sesudah 2 ADP 5 M Sebelum Sesudah ADP 2 M 3 Sebelum Sesudah 73,04 7,68 54,68 9,55 52,94 10,04 35,76 11,90 19,65 4,06 20,20 4,59 Kel. Penthotal (n=17) 74,54 7,15 68,73 6,06 53,40 6,73 45,92 8,83 20,78 3,89 21,59 4,35 0,562 <0,0001 0,875 0,005 0,414 0,370

Ket

masing kelompok perlakuan. Semua sampel pada kedua kelompok sebelum perlakuan mempunyai gambaran normoagregasi. Kemudian sesudah perlakuan didapatkan gambaran dari 34 sampel untuk kelompok propofol 14 orang hipoagregasi (82,4 %), dan 3 orang normoagregsi (17,6 %).

Gambar 4. Kurva hasil Tes Agregasi Trombosit sebelum perlakuan pada kelompok propofol.

Gambar 3. Delta perubahan prosentase agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian propofol dan sesudah pemberian penthotal.

Gambar 5. Kurva hasil Tes Agregasi Trombosit sesudah perlakuan pada kelompok propofol

Hasil Tes Agregasi Trombosit yang terbaca oleh PACKS 4 selain menunjukkan prosentase agregasi trombosit juga menggambarkan pola kurva agregasi yang terbentuk oleh masingmasing dosis induktor ADP pada masing-

Sementara pada kelompok penthotal 5 orang hipoagregasi (29,4 %) dan sisanya 12 orang normoagregasi (70, 6 %)

99

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gaardener dkk, mengidentifikasi molekul/substansi tersebut sebagai ADP.

Gambar 6. Kurva hasil Tes Agregasi Trombosit sebelum perlakuan pada kelompok penthotal.

Gambar 8. Perbedaan propofol dan penthotal dalam menyebabkan hipoagregasi

Gambar 7. Kurva hasil Tes Agregasi Trombosit sebelum perlakuan pada kelompok penthotal.

Secara statistik propofol secara bermakna menyebabkan hipoagregasi daripada penthotal, p < 0,0001 (p < 0,05). Hal ini lebih jelasnya terlihat pada gambar 3. PEMBAHASAN Observasi yang dilakukan Hellem tahun 1960 tentang suatu molekul kecil yang berasal dari eritrosit dapat memacu adhesi trombosit pada gelas. Olligard menjumpai bahwa molekul tersebut juga menyebabkan agregasi trombosit.

Selanjutnya ADP dikenal sebagai salah satu agonis/induktor tertua yang dapat memicu aktivasi trombosit. Agonis ini akan menginduksi tranduksi sinyal yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan. ADP yang terikat pada reseptor (integrin) di permukaan trombosit mengaktifkan enzim fosfolipase A untuk memecah fosfolipid membran trombosit sehingga asam arakidonat dilepaskan. Enzim siklooksigenase-1 (COX-1, prostaglandin sintase) mengkatalisis transformasi asam arakidonat menjadi prostaglandin G2 (PGG2), lalu enzim peroksidase mengubah PGG2 menjadi PGH2 (prostaglandin H2), selanjutnya PGH2 akan diubah menjadi tromboksan A2 (TxA2). Efek biologik TxA2 menyebabkan pelepasan granula sekunder dari trombosit, merangsang sekresi ADP oleh trombosit sendiri sehingga terjadi agregasi trombosit irreversible. Disamping itu, setelah ADP terikat pada reseptornya maka trombosit akan mengalami perubahan bentuk dari cakram menjadi bulat, sehingga reseptor

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

100

Jurnal Anestesiologi Indonesia

untuk fibrinogen yaitu GP IIb-IIIa, fibrinogen, tromboksan A2, diperlukan kofaktor ion kalsium atau magnesium, fibronektin, GP Ib-IX, untuk mengawali agregasi trombosit. Ion kalsium akan menghubungkan fibrinogen dimana fibrinogen menjadi jembatan antar trombosit yang akan mengikat trombosit yang berdekatan dalam suatu agregat. Respon trombosit tergantung dari kadar ion kalsium (transmiter) yang dilepaskan ke dalam sitoplasma. Peningkatan kalsium intrasel memudahkan pembentukan asam arakidonat yang dimetabolisir menjadi TxA2. Penelitian terdahulu melaporkan pada kelompok umur yang sama disimpulkan bahwa nilai rujukan prosentase agregasi maksimal dengan induktor ADP 2 M : 7,1-36,7 prosentase27 dengan pola kurva gambaran satu gelombang agregasi primer reversible (mengalami disagregasi).29 Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa penggunaan ADP dengan kadar rendah (0,5-2,5 M) akan menyebabkan terjadinya respons agregasi primer yang bersifat reversible. Pada keadaan in vitro ini, pertama-tama ADP yang ditambahkan terikat pada reseptornya dan melepaskan ion Ca2+. Selanjutnya terjadi perubahan bentuk trombosit yang direfleksikan dengan peningkatan ringan absorbans pada agregometer, setelah itu terbentuk kompleks atau ikatan dengan fibrinogen pada kontak antar sel sehingga terjadi agregasi reversible. Disimpulkan bahwa ADP 2 M merupakan kadar induktor terendah yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk menetapkan kemungkinan hiperagregasi yaitu apabila nilai prosentase
101

agregasi maksimal trombosit lebih tinggi dan rentang nilai rujukan tertinggi disertai pola kurva agregasi irreversible. Nilai rujukan prosentase agregasi maksimal trombosit dengan induktor ADP 10 M : 66,3 - 97,7 prosentase, dikatakan bahwa induktor ADP > 5 M secara langsung akan memacu pembentukan agregasi trombosit tanpa tergantung kandungan ADP yang dilepaskan oleh trombosit sendiri. ADP dengan dosis ini dianggap dapat digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan keadaan hipoagregasi apabila nilai prosentase agregasi maksimal trombosit lebih rendah dari rentang nilai rujukan terendah, sehingga pada penelitian ini induktor yang paling tepat digunakan yaitu dengan dosis ADP 10 M. Pemberian induktor dosis tinggi pada Tes Agregasi Trombosit diharapkan akan menyebabkan agregasi trombosit primer irreversible diikuti pelepasan granula padat dan granula yang kemudian menyebabkan aktivasi jalur asam arakidonat dan pembentukan tromboksan A2, menghambat aktivitas enzim adenil siklase sehingga terjadi penurunan siklik AMP (cAMP). ADP yang disekresi granula padat akan merangsang agregasi lebih lanjut sehingga agregasi trombosit bertambah, dan sewaktu-waktu dapat membentuk kurva bifasik. Hasil lain dari penelitian ini bahwa dengan ADP 10 M untuk kelompok penthotal antara sebelum dan sesudah perlakuan juga memberi perbedaan yang bermakna p < 0,001 (p < 0,05), hal ini semakin memperkuat pendapat yang mengatakan
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

bahwa penthotal bisa dikatakan dapat mempengaruhi secara bermakna respon trombosit terhadap aktivasi ADP. Sedangkan pada kelompok propofol dengan induktor 10 M. antara sebelum dan sesudah perlakuan didapatkan perbedaan yang bermakna p < 0,0001 (p < 0,05). Hasil ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh De la cruz, dkk dimana dikatakan propofol 2,5 mg/kg intravena menghambat intensitas maksimum agregasi trombosit. Propofol menghambat agregasi trombosit pada whole blood secara invitro.10,16 Dengan ADP 10 M diharapkan terjadi pelepasan granula sekunder dari permukaan trombosit dan terbentuklah agregasi sekunder, dimana perlu diingat agregasi sekunder terjadi akibat pelepasan granula padat setelah terjadinya agregasi primer sehingga kembali membuat jalur arakidonat dan terbentuk tromboksan A2. Tromboksan A2 ini akan menurunkan konsentrasi cAMP (Adenosin Mono Phosphat cyclic) yang berfungsi mengendalikan konsentrasi ion Kalsium bebas yang dibutuhkan dalam proses agregasi. Kadar cAMP yang tinggi menyebabkan kadar ion Kalsium bebas dalam trombosit yang digunakan dalam proses agregasi. Penelitian ini juga disebutkan bahwa sesudah pemberian propofol dan sesudah pemberian penthotal dengan induktor 10 M ditemukan perbedaan yang bermakna antara sesudah pemberian propofol dan sesudah pemberian penthotal dengan p < 0,0001 (p < 0,05), dimana pada propofol terjadi penurunan rerata prosentase agregasi maksimal trombosit. Hal tersebut

