Anda di halaman 1dari 67

JAI

Volume IV Nomor 01, Maret 2012


ISSN 2089-970X
www.janesti.com

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia
melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
(PERDATIN) Jawa Tengah
Pelindung:
Ÿ Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
Ÿ Ketua Program Studi Anestesiologi dan
Terapi Intensif FK UNDIP
Ÿ Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesi
dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah

Ketua Redaksi:
dr. Uripno Budiono, SpAn

Wakil Ketua Redaksi:


dr. Johan Arifin, SpAn, KAP

Anggota Redaksi:
dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA
dr. Hariyo Satoto, SpAn
dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC
dr. Doso Sutiyono, SpAn
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR
dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med
dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med
dr. Danu Soesilowati, SpAn
dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med

Mitra Bestari:
Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang)
Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang)
Dr. dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)
Dr. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang)
Dr. dr. Syarif Sudirman, Sp.An (Surakarta)
Prof. Dr. dr. Made Wiryana, Sp.An, KIC (Denpasar)

Seksi Usaha:
dr. Mochamat, Sp.An

Administrasi:
Maryani, Yulia Sekar Ayu Milasari, SAP

Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan 3


kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan
November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,-
per tahun.
Bagi pengirim artikel penelitian yang dimuat di JAI,
dikenakan kontribusi senilai Rp. 500.000,-.
Untuk berlangganan dan sirkulasi:
Ibu Nik Sumarni (081326271093)

Alamat Redaksi:
Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK
UNDIP/ RS Dr. Kariadi,
Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang.
Telp. 024-8444346.
Email: info@janesti.com
Website: www.janesti.com
Sejawat terhormat,

Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) terus berusaha meningkatkan kualitas isi artikel
yang dimuat dalam jurnal ini demi kemajuan ilmu anestesi dan terapi intensif.
Edisi ini sepenuhnya memuat artikel penelitian. Diantaranya adalah mengenai
penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilator mekanik, peranan
D 2.5 % NaCl 0.45% terhadap gula darah pasien pediatrik, Penggunaan simvastatin
untuk meningkatkan fagositosis makrofag, perbandingan kestabilan hemodinamik antar
dua regimen anestesi intravena pada pasien ligasi tuba, pengaruh pemilihan teknik
anestesi pada eklamsia terhadap Apgar score bayi dan regimen oral hygiene pada
penderita dengan ventilator mekanik.

Semoga Bermanfaat

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Ucapan Terima Kasih:


Kepada Mitra Bestari Jurnal Anestesiologi Indonesia
Vol. IV No. 2 Tahun 2012:

Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV (Semarang)


Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO (Semarang)
Prof. DR.dr. Made Wiryana, SpAn, KIC (Denpasar)
DR.dr. Syarif Sudirman, SpAn, KMN, KAR, SpAK (Surakarta)
DR. dr. Hari Bagianto, SpAn, KIC (Malang)
DR. dr. Mohamad Sofyan Harahap, SpAn, KNA (Semarang)
DR. dr. Sudadi SpAn, KNA (Yogyakarta)
DAFTAR ISI
PENELITIAN Hal

Yusnita Debora, Ery Leksana, Doso Sutiyono 73


Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem Closed Suction dan Sistem Open Suction
pada Penderita dengan Ventilator Mekanik
Penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilasi mekanik
mengurangi jumlah bakteri post-intervensi secara signifikan, demikian halnya
dengan open suction system. Closed suction system tidak lebih baik dalam
mengurangi jumlah bakteri.
Erna Fitriana Alfanti, Uripno Budiono, Johan Arifin 85
Pengaruh Infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45% Terhadap Kadar Glukosa Darah
Perioperatif pada Pasien Pediatri
Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan D5 %
NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia
selama dan setelah operasi pada pasien pediatric.
Sherliyanah Harahap, Heru Dwi Jatmiko, Mohamad Sofyan Harahap 96
Pengaruh Simvastatin Terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag Pada Mencit
Balb/C Yang Diberi Lipopolisakharida
Pemberian simvastatin dosis 0,06 mg dan 0,12 mg peroral menunjukkan perbedaan
bermakna pada penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal
dibanding kontrol pada mencit yang diberi lipopolisakarida.
Laurentius Sandhie Prasetya, Sudadi 104

Stabilitas Hemodinamik Propofol – Ketamin Vs Propofol – Fentanyl pada Operasi


Sterilisasi / Ligasi Tuba

Kombinasi Propofol 2 Mg/Kgbb/Jam dan Ketamin 0,5mg/Kgbb/Jam memberikan


stabilitas hemodinamik yang lebih baik daripada Kombinasi Propofol 2 Mg/Kgbb/
Jam dan Fentanyl 1 Μg/Kgbb/Jam pada operasi ligasi tuba
Nurhadi Wijayanto, Ery Leksana, Uripno-Budiono 115

Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu dengan Pre
Eklampsia Berat terhadap Apgar Score
Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada anestesi
umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara klinis
berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama.
Fitri Hapsari Dewi, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana 127
Perbedaan Jumlah Bakteri Trakhea pada Tindakan Oral Hygiene Menggunakan
Chlorhexidine dan Povidone Iodine pada Penderita dengan Ventilator Mekanik

Penurunan jumlah bakteri trakhea pada tindakan oral hygiene dengan


chlorhexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1%
Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Perbedaan Jumlah Bakteri pada Sistem Closed Suction dan Sistem Open
Suction pada Penderita dengan Ventilator Mekanik

Yusnita Debora*, Ery Leksana**, Doso Sutiyo no**


*Bagian Anestesiologi RSUD Metro, Lampung
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Bacterial colonization is identified as major mechanism in the pathogenesis
of Ventilator Associated Pneumonia. Application of suction is one of the non-
pharmacologic strategy to decrease number of Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
incidence. Since its introduction, closed tracheal suction system (CSS) has been reported
offering microbial advantage over conventional open closed suction system (OSS).
Objective: This research was aimed to identify the difference of bacterial count pre and
post-intervention between CSS and OSS group.
Method: This is a Randomized Control Group Pretest-Postest Design with Consecutive
Sampling Approach. Number of subjects are 30 patients in whom equally distributed into
2 intervention groups; (15 closed suction system, 15 open suction system). Oral suction
was performed every 12 hours for consecutive 48 hours. Secret of trachea was collected
pre and post-intervention to identify for bacteria count and profile. Statistic analysis was
conducted using Wilcoxon and Mann-Whitney test.
Result: Bacterial count was significant different in group 1 (p=0,0010. Significant result
was also identified in group II (p=0,005). Comparatively, pre and post intervention
between group I and II was not significantly different (p=0,008).
Conclusion: Closed suction system’s application in mechanically ventilated patients was
confirmed with decrement in number of bacteria significantly. Comparatively, closed
suction was not significantly better than OSS. However this research that although did
not differ significantly, CSS’ performance was better than OSS.

Key Word: Closed suction system, open suction system

ABSTRAK
Latar belakang: Kolonisasi bakteri didefinisikan sebagai mekanisme utama di dalam
patogenesis Ventilator Associated Pneumonia (VAP). Penggunaan suction merupakan
salah satu strategi dalam mengurangi jumlah kejadian Ventilator Associated Pneumonia
(VAP). Closed tracheal suction system (CSS) dilaporkan memiliki keuntungan dalam
aspek mikrobiologi bila dibandingkan dengan open closed suction system (OSS).

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 73


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tujuan: Mengetahui efektivitas penggunaan closed suction system dibandingkan dengan


open suction system pada penderita dengan ventilator mekanik.
Metode: Merupakan penelitian Randomized Control Group Pretest-Postest Design with
Consecutive Sampling Approach. Jumlah subyek adalah 30 orang yang dibagi menjadi 2
kelompok (15 closed suction system, 15 open suction system). Masing-masing kelompok
diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap kelompok diambil sekret dari
trakhea sebelum dan sesudah perlakuan, untuk kemudian dilakukan pemeriksaan hitung
jumlah dan jenis bakteri. Uji statistik dilakukan menggunakan Wilcoxon dan Mann-
Whitney test.
Hasil: Hitung bakteria berbeda bermakna pada kelompok I (p=0,001) dan berbeda
bermakna pada kelompok II ( p=0,005). Analisis komparatif selisih skor sebelum dan
sesudah perlakuan kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p=0,008).
Simpulan: Penggunaan closed suction system pada pasien dengan ventilasi mekanik
mengurangi jumlah bakteri post-intervensi secara signifikan, demikian halnya dengan
open suction system. Closed suction system tidak lebih baik dalam mengurangi jumlah
bakteri pada penelitian ini.
Kata Kunci: Closed suction system, open suction system

PENDAHULUAN selama perawatan di ICU akibat kasus


infeksi saluran napas.6 Berdasarkan
Ventilasi mekanik merupakan bagian penelitian diketahui tingkat mortalitas
penting dalam unit perawatan intensif akibat VAP mencapai 27% dan sebanyak
(ICU). 1,2 Pneumonia nosokomial 43% jika agen penyebabnya resisten
(nosocomial infection) dan pneumonia terhadap antibiotika.7 Length of stay di
akibat penggunaan ventilator (ventilator ruang ICU juga mengalami peningkatan
associated pneumonia-VAP) merupakan selama 2-3 hari pada pasien dengan VAP.8
kejadian yang banyak terjadi di ruang
perawatan intensif/Intensive Care Unit Pasien-pasien dengan kondisi terintubasi
(ICU) lebih beresiko untuk kejadian memiliki resiko terkena pneumonia lebih
infeksi nosokomial.3 Berdasarkan data tinggi 21% bila dibandingkan dengan
dari National Nosocomial Infection pasien-pasien yang tidak mendapatkan
Surveillance System, VAP merupakan saluran napas buatan.9 Pneumonia yang
penyebab infeksi nosokomial kedua didapat pada unit rawat intensif
terbanyak setelah infeksi saluran kemih, merupakan infeksi saluran napas bawah
yang mengenai 27% dari pasien kritis.4 yang didahului dengan adanya sejumlah
VAP banyak dikaitkan dengan bakteri atau terjadinya infeksi saluran
peningkatan morbiditas dan mortalitas.5 napas atas. Aspirasi bakteri dari saluran
Hal ini juga berakibat pada peningkatan pencernaan atas merupakan penyebab
biaya hospitalisasi dan pengobatan penting terjadinya kolonisasi bakteri di
antibiotika yang harus ditanggung pasien trakhea.10

74 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Aspirasi makro atau mikro dari sekret pendekatan. Antara lain berupa
yang terinfeksi saluran napas bagian atas penggunaan antibiotika non-absorbable
mengawali terjadinya pneumonia di rumah dalam bentuk larutan atau pasta ke dalam
sakit. Organisme-organisme ini kemudian ruang orofaring. Penggunaannya sendiri
dapat memperbanyak diri melalui jalan telah dibukti pada suatu uji double blind
masuk dan kemudian membentuk lapisan dengan 2 kelompok (plasebo dan
15
seperti biofilm secara cepat dan melapisi kontrol). Namun demikian penggunaan
permukaan bagian dalam dari pipa a n t ib io t ik a s e b a g a i p r o f i la k s i s
trakhea. Seringkali hal ini diikuti dengan meningkatkan resiko induksi dan
sejumlah bakteri organisme patogen di selektivitas patogen resisten, sehingga
trakhea.11 tidak dianjurkan untuk rutin digunakan.16

Terdapat beberapa faktor resiko yang Dekontaminasi oral dapat dilakukan


diduga berperan di dalam patogenesis dengan pemberian antiseptik oral seperti
VAP, di antaranya adalah prosedur suction chlorherhexidine glukonat ataupun
pada pasien dengan ventilasi mekanik povidone iodine. 17,18 Chlorhexidine
dengan intubasi. Beberapa penelitian glukonat dapat menurunkan tingkat
menunjukkan adanya perbedaan di dalam kejadian pneumonia nosokomial pada
efek penggunaan sistem endotracheal pasien-pasien dengan sakit kritis.
suction (open versus closed) dalam Penggunaan chlorhexidine glukonat secara
terjadinya VAP.12 Combes dkk bilasan oral sebanyak dua kali sehari dapat
menemukan bahwa closed suction system menurunkan tingkat kejadian infeksi
memberikan penurunan frekuensi kejadian saluran napas sebesar 69%.12 Pada
VAP.12 Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian lain juga disebutkan bahwa
penelitian oleh Zeitoun dkk yang pemberian chlorhexidine 2% empat kali
menunjukkan bahwa closed suction system sehari merupakan metode yang aman dan
dikaitkan dengan penurunan VAP pada efektif untuk mencegah VAP pada pasien
suatu studi multivariat.13 dengan ventilator mekanik. Pneumonia ini
disebabkan oleh adanya kolonisasi bakteri
Kolonisasi bakteri kuman gram positif dan
di trakhea.19 Suatu metaanalisis juga
negatif di orofaring merupakan salah satu
menyatakan bahwa dekontaminasi oral
faktor resiko penting terjadinya VAP.
dengan antiseptik chlorhexidine sebagai
Trakhea dan pipa endotrakhea merupakan
profilaksis pada pasien dengan ventilasi
tempat kolonisasi bakteri pada pasien
mekanik dapat menurunkan resiko VAP.
dengan sakit kritis, kultur dari sputum atau
Suatu studi yang dilakukan pada pasien
aspirasi trakhea merupakan cara yang
dengan resiko infeksi tinggi dengan
dapat digunakan untuk mengetahui jenis
pember ian chlorhexidine dengan
mikroorganisme.14
konsentrasi lebih dari 0,12% memberikan
Untuk mencegah kolonisasi bakteri di hasil yang bermakna terhadap angka
regio orofaring telah diteliti beberapa penurunan kejadian pneumonia.9 Suatu

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 75


Jurnal Anestesiologi Indonesia

studi lain juga menyebutkan bahwa sekali dan membutuhkan lepasnya


pember ian chlorhexidine dengan ventilator dari pasien. CSS diletakkan di
konsentrasi 0,2 atau 2% setiap 12 jam antara tube trakhea dan sirkuit ventilator
dapat mencegah pembentukan biofilm dari mekanik dan bisa berada di dalam pasien
bakteri di trakhea sehingga menurunkan lebih dari 24 jam. Penggunaan CSS di
kejadian pneumonia.20 Amerika Serikat telah populer selama
dekade terakhir ini dan berdasarkan
Penggunaan antiseptik atau antimikroba
statistika penggunaannya yang makin
seperti chlorhexidine (CHX) merupakan
meningkat yaitu pada 58% dari kasus-
pendekatan alternatif untuk dekontaminasi
kasus, sementara OSS hanya dipergunakan
orofaring. Sifat antiseptik CHX memiliki
pada 4% dari senter-senter yang ada.24
spektrum luas terhadap aktivitas
mikroorganisme gram positif, termasuk Pada beberapa penelitian penggunaan
jenis kuman patogen multiresisten seperti OSS nampaknya memiliki beberapa
Methicillin-Resistant Staphylococcus keuntungan seperti insidensi pneumonia
aureus (MRSA) dan Vancomycin- yang lebih rendah, kurangnya perubahan
Resistant Enterococci (VRE). 21,22 fisiologis selama prosedur,kurangnya
Sehingga pada penelitian ini menggunakan kontaminasi bakteria, dan ongkos yang
chlorhexidine sebagai antiseptik. lebih rendah.25

Suction trakhea seringkali dilakukan pada Pada rekomendasi yang dikeluarkan pada
pasien yang menggunakan ventilasi tahun 2004 terdapat rekomendasi yang
mekanik. Terdapat laporan yang menunjukkan berkurangnya ongkos
menunjukkan pasien yang mengalami perawatan dengan penggunaan CSS.
suction hingga 8-17 kali sehari.11,22 Selama Selain itu juga terdapat efek samping
prosedur sekret trakhea dibuang untuk lainnya berupa kehilangan volume paru
memastikan patennya jalan napas dan dan efek lanjutan berupa hipoksemia.
menghindari obstruksi lumen pernapasan Hingga saat ini tidak terdapat bukti yang
yang mengakibatkan peningkatan kerja menunjang apakah satu sistem lebih baik
napas, infeksi paru, atelektasis dan infeksi dibandingkan yang lainnya. Namun
paru. Namun demikian pada penggunaan demikian belum dievaluasi perbedaan
suction terdapat beberapa resiko efek jenis jumlah bakteri trakhea antara sistem
samping seperti gangguan detak jantung, closed suction dan open suction dengan
hipoksemia, dan pneumonia terkait penggunaan oral chlorhexidine sebagai
ventilator/ventilator associated pneumonia anti septik oral.
(VAP). Selain itu juga dikarenakan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
prosedur yang invasif dan tidak nyaman. 23
jumlah koloni kuman bakteri trakhea pada
Terdapat dua sistem suction yang tersedia: penderita dengan ventilator mekanik
open suction system dan closed suction sistem closed suction dan open suction
system. Jenis OSS hanya digunakan yang mendapat oral hygiene dengan

76 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian


No Variabel Open suction system Closed suction system P

1. Umur 52,53 + 11,38 51,13 + 11,58 0,147*

2. Jenis kelamin 1,4 + 0,51 1,46 + 0,51 0,407*

*Uji Mann-Whitney U

Tabel 2 Jumlah bakteria masing-masing kelompok

Closed suction system Open suction system


Pre (mean+SD) Post (mean+SD) Pre (mean+SD) Post (mean+SD)
3.0000E8+ 0,0000 1.3200E8+5.25357E7 2.9467E7+2.06559E7 3.3933E8+5,19003E8

Gambar 1. Jumlah bakteri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok closed suction system (CSS)

Gambar 2: Jumlah bakteri sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok open suction system (CSS)

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 77


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Perbandingan jenis kuman pada kultur sekret trakhea kelompok CSS dan OSS

Closed suction system (n=15) Open suction system (n=15)


Kuman Gram Positif
S.epidermidis 9 9
S. βhemolyticus - 1

Kuman Gram Negatif


E.coli 3 1
A.faecalis 3 2
P.mirabilis - 1

Tabel 4. Uji normalitas masing-masing kelompok

Closed suction system Open suction system


Variabel Pre (mean+SD) Post (mean+SD) Pre (mean+SD) Post (mean+SD)
Jumlah
0,006 0,0018 0,007 0,0058
Bakteri

*Uji dengan Shapiro-Wilk

Tabel 5. Uji pre dan post masing-masing kelompok

Closed suction system Open suction system


Pre 3.00x108+ 0,00 2.95x107+2.06x107
Post 1.32x108+5.25x107 3.39x108+5,20 x108
P 0.001 0.05

*Uji dengan Wilcoxon Signed Rank Test

Gambar 3. Perbandingan jumlah bakteri trakhea dari kedua kelompok perlakuan

78 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

chlorhexidine, serta menganalisis diberikan open suction system dan


perbedaan jumlah koloni kuman bakteri chlorhexidine 0,2% sebanyak 25 mL.
trakhea sistem closed suction dan open Dilakukan penyikatan dengan sikat gigi
suction yang mendapat oral hygiene pada 4 kuadran gigi (kanan atas, kanan
dengan chlorhexidine pada pasien dengan bawah, kiri atas, kiri bawah) dan di antara
ventilator mekanik. kuadran tersebut dilakukan semburan /
semprotan dengan po la teratur.
METODE
Pembersihan rongga mulut ini dilakukan
Penelitian ini merupakan penelitian setiap hari setiap 12 jam dan pada hari ke
dengan bentuk rancangan randomized dua atau 48 jam setelah pemakaian
clinical control trial. Kelompok penelitian ventilator dilakukan pengambilan sampel.
dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok
Sampel yang diambil kemudian dikirim ke
(1) : closed suction system dengan
laboratorium mikrobio logi klinik.
chlorhexidine 0,2% sebagai oral hygiene
Dilakukan pengenceran dengan NaCl
pada penderita dengan ventilator
0,9% dengan perbandingan sampel
mekanik , Kelompok (2) : open suction
pengencer 1;10, 1:100, 1:1000, 1:10.000,
system dengan chlorhexidine 0,2% sebagai
1:100.000. 1:1.000.000 ditanam di media
oral hygiene pada penderita dengan
Nutrient Agar dan dicari perbandingan
ventilator mekanik. Penelitian dilakukan
pengenceran di mana sampel dapat
di : ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang,
dihitung. Untuk mengetahui jenis, sampel
pada periode: September-Desember 2011.
ditanam di media Mac Konkey dan Blood
Sampel penelitian adalah semua penderita
Agar.
dengan ventilator mekanik di ICU RSUP
Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria Data yang terkumpul telah diedit,
inklusi dan eksklusi pada bulan September dikoding dan dientry ke dalam file
-Desember 2011. Kriteria inklusi: komputer serta dilakukan cleaning data.
Penderita dewasa dengan ventilator Analisa deskriptif dilakukan dengan
mekanik, Kriteria eksklusi: Alergi atau me n g h it u n g p r o p o r s i g a mb a r a n
terdapat ko ntraindikasi, penyakit karakteristik responden menurut kelompok
keg a na sa n , HI V, me n g g u n ak a n perlakuan dan kontrol. Hasil analisa
kortikosteroid dalam jangka lama. Dari disajikan bentuk grafik Box Plot. Analisis
penghitungan besar sampel pada penelitian analitik akan dilakukan untuk menguji
ini didapatkan jumlah sampel: N=14,533 hasil kultur mikrobiologi pada kedua
orang, dalam penelitian ini akan kelompok perlakuan dengan uji non-
digunakan sampel sebesar 15 orang. Total parametrik Mann Whitney, Wilcoxon.
sampel adalah 30 orang dibagi menjadi 2 Semua uji analitik menggunakan α=0,05.
kelompok secara berurutan yaitu Pada Semua perhitungan statistik menggunakan
kelompok 1 diberikan ventilasi mekanik software Stastical Pakckage for Social
closed suction system dan chlorhexidine Science SPSS 15.0
0,2% sebanyak 25 mL. Pada kelompok 2

