Ketua Redaksi:
dr. Uripno Budiono, SpAn
Anggota Redaksi:
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn
dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med
Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang)
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang)
Dr. dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)
Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang)
Dr. dr. Syarif Sudirman, Sp.An (Surakarta)
Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC (Denpasar)
Seksi Usaha:
dr. Mochamat, Sp.An
Administrasi:
Maryani, Yulia Sekar Ayu Milasari, SAP
Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.
Telp. 024-8444346.
Email: info@janesti.com
Website: www.janesti.com
Sejawat terhormat,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) terus berusaha meningkatkan kualitas isi artikel
yang dimuat dalam jurnal ini demi kemajuan ilmu anestesi dan terapi intensif.
Edisi ini sepenuhnya memuat artikel penelitian. Diantaranya adalah mengenai
penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilator mekanik, peranan
D 2.5 % NaCl 0.45% terhadap gula darah pasien pediatrik, Penggunaan simvastatin
untuk meningkatkan fagositosis makrofag, perbandingan kestabilan hemodinamik antar
dua regimen anestesi intravena pada pasien ligasi tuba, pengaruh pemilihan teknik
anestesi pada eklamsia terhadap Apgar score bayi dan regimen oral hygiene pada
penderita dengan ventilator mekanik.
Semoga Bermanfaat
Salam,
Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu dengan Pre
Eklampsia Berat terhadap Apgar Score
Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada anestesi
umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara klinis
berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama.
Fitri Hapsari Dewi, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana 127
Perbedaan Jumlah Bakteri Trakhea pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan
Chlorhexidine dan Povidone Iodine pada Penderita dengan Ventilator Mekanik
PENELITIAN
Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem Closed Suction dan Sistem Open
Suction pada Penderita dengan Ventilator Mekanik
ABSTRACT
Background: Bacterial colonization is identified as major mechanism in the pathogenesis
of Ventilator Associated Pneumonia. Application of suction is one of the non-
pharmacologic strategy to decrease number of Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
incidence. Since its introduction, closed tracheal suction system (CSS) has been reported
offering microbial advantage over conventional open closed suction system (OSS).
Objective: This research was aimed to identify the difference of bacterial count pre and
post-intervention between CSS and OSS group.
Method: This is a Randomized Control Group Pretest-Postest Design with Consecutive
Sampling Approach. Number of subjects are 30 patients in whom equally distributed into
2 intervention groups; (15 closed suction system, 15 open suction system). Oral suction
was performed every 12 hours for consecutive 48 hours. Secret of trachea was collected
pre and post-intervention to identify for bacteria count and profile. Statistic analysis was
conducted using Wilcoxon and Mann-Whitney test.
Result: Bacterial count was significant different in group 1 (p=0,0010. Significant result
was also identified in group II (p=0,005). Comparatively, pre and post intervention
between group I and II was not significantly different (p=0,008).
Conclusion: Closed suction system’s application in mechanically ventilated patients was
confirmed with decrement in number of bacteria significantly. Comparatively, closed
suction was not significantly better than OSS. However this research that although did
not differ significantly, CSS’ performance was better than OSS.
ABSTRAK
Latar belakang: Kolonisasi bakteri didefinisikan sebagai mekanisme utama di dalam
patogenesis Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Penggunaan suction merupakan
salah satu strategi dalam mengurangi jumlah kejadian Ventilator Associated Pneumonia
(VAP). Closed tracheal suction system (CSS) dilaporkan memiliki keuntungan dalam
aspek mikrobiologi bila dibandingkan dengan open closed suction system (OSS).
Aspirasi makro atau mikro dari sekret pendekatan. Antara lain berupa
yang terinfeksi saluran napas bagian atas penggunaan antibiotika non-absorbable
mengawali terjadinya pneumonia di rumah dalam bentuk larutan atau pasta ke dalam
sakit. Organisme-organisme ini kemudian ruang orofaring. Penggunaannya sendiri
dapat memperbanyak diri melalui jalan telah dibukti pada suatu uji double blind
masuk dan kemudian membentuk lapisan dengan 2 kelompok (plasebo dan
15
seperti biofilm secara cepat dan melapisi kontrol). Namun demikian penggunaan
permukaan bagian dalam dari pipa a n t ib io t ik a s e b a g a i p r o f i la k s i s
trakhea. Seringkali hal ini diikuti dengan meningkatkan resiko induksi dan
sejumlah bakteri organisme patogen di selektivitas patogen resisten, sehingga
trakhea.11 tidak dianjurkan untuk rutin digunakan.16
Suction trakhea seringkali dilakukan pada Pada rekomendasi yang dikeluarkan pada
pasien yang menggunakan ventilasi tahun 2004 terdapat rekomendasi yang
mekanik. Terdapat laporan yang menunjukkan berkurangnya ongkos
menunjukkan pasien yang mengalami perawatan dengan penggunaan CSS.
suction hingga 8-17 kali sehari.11,22 Selama Selain itu juga terdapat efek samping
prosedur sekret trakhea dibuang untuk lainnya berupa kehilangan volume paru
memastikan patennya jalan napas dan dan efek lanjutan berupa hipoksemia.
menghindari obstruksi lumen pernapasan Hingga saat ini tidak terdapat bukti yang
yang mengakibatkan peningkatan kerja menunjang apakah satu sistem lebih baik
napas, infeksi paru, atelektasis dan infeksi dibandingkan yang lainnya. Namun
paru. Namun demikian pada penggunaan demikian belum dievaluasi perbedaan
suction terdapat beberapa resiko efek jenis jumlah bakteri trakhea antara sistem
samping seperti gangguan detak jantung, closed suction dan open suction dengan
hipoksemia, dan pneumonia terkait penggunaan oral chlorhexidine sebagai
ventilator/ventilator associated pneumonia anti septik oral.
(VAP). Selain itu juga dikarenakan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
prosedur yang invasif dan tidak nyaman. 23
jumlah koloni kuman bakteri trakhea pada
Terdapat dua sistem suction yang tersedia: penderita dengan ventilator mekanik
open suction system dan closed suction sistem closed suction dan open suction
system. Jenis OSS hanya digunakan yang mendapat oral hygiene dengan
*Uji Mann-Whitney U
Gambar 1. Jumlah bakteri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok closed suction system (CSS)
Gambar 2: Jumlah bakteri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok open suction system (CSS)
Tabel 3. Perbandingan jenis kuman pada kultur sekret trakhea kelompok CSS dan OSS
Pada analisa komparatif antar kelompok Closed Suction System (CSS) dan Open
digunakan Mann Whitney U test. Hasil Suction System (OSS). Sebelumnya belum
analisis disajikan dalam grafik box-plot. pernah ada yang melakukan penelitian
sejenis dengan membandingkannya
Pada analisis komparatif antarkelompok,
terhadap jumlah koloni bakteri. Pada hasil
didapatkan penurunan jumlah bakteri
penelitian ini digunakan 30 subyek
trakhea pada kelompok closed suction
penelitian dengan karakteristik yang telah
system dibandingkan kelompok open
diseleksi melalui kriteria inklusi dan
suction system dengan perbedaantidak
eksklusi dan didapatkan sejumlah 30
bermakna (p>0.005) dengan nilai
penderita dengan dengan karakteristik
(p=0.083).
umur, jenis kelamin yang tidak berbeda
PEMBAHASAN bermakna (p>0.05) sehingga dengan
demikian menjadi layak untuk
Penggunaan CSS berdasarkan tinjauan dibandingkan. Hasil analisis uji Wilcoxon
memberikan sejumlah keuntungan antara pada kedua kelompok secara terpisah
lain penggunaannya yang multiple-use, menunjukkan bahwa jumlah bakteri
tanpa melepas ventilator dari pasien yang trakhea sebelum dan sesudah perlakuan
dapat berakibat pada munculnya tekanan berbeda bermakna pada kelompok closed
negatif sehingga terjadi kehilangan suction system (p=0.001) dan pada
volume paru yang intens sehingga kelompok open suction system (p=0,005).
berakibat pada hipoksemia.26,27 Sedangkan pada analisis jumlah bakteri
trakhea pada kelompok closed suction
Temuan Combes dkk menunjukkan bahwa
system dan open suction system yang
sistem closed endotracheal suction
dianalisis dengan uji Mann-Whitney tidak
menurunkan frekuensi VAP sebesar 3,5
menunjukkan perbedaan bermakna
kali bila dibandingkan dengan open
(p=0,083).
endotracheal suction system.28 Penelitian
Zeitound dkk juga menunjukkan Hasil penelitian ini sesuai dengan sebagian
penurunan VAP pada analisis multivariat besar penelitian dan meta analisis yang
dikaitkan dengan penggunaan closed ada dan didapatkan hasil tidak ada
endotracheal suction system.29 Deppe dkk pengaruh yang positif terhadap
menunjukkan bahwa keuntungan survival kemungkinan terjadinya pneumonia
lebih banyak ditunjukkan oleh closed 20
nosokomial. Selain itu efektivitas biaya
endotracheal suction. Namun demikian juga masih menjadi pertimbangan karena
masih terdapat perdebatan mengenai penggunaan CSS multiple-use terkait
efektivitas penggunaan closed suction dengan biaya yang lebih tinggi. Freytag
system. menunjukkan bahwa penggunaan kateter
suction in-line dalam waktu yang lama
Penelitian yang dilakukan ini adalah
menunjukkan peningkatan kolonisasi dari
membandingkan jumlah kuman antar
traktus respirasi bagian bawah dan
pemberian chlorhexidine 2% pada sistem
clinical trial. JPEN J Parenter Enteral Nutr patients using a Trach Carew closed-suction
2002;26(3):174–181. system versus an opensuction system:
2. Rello J, Ollendorf DA, Oster G, Vera- prospective, randomized study. Crit Care
Llonch M, Bellm L, Redman R, et al. Med 1990;18:1389—1393.
Epidemiology and outcomes of ventilator- 12. Jelic S, Cunningham JA, Factor P. Clinical
associated pneumonia in a large US review: airway hygiene in the intensive care
database. Chest 2002;122(6):2115–2121. unit: Critical Care 2008, 12:209
3. Japoni A, Vazin A, Davarpanah MA, 13. Combes P, Fauvage B, Oleyer C.
Afkhami Ardakani M, Alborzi A, Japoni S, Nosocomial pneumonia in mechanically
Rafaatpour N. Ventilator-associated ventilated patients, a prospective
pneumonia in Iranian intensive care units. J randomized evaluation of the Stericath
Infect Dev Ctries. 2011 Apr 26;5(4):286-93. closed suctioning system. Intens Care Med
4. Richards MJ, Edwards JR, Culver DH, 2000;26:878—882.
Gaynes RP. Nosocomial infections in 14. Zeitoun SS, De Barros ALBL, Diccini S. A
medical intensive care units in the United prospective, randomized study of ventilator-
States. National Nosocomial Infections associated pneumonia in patients using a
Surveillance System. Crit Care Med closed vs. open suction system. J Clin Nurs
1999;27:887–892. 2003;12:484—489.