memperkuat pernyataan yang mengatakan pemberian propofol secara bermakna menurunkan aktivasi ADP pada proses terjadinya agregasi trombosit bila dibandingkan dengan pentothal.34,35 Pemberian induktor ADP 10 M merupakan induktor terkuat yang umumnya digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan keadaan hipoagregasi apabila nilai prosentase agregasi maksimal trombosit lebih rendah dari rentang nilai rujukan terendah dan disertai pola kurva agregasi reversible. Alasan pemilihan ADP sebagai induktor disamping induktor lain seperti epinefrin, kolagen, trombin, asam arakidonat yaitu karena dianggap paling tepat dalan menilai fungsi agregasi trombosit, dimana hanya selektif untuk agregasi trombosit dan stimulasinya bersifat langsung. Bersama epinefrin merupakan induktor berkekuatan lemah dan menimbulkan respon yang sama namun dilaporkan 30 prosentase dari populasi normal tidak memberi respon terhadap epinefrin. Sedangkan kolagen dan trombin sebgai induktor kuat berperan utama memacu trombosit melepaskan ADP dan tromboksan A2. Hasil dari penelitian ini mendukung penelitian sejenis penelitian De la cruz, dkk yang menyatakan bahwa propofol menurunkan sensitivitas ADP terhadap terjadinya agregasi trombosit, namun penelitian tersebut juga menghubungkan dengan kejadian memanjangnya waktu perdarahan yang secara signifikan ditemukan hubungan yang kuat di antaranya. Walaupun peran agregasi trombosit pada manifestasi memanjangnya waktu perdarahan dianggap mempunyai peran besar, namun juga harus dipikirkan
102

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

penyebab lainnya dimana juga terjadi relaksasi sel-sel otot polos pembuluh darah akibat halotan di samping akibat pengaruhpengaruh komponen lain seperti faktor pembuluh darah dan faktor koagulasi. Sementara penthotal yang pada penelitian ini dinyatakan secara bermakna p < 0,001 (< 0,-05) menurunkan rerata agregasi maksimal trombosit berarti tidak mendukung penelitian-penelitian sebelumnya seperti Gries (2001), dkk dimana penthotal 200 ug/ml memberikan kelengkapan penghambatan trombosit secara bermakna. Menurut beberapa sumber dinyatakan bahwa potensi hambatan agregasi trombosit akibat obat-obat anestesi inhalasi ini bersifat reversible, akan kembali ke fungsi semula seiring dengan hilangnya paparan obat. Ini menjelaskan mengapa beberapa penelitian sukar menjelaskan hambatan yang terjadi akibat paparan obat anestesi induksi akibat kemungkinan sebagian konsentrasi obat yang mengalami evaporasi. Pada penelitian ini sudah dikecilkan kemungkinan tersebut dengan pengambian spesimen langsung dengan tabung vakum.38 Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, penilitian ini selain melihat perbedaan respon pemberian propofol maupun penthotal terhadap rerata agregasi maksimal yang terjadi, juga membandingkan hasil interpretasi tes agregasi trombosit dengan mengamai pola kurva agregasi, yang akhirnya bila keduanya digabungkan semakin mendukung bahwa propofol secara

bermakna selain menurunkan rerata agregasi maksimal trombosit juga menyebabkan terjadinya hipoagregasi trombosit lebih besar daripada penthotal. Hal ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan tambahan dalam memilih obat anestesi induksi terutama pada pasien dengan kelainan perdarahan atau yang berisiko terjadi perdarahan masif perioperatif, dan dari hasil penelitian ini penthotal dianggap lebih baik daripada propofol. Keterbatasan penelitian, pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan kolesterol untuk mengeksklusi dalam pemilihan sampel. Sedangkan kolesterol merupakan salah satu factor yang dapat mempengaruhi agregasi trombosit, menurut penelitian Labios M dkk, pasien dengan hiperkolesterol memiliki kadar GP IIb-IIIa yang lebih besar daripada pasien dengan kadar lipid yang normal. SIMPULAN DAN SARAN Hasil Tes Agregasi Trombosit (TAT) dengan menggunakan ADP sebagai induktor adalah : Terdapat perbedaan bermakna pada prosentase agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah pemberian propofol. Terdapat perbedaan bermakna pada prosentase agregasi maksimal trombosit antara sebelum dan sesudah pemberian penthotal. Terdapat perbedaan bermakna pada prosentase agregasi maksimal trombosit antara sesudah pemberian propofol dan sesudah pemberian penthotal.

103

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Propofol secara bermakna menyebabkan hipoagregasi lebih banyak daripada penthotal. SARAN Propofol secara bermakna menyebabkan hipoagregasi, sehingga pemakaian obat anestesi induksi untuk anestesi umum sebaiknya dihindari pada pasien dengan kelainan koagulasi maupun pada operasi yang cenderung terjadi perdarahan massif. Penthotal merupakan salah satu pilihan untuk obat anestesi induksi pada anestesi umum untuk pasien dengan kelainan koagulasi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut apakah pemberian obat anti perdarahan dapat mengurangi efek propofol dalam menghambat proses agregasi trombosit.

5.

Gepts E, Camu F, Cockshott D, Douglas E.J. Disposition of propofol administered as constant rate intravenous infusion in humans. Anaesth Analg 1987; 66: 125663. Wikipedia. Sodium thiopental. 26 February 2008 [on line]: URL.http://www.en.wikipedia.or/wiki/bar biturate. Stoelting RK, Hillier SC. Propofol. In: Nonbarbiturate intravenous anesthetic drug. In: Pharmacology and Physiology in anesthetic Practice, 4th ed. Philadelphia: Lippincott 2006; 156-63. Musacchio E, Rizzoli V, Bianchi M,.Bindoli A, Galzigna L. Antioxidant action of propofol on liver microsomes, mitochondria and brain synaptosomes in the rat. Pharmacol. Toxicol 1991; 69: 757. De la Cruz JP, Villalobos MA, Sedeno G, Sanchez DC. Effect of propofol on oxidative stress in an in vitro model of anoxia-reoxygenation in the rat brain. Brain Res 1998; 800: 136-44.

6.

7.

8.

9.

DAFTAR PUSTAKA
1. Catherine M. Baldy. Pembekuan dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep linis proses-proses penyakit. Edisi ke 4. Jakarta: EGC, 1995; 264-5. Guyton and Hall. Buku Ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 9. Jakarta: EGC. 1997; 579-82. Kartono D, Thaib MR Masalah perdarahan pada pembedahan. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1986; 20-6. Morgan. GE, Mikhail MS, Murry MJ, Larson CP. Inhalational Anesthetic. In: Clinical Anesthesiology. 3thed. New York: Lange Medical Books/McGrew-Hill Medical Publishing Edition, 2002; 127-51.

2.

10. Dela cruz JP, Carmona JA, Paez MV, Blanco E, Sanchez DC. Propofol inhibits in vitro platelet aggregation in human whole blood. Anesth Analg 1997; 84: 91921. 11. Aoki H, Mizobet, Nozuchi S, Hiramatsu. N. In vivo and in vitro studies of the inhibitory effect of propofol on human platelet aggregation. Anesthesiology 1998; 88: 362-70. 12. Dogan IV, Ovali E, Eti Z, Yayci A, Gogusf Y. The in vitro effect of isofluorane, sevofluorane, and propofol on platelet aggregation. Anesth Analg 1999; 88: 432-36.