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 79


Jurnal Anestesiologi Indonesia

HASIL sekret trakhea sesudah dilakukan


intervensi.
Telah dilakukan penelitian perbedaan
pemberian chlorhexidine pada closed Hal yang sama juga didapatkan pada
suction system dan open suction system kelompok open suction system di mana
pada penderita dengan ventilator mekanik seluruh subyek penelitian mengalami
pada 30 pasien yang memenuhi kriteria penurunan jumlah bakteri pada kultur
inklusi dan eksklusi tertentu. Penderita sekret trakhea sesudah dilakukan
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu intervensi
kelompok (1) closed suction system dan
Analisis jenis bakteri untuk masing-
kelompok (2) open suction system
masing kelompok perlakuan disajikan
diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama
pada Tabel 3. Berdasarkan uji normalitas
48 jam.
data sebagaimana terlihat pada tabel
Uji normalitas Shapiro-wilk digambarkan tersebut , jumlah bakteri trakhea pada
pada Tabel 1, di mana karakteristik umum kelompok closed suction system dan open
umur pada kelompok closed dan open suction system didapatkan distribusi tidak
suction system memiliki distribusi yang normal (p<0,05) maka untuk masing-
tidak normal p>0,05, sehingga untuk uji masing kelompok penelitian digunakan
homogenitas diperlukan Mann Whitney U Wilcoxon Signed Rank Test.
test. Karakteristik jenis kelamin dengan
Tabel 5 menunjukkan jumlah bakteri
skala nominal digunakan uji kai-kuadrat
trakhea pada kelompok closed suction
(x2). Hasilnya didapatkan data homogen
system sebelum perlakuan 3.00x108+0,00
(p>0.05) dari semua variabel.
dan sesudah perlakuan 1.32x108
Jumlah bakteri trakhea yang diambil +5.25x107, terdapat perbedaan 1,68x108
sebelum dan sesudah mendapat perlakuan +5,1x107 dan kelompok open suction
pada masing-masing kelompok subyek sebelum perlakuan 2.95x107+2.06x107 dan
penelitian disajikan dalam Tabel 2. sesudah perlakuan 3.39x108+5,20 x108,
terdapat perbedaan 26,11 x108+15,40
Data perubahan jumlah bakteri trakhea
x108.
sebelum dan sesudah mendapat perlakuan
menggunakan uji Shapiro-Wilk dan Hasil uji statistik yang dilakukan dengan
didapatkan distribusi data yang tidak Wilcoxon signed rank test menunjukkan
normal (p<0,05). terdapatnya perubahan jumlah bakteri
trakhea yang berarti pada kelompok closed
Pada analisis jumlah bakteri sebelum dan
suction system yang bermakna (p<0,05).
sesudah intervensi pada kelompok closed
Sedangkan jumlah bakteri trakhea pada
suction system (CSS) sebagai berikut.
kelompok open suction system
Seluruh subyek penelitian mengalami
menunjukkan perbedaan yang bermakna
penurunan jumlah bakteri pada kultur
(p<0,05)

80 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pada analisa komparatif antar kelompok Closed Suction System (CSS) dan Open
digunakan Mann Whitney U test. Hasil Suction System (OSS). Sebelumnya belum
analisis disajikan dalam grafik box-plot. pernah ada yang melakukan penelitian
sejenis dengan membandingkannya
Pada analisis komparatif antarkelompok,
terhadap jumlah koloni bakteri. Pada hasil
didapatkan penurunan jumlah bakteri
penelitian ini digunakan 30 subyek
trakhea pada kelompok closed suction
penelitian dengan karakteristik yang telah
system dibandingkan kelompok open
diseleksi melalui kriteria inklusi dan
suction system dengan perbedaantidak
eksklusi dan didapatkan sejumlah 30
bermakna (p>0.005) dengan nilai
penderita dengan dengan karakteristik
(p=0.083).
umur, jenis kelamin yang tidak berbeda
PEMBAHASAN bermakna (p>0.05) sehingga dengan
demikian menjadi layak untuk
Penggunaan CSS berdasarkan tinjauan dibandingkan. Hasil analisis uji Wilcoxon
memberikan sejumlah keuntungan antara pada kedua kelompok secara terpisah
lain penggunaannya yang multiple-use, menunjukkan bahwa jumlah bakteri
tanpa melepas ventilator dari pasien yang trakhea sebelum dan sesudah perlakuan
dapat berakibat pada munculnya tekanan berbeda bermakna pada kelompok closed
negatif sehingga terjadi kehilangan suction system (p=0.001) dan pada
volume paru yang intens sehingga kelompok open suction system (p=0,005).
berakibat pada hipoksemia.26,27 Sedangkan pada analisis jumlah bakteri
trakhea pada kelompok closed suction
Temuan Combes dkk menunjukkan bahwa
system dan open suction system yang
sistem closed endotracheal suction
dianalisis dengan uji Mann-Whitney tidak
menurunkan frekuensi VAP sebesar 3,5
menunjukkan perbedaan bermakna
kali bila dibandingkan dengan open
(p=0,083).
endotracheal suction system.28 Penelitian
Zeitound dkk juga menunjukkan Hasil penelitian ini sesuai dengan sebagian
penurunan VAP pada analisis multivariat besar penelitian dan meta analisis yang
dikaitkan dengan penggunaan closed ada dan didapatkan hasil tidak ada
endotracheal suction system.29 Deppe dkk pengaruh yang positif terhadap
menunjukkan bahwa keuntungan survival kemungkinan terjadinya pneumonia
lebih banyak ditunjukkan oleh closed 20
nosokomial. Selain itu efektivitas biaya
endotracheal suction. Namun demikian juga masih menjadi pertimbangan karena
masih terdapat perdebatan mengenai penggunaan CSS multiple-use terkait
efektivitas penggunaan closed suction dengan biaya yang lebih tinggi. Freytag
system. menunjukkan bahwa penggunaan kateter
suction in-line dalam waktu yang lama
Penelitian yang dilakukan ini adalah
menunjukkan peningkatan kolonisasi dari
membandingkan jumlah kuman antar
traktus respirasi bagian bawah dan
pemberian chlorhexidine 2% pada sistem

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 81


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pertumbuhan bakteri pada permukaan bila dibandingkan dengan OSS.30 Pada


kateter dalam kurun waktu 72 jam.30 penelitian ini ditunjukkan tidak
ditemukannya kuman patogen di saluran
Lorente, 2005 menunjukkan bahwa swab
napas, yang diketahui seperti
yang diperoleh pada saat pasien masuk
Staphylococcus aureus, S.pyogenes, C.
dan dua kali per-minggu pada saat
diphteriae, S. pneumoniae, H. influenzae,
menjalani perawatan menunjukkan tidak
Chlamydia trachomatis, S. pneumoniae,
terdapat perbedaan bermakna dan juga
H. influenzae, Moraxella catarrhalis,
tidak didapatkan perbedaan pada jenis
Streptococcus grup A, Mycoplasma
mikroba.20 Penelitian yang dilakukan
pneumonia, N.meningitidis, M.
Zeitound, 2003 menunjukkan bahwa
tuberculosis, Klebsiella pneumonia. Jenis
penggunaan closed suction system tidak
bakteria yang ditemukan pada penelitian
menurunkan insidensi pneumonia
27
ini untuk kelompok closed suction system
nosokomial. Temuan meta-analisis
adalah S.epidermidis 60% (9/15), E.coli
Jongerden 2007 juga menunjukkan bahwa
20% (3/15), A.faecalis 20%(3/15).
berdasarkan hasil penelitian yang ada (8
Sedangkan untuk kelompok open suction
penelitian, 1272 pasien) dan tingkat
system adalah S.epidermidis 60% (9/15),
mortalitas (4 penelitian, 19 pasien) dan
S. βhemolyticus 6% (1/15), E.coli 6%
kultur sekret (2 penelitian, 37 pasien).
(1/15). A.faecalis 12%(2/15), dan
Namun demikian penggunaan CSS sendiri
P.mirabilis 6%(1/15).
masih menjadi pertimbangan terutama bila
dihubungkan dengan efek samping OSS, SIMPULAN
yang mengakibatkan lepasnya pasien dari
Terdapat penurunan jumlah bakteri
ventilator mekanik. Meta-analisis
trakhea pada kelompok closed suction
Jongerden menggaris-bawahi bahwa CSS
system dengan pembilasan chlorhexidine
secara signifikan menurunkan perubahan
2% secara bermakna. Terdapat juga
dalam detak jantung (empat penelitian, 85
penurunan jumlah bakteri trakhea pada
pasien, weighted mean difference, -6.33;
kelompok open suction system dengan
95% confidence interval, -10.80 to -1.87)
pembilasan chlorhexidine 2% secara
dan juga mengurangi perubabahan tekanan
bermakna. penurunan jumlah bakteria
rerata arteri (tiga penelitian, 59 pasien;
trakhea pada kelompok closed suction
standardized mean difference, -0.43; 95%
system didapatkan tidak bermakna bila
confidence interval, -0.87 to 0.00).28
dibandingkan dengan open suction system.
Temuan Brucia, 1996 menunjukkan
bahwa penggunaan CSS lebih diutamakan DAFTAR PUSTAKA
untuk menghindari kenaikan tekanan
intrakranial selama penggunaan OSS. Hal 1. Ibrahim EH, Mehringer L, Prentice D,
Sherman G, Schaiff R, Fraser V, Kollef
yang masih memberikan dukungan
MH. Early versus late enteral feeding of
penggunaan CSS antara lain adalah CSS mechanically ventilated patients: results of a
mengurangi kontaminasi dari lingkungan

82 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

clinical trial. JPEN J Parenter Enteral Nutr patients using a Trach Carew closed-suction
2002;26(3):174–181. system versus an opensuction system:
2. Rello J, Ollendorf DA, Oster G, Vera- prospective, randomized study. Crit Care
Llonch M, Bellm L, Redman R, et al. Med 1990;18:1389—1393.
Epidemiology and outcomes of ventilator- 12. Jelic S, Cunningham JA, Factor P. Clinical
associated pneumonia in a large US review: airway hygiene in the intensive care
database. Chest 2002;122(6):2115–2121. unit: Critical Care 2008, 12:209
3. Japoni A, Vazin A, Davarpanah MA, 13. Combes P, Fauvage B, Oleyer C.
Afkhami Ardakani M, Alborzi A, Japoni S, Nosocomial pneumonia in mechanically
Rafaatpour N. Ventilator-associated ventilated patients, a prospective
pneumonia in Iranian intensive care units. J randomized evaluation of the Stericath
Infect Dev Ctries. 2011 Apr 26;5(4):286-93. closed suctioning system. Intens Care Med
4. Richards MJ, Edwards JR, Culver DH, 2000;26:878—882.
Gaynes RP. Nosocomial infections in 14. Zeitoun SS, De Barros ALBL, Diccini S. A
medical intensive care units in the United prospective, randomized study of ventilator-
States. National Nosocomial Infections associated pneumonia in patients using a
Surveillance System. Crit Care Med closed vs. open suction system. J Clin Nurs
1999;27:887–892. 2003;12:484—489.
5. Chastre J, Fagon JY. Ventilator-associated 15. Bonten MJM, Bergmans DCJJ, Ambergen
pneumonia. Am J Respir Crit Care Med AW, de Leeuw PW, van der Geest S,
2002;165:867–903. Stobberingh EE, Gaillard CA. Risk factors
6. Bergmans DCJJ, Bonten MJM, Gaillard for pneumonia, and colonization of
CA, van Tiel FH, van der Geest S, de respiratory tract and stomach in
Leeuw PW, Stobberingh EE. Indications for mechanically ventilated ICU patients. Am J
antibiotic use in ICU patients: a one-year Respir Crit Care Med 1996;154:1339–1346.
prospective surveillance. J Antimicrob 16. Pugin J, Auckenthaler R, Lew DP, Suter
Chemother 1997;39:527–535. PM. Oropharyngeal decontamination
7. Craven DE. Epidemiology of decreases incidence of ventilator-associated
ventilatorassociated pneumonia. Chest. pneumonia: a randomized, placebo-
2000;117 (4 suppl 2):186S-187S. controlled, double-blind clinical trial.
8. Kollef MH. The prevention of JAMA 1991;265:2704–2710.
ventilatorassociated pneumonia. N Engl J 17. Koeman M. Hak F, Ramsay G, Joore,
Med.1999;340(8):627-634. Kaasjager K, Hans et.al. Oral
9. Chan EY, Ruest A, Meade M, Cook DJ. decontamination with chlorhexidine reduces
Oral decontamination for prevention of the incidence of ventilator-associated
pneumonia in mechanically ventilated pneumonia. Am J Resp Crit Care Med
adults: systematic review and meta-analysis. 2006;173:1348-55
BMJ (serial on internet) 2007 (cited 2010 18. Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita
Dec 10); 334:889. Available from: http:// T, Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with
www.medscape.com/viewarticle povidone-iodine reduces the transport of
10. Wiryana M. Ventilator associated bacteria during oral intubation. Can J
pneumonia. Jurnal penyakit dalam (serial on Anaesth 2004;51(9):932-6
internet) 2007 (cited 7 Januari 2012) http:// 19. Tantipong H, Morkchareonpong C,
ejournal.unud.ac.id/abstrak/ventilator% Jaiyindee S, Thamlikitkul V. Randomized
20associated%20pneumonia.pdf controlled trial and meta-analysis of oral
11. Deppe SA, Kelly JW, Thoi LL, et al. decontamination with 2% chlorhexidine
Incidence of colonization, nosocomial solution for the prevention of ventilator-
pneumonia, and mortality in critically ill

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 83


Jurnal Anestesiologi Indonesia

associated pneumonia. Infect Control Hosp pneumonia using a closed versus an open
Epidemiol 2009;30(1):101-2 tracheal suction system. Crit Care Med.
20. Panchabhai TS, Dangayach NS. Role of 2005;33(1):115-9.
chlorhexidine gluconate in ventilator 26. Kollef MH. The prevention of ventilator
associated pneumonia prevention strategies associated pneumonia. N Engl J
in ICU patients: where are we headed? Crit Med2005;340:627-34.
Care 2009;13(6):427 27. Lasocki S, Lu Q, Sartorius A, Fouillat D,
21. Tablan OC, Anderson LJ, Besser R, Bridges Remerand F,Rouby JJ. Open and closed-
C, Hajjeh R. Guidelines for preventing circuit endotracheal suctioning in acute lung
health-care–associated pneumonia, 2003: injury: efficiency and effects on gas
recommendations of CDC and the exchange. Anesthesiology. 2006;104(1):39-
Healthcare Infection Control Practices 47.
AdvisoryCommittee. MMWR Recomm Rep 28. Brochard L, Mion G, Isabey D, Bertrand C,
2004;53:1–36. Messadi AA, Mancebo J, et al. Constant-
22. Emilson CG. Susceptibility of various flow insufflation prevents arterial oxygen
microorganisms to chlorhexidine. Scand J desaturation during endotracheal suctioning.
Dent Res 1977;85:255–265. Am Rev Respir Dis 1991; 144(2):395–400.
23. Maggiore SM, Iacobone E, Zito G, Conti C, 29. Combes P, Fauvage B, Oleyer C.
Antonelli M,Proietti R. Closed versus open Nosocomial pneumonia in mechanically
suctioning techniques. Minerva Anestesiol. ventilated patients, a prospective
2002;68(5):360-4. randomized evaluation of the Stericath
24. Paul-Allen J, Ostrow CL. Survey of nursing closed suctioning system. Intens Care Med
practices with closed-system suctioning. 2000;26:878-882.
Am J Crit Care. 2002;9(1):9-17,quiz 18-9. 30. Zeitoun SS, De Barros ALBL, Diccini S. A
Comment in: Am J Crit Care. 2000;9(1):6- prospective, randomized study of ventilator-
8. associated pneumonia in patients using a
25. Lorente L, Lecuona M, Martin MM, Garcia closed vs. open suction system. J Clin Nurs
C, Mora ML,Sierra A. Ventilator-associated 2003;12:484-489.

84 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Pengaruh Infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45% Terhadap Kadar Glukosa


Darah Perioperatif pada Pasien Pediatri
Erna Fitriana Alfant i*, Uripno Budiono**, Johan Arifin **
*Bagian Anestesiologi RSUD Keraton, Pekalongan
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: In pediatric patients who undergo fasting period, every routine fluid
infusion given should contain glucose because children had less glycogen supply in their
liver, which can lead to fatal hypoglycemia especially for brain cell if oral glucose
intakes are discontinued in few moments. Over the time, we usually use 5 % dextrose 0,45
% NaCl, but this may cause postoperative hyperglycemia. Therefore, we used 2,5 %
dextrose 0,45 % NaCl which have less level of dextrose.
Objective: To compare the effectiveness of 5% Dextrose 0,45 % NaCl and 2,5 % Dextrose
0,45 % NaCl to prevent hypoglycemia and hyperglycemia during and after surgery in
pediatric patientst.
Method: This research was a clinical trial stage 1 (human sample) on 48 patients
undergoing surgery by general anesthesia. All patients underwent 4 hours fasting period
and received premediacation. Peripheral blood sampling was performed before and after
induction, and every 30 minutes during surgery for blood glucose measurement. Patients
were randomly divided in two groups. Group I received 5% Dextrose 0,45% NaCl
infusion and group two received 2,5% Dextrose 0,45% NaCl. The normality distribution
of blood glucose level was tested by using Kolmogorov-Smirnov test. A normal
distribution was determined by p>0,05. Analytical analysis was done to evaluate the
difference of blood glucose level between two groups by using independent-t-test (normal
distribution). The difference test of blood glucose between two groups were performed by
using paired t-test (normal distribution)
Result: The general characteristics of the subjects in each group had a normal
distribution (p>0,05), showing homogen data (no significant difference; p>0,05) on all
variables. Data before treatment in Group I (p=0,109) and group II (p=106) gave normal
blood glucose level distribution (p>0,05). There was a non significant increase of blood
glucose level (p>0.05) between preinduction (p=0.762) and postinduction (p=0.714).
There was a significant difference on blood glucose level between the two groups 30
minutes and 150 minutes after induction (p=0.00). Blood glucose level in group I
preinduction 102,36±4,31mg/dl,postinduction 106,0±44,17mg/dl , 30 menit 107,28±6,05
mg/dl, 60 menit 108,68±7,64 mg/dl, 90 menit 110,36±9,26 mg/dl, 120 menit 112,16±16,07
mg/dl dan 150 menit 114,64±22,38mg/dl. From periodic blood glucose level normality

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 85


Jurnal Anestesiologi Indonesia

test, each group had normal distribution (p>0.05). The difference test of blood glucose
level between the two groups gave a significant difference (p>0.05).
Conclusion: Infusion of 2,5% Dextrose 0,45% NaCl significantly better not cause
hypoglycemia from preoperative fasting and postoperative hyperglycemia in pediatric
patients.