5. Chastre J, Fagon JY. Ventilator-associated 15. Bonten MJM, Bergmans DCJJ, Ambergen
pneumonia. Am J Respir Crit Care Med AW, de Leeuw PW, van der Geest S,
2002;165:867–903. Stobberingh EE, Gaillard CA. Risk factors
6. Bergmans DCJJ, Bonten MJM, Gaillard for pneumonia, and colonization of
CA, van Tiel FH, van der Geest S, de respiratory tract and stomach in
Leeuw PW, Stobberingh EE. Indications for mechanically ventilated ICU patients. Am J
antibiotic use in ICU patients: a one-year Respir Crit Care Med 1996;154:1339–1346.
prospective surveillance. J Antimicrob 16. Pugin J, Auckenthaler R, Lew DP, Suter
Chemother 1997;39:527–535. PM. Oropharyngeal decontamination
7. Craven DE. Epidemiology of decreases incidence of ventilator-associated
ventilatorassociated pneumonia. Chest. pneumonia: a randomized, placebo-
2000;117 (4 suppl 2):186S-187S. controlled, double-blind clinical trial.
8. Kollef MH. The prevention of JAMA 1991;265:2704–2710.
ventilatorassociated pneumonia. N Engl J 17. Koeman M. Hak F, Ramsay G, Joore,
Med.1999;340(8):627-634. Kaasjager K, Hans et.al. Oral
9. Chan EY, Ruest A, Meade M, Cook DJ. decontamination with chlorhexidine reduces
Oral decontamination for prevention of the incidence of ventilator-associated
pneumonia in mechanically ventilated pneumonia. Am J Resp Crit Care Med
adults: systematic review and meta-analysis. 2006;173:1348-55
BMJ (serial on internet) 2007 (cited 2010 18. Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita
Dec 10); 334:889. Available from: http:// T, Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with
www.medscape.com/viewarticle povidone-iodine reduces the transport of
10. Wiryana M. Ventilator associated bacteria during oral intubation. Can J
pneumonia. Jurnal penyakit dalam (serial on Anaesth 2004;51(9):932-6
internet) 2007 (cited 7 Januari 2012) http:// 19. Tantipong H, Morkchareonpong C,
ejournal.unud.ac.id/abstrak/ventilator% Jaiyindee S, Thamlikitkul V. Randomized
20associated%20pneumonia.pdf controlled trial and meta-analysis of oral
11. Deppe SA, Kelly JW, Thoi LL, et al. decontamination with 2% chlorhexidine
Incidence of colonization, nosocomial solution for the prevention of ventilator-
pneumonia, and mortality in critically ill
associated pneumonia. Infect Control Hosp pneumonia using a closed versus an open
Epidemiol 2009;30(1):101-2 tracheal suction system. Crit Care Med.
20. Panchabhai TS, Dangayach NS. Role of 2005;33(1):115-9.
chlorhexidine gluconate in ventilator 26. Kollef MH. The prevention of ventilator
associated pneumonia prevention strategies associated pneumonia. N Engl J
in ICU patients: where are we headed? Crit Med2005;340:627-34.
Care 2009;13(6):427 27. Lasocki S, Lu Q, Sartorius A, Fouillat D,
21. Tablan OC, Anderson LJ, Besser R, Bridges Remerand F,Rouby JJ. Open and closed-
C, Hajjeh R. Guidelines for preventing circuit endotracheal suctioning in acute lung
health-care–associated pneumonia, 2003: injury: efficiency and effects on gas
recommendations of CDC and the exchange. Anesthesiology. 2006;104(1):39-
Healthcare Infection Control Practices 47.
AdvisoryCommittee. MMWR Recomm Rep 28. Brochard L, Mion G, Isabey D, Bertrand C,
2004;53:1–36. Messadi AA, Mancebo J, et al. Constant-
22. Emilson CG. Susceptibility of various flow insufflation prevents arterial oxygen
microorganisms to chlorhexidine. Scand J desaturation during endotracheal suctioning.
Dent Res 1977;85:255–265. Am Rev Respir Dis 1991; 144(2):395–400.
23. Maggiore SM, Iacobone E, Zito G, Conti C, 29. Combes P, Fauvage B, Oleyer C.
Antonelli M,Proietti R. Closed versus open Nosocomial pneumonia in mechanically
suctioning techniques. Minerva Anestesiol. ventilated patients, a prospective
2002;68(5):360-4. randomized evaluation of the Stericath
24. Paul-Allen J, Ostrow CL. Survey of nursing closed suctioning system. Intens Care Med
practices with closed-system suctioning. 2000;26:878-882.
Am J Crit Care. 2002;9(1):9-17,quiz 18-9. 30. Zeitoun SS, De Barros ALBL, Diccini S. A
Comment in: Am J Crit Care. 2000;9(1):6- prospective, randomized study of ventilator-
8. associated pneumonia in patients using a
25. Lorente L, Lecuona M, Martin MM, Garcia closed vs. open suction system. J Clin Nurs
C, Mora ML,Sierra A. Ventilator-associated 2003;12:484-489.
PENELITIAN
ABSTRACT
Background: In pediatric patients who undergo fasting period, every routine fluid
infusion given should contain glucose because children had less glycogen supply in their
liver, which can lead to fatal hypoglycemia especially for brain cell if oral glucose
intakes are discontinued in few moments. Over the time, we usually use 5 % dextrose 0,45
% NaCl, but this may cause postoperative hyperglycemia. Therefore, we used 2,5 %
dextrose 0,45 % NaCl which have less level of dextrose.
Objective: To compare the effectiveness of 5% Dextrose 0,45 % NaCl and 2,5 % Dextrose
0,45 % NaCl to prevent hypoglycemia and hyperglycemia during and after surgery in
pediatric patientst.
Method: This research was a clinical trial stage 1 (human sample) on 48 patients
undergoing surgery by general anesthesia. All patients underwent 4 hours fasting period
and received premediacation. Peripheral blood sampling was performed before and after
induction, and every 30 minutes during surgery for blood glucose measurement. Patients
were randomly divided in two groups. Group I received 5% Dextrose 0,45% NaCl
infusion and group two received 2,5% Dextrose 0,45% NaCl. The normality distribution
of blood glucose level was tested by using Kolmogorov-Smirnov test. A normal
distribution was determined by p>0,05. Analytical analysis was done to evaluate the
difference of blood glucose level between two groups by using independent-t-test (normal
distribution). The difference test of blood glucose between two groups were performed by
using paired t-test (normal distribution)
Result: The general characteristics of the subjects in each group had a normal
distribution (p>0,05), showing homogen data (no significant difference; p>0,05) on all
variables. Data before treatment in Group I (p=0,109) and group II (p=106) gave normal
blood glucose level distribution (p>0,05). There was a non significant increase of blood
glucose level (p>0.05) between preinduction (p=0.762) and postinduction (p=0.714).
There was a significant difference on blood glucose level between the two groups 30
minutes and 150 minutes after induction (p=0.00). Blood glucose level in group I
preinduction 102,36±4,31mg/dl,postinduction 106,0±44,17mg/dl , 30 menit 107,28±6,05
mg/dl, 60 menit 108,68±7,64 mg/dl, 90 menit 110,36±9,26 mg/dl, 120 menit 112,16±16,07
mg/dl dan 150 menit 114,64±22,38mg/dl. From periodic blood glucose level normality
test, each group had normal distribution (p>0.05). The difference test of blood glucose
level between the two groups gave a significant difference (p>0.05).
Conclusion: Infusion of 2,5% Dextrose 0,45% NaCl significantly better not cause
hypoglycemia from preoperative fasting and postoperative hyperglycemia in pediatric
patients.
Keywords: blood glucose, 5% Dextrose 0,45% NaCl, 2,5% Dextrose 0,45% NaCl,
pediatric patients
ABSTRAK
Latar belakang : Dari pasien pediatri yang dipuasakan, semua cairan rutin diberikan
harus mengandung glukosa dengan alasan pada anak hanya sedikit mempunyai
cadangan glikogen di hepar, sehingga bila pemasukan per oral terhenti selama beberapa
waktu akan dengan mudah menjadi hipoglikemia yang dapat berakibat fatal terutama
bagi sel otak. Cairan dekstrosa 5% NaCl 0,45% dapat mencegah hipoglikemia tetapi
menyebabkan hiperglikemia post operasi. Cairan infus dekstrosa 2,5% NaCl 0,45% yang
mempunyai kadar glukosa lebih kecil, diperkirakan tidak menyebabkan hiperglikemia
atau hipoglikemia
Tujuan: Untuk membandingkan cairan infus dekstrosa 5% NaCl 0,45% dan cairan infus
dekstrosa 2,5% NaCl 0,45% dalam mencegah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia
durante dan setelah operasi pada pasien pediatrik
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tahap 1 (subyek manusia) pada 48 penderita
yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Semua penderita dipuasakan 4 jam dan
diberi obat premedikasi. Pengambilan sampel darah perifer untuk pemeriksaan GDS pre
induksi, pasca induksi, tiap 30 menit durante operasi. Penderita dikelompokkan secara
random menjadi 2 kelompok. Kelompok I mendapat infus dekstrosa 5% NaCl 0,45% dan
kelompok II mendapat infus dekstrosa 2,5% NaCl 0,45%. Akan dilakukan uji normalitas
distribusi kadar glukosa darah dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila
p>0,05 maka distribusinya disebut normal. Analisis analitik akan dilakukan untuk
menguji perbedaan kadar glukosa antar kelompok dengan independent-t-test (distribusi
normal). Uji beda kadar glukosa antar kelompok dengan menggunakan paired t-test
(distribusi normal).
Hasil : Karakteristik umum subyek pada masing–masing kelompok memiliki distribusi
yang normal (p > 0,05), didapatkan data yang homogen (perbedaan yang tidak
bermakna, p>0,05) dari semua variabel. Data sebelum perlakuan pada kelompok I (p=
0,109 ) dan kelompok II (p=0,106) memberikan hasil nilai kadar glukosa darah
berdistribusi normal ( p > 0,05 ). Prainduksi ( p = 0,762 ) sampai sesaat setelah induksi
( 0,714 ) terjadi kenaikan kadar glukosa darah namun tidak bermakna ( p> 0,05 ) . Kadar
glukosa antar kelompok berbeda bermakna pasca operasi mulai menit 30 sampai menit
150 ( p=0,00 ). Kadar glukosa darah pada kelompok I saat prainduksi 102,36±4,31 mg/
dl, pasca induksi 106,0±44,17 mg/dl , 30 menit 107,28±6,05 mg/dl, 60 menit 108,68±7,64
mg/dl, 90 menit 110,36±9,26 mg/dl, 120 menit 112,16±16,07 mg/dl dan 150 menit
114,64±22,38 mg/dl. Uji normalitas variabel glukosa darah dilihat dari waktu, masing-
masing kelompok memiliki distribusi yang normal ( p> 0,05 ) .Uji beda kadar glukosa
darah antara kedua kelompok memberikan hasil berbeda bermakna ( p> 0,05 ).