3.

4.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

104

Jurnal Anestesiologi Indonesia

13. De la Cruz JP, Paez MV, Carmona JA, Sanchez DC. Antiplatelet effect of the anesthetic drug propofol influence of red cells and leucocytes. Br J Pharmacol 1999; 128: 1538-44. 14. De la Cruz JP, Zanca A, Carmona JA, Sanchez DC. Effect of propofol on oxidative stress in platelets from surgical patients. Anesth Analg 1999; 89: 1050-5. 15. De la Cruz JP, Sedeno G, Carmona JA, Sanchez DC. In vitro effects of propofol on tissular oxidative stress in the rat. Anesth Analg 1998; 87: 1141-615. 16. Mendez D, De La Cruz JP, Arrebola MM, Guerrero A, Gonzalez-Correa, Garcia-Temboury E, and all. The effect of propofol on the interaction of platelets with leukocytes and erythrocytes in surgical patients. Anesth Analg 2003; 96: 713-19. 17. Dordoni, PL, Frassanito L, Bruno MF, Proietti R, De Cristofaro R, Ciabattoni G dkk. In vivo and in vitro effects of different anaesthetics on platelet function. Br J Haematol 2004; 125: 79-82. 18. Parolari A, Guamieri D, Alamanni F, Toscano T, Tantalo V, Gherli T dkk. Platelet function and anesthetics in cardiac surger. An in vitro and ex vivo study. Anesth Analg 2007; 89: 26-31. 19. Gries A, Weis S, Herr A, Graf BM, Seelos R, Martin E, Bohrer H. Etomidate and thiopental inhibit platelet function in patients undergoing infrainguinal vascular surgery. Acta Anaesthesiol Scand 2001; 45: 449-57. 20. Kassim M. Effect of intravenous infusion of oropofol on platelet function during ENT procedures for endoscopic carbon dioxide laser, septoplasty and Endoscopic nasal surgery. Anesthesiology J 2001; 5.

21. Sluand EM, Klein HG. Effect of albumin on the inhibition of trombosit aggregation by beta lactam antibiotics. Blood J 2002;79 : 2002-27. 22. Petunjuk prosedur pemeriksaan agregasi trombosit. Semarang: Laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr. Kariadi Semarang. 23. Patel P, Gonzalez R. Impact of adenosine diphosphate and kalsium chelation on trombosit aggregation. J am Coll Cardiol 2006; 47: 464-5. 24. Colman RW. Aggregin: a platelet receptor that mediates activation. FASEB J 1990; 4: 1425-35. 25. Parise LV, Boudignon-Prouddhon C, Patricia J, Naik KP, Naik UP. Platelet ini hemostasis and thrombosis. In : Lee GR Foerster J, Lukens J, Paraskevas F,Gereer JR, Rodgers GM eds. 26. Altman R, Luciardi HL, Muntaner J, Herrera RN. The antithrombotic profile of aspirin. Aspirin resistance or simple failure. Thromb J 2004; 2. 27. Rahayuningsih DS. Pemantauan bat anti trombosit. Dalam: Pendidikan berkesinambungan Patologi Klinik 2004. Marzuki Suryaatmadja ed. Jakarta: 28. Stenberg PA, Hill RJ. Platelets and megakaryocytes. In : Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas F, Greer JP, Rodgers GM eds. Winthrobes Clinical Hemo\atology. 10th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1999: 615-60. 29. Lisyani BS. Hasil tes agregasi trpmbosit pada subyek sehat kelompok usia 19-39 tahun dibandingkan dengan 40 tahun ke atas. Media Medika Indonesiana 2006; 41: 69-77.

105

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

30. Koepke JA. Laboratory evaluation of platelets and Quantitive and qualitative disorders of platelets. In: Martin EAS, Lotspeich-steininger CA, Koepke FA eds. Clinical hematology principles, Procedures, correlations. 2nd. New York: Lippincott, 1998: 707-16. 31. Laffan MA, Manning RA. Investigation of hemostasis. In: Lewis Dm, Bain BJ, Bates I, eds. Practical hematology. 9th ed. London: Churchill Livingstone, 2001: 339-4. 32. Kottke-Marchant K, Corcoran G. The laboratory diagnosis of platelet disorders. An algorithmic approach. Arch Panthol Lab Med 2002; 126: 133-46. 33. Hoffbrandd AV, Petit JE. Trombosit, blood coagulation and haemostasis. In: Essential haematology. 3rd ed. Oxford: Blackwell Science, 1993; 299-17. 34. Olivier F, Marie FS, Lawrence L, Kamran S and Hugues C. Propofol inhibits human platelet aggregation induced by proinflammatory lipid mediators. In: Anesthetic Pharmacology. Anesth Analg 2004; 99: 393-398. 35. Hirakata H, Ushikubi F, Toda H. Sevoflurane inhibits human platelet aggregation and thromboxane A2 formation, possibly by suppression of cyclooxygenase activity. Anesth Analg 1996; 85: 1447-53. 36. Lisyani BS. Tes agregasi trombosit untuk pemantauan terapi anti trombosit. Dalam: Purwanto AP, Vincencia L, Megawati T. Kumpulan naskah simposium penyakit jantung koroner. Semarang: CV Agung, 2005, 23-34. 37. De la cruz, Carmona JA, Paez MV, Blanco E, De La Cuesta. Propofol inhibits in vitro platelet aggregation in human whole blood. Anesth Analg

38. Dogan, Varlik. The in vitro effects of enfluran, sevofluran and propofol on trombosit aggregation. Anesth Analg 1999; 88. 39. Labios M, Martinez M, Gabril F, Guiral V, Martinez E, Aznar J. Effect of atorvastatin upon platelet activation in hypercholesterolemia, evaluated by flow cymetry. Department of Internal Medicine, Clinic University Hospital, Valencia, Spain, 2005; 115: 263-70

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

106

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Cairan Pediatrik


Aditya Kisara*, Hariyo Satoto*, Johan Arifin*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Abstract Different fluids in children with fluid administration in adults, physiology of body fluids, renal and cardiovascular different from adults affect the type of fluid in children. For ease of maintenance amount of fluid in the child's needs can use the formula of Holliday. Maintenance fluid requirements should be added in children with fever and sweating a lot hypermetabolic status. In children who will operation, fluid replacement should be fasting. All the fluids lost during surgery should be replaced with isotonic crystalloid fluids, colloid or blood products. Abstrak Pemberian cairan pada anak berbeda dengan pemberian cairan pada dewasa. fisiologi dari cairan tubuh, ginjal dan kardiovaskuler yang berbeda dari orang dewasa mempengaruhi jenis cairan yang diberikan pada anak. Untuk memudahkan menghitug jumlah kebutuhan cairan rumatan pada anak dapat digunakan rumus dari Holliday dan Segar. Kebutuhan cairan rumatan harus ditambah pada anak dengan demam keringat yang banyak dan status hipermetabolik. Pada anak yang akan mejalani operasi, perlu diberikan cairan pengganti puasa. Semua cairan yang hilang selama operasi harus diganti dengan cairan isotonik kristaloid, koloid atau produk darah. PENDAHULUAN Penatalaksanaan terapi cairan pada anak yang akan menjalani operasi merupakan bagian yang penting dalam penatalaksanaan holistik pasien perioperatif. Kebutuhan cairan perioperatif dapat berubah dengan cepat akibat tindakan anestesi, prosedur operasi yang komplek, perubahan suhu tubuh dan lingkungan, metabolisme serta perpindahan cairan antar kompartemen. Terapi penggantian cairan pada pasien pediatrik didasarkan pada pemahaman mengenai perubahan fisiologis yang terjadi pada masa anak-anak, serta terhadap gangguan-gangguan yang mungkin muncul sebagai akibat dari penyakitnya. Tujuan dari pemberian cairan perioperatif adalah untuk memberikan cairan rumatan dan cairan pengganti (kehilangan cairan pre-operatif selama periode puasa, kehilangan cairan dan elektrolit intraoperatif, serta kehilangan darah).