Keywords: blood glucose, 5% Dextrose 0,45% NaCl, 2,5% Dextrose 0,45% NaCl,
pediatric patients

ABSTRAK
Latar belakang : Dari pasien pediatri yang dipuasakan, semua cairan rutin diberikan
harus mengandung glukosa dengan alasan pada anak hanya sedikit mempunyai
cadangan glikogen di hepar, sehingga bila pemasukan per oral terhenti selama beberapa
waktu akan dengan mudah menjadi hipoglikemia yang dapat berakibat fatal terutama
bagi sel otak. Cairan dekstrosa 5% NaCl 0,45% dapat mencegah hipoglikemia tetapi
menyebabkan hiperglikemia post operasi. Cairan infus dekstrosa 2,5% NaCl 0,45% yang
mempunyai kadar glukosa lebih kecil, diperkirakan tidak menyebabkan hiperglikemia
atau hipoglikemia
Tujuan: Untuk membandingkan cairan infus dekstrosa 5% NaCl 0,45% dan cairan infus
dekstrosa 2,5% NaCl 0,45% dalam mencegah terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia
durante dan setelah operasi pada pasien pediatrik
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik tahap 1 (subyek manusia) pada 48 penderita
yang menjalani operasi dengan anestesi umum. Semua penderita dipuasakan 4 jam dan
diberi obat premedikasi. Pengambilan sampel darah perifer untuk pemeriksaan GDS pre
induksi, pasca induksi, tiap 30 menit durante operasi. Penderita dikelompokkan secara
random menjadi 2 kelompok. Kelompok I mendapat infus dekstrosa 5% NaCl 0,45% dan
kelompok II mendapat infus dekstrosa 2,5% NaCl 0,45%. Akan dilakukan uji normalitas
distribusi kadar glukosa darah dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Apabila
p>0,05 maka distribusinya disebut normal. Analisis analitik akan dilakukan untuk
menguji perbedaan kadar glukosa antar kelompok dengan independent-t-test (distribusi
normal). Uji beda kadar glukosa antar kelompok dengan menggunakan paired t-test
(distribusi normal).
Hasil : Karakteristik umum subyek pada masing–masing kelompok memiliki distribusi
yang normal (p > 0,05), didapatkan data yang homogen (perbedaan yang tidak
bermakna, p>0,05) dari semua variabel. Data sebelum perlakuan pada kelompok I (p=
0,109 ) dan kelompok II (p=0,106) memberikan hasil nilai kadar glukosa darah
berdistribusi normal ( p > 0,05 ). Prainduksi ( p = 0,762 ) sampai sesaat setelah induksi
( 0,714 ) terjadi kenaikan kadar glukosa darah namun tidak bermakna ( p> 0,05 ) . Kadar
glukosa antar kelompok berbeda bermakna pasca operasi mulai menit 30 sampai menit
150 ( p=0,00 ). Kadar glukosa darah pada kelompok I saat prainduksi 102,36±4,31 mg/

86 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dl, pasca induksi 106,0±44,17 mg/dl , 30 menit 107,28±6,05 mg/dl, 60 menit 108,68±7,64
mg/dl, 90 menit 110,36±9,26 mg/dl, 120 menit 112,16±16,07 mg/dl dan 150 menit
114,64±22,38 mg/dl. Uji normalitas variabel glukosa darah dilihat dari waktu, masing-
masing kelompok memiliki distribusi yang normal ( p> 0,05 ) .Uji beda kadar glukosa
darah antara kedua kelompok memberikan hasil berbeda bermakna ( p> 0,05 ).
Simpulan: Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan
D5 % NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia
selama dan setelah operasi pada pasien pediatri

Kata kunci: glukosa darah, Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 %, Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 %
pediatri

PENDAHULUAN natriumnya lebih kecil dari plasma


sebaiknya tidak digunakan untuk resusitasi
Glukosa merupakan suatu metabolit yang
cairan pada anak oleh karena cairan
penting bagi kelangsungan hidup
tersebut tidak efektif untuk mengisi
manusia . Pada pasien pediatri yang
rongga intravaskular. Selain itu
dipuasakan, semua cairan rutin yang
glukosanya sendiri dapat menyebabkan
diberikan harus mengandung glukosa
hiperglikemia dan osmotik diuretik.1
dengan alasan pada anak hanya sedikit
mempunyai cadangan glikogen di Hasil akhir pencernaan karbohidrat adalah
hepar ,sehingga bila asupan peroral glukosa fruktosa dan galaktosa yang
terhenti selama beberapa waktu akan selanjutnya akan dikonversi hepar menjadi
dengan mudah menjadi hipoglikemia yang glukosa. Sel akan mengadakan utulisasi
dapat berakibat fatal terutama bagi sel glukosa melalui glikolisis (anaerobik) atau
otak. Pada anak yang puasa akan terjadi siklus “Citric Acid” (aerobikal). Glukosa
pemecahan glikogen di hati dan otot disimpan dalam bentuk glikogen. Insulin
menjadi asam laktat dan piruvat. Sehingga akan meningkatkan sintesis glikogen. Pada
untuk menghindari hal tersebut pada keadaan normal , pemberian glukosa
pasien pediatri kita biasanya menggunakan secara intravena pada anak jangan
infus yang mengandung dekstrosa.1 melebihi 5 mg/kgBB/ menit. Hal ini
berhubungan dengan kemampuan tubuh
Glikogen hepar sebagian besar
memetabolisir glukosa. Pemberian glukosa
berhubungan dengan simpanan dan
yang berlebihan akan menyebabkan
pengiriman heksosa keluar untuk
hiperglikemi, meningkatkan termogenesis,
mempertahankan kadar glukosa darah ,
dan peningkatan produksi CO2.2
khususnya pada saat-saat sebelum sarapan.
Setelah 12-18 jam puasa, hampir seluruh Pemberian glukosa sendiri akan
simpanan glikogen dalam hepar meningkatkan pelepasan insulin endogen.
mengalami deplesi Cairan dekstrosa 5 % Hiperglikemia yang terjadi dapat
tanpa kandungan natrium atau kandungan memperburuk outcome neurologis serta

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 87


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Nilai Rerata dan Simpangan baku (Standar deviation) karakteristik umum subyek pada masing-
masing kelompok

Kel D21/2% Kel D5% p


No Variabel (n=24) (n=24)
1 Umur (bulan) 6,58± 0,916 6,54±0,845 0,871
2 Berat Badan (kg) 7,07 ± 0,30 7,10±0,289 0,662
3 Lama Anestesi (menit) 140,21±5,80 139,38±6,81 0,650
4 Lama Puasa (jam) 4,04±0,58 4,00±0,57 0,804
5 Gula Darah Prainduksi (mg/dl) 102,54±4,30 102,67±4,23 0,920
6 Nadi 106,50±5,70 107,46±5,82 0,567
7 Status ASA
ASA I 22 21
ASA II 2 3 0,640

Tabel 4. Uji Normalitas kadar glukosa darah preinduksi

Variabel Kelompok p keterangan


Kadar Glukosa Darah D5% 1/2N 0,109 Distribusi Normal
D2 1/2 % 1/2N 0,106 Distribusi Normal

Tabel 5. Nilai rerata dan Simpangan baku kadar baku glukosa (mg/ dl) dilihat dari waktu pengukuran dan
kelompok perlakuan

No Waktu Kel D21/2% Kel D5% p


1 Prainduksi 102,36± 4,31 102,74± 4,29 0,762
2 Pascainduksi 106,04± 4,17 106,48± 4,05 0,714
3 30 menit 107,28± 6,05 128,52±14,79 0,000*
4 60 menit 108,68± 7,64 141,26± 21,79 0,000*
5 90 menit 110,36± 9,26 148,83± 25,54 0,000*
6 120 menit 112,16± 16,07 187,52± 14,69 0,000*
7 150 menit 114,36± 22,38 211,83± 6,55 0,000*
*=bermakna (p<0,005

88 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

memperlama penyembuhan luka operasi mengandung glukosa berlebihan


setelah operasi. Kadar glukosa darah yang cenderung menyebabkan hiperglikemia.5
tetap dalam batas normal saat anestesi
Hiperglikemia yang terjadi dapat
merupakan tujuan pemberian cairan
menimbulkan kerusakan otak, medulla
intraoperatif pada bedah anak. 2,3
spinalis dan ginjal karena iskhemia, koma,
Setiap tindakan operasi akan melambatkan pengosongan lambung,
menyebabkan terjadinya suatu stress. melambatkan penyembuhan luka dan
Stress operasi dapat merupakan stress kegagalan fungsi sel darah putih. Oleh
psikologi, stress anestesi dan stress karena itu diharapkan sesudah operasi
pembedahan. Respon tubuh terhadap tidak terjadi hiperglikemia sehingga pasien
stress operasi menunjukkan suatu pola dapat mencapai kondisi yang baik.3,6
tertentu , yang bersifat sentral, perifer dan
Pada penelitian sebelumnya digunakan
imunologikal. Respon stress normal
cairan infus Dekstrosa 5 % NaCl 0,225 %,
dicirikan oleh respon sympathetic
tetapi masih terjadi peningkatan kadar
neurohormonal akibat stimulasi dari
glukosa darah yang signifikan dan
sympathoadrenergic dan pituitary
hiperglikemia pasca operasi sehingga pada
pathways mengakibatkan peningkatan
penelitian ini digunakan cairan infuse
level pada norephinefrin, ephinefrin,
Dekstrosa 2,5% NaCl 0,45 % yang
glucagon dan kortisol.4
mengandung kadar glukosa lebih rendah.
Pada stress operasi glukosa meningkat Penggunaan cairan infus Dekstrosa 2,5 %
paling sedikit dua kali lipat. Penurunan NaCl 0,45 % diharapkan dapat mencari
insulin terjadi pada tahap awal, dosis glukosa yang optimal yang dapat
selanjutnya meningkat karena peningkatan mencegah hipoglikemia dan hiperglikemia
level growth hormone. Glukagon dan selama dan post operasi.6
kortisol menginduksi glukoneogenesis.
Hiperglikemia adalah khas dan METODE
menggambarkan peningkatan produksi Penelitian ini merupakan uji klinik
hepatic dan juga peningkatan pemakaian eksperimental murni tahap 2 dengan
oleh jaringan perifer. Juga terjadi randomized control trial dengan double
penurunan toleransi terhadap pembebanan blind. Pengukuran atau observasi
glukosa, akibat dari penurunan sekresi dilakukan selama dan setelah perlakuan.
insulin dan resistensi perifer terhadap aksi- Kelompok penelitian dibagi menjadi dua
aksi itu. Kedua efek tersebut disebabkan kelompok sebagai berikut :
oleh peningkatan sekresi katekolamin
yang juga meningkatkan lipolisi. Pada Kelompok 1 sebagai kontrol (K) :
periode perioperatif peningkatan glukosa mendapat infus Dekstrosa 5 % NaCl
darah juga bisa berasal dari stress 0,45% menjelang awal , selama dan akhir
psikologi dan stress anestesi. Akibatnya, operasi. Kelompok 2 sebagai perlakuan
pemberian cairan intraoperatif yang (P): mendapat infus Dekstrosa 2,5 %NaCl

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 89


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Grafik 1. Nilai rerata kadar glukosa darah

Tabel 6. Uji normalitas kadar glukosa darah

Kel D21/2% Kel D5%


No Waktu P P Keterangan
1 Prainduksi 0,664 0,705 Distribusi Normal
2 Pascainduksi 0,629 0,558 Distribusi Normal
3 30 menit 0,826 0,870 Distribusi Normal
4 60 menit 0,495 0,769 Distribusi Normal
5 90 menit 0,745 0,856 Distribusi Normal
6 120 menit 0,977 0,865 Distribusi Normal
*=bermakna (p<0,005

Tabel. 7. Uji beda kadar glukosa

No Waktu p Keterangan
1 Pascainduksi 0,940 Distribusi Normal
2 30 menit 0,000 Distribusi Normal
3 60 menit 0,000 Distribusi Normal
4 90 menit 0,000 Distribusi Normal
5 120 menit 0,000 Distribusi Normal
6 150 menit 0,000 Distribusi Normal

90 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

0,45 % menjelang awal, selama dan akhir blind yang sebelumnya telah mendapat
operasi. Subyek penelitian yaitu semua penjelasan dan menyetujui untuk
penderita di RS.Dr. Kariadi yang mengikuti semua prosedur penelitian serta
dipersiapkan untuk pembedahan elektif menandatangani informed consent. Pasien
labioplasti dan herniotomi dengan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
menggunakan infus Dekstrosa 5 % NaCl kelompok Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % dan
0,45% atau Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % kelompok Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 %,
yang memenuhi kriteria seleksi tertentu. sehingga masing-masing kelompok
berjumlah 24 orang. Semua pasien diberi
Tempat penelitian dilakukan Instalansi
penjelasan tentang hal-hal yang
Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi
berhubungan dengan kondisi yang akan
Semarang. Waktu penelitian
dialami selama perlakuan dan bersedia
dilakukanmulai dari 1 Januari 2007
mengikuti penelitian. Semua pasien
sampai dengan 30 April 2007. Kriteria
dipuasakan sesuai standar internasional
inklusi sebagai berikut; Usia antara 1
(rumus 2-4-6-8) sebelum pembedahan/
bulan – 1 tahun, status fisik ASA I-II,
anestesi. Pasien diinfus setelah ditidurkan
menjalani operasi dengan anestesi umum,
dengan isoflurane. Induksi anestesi
lama operasi tidak lebih dari 3 jam, berat
dilakukan dengan inhalasi menggunakan
badan normal. Sedangkan Kriteria
isoflurane 2 volume % dalam N2O 50 %
eksklusi pada penelitian ini adalah
dengan aliran gas 3 L/menit, Oksigen 3 L/
mengalami hipoglikemia atau
menit, atracurium besylate 0,5 mg/kgbb
hiperglikemia saat akan dilakukan
IV, fentanyl 2 μg/kgBB IV. Kadar glukosa
penelitian, mendapat transfusi selama
darah diperiksa dari darah perifer sesaat
operasi berlangsung, pasien sakit berat.
sebelum induksi, setelah induksi, dan pada
Dosis dan cara pemberian infus adalah akhir operasi dengan menusukkan jarum
memberikan infus dengan menggunakan pada jari tangan atau kaki dan hasilnya di
tetesan infus paediatric maintenance sesuai baca dengan optium ( blood glucose test )
dengan rumus : Holliday & Segar yaitu 4 dan MediSense strip. Kemudian diberi
ml/kgBB untuk 10 kgBB pertama, 2 ml/ cairan yang sesuai dengan kelompok
kgBB untuk 10 kg kedua dan 1 ml/kgBB penelitian yang sudah ditetapkan. Jumlah
untuk setiap kgBB diatas 20 kg. kecepatan infus yang diberikan sesuai
dengan rumus dari Holliday & Segar.
Penelitian dikerjakan dengan menyeleksi
pasien pada saat kunjungan pra bedah di Data yang terkumpul kemudian akan di-
RS. Dr. Kariadi Semarang dan pasien yang edit, di-koding, dan di-entry kedalam file
memenuhi kriteria inklusi ditetapkan komputer.
sebagai sampel. Penelitian dilakukan
HASIL
terhadap 48 pasien yang akan menjalani
operasi labioplasti dan herniotomi dengan Pada grafik 1 dapat kita lihat pola kadar
randomized control trial dengan double glukosa darah dari kedua kelompok .Pada

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 91


Jurnal Anestesiologi Indonesia

kelompok II (P) mendapat dekstrosa 2,5 % ini merupakan cairan yang diberikan untuk
NaCl 0,45 % kadar glukosa darah tampak pasien pediatri selama operatif. Ternyata
lebih stabil jika dibandingkan dengan pasca operatif terjadi hiperglikemia pada
kelompok I ( K) yang mendapat dekstrosa pasien. Pada pasien pediatri yang
5% NaCl 0,45 % kadar glukosa darah dipuasakan, semua cairan rutin yang
meningkat tajam sampai lebih dari 200 diberikan harus mengandung glukosa
mg% . Pada kelompok II (P) tidak ada dengan alasan pada anak hanya sedikit
satupun yang mengalami hiperglikemia. mempunyai cadangan glikogen di
hepar ,sehingga bila masuk peroral
Pada tabel 5 nampak bahwa dari waktu
terhenti selama beberapa waktu akan
prainduksi sampai sesaat setelah induksi
dengan mudah menjadi hipoglikemia yang
terjadi kenaikan kadar glukosa darah
dapat berakibat fatal terutama bagi sel
namun tidak bermakna seacara statistik.
otak. Pada anak yang puasa akan terjadi
Pada tabel 6 dapat dilihat Uji normalitas metabolisme anaerob dimana terjadi
variabel kadar glukosa darah dilihat dari pemecahan glikogen di hati dan otot
waktu menggunakan One – Sample menjadi asam laktat dan piruvat.
Kolmogorov Smirnov dimana masing –
Sehingga untuk menghindari hal tersebut
masing kelompok memiliki distribusi yang
pada pasien pediatri kita biasanya
normal (p > 0,05), sehingga untuk uji
menggunakan infus yang mengandung
homogenitas diperlukan analisis statistik
dekstrosa. Pada keadaan normal ,
dengan parametrik independent t test. Data
pemberian glukosa secara intravena pada
kemudian dianalisis secara parametrik
anak jangan melebihi 5 mg/kgBB/ menit.
menggunakan uji independent t-test untuk
Hal ini berhubungan dengan kemampuan
melihat perbedaan kadar glukosa darah
tubuh memetabolisir glukosa.2 Pemberian
antara kelompok yang mendapat infuse D
glukosa yang berlebihan akan
5% N dan D 2 ½ % ½ N.
menyebabkan hiperglikemi, meningkatkan
Pada tabel 7 dapat dilihat Uji beda kadar termogenesis, dan peningkatan produksi
glukosa darah antara kelompok I ( infus D CO2. Pemberian glukosa sendiri akan
5 % ½ N ) dan kelompok II ( infus D 2 ½ meningkatkan pelepasan insulin endogen.
2,3
% ½ N ) dimana didapatkan p > 0,05 yang
berarti kadar glukosa darah pada kedua
Hiperglikemia yang terjadi dapat
kelompok berbeda bermakna
memperburuk keluaran neurologis serta
menggunakan uji independent t-test.
memperlama penyembuhan luka operasi
PEMBAHASAN setelah operasi. Kadar glukosa darah yang
tetap dalam batas normal saat anestesi
Pada penelitian sebelumnya dilakukan merupakan tujuan pemberian cairan
penelitian mengenai cairan pada pediatri intraoperatif pada bedah anak.
yang mana mengguanakan cairan
Dekstrosa 5 % NaCl 0,45 % yang selama

92 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Pada tabel 5 nampak bahwa dari waktu penggunaan dan metabolisme yang
prainduksi sampai sesaat setelah induksi sepantasnya dari glukosa dan dapat
terjadi kenaikan kadar glukosa darah menyebabkan hiperglikemia. Respon
namun tidak bermakna seacara statistik. hiperglikemik dapat terjadi dari agen-agen
Hal ini menunjukan bahwa pada penelitian anestesia tertentu (seperti, ketamin dan
ini , induksi anestesi tidak menyebabkan halotan). Beberapa tindakan anestesia
perubahan yang bermakna pada kadar seperti intubasi dan extubasi endotrakheal
glukosa darah. Kadar glukosa antar meningkatkan respon stress katekholamin
kelompok berbeda secara bermakna pada dan hemodinamik dan akan meningkatkan
waktu pasca operasi mulai pada menit ke glukosa darah.10,11
30 sampai menit ke 150. Pada penelitian
Hiperglikemia itu sendiri cukup untuk
ini, pemberian cairan Dekstrosa 5 % NaCl
menyebabkan kerusakan otak, medulla
0,45 % menyebabkan peningkatan kadar
spinalis dan ginjal karena iskhemia, koma,
glukosa darah yang signifikan bermakna
melambatkan pengosongan lambung,
dan hiperglikemia pasca operasi (tabel 5).
melambatkan penyembuhan luka dan
Pada kelompok ini kadar glukosa darah
kegagalan fungsi sel darah putih ,
meningkat dari rerata 102,74±4,29 mg/dL
dehidrasi seluler yang berhubungan
prainduksi menjadi rerata 211,83±6,55
dengan perubahan-perubahan pada
mg/dL pasca operasi.
konsentrasi sodium juga hadir Pada
Peningkatan kadar glukosa darah dapat kelompok yang diberi cairan infus
dilihat pada pola yang dimulai dari menit Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % tidak
30 pasca induksi dengan rerata 128,52± menyebabkan peningkatan kadar glukosa
14,79 mg/dL yang kemudian meningkat darah yang signifikan (tabel 4) dan tidak
pada menit 60 dengan rerata 141,26±21,79 menyebabkan hiperglikemia pasca operasi.
mg/dL pada menit 90 dengan rerata Pada kelompok ini kadar glukosa darah
148,83±25,54 mg/dL pada menit 120 meningkat dari rerata 102,36±4,31 mg/dL
dengan rerata 187,52±14,69 mg/dL pada prainduksi menjadi rerata 114,64±22,38
menit 150 dengan rerata 211,83±6,55 mg/ mg/dL pasca operasi. Peningkatan kadar
dL Hiperglikemia (kadar glukosa darah > glukosa darah dapat dilihat pada pola yang
180 sampai 200 mg/dL) sering disebabkan dimulai dari menit 30 pasca induksi
oleh defisiensi insulin, resistensi reseptor dengan rerata 107,28±6,05 mg/dL yang
insulin atau pemberian glukosa yang kemudian meningkat pada menit 60
berlebihan. Stress periopeatif dapat dengan rerata 108,68±7,64 mg/dL pada
meningkatkan glukosa darah baik itu dari menit 90 dengan rerata 110,36±9,26 mg/
stress psikhologi preoperatif, stress dL pada menit 120 dengan rerata
anestesia dan stress pembedahan.2,7,8,9 112,16±16,07 mg/dL pada menit 150
dengan rerata 114,64±22,38 mg/dL.
Beberapa tehnik anestesia tertentu
menggunakan methode non farmakologi Pengurangan kadar glukosa setengah dari
hypothermia. Hypothermia menghalangi cairan yang biasa dipakai ( 2 ,5 % )

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 93


Jurnal Anestesiologi Indonesia

membuktikan mampu menghindari yang menekan pelepasan insulin dari sel β-


terjadinya hipoglikemia akibat puasa tetapi pankreas.
juga mampu menncegah terjadinya
Pada penelitian ini didapat bahwa cairan
hiperglikemia pasca operasi. Perbandingan
yang dapat memelihara kadar glukosa
kadar glukosa darah pada kedua kelompok
darah dalam batas normal selama periode
yaitu antara kelompok I ( infus Dekstrosa
intraoperatif adalah Dekstrosa 2,5% NaCl
5 % NaCl 0,45 %) dan kelompok II
0,45 % dan tidak menyebabkan
(Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 % )
hiperglikemia pasca operasi.
didapatkan hasil perbedaan bermakna ( p <
0,05 ). Respon stres adalah suatu keadaan dimana
terjadi perubahan-perubahan fisiologis
Pada penelitian sebelumnya
tubuh sebagai reaksi terhadap kerusakan
diperbandingkan antara dekstrosa 5 %
jaringan yang ditimbulkan oleh keadaan-
NaCl 0,225 % yang mana terbukti terjadi
keadaan seperti syok, trauma, operasi,
hiperglikemia pasca operasi. Ada juga
anestesi, gangguan fungsi paru, infeksi
penelitian yang menggunakan dekstrosa
dan gagal fungsi organ yang multipel
1% dalam larutan ringer laktat dimana
1.Pada respon stres akan dilepaskan
tidak terjadi peningkatan kadar glukosa
hormon-hormon yang dikenal sebagai
darah dan hiperglikemia pasca operasi,
neuroendokrin hormon yaitu : ADH,
tetapi oleh karena belum ada sediaan
aldosteron, angiotensin II, cortisol,
diatas kita harus mencampur lebih dahulu
epinephrin dan norepinephrin. Hormon-
sehingga kesterilan tidak bisa dijaga dan
hormon ini akan berpengaruh terhadap
bisa menyebabkan infeksi.
beberapa fungsi fisiologik tubuh yang
Peneliti memakai sediaan dekstrosa 2,5% penting dan merupakan suatu mekanisme
NaCl 0,45% yang terbukti tidak kompensasi untuk melindungi fungsi
menyebabkan peningkatan kadar glukosa fisiologik tubuh 2,3,4.
darah dan hiperglikemia pasca operasi dan
Diharapkan dengan adanya penelitian ini ,
dipasaran sudah mulai ada, tetapi di
maka kita tidak perlu takut lagi
instalansi bedah sentral belum ada.
menggunakan cairan infus Dekstrosa 2,5
Pada pasien yang mengalami anestesi dan % NaCl 0,45 % karena takut terjadi
pembedahan seharusnya kecepatan hipoglikemia karena puasa. Ternyata
pemberian glukosa ini lebih rendah lagi cairan infus Dekstrosa 2,5 % NaCl 0,45 %
karena adanya stres pembedahan yang mampu mengatasi kadar glukosa puasa
meningkatkan pelepasan hormon pada pediatri . Pasca operasi juga tidak
katabolik, disertai pengaruh hormon terjadi hiperglikemia seperti terjadi pada
katabolik, disertai pengaruh obat anestesi penggunaan cairan infus Dekstrosa 5 %
NaCl 0,45 % sebagaimana yang biasa kita
lakukan.