Simpulan: Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan
D5 % NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia
selama dan setelah operasi pada pasien pediatri
Kata kunci: glukosa darah, Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 %, Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 %
pediatri
Tabel 3. Nilai Rerata dan Simpangan baku (Standar deviation) karakteristik umum subyek pada masing-
masing kelompok
Tabel 5. Nilai rerata dan Simpangan baku kadar baku glukosa (mg/ dl) dilihat dari waktu pengukuran dan
kelompok perlakuan
No Waktu p Keterangan
1 Pascainduksi 0,940 Distribusi Normal
2 30 menit 0,000 Distribusi Normal
3 60 menit 0,000 Distribusi Normal
4 90 menit 0,000 Distribusi Normal
5 120 menit 0,000 Distribusi Normal
6 150 menit 0,000 Distribusi Normal
0,45 % menjelang awal, selama dan akhir blind yang sebelumnya telah mendapat
operasi. Subyek penelitian yaitu semua penjelasan dan menyetujui untuk
penderita di RS.Dr. Kariadi yang mengikuti semua prosedur penelitian serta
dipersiapkan untuk pembedahan elektif menandatangani informed consent. Pasien
labioplasti dan herniotomi dengan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
menggunakan infus Dekstrosa 5 % NaCl kelompok Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % dan
0,45% atau Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % kelompok Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 %,
yang memenuhi kriteria seleksi tertentu. sehingga masing-masing kelompok
berjumlah 24 orang. Semua pasien diberi
Tempat penelitian dilakukan Instalansi
penjelasan tentang hal-hal yang
Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi
berhubungan dengan kondisi yang akan
Semarang. Waktu penelitian
dialami selama perlakuan dan bersedia
dilakukanmulai dari 1 Januari 2007
mengikuti penelitian. Semua pasien
sampai dengan 30 April 2007. Kriteria
dipuasakan sesuai standar internasional
inklusi sebagai berikut; Usia antara 1
(rumus 2-4-6-8) sebelum pembedahan/
bulan – 1 tahun, status fisik ASA I-II,
anestesi. Pasien diinfus setelah ditidurkan
menjalani operasi dengan anestesi umum,
dengan isoflurane. Induksi anestesi
lama operasi tidak lebih dari 3 jam, berat
dilakukan dengan inhalasi menggunakan
badan normal. Sedangkan Kriteria
isoflurane 2 volume % dalam N2O 50 %
eksklusi pada penelitian ini adalah
dengan aliran gas 3 L/menit, Oksigen 3 L/
mengalami hipoglikemia atau
menit, atracurium besylate 0,5 mg/kgbb
hiperglikemia saat akan dilakukan
IV, fentanyl 2 μg/kgBB IV. Kadar glukosa
penelitian, mendapat transfusi selama
darah diperiksa dari darah perifer sesaat
operasi berlangsung, pasien sakit berat.
sebelum induksi, setelah induksi, dan pada
Dosis dan cara pemberian infus adalah akhir operasi dengan menusukkan jarum
memberikan infus dengan menggunakan pada jari tangan atau kaki dan hasilnya di
tetesan infus paediatric maintenance sesuai baca dengan optium ( blood glucose test )
dengan rumus : Holliday & Segar yaitu 4 dan MediSense strip. Kemudian diberi
ml/kgBB untuk 10 kgBB pertama, 2 ml/ cairan yang sesuai dengan kelompok
kgBB untuk 10 kg kedua dan 1 ml/kgBB penelitian yang sudah ditetapkan. Jumlah
untuk setiap kgBB diatas 20 kg. kecepatan infus yang diberikan sesuai
dengan rumus dari Holliday & Segar.
Penelitian dikerjakan dengan menyeleksi
pasien pada saat kunjungan pra bedah di Data yang terkumpul kemudian akan di-
RS. Dr. Kariadi Semarang dan pasien yang edit, di-koding, dan di-entry kedalam file
memenuhi kriteria inklusi ditetapkan komputer.
sebagai sampel. Penelitian dilakukan
HASIL
terhadap 48 pasien yang akan menjalani
operasi labioplasti dan herniotomi dengan Pada grafik 1 dapat kita lihat pola kadar
randomized control trial dengan double glukosa darah dari kedua kelompok .Pada
kelompok II (P) mendapat dekstrosa 2,5 % ini merupakan cairan yang diberikan untuk
NaCl 0,45 % kadar glukosa darah tampak pasien pediatri selama operatif. Ternyata
lebih stabil jika dibandingkan dengan pasca operatif terjadi hiperglikemia pada
kelompok I ( K) yang mendapat dekstrosa pasien. Pada pasien pediatri yang
5% NaCl 0,45 % kadar glukosa darah dipuasakan, semua cairan rutin yang
meningkat tajam sampai lebih dari 200 diberikan harus mengandung glukosa
mg% . Pada kelompok II (P) tidak ada dengan alasan pada anak hanya sedikit
satupun yang mengalami hiperglikemia. mempunyai cadangan glikogen di
hepar ,sehingga bila masuk peroral
Pada tabel 5 nampak bahwa dari waktu
terhenti selama beberapa waktu akan
prainduksi sampai sesaat setelah induksi
dengan mudah menjadi hipoglikemia yang
terjadi kenaikan kadar glukosa darah
dapat berakibat fatal terutama bagi sel
namun tidak bermakna seacara statistik.
otak. Pada anak yang puasa akan terjadi
Pada tabel 6 dapat dilihat Uji normalitas metabolisme anaerob dimana terjadi
variabel kadar glukosa darah dilihat dari pemecahan glikogen di hati dan otot
waktu menggunakan One – Sample menjadi asam laktat dan piruvat.
Kolmogorov Smirnov dimana masing –
Sehingga untuk menghindari hal tersebut
masing kelompok memiliki distribusi yang
pada pasien pediatri kita biasanya
normal (p > 0,05), sehingga untuk uji
menggunakan infus yang mengandung
homogenitas diperlukan analisis statistik
dekstrosa. Pada keadaan normal ,
dengan parametrik independent t test. Data
pemberian glukosa secara intravena pada
kemudian dianalisis secara parametrik
anak jangan melebihi 5 mg/kgBB/ menit.
menggunakan uji independent t-test untuk
Hal ini berhubungan dengan kemampuan
melihat perbedaan kadar glukosa darah
tubuh memetabolisir glukosa.2 Pemberian
antara kelompok yang mendapat infuse D
glukosa yang berlebihan akan
5% N dan D 2 ½ % ½ N.
menyebabkan hiperglikemi, meningkatkan
Pada tabel 7 dapat dilihat Uji beda kadar termogenesis, dan peningkatan produksi
glukosa darah antara kelompok I ( infus D CO2. Pemberian glukosa sendiri akan
5 % ½ N ) dan kelompok II ( infus D 2 ½ meningkatkan pelepasan insulin endogen.
2,3
% ½ N ) dimana didapatkan p > 0,05 yang
berarti kadar glukosa darah pada kedua
Hiperglikemia yang terjadi dapat
kelompok berbeda bermakna
memperburuk keluaran neurologis serta
menggunakan uji independent t-test.
memperlama penyembuhan luka operasi
PEMBAHASAN setelah operasi. Kadar glukosa darah yang
tetap dalam batas normal saat anestesi
Pada penelitian sebelumnya dilakukan merupakan tujuan pemberian cairan
penelitian mengenai cairan pada pediatri intraoperatif pada bedah anak.
yang mana mengguanakan cairan
Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % yang selama
Pada tabel 5 nampak bahwa dari waktu penggunaan dan metabolisme yang
prainduksi sampai sesaat setelah induksi sepantasnya dari glukosa dan dapat
terjadi kenaikan kadar glukosa darah menyebabkan hiperglikemia. Respon
namun tidak bermakna seacara statistik. hiperglikemik dapat terjadi dari agen-agen
Hal ini menunjukan bahwa pada penelitian anestesia tertentu (seperti, ketamin dan
ini , induksi anestesi tidak menyebabkan halotan). Beberapa tindakan anestesia
perubahan yang bermakna pada kadar seperti intubasi dan extubasi endotrakheal
glukosa darah. Kadar glukosa antar meningkatkan respon stress katekholamin
kelompok berbeda secara bermakna pada dan hemodinamik dan akan meningkatkan
waktu pasca operasi mulai pada menit ke glukosa darah.10,11
30 sampai menit ke 150. Pada penelitian
Hiperglikemia itu sendiri cukup untuk
ini, pemberian cairan Dekstrosa 5 % NaCl
menyebabkan kerusakan otak, medulla
0,45 % menyebabkan peningkatan kadar
spinalis dan ginjal karena iskhemia, koma,
glukosa darah yang signifikan bermakna
melambatkan pengosongan lambung,
dan hiperglikemia pasca operasi (tabel 5).
melambatkan penyembuhan luka dan
Pada kelompok ini kadar glukosa darah
kegagalan fungsi sel darah putih ,
meningkat dari rerata 102,74±4,29 mg/dL
dehidrasi seluler yang berhubungan
prainduksi menjadi rerata 211,83±6,55
dengan perubahan-perubahan pada
mg/dL pasca operasi.
konsentrasi sodium juga hadir Pada
Peningkatan kadar glukosa darah dapat kelompok yang diberi cairan infus
dilihat pada pola yang dimulai dari menit Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % tidak
30 pasca induksi dengan rerata 128,52± menyebabkan peningkatan kadar glukosa
14,79 mg/dL yang kemudian meningkat darah yang signifikan (tabel 4) dan tidak
pada menit 60 dengan rerata 141,26±21,79 menyebabkan hiperglikemia pasca operasi.
mg/dL pada menit 90 dengan rerata Pada kelompok ini kadar glukosa darah
148,83±25,54 mg/dL pada menit 120 meningkat dari rerata 102,36±4,31 mg/dL
dengan rerata 187,52±14,69 mg/dL pada prainduksi menjadi rerata 114,64±22,38
menit 150 dengan rerata 211,83±6,55 mg/ mg/dL pasca operasi. Peningkatan kadar
dL Hiperglikemia (kadar glukosa darah > glukosa darah dapat dilihat pada pola yang
180 sampai 200 mg/dL) sering disebabkan dimulai dari menit 30 pasca induksi
oleh defisiensi insulin, resistensi reseptor dengan rerata 107,28±6,05 mg/dL yang
insulin atau pemberian glukosa yang kemudian meningkat pada menit 60
berlebihan. Stress periopeatif dapat dengan rerata 108,68±7,64 mg/dL pada
meningkatkan glukosa darah baik itu dari menit 90 dengan rerata 110,36±9,26 mg/
stress psikhologi preoperatif, stress dL pada menit 120 dengan rerata
anestesia dan stress pembedahan.2,7,8,9 112,16±16,07 mg/dL pada menit 150
dengan rerata 114,64±22,38 mg/dL.
Beberapa tehnik anestesia tertentu
menggunakan methode non farmakologi Pengurangan kadar glukosa setengah dari
hypothermia. Hypothermia menghalangi cairan yang biasa dipakai ( 2 ,5 % )
PENELITIAN
Pengaruh Simvastatin Terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag Pada
Mencit Balb/C Yang Diberi Lipopolisakharida
ABSTRACT
Background: Simvastatin is included in a group of medicine called hydroxy metyl
glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors or statin. The effect of simvastatin on TNF-alpha
neutralizing antibody is that statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl) coenzyme reductase
inhibitors has the pleiotropic actions effect that can improve the survival of sepsis
patients.