107

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Seorang ahli anestesi harus dapat menentukan penyebab dari kehilangan cairan yang terjadi serta seberapa besar kehilangan cairan. Berbagai rumus telah diajukan untuk menghitung kebutuhan cairan dan elektrolit selama periode perioperatif pada bayi dan anak-anak. Beberapa didasarkan atas berat badan, luas permukaan tubuh (body surface area/BSA), ataupun asupan kalori. PERBEDAAN FISIOLOGI DAN DEWASA1,2 Komposisi Cairan Tubuh Distribusi cairan tubuh mengalami perubahan secara bertahap sejak kehidupan intra uterin dan selama masa dua tahun pertama kehidupannya. Janin dengan usia gestasi 28 minggu memiliki berat 1 kilogram dengan komposisi 80% air dan lemak 1%. Saat aterm, total cairan tubuh menurun 70% sampai 75% dan akan terjadi pergeseran cairan dari ekstrasel ke intrasel. Komposisi lemak meningkat sampai 17%. Sampai usia 12 bulan, total cairan tubuh bayi hanya 65% dari berat badannya dibandingkan sebanyak 60% pada dewasa. Kematangan ginjal Pematangan fungsi ginjal pada dasarnya tercapai pada akhir dari bulan pertama kehidupannya. Filtrasi glomerulus meningkat dengan cepat sejak usia gestasi 34 minggu, dimana saat itu struktur nefronnya sudah lengkap. Setelah lahir, resistensi pembuluh darah renal menurun secara cepat, sedangkan resistensi pembuluh darah sistemik dan tekanan ANAK

arteri meningkat. Sebagai akibatnya, aliran darah ke ginjal meningkat secara dramatris. Pada saat lahir fungsi tubular belum sematang fungsi glomerular. Kemampuan tubulus ginjal untuk mereabsorbsi natrium rendah pada bayi prematur dan akan membaik pada usia janin aterm. Karena itu pengawasan kesimbangan natrium yang ketat perioperatif mutlak diperlukan pada bayi prematur. Mekanisme umpan balik bagi renin-angiotensin-aldosteron juga belum matang pada neonatus, terutama bayi prematur. Belum sempurnanya perkembangan fungsi ginjal hingga sekitar akhir bulan pertama kehidupan, mengakibatkan kemampuan neonatus dalam pemekatan urin tidak efektif, sehingga bayi tidak mampu beradaptasi dengan perubahan volume air yang besar. Hal ini, ditambah dengan lebih tingginya kehilangan cairan insensibel/ insensible water loss (IWL) pada bayi dan neonatus akibat permukaan tubuh yang lebih luas dibanding dewasa, mengakibatkan makin rentannya bayi dan neonatus terhadap kondisi dehidrasi dan asidosis. Perubahan Kardiovaskular Bayi dan anak mempunyai curah jantung dan kosumsi oksigen yang lebih tinggi perkilogram berat badannya dibandingkan dewasa. Bayi mempunyai volume isi sekuncup yang tetap, sehingga untuk meningkatkan cursh jantung dilakukan dengan menaikkan frekuensi denyut jantungnya. Cadangan terhadap respon kardiovaskuler juga sangat terbatas. Setiap penurunan preload akan diikuti dengan penurunan kompliansi ventrikel kanan dan penurunan ejeksi sistolik ventrikel kiri.
108

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sebagai respon terhadap stress, misalnya hipoksia , akan teradi bradikardi sehingga curah jantung akan menurun. Penentuan Kebutuhan Cairan Terapi cairan dibedakan menjadi: rumatan/maintenance; penggantian defisit. Terapi rumatan dirancang untuk menggantikan kehilangan rutin cairan dan elektrolit tubuh1. Terapi defisit dirancang untuk menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit yang tidak normal; dinyatakan dalam jumlah kehilangan (cc)/kgBB (misal: dehidrasi). Bila penderita kekurangan ataupun kelebihan hidrasi, setelah pemberian terapi cairan parenteral, maka harus dilakukan penghitungan kembali secara individual, sehingga terapi dapat disesuaikan sesuai keadaan yang sebenarnya.Monitoring dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik dan penilaian perubahan-perubahan dalam

masukan, keluaran, dan berat badan.Pemeriksaan kimia serum dapat dilakukan sesuai dengan indikasi, namun tidak dapat menggantikan monitoring terhadap keadaan klinis penderita. Terapi Rumatan Kebutuhan cairan dan elektrolit berhubungan secara langsung dengan laju metabolisme. Perubahan laju metabolisme mempengaruhi produksi air endogen rnelalui oksidasi karbohidrat, protein, dan lemak. Ekskresi urin akan mempengaruhi kehilangan cairan urin dan produksi panas, yang 25% diantaranya dibuang melalui mekanisme IWL. Sekitar 1/3 kebutuhan cairan adalah untuk IWL; sedangkan 2/3 bagian lainnya adalah untuk kehilangan cairan dari ginjal3,4. Estimasi kebutuhan cairan rumatan normal dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi kebutuhan cairan rumatan normal4,5

Berat badan 10 kg pertama 10-20 kg berikutnya Untuk setiap kg di atas 20 kg

Jumlah 4 mL/kg BB/jam Tambah 2mL/kg BB/jam Tambah 1 mL/kg BB/jam

Kehilangan cairan insensibel (IWL) terjadi melalui paru dan kulit. Dari kulit sekitar 2/3 bagian; sedangkan dari paru sekitar 1/3 bagian dari total IWL. Kondisi-kondisi yang dapat mengubah kebutuhan cairan insensibel berkaitan dengan perubahan keluaran kalori, produksi panas, dan kebutuhan mengubah IWL untuk

pengaturan suhu tubuh.Insensible Water Loss akan meningkat pada peningkatan aktivitas ( 30%); pada demam (peningkatan sebanyak 12% tiap peningkatan 1C suhu tubuh), dan pada penurunan penguapan lingkungan. Sebaliknya, IWL akan menurun pada penurunan aktivitas, misalnya pada

109

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

keadaan koma dan hipotermi; dan penurunan suhu tubuh. IWL paru akan meningkat pada hiperventilasi; misalnya pada asma dan ketosidosis diabetes; dan akan turun pada lingkungan atau sistem ventilasi dengan kelembaban tinggi. Pada bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) atau sangat rendah (BBLSR), tingginya kuas permukaan tubuh dan rendahnya ketebalan kulit mengakibatkan kehilangan cairan melalui kulit yang sangat tinggi, yaitu mencapai 100-200 m/kgBB/24 jam. Terlebih lagi, kehilangan cairan insensibel ini akan makin meningkat jika dilakukan fototerapi untuk hiperbilirubinemia.2,5 Kehilangan cairan melalui urin akan meningkat bila kemampuan ginjal dalam pemekatan urin menurun, baik karena terjadinya peningkatan beban ginjal dan karena penurunan sekresi ataupun penurunan respon terhadap ADH. Beban ginjal akan meningkat pada kondisikondisi diabetes mellitus, paska pemberian infus manitol atau kontras radiografi, pada pembuangan elektrolit, atau pada diet tinggi protein. Penurunan sekresi ADH biasanya terkait dengan kondisi-kondisi yang melibatkan sistem saraf pusat (misalnya, kraniofaringioma); sedangkan penurunan respon tubulus terhadap ADH dijumpai pada diabetes insipidus 2,5 nefrogenik (DIN). TERAPI DEFISIT Beratnya Defisit Beratnya defisit cairan tubuh digambarkan dalam persentase penurunan berat badan