94 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

SIMPULAN Patient underwent Labioplasty. The Indonesian


Journal of Anaesthesiology and Critical
Pemberian cairan infus Dekstrosa 2,5 % Care,Bandung ; 2004 : 109-117.
NaCl 0,45 % lebih baik dari cairan D5% 7. Berry FA. Hypoglycemia and hyperglycemia:
is there a problem? Eg J Anesth 2002; 18: 157-
NaCl 0,45% karena tidak menyebabkan
62Stoelting RK. Pharmacology and physiology
terjadinya hipoglikemia dan hiperglikemia in anesthetic practice.3rd ed , Lippincott Raven,
selama dan setelah operasi pada pasien Philadelphia, New York, 1999: 302-11.
pediatri. 8. Intravenous Fluids. Clinical Practice
Guidelines. Royal Children’s Hospital
DAFTAR PUSTAKA Melbourne. http://www.rch.org.au/
clinicalguide/cpg.cfm .
1. Smith’s. Anestesia for infants and children, 6 th 9. Elizabeth M. Molyneux, F.R.C.P.C.H.,
ed, St. Louis: Mosby; 1996: 319-20. F.F.A.E.M., and Kath Maitland, M.R.C.P.,
2. Robert K. Fluid and electrolytes : Parenteral Ph.D. (2005, September 1). Intravenous
fluid therapy.Pediatrics in review; 2001 : 22 Fluids— Getting the Balance Right. http://
www.nejm.org/intravenous fluids-getting the
(11). balance right.htm.
3. Bell C. The pediatric anestesia handbook, 10. Waxman K. Physiologic response to injury.
2nd ,St louis: Mosby; 1997 : 73-80. In : Shoemaker WC, Holbrook PR,Ayres
4. Barash P. Clinical anestesia, 4th ed, SM,Grenvik A. Critical care. W.B.Saunders
Philadelphia : lipincott Company; 2001: 1201- company, Philadelphia, London ,Toronto,
2. 2000 : 277-82.
5. Paediatric Surgery chapter 15.(2005, Oktober 11. Oczenski W,Krenn H, Dahaba AA, Binder M.
17).Primary surgery volume one:non trauma.
Hemodynamic and Cathecolamine Stress
http://www.meb.uni-bonn.de/dtc/primsurg/
index.html Responses to Insertion of the Combitube,
6. Pradian E. The Effect of Dextrose to Blood of Laryngeal Mask Airway or Tracheal
Glucose and Ketone Bodies Level in Pediatric Intubation. Anesth Analg 1999 , 88:1389-94.

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 95


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Pengaruh Simvastatin Terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag Pada
Mencit Balb/C Yang Diberi Lipopolisakharida

Sherliyanah Harahap*, Heru Dwi Jat miko**, Mohamad Sofyan Harahap**


*Bagian Anestesiologi RSUD Mataram, Lombok
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: Simvastatin is included in a group of medicine called hydroxy metyl
glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors or statin. The effect of simvastatin on TNF-alpha
neutralizing antibody is that statin (3-hydroxy-3-methylglutaryl) coenzyme reductase
inhibitors has the pleiotropic actions effect that can improve the survival of sepsis
patients.
Objective: To prove the effect of simvastatin administration 0.03 mg, 0.06 mg and 0.12
mg PO on LPS intraperitoneal injected mice to the decrease of intraperitoneal
macrophages’ phagocytosis capacity.
Methods: Experimental design research on post test only control group. The samples
were 20 male mice type balb/c. Mice are divided into 4 groups, consisted of control group
(without simvastatin injection), treatment group 1,2,3 consecutively administered
simvastatin 0.03 mg; 0.06 mg; and 0.12 mg PO respectively. Initially these groups were
injected intraperitoneal lipopolysaccharida 20 mg/kg.
Results: The mean capacity of macrophages’ phagocytosis for each groups: Control =
44,40+3,97; K 1 = 37,80+2,86; K 2 = 31,20+1,30; K 3 = 2,.00+4,30. The results of
statistical tests between groups were shown significant differences between K1 with K3
and K4, between K2 with K3 and K4 (p<0,0,05). There were no significant differences
between K1 dan K2, and between K3 and K4 (p>0.005).
Conclusion: The administration of simvastatin 0.03 mg, 0.06 mg and 0,12 mg PO show
significant differences on the intraperitoneal macrophages’ phagocytosis capacity
compared to the control group of mice with lipopolisakharida injection.

Keywords: Simvastatin, lipopolisakharida, macrophages’ phagocytosis.

ABSTRAK
Latar Belakang : Simvastatin merupakan grup obat yang disebut sebagai hydroxy metyl
glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors). Efek simvastatin terhadap TNF-alpha
neutralizing antibody bahwa Statins (3-hydroxy-3-methylglutaryl) coenzyme reductase
inhibitors memiliki efek pleiotropic actions, yang mampu memperbaiki survival penderita
sepsis.

96 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tujuan : Membuktikan efek pemberian simvastatin 0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg
peroral pada mencit yang diberi LPS intraperitoneal terhadap penurunan kapasitas
fagositosis makrofag intraperitoneal.
Metode : Penelitian eksperimental desain the post test only controlgroup. Sampel
penelitian 20 ekor mencit balb/c jantan. Mencit dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok
Kontrol (tidak diberi simvastatin), kelompok Perlakuan 1,2,3 berturut-turut diberi
simvastatin 0,03 mg; 0,06 mg; dan 0,12 mg peroral.Sebelumnya masing-masing
kelompok disuntikkan lipopolisakarida 10 mg/kgBB intraperitoneal.
Hasil : Rerata kapasitas fagositosis makrofag untuk masing-masing kelompok : Kontrol
= 44,40+3.97; Perlakuan 1 = 37,80+2,86; Perlakuan 2 = 31,20+1,30; Perlakuan 3 =
23,00+4,30. Hasil uji statistik antar kelompok didapatkan perbedaan yang bermakna
antara kelompok K1 dengan K3 dan K4, antara K2 dengan K3 dan K4 (p<0,0,05). Tidak
terdapat perbedaan bermakna antara K1 dan K2, serta K3 dan K4. (p>0,0,05).
Kesimpulan : Pemberian simvastatin dosis 0,06 mg dan 0,12 mg peroral menunjukkan
perbedaan bermakna pada penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal
dibanding kontrol pada mencit yang diberi lipopolisakarida.

Kata kunci : Simvastatin, lipopolisakharida, fagositosis makrofag.

PENDAHULUAN disertai sepsis. Statins (3-hydroxy-3-


methylglutaryl) coenzyme reductase
Simvastatin merupakan grup obat yang
inhibitors memiliki efek pleiotropic
disebut dengan hydroxy metyl glutaryl
actions, dimana obat ini mampu
(HMG Co) reductase inhibitors atau
memperbaiki survival penderita sepsis
statin. Obat ini digunakan untuk
atau penderita dengan penyakit infeksi
mengurangi kolesterol low-density
dengan cara memperbaiki cecal ligation
lipoprotein (LDL) dan trigliserid dalam
and puncture (CLP) pada mediator
darah, serta meningkatkan kadar kolesterol
inflamasi sehingga mengurangi kerusakan
high-density lipoprotein (HDL).1
pada organ yang dapat memicu terjadinya
Statin mempunyai kemampuan dapat kematian.3
mengurangi kadar kolesterol, tetapi
Bahan penyebab syok sepsis yaitu
berdasarkan laporan penelitian Su Zhang
lipopolisakarida (LPS) merupakan struktur
menyatakan bahwa obat ini mempunyai
utama dinding sel bakteri gram negatif
peran penting dalam pengurangan
yang berfungsi untuk integritas struktur
kerusakan paru-paru akibat sepsis dan
bakteri dan melindungi bakteri dari sistem
infeksi.2
pertahanan imun hospes. Zat ini bersifat
Penelitian Yasuda menyatakan bahwa efek endotoksin yang menginduksi produksi
simvastatin dan TNF-alpha neutralizing sitokin proinflamatori seperti interleukin-
antibody telah diteliti pada hewan yang 1α (IL-1α), IL-1β, IL-6, tumor necrosis

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 97


Jurnal Anestesiologi Indonesia

factor-α (TNF-α) dan prostaglandin IL-1β, IL-15 dan IL-8.6


(PGE2).4 LPS ini mengikat reseptor
Pemberian simvastatin 40 mg pada
CD14/ Toll-like receptor-4 (TLR4) yang
penelitian Yasuda menyatakan dapat
m e ng a k i b a t k a n s e k r e s i s it o k i n
memperbaiki syok sepsis dan kematian
proinflamatori dari beberapa tipe sel.
akibat acute kidney injury (AKI).3 Merx,
CD14 merupakan reseptor permukaan sel
menyatakan simvastatin sangat bermanfaat
pada makrofag dan monosit untuk
pada pengobatan dislipidemi dan penyakit
karbohidrat.5
jantung koroner serta memiliki efek dalam
Makrofag adalah sel darah putih yang pengobatan sepsis dengan menurunkan
berada didalam jaringan. Monosit dan aktivitas monosit. 8 Victor, dalam
makrofag adalah fagosit yang bertindak penelitiannya menyatakan simvastatin
pada pertahanan non spesifik (kekebalan dapat mencegah dan mengobati sepsis.9
bawaan) serta membantu memulai Marc dkk dalam penelit iann ya
mekanisme pertahanan spesifik (kekebalan menyatakan statin merupakan terapi
adaptif) dari host. Peran makrofag adalah sepsis yang aman pada penderita
fagositosis, menelan dan mencerna puing- dislipidemi dan penyakit jantung koroner
puing selular dan patogen, merangsang dengan menganalisis konsentrasi IL-6
limfosit dan sel kekebalan lainnya untuk plasma.10
merespon patogen. Makrofag dapat
Pemberian LPS pada penelitian ini
diidentifikasi dengan cara menilai ekspresi
dilakukan terhadap mencit dengan
tertentu dari sejumlah protein, termasuk
penyuntikan intraperitoneal karena pada
CD14, CD11b, F4/80 (tikus)/ EMR1
intraperitoneal terdapat banyak makrofag.
(manusia), lisozim M, MAC-1/MAC-3
LPS yang disuntikkan akan merangsang
dan CD68 dengan sitometri atau
makrofag untuk menghasilkan sitokin
pewarnaan imunohistokimia bergerak
proinflamasi seperti TNF, IL-1, dan IL-6
dengan aksi gerakan amoeboid. 6,7
yang akan meyebabkan syok septik.11
Makrofag adalah fagosit yang paling
Penelit ian in i bert u ju an u nt uk
efisien, dan bisa mencerna sejumlah besar
membuktikan pengaruh pemberian
bakteri atau sel lainnya. Pengikatan
simvastatin terhadap kapasitas fagositosis
molekul bakteri ke reseptor permukaan
makrofag pada mencit dengan dosis 10
makrofag memicu proses penelanan dan
mg, 20 mg dan 40 mg yang kemudian
penghancuran bakteri melalui "serangan
dikonversikan ke dalam dosis mencit
respiratori", menyebabkan pelepasan
menjadi 0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg.
bahan oksigen reaktif. Patogen juga
me ns t imu la s i ma k ro fa g u nt u k METODE
menghasilkan kemokin, yang merekrut sel
fagosit lain di sekitar wilayah terinfeksi Penelitian ini termasuk eksperimental
dan makrofag tidak teraktivasi oleh laboratorik dengan desain post test only
stimulasi sejumlah sitokin seperti TNFα, control group dengan tujuan mencari

98 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pengaruh pemberian simvastatin peroral masing-masing terdiri 5 ekor mencit


pada mencit yang diberi lipopolisakarida mendapat kan p er lak u a n LPS
intraperitoneal terhadap kapasitas intraperitoneal 10 mg/kgBB dan
fagositosis makrofag. Sampel penelitian simvastatin peroral (0,03 mg, 0,06 mg dan
20 ekor mencit babl/c jantan, umur 8 - 10 0,12 mg).
minggu, berat 20 - 30 gram, sehat dan
Subyek penelitian dilakukan pemeriksaan
tidak tampak cacat secara anatomi.
kemampuan fagositosis makrofag dengan
Mencit dibagi dalam 4 kelompok menggunakan partikel latex yang
perlakuan, sehingga total jumlah sampel difagositosis makrofag dalam 100
20 ekor mencit balb/c. Sampel yang makrofag pada cairan peritoneum mencit.
memenuhi kriteria inklusi diadaptasikan Data penghitungan kapasitas fagositosis
dengan dikandangkan per kelompok dan makrofag intraperitoneal tercantum pada
diberi pakan standar serta minum yang Tabel 1.
sama selama 1 minggu secara ad libitum.
Hasil pengamatan rerata kapasitas
Setelah ditunggu selama 6 jam kemudian fagositosis makrofag intraperitoneal pada
dilakukan pengambilan dan kultur keempat kelo mpo k menunjukkan
makrofag intraperitoneal. Selanjutnya kapasitas fagositosis makrofag yang
dilihat kapasitas fagositosis makrofag berbeda yaitu pada kelompok perlakuan 1
intraperitoneal dibawah mikroskop. (K2) menunjukkan kemampuan kapasitas
fagositosis makrofag paling rendah
Data yang dikumpulkan dalam penelitian
dibandingkan kelompok kontrol (K1).
ini adalah data primer hasil pemeriksaan
kapasitas fagositosis makrofag yang Uji beda dilakukan untuk mengetahui
dinyatakan dengan jumlah makrofag yang apakah ada perbedaan yang bermakna
memfagosit partikel latex dalam 100 pada kapasitas fagositosis makrofag
makrofag yang diperiksa dengan intraperitoneal pada kelompok kontrol
mikroskop cahaya. (K1), kelompok perlakuan 1 (K2) dan
kelompok perlakuan 2 (K3) dan kelompok
HASIL
perlakuan 3 (K4). Uji beda ini dilakukan
Penelitian ini menggunakan 20 ekor dengan menggunakan ANOVA dan
mencit Balb/c jantan, dari keturunan murni dilanjutkan dengan uji posteriori. Hasil uji
berumur dua setengah bulan dan berat one way-Anova menunjukkan hasil
badan 2 0- 4 0 g r am. P ene lit ia n signifikan (p<0,001) dengan interpretasi
menggunakan 4 kelompok yaitu kelompok perbedaan bermakna dari dua kelompok
kontrol (K1) terdiri dari 5 ekor mencit penelitian.
yang diber ikan per laku an LPS
Hasil uji homogenitas varian dilihat dari
intraperitoneal 10 mg/kgBB. Kelompok
output Levene test. Nilai p pada Levene
perlakuan 1 (K2), kelompok perlakuan 2
test menunjukkan nilai 0,03 (p < 0,05).
(K3) dan kelompok perlakuan 3 (K4)

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 99


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Data penghitungan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal

Kelompok N Mean SD
K1 5 44.40 3.975
K2 5 37.80 2.864
K3 5 31.20 1.304
K4 5 23.00 4.301

50
Error Bars show 95.0% Cl of Mean

40
K ad a r M ak ro fag


30

20

Kontrol Simvastatin 0,06 mg


Simvastatin 0,03 mg Simvastatin 0,12 mg

Nama kelompok

Gambar 1. Grafik error bar kapasitas fagositosis makrofag kelompok penelitian


50

 

K ada r M ak rofag

40






30


20

Kontrol Simvastatin 0,06 mg


Simvastatin 0,03 mg Simvastatin 0,12 mg

Nama kelompok

Gambar 2 grafik scatterplot kadar makrofag kelompok penelitian.

100 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hal ini berarti varian data pada ketiga darah, serta meningkatkan kadar kolesterol
kelompok tersebut adalah homogen, untuk high-density lipoprotein (HDL).1
mengetahui kelompok mana yang
Penelitian Yasuda menyatakan bahwa efek
memiliki perbedaan, maka dilakukan uji
simvastatin dan TNF-alpha neutralizing
posteriori dengan Tamhane.
antibody telah diteliti pada hewan yang
Dari hasil uji posteriori didapatkan disertai sepsis. Statins (3-hydroxy-3-
perbedaan yang bermakna antara kapasitas methylglutaryl) coenzyme reductase
fagositosis makrofag intraperitoneal pada inhibitors memiliki efek pleiotropic
kelompok perlakuan 1 (K1) dengan actions, dimana obat ini mampu
kelompok perlakuan 3 (K3) dan K4. memperbaiki survival penderita sepsis
atau penderita dengan penyakit infeksi
Terdapat perbedaan bermakna pada
dengan cara memperbaiki cecal ligation
kelompok perlakuan 2 (P2)
and puncture (CLP) pada mediator
dibandingkan kelompok perlakuan 3
inflamasi sehingga mengurangi kerusakan
(P3) dan P4. Tidak terdapat perbedaan
pada organ yang dapat memicu terjadinya
bermakna antara kelompok kontrol K1
kematian.3
dengan K2, serta antara K3 dan K4
(p>0,005). Hasil selengkapnya dapat Bahan penyebab syok sepsis yaitu
dilihat di lampiran. lipopolisakarida (LPS) merupakan struktur
utama dinding sel bakteri gram negatif
Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui
yang berfungsi untuk integritas struktur
apakah ada korelasi yang bermakna antara
bakteri dan melindungi bakteri dari sistem
dosis pemberian simvastatin dengan
pertahanan imun hospes. Zat ini bersifat
kapasitas fagositosis makrofag
endotoksin yang menginduksi produksi
intraperitoneal pada kelompok penelitian.
sitokin proinflamatori seperti interleukin-
Uji ini dilakukan menggunakan uji
1α (IL-1α), IL-1β, IL-6, tumor necrosis
Pearson. Dari hasil uji korelasi didapatkan
factor-α (TNF-α) dan prostaglandin
korelasi yang bermakna (p=0,001), dengan
(PGE2).4 LPS ini mengikat reseptor
nilai koefisien korelasi Pearson sebesar (-
CD14/ Toll-like receptor-4 (TLR4) yang
0.935), dan arah korelasi negatif dengan
m e n g a k i b a t k a n s e k r e s i s it o k i n
koefisien korelasi kuat.
proinflamatori dari beberapa tipe sel.
PEMBAHASAN CD14 merupakan reseptor permukaan sel
pada makrofag dan monosit untuk
Simvastatin merupakan grup obat yang karbohidrat.5
disebut dengan hydroxy metyl glutaryl
(HMG Co) reductase inhibitors atau Pada pemberian LPS akan merangsang
statin. Obat ini digunakan untuk pelepasan mediator proinflamasi seperti
mengurangi kolesterol low-density IFN-γ, TNF-α serta IL-I. makrofag
lipoprotein (LDL) dan trigliserid dalam merupakan komponen penting dari respon
inflamasi terhadap kerusakan jaringan.12

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 101


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hasil penelitian dapat dilihat bahwa Dari hasil uji korelasi didapatkan korelasi
terdapat penurunan yang kapasitas yang bermakna (p=0,001), dengan nilai
fagositosis makrofag intraperitoneal yang Pearson sebesar -0,935 yang menunjukkan
bermakna pada pemberian simvastatin bahwa arah korelasi negatif dengan
baik pada dosis 0,06 mg dan dosis 0,12 mg koefisien korelasi kuat. Hal ini berarti
peroral dibandingkan dengan kelompok bahwa terdapat hubungan erat antara
yang tidak diberi simvastatin (Kontrol) peningkatan dosis simvastatin semakin
dan pada kelompok (P4). rendahnya kapasitas fagositosis makrofag
intraperitoneal. Dosis simvastatin yang
Hal tersebut di atas disebabkan 2 faktor.
diberikan semakin tinggi maka kapasitas
Pertama, karena simvastatin menghambat
fagositosis makrofag intraperitoneal akan
langsung produksi sitokin proinflamasi
semakin rendah.
TNF alfa, IL-6, dan IL-8 yang diinduksi
oleh lipopolisakarida. Menurut penelitian SIMPULAN
Gown dkk. menyatakan bahwa simvastatin
Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa
menekan TNF-α, IL-6 dan IL-8 yang
hasil simvastatin pada dosis 0,12 mg pada
diinduksi oleh LPS, dimana TNF-α
mencit yang setara dengan pemberian
merupakan sitokin pertama yang
dosis simvastatin 40 mg/kgBB pada
terinduksi setelah stimulasi LPS yang
manusia menurunkan kapasitas fagositosis
kemudian juga akan menstimulasi IL-1
makrofag intraperitoneal secara signifikan
dan IL-6 pada makrofag, monosit,neutrofil
bila dibandingkan dengan simvastatin
dan sel endotel. Efek supresi simvastatin
dosis 0,03 mg pada mencit yang setara
terhadap IL-6 dan IL-8 dapat secara
dengan pemberian simvastatin 10 mg/
langsung maupun melalui penghambatan
kgBB pada manusia dan simvastatin 0,06
pelepasan TNF-α yang diinduksi oleh
mg pada mencit yang setara dengan
LPS. Pada penelitian ini terdapat efek
pemberian simvastatin 20 mg/kgBB pada
supresi simvastatin terhadap TNF-α serta
manusia (p>0,05).
IL-6 dan IL-8. TNF alfa yang tersupresi
kemudian akan menyebabkan penurunan DAFTAR PUSTAKA
kapa s it a s fa g o s it o s is ma k r o fag
intraperitoneal.13 1. Sandika. Simvastatin. Tersedia pada : http://
www.detikhealth.com. diakses 12 Agustus
Faktor transkrip NF-κB mempunyai 2010.
2. Zhang S, Rahman M, Zhang SQ, Thorlacius H.
peranan krusial pada proses inflamasi. NF-
Simvastatin Antagonizes CD4OL Secretion,
κB merupakan faktor transkripsi yang CXC Chemokine Formation, and Pulmonary
akan memicu produksi sitokin. Pemberian Infiltritation of Neutrophils in Abdominal
LPS akan mengaktifkan NF-κB yang akan Sepsis. J Leukoc Biol 2011;89(5):735-42.
meningkatkan produksi mediator inflamasi 3. Yasuda H, Yuen P, Hu X, Zhou H, Star R.
Simvastatin Improves Sepsis-Induced Mortality
seperti IL-8, TNF-α,13
and Kidney Injury via Renal Vascular Effects.
Kidney Int.2006;69(9):1535-42.