Objective: To prove the effect of simvastatin administration 0.03 mg, 0.06 mg and 0.12
mg PO on LPS intraperitoneal injected mice to the decrease of intraperitoneal
macrophages’ phagocytosis capacity.
Methods: Experimental design research on post test only control group. The samples
were 20 male mice type balb/c. Mice are divided into 4 groups, consisted of control group
(without simvastatin injection), treatment group 1,2,3 consecutively administered
simvastatin 0.03 mg; 0.06 mg; and 0.12 mg PO respectively. Initially these groups were
injected intraperitoneal lipopolysaccharida 20 mg/kg.
Results: The mean capacity of macrophages’ phagocytosis for each groups: Control =
44,40+3,97; K 1 = 37,80+2,86; K 2 = 31,20+1,30; K 3 = 2,.00+4,30. The results of
statistical tests between groups were shown significant differences between K1 with K3
and K4, between K2 with K3 and K4 (p<0,0,05). There were no significant differences
between K1 dan K2, and between K3 and K4 (p>0.005).
Conclusion: The administration of simvastatin 0.03 mg, 0.06 mg and 0,12 mg PO show
significant differences on the intraperitoneal macrophages’ phagocytosis capacity
compared to the control group of mice with lipopolisakharida injection.
ABSTRAK
Latar Belakang : Simvastatin merupakan grup obat yang disebut sebagai hydroxy metyl
glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors). Efek simvastatin terhadap TNF-alpha
neutralizing antibody bahwa Statins (3-hydroxy-3-methylglutaryl) coenzyme reductase
inhibitors memiliki efek pleiotropic actions, yang mampu memperbaiki survival penderita
sepsis.
Tujuan : Membuktikan efek pemberian simvastatin 0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg
peroral pada mencit yang diberi LPS intraperitoneal terhadap penurunan kapasitas
fagositosis makrofag intraperitoneal.
Metode : Penelitian eksperimental desain the post test only controlgroup. Sampel
penelitian 20 ekor mencit balb/c jantan. Mencit dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok
Kontrol (tidak diberi simvastatin), kelompok Perlakuan 1,2,3 berturut-turut diberi
simvastatin 0,03 mg; 0,06 mg; dan 0,12 mg peroral.Sebelumnya masing-masing
kelompok disuntikkan lipopolisakarida 10 mg/kgBB intraperitoneal.
Hasil : Rerata kapasitas fagositosis makrofag untuk masing-masing kelompok : Kontrol
= 44,40+3.97; Perlakuan 1 = 37,80+2,86; Perlakuan 2 = 31,20+1,30; Perlakuan 3 =
23,00+4,30. Hasil uji statistik antar kelompok didapatkan perbedaan yang bermakna
antara kelompok K1 dengan K3 dan K4, antara K2 dengan K3 dan K4 (p<0,0,05). Tidak
terdapat perbedaan bermakna antara K1 dan K2, serta K3 dan K4. (p>0,0,05).
Kesimpulan : Pemberian simvastatin dosis 0,06 mg dan 0,12 mg peroral menunjukkan
perbedaan bermakna pada penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal
dibanding kontrol pada mencit yang diberi lipopolisakarida.
Kelompok N Mean SD
K1 5 44.40 3.975
K2 5 37.80 2.864
K3 5 31.20 1.304
K4 5 23.00 4.301
50
Error Bars show 95.0% Cl of Mean
40
K ad a r M ak ro fag
30
20
Nama kelompok
50
K ada r M ak rofag
40
30
20
Nama kelompok
Hal ini berarti varian data pada ketiga darah, serta meningkatkan kadar kolesterol
kelompok tersebut adalah homogen, untuk high-density lipoprotein (HDL).1
mengetahui kelompok mana yang
Penelitian Yasuda menyatakan bahwa efek
memiliki perbedaan, maka dilakukan uji
simvastatin dan TNF-alpha neutralizing
posteriori dengan Tamhane.
antibody telah diteliti pada hewan yang
Dari hasil uji posteriori didapatkan disertai sepsis. Statins (3-hydroxy-3-
perbedaan yang bermakna antara kapasitas methylglutaryl) coenzyme reductase
fagositosis makrofag intraperitoneal pada inhibitors memiliki efek pleiotropic
kelompok perlakuan 1 (K1) dengan actions, dimana obat ini mampu
kelompok perlakuan 3 (K3) dan K4. memperbaiki survival penderita sepsis
atau penderita dengan penyakit infeksi
Terdapat perbedaan bermakna pada
dengan cara memperbaiki cecal ligation
kelompok perlakuan 2 (P2)
and puncture (CLP) pada mediator
dibandingkan kelompok perlakuan 3
inflamasi sehingga mengurangi kerusakan
(P3) dan P4. Tidak terdapat perbedaan
pada organ yang dapat memicu terjadinya
bermakna antara kelompok kontrol K1
kematian.3
dengan K2, serta antara K3 dan K4
(p>0,005). Hasil selengkapnya dapat Bahan penyebab syok sepsis yaitu
dilihat di lampiran. lipopolisakarida (LPS) merupakan struktur
utama dinding sel bakteri gram negatif
Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui
yang berfungsi untuk integritas struktur
apakah ada korelasi yang bermakna antara
bakteri dan melindungi bakteri dari sistem
dosis pemberian simvastatin dengan
pertahanan imun hospes. Zat ini bersifat
kapasitas fagositosis makrofag
endotoksin yang menginduksi produksi
intraperitoneal pada kelompok penelitian.
sitokin proinflamatori seperti interleukin-
Uji ini dilakukan menggunakan uji
1α (IL-1α), IL-1β, IL-6, tumor necrosis
Pearson. Dari hasil uji korelasi didapatkan
factor-α (TNF-α) dan prostaglandin
korelasi yang bermakna (p=0,001), dengan
(PGE2).4 LPS ini mengikat reseptor
nilai koefisien korelasi Pearson sebesar (-
CD14/ Toll-like receptor-4 (TLR4) yang
0.935), dan arah korelasi negatif dengan
m e n g a k i b a t k a n s e k r e s i s it o k i n
koefisien korelasi kuat.
proinflamatori dari beberapa tipe sel.
PEMBAHASAN CD14 merupakan reseptor permukaan sel
pada makrofag dan monosit untuk
Simvastatin merupakan grup obat yang karbohidrat.5
disebut dengan hydroxy metyl glutaryl
(HMG Co) reductase inhibitors atau Pada pemberian LPS akan merangsang
statin. Obat ini digunakan untuk pelepasan mediator proinflamasi seperti
mengurangi kolesterol low-density IFN-γ, TNF-α serta IL-I. makrofag
lipoprotein (LDL) dan trigliserid dalam merupakan komponen penting dari respon
inflamasi terhadap kerusakan jaringan.12
Hasil penelitian dapat dilihat bahwa Dari hasil uji korelasi didapatkan korelasi
terdapat penurunan yang kapasitas yang bermakna (p=0,001), dengan nilai
fagositosis makrofag intraperitoneal yang Pearson sebesar -0,935 yang menunjukkan
bermakna pada pemberian simvastatin bahwa arah korelasi negatif dengan
baik pada dosis 0,06 mg dan dosis 0,12 mg koefisien korelasi kuat. Hal ini berarti
peroral dibandingkan dengan kelompok bahwa terdapat hubungan erat antara
yang tidak diberi simvastatin (Kontrol) peningkatan dosis simvastatin semakin
dan pada kelompok (P4). rendahnya kapasitas fagositosis makrofag
intraperitoneal. Dosis simvastatin yang
Hal tersebut di atas disebabkan 2 faktor.
diberikan semakin tinggi maka kapasitas
Pertama, karena simvastatin menghambat
fagositosis makrofag intraperitoneal akan
langsung produksi sitokin proinflamasi
semakin rendah.
TNF alfa, IL-6, dan IL-8 yang diinduksi
oleh lipopolisakarida. Menurut penelitian SIMPULAN
Gown dkk. menyatakan bahwa simvastatin
Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa
menekan TNF-α, IL-6 dan IL-8 yang
hasil simvastatin pada dosis 0,12 mg pada
diinduksi oleh LPS, dimana TNF-α
mencit yang setara dengan pemberian
merupakan sitokin pertama yang
dosis simvastatin 40 mg/kgBB pada
terinduksi setelah stimulasi LPS yang
manusia menurunkan kapasitas fagositosis
kemudian juga akan menstimulasi IL-1
makrofag intraperitoneal secara signifikan
dan IL-6 pada makrofag, monosit,neutrofil
bila dibandingkan dengan simvastatin
dan sel endotel. Efek supresi simvastatin
dosis 0,03 mg pada mencit yang setara
terhadap IL-6 dan IL-8 dapat secara
dengan pemberian simvastatin 10 mg/
langsung maupun melalui penghambatan
kgBB pada manusia dan simvastatin 0,06
pelepasan TNF-α yang diinduksi oleh
mg pada mencit yang setara dengan
LPS. Pada penelitian ini terdapat efek
pemberian simvastatin 20 mg/kgBB pada
supresi simvastatin terhadap TNF-α serta
manusia (p>0,05).
IL-6 dan IL-8. TNF alfa yang tersupresi
kemudian akan menyebabkan penurunan DAFTAR PUSTAKA
kapa s it a s fa g o s it o s is ma k r o fag
intraperitoneal.13 1. Sandika. Simvastatin. Tersedia pada : http://
www.detikhealth.com. diakses 12 Agustus
Faktor transkrip NF-κB mempunyai 2010.
2. Zhang S, Rahman M, Zhang SQ, Thorlacius H.
peranan krusial pada proses inflamasi. NF-
Simvastatin Antagonizes CD4OL Secretion,
κB merupakan faktor transkripsi yang CXC Chemokine Formation, and Pulmonary
akan memicu produksi sitokin. Pemberian Infiltritation of Neutrophils in Abdominal
LPS akan mengaktifkan NF-κB yang akan Sepsis. J Leukoc Biol 2011;89(5):735-42.
meningkatkan produksi mediator inflamasi 3. Yasuda H, Yuen P, Hu X, Zhou H, Star R.
Simvastatin Improves Sepsis-Induced Mortality
seperti IL-8, TNF-α,13
and Kidney Injury via Renal Vascular Effects.
Kidney Int.2006;69(9):1535-42.
PENELITIAN
Stabilitas Hemodinamik Propofol – Ketamin Vs Propofol – Fentanyl pada
Operasi Sterilisasi / Ligasi Tuba : Perbandingan Antara Kombinasi Propofol 2
Mg/Kgbb/Jam Dan Ketamin 0,5mg/Kgbb/Jam Dengan Kombinasi Propofol 2 Mg/
Kgbb/Jam Dan Fentanyl 1 Μg/Kgbb/Jam
Laurent ius Sandhie Praset ya*, Sudadi *
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ABSTRACT
Background: Continuous TIVA technique using combination of propofol and fentanyl
has been commonly used in RSUP Sardjito. These techniques could provide adequate
anesthesia, but often cause a variety of durante operative hemodynamic changes. The
combination of propofol and ketamine are expected to provide a comfortable anesthesia
for surgery with a more stable durante operative hemodynamic changes.