(Tabel 2). Penurunan berat badan secara akut ini lebih menggambarkan kehilangan cairan dan elektrolit, dibanding massa tubuh tanpa lemak. Pada sebagian besar situasi klinis, presentasi kehilangan berat badan ditentukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bayi dengan riwayat kehilangan cairan tanpa adanya gejala klinis dehidrasi, dianggap menderita dehidrasi ringan, dengan kehilangan berat badan 3-5% atau sekitar 30-50 mL/kgBB. Bayi dengan dehidrasi sedang, diduga mengalami kehilangan cairan sebanyak 710% berat badan, sedangkan bayi yang tampak jelas mengalami dehidrasi diduga mengalami kehilangan cairan sebanyak 10-15% berat badan, atau 100-150 mL/kgBB. Pada anak yang lebih besar, persentase cairan tubuh total terhadap berat badan lebih kecil, sehingga estimasi kehilangan cairan tubuh pada kondisi dehidrasi ringan, sedang, berat, secara berurutan adalah 5%, 7%, dan 10% dari berat badan.4,5 Jenis dehidrasi pada Tabel 3 mengambarkan kehilangan relatif cairan dan elektrolit berdasarkan kadar natrium serum dan osmolalitas plasma. Hal ini memiliki implikasi klinis penting, dilihat dari sudut pandang patofisiologi, terapi, dan prognosis. Osmolalitas intra- dan ekstraseluler akan dipertahankan pada kadar yang seimbang oleh sistem tubuh. Perubahan osmolalitas dalam satu kompartemen, akan diikuti dengan perpindahan cairan, yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan osmolalitas cairan antar kompartemen cairan tubuh

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

110

Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 2. Penilaian Klinis Beratnya Dehidrasi5,6 Tanda dan gejala Kehilangan berat badan (%) Kesan dan kondisi umum, bayi dan anak kecil Dehidrasi Ringan 3-5 Dehidrasi Sedang 6-9 Dehidrasi Berat 10 atau lebih Mengantuk, ekstremitas lemas, dingin, sianotik, lembab, bisa koma Biasanya sadar, ekstremitas dingin, lembab, sianotik, kulit jari berkerut, kejang Otot

Sadar / gelisah

Gelisah atau letargi, iritabel

Sadar Anak besar dan dewasa Sadar, hipotensi postural

Nadi radialis

Kecepatan dan tekanan normal Normal Normal

Cepat lemah

dan

Cepat, sangat lemah, kadang tidak terabe Dalam dan cepat Sangat cekung Rendah, mungkin tidak terukur

Respirasi Fontanella anterior Tekanan darah sistolik

Dalam, mungkin cepat Cekung Normal atau rendah; hipotensi ortostatik Cubitan kembali perlahan Cekung Tidak ada atau berkurang Kering Dehidrasi Sedang 2 detik 60-90

Normal

Elastisitas kulit Mata Air Mata Membran mukosa Tanda dan gejala Pengisian kembali kapiler Perkiraan defisit Caian (mL/Kg)

Cubitan segera Kembali Normal Ada Lembab Dehidrasi Ringan Normal 30-50

Cubitan tidak secara kembali Sangat cekung Tidak ada Sangat kering Dehidrasi Berat > 3 detik 100 atau lebih

111

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3.Dehidrasi dan Konsentrasi Natrium Serum. 5,6 Jenis Dehidrasi Hipotonik / hiponatremik Isotonik / isonatremik Hipertonik / hipernatremik Status Elektrolit Na serum < 130 mEq/L Na serum 130 - 150 mEq/L Na serum > 150 mEq/L

Pada dehidrasi isotonik atau isonatremik, tidak terjadi perubahan osmotik antar kedua dinding sel, sehingga tidak terjadi perubahan volume intraseluler. Pada dehidrasi hiporonik atau hiponatremik, cairan ekstraseluler relatif lebih hipotonik terhadap cairan intraseluler, sehingga air akan bergerak dari kompartemen ekstraseluler ke intraseluler. Hasilnya adalah terjadinya penurunan volume ekstraseluler berat yang, secara klinis tampak sebagai dehidrasi berat yang dapat mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Sebaliknya pada pasien dengan dehidrasi hipertonik atau hipernatremik, air akan berpindah dari intraseluler ke ekstraseluler untuk mengembalikan keseimbangan osmolalitas. Dehidrasi hipernatremik dan hiponatremik terjadi pada masing-masing 10-15% populasi, dan sekitar 70% dehidrasi pada pediatrik bersifat isotonik.Manifestasi klinik yang dijumpai pada berbagai derajat dehidrasi disajikan dalam Tabel 2. Cairan perioperatif Terapi cairan intra operatif meliputi penyediaan kebutuhan cairan rumatan, penggantian sisa defisit pre-operatif dan kehilangan cairan intra operatif.Panduan dari American Society of Anesthesiology mengenai puasa preoperatif pada anak memberikan rekomendasi puasa 4 jam
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

setelah minum ASI dan 6 jam setelah minum susu formula bagi semua bayi. Anak yang lebih besar harus puasa makanan padat dan susu formula 6 jam sebelum operasi. Minum cairan jernih sampai dengan 2 jam sebelum operasi tidak meningkatkan resiko terjadinya aspirasi dan mencegah dehidrasi serta memperpendek periode lapar.1,3 Pada anak yang melakukan puasa perioperatif seperti yang dianjurkan ASA, kehilangan cairan karena puasa sangat sedikit, sehingga tidak diperhitungkan dalam perhitungan kebutuhan cairan intraoperatif. Namun hal ini tidak selalu dapat diikuti, karena banyak yang melakukan puasa melebihi ketentuan yang sudah ditetapkan. Kekurangan cairan karena puasa dihitung berdasarkan kebutuhan rumatan setiap jam dengan dengan jumlah jam puasa. Direkomendasikan pemberian penggantian 50% kekurangan pada jam pertama dan 25% pada jam kedua dan ketiga.1,3 Banyak prosedur operasi yang berhubungan dengan kehilangan cairan tertentu selain darah. Kehilangan cairan ini terutama disebabkan oleh evaporasi dan redistribusi internal cairan tubuh. Besarnya cairan yang hilang tergantung pada ukuran luka, luasnya area operasi dan manipulasimanipulasi.

112

Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 4. Cairan yang hilang saat pembedahan akibat redistribusi dan evaporasi 3,4 Derajat Trauma Jaringan Minimal (misal hernioraphy) Moderat (misal kolesistektomi) Berat (misal reseksi usus) Kebutuhan Cairan Tambahan 0-2 mL/kg 2- 4 mL/kg 4-8 mL/kg

Selama operasi juga terjadi kehilangan cairan karena perdarahan dari luka operasi. Kehilangan ini harus diganti dengan cairan isotonik kristaloid, koloid atau produk

darah, tergantung dari kadar hematokrit anak. Perkiraan jumlah kehilangan darah maksimal (MABL) yang dapat diterima dapat dihitung dengan rumus berikut:1,3

(kadar hematokrit awal hematokrit target) perkiraan jumlah darah kadar hematokrit awal Dalam mengganti cairan kerena perdarahan sangat penting untuk mengetahui perkiraan volume darah (estimated blood volume). nilai MABL, tranfusi packed red cell harus segera diberikan. PEMILIHAN JENIS TERAPI CAIRANYANG DIBERIKAN Prinsip mendasar yang harus diingat adalah bahwa setiap defisit ataupun ketidakseimbangan mungkin akan membutuhkan cairan dengan komposisi yang berbeda bergantung pada jenis dan derajat gangguan elektrolit ataupun gangguan asam basa yang terjadi. Untuk penggantian problem-problem preoperatif, seperti misalnya dehidrasi dan asidosis metabolik, maka larutan isotonik dcngan elektrolit yang seimbang pada umumnya merupakan larutan yang paling reliabel.1,6 Kehilangan cairan melalui intestinal termasuk karena diare, terkecuali karena pilorus, dapat digantikan dengan menggunakan RL. Sedangkan, kehilangan cairan ruang ke-tiga pada umumnya
Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Tabel.5. Rata-rata volume darah3,5 Umur Neonatus Prematur Aterm Infant Dewasa Laki-laki Wanita 75 mL/kg 65 mL/kg 95 mL/kg 85 mL/kg 80 mL/kg Volume darah