102 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

4. Stashenko P. Interrelationship of Dental Pulp 9. Novack V, Terblanche M, Almog Y. Do


and Apical Periodontitis. In : Hargreaves KM, Statins have a Role in Preventing or Treating
Goodis, editors. Dental Pulp. Chicago: Sepsis? Critial Care 2006;10:113.
Quintessence Publishing Co Inc; 2002.p.389- 10. Marc W, Liehn EA, Graf J, Sandt A,
409. Schaltenbrand M, Schrader J, Hanrath P,
5. Akashi S, Shimazu R, Ogata H, Nagai Y, Weber C. Statin Treatment After Onset of
Takeda K, Kimoto M, et al. Cutting Edge: Cell Sepsis in a Murine Model Improves Survival.
Surface Expression and Lipopolysaccharide Circulation 2005;112:117-24.
Signaling via the Toll-Like Receptor 4-MD-2 11. Young D. Simvastatin and Severe Sepsis : A
Complex on Mouse Peritoneal Macrophages. J Randomised Controlled Trial. tersedia pada
Immunol 2000; 164: 3471-5. situs http://www.controlled-ttrials.com/
ISRCTN92093279. Diakses 11 September
6. Dilandx. Makrofag. Tersedia pada situs: http:// 2011.
surgaku.com/2010/03/makrofag. Diakses pada
12. Hermawan G, editor. Sitokin yang berperan
5 September 2011
7. Widodo D, Pohan HT, Bunga Rampai Penyakit dalam Sirs dan Sepsis. In : SIRS, Sepsis &
infeksi. Jakarta: Departemen IPD FKUI.2004: Syok Septik. 1st ed. Surakarta:Sebelas Maret
p.54-88. University Press;2008. P. 86-98
8. Merx MW, Liehn EA, Janssens U. HMG-Coa 13. Visintin A. Pharmacological Inhibition of
Reductase Inhibitor Simvastatin Profoundly Endotoxin Responses is Achieved by Targeting
Improves Survival in a Murine Model of the TLR4 Coreceptor, MD-2. J Immunol
Sepsis. Circulation 2004;109:2560-65. 2005;175(10):6465-72.

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 103


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Stabilitas Hemodinamik Propofol – Ketamin Vs Propofol – Fentanyl pada
Operasi Sterilisasi / Ligasi Tuba : Perbandingan Antara Kombinasi Propofol 2
Mg/Kgbb/Jam Dan Ketamin 0,5mg/Kgbb/Jam Dengan Kombinasi Propofol 2 Mg/
Kgbb/Jam Dan Fentanyl 1 Μg/Kgbb/Jam
Laurent ius Sandhie Praset ya*, Sudadi *
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UGM/ RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

ABSTRACT
Background: Continuous TIVA technique using combination of propofol and fentanyl
has been commonly used in RSUP Sardjito. These techniques could provide adequate
anesthesia, but often cause a variety of durante operative hemodynamic changes. The
combination of propofol and ketamine are expected to provide a comfortable anesthesia
for surgery with a more stable durante operative hemodynamic changes.
Methods: The study design was randomized controlled trial. The scope of the study were
female who underwent tubal ligation operations with Metode Operasi Wanita (MOW)
technique at the Instalasi Kontrasepsi Mantap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta with
continuous TIVA technique. Total 70 subjects that met criteria of inclusion were divided
into two groups which consisted of 35 each. PK group used a combination of propofol 2
mg/kg and ketamine 0.5 mg/kg and were followed with propofol 2 mg/kg/hour and
ketamine 0.5 mg/kg/hour intravenously. The PF group used a combination of propofol 2
mg / kg and fentanyl 1 mcg/kg and were followed with propofol 2 mg/kg/hour and
fentanyl 1 mcg/kg/hour intravenously. Parameters of hemodynamic changes were systolic
blood pressure (SBP), mean arterial pressure (MAP) and heart rate (HR) assessed at
induction, incission and every 5 minutes until the operation was completed.
Results: The change of hemodynamic parameters more than 10 % occurred in the PF
group at the time of induction, after first incision and the fifth minute, in which the SBP
decreased by 15.5 (7.26) %, MAP of 14.0 (8.34) %, HR 14.2 (6.52) % whereas in group
PK, SBP decreased by 4.3 (2.72) % (p = 0.000), MAP of 4.6 (3.18) % (p =0.000) and HR
of 3.5(2.63) % (p = 0.000) at the time of induction.
Conclusion: The hemodynamic stability of the PK group was better than the PF group.

Key words: Continuous TIVA, propofol, ketamine, fentanyl

ABSTRAK
Latar belakang: Teknik TIVA kontinyu menggunakan kombinasi propofol dan fentanyl
telah umum digunakan. Teknik tersebut dapat memberikan anestesi yang adekuat, namun
dapat menyebabkan perubahan hemodinamik durante operatif yang bervariasi.

104 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kombinasi propofol dan ketamin diharapkan dapat memberikan anestesi yang nyaman
untuk pembedahan dengan perubahan hemodinamik durante operatif yang lebih stabil.
Metode: Desain penelitian percobaan acak terkontrol. Ruang lingkup penelitian adalah
pasien wanita yang menjalani operasi sterilisasi ligasi tuba dengan Metode Operasi
Wanita dengan tehnik anestesi TIVA kontinyu. Subyek berjumlah 70 yang memenuhi
kriteria inklusi, dibagi menjadi dua kelompok yang masing-masing terdiri dari 35.
Kelompok PK adalah subyek yang menggunakan kombinasi propofol 2 mg/kgbb dan
ketamin 0,5 mg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/kgbb/jam dan ketamin 0,5
mg/kgbb/jam intravena, sedangkan kelompok PF adalah subyek yang menggunakan
kombinasi induksi propofol 2 mg/kgbb dan fentanyl 1 μg/kgbb dilanjutkan pemeliharaan
propofol 2 mg/kgbb/jam dan fentanyl 1 μg/kgbb/jam intravena. Penilaian parameter
perubahan hemodinamik meliputi tekanan darah sistolik (TDS), tekanan arteri rerata
(TAR) dan laju denyut jantung (DJ) dinilai pada saat induksi, insisi dan durante operasi
hingga selesai.
Hasil: Penurunan parameter hemodinamik lebih dari 10 % terjadi pada kelompok PF
pada saat induksi, insisi dan menit ke-5, dimana tekanan darah sistolik (TDS) menurun
sebesar 15,5 (7,26) %, tekanan arteri rerata (TAR) menurun sebesar 14,0 (8,34) % dan
laju denyut jantung (DJ) sebesar 14,2 (6,52) % sedangkan pada kelompok PK terjadi
penurunan TDS sebesar 4,3 (2,72) % (p = 0,000), TAR of 4,6 (3,18) % (p =0,000) dan DJ
sebesar 3,5(2,63) % (p = 0,000) saat induksi.
Simpulan: Stabilitas hemodinamik kelompok PK lebih baik daripada kelompok PF.

Kata kunci: TIVA kontinyu, propofol, ketamin, fentanyl


PENDAHULUAN dan penurunan konsetrasi dalam darah
yang cepat, membuatnya cocok digunakan
TIVA dalam praktek klinik menjadi
dalam bentuk infusan. Saat dihentikan,
populer karena onset yang cepat serta efek
pemulihan akan terjadi secara cepat.
toksisitas obat sedatif dan hipnotik yang
Selain itu juga didapatkan angka kejadian
minimal, juga menghindari efek yang
mual muntah postoperatif (PONV) lebih
merugikan dari pengeluaran gas anestesi
rendah daripada penggunaan agen
kepada personal anestesi dan personal
inhalasi.2,3
kamar operasi lainnya. Dari segi ekonomi,
TIVA memiliki harga yang lebih rendah Ketamin adalah satu-satunya obat anestesi
daripada teknik inhalasi, sehingga intravena yang memiliki kemampuan
dianggap lebih efisien dalam menekan hipnosis, analgesik dan amnesia sekaligus
biaya.1 dan relatif murah. Mempunyai onset kerja
yang cepat dan mencapai efek kerja
Propofol, telah umum digunakan sebagai
maksimal dalam waktu yang singkat pula.
agen induksi dan pemeliharaan anestesi
Pada dosis subanestesi ketamin dapat
untuk masa operasi yang singkat dan
memberikan analgesi yang kuat.4
nyaman. Kecepatan clearance yang tinggi

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 105


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Fentanyl, adalah opioid yang umum dan analgesia yang poten namun profil
digunakan pada TIVA. Fentanyl pulih sadar yang cukup bervariasi.
memberikan analgesia yang baik dengan
Teknik TIVA kontinyu dengan
onset yang cepat namun memiliki efek
menggunakan kombinasi propofol dan
depresi kardiorespirasi dan sedasi serta
fentanyl telah umum digunakan di RSUP
meningkatnya risiko PONV, yang sering
dr. Sardjito. Teknik tersebut dapat
menjadi masalah pada pasca pembedahan.5
memberikan anestesi yang adekuat, namun
Bajwa et al. (2010) dan Badrinath et al.
dapat menyebabkan perubahan
(2008), menunjukkan bahwa kombinasi
hemodinamik duranteoperatif yang
propofol dengan ketamin pada dosis
bervariasi. Di rumah sakit tertentu di
subhipnotik dapat memberikan analgesia
Indonesia khususnya di Yogyakarta dan
yang cukup tanpa depresi hemodinamik
Jawa Tengah, ketamin lebih mudah
serta kardiorespirasi.6,7 Efek
didapatkan dan lebih ekonomis
psikotomimetik minimal pada kombinasi
dibandingkan fentanyl. Efek depresi napas
tersebut.8
lebih kecil terjadi sehingga lebih aman
Sebuah penelitian yang membandingkan apabila digunakan di daerah terpencil. Hal
kombinasi propofol – fentanyl (PF) ini tentunya dapat menjadi pertimbangan
dengan propofol – ketamin (PK) pemilihan obat kombinasi TIVA oleh
menunjukkan stabilitas hemodinamik pada dokter anestesi.
kelompok PK sedangkan hipotensi
Penelitian ini akan membandingkan
didapatkan pada kelompok PF. Hal ini
stabilitas hemodinamik pada pasien yang
menjadi penting karena perubahan
menjalani sterilisasi ligasi tuba Metode
hemodinamik duranteoperatif secara
Operasi Wanita (MOW) dengan TIVA
bermakna akan meningkatkan resiko
kontinyu menggunakan dua kombinasi
terjadinya komplikasi kardiak dan renal
obat anestesi intravena, propofol-ketamin
pasca operasi. Kedua kelompok tidak
dengan propofol-fentanyl. Dosis yang
menunjukkan berbeda dalam
digunakan untuk induksi propofol 2 mg/
perbandingan lamanya membuka mata
kgbb dan ketamin 0,5 mg/kgbb dilanjutkan
spontan. Insiden PONV lebih banyak
pemeliharaan propofol 2 mg/kgbb/jam dan
didapatkan pada kelompok PF dan tidak
ketamin 0,5 mg/kgbb/jam intravena
didapatkan efek psokotomimetik pada
dibandingkan dengan induksi propofol 2
kelompok PK.9
mg/kgbb dan fentanyl 1 μg/kgbb
Kombinasi propofol dan ketamin dilanjutkan pemeliharaan propofol 2 mg/
memberikan anestesi yang cukup nyaman kgbb/jam dan fentanyl 1 μg/kgbb/jam
untuk pembedahan dengan onset cepat, intravena. Penilaian stabilitas
durasi yang cepat, stabilitas hemodinamik, hemodinamik meliputi perubahan tekanan
darah sistolik (TDS), tekanan arteri rerata
(TAR) dan laju denyut jantung (DJ).

106 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik Subyek

Variabel PK PF p
Umur (tahun) 37,7(4,57) 37,31(4,25) 0,667
Berat badan (Kg) 51,2(7,19) 49,8(5,29) 0,367
Tinggi Badan (cm) 155,1(4,12) 156,6(4,14) 0,130
BMI 21,3(2,77) 20,3 (2,15) 0,097
ASA n (%) n (%)
I 35((100) 35(100)
II 0 0
Hemodinamik Awal
Systolik mmHg 118(11,38) 117,4(13,02) 0,815
Diastolik mmHg 73,31(7,11) 73,6(7,9) 0,849
TAR mmHg 88,3(7,86) 88,2 (9,09) 0,989
DJ bpm 84,0(11,44) 80,4 (7,85) 0,127

Tabel 2. Perbandingan persentase perubahan tekanan darah sistolik

Propofol-Ketamin Propofol-Fentanyl
Waktu (menit) % % P
Mean SD Mean SD
Induksi 4,3 (2,72) 15,5 (7,26) 0,000*
Insisi 3,5 (3,95) 12,5 (6,96) 0,000*
5 4,6 (2,11) 10,8 (8,62) 0,000*
10 7,4 (1,37) 8,4 (4,89) 0,125
15 4,7 (2,66) 5,6 (3,11) 0,205
20 6,2 (2,48) 7,1 (3,19) 0,417
25 5,7 (2,05) 6,6 (3,11) 0,757
30 5,8 (2,93) 6,7 (4,13) 0,188
35 7,5 (1,15) 8,4 (4,04) 0,737
Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 107


Jurnal Anestesiologi Indonesia

METODE Setelah mendapat persetujuan komite etik,


subyek diberi penjelasan mengenai
Sampel pada penelitian ini adalah subyek
jalannya penelitian, dan setelah
yang memenuhi kriteria inklusi dan
menyetujui ikut terlibat dalam penelitian,
kriteria eksklusi yang diambil dari
menandatangani informed consent. Di
populasi terjangkau, yaitu wanita yang
ruang persiapan pasien dipasang infus
menjalani tindakan pembedahan Metode
dengan kateter vena no. 18 G dengan
Operasi Wanita (ligasi tuba) menggunakan
threeway stop cock pada daerah punggung
anestesi umum TIVA di Instalasi
tangan dan diberikan infus kristaloid
Kontrasepsi Mantap RSUP Dr. Sardjito.
setengah kebutuhan cairan pengganti
Kriteria inklusi meliputi subyek usia 30 – puasa dan dilanjutkan dengan
45 tahun, dengan status fisik ASA I – II, pemeliharaan 2 ml/kgbb/jam, kemudian
BMI 18 – 30 kg/m2 dan telah infus dihentikan. Penyediaan obat sesuai
menandatangani informed consent. Pasien amplop randomisasi dan pembagian pasien
dengan hipertensi. gangguan fungsi ginjal, dilakukan oleh petugas khusus (pembantu
gangguan fungsi hepar, schizophrenia, peneliti). Untuk induksi, Fentanyl,
riwayat pemakaian obat obatan golongan konsentrasi 50 μg/ml diencerkan menjadi
opioid dan monoamine oksidase inhibitor konsentrasi 20 μg/ml dengan cara
sebelumnya dan pasien yang memiliki mengambil 2 ml fentanyl (100 μg) dan
alergi terhadap obat propofol, ketamin ditambahkan 3 ml NaCl 0,9 % menjadi
atau fentanyl tidak diikutsertakan dalam total volume keseluruhan 5 ml dalam spuit
penelitian ini. 5ml. Ketamin, digunakan konsentrasi 10
mg/ml dalam spuit 5 ml. Untuk
Randomisasi dilakukan dengan cara pemeliharaan ketamin konsentrasi 10 mg/
randomisasi blok dengan tabel angka ml disiapkan dalam spuit 20 ml dan
random untuk membagi sampel menjadi fentanyl konsentrasi 50 μg/ml diencerkan
Grup A yang mendapat kombinasi induksi menjadi konsentrasi 20 μg/ml dengan cara
propofol 2 mg/kgbb + ketamin 0,5 mg/ mengambil 8 ml fentanyl dan ditambahkan
kgbb iv dilanjutkan pemeliharaan dengan NaCl 0,9% 12 cc dalam spuit 20 ml.
propofol 2 mg/kgbb/jam + ketamin 0,5 Propofol konsentrasi 10 mg/ml disiapkan
mg/kgbb/jam iv dan Grup B yang dalam spuit 20 ml dan semua obat
mendapat kombinasi induksi propofol 2 terpasang pada syringe pump. Di kamar
mg/kgbb + fentanyl 1 g/kgbb iv operasi, dilakukan pemasangan nasal
dilanjutkan pemeliharaan dengan propofol kanul dengan oksigen 2–3 liter/menit.
2 mg/kgbb/jam iv + fentanyl 1 g/kgbb/jam Lakukan pengukuran tekanan darah
iv. Kedua obat ditempatkan dalam spuit sistolik (TDS), tekanan darah diastolik
injeksi, ditutup kertas dan diberi label oleh (TDD) dan denyut jantung (DJ) sebelum
petugas farmasi dan tidak diketahui tim dilakukan prosedur anestesi, data tersebut
peneliti. dicatat sebagai data awal. Diberikan sedasi
Midazolam dengan dosis 0,05 mg/kgbb iv,

108 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

setelah 3 menit, dilakukan pencatatan dan di analisis dengan menggunakan


TDD,TDS dan DJ, hasil pengukuran perangkat lunak SPSS versi 18.0.
dicatat sebagai data sebelum induksi. Pada
Data karakteristik umum pasien antara
kelompok A diberikan injeksi ketamin (0,5
kedua kelompok meliputi: umur, berat
mg/kgBB IV) perlahan-lahan, kemudian
badan, tinggi badan, Body Mass Index
injeksi Propofol (2 mg/kgBB IV) perlahan
(BMI), klasifikasi ASA dan data
-lahan, dilanjutkan dengan Propofol (2
hemodinamik awal dapat dilihat pada
mg/kgBB/jam IV) dan ketamin (0,5 mg/
Tabel 1.
kgBB/jam IV). Sedangkan pada kelompok
B Kelompok B diberikan injeksi fentanyl Data karakteristik subyek untuk variabel-
(1 μg/kgBB IV) perlahan-lahan, kemudian variabel: umur, berat badan, tinggi badan,
injeksi propofol (2 mg/kgBB IV) perlahan BMI dan hemodinamik awal dianalisis
-lahan dilanjutkan dengan propofol 2/ dengan t-test tidak berpasangan dimana
kgBB/jam IV) dan fentanyl (1 μg/kgBB/ secara statistik kedua kelompok propofol-
jam IV), menggunakan syringe pump. ketamin (PK) maupun propofol-fentanyl
Setelah 3 menit dari awal injeksi ketamin
dilakukan penilaian reflek bulu mata dan (PF) tidak berbeda bermakna (P < 0,05 )
tes pinprick. Bila tidak ada respon pada tes sehingga karakteristik subyek penelitian
pinprick maka dilakukan pencatatan setara.
TDS,TDD dan DJ sebagai data setelah
Perbandingan tekanan darah sistolik
induksi. Incisi kulit dilakukan Lakukan
(TDS), tekanan arteri rerata (TAR) dan
pengukuran TDS,TDD dan DJ sebagai
laju denyut jantung (DJ) pada kedua
data setelah incisi. Setiap interval 5 menit
kelompok dan hasil uji statistik dapat
dilakukan pengukuran TDS,TDD dan DJ.
dilihat pada Tabel 2.
Setelah selesai jahitan kulit, obat-obat
anestesi dihentikan. Operasi selesai, pasien Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat
dipindah ke ruang pulih sadar. perbedaan bermakna bila persentase
perubahan hemodinamik dibandingkan
HASIL
antara kedua kelompok. Pada kelompok
Penelitian dilakukan di Instalasi PF tekanan sistolik mengalami perubahan
Kontrasepsi Mantap RSUP Dr. Sardjito sebesar > 10 % didapatkan pada saat
Yogyakarta mulai tanggal 23 Agustus setelah induksi 15,5 (7,26) %, setelah
2011 sampai dengan 20 Oktober 2011 insisi 12,5 (6,96) %, menit ke-5 sebesar
setelah mendapatkan ethical clearance 10,8 (8,62) % dimana berbeda bermakna
dari Fakultas Kedokteran Universitas dengan kelompok PK saat induksi 4,3
Gadjah Mada Yogyakarta. Penelitian (2,72) %, saat insisi 3,5 (3,95) % dan
dilakukan dengan jumlah sampel sebanyak menit ke-5 sebesar 4,6 (2,11) %. Pada
70 orang. Data yang tercatat pada formulir menit berikutnya perbedaan yang terjadi
yang telah disediakan, dilakukan tabulasi tidak bermakna secara statistik.