Methods: The study design was randomized controlled trial. The scope of the study were
female who underwent tubal ligation operations with Metode Operasi Wanita (MOW)
technique at the Instalasi Kontrasepsi Mantap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta with
continuous TIVA technique. Total 70 subjects that met criteria of inclusion were divided
into two groups which consisted of 35 each. PK group used a combination of propofol 2
mg/kg and ketamine 0.5 mg/kg and were followed with propofol 2 mg/kg/hour and
ketamine 0.5 mg/kg/hour intravenously. The PF group used a combination of propofol 2
mg / kg and fentanyl 1 mcg/kg and were followed with propofol 2 mg/kg/hour and
fentanyl 1 mcg/kg/hour intravenously. Parameters of hemodynamic changes were systolic
blood pressure (SBP), mean arterial pressure (MAP) and heart rate (HR) assessed at
induction, incission and every 5 minutes until the operation was completed.
Results: The change of hemodynamic parameters more than 10 % occurred in the PF
group at the time of induction, after first incision and the fifth minute, in which the SBP
decreased by 15.5 (7.26) %, MAP of 14.0 (8.34) %, HR 14.2 (6.52) % whereas in group
PK, SBP decreased by 4.3 (2.72) % (p = 0.000), MAP of 4.6 (3.18) % (p =0.000) and HR
of 3.5(2.63) % (p = 0.000) at the time of induction.
Conclusion: The hemodynamic stability of the PK group was better than the PF group.
ABSTRAK
Latar belakang: Teknik TIVA kontinyu menggunakan kombinasi propofol dan fentanyl
telah umum digunakan. Teknik tersebut dapat memberikan anestesi yang adekuat, namun
dapat menyebabkan perubahan hemodinamik durante operatif yang bervariasi.
Kombinasi propofol dan ketamin diharapkan dapat memberikan anestesi yang nyaman
untuk pembedahan dengan perubahan hemodinamik durante operatif yang lebih stabil.
Metode: Desain penelitian percobaan acak terkontrol. Ruang lingkup penelitian adalah
pasien wanita yang menjalani operasi sterilisasi ligasi tuba dengan Metode Operasi
Wanita dengan tehnik anestesi TIVA kontinyu. Subyek berjumlah 70 yang memenuhi
kriteria inklusi, dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 35.
Kelompok PK adalah subyek yang menggunakan kombinasi propofol 2 mg/kgbb dan
ketamin 0,5 mg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/kgbb/jam dan ketamin 0,5
mg/kgbb/jam intravena, sedangkan kelompok PF adalah subyek yang menggunakan
kombinasi induksi propofol 2 mg/kgbb dan fentanyl 1 μg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan
propofol 2 mg/kgbb/jam dan fentanyl 1 μg/kgbb/jam intravena. Penilaian parameter
perubahan hemodinamik meliputi tekanan darah sistolik (TDS), tekanan arteri rerata
(TAR) dan laju denyut jantung (DJ) dinilai pada saat induksi, insisi dan durante operasi
hingga selesai.
Hasil: Penurunan parameter hemodinamik lebih dari 10 % terjadi pada kelompok PF
pada saat induksi, insisi dan menit ke-5, dimana tekanan darah sistolik (TDS) menurun
sebesar 15,5 (7,26) %, tekanan arteri rerata (TAR) menurun sebesar 14,0 (8,34) % dan
laju denyut jantung (DJ) sebesar 14,2 (6,52) % sedangkan pada kelompok PK terjadi
penurunan TDS sebesar 4,3 (2,72) % (p = 0,000), TAR of 4,6 (3,18) % (p =0,000) dan DJ
sebesar 3,5(2,63) % (p = 0,000) saat induksi.
Simpulan: Stabilitas hemodinamik kelompok PK lebih baik daripada kelompok PF.
Fentanyl, adalah opioid yang umum dan analgesia yang poten namun profil
digunakan pada TIVA. Fentanyl pulih sadar yang cukup bervariasi.
memberikan analgesia yang baik dengan
Teknik TIVA kontinyu dengan
onset yang cepat namun memiliki efek
menggunakan kombinasi propofol dan
depresi kardiorespirasi dan sedasi serta
fentanyl telah umum digunakan di RSUP
meningkatnya risiko PONV, yang sering
dr. Sardjito. Teknik tersebut dapat
menjadi masalah pada pasca pembedahan.5
memberikan anestesi yang adekuat, namun
Bajwa et al. (2010) dan Badrinath et al.
dapat menyebabkan perubahan
(2008), menunjukkan bahwa kombinasi
hemodinamik duranteoperatif yang
propofol dengan ketamin pada dosis
bervariasi. Di rumah sakit tertentu di
subhipnotik dapat memberikan analgesia
Indonesia khususnya di Yogyakarta dan
yang cukup tanpa depresi hemodinamik
Jawa Tengah, ketamin lebih mudah
serta kardiorespirasi.6,7 Efek
didapatkan dan lebih ekonomis
psikotomimetik minimal pada kombinasi
dibandingkan fentanyl. Efek depresi napas
tersebut.8
lebih kecil terjadi sehingga lebih aman
Sebuah penelitian yang membandingkan apabila digunakan di daerah terpencil. Hal
kombinasi propofol – fentanyl (PF) ini tentunya dapat menjadi pertimbangan
dengan propofol – ketamin (PK) pemilihan obat kombinasi TIVA oleh
menunjukkan stabilitas hemodinamik pada dokter anestesi.
kelompok PK sedangkan hipotensi
Penelitian ini akan membandingkan
didapatkan pada kelompok PF. Hal ini
stabilitas hemodinamik pada pasien yang
menjadi penting karena perubahan
menjalani sterilisasi ligasi tuba Metode
hemodinamik duranteoperatif secara
Operasi Wanita (MOW) dengan TIVA
bermakna akan meningkatkan resiko
kontinyu menggunakan dua kombinasi
terjadinya komplikasi kardiak dan renal
obat anestesi intravena, propofol-ketamin
pasca operasi. Kedua kelompok tidak
dengan propofol-fentanyl. Dosis yang
menunjukkan berbeda dalam
digunakan untuk induksi propofol 2 mg/
perbandingan lamanya membuka mata
kgbb dan ketamin 0,5 mg/kgbb dilanjutkan
spontan. Insiden PONV lebih banyak
pemeliharaan propofol 2 mg/kgbb/jam dan
didapatkan pada kelompok PF dan tidak
ketamin 0,5 mg/kgbb/jam intravena
didapatkan efek psokotomimetik pada
dibandingkan dengan induksi propofol 2
kelompok PK.9
mg/kgbb dan fentanyl 1 μg/kgbb
Kombinasi propofol dan ketamin dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/
memberikan anestesi yang cukup nyaman kgbb/jam dan fentanyl 1 μg/kgbb/jam
untuk pembedahan dengan onset cepat, intravena. Penilaian stabilitas
durasi yang cepat, stabilitas hemodinamik, hemodinamik meliputi perubahan tekanan
darah sistolik (TDS), tekanan arteri rerata
(TAR) dan laju denyut jantung (DJ).
Variabel PK PF p
Umur (tahun) 37,7(4,57) 37,31(4,25) 0,667
Berat badan (Kg) 51,2(7,19) 49,8(5,29) 0,367
Tinggi Badan (cm) 155,1(4,12) 156,6(4,14) 0,130
BMI 21,3(2,77) 20,3 (2,15) 0,097
ASA n (%) n (%)
I 35((100) 35(100)
II 0 0
Hemodinamik Awal
Systolik mmHg 118(11,38) 117,4(13,02) 0,815
Diastolik mmHg 73,31(7,11) 73,6(7,9) 0,849
TAR mmHg 88,3(7,86) 88,2 (9,09) 0,989
DJ bpm 84,0(11,44) 80,4 (7,85) 0,127
Propofol-Ketamin Propofol-Fentanyl
Waktu (menit) % % P
Mean SD Mean SD
Induksi 4,3 (2,72) 15,5 (7,26) 0,000*
Insisi 3,5 (3,95) 12,5 (6,96) 0,000*
5 4,6 (2,11) 10,8 (8,62) 0,000*
10 7,4 (1,37) 8,4 (4,89) 0,125
15 4,7 (2,66) 5,6 (3,11) 0,205
20 6,2 (2,48) 7,1 (3,19) 0,417
25 5,7 (2,05) 6,6 (3,11) 0,757
30 5,8 (2,93) 6,7 (4,13) 0,188
35 7,5 (1,15) 8,4 (4,04) 0,737
Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test
Propofol-Ketamin Propofol-Fentanyl
Waktu (menit) % % P
Mean SD Mean SD
Induksi 4,6 (2,35) 14,0 (8,34) 0,000*
Insisi 6,3 (2,37) 11,6 (6,30) 0,000*
5 6,3 (1,39) 8,3 (5,20) 0,028*
10 6,2 (1,98) 6,8 (4,89) 0,531
15 5,2 (3,24) 6,1 (5,15) 0,415
20 5,2 (2,41) 4,7 (3,32) 0,051
25 4,0 (2,67) 4,5 (3,58) 0,178
30 4,2 (2,50) 4,3 (2,42) 0,386
35 2,8 (1,77) 1,9 (1,65) 0,171
Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test
Propofol-Ketamin Propofol-Fentanyl
Waktu (menit) % % P
Mean SD Mean SD
Induksi 3,5 (2,63) 14,2 (6,52) 0,000*
Insisi 4,2 (2,68) 9,3 (8,19) 0,018*
5 6,6 (1,71) 8,7 (4,50) 0,019*
10 7,0 (0,98) 7,2 (4,77) 0,123
15 6,0 (0,78) 7,1 (5,59) 0,218
20 6,2 (1,14) 6,4 (4,33) 0,371
25 5,6 (2,15) 5,7 (3,31) 0,565
30 5,9 (1,57) 4,9 (1,35) 0,031*
35 7,0 (2,83) 4,2 (2,69) 0,009*
Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test
Perubahan tekanan arteri rerata sebesar > induksi. Perlu dicermati bahwa perubahan
10 % didapatkan pada saat setelah induksi hemodinamik duranteperatif merupakan
sebesar 14,0 (8,34) % dan setelah insisi salah satu prediktor kejadian komplikasi
11,9 (6,30) % pada kelompok PF. Pada pascaoperasi dimana beberapa poin
menit ke-5 sebesar 8,3 (5,20) % juga penting dalam pengendalian hemodinamik
didapatkan beda bermakna dengan intraoperatif.10
kelompok PK yaitu saat induksi 4,6 (3,18)
Saat dilakukan insisi tidak didapatkan
% dengan p=0,000, saat insisi 6,3 (1,03) %
gerakan pada semua subyek penelitian,
dengan p=0,000 dan menit ke-5 sebesar
sehingga tidak dibutuhkan penambahan
6,3 (2,11) % dengan p=0,028.