MABL yang hilang dapat diganti dengan cairan kristaloid dengan komposisi garam seimbang sebanyak 3x jumlah MABL atau dengan koloid sebanyak 1x jumlah MABL. Jika perdarahan sudah melebihi

113

Jurnal Anestesiologi Indonesia

digantikan dengan menggunakan saline atau bolus RL; misalnya hidrasi preoperasi atas indikasi appendicitis.1,6 Selama operasi, sebagaian besar anak-anak dapat diberikan cairan tanpa dektrosa. Pada bayi dan anak yang lebih muda, pemberian caiaran yang mengandung dektrose 5% harus dihindari, namun caiaran yang mengandung dekstrosa 1% atau 2% dalam larutan ringer dapat diberikan.1 Neonatus berusia sampai 48 jam harus diberikan dekstrosa selama operasi. Hal ini dikarenakan bayi baru lahir mempunyai cadangan glikogen yang rendah dan keterbatasan kemampuan glukoneogenesis, sehingga neonatus berusia kurang dari 2 hari menjadi rentan terhadap 1,3 hipoglikemi. Pada masa pasca operatif, kehilangan caiaran yang barlangsung terus melalui pipa nasogastrik atau drain harus diganti dengan cairan isotonus. Kehilangan tersebut harus diukur tiap jam dan diganti dengan cairan tiap 2- 4 jam tergantung dari jumlah yang keluar.1 Jika RL digunakan sebagai bolus, harus diingat bahwa di dalamnya tidak mengandung glukosa, sehingga bila cairan ini menjadi satu-satunya sumber elektrolit, maka harus disertai pula dengan sumber glukosa dasar. Catatan lain yang harus diingat adalah bahwa: - Normal saline tidaklah normal atau fisiologis - karena memberikan masukan klorida yang sangat tinggi, yang dapat mempengaruhi status asam basa. Pada resusitasi akut, cairan tersebut relatif aman digunakan, namun

untuk pemberian post-operatif, biasanya RL lebih dipilih.1,3,4 DAFTAR PUSTAKA


1. Harijanto E.,editor. Panduan tatalaksana terapi cairan perioperatif; PP IDSAI; 2009 Behrman RE et al.Maintenance and replacement therapy In :Nelson textboox of pediatric 17th edition. Odsky. 2003; 242-50 Cunningham et al.Fluid and electrolytes In : Neonatology management 5th edition. McGraw-Hill.2004;69-75 Morgan GE.Pediatric anesthesia inclinical anesthesiology.Mc graw- hill.2006;935-7 Morgan GE.Fluid management&transfusion In Clinical anesthesiology.McGraw-Hill. 2006; 691701 Motoyama EK, Davis PJ, editor.Smiths anesthesia for infant and children,7th edition; Philadelphia; Mosby inc; 2006. Ambalavanan N;Fluid,electrolyte and nutrition management of the newborn[updated 2010 june 29]. Didapat dari:http://pediatrics.aapublication.org/cg Coulthard MG,Cheatis LS,Alvis D.Periopeatif fluid therapy in children; Br.J.Anaesth, January 2007:98:146-147. Didapat dari: http://bja.oxfordjournal.org/cgi Holliday A,Ray PE,Friednad AL.Fluid therapy for children: fact,faschions and questions; December 15 2006. Didapat dari:http://qjmed.oxfordjournals.org/cgi

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

114

Jurnal Anestesiologi Indonesia

10. Neville KA, Verge CF, Rosenborg AR.Isotonic is better than hypotonic saline for intravenous rehidration of children with gastroenteritis: a prospective randomised study; December 13 2005. Didapat dari: http://adc.bmj.com/content/9/3/326

11. Shafice MAS,Bohn D; How to select optimal maintenance intraenous fluid therapy; Qj med,2003:96.601-610. Didapat dari: http://qjmqed.oxfordjournal.org 12. Way C,Dhamrait R,Wadw a, Walker I.Perioperatif fluid therapy in children: a survey of current prescibing practice;Br.J.Anaesth, September 2006:97:371-379. Didapat dari: http://bja.oxfordjournal.org/cgi/content/

115

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan Sedasi dan Pelumpuh Otot di Unit Rawat Intensif
Tatag Istanto*, Jati Listiyanto Pujo*, Danu Soesilowati*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

Abstract Sedation should be administered to patients with critical illness who were treated in the ICU, it is used to reduce patient anxiety reducing patient anxiety of invasive measures, monitoring and treatment, reducing the oxygen demand by reducing the activity of the patient and amnesia effect of treatment in ICU. Muscle paralytic rarely used in the ICU for sedation usually be enough to calm the patient and provide patient comfort with mechanical ventilation. The use of excessive sedation or slightly increased patient morbidity. The use of paralytic muscle in a long time has many disadvantages to be considered, even more so when there is impaired hepatic and renal function in patients. Abstrak Sedasi sebaiknya diberikan pada pasien dengan penyakit kritis yang dirawat di ICU, hal ini digunakan untuk mengurangi kecemasan pasien mengurangi kecemasan pasien terhadap tindakan invasif, monitoring dan pengobatan, mengurangi kebutuhan oksigen dengan mengurangi aktivitas pasien dan menimbulkan efek amnesia terhadap perawatan di ICU. Pelumpuh otot jarang digunakan di ICU karena biasanya sedasi saja sudah mencukupi untuk menenangkan pasien dan memberikan kenyamanan pasien dengan ventilasi mekanik. Penggunaan sedasi yang terlalu berlebihan atau telalu sedikit meningkatkan angka morbiditas pasien. Penggunaan pelumpuh otot dalam waktu lama memiliki banyak kerugian yang harus dipertimbangkan, terlebih lagi bila terdapat gangguan fungsi hepar dan ginjal pada pasien. Sedasi juga digunakan untuk pengobatan pada epilepsi dan tetanus. Pelumpuh otot jarang digunakan di ICU karena biasanya sedasi saja sudah mencukupi untuk menenangkan pasien dan memberikan kenyamanan pasien dengan ventilasi mekanik, namun memang pada waktu tertentu pelumpuh otot digunakan misalnya saat mengalami kesulitan intubasi atau terapi spesifik seperti kejang.
1,2,3

PENDAHULUAN Sedasi sebaiknya diberikan pada pasien dengan penyakit kritis yang dirawat di ICU, hal ini digunakan untuk mengurangi kecemasan pasien mengurangi kecemasan pasien terhadap tindakan invasif, monitoring dan pengobatan, mengurangi kebutuhan oksigen dengan mengurangi aktivitas pasien dan menimbulkan efek amnesia terhadap perawatan di ICU.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

116

Jurnal Anestesiologi Indonesia

SEDASI Pengertian Penggunaan sedasi pada pasien di ICU ditujukan untuk mengurangi kecemasan pasien mengenai sakit yang diderita dan mengenai kemungkinan kematian, mengistirahatkan pasien, mengurangi sensasi yang tidak menyenangkan seperti rasa haus, alat monitoring dan tindakan invasif, mengurangi kecemasan pasien karena sulit berkomunikasi. 1,2 Indikasi Indikasi penggunaan sedasi selain untuk mengurangi kecemasan pasien dan mengistirahatkan pasien yaitu untuk membantu pasien yang kesulitan tidur, mengendalikan agitasi, melindungi dari iskemik miokard dan selama penggunaan pelumpuh otot.2 Medikamentosa
117

Tidak ada efek memanjang bila dihentikan, dan Tidak ada efek samping psikologis.