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 109


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Perbandingan persentase perubahan tekanan arteri rerata

Propofol-Ketamin Propofol-Fentanyl
Waktu (menit) % % P
Mean SD Mean SD
Induksi 4,6 (2,35) 14,0 (8,34) 0,000*
Insisi 6,3 (2,37) 11,6 (6,30) 0,000*
5 6,3 (1,39) 8,3 (5,20) 0,028*
10 6,2 (1,98) 6,8 (4,89) 0,531
15 5,2 (3,24) 6,1 (5,15) 0,415
20 5,2 (2,41) 4,7 (3,32) 0,051
25 4,0 (2,67) 4,5 (3,58) 0,178
30 4,2 (2,50) 4,3 (2,42) 0,386
35 2,8 (1,77) 1,9 (1,65) 0,171
Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test

Tabel 4. Perbandingan persentase perubahan laju denyut jantung

Propofol-Ketamin Propofol-Fentanyl
Waktu (menit) % % P
Mean SD Mean SD
Induksi 3,5 (2,63) 14,2 (6,52) 0,000*
Insisi 4,2 (2,68) 9,3 (8,19) 0,018*
5 6,6 (1,71) 8,7 (4,50) 0,019*
10 7,0 (0,98) 7,2 (4,77) 0,123
15 6,0 (0,78) 7,1 (5,59) 0,218
20 6,2 (1,14) 6,4 (4,33) 0,371
25 5,6 (2,15) 5,7 (3,31) 0,565
30 5,9 (1,57) 4,9 (1,35) 0,031*
35 7,0 (2,83) 4,2 (2,69) 0,009*
Data ditampilkan sebagai mean (SD) atau n(%) *p<0,05, independent t-test

110 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3 menunjukkan pada kelompok PF PEMBAHASAN


terjadi perubahan tekanan arteri rerata
Data demografi menunjukkan bahwa pada
sebesar > 10 % didapatkan pada saat
karakteristik dasar kedua kelompok dan
setelah induksi sebesar 14,0 (8,34) % dan
dari masing-masing variabel umur, berat
setelah insisi 11,9 (6,30) %. Pada menit ke
badan, tinggi badan, BMI, ASA dan
-5 sebesar 8,3 (5,20) % juga didapatkan
parameter hemodinamik awal baik tekanan
beda bermakna dengan kelompok PK
darah sistolik, tekanan darah diastolik,
yaitu saat induksi 4,6 (3,18) % dengan
tekanan arteri rerata dan laju denyut
p=0,000, saat insisi 6,3 (1,03) % dengan
jantung tidak didapatkan perbedaan
p=0,000 dan menit ke-5 sebesar 6,3 (2,11)
bermakna sehingga kedua kelompok layak
% dengan p=0,028.
untuk dibandingkan.
Tabel 4 menunjukkan pada kelompok PF
Terdapat perbedaan durasi operasi pada
terjadi perubahan laju denyut jantung
kedua kelompok dimana kelompok PK
sebesar > 10 % didapatkan pada saat
dengan rerata durasi 27,9 (9,66) menit dan
setelah induksi sebesar 14,2 (6,52) %.
kelompok PF 24,1 (5,59) menit. Durasi
Perubahan saat setelah insisi 9,3 (8,19) %
operasi lebih dari 35 menit pada kelompok
dan menit ke-5 sebesar 8,7 (4,50) % juga
PK didapatkan pada 4 pasien dan 1 pasien
berbeda bermakna dengan kelompok PK
pada kelompok PF dimana penyebabnya
yaitu saat induksi 3,5 (2,63) % dengan
adalah faktor kesulitan visualisasi tuba
p=0,000, saat insisi 4,2 (2,68) % dengan
oleh operator. Rerata selisih waktu yang
p=0,018 dan menit ke-5 sebesar 6,6 (1,71)
diperlukan mulai saat induksi hingga
% dengan p=0,019.
operator memulai dimulai insisi adalah 5
Penambahan obat propofol 0,5 mg/kgbb (0,24) menit pada kelompok PK dan 5,14
diberikan pada saat durante operasi (0,55) menit pada kelompok PF (p=0,166).
dengan tanda-tanda pasien akan terbangun
Perbandingan persentase perubahan
atau adanya gerakan, yaitu pada 7 pasien
hemodinamik bila dibandingkan antara
(20 %) pada kelompok PK dan 10 pasien
kedua kelompok menunjukkan beda
(28,5 %) pada kelompok PF, namun tidak
bermakna. Tekanan darah sistolik pada
bermakna secara statistik (p=0,472).
kelompok PF mengalami perubahan
Frekuensi penambahan obat pada
sebesar > 10 % didapatkan pada saat
kelompok PK 1,4 (0,53) kali sedangkan
setelah induksi 15,5 (7,26) %, setelah
pada kelompok PF 1,5 (0,70) kali
insisi 12,5 (6,96) %, menit ke-5 sebesar
pemberian dan tidak bermakna secara
10,8 (8,62) % dimana berbeda bermakna
statistik (p=0,825). Total dosis propofol
dengan kelompok PK saat induksi 4,3
yang ditambahkan pada kelompok PK
(2,72) %, saat insisi 3,5 (3,95) % dan
28,6 (10,69) mg sedangkan pada
menit ke-5 sebesar 4,6 (2,11) %.
kelompok PF 30,0 (14,14) mg dan tidak
bermakna secara statistik (p=0,825).

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 111


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Perubahan tekanan arteri rerata sebesar > induksi. Perlu dicermati bahwa perubahan
10 % didapatkan pada saat setelah induksi hemodinamik duranteperatif merupakan
sebesar 14,0 (8,34) % dan setelah insisi salah satu prediktor kejadian komplikasi
11,9 (6,30) % pada kelompok PF. Pada pascaoperasi dimana beberapa poin
menit ke-5 sebesar 8,3 (5,20) % juga penting dalam pengendalian hemodinamik
didapatkan beda bermakna dengan intraoperatif.10
kelompok PK yaitu saat induksi 4,6 (3,18)
Saat dilakukan insisi tidak didapatkan
% dengan p=0,000, saat insisi 6,3 (1,03) %
gerakan pada semua subyek penelitian,
dengan p=0,000 dan menit ke-5 sebesar
sehingga tidak dibutuhkan penambahan
6,3 (2,11) % dengan p=0,028.
obat. Hal ini menunjukkan bahwa ketamin
Pada kelompok PF terjadi perubahan laju pada dosis 0,5 mg/kg untuk induksi
denyut jantung sebesar > 10 % didapatkan dilanjutkan dosis pemeliharaan 0,5 mg/
pada saat setelah induksi sebesar 14,2 kgbb/jam dapat memberikan analgesi yang
(6,52) %. Perubahan saat setelah insisi 9,3 baik sebanding dengan fentanyl 1 μg/kgbb
(8,19) % dan menit ke-5 sebesar 8,7 (4,50) yang dilanjutkan dengan dosis
% juga berbeda bermakna dengan pemeliharaan 1 μg/kgbb/jam. Dosis
kelompok PK yaitu saat induksi 3,5 (2,63) ketamin 0,5 mg/kgbb telah digunakan
% dengan p=0,000, saat insisi 4,2 (2,68) % dalam penelitian sebelumnya pada
dengan p=0,018 dan menit ke-5 sebesar tindakan debridement luka bakar dimana
6,6 (1,71) % dengan p=0,019. didapatkan efek analgesi yang cukup
adekuat. 11
Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh
Mahajan et al. (2010), Bajwa et al. (2010) Selama operasi penambahan propofol
dan Almeida 2005 yang membandingkan diberikan karena adanya gerakan atau
kombinasi propofol – fentanyl (PF) tanda-tanda pasien akan bangun pada saat
dengan propofol – ketamin (PK) dimana dilakukan eksplorasi lebih dalam oleh
didapatkan penurunan bermakna pada operator dan bila terjadi takikardiatau
keempat parameter hemodinamik tersebut. hipertensi. Penambahan propofol
diperlukan pada kedua kelompok meski
Penurunan yang terjadi pada saat induksi,
tidak berbeda bermakna secara statistik.
setelah insisi dan menit-menit awal pada
Tujuh pasien (20 %) pada kelompok PK
kelompok PF lebih besar dan melebihi
dan 10 pasien (28,5 %) pada kelompok PF
rentang 10 % dari hemodinamik awal
memerlukan penambahan propofol bolus
sehingga dapat dikatakan stabilitas
sebesar 0,5 mg/kgbb. Frekuensi
hemodinamik pada kelompok PK lebih
penambahan obat pada kelompok PK 1,4
baik daripada kelompok PF meskipun
(0,53) kali sedangkan pada kelompok PF
kemudian, rerata persentase perubahan
1,5 (0,70) kali pemberian dan tidak
hemodinamik pada kedua grup berada
bermakna secara statistik (p=0,825). Total
dalam rentang kurang dari 10 %
dosis propofol yang ditambahkan pada
dibandingkan hemodinamik sebelum
kelompok PK 28,6 (10,69) mg sedangkan

112 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada kelompok PF 30,0 (14,14) mg dan cukup nyaman tanpa adanya keluhan mual
tidak bermakna secara statistik (p=0,825). muntah selama observasi di ruang pulih
Penambahan ini mungkin dapat menjadi sadar. Efek anti emetik pada propofol
pertimbangan perlunya menaikkan dosis dapat menurunkan angka kejadian PONV
pemeliharaan propofol kontinyu yang pada pada penggunaan ketamin dengan dosis
penelitian ini diberikan 2 mg/kgbb/jam. 0,5 mg/kgbb/jam maupun fentanyl 1 μg/
kgbb/jam. Penelitian sebelumnya
Penelitian sebelumnya oleh Mahajan, et
menyebutkan bahwa dosis subhipnotik
al. (2010) yang menggunakan dosis
ketamin 0,5 sampai 1 mg/kgbb/jam
propofol yang diberikan dengan dosis 4
dengan kombinasi infus propofol dapat
mg/kgbb/jam, penelitian Bajwa, et al.
memberikan analgesia tanpa depresi
(2010) menggunakan dosis rumatan
hemodinamik dan kejadian PONV,
propofol 2 mg/kgbb/jam, sedangkan
sedangkan pada dosis lebih besar 1,4 mg/
Almeida (2005) menggunakan dosis
kgbb/jam secara bermakna meningkatkan
propofol titrasi 10 mg/kgbb/jam yang
kejadian PONV.7
diturunkan 2 mg/kgbb/jam tiap 10 menit
dan dilanjutkan titrasi yang dimulai SIMPULAN
dengan dosis 4 mg/kgbb/jam.9,6,11
Berdasarkan hasil penelitian propofol –
Selama pemantauan baik setelah induksi ketamin vs propofol – fentanyl dapat
maupun durante operasi hingga selesai disimpulkan bahwa hemodinamik pada
tidak didapatkan kejadian penurunan TIVA kontinyu kombinasi propofol –
SpO2 hingga dibawah 95 %, kedua ketamin (PK) lebih stabil dibandingkan
kombinasi obat masih memungkinkan TIVA kontinyu kombinasi propofol –
ventilasi spontan yang adekuat. Beberapa fentanyl (PF) pada operasi MOW.
penelitian sebelumnya dengan dosis
DAFTAR PUSTAKA
fentanyl yang lebih besar dari 1 μg/kgbb/
jam menunjukkan kecenderungan 1. Loose, E., Egan, T.D., 2006. Short-acting
terjadinya depresi napas baik selama Intravenous Anesthetics. In R.L. Hines, ed.
operasi maupun di ruang pemulihan.6 Ambulatory Anesthesia. Philadelphia: Mosby
Elsevier. 39.
Selama operasi tidak didapatkan kejadian 2. Lerman, J., 2009. TIVA,TCI and Pediatrics:
Where are we and where are we going.
bradikardi yang membutuhkan
Available at: http://www.utswanesthesia.com
penatalaksanaan khusus. Walaupun terjadi [Accessed 2 March 2011]
penurunan laju denyut jantung, namun 3. Aitkenhead, A.R., 2003. Intravenous anesthetic
penurunan tersebut tidak disertai gejolak agents. In A.R. Aitkenhead, D.J. Rowbotham
yang bermakna dan berlangsung singkat. & S. Graham, (eds). Textbook of anesthesia.
4th ed. Philadelphia: Elsevier. 184-9.
Kedua kombinasi obat baik propofol- 4. Reves, J.G., Glass, P.S., Lubarsky, D.A.,
ketamin dan propofol-fentanyl McEvoy, M.D., 2010. Intravenous anesthetics.
In Miller, R.D. ed. Miller's Anesthesia. 7th ed.
memberikan kondisi pascaanestesi yang
Philadelphia: Elsevier. 10:719-59.

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 113


Jurnal Anestesiologi Indonesia

5. Stoelting, R.K., Hillier, S.C., 2006. fentanyl for analgesia during propofol
Nonbarbiturate intravenous anesthetic drugs. In procedural sedation: a randomized clinical
Brown, B., Murphy, F. (eds). Pharmacology trial. Am Emergency Med J, 15:877-86
and Physiology In Anesthetic Practice. 4th ed. 9. Mahajan, R., Swarnkar, N., Ghosh, A., 2010.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. Comparison of ketamine and fentanyl with
1:155 propofol in total intravenous anesthesia: a
6. Bajwa, S.J., Bajwa, S.K., Kaur, J., 2010. double blind randomized clinical trial. Internet
Comparison of two drug combinations in total J Anest, 23
intravenous anesthesia: propofol-ketamine and 10. Charlson, M.E., MacKenzie, R., Gold, J.P.,
propofol-fentanyl. Saudi J Anest, 4(2):72-9 Ales, K.L., Topkins, M., Shires, T., 1990.
7. Badrinath, S., Avramov, N., Shadrick, M.,Witt, Intraoperative blood pressure : what patterns
T.R., Ivankovich, A., 2000. The use of a identify patients at risk for postoperative
ketamine-propofol combination during complications. Ann. Surg, 560-80.
monitored anesthesia care. Anest analg, 90:858 11. Almeida, S.L., 2005. Comparative evaluation of
-62. propofol-ketamine and propofol fentanyl in
8. Messenger, D.W., Messenger, D.W., Murray, management of pain during dressing changes in
H.E., Dungey, P.E., Vlymen, J., Sivilotti, M.L., patients with burns. Available at: http://
2008. Subdissociative-dose ketamine versus www.rila.co.uk [Accessed 4 March 2011]

114 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Pengaruh Anestesi Regional dan General pada Sectio Cesaria pada Ibu
dengan Pre Eklampsia Berat terhadap Apgar Score
Nurhadi Wijayanto*, Ery Leksana**, Uripno-Budiono**
*Bagian Anestesiologi RSU Bhayangkara Sartika Asih Bandung
**Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT
Background: in patients with severe preeclampsia intubation is dangerous because of the
actions associated with airway management and hemodynamic fluctuations that may
occur. Spinal anesthesia avoided many risks associated with hypotensive but some
studies have shown that spinal anesthesia is safe for both mother and fetus. debate about
the influence of general anesthesia and spinal anesthesia on Apgar score is something
interesting. Some research suggests that there was no difference in anesthesia on both of
them but other studies say that the appreciation of the general anesthesia will result in a
lower than spinal anesthesia.
Objective: to compare the influence of general anesthesia and spinal anesthesia on
children born to mothers with a sectio caesaria because of severe preeclampsia.
Methods: an experimental study design with prospective randomized control trial study,
the research group is divided into two (n: 8), Group I is the group that received general
anesthesia with pentothal 5mg/bb dose and dose muscle paralytic suksinilkholis 1.5mg/bb
Conclusion: Apgar score in the group of spinal anesthetics are higher than general
anesthesia in patients with sectio caesaria because of severe preeclampsia, but clinically
by Apgar score categories of the two groups together

Key words: pre-eclampsia, Apgar score, spinal anesthesia, sectio Cesaria, hemodynamic

ABSTRAK
Latar belakang: pada pasien preeklampsia berat intubasi merupakan tindakan yang
berbahaya karena berkaitan dengan menejeman jalan napas dan gejolak hemodinamik
yang mungkin terjadi. Anestesi spinal banyak dihindari berkaitan dengan resiko
hipotensinya namun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anestesi spinal
adalah aman bagi ibu maupun janin . perdebatan tentang pengaruh anestesi umum dan
anestesi spinal terhadap Apgar score adalah sesuatu yang menarik. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan anestesi pada keduanya namun pada
penelitian lainnya dikatakan bahwa dengan apresiasi umum akan menghasilkan anestesi
yang lebih rendah daripada anestesi spinal.