obat. Hal ini menunjukkan bahwa ketamin
Pada kelompok PF terjadi perubahan laju pada dosis 0,5 mg/kg untuk induksi
denyut jantung sebesar > 10 % didapatkan dilanjutkan dosis pemeliharaan 0,5 mg/
pada saat setelah induksi sebesar 14,2 kgbb/jam dapat memberikan analgesi yang
(6,52) %. Perubahan saat setelah insisi 9,3 baik sebanding dengan fentanyl 1 μg/kgbb
(8,19) % dan menit ke-5 sebesar 8,7 (4,50) yang dilanjutkan dengan dosis
% juga berbeda bermakna dengan pemeliharaan 1 μg/kgbb/jam. Dosis
kelompok PK yaitu saat induksi 3,5 (2,63) ketamin 0,5 mg/kgbb telah digunakan
% dengan p=0,000, saat insisi 4,2 (2,68) % dalam penelitian sebelumnya pada
dengan p=0,018 dan menit ke-5 sebesar tindakan debridement luka bakar dimana
6,6 (1,71) % dengan p=0,019. didapatkan efek analgesi yang cukup
adekuat. 11
Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh
Mahajan et al. (2010), Bajwa et al. (2010) Selama operasi penambahan propofol
dan Almeida 2005 yang membandingkan diberikan karena adanya gerakan atau
kombinasi propofol – fentanyl (PF) tanda-tanda pasien akan bangun pada saat
dengan propofol – ketamin (PK) dimana dilakukan eksplorasi lebih dalam oleh
didapatkan penurunan bermakna pada operator dan bila terjadi takikardiatau
keempat parameter hemodinamik tersebut. hipertensi. Penambahan propofol
diperlukan pada kedua kelompok meski
Penurunan yang terjadi pada saat induksi,
tidak berbeda bermakna secara statistik.
setelah insisi dan menit-menit awal pada
Tujuh pasien (20 %) pada kelompok PK
kelompok PF lebih besar dan melebihi
dan 10 pasien (28,5 %) pada kelompok PF
rentang 10 % dari hemodinamik awal
memerlukan penambahan propofol bolus
sehingga dapat dikatakan stabilitas
sebesar 0,5 mg/kgbb. Frekuensi
hemodinamik pada kelompok PK lebih
penambahan obat pada kelompok PK 1,4
baik daripada kelompok PF meskipun
(0,53) kali sedangkan pada kelompok PF
kemudian, rerata persentase perubahan
1,5 (0,70) kali pemberian dan tidak
hemodinamik pada kedua grup berada
bermakna secara statistik (p=0,825). Total
dalam rentang kurang dari 10 %
dosis propofol yang ditambahkan pada
dibandingkan hemodinamik sebelum
kelompok PK 28,6 (10,69) mg sedangkan
pada kelompok PF 30,0 (14,14) mg dan cukup nyaman tanpa adanya keluhan mual
tidak bermakna secara statistik (p=0,825). muntah selama observasi di ruang pulih
Penambahan ini mungkin dapat menjadi sadar. Efek anti emetik pada propofol
pertimbangan perlunya menaikkan dosis dapat menurunkan angka kejadian PONV
pemeliharaan propofol kontinyu yang pada pada penggunaan ketamin dengan dosis
penelitian ini diberikan 2 mg/kgbb/jam. 0,5 mg/kgbb/jam maupun fentanyl 1 μg/
kgbb/jam. Penelitian sebelumnya
Penelitian sebelumnya oleh Mahajan, et
menyebutkan bahwa dosis subhipnotik
al. (2010) yang menggunakan dosis
ketamin 0,5 sampai 1 mg/kgbb/jam
propofol yang diberikan dengan dosis 4
dengan kombinasi infus propofol dapat
mg/kgbb/jam, penelitian Bajwa, et al.
memberikan analgesia tanpa depresi
(2010) menggunakan dosis rumatan
hemodinamik dan kejadian PONV,
propofol 2 mg/kgbb/jam, sedangkan
sedangkan pada dosis lebih besar 1,4 mg/
Almeida (2005) menggunakan dosis
kgbb/jam secara bermakna meningkatkan
propofol titrasi 10 mg/kgbb/jam yang
kejadian PONV.7
diturunkan 2 mg/kgbb/jam tiap 10 menit
dan dilanjutkan titrasi yang dimulai SIMPULAN
dengan dosis 4 mg/kgbb/jam.9,6,11
Berdasarkan hasil penelitian propofol –
Selama pemantauan baik setelah induksi ketamin vs propofol – fentanyl dapat
maupun durante operasi hingga selesai disimpulkan bahwa hemodinamik pada
tidak didapatkan kejadian penurunan TIVA kontinyu kombinasi propofol –
SpO2 hingga dibawah 95 %, kedua ketamin (PK) lebih stabil dibandingkan
kombinasi obat masih memungkinkan TIVA kontinyu kombinasi propofol –
ventilasi spontan yang adekuat. Beberapa fentanyl (PF) pada operasi MOW.
penelitian sebelumnya dengan dosis
DAFTAR PUSTAKA
fentanyl yang lebih besar dari 1 μg/kgbb/
jam menunjukkan kecenderungan 1. Loose, E., Egan, T.D., 2006. Short-acting
terjadinya depresi napas baik selama Intravenous Anesthetics. In R.L. Hines, ed.
operasi maupun di ruang pemulihan.6 Ambulatory Anesthesia. Philadelphia: Mosby
Elsevier. 39.
Selama operasi tidak didapatkan kejadian 2. Lerman, J., 2009. TIVA,TCI and Pediatrics:
Where are we and where are we going.
bradikardi yang membutuhkan
Available at: http://www.utswanesthesia.com
penatalaksanaan khusus. Walaupun terjadi [Accessed 2 March 2011]
penurunan laju denyut jantung, namun 3. Aitkenhead, A.R., 2003. Intravenous anesthetic
penurunan tersebut tidak disertai gejolak agents. In A.R. Aitkenhead, D.J. Rowbotham
yang bermakna dan berlangsung singkat. & S. Graham, (eds). Textbook of anesthesia.
4th ed. Philadelphia: Elsevier. 184-9.
Kedua kombinasi obat baik propofol- 4. Reves, J.G., Glass, P.S., Lubarsky, D.A.,
ketamin dan propofol-fentanyl McEvoy, M.D., 2010. Intravenous anesthetics.
In Miller, R.D. ed. Miller's Anesthesia. 7th ed.
memberikan kondisi pascaanestesi yang
Philadelphia: Elsevier. 10:719-59.
5. Stoelting, R.K., Hillier, S.C., 2006. fentanyl for analgesia during propofol
Nonbarbiturate intravenous anesthetic drugs. In procedural sedation: a randomized clinical
Brown, B., Murphy, F. (eds). Pharmacology trial. Am Emergency Med J, 15:877-86
and Physiology In Anesthetic Practice. 4th ed. 9. Mahajan, R., Swarnkar, N., Ghosh, A., 2010.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Comparison of ketamine and fentanyl with
1:155 propofol in total intravenous anesthesia: a
6. Bajwa, S.J., Bajwa, S.K., Kaur, J., 2010. double blind randomized clinical trial. Internet
Comparison of two drug combinations in total J Anest, 23
intravenous anesthesia: propofol-ketamine and 10. Charlson, M.E., MacKenzie, R., Gold, J.P.,
propofol-fentanyl. Saudi J Anest, 4(2):72-9 Ales, K.L., Topkins, M., Shires, T., 1990.
7. Badrinath, S., Avramov, N., Shadrick, M.,Witt, Intraoperative blood pressure : what patterns
T.R., Ivankovich, A., 2000. The use of a identify patients at risk for postoperative
ketamine-propofol combination during complications. Ann. Surg, 560-80.
monitored anesthesia care. Anest analg, 90:858 11. Almeida, S.L., 2005. Comparative evaluation of
-62. propofol-ketamine and propofol fentanyl in
8. Messenger, D.W., Messenger, D.W., Murray, management of pain during dressing changes in
H.E., Dungey, P.E., Vlymen, J., Sivilotti, M.L., patients with burns. Available at: http://
2008. Subdissociative-dose ketamine versus www.rila.co.uk [Accessed 4 March 2011]
PENELITIAN
Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu
dengan Pre Eklampsia Berat terhadap Apgar Score
Nurhadi Wijayanto*, Ery Leksana**, Uripno-Budiono**
*Bagian Anestesiologi RSU Bhayangkara Sartika Asih Bandung
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
ABSTRACT
Background: in patients with severe preeclampsia intubation is dangerous because of the
actions associated with airway management and hemodynamic fluctuations that may
occur. Spinal anesthesia avoided many risks associated with hypotensive but some
studies have shown that spinal anesthesia is safe for both mother and fetus. debate about
the influence of general anesthesia and spinal anesthesia on Apgar score is something
interesting. Some research suggests that there was no difference in anesthesia on both of
them but other studies say that the appreciation of the general anesthesia will result in a
lower than spinal anesthesia.
Objective: to compare the influence of general anesthesia and spinal anesthesia on
children born to mothers with a sectio caesaria because of severe preeclampsia.
Methods: an experimental study design with prospective randomized control trial study,
the research group is divided into two (n: 8), Group I is the group that received general
anesthesia with pentothal 5mg/bb dose and dose muscle paralytic suksinilkholis 1.5mg/bb
Conclusion: Apgar score in the group of spinal anesthetics are higher than general
anesthesia in patients with sectio caesaria because of severe preeclampsia, but clinically
by Apgar score categories of the two groups together
Key words: pre-eclampsia, Apgar score, spinal anesthesia, sectio Cesaria, hemodynamic
ABSTRAK
Latar belakang: pada pasien preeklampsia berat intubasi merupakan tindakan yang
berbahaya karena berkaitan dengan menejeman jalan napas dan gejolak hemodinamik
yang mungkin terjadi. Anestesi spinal banyak dihindari berkaitan dengan resiko
hipotensinya namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anestesi spinal
adalah aman bagi ibu maupun janin . perdebatan tentang pengaruh anestesi umum dan
anestesi spinal terhadap Apgar score adalah sesuatu yang menarik. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan anestesi pada keduanya namun pada
penelitian lainnya dikatakan bahwa dengan apresiasi umum akan menghasilkan anestesi
yang lebih rendah daripada anestesi spinal.
Tujuan : untuk membandingkan pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap
anak yang dilahirkan oleh ibu dengan sectio caesaria karena preeklampsia berat.