Jenis obat yang sering digunakan di ICU ada beberapa macam yaitu : Benzodiazepin Obat dalam kelas benzodiazepin mungkin adalah obat yang paling sering digunakan di ICU, obat golongan ini memiliki sifat hipnosis, amnesia dan ansiolisis, tetapi tanpa efek analgetik. Memiliki efek anti kejang. 1 Penggunaan benzodiazepin diberikan secara intermiten atau infus terus menerus, misalnya dengan dosis 1 mg/ml dan dititrasi sampai efek yang diinginkan. Dosis lazim yang digunakan sebesar 0,020,2 mg/kg/jam pada midazolam dan 5-10 mg iv pada diazepam yang memiliki masa kerja panjang. 1 Besarnya dosis sangat tergantung dari: 1 Pemberian benzodiazepin sebelumnya/toleransi, Umur, Status hidrasi 9(asien hipovolemik lebih sensitif) Gangguan fungsi hepar dan ginjal, Kombinasi dengan opioid. Riwayat penggunaan alkohol.

Sedasi yang digunakan sebaiknya memenuhi kondisi berikut: 1,2 Memiliki efek tidur, Dapat mengurangi kecemasan, Memiliki efek amnesia, Bersifat anti kejang, Tidak bersifat kumulatif, Tidak tergantung dari metabolisme oleh ginjal atau hepar, Tidak menekan fungsi respirasi atau kardiovaskuler, Tidak berinteraksi dengan obat lain, Murah, Onset cepat,

Midazolam Midazolam adalah benzodiazepin yang larut air, dengan durasi singkat. Menghasilkan metabolit alfa-hidroksi

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

midazolam. Midazolam dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hepar (sitokrom P450). Dosis yang digunakan yaitu 2,5-5 mg iv bolus atau 0,5-6 mg/jam infus kontinyu. Midazolam dapat diencerkan dalam D5% atau NaCl 0,9%. Efek midazolam menghilang dalam 30 menit-2 jam setelah infus kontinyu dihentikan. Pada pasien dengan terapi hemodialisis akumulasi metabolit aktif midazolam dapat menghasilkan efek sedasi yang memanjang. Kombinasi dengan opioid dapat menurunkan dosis benzodiazepin dengan menambah efek depresi nafas dan batuk yang sesuai pada pasien dengan ventilasi mekanik. Antagonis benzodiazepin, flumazenil, dapat digunakan untuk mengurangi efek samping akut seperti hipotensi, depresi respirasi atau untuk menilai fungsi neurologis secara cepat pada pasien dengan sedasi benzodiazepin.
1,3

propofol (propofol infusion syndrome) dengan gejala asidosis metabolik, perlemakan hepar dan kerusakan otot.1 Thiopentone Thiopentone digunakan untuk keperluan tertentu, seperti pada penganganan peningkatan TIK atau pengobatan status epileptikus. Penggunaan thiopentone dibatasi karena durasinya yang lama dan waktu paruh yang panjang pada infus kontinyu. 1 Ketamine Ketamine bekerja menghambat reseptor NMDA (N-methyl-D-Aspartat), yang menghasilkan keadaan sedasi yang dinamakan anestesi disosiasi, dengan ciri-ciri : sedasi ringan, amnesia, analgesia dan penurunan aktivitas motorik. Pengunaan di ICU terganggu dengan efek halusinasi dan delirium saan fase pemulihan, walaupun hal ini dapat dikurangi dengan pemberian benzodiazepin sebelumnya. Ketamine memiliki efek bronkodilatasi sehingga berguna pada sedasi pada pasien dengan asma. 1,3 Etomidate Tidak digunakan di ICU karena efek samping penekanan pada adrenokortikal. 1 Penenang Mayor (Major Tranquilizer) Penenang mayor seperti haloperidol dan clorpromazine dapat digunakan untuk menenangkan pasien, dengan bekerja pada reseptor dopaminergic, alfa-adrenergic, histamin, serotonin dan cholinergic,
118

OBAT ANESTESI INTRAVENA Propofol Propofol sering digunakan di ICU karena bekerja cepat, efektif dan efeknya menghilang dengan cepat. Kewaspadaan penggunaan propofol terutama pada pasien dengan hipovolemik dan gangguan miokard karena efek samping propofol menyebabkan hipotensi berat. Dosis yang digunakan di ICU lebih rendah dari dosis anestesi (6-12 mg/kg/jam). Oleh karena mengandung lipid, pemberian propofol dihitung juga sebagai sumber nutrisi. Penggunaan sedasi propofol dalam waktu lama dapat menyebabkan sindroma

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dengan efek kerja utama: mengurangi aktifitas motorik, mengurangi inisiatif, apatis, sedasi, mengurangi agresifitas dan antiemetik. 1 Namun obat golongan ini memiliki efek samping: 1 Efek ekstrapiramidal, Laktasi Efek antikolinergic, Hipotensi, Sindroma neuroleptik maligna.

Opioid Walaupun opioid digunakan sebagai analgetik, namun opioid juga memiliki efek sedasi yang dimanfaatkan di ICU. Isofluran 0,6% disebutkan sebagai salah satu anestesi inhalasi yang ideal untuk sedasi jangka panjang dengan efek samping cardiovaskuler minimal dan pemulihan yang cepat. 1,2 Dexmedetomidine Dexmedetomidine merupakan agonis alfa2 selektif yang memberikan efek analgesia dan sedasi. Dosis yang diberikan sebesar 1 mcg/kg dalam 10 menit diikuti dosis perawatan sebesar 0,2-0,7 mcg/kg/jam. Namun pemberian lebih dari 24 jam tidak dianjurkan. Efek samping yang dapat timbul yaitu hipotensi, bradikardia, hipoksemia, dan atrium fibrilasi. Obat agonis alfa2 yang lain, klonidin, dapat digunakan untuk memerkuat sedasi saat benzodiazepin dan opioid digunakan pada pasien di ICU. 1 Namun selain pemakaian obat sedasi, pasien dapat ditenangkan dengan komunikasi yang baik dengan staf ICU, fasilitas yang baik (kelembaban, cahaya, suhu dan ketenangan), penjelasan sebelum dilakukan tindakan infasif, manajemen yang baik untuk masalah lapar, haus, konstipasi dan diuresis, memberikan informasi mengenai waktu (siang dan malam).2

Keuntungan utama obat golongan ini yaitu dapat digunakan untuk menenangkan pasien tanpa risiko depresi respirasi. Obat ini tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang, kecuali untuk pengobatan psikosis. Dosis yang lazim digunakan pada haloperidol sebesar 5-20 mg/jam secara bolus intermiten sampai efek yang diinginkan dicapai. Antipsokotik atipik yang baru, yaitu olanzapin, dapat diberikan secara oral/sublingual dan memiliki efek samping yang lebih rendah dibanding obat antipsikotik tipikal. 1,2 Obat Anestesi Gas Penggunaan obat anestesi gas di ICU sangat terbatas karena: biayanya yang tinggi, alat yang lebih kompleks dan efek samping yang lebih banyak. Anestesi dalam gas dapat digunakan tindakan invasif di ICU. 1,2

119

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Obat sedasi di ICU2

Monitoring Tingkat sedasi yang diinginkan tergantung dari tujuan yang ingin dicapai, apakah sedasi dalam seperti pada pasien dengan status epileptikus atau sedasi ringan pada pasien dengan ventilasi mekanik. Pemantauan tingkat sedasi ini diperlukan untuk mengurangi biaya dan meningkatkan kualitas sedasi. Masalah yang dapat timbul yaitu : 1,2 Oversedasi (meningkatkan risiko pneumonia). Membutuhkan pemeriksaan neurulogi yang lebih sering, Lebih lama dirawat di ICU, Meningkatkan insidensi depresi.