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 115


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tujuan : untuk membandingkan pengaruh anestesi umum dan anestesi spinal terhadap
anak yang dilahirkan oleh ibu dengan sectio caesaria karena preeklampsia berat.
Metode : merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian prospective
randomized control trial, kelompok penelitian dibagi menjadi dua (n:8), kelompok I
merupakan kelompok yang mendapat anestesi umum dengan pentothal dosis 5mg/bb dan
pelumpuh otot suksinilkholis dosis 1.5mg/bb
Kesimpulan : Apgar score pada kelompok anesthesi spinal lebih tinggi daripada
anestesi umum pada pasien sectio caesaria karena preeklampsia berat, tetapi secara
klinis berdasarkan kategori Apgar score kedua kelompok sama

Kata kunci : preeklampsia, Apgar score, anestesi spinal, sectio cesaria, hemodinamik

PENDAHULUAN penurunan perfusi uteroplasenta akibat


tindakan anestesi yang diberikan.
Kurang lebih 50.000 ibu meninggal
karena preeklampsia tiap tahun diseluruh Pada waktu yang lampau istilah hipertensi
dunia dan hipertensi pada kehamilan selama kehamilan masih membingungkan
menyebabkan 15%-20% kematian ibu namun demikian The National High Blood
dan kurang lebih 30% bayi yang Pressure Education Program Working
dilahirkan mengalami asfiksia selama Group telah merekomendasikan bahwa
persailinan dan IUFD (intrauterine fetal istilah hipertensi gestasional diganti
death sebesar 12% kematian perinatal dengan pregnancy-induced hypertension
terjadi karena asfiksia. Hipertensi untuk mendiskripsikan naiknya tekanan
merupakan penyebab ketiga kematian ibu darah disertai proteinuria. Setelah
di USA setelah tromboembolisme dan kehamilan 20 minggu dan dan kemudian
pendarahan.1,2 menurun pada post partum, sebanyak 25%
wanita dengan hipertensi gestasional akan
Sebuah penelitian yang dilakukan di
timbul proteinuria dan sindrom
Yogyakarta mendapatkan bahwa 1
preeklampsia.
preeklampsia akan meningkatkan resiko
terjadinya asfiksia berat sebesar 15 kali Preeklampsia merupakan sekumpulan
dibanding kehamilan normotensi, gejala yang terdiri dari hipertensi dan
sedangkan untuk terjadinya asfiksia proteinuria setelah kehamilan berumur 20
sedang meningkat 2,9 kali.3 minggu. lstilah eklampsia digunakan
bila sindrom preeklampsia melibatkan
Asfiksia terjadi bila pada saat neonatus
system saraf pusat sehingga berakibat
lahir mengalami gangguan gas dan
kejang. Istilah HELLP Syndrome
transport O2 sehingga menderita
digunakan pada preeklampsia dengan
kekurangan persediaan O2 dan kesulitan
hemolysis elevated liver enzymes, and low
mengeluarkan CO2. Salah satu penyebab
platelet meskipun kaitan antara
terjadinya asfiksia adalah adannya
preeklampsia dengan HELLP syndrome
tidak jelas 1,2,3

116 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Preeklampsia terjadi pada 5% sampai 9% didiagnosis preeklampsia menjalani sectio


dari semua kehamilan meskipun caesaria.2
prevalensi berbeda-beda ditiap Negara.
Beberapa pasien yang memerlukan
Di United States 7%-10% wanita
tindakan sectio caesaria tentunya
menderita preeklampsia, di Singapura
memerlukan penatalaksanaan anestesi.
0,13-6,6%, sedangkan di Indonesia 3,4-
Karena bahaya yang mungkin timbul
8,5% dan ini menyebabkan peningkatan
berkaitan dengan manajemen jalan napas
morbiditas dan mortalitas ibu dan
dan gejolak hemodinamik pada saat
neonatus . Antara tahun 1979 dan 1986
intubasi maka anestesi umum dipilih bila
insidensi preeklampsia rneningkat dari 2,4
ada kontra indikasi terhadap anestesi
per 1000 persalinan, menjadi 5,2 per
regional. Anestesi epidural digunakan
1.000 persalinan di USA. Pada
pada saat pasien dengan preeklampsia
penelitian terhadap 40.124 kelahiran
berat, meskipun anestesi spinal banyak
yang berkaitan dengan kematian ibu
dihindari berkaitan dengan resiko
setelah kehamilan 20 minggu di USA
hipotensinya namun dari beberapa
antara 1979 dan 1992. Telah dilaporkan
penelitian telah menunjukkan bahwa efek
bahwa rata-rata kematian ibu karena
anestesi spinal dan epidural terhadap
preeklampsia atau eklampsia adalah 1.5
hemodinamik sama. Perdebatan tentang
kematian dari 100.000 kelahiran hidup. 1,4
pengaruh anestesi umum dan anestesi
Sectio caesaria merupakan metode untuk spinal terhadap Apgar score adalah
melahirkan bayi melalui irisan pada sesuatu yang menarik. Beberapa penelitian
abdomen dan uterus. Asal mula nama ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
tidak jelas walaupun secara luas diyakini Apgar score pada keduanya namun pada
bahwa nama ini berasal dari nama Julius penelitian lainnya dikatakan bahwa
Caesar walaupun Julius Caesar tidak dengan anestesi umum akan menghasilkan
dilahirkan dengan metode ini. Mungkin Apgar score yang lebih rendah daripada
nama ini berasal dari peraturan yang anestesi spinal.
dahulu digunakan yaitu berdasar undang-
Telah dilakukan penelitian tingkat stress
undang Julius Caesar. Berdasarkan Center
hormone selama anestesi. Pada Kelompok
for Disease Control and Prevention
yang dilakukan anestesi umum,
(CDC) lebih dari 700.000 orang menjalani
adrenocorticotrophic hormone (ACTH)
sectio caesaria yang pertama dan 400.000
dan betaendorphin meningkat secara
wanita menjalani sectio caesaria berulang
bermakna pada saat insisi kulit, tetapi
tiap tahun. Jumlah total sectio caesaria
perubahan ini tidak terjadi pada anestesi
adalah 29% selama tahun 2004. Wanita
epidural. Epinefrin dan norepinefrin
dengan preeklampsia menunjukkan
plasma meningkat secara bermakna pada
peningkatan untuk dilakukan pengakhiran
saat insisi kulit untuk pasien dengan
kehamilan dengan sectio caesaria, dalam
anestesi umum sedangkan anestesi
satu penelitian didapat 83% yang
epidural perubahannya tidak bermakna.

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 117


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Anestesi regional yang digunakan dapat ibu, kombinasi dari hipoksemia dan
menggunakan anestesi epidural atau hipotensia.
anestesi spinal karena keduanya
METODE
menunjukkan efek hermodinamik yang
stabil dan tidak bermakna.1,5,6 Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental dengan desain penelitian
Pada wanita dengan preeklampsia,
prospective randomized control trial,
anestesi spinal mempunyai beberapa
kelompok penelitian dibagi menjadi dua
keuntungan yaitu menghindari kesulitan
sebagai berikut, Kelompok I mendapat
intubasi pada anestesi umum dan
anestesi umum, yang rnerupakan
mencegah gejolak intubasi, onset yang
kelompok kontrol, Kelompok II mendapat
cepat, lebih mudah dikerjakan, lebih
anestesi spinal.Tempat penelitian adalah
terpercaya jika dibandingkan dengan
instalasi bedah sentral dan ruang operasi
anestesi epidural, mempunyai resiko yang
UGD Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi
lebih kecil dalam menyebabkan trauma di
Semarang. Waktu penelitian adalah 4
ruang epidural sehingga menurunkan
bulan sejak usulan di setujui.
resiko hematom.1,5
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah
Pemeriksaan penunjang dan penilaian
pasien dengan preeklampsia berat yang
dalam penatalaksanaan asfiksia, dapat
akan menjalani SC, tidak ada riwayat
dilakukan dengan : pemantauan janin
alergi dengan obat-obat anestesi yang
(klinik dan kardiotokografi), analisis gas
akan diberikan, kehamilan aterm,
darah, USG kepala, Computed Tomografi,
sedangkan Kriteria eksklusi dari penelitian
MRI, EEG dan Apgar score.7
ini adalah pasien menolak untuk ikut
Apgar score merupakan metode untuk dalam penelitian, kontraindikasi untuk
melakukan penilaian terhadap bayi baru dilakukan anestesi umum atau anestesi
lahir secara cepat. Penilaian tersebut spinal, BMI > 35 kg/m2, mallampati > 2,
meliputi lima komponen yang dengan koagulasi yang abnormal, trombositopeni
mudah dpt dilakukan. Kelima komponen (trombosit 75 X 109/1), SIRS/Sepsis,
itu meliputi laju jantung, usaha bernapas, deformitas tulang belakang, kehamilan
tonus otot, refleks dan warna kulit, dan kembar, fetal distress, partus lama, bayi
reflek tergantung dari maturitas fisiologi preterm atau serotinus, penderita
bayi. Bayi preterm yang sehat tanpa diabetes mellitus, perdarahan antepartum
riwayat asfiksia mungkin saja mendapat dan perdarahan intrapartum, ruptur uteri.
score yang rendah karena imaturitasnya.
Jumlah sampel yang diperlukan untuk
Sejumlah faktor pada fetus dipengaruhi
penelitian ini adalah 16 sampel, yang
oleh penurunan konsentrasi oksigen yang
dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
dihirup oleh ibu, penurunan aliran darah
kelompok I (anestesi umum) dan
uterus, penurunan aliran darah umbilikus,
kelompok II (anestesi spinal), masing-
emboli uteroplasenta, pendarahan pada

118 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

masing kelompok berjumlah 8 sampel. Rerata (simpangan baku) umur kehamilan


Randomisasi dilakukan sebelum operasi. kelompok I dan kelompok II berturut-
Penderita dibagi menjadi dua kelompok, turut adalah 37,25 (1,58) minggu dan
yaitu kelompok I dan II. Kelompok II 38,00 (1,60) minggu, sehingga umur
mendapatkan anestesi spinal dengan kehamilan pada kedua kelompok berbeda
bupivakain 0,5% hiperbarik 12,5 mg, tidak bermakna (p=0,328). Umur
fentanil 25 ug. Sebelum diberikan anestesi kehamilan antara kelompok I dan II adalah
spinal diberikan pemberian koloid HES sama. Rerata (simpangan baku) kadar
6% dalam larutan berimbang sebanyak hemoglobin (Hb) kelompok I dan
500 ml, kelompok I mendapatkan anestesi kelompok II berturut-turut adalah 10,87
umum dengan pentothal 5% 5 mg/kg bb, (0,63) g% dan 11,16 (1,04) g%. Kadar Hb
suksinilkholin 1,5 mg/kgbb kemudian pada dua kelompok berbeda tidak
dilakukan intubasi 1 menit kemudian, bermakna (p=0,516), sehingga kadar Hb
analgetik diberikan tramadol 2mg/kgbb, pada kedua kelompok adalah sama.
rumatan anestesi dengan menggunakan
Rerata (simpangan baku) kadar gula darah
50% N2O dalam O2 dan 0,75-1,5%
sewaktu (GDS) kelompok I dan Kelompok
isoflurane. Setelah bayi lahir dilakukan
II berturut-turut adalah 103,50 (20,87)
penilaian Apgar score oleh dokter anak/
mg/dL dan 102,75 (8,88) mg/dL. Kadar
residen anak.
GDS antara kedua kelompok berbeda
Data yang terkumpul dibagi, menjadi tidak bermakna (p= 0,927), sehingga
dua kelompok. Yaitu kelompok I yang kadar GDS antara kedua kelompok
mendapatkan anestesi umum dan adalah sama. Demikian juga berdasarkan
kelompok II yang mendapatkan anestesi indikasi c=section kedua kelompok
spinal. Data-data tersebut meliputi data berbeda tidak bermakna (p=0,41),
demografi dasar, status obstetrik, umur sehingga berdasarkan indikasi sectio
kehamilan, hemoglobin ibu, gula darah caesaria kedua kelompok adalah sama.
sewaktu melahirkan, hemodinamik ibu,
Rerata (simpangan baku) waktu insisi-
berat badan bayi baru lahir dan Apgar
lahir kelompok I dan Kelompok II berturut
score.
-turut adalah 7,25 (0,46) menit dan 7,5
HASIL (0,93) menit. Kedua kelompok
menunjukkan adanya perbedaan yang
Pada Tabel 1, Rerata (simpangan baku)
tidak bermakna waktu insisi-lahir
umur ibu, kelompok I, kelompok II
(p=0,574), sehingga berdasarkan waktu
berturut-turut adalah 26,75 (7,09) tahun
insisi-lahir kedua kelompok adalah sama.
dan 29,63) tahun. Keadaan tersebut
Rerata (simpangan baku) berat bayi lahir
berbeda tidak bermakna antara kedua
kelompok I dan kelompok II berturut-
kelompok ( p= 0,408). Umur ibu pada
turut adalah 2869 (266) gram dan 2981
kedua kelompok sama.
(474) gram. Hasil uji beda menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang tidak

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 119


Jurnal Anestesiologi Indonesia

bermakna berat bayi lahir antara kedua Berdasarkan ketegori klinis Apgar score
kelompok (p=0,568). dikategorikan menjadi 3 yaitu Apgar score
0 – 3 (asfiksia berat), Apgar score 4 -6
Rerata (simpangan baku) waktu insisi-
(asfiksia ringan), Apgar score 7 – 10
lahir kelompok I dan Kelompok II berturut
(normal). Pada kelompok I menit ke – 1
-turut adalah 7,25 (0,46) menit dan 7,5
ada sampel yang masuk kategori asfiksia
(0,93) menit. Kedua kelompok
ringan sebanyak 3 sampel, sedangkan pada
menunjukkan adanya perbedaan yang
menit ke – 5 dan 10 semua sampel masuk
tidak bermakna waktu insisi-lahir
dalam kategori normal.
(p=0,574), sehingga berdasarkan waktu
insisi-lahir kedua kelompok adalah sama. Pada kelompok II semua sampel adalah
Rerata (simpangan baku) berat bayi lahir normal, baik pada menit ke – 1, menit ke –
kelompok I dan kelompok II berturut- 5, maupun menit ke – 10 . berdasarkan uji
turut adalah 2869 (266) gram dan 2981 beda terdapat perbedaan tidak bermakna
(474) gram. Hasil uji beda menunjukkan antara dua kelompok baik pada menit ke –
bahwa terdapat perbedaan yang tidak 1 (p = 0,234), menit ke - 5 (p = 1,00) dan
bermakna berat bayi lahir antara kedua menit ke – 10 (p = 1,00), sehingga
kelompok (p=0,568). Berat bayi lahir bedasarkan kategori klinis kedua
antara kedua kelompok adalah sama (tabel kelompok sama
2).
Hipotensi berdasarkan tekanan darah
Dari grafik 1 dapat dilihat pada kelompok sistolik menunjukkan bahwa semua
I hanya terdapat dua sampel (25%) dengn sampel kelompok I tidak ada yang
riwayat partus satu kali, sedangkan sisanya hipotensi sedangkan pada kelompok II
belum pernah melahirkan sebelumnya. terdapat dua sampel (25%) yang hipotensi
Sebaliknya pada kelompok II terdapat dan sisanya (75%) tidak hipotensi.
lima sampel (62,5%) dengan riwayat Sementara itu apabila hipotensi
partus satu kali, sedangkan sisanya belum berdasarkan MAP, maka terdapat seorang
pernah melahirkan sebelumnya. sampel (12,5%) dari kelompok I yang
bipotensi dan tiga sampel (37,5%) dari
Rerata (simpangan baku) Apgar score
kelompok II (grafik 2).
menit ke 1,5. 10 kelompok I dan
kelompok II berturut-turut adalah 7,00 Berdasarkan uji Fisher’s Exact
(1,07),7,88 (0,84), 9,00 (0,76) dan 8,63 menunjukkan bahwa kejadian hipotensi
(0,52), 9,50 (0,53),9,88(0,35). Terdapat berdasarkan tekanan darah sistolik dan
perbedaan bermakna Apgar score menit MAP pada kedua kelompok berbeda tidak
ke 1,5 dan 10 antara kelompok I dan II. bermakna (p=0,233) dan (p=0,285) kedua
Apgar score menit ke-1, 5,10 pada kelompok sama
kelompok II lebih tinggi daripada
PEMBAHASAN
kelompok I (tabel 3).
Perdebatan tentang anestesi spinal pada

120 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Umur, umur kehamilan, kadar Hb dan kadar GDS, indikasi sectio caesaria

Kelompok Perlakuan
Variabel Kelompok I Kelompok II P

Umur (tahun) 26,75 (7,09) 29,63(6,37) 0,4081


Umur Kehamilan (minggu) 37,25 (1,58) 38,00 (1,60) 0,3282
Kadar Hemoglobin (g%) 10,87 (0,63) 11,16 (1,04) 0,5161
Kadar GDS (mg/dL) 103,50 (20,87) 102,75 (8,88) 0,9271
Indikasi sectio caesaria
Panggul sempit 0 1 0,4113
Disproporsi kepala panggul 0 0
Malpresentasi 4 2
Partus tak maju 4 5

1
Keterangan: : independen t test
2
: mann whitney test
3
: chi-square test

Tabel 2. Waktu insisi- lahir dan berat bayi lahir

Variabel Kelompok perlakuan p


Kelompok I Kelompok II
Insisi-lahir (menit) 7,25 (0,46) 7,50 (0,93) 0,5742
Berat bayi lahir (gram) 2868 (266) 2981( 474) 0,5681

Ket :
1
= independent t test
2
= mann whitney test

Grafik 1. Distribusi frekuensi (dalam %) riwayat partus di antara kedua kelompok

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 121


Jurnal Anestesiologi Indonesia

preeklamasia berat saat ini telah plasenta menyebabkan disfungsi endothel


ditinggalkan. Penelitian yang telah sirkulasi ibu. Disfungsi endothel
dilaksanakan di Perancis pada tahun 2003 merupakan tanda awal preeklampsia dan
menunjukkan bahwa anestesi spinal pada hal ini merupakan penyebab dan bukan
pasien preeklampsia berat menunjukkan akibat dari ganggguan kehamilan.8
bahwa anestesi spinal pada pasien
Selama kehamilan normal terjadi
preeklampsia berat menunjukkan hipotensi
peningkatan aktivitas endothelial Nitric
yang lebih rendah daripada anesthesia
Oxide Synthase (NOS) dan
spinal pada pasien sectio caesaria tanpa
Cyclooxigenase (COX) dan peningkatan
preeklampsia. Resiko hipotensi enam kali
produksi nitric oxide (NO), prostacyclin
lebih rendah pada pasien dengan
(PG12), dan endothelium-derived
preeklampsia berat dari pada pasien tanpa
hyperpolarizing factor (EDHF). NO
preeklampsia.5
meningkatkan cGMP dan PG12
Ada dua hal yang mengatur tekanan darah Meningkatkan c GMP dan PG12
yaitu tonus vaskuler yang diperantarai meningkatkan cAMP pada otot polos,
oleh jalur simpatis dan jalur endothelial Ca2+ intraseluler mengalami penurunan
jalur simpatis menuju pembuluh darah dan miofilamen menjadi sensitif terhadap
berubah dengan tindakan anestesi spinal Ca2+. Demikian juga EDHF akan
pada pasien preeklampsia berat maupun membuka K+ channels, sehingga
pada pasien tanpa preeklampsia. Perhatian menyebabkan membran otot mengalami
tertuju pada jalur endothelial. Akibat hiperpolarisasi. hal ini menyebabkan
kegagalan invasi trophoblast relaksasi otot polos dan penurunan
menyebabkan penurunan perfusi utero tahanan perifer serta penurunan tekanan
plasenta. Plasenta wanita dengan arteri. Pada preeklampsia terjadi
preeklampsia menunjukkan adanya meningkatkan pelepasan sitokin plasenta
peningkatan frekuensi infark dan yang menghambat produksi endothelium-
perubahan morfologi karena adanya derived relaxing factor sehingga terjadi
proliferasi sitotrofoblast yang abnormal penurunan relaksasi otot polos. Sitokin
dan adanya peningkatan pembentukakan juga merangsang pelepasan endothelium-
syncytial knots. derived contracting factor seperti
endothelin-1 (ET-1) dan tromboksan A2
Endothelium vaskuler mempunyai
(TXA2) dan mengaktifkan renin-
beberapa fungsi penting termasuk
angiotensin system (RAS) di ginjal
mengontrol tonus vaskuler dengan
sehingga meningkatkan ANG II.
melepaskan beberapa zat yang bersifat
Endothelin-1, TXA2, dan ANG II
vasokonstriktor dan vasodilator dan
merangsang reseptor spesifik di otot polos
mengatur fungsi antikoagulasi, antiplatelet
sehingga meningkatkan Ca2+ intraseluler,
dan fibrinolisis. Hal ini menunjukkan
aktifitas protein kinase C (PKC) dan hal
bahwa pelepasan beberapa zat dari
ini menyebabkan kontraksi otot polos,
palsenta sebagai respon dari iskemia

122 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

dan meningkatkan tahanan perifer serta terutama pada operasi-operasi elektif.


tekanan arteri.8 Beberapa peneliti melaporkan bahwa tidak
ada perbedaan antara anestesi umum dan
Demikian juga penelitian di Thailand
anestesi regional namun beberapa peneliti
pada tahun 2005 telah membandingkan
melaporkan bahwa Apgar score yang
anestesi spinal dan anestesi epidural pada
rendah telah terjadi pada pasien sectio
preeklampsia, dari penelitian tersebut
caesaria dengan anestesi umum.10
didapatkan bahwa insidensi hipotensi pada
anestesi spinal lebih tingi daripada Sementara itu hasil pada penelitian ini
anestesi epidural namun durasi hipotensi menunjukkan bahwa Apgar score pada
pada kedua kelompok singkat. menit pertama dengan anesesi spinal
Penggunaan efedrin untuk mengatasi karena preeklampsia berat menunjukkan
hipotensi lebih banyak pada anestesi rerata yang lebih tinggi dan perbedaan
spinal namun demikian hipotensi yang rerata Apgar score antara anestesi umum
terjadi mudah untuk diatasi pada kedua dan menunjukkan perbedaan yang
kelompok. Bayi yang dilahirkan bermakna dengan p=0,007 (p<0,05),
kemudian dilakukan peniliaian dengan demikian juga pada menit kelima maupun
Apgar score maupun analisa gas darah menit kesepuluh Apgar score pada pasien
dari arteri umbilikus dan ternyata preeklamasia berat yang mendapatkan
keduanya sama pada kedua kelompok.9 anestesi spinal mempunyai rerata yang
lebih tinggi daripada anestesi umum dan
Perencanaan tindakan anestesi pada sectio
terdapat perbedaan yang bermakna antara
caesaria harus senantiasa memperhatikan
kedua kelompok berturut-turut didapatkan
keselamatan ibu maupun anak. Anestesi
nilai p=0,002 dan p=0,028 (p<0,05). Dari
umum maupun anestesi regional, termasuk
keseluruhan sampel penelitian didapatkan
anestesi spinal, epidural maupun combine
bahwa Apgar score > 7, sehingga kondisi
spinal epidural, dapat dilakukan pada
bayi yang dilahirkan semuanya masuk
pasien yang akan menjalani sectio
dalam kelompok yang sama yaitu
caesaria. Sebagian besar operasi sectio
kelompok normal. Hasil penelitian ini
caesaria yang dilakukan di Amerika
sesuai dengan penelitian sebelumya yang
Serikat menggunakan anestesi regional,
menyatakaan bahwa umumnya bayi yang
dan anestesi regional yang sering
dilahirkan oleh ibu dengan preeklampsia
digunakan adalah anestesi spinal.10
berat lahir pada saat aterm dengan berat
Pertanyaan mengenai seberapa besar badan yang normal, morbiditas dan
pengaruh anesesi umum dibandingkan mortalitas yang lebih kecil jika
anestesi regional terhadap Apgar score dibandingkan dengan literatur yang telah
bayi baru lahir merupakan satu hal yang ada sebelumnya. Apgar score merupakan
menarik, bahkan hal ini telah diteliti oleh metode yang sederhana dan mudah untuk
beberapa peneliti, dan umumnya diulang dalam menilai kondisi bayi yang
merupakan penelitian retrospektif baru dilahirkan secara cepat dan ringkas.