Metode : merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian prospective
randomized control trial, kelompok penelitian dibagi menjadi dua (n:8), kelompok I
merupakan kelompok yang mendapat anestesi umum dengan pentothal dosis 5mg/bb dan
pelumpuh otot suksinilkholis dosis 1.5mg/bb
Kesimpulan : Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada
anestesi umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara
klinis berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama
Kata kunci : preeklampsia, Apgar score, anestesi spinal, sectio cesaria, hemodinamik
Anestesi regional yang digunakan dapat ibu, kombinasi dari hipoksemia dan
menggunakan anestesi epidural atau hipotensia.
anestesi spinal karena keduanya
METODE
menunjukkan efek hermodinamik yang
stabil dan tidak bermakna.1,5,6 Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental dengan desain penelitian
Pada wanita dengan preeklampsia,
prospective randomized control trial,
anestesi spinal mempunyai beberapa
kelompok penelitian dibagi menjadi dua
keuntungan yaitu menghindari kesulitan
sebagai berikut, Kelompok I mendapat
intubasi pada anestesi umum dan
anestesi umum, yang rnerupakan
mencegah gejolak intubasi, onset yang
kelompok kontrol, Kelompok II mendapat
cepat, lebih mudah dikerjakan, lebih
anestesi spinal.Tempat penelitian adalah
terpercaya jika dibandingkan dengan
instalasi bedah sentral dan ruang operasi
anestesi epidural, mempunyai resiko yang
UGD Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi
lebih kecil dalam menyebabkan trauma di
Semarang. Waktu penelitian adalah 4
ruang epidural sehingga menurunkan
bulan sejak usulan di setujui.
resiko hematom.1,5
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah
Pemeriksaan penunjang dan penilaian
pasien dengan preeklampsia berat yang
dalam penatalaksanaan asfiksia, dapat
akan menjalani SC, tidak ada riwayat
dilakukan dengan : pemantauan janin
alergi dengan obat-obat anestesi yang
(klinik dan kardiotokografi), analisis gas
akan diberikan, kehamilan aterm,
darah, USG kepala, Computed Tomografi,
sedangkan Kriteria eksklusi dari penelitian
MRI, EEG dan Apgar score.7
ini adalah pasien menolak untuk ikut
Apgar score merupakan metode untuk dalam penelitian, kontraindikasi untuk
melakukan penilaian terhadap bayi baru dilakukan anestesi umum atau anestesi
lahir secara cepat. Penilaian tersebut spinal, BMI > 35 kg/m2, mallampati > 2,
meliputi lima komponen yang dengan koagulasi yang abnormal, trombositopeni
mudah dpt dilakukan. Kelima komponen (trombosit 75 X 109/1), SIRS/Sepsis,
itu meliputi laju jantung, usaha bernapas, deformitas tulang belakang, kehamilan
tonus otot, refleks dan warna kulit, dan kembar, fetal distress, partus lama, bayi
reflek tergantung dari maturitas fisiologi preterm atau serotinus, penderita
bayi. Bayi preterm yang sehat tanpa diabetes mellitus, perdarahan antepartum
riwayat asfiksia mungkin saja mendapat dan perdarahan intrapartum, ruptur uteri.
score yang rendah karena imaturitasnya.
Jumlah sampel yang diperlukan untuk
Sejumlah faktor pada fetus dipengaruhi
penelitian ini adalah 16 sampel, yang
oleh penurunan konsentrasi oksigen yang
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
dihirup oleh ibu, penurunan aliran darah
kelompok I (anestesi umum) dan
uterus, penurunan aliran darah umbilikus,
kelompok II (anestesi spinal), masing-
emboli uteroplasenta, pendarahan pada
bermakna berat bayi lahir antara kedua Berdasarkan ketegori klinis Apgar score
kelompok (p=0,568). dikategorikan menjadi 3 yaitu Apgar score
0 – 3 (asfiksia berat), Apgar score 4 -6
Rerata (simpangan baku) waktu insisi-
(asfiksia ringan), Apgar score 7 – 10
lahir kelompok I dan Kelompok II berturut
(normal). Pada kelompok I menit ke – 1
-turut adalah 7,25 (0,46) menit dan 7,5
ada sampel yang masuk kategori asfiksia
(0,93) menit. Kedua kelompok
ringan sebanyak 3 sampel, sedangkan pada
menunjukkan adanya perbedaan yang
menit ke – 5 dan 10 semua sampel masuk
tidak bermakna waktu insisi-lahir
dalam kategori normal.
(p=0,574), sehingga berdasarkan waktu
insisi-lahir kedua kelompok adalah sama. Pada kelompok II semua sampel adalah
Rerata (simpangan baku) berat bayi lahir normal, baik pada menit ke – 1, menit ke –
kelompok I dan kelompok II berturut- 5, maupun menit ke – 10 . berdasarkan uji
turut adalah 2869 (266) gram dan 2981 beda terdapat perbedaan tidak bermakna
(474) gram. Hasil uji beda menunjukkan antara dua kelompok baik pada menit ke –
bahwa terdapat perbedaan yang tidak 1 (p = 0,234), menit ke - 5 (p = 1,00) dan
bermakna berat bayi lahir antara kedua menit ke – 10 (p = 1,00), sehingga
kelompok (p=0,568). Berat bayi lahir bedasarkan kategori klinis kedua
antara kedua kelompok adalah sama (tabel kelompok sama
2).
Hipotensi berdasarkan tekanan darah
Dari grafik 1 dapat dilihat pada kelompok sistolik menunjukkan bahwa semua
I hanya terdapat dua sampel (25%) dengn sampel kelompok I tidak ada yang
riwayat partus satu kali, sedangkan sisanya hipotensi sedangkan pada kelompok II
belum pernah melahirkan sebelumnya. terdapat dua sampel (25%) yang hipotensi
Sebaliknya pada kelompok II terdapat dan sisanya (75%) tidak hipotensi.
lima sampel (62,5%) dengan riwayat Sementara itu apabila hipotensi
partus satu kali, sedangkan sisanya belum berdasarkan MAP, maka terdapat seorang
pernah melahirkan sebelumnya. sampel (12,5%) dari kelompok I yang
bipotensi dan tiga sampel (37,5%) dari
Rerata (simpangan baku) Apgar score
kelompok II (grafik 2).
menit ke 1,5. 10 kelompok I dan
kelompok II berturut-turut adalah 7,00 Berdasarkan uji Fisher’s Exact
(1,07),7,88 (0,84), 9,00 (0,76) dan 8,63 menunjukkan bahwa kejadian hipotensi
(0,52), 9,50 (0,53),9,88(0,35). Terdapat berdasarkan tekanan darah sistolik dan
perbedaan bermakna Apgar score menit MAP pada kedua kelompok berbeda tidak
ke 1,5 dan 10 antara kelompok I dan II. bermakna (p=0,233) dan (p=0,285) kedua
Apgar score menit ke-1, 5,10 pada kelompok sama
kelompok II lebih tinggi daripada
PEMBAHASAN
kelompok I (tabel 3).
Perdebatan tentang anestesi spinal pada
Tabel 1. Umur, umur kehamilan, kadar Hb dan kadar GDS, indikasi sectio caesaria
Kelompok Perlakuan
Variabel Kelompok I Kelompok II P
1
Keterangan: : independen t test
2
: mann whitney test
3
: chi-square test
Ket :
1
= independent t test
2
= mann whitney test
Kelompok Perlakuan P
Kelompok I Kelompok II
Apgar score menit ke-1 7,00 (1,07) 8,63 (0,52) 0,0072
Apgar score menit ke-5 7,88 (0,84) 9,50 (0,53) 0,0022
Apgar score menit ke 10 9,00(0,76) 9,88 (0,35) 0,0282
Grafik 2. Distribusi frekuensi (dalam 100%) riwayat hipotensi berdasarkan MAP diantara kedua kelompok
Tes Apgar bertujuan utuk menilai kondisi sementara sehingga dapat berakibat
fisiologis bayi secara cepat apakah bayi rendahnya Apgar score pada menit
tersebut segera memerlukan perawatan pertama. Sementara obat induksi yang lain
medis dan tidak untuk menilai kesehaan yaitu suksinikholin tidak menunjukkan
bayi dalam jangka panjang.11,12 adanya transfer plasenta kecuali dosis
yang diberikan lebih dari 300 mg. dari
Insidensi hipotensi lebih tinggi pada
penelitian analisis retrospektif
kelompok yang mendapat anestesi spinal
disimpulkan bahwa Apgar score pada
yaitu sebesar 37,5% dibanding kelompok
menit kelima merupakan prediktor yang
yang mendapatkan anestesi umum yaitu
valid untuk menilai resiko kematian bayi
sebesar 12,5%. Perbedaan insidensi
baru lahir. Apgar score pada menit kelima
hipotensi ini tidak berbeda bermakna antar
sampai 10 menit menunjukkan bahwa
kedua kelompok. Hasil penelitian ini
kondisi bayi normal, Apgar score 4,5,6
sesuai dengan hasil penelitian
(asfiksia ringan) biasanya memerlukan
Visalyaputra yang menyatakan bahwa
bantuan medis misalnya dapat diberikan
insidensi hipotensi pada preeklampsia
oksigen dan bantuan napas, sedangkan
yang diberikan anestesi spinal lebih tinggi.
Apgar score kurang dari 4 maka bayi
Walaupun insidensi hipotensinya lebih
tersebut memerlukan resusitasi.13
tinggi namun Apgar score pada kelompok
anesthesia spinal baik hal ini diduga Penelitian ini mempunyai keterbatasan
karena durasi hipotensinya hanya singkat, diantaranya adalah sampel penelitian yang
mudah dalam penatalaksanaanya serta kecil, sehingga perlu sampel yang lebih
bayi mempunyai mekanisme kompensasi besar agar diperoleh hasil yang lebih
untuk tetap mempertahankan kecukupan akurat. Disamping itu sectio caesaria
oksigennya yaitu dengan meningkatkan karena preeklampsia berat sebagian besar
laju nadi bayi sehingga anestesi spinal dikerjakan dalam status darurat (cito),
aman untuk diberikan pada ibu dengan maka untuk operator, dokter anestesi,
preeklampsia.6,9 maupun dokter anak sulit untuk
dikerjakan oleh tim yang sama karena
Nilai Apgar score yang rendah pada
disesuaikan dengan jadwal jaga masing-
menit pertama saja tidak menunjukkan
masing bagian, sehingga keterbatasan
hasil akhir dari bayi. Apgar score yang
diatas akan merupakan bias dalam
rendah pada menit pertama menunjukkan
penelitian ini.
bahwa bayi baru lahir memerlukan
perhatian medis tetapi bukan merupakan SIMPULAN
indikasi bahwa bayi tersebut akan
Apgar score bayi yang lahir dari pasien
mempunyai masalah kesehatan dalam
sectio caesaria karena preeklampsia berat
jangka panjang. Pada anestesi umum obat
pada kelompok anestesi spinal lebih
induksi yang digunakan dalam hal ini
thiopental dapat menyebabkan depresi
ringan aktivitas bayi yang sifatnya
tinggi daripada anestesi umum, tetapi 7. Chair I, Ensefalopati biopsies iskemikpada bayi
secara klinis berdasarkan kategori Apgar baru lahir. Dalam :reasy RK, Resnik R eds
Maternal Fetal Medicine. 3 rd ws, USA;WB
score kedua kelompok sama.
Saunders, 1994: 28
8. Khalil RA, Granger JP. Vascular mechanisms
DAFTAR PUSTAKA
of increased arterialpressure in
1. Gambling, RG, Hypertensive disorders. preeclampsia :lessons from animal medels.
In :Chesnut DH. Obstetric anesthesia Availale from URL : http://
principles and practice 3 rd . ed. Philadelphia : ajpregu.physiology.org/cegi/content/full/283/1/
Elsevier Mosby, 2004 :795-830 R29/BIBL
2. Hypertensive disorder in Pregnancy : 9. Visalyaputra S, Rondonant O, somboonvinoon
Anesthetic implication and management. W, Tantivitayatan K, Thientong S.