Evoked potential.

Kedalaman sedasi sebaiknya dievaluasi setiap jam sampai tercapai kondisi stabil. Dianjurkan pasien sebaiknya nafas spontan secepat mungkin dengan mode ventilasi SIMV atau trigerred ventilation seperti pressure support. Tidak ada gold standard untuk monitoring sedasi. Pemeriksaan GCS sering dilakukan untuk monitoring, namun hal tersebut hanya untuk pasien dengan defisit neurologis. Pemantauan paling sering dilakukan dengan skoring Ramsay. Namun ini tidak berlaku pada pasien dengan pelumpuh otot, karena Ramsay berdasar pada respon motorik.

Tingkat sedasi dapat dipantau dengan beberapa metode seperti : Sistem skoring Ramsay (Tabel 1). Pemeriksaan dengan EEG, untuk menilai aktivitas cerebral. Visual Analog Scale.

pengawasan pada kestabilan hemodinamik dan pemeriksaan rutin neurologi terhadap adanya defisit neurologi. 2

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

120

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Skoring Ramsay2

Sedasi Pada Pasien Cedera Kepala Sedasi pada pasien dengan cedera kepala harus memenuhi syarat tertentu yaitu: bekerja cepat dan dapat dieliminasi dengan cepat, sedasi bersifat kuat, tidak memengaruhi kardiovaskuler dan autoregulasi serebral serta tidak kumulatif bila dipakai dalam waktu lama. Saat ini tidak ada obat sedasi yang ideal untuk pasien dengan cedera kepala. Obat-obatan saat ini dapat digunakan dengan PELUMPUH OTOT Pengertian Berkembangnya teknologi ventilasi dari hanya mode terkendali (IPPV) menjadi ditemukannya mode membantu (assisted), menyebabkan pemakaian pelumpuh otot jarang diberikan di ICU. Pelumpuh otot

masih diberikan untuk kasus tertentu misalnya: 1 Memudahkan proses intubasi, permulaan penggunaan ventilasi mekanik, atau tindakan bedah minor (trakheostomi). Untuk memudahkan transport pasien atau pemeriksaan penunjang (radiologi). Selama penggunaan ventilasi mekanik, bila sedasi saja tidak cukup untuk mencapai target, atau dalam kondisi tertentu , misalnya pasien dengan asma berat, memerbaiki parameter respirasi atau mengurangi VO2 pada pasien dengan hipoksemia berat. Indikasi spesifik seperti pada pasien tetanus.

121

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Medikamentosa Semua pelumpuh otot baik golongan depolarisasi maupun non-depolarisasi dapat digunakan di ICU. Golongan depolarisasi dapat digunakan dengan mewaspadai adanya beberapa hal pada pasien, seperti multiple injuries, gagal ginjal, kelainan neurologi, luka bakar, imobilisasi lama. Risiko hiperkalemia pada kondisi konsidi tadi cukup tinggi. Pelumpuh otot non-depolarisasi lebih banyak digunakan di ICU, namun sama seperti pelumpuh otot depolarisasi, ada kondisi yang harus diperhatikan misalnya :
1,2

Efek samping pelepasan histamin pada atracurium. Pasien tidak lagi memiliki reflek proteksi seperti batuk atau muntah, sehingga perhatian yang lebih besar perlu diberikan dalam merawat pasen yang dilumpuhkan. Tidak dapat menilai fungsi neurologis. Pemakaian yang lama dapat menyebabkan: gangguan elektrolit, miopati pada pelumpuh otot steroid (pancuronium, vecuronium), terutama bila digunakan bersamaan dengan kortikosteroid atau aminoglikosida. Dosis yang dapat digunakan pada pelumpuh otot vecuronium antara 1-2 mcg/kg/menit. Vecuronium Vecuronium dimetabolisme di hepar dan memiliki durasi 20-30 menit. Pada pasien dengan gagal ginjal / gangguan fungsi hepar, dosis harus disesuaikan.

Akumulasi zat/metabolit aktif pada pasien dengan gangguan ginjal atau hepar. Dalam kondisi ini atracurium dan cisatracurium berguna karean metabolisme mereka tidak dipengaruhi fungsi ginjal dan hepar, namun metabolit laudanosin pada atracurium perlu diwaspadai karena merupakan epileptogenik. Dosis yang digunakan antara 4-12 mcg/kg/menit.

Tabel 1. Pelumpuh Otot yang dapat digunakan di ICU 3

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

122

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Monitoring Penggunaan pelumpuh otot perlu dimonitor secara rutin, bisa dengan train of four, post tetanic count atau double burst stimulation. Selain itu pelumpuh otot dapat dihentikan sekali sehari untuk menilai fungsi neurologis pasien. 1 Komplikasi Penggunaan pelumpuh otot dapat menimbulkan beberapa masalah seperti: 2 Sedasi yang kurang adekuat , Akumulasi pada gagal ginjal, Miopati, Kecenderungan untuk oversedasi, Penggunaan Pelumpuh otot

ALGORITMA SEDASI Penggunaan sedasi (dan analgetik) yang tepat dapat menguntungkan bagi pasien. Banyak variasi pengelolaan sedasi di ICU, salah satunya seperti pada gambar 1. Dalam diagram alir ini skoring sedasi yang dipakai (SAS/Sedation Anxiety Score) menggunakan skoring Ramsay, dengan target skor 2. SIMPULAN Sedasi dipergunakan di unit rawat intensif untuk menenangkan pasien dalam melakukan tindakan monitoring dan atau tindakan invasif. Penggunaan sedasi yang terlalu berlebihan atau telalu sedikit meningkatkan angka morbiditas pasien. Penggunaan sedasi dalam jangka waktu lama di unit rawat intensif dapat dilakukan dengan infus kontinu, namun penghentian pemberian sedasi tiap hari perlu dilakukan. Selain untuk menilai perkembangan pasien (bila terdapat pemeriksaan neurologis), penghentian pemberian ini dapat mengurangi lama penggunaan ventilasi mekani dan lama tinggal di unit rawat intensif. Pelumpuh otot jarang digunakan di unit rawat intensif, kecuali bila ada kasus tertentu yang memerlukan seperti tetanus. Penggunaan pelumpuh otot dalam waktu lama memiliki banyak kerugian yang harus dipertimbangkan, terlebih lagi bila terdapat gangguan fungsi hepar dan ginjal pada pasien.

Dari beberapa penelitian penggunaan ventilator mekanik memicu terjadinya miopati pada diafragma. Penelitian yang dilakukan oleh D Testelmans tahun 2006 pada tikus wistar dengan infus kontinyu rocuronium membuktikan bahwa penggunaan rocuronium dengan ventilator mekanik menyebabkan penurunan fungsi diafragma, atrofi serat tipe IIx/b pada diafragma, serta meningkatnya MURF-1 mRNA pada sel diafragma yang merupakan penanda aktifnya perusakan sel melalui jalur ubiquitin-proteasome. Hal ini mungkin dapat mendukung adanya kegagalan weaning pada pasien di ICU dengan ventilator mekanik setelah penggunaan pelumpuh otot.

123

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gambar 1 Diagram Alir Penggunaan Sedasi Di ICU 2

DAFTAR PUSTAKA
1. Bersten AD, Soni N. Ohs intensive care manual sixth edition. Philadelphia, Elsevier 2009: 913-20 Gabrielli A, Layon AJ, Yu M. Civetta, Taylor, & Kirbys Critical Care Fourth Edition.Lippincott William & Wilkins, Philadelphia, 2009: 579-90 Bongard F, Sue D, Vintch J. Current diagnosis and treatment: Critical care. USA, McGraw-Hill.2008:106-11

2.

3.

Volume II, Nomor 2, Tahun 2010

124

Anda mungkin juga menyukai