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 123


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 3. Apgar score

Kelompok Perlakuan P
Kelompok I Kelompok II
Apgar score menit ke-1 7,00 (1,07) 8,63 (0,52) 0,0072
Apgar score menit ke-5 7,88 (0,84) 9,50 (0,53) 0,0022
Apgar score menit ke 10 9,00(0,76) 9,88 (0,35) 0,0282

Ket :2 mann whitney test

Tabel 4. Perbedaan klinis Apgar score

Kategori Apgar score Kelompok Perlakuan P


Kelompok I Kelompok II
Menit ke – 1 Asfiksia berat 0 0 0,2342
Asfiksia ringan 3 0
Normal 5 8
Menit ke – 5 Asfiksia berat 0 0 12
Asfiksia ringan 0 0
Normal 8 8
Menit ke - 10 Asfiksia berat 0 0 12
Asfiksia ringan 0 0
Normal 8 8
Ket :2 mann whitney test

Grafik 2. Distribusi frekuensi (dalam 100%) riwayat hipotensi berdasarkan MAP diantara kedua kelompok

124 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tes Apgar bertujuan utuk menilai kondisi sementara sehingga dapat berakibat
fisiologis bayi secara cepat apakah bayi rendahnya Apgar score pada menit
tersebut segera memerlukan perawatan pertama. Sementara obat induksi yang lain
medis dan tidak untuk menilai kesehaan yaitu suksinikholin tidak menunjukkan
bayi dalam jangka panjang.11,12 adanya transfer plasenta kecuali dosis
yang diberikan lebih dari 300 mg. dari
Insidensi hipotensi lebih tinggi pada
penelitian analisis retrospektif
kelompok yang mendapat anestesi spinal
disimpulkan bahwa Apgar score pada
yaitu sebesar 37,5% dibanding kelompok
menit kelima merupakan prediktor yang
yang mendapatkan anestesi umum yaitu
valid untuk menilai resiko kematian bayi
sebesar 12,5%. Perbedaan insidensi
baru lahir. Apgar score pada menit kelima
hipotensi ini tidak berbeda bermakna antar
sampai 10 menit menunjukkan bahwa
kedua kelompok. Hasil penelitian ini
kondisi bayi normal, Apgar score 4,5,6
sesuai dengan hasil penelitian
(asfiksia ringan) biasanya memerlukan
Visalyaputra yang menyatakan bahwa
bantuan medis misalnya dapat diberikan
insidensi hipotensi pada preeklampsia
oksigen dan bantuan napas, sedangkan
yang diberikan anestesi spinal lebih tinggi.
Apgar score kurang dari 4 maka bayi
Walaupun insidensi hipotensinya lebih
tersebut memerlukan resusitasi.13
tinggi namun Apgar score pada kelompok
anesthesia spinal baik hal ini diduga Penelitian ini mempunyai keterbatasan
karena durasi hipotensinya hanya singkat, diantaranya adalah sampel penelitian yang
mudah dalam penatalaksanaanya serta kecil, sehingga perlu sampel yang lebih
bayi mempunyai mekanisme kompensasi besar agar diperoleh hasil yang lebih
untuk tetap mempertahankan kecukupan akurat. Disamping itu sectio caesaria
oksigennya yaitu dengan meningkatkan karena preeklampsia berat sebagian besar
laju nadi bayi sehingga anestesi spinal dikerjakan dalam status darurat (cito),
aman untuk diberikan pada ibu dengan maka untuk operator, dokter anestesi,
preeklampsia.6,9 maupun dokter anak sulit untuk
dikerjakan oleh tim yang sama karena
Nilai Apgar score yang rendah pada
disesuaikan dengan jadwal jaga masing-
menit pertama saja tidak menunjukkan
masing bagian, sehingga keterbatasan
hasil akhir dari bayi. Apgar score yang
diatas akan merupakan bias dalam
rendah pada menit pertama menunjukkan
penelitian ini.
bahwa bayi baru lahir memerlukan
perhatian medis tetapi bukan merupakan SIMPULAN
indikasi bahwa bayi tersebut akan
Apgar score bayi yang lahir dari pasien
mempunyai masalah kesehatan dalam
sectio caesaria karena preeklampsia berat
jangka panjang. Pada anestesi umum obat
pada kelompok anestesi spinal lebih
induksi yang digunakan dalam hal ini
thiopental dapat menyebabkan depresi
ringan aktivitas bayi yang sifatnya

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 125


Jurnal Anestesiologi Indonesia

tinggi daripada anestesi umum, tetapi 7. Chair I, Ensefalopati biopsies iskemikpada bayi
secara klinis berdasarkan kategori Apgar baru lahir. Dalam :reasy RK, Resnik R eds
Maternal Fetal Medicine. 3 rd ws, USA;WB
score kedua kelompok sama.
Saunders, 1994: 28
8. Khalil RA, Granger JP. Vascular mechanisms
DAFTAR PUSTAKA
of increased arterialpressure in
1. Gambling, RG, Hypertensive disorders. preeclampsia :lessons from animal medels.
In :Chesnut DH. Obstetric anesthesia Availale from URL : http://
principles and practice 3 rd . ed. Philadelphia : ajpregu.physiology.org/cegi/content/full/283/1/
Elsevier Mosby, 2004 :795-830 R29/BIBL
2. Hypertensive disorder in Pregnancy : 9. Visalyaputra S, Rondonant O, somboonvinoon
Anesthetic implication and management. W, Tantivitayatan K, Thientong S.
Available from :URL http ://www. SaengchoteW. Spinal versus
Freemedeme.com/eme/article.efm / epiduralanesthesisa for cesarean deligery in
mode=article full view & cme id=13 severa preeclamsia : a prospective
3. Hermatno. Factor Resiko asfiksi neonatorum di randomizedmultycenter study. Avialableform
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta; Bagian IKA FK URL :http: www.medscape.com/
UGM//RSUPdr. Sardjito; 1992 viewarticle/520775
4. Granger JP, Barbara TA, Llamas MT, Bennett 10. Khademis. The effect of anesthesia on apgar.
WA, Khalil RA Pathophysiology of Availabelform URL: Http://
hypertension during preeclampsia linking www.medscape.com/viearticle /520775
placental ischemia with endothelial 11. Bellis M. Apgar Scoring for Newborn.
dysfunction. Available from URL: http:// Available form UR:http//en. Wikipedia.org/
www.hyper.ahojourplas.org.egi/content/ wiki/Apghar score.
full/97/3/867 12. Nava F., Roblesn P., Padilla L. Neonatal
5. Aya GM, mangin R, Vialles N, Ferrer JM, Outcome in women with severe preeclamsia.
Robert C, Ripart J, Coussaye JE. Patients with Available from URL : http://
severe preeclampsia experience less www.imbiomed,com.mx/Inper/Prv12n4/
hypotension during spinal anesthesia for english/Zor84-01.html
elective cesarean delivery than healthy 13. American Academy of Pediatrics, Committee
parturient; A prospective cohort comparison. on Fetus and Newborn, American College of
Available from URL :http://www/aneshesia. Obstetricians and sGyanccologist and
Analgesia.org/egi/content/full/97/3/867 Committec on Obstetric Practice. The apgar
6. MacArhur A, Anesthesia for severe score.available from URL :http://aapopolicy.
hypertensive disease of pregnancy and ischemic Aappublications . org/cgi/content/full/
heart from URL :http://www.anesthesia pediatrics;1174/1444
analgesia.org/egi/reprint/101/3/862.

126 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN
Perbedaan Jumlah Bakteri Trakhea pada Tindakan Oral Hygiene
Menggunakan Chlorhexidine dan Povidone Iodine pada Penderita dengan
Ventilator Mekanik
Fitri Hapsari Dewi*, Jat i List iyanto Pujo**, Ery Leksana**
* Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD dr. Moewardi/ FK UNS Surakarta
** Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUP dr. Kariadi / FK UNDIP Semarang

ABSTRACT
Background: pneumonia is a nosocomial infection that often occurs. Pneumonia can be
caused by bacterial colonization in the trachea due to aspiration of upper respiratory
tract bacteria. Oral hygiene in the upper respiratory tract can decrease the number of
bacteria.
Objective: To find the differences in decrease in the number of tracheal bacteria with
oral hygiene chlorhexidine 0.2% and povidone iodine 1% on patients with mechanical
ventilator.
Methods: A randomized clinical control trial study on 30 patients with mechanical venti-
lator. Patients were divided into 2 groups (n=15), group 1 using chlorhexidine 0.2% and
group 2 using povidone iodine 1%. Each group was given oral hygiene every 12 hours for
48 hours. Each group was taken of tracheal secretions before and after treatment, for
later examination counting the number and types of bacteria. Statistics using the Wil-
coxon test and Mann-Whitney test (with degrees of significance <0.05).
Results: This study found a decrease the number of bacteria trachea in chlorhexidine
group 78.99 ± 69.105 (significant difference p=0.04) more than in the povidone iodine
group 24.91 ± 104.764 (not significantly different p=0.75). While the comparative differ-
ence in the two groups of test results obtained p=0144 (not significantly different).
Conclusion: The decrease in the number of tracheal bacteria on oral hygiene with chlor-
hexidine 0.2% was not different from povidone iodine 1%

Keywords: chlorhexidine 0.2%, povidone iodine 1%, the number of tracheal bacteria,
oral hygiene, mechanical ventilator.

ABSTRAK
Latar belakang: Pneumonia merupakan infeksi nosokomial yang sering terjadi. Pneumo-
nia dapat disebabkan karena kolonisasi bakteri di trakhea karena aspirasi bakteri salu-
ran nafas atas. Tindakan oral hygiene pada saluran nafas atas dapat menurunkan jumlah
bakteri.
Tujuan: Untuk mengetahui adanya perbedaan penurunan jumlah bakteri trakhea pada
tindakan oral hygiene dengan chlorhexidine 0,2% dan povidone iodine 1% pada
penderita dengan ventilator mekanik.
Metode: Merupakan penelitian randomized clinical control trial pada 30 penderita den-
gan ventilator mekanik. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok (n=15), kelompok 1 meng-
gunakan chlorhexidine 0,2% dan kelompok 2 menggunakan povidone iodine 1%. Masing-
masing kelompok diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama 48 jam. Tiap kelompok
diambil sekret dari trakhea sebelum dan setelah perlakuan, untuk kemudian dilakukan

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 127


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pemeriksaan hitung jumlah dan jenis bakteri. Uji statistik menggunakan Wilcoxon dan
Mann-Whitney test ( dengan derajat kemaknaan < 0,05 ).
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan penurunan jumlah bakteri trakhea pada kelompok
chlorhexidine sebesar 78,99±69,105 ( berbeda bermakna p=0,04 ) lebih banyak bila
dibandingkan pada kelompok povidone iodine 24,91±104,764 ( berbeda tidak bermakna
p=0,75). Sedangkan pada uji selisih komparatif dua kelompok didapatkan hasil berbeda
tidak bermakna ( p=0.144 ).
Simpulan: Penurunan jumlah bakteri trakhea pada tindakan oral hygiene dengan chlor-
hexidine 0,2% tidak berbeda bermakna dengan povidone iodine 1%

Kata kunci: chlorhexidine 0,2%, povidone iodine 1%, jumlah bakteri trakhea, oral hy-
giene, ventilator mekanik.

PENDAHULUAN diawali dengan adanya aspirasi makro atau


mikro dari sekret terinfeksi yang berasal
Infeksi nosokomial merupakan salah satu
dari saluran nafas atas. Berbagai
penyebab morbiditas dan mortalitas di
organisme ini kemudian dapat
rumah sakit.1 Infeksi nosokomial yang
memperbanyak jalan masuk dan kemudian
disebabkan oleh pneumonia bakteri
membentuk jumlah bakteri seperti biofilm
disebabkan karena adanya kolonisasi
yang secara cepat dapat melapisi
bakteri di trakhea. Pneumonia bakteri
permukaan bagian dalam dari pipa
karena infeksi nosokomial yang terjadi
trakhea. Hal ini seringkali diikuti dengan
setelah dua hari pemakaian ventilator
jumlah bakteri organisme patogen di
mekanik disebut dengan pneumonia terkait
trakhea.5
ventilator/ventilator associated pneumonia
(VAP), kejadian ini merupakan infeksi Pembersihan sekret di saluran nafas atau
nosokomial yang sering didapatkan di higienitas saluran nafas merupakan proses
ICU.2 fisiologis normal yang diperlukan untuk
menjaga patensi saluran nafas dan
Pasien yang terintubasi memiliki
mencegah terjadinya infeksi saluran nafas.
kemungkinan mengalami pneumonia lebih
Oleh karena itu, perawatan pasien – pasien
tinggi 21% dibandingkan dengan yang
yang terintubasi meliputi pengisapan
tidak mendapatkan saluran nafas buatan.3
trakhea untuk mempermudah pembuangan
Pneumonia yang didapat di rumah sakit
hasil – hasil sekresi saluran nafas.5
merupakan penyakit infeksi saluran nafas
bawah yang didahului dengan adanya Dekontaminasi oral dapat dilakukan
jumlah bakteri atau infeksi saluran nafas dengan antiseptik oral seperti
atas. Aspirasi bakteri dari saluran chlorhexidine glukonat atau povidone
pencernaan atas merupakan penyebab iodine.6,7 Chlorhexidine glukonat dapat
penting terjadinya kolonisasi bakteri di menurunkan tingkat kejadian pneumonia
trakhea.4 nosokomial pada pasien – pasien dengan
sakit kritis. Penggunaan chlorhexidine
Pneumonia yang didapat di rumah sakit
glukonat secara bilasan oral sebanyak dua

128 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

kali sehari dapat menurunkan tingkat dengan ventilator mekanik. Kriteria


kejadian infeksi saluran nafas sebesar eksklusi meliputi alergi atau terdapat
69%.5 kontraindikasi terhadap obat yang
digunakan, keganasan, mengidap HIV,
Faktor resiko kejadian pneumonia adalah
dan penggunaan kortikosteroid dalam
jumlah bakteri pada orofaring oleh bakteri
jangka lama. Penelitan ini menggunakan
patogen potensial seperti Staphylococcus
sampel 15 orang untuk masing-masing
aureus, Streptococcus pneumonia atau
kelompok, sehingga total sampel adalah
bakteri gram negatif.8,9,10 Trakhea dan
30. Keluarga penderita diberikan
selang endotrakhea secara cepat menjadi
penjelasan tentang hal-hal yang akan
tempat jumlah bakteri pada pasien dengan
dilakukan, serta bersedia untuk mengikuti
sakit kritis, kultur dari sputum atau
penelitian dan mengisi formulir informed
aspirasi trakhea merupakan cara yang
consent.
dapat digunakan untuk mengetahui jumlah
dan jenis mikroorganismenya.5 Pada kelompok 1 diberikan chlorhexidine
0,2% sebanyak 25 ml setiap 12 jam. Pada
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
kelompok 2 diberikan povidone iodine 1%
mengetahui adakah perbedaan jumlah
sebanyak 25 ml setiap 12 jam. Hasil kultur
bakteri trachea pada tindakan oral hygiene
sekret trakhea dihitung jumlah bakteri
menggunakan chlorhexidine 0,2% bila
setelah 48 jam dengan 4 kali perlakuan.
dibandingkan dengan povidone iodine 1%
yang diberikan pada penderita dengan Hasil analisis disajikan dalam bentuk
ventilator mekanik. grafik Box Plot. Analisis analitik akan
dilakukan untuk menguji hasil kultur
METODE
mikrobiologi pada kedua kelompok
Penelitian ini merupakan penelitian perlakuan dengan uji non parametrik
dengan bentuk rancangan randomized Mann Whitney,Wilcoxon. Semua uji
clinical control trial. Pengukuran analitik menggunakan α=0,05. Semua
dilakukan pada awal dan akhir perlakuan. perhitungan statistik menggunakan
Kelompok 1 chlorhexidine 0,2% sebagai perangkat lunak Statitiscal Package for
oral hygiene pada penderita dengan Social Science (SPSS) 15.
ventilator mekanik. Kelompok 2 povidone
HASIL
iodine 1% sebagai oral hygiene pada
penderita dengan ventilator mekanik di Telah dilakukan penelitian pada 30 pasien
ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang pada yang memenuhi kriteria inklusi dan
bulan Februari hingga April 2011. Peneliti ekslusi tertentu. Penderita dibagi menjadi
tidak mengetahui penderita karena urutan dua kelompok, yaitu kelompok (1)
penderita berdasarkan undian terhadap 2 chlorhexidine yang mendapatkan
kelompok secara acak. chlorhexidine 0,2% dan kelompok (2)
povidone iodine yang mendapatkan
Kriteria inklusi yaitu pasien dewasa

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 129


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik Umum Subyek Penelitian

No Variabel Chlorhexidine Povidone iodine p

1. Umur 49,47±16,128 48,20±13,718 0,917*

2. Jenis kelamin 15(26,7-23,3) 15 (23,3-26,7) 0,133**

Tabel 2. Jumlah bakteri trakhea masing-masing kelompok

Chlorhexidine 0,2% Povidone iodine 1%


Variabel Post
Pre (mean±SD) Post (mean±SD) Pre (mean±SD)
(mean±SD)
Jumlah 181.853±107.0
198.827±121.192 119.833±113.915 206.767±123.021
bakteri 38

Tabel 3. Uji normalitas masing-masing kelompok


P

Variabel Chlorhexidine 0,2% Povidone Iodine 1%

Pre Post Pre Post


Jumlah Bakteri 0,002 0,014 0,001 0,068

Tabel 4. Uji pre dan post masing-masing kelompok


Chlorhexidine 0,2% Povidone iodine 1%
Pre 198.827±121.192 206.767±123.021
Post 119.833±113.915 181.853±107.038
p 0,004 0,75

130 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

povidone iodine 1%, kedua kelompok Berdasarkan uji normalitas data


diberikan oral hygiene tiap 12 jam selama sebagaimana terlihat pada Tabel 3, jumlah
48 jam. Karakteristik subyek penelitian bakteri trakhea pada pemberian
ditampilkan pada Tabel 1. chlorhexidine 0,2% maupun povidone
iodine 1% didapatkan distribusi tidak
Uji normalitas Shapiro-Wilk digambarkan
normal (p < 0,05), maka untuk masing-
pada tabel di atas, dimana karakteristik
masing kelompok penelitian digunakan
umum umur pada kelompok chlorhexidine
Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil analisis
memiliki distribusi yang normal (p >
masing-masing kelompok disajikan dalam
0,05), sedangkan kelompok povidone
Tabel 4.
iodine memiliki distribusi tidak normal (p
< 0,05) sehingga untuk uji homogenitas Tabel 4 menunjukkan jumlah bakteri
diperlukan Mann Whitney U test. trakhea pada kelompok chlorhexidine
Karakteristik jenis kelamin dengan skala 0,2% sebelum perlakuan 198.827±121.192
nominal digunakan uji kai-kuadrat (x2). dan setelah perlakuan119.833±113.915
Hasilnya didapatkan data homogen (p > yang berarti mengalami penurunan sebesar
0,05) dari semua variabel. 78,99±69,105. Pada kelompok povidone
iodine 1% jumlah bakteri trakhea sebelum
Jumlah bakteri trakhea yang diambil
perlakuan 206.767±123.021 dan setelah
sebelum dan sesudah mendapat perlakuan
perlakuan 181.853±107.038 yang berarti
pada masing-masing kelompok subyek
mengalami penurunan sebesar
penelitian ditampilkan dalam Tabel 2.
24,91±104,764.

20
300

200
Selisih jumlah kuman

100

-100

-200

CHLORHEXIDINE POVIDONE IODINE


Kelompok

Grafik 1. Perbandingan jumlah bakteri trakhea dari kedua kelompok perlakuan

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 131


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Hasil uji statistik yang dilakukan dengan povidone iodine dapat menurunkan angka
menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test, kejadian bakterimia pada pasien dengan
perubahan jumlah bakteri trakhea pada resiko tinggi infeksi dengan memberikan
kelompok chlorhexidine menunjukkan cairan povidone iodine secara rutin pada
perubahan yang bermakna (p<0,05). sulkus ginggiva.
Sedangkan jumlah bakteri trakhea pada
Penelitian yang dilakukan ini adalah
kelompok povidone iodine menunjukkan
membandingkan jumlah kuman antara
perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05).
pemberian oral hygiene chloerhexidine
Pada analisis komparatif antar kelompok 0,2% dengan povidone iodine 1% pada
digunakan Mann Whitney U-test. Hasil penderita dengan ventilator mekanik.
analisis disajikan dalam boxplot Grafik Sebelumnya belum pernah ada yang
1.Pada analisis komparatif antar membandingkan antara keduanya terhadap
kelompok, didapatkan penurunan jumlah jumlah bakteri trakhea. Pada hasil
bakteri trakhea pada kelompok penelitian ini digunakan 30 subyek
chlorhexidine 0,2% dibandingkan penelitian dengan karakteristik yang telah