Available from :URL http ://www. SaengchoteW. Spinal versus
Freemedeme.com/eme/article.efm / epiduralanesthesisa for cesarean deligery in
mode=article full view & cme id=13 severa preeclamsia : a prospective
3. Hermatno. Factor Resiko asfiksi neonatorum di randomizedmultycenter study. Avialableform
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta; Bagian IKA FK URL :http: www.medscape.com/
UGM//RSUPdr. Sardjito; 1992 viewarticle/520775
4. Granger JP, Barbara TA, Llamas MT, Bennett 10. Khademis. The effect of anesthesia on apgar.
WA, Khalil RA Pathophysiology of Availabelform URL: Http://
hypertension during preeclampsia linking www.medscape.com/viearticle /520775
placental ischemia with endothelial 11. Bellis M. Apgar Scoring for Newborn.
dysfunction. Available from URL: http:// Available form UR:http//en. Wikipedia.org/
www.hyper.ahojourplas.org.egi/content/ wiki/Apghar score.
full/97/3/867 12. Nava F., Roblesn P., Padilla L. Neonatal
5. Aya GM, mangin R, Vialles N, Ferrer JM, Outcome in women with severe preeclamsia.
Robert C, Ripart J, Coussaye JE. Patients with Available from URL : http://
severe preeclampsia experience less www.imbiomed,com.mx/Inper/Prv12n4/
hypotension during spinal anesthesia for english/Zor84-01.html
elective cesarean delivery than healthy 13. American Academy of Pediatrics, Committee
parturient; A prospective cohort comparison. on Fetus and Newborn, American College of
Available from URL :http://www/aneshesia. Obstetricians and sGyanccologist and
Analgesia.org/egi/content/full/97/3/867 Committec on Obstetric Practice. The apgar
6. MacArhur A, Anesthesia for severe score.available from URL :http://aapopolicy.
hypertensive disease of pregnancy and ischemic Aappublications . org/cgi/content/full/
heart from URL :http://www.anesthesia pediatrics;1174/1444
analgesia.org/egi/reprint/101/3/862.
PENELITIAN
Perbedaan Jumlah Bakteri Trakhea pada Tindakan Oral Hygiene
Menggunakan Chlorhexidine dan Povidone Iodine pada Penderita dengan
Ventilator Mekanik
Fitri Hapsari Dewi*, Jat i List iyanto Pujo**, Ery Leksana**
* Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr. Moewardi/ FK UNS Surakarta
** Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi / FK UNDIP Semarang
ABSTRACT
Background: pneumonia is a nosocomial infection that often occurs. Pneumonia can be
caused by bacterial colonization in the trachea due to aspiration of upper respiratory
tract bacteria. Oral hygiene in the upper respiratory tract can decrease the number of
bacteria.
Objective: To find the differences in decrease in the number of tracheal bacteria with
oral hygiene chlorhexidine 0.2% and povidone iodine 1% on patients with mechanical
ventilator.
Methods: A randomized clinical control trial study on 30 patients with mechanical venti-
lator. Patients were divided into 2 groups (n=15), group 1 using chlorhexidine 0.2% and
group 2 using povidone iodine 1%. Each group was given oral hygiene every 12 hours for
48 hours. Each group was taken of tracheal secretions before and after treatment, for
later examination counting the number and types of bacteria. Statistics using the Wil-
coxon test and Mann-Whitney test (with degrees of significance <0.05).
Results: This study found a decrease the number of bacteria trachea in chlorhexidine
group 78.99 ± 69.105 (significant difference p=0.04) more than in the povidone iodine
group 24.91 ± 104.764 (not significantly different p=0.75). While the comparative differ-
ence in the two groups of test results obtained p=0144 (not significantly different).
Conclusion: The decrease in the number of tracheal bacteria on oral hygiene with chlor-
hexidine 0.2% was not different from povidone iodine 1%
Keywords: chlorhexidine 0.2%, povidone iodine 1%, the number of tracheal bacteria,
oral hygiene, mechanical ventilator.
ABSTRAK
Latar belakang: Pneumonia merupakan infeksi nosokomial yang sering terjadi. Pneumo-
nia dapat disebabkan karena kolonisasi bakteri di trakhea karena aspirasi bakteri salu-
ran nafas atas. Tindakan oral hygiene pada saluran nafas atas dapat menurunkan jumlah
bakteri.
Tujuan: Untuk mengetahui adanya perbedaan penurunan jumlah bakteri trakhea pada
tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% dan povidone iodine 1% pada
penderita dengan ventilator mekanik.
Metode: Merupakan penelitian randomized clinical control trial pada 30 penderita den-
gan ventilator mekanik. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n=15), kelompok 1 meng-
gunakan chlorhexidine 0,2% dan kelompok 2 menggunakan povidone iodine 1%. Masing-
masing kelompok diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap kelompok
diambil sekret dari trakhea sebelum dan setelah perlakuan, untuk kemudian dilakukan
pemeriksaan hitung jumlah dan jenis bakteri. Uji statistik menggunakan Wilcoxon dan
Mann-Whitney test ( dengan derajat kemaknaan < 0,05 ).
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok
chlorhexidine sebesar 78,99±69,105 ( berbeda bermakna p=0,04 ) lebih banyak bila
dibandingkan pada kelompok povidone iodine 24,91±104,764 ( berbeda tidak bermakna
p=0,75). Sedangkan pada uji selisih komparatif dua kelompok didapatkan hasil berbeda
tidak bermakna ( p=0.144 ).
Simpulan: Penurunan jumlah bakteri trakhea pada tindakan oral hygiene dengan chlor-
hexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1%
Kata kunci: chlorhexidine 0,2%, povidone iodine 1%, jumlah bakteri trakhea, oral hy-
giene, ventilator mekanik.
20
300
200
Selisih jumlah kuman
100
-100
-200
Hasil uji statistik yang dilakukan dengan povidone iodine dapat menurunkan angka
menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test, kejadian bakterimia pada pasien dengan
perubahan jumlah bakteri trakhea pada resiko tinggi infeksi dengan memberikan
kelompok chlorhexidine menunjukkan cairan povidone iodine secara rutin pada
perubahan yang bermakna (p<0,05). sulkus ginggiva.
Sedangkan jumlah bakteri trakhea pada
Penelitian yang dilakukan ini adalah
kelompok povidone iodine menunjukkan
membandingkan jumlah kuman antara
perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05).
pemberian oral hygiene chloerhexidine
Pada analisis komparatif antar kelompok 0,2% dengan povidone iodine 1% pada
digunakan Mann Whitney U-test. Hasil penderita dengan ventilator mekanik.
analisis disajikan dalam boxplot Grafik Sebelumnya belum pernah ada yang
1.Pada analisis komparatif antar membandingkan antara keduanya terhadap
kelompok, didapatkan penurunan jumlah jumlah bakteri trakhea. Pada hasil
bakteri trakhea pada kelompok penelitian ini digunakan 30 subyek
chlorhexidine 0,2% dibandingkan penelitian dengan karakteristik yang telah
kelompok povidone iodine 1% dengan diseleksi melalui kriteria inklusi dan
perbedaan tidak bermakna (p > 0,05). eksklusi didapatkan 30 penderita dengan
karakteristik umur, jenis kelamin yang
PEMBAHASAN
tidak berbeda bermakna (p>0,05) sehingga
Antiseptik atau antimikroba pada dosis layak dibandingkan.
terapi, seperti chlorhexidine dan colistin,
Hasil analisis uji Wilcoxon pada kedua
dapat menjadi alternatif untuk
kelompok secara terpisah menunjukkan
dekontaminasi orofaring. Chlorhexidine
bahwa jumlah bakteri trakhea sebelum dan
memiliki spektrum luas untuk
sesudah perlakuan berbeda bermakna pada
mikroorganisme gram positif dan
6
kelompok chlorhexidine (p=0,004) dan
mikroorganisme gram negatif.
tidak berbeda bermakna pada kelompok
Penggunaan chlorhexidine glukonat 0,12% povidone iodine (p=0,075). Sedangkan
secara bilasan oral sebanyak dua kali selisih jumlah bakteri trakhea antara kedua
sehari dapat menurunkan tingkat kejadian kelompok dianalisis dengan uji komparatif
infeksi saluran nafas sebesar 69% dan Mann-Whitney, dengan hasil menunjukkan
menurunkan penggunaan antibiotik tidak berbeda bermakna (p=0,144).
sebesar 43% tanpa mempengaruhi pola
Kelompok chlorhexidine menunjukkan
resistensi antibiotik. Pengaruh terbesar
penurunan jumlah bakteri bermakna secara
didapatkan pada pasien – pasien yang
statistik. Hasil ini sesuai dengan penelitian
telah diintubasi selama lebih dari 24 jam
Mirelle Koeman yang menyatakan bahwa
dimana pasien – pasien ini memiliki
terdapat penurunan jumlah kolonisasi di
derajat jumlah bakteri bakteri terbesar.5,
trakhea pada penderita dengan ventilator
Penelitian Rahn, dikatakan bahwa mekanik yang diberi chlorhexidine selama
Kaasjager K, Hans, et al. Oral decontamination 9. Panchabhai TS, Dangayach NS, Khrisnan A,
with chlorhexidine reduces the incidence of Kothari VM, Karnad DR.Oropharyngeal
ventilator-associated pneumonia. American cleansing with 0,2% chlorhexidine for
journal of respiratory and critical care medicine prevention of nosocomial pneumonia in critical
2006; 173 : 1348-1355. Available from: http // care patients. Chest 2008;135:1116-1118.
ajrccm.atsjournals.org/cgi/content/ Available from:http//
short/173/12/1348 chestjournal.chestpubs.org/content/135/5/1150.
7. Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita T, 10. Morgan G E, Mikhail M S. Critical care.
Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with povidone In :Morgan GE, ed. Clinical Anesthesiology.4th
-iodine reduces the transport of bacteria during ed. Connecticut , Appleton and Lange; 2006.
oral intubation. Can j anaesth 2004;51(9):932- 11. Joel V, Chua MD, Eleanor A, Dominguez MD,
6. Available from : http// pubget.com/ Cherrie M, Sisson MD, et al. The efficacy of
paper/15525622 povidone-iodine oral rinse in preventing
8. Genuit T, Mccarter RJ, Roghman MC, ventilator-associated pneumonia: A randomized
Bochichio G, Napolitano LM. Prophylactic double-blind, placebo-controlled (VAPOR)
chlorhexidine oral rinse decrease ventilator- trial: preliminary report . J mikrobiol infect dis
associated pneumonia in surgical ICU patients. 2004;33(4):153-161. Available from : http //
Surgical infection 2001;2:1-14. Available www.psmid.org.ph/vol33/
from:http// www.ncbi.nlm.nih.gov/ vol33num4topic153.pdf
pubmed/12594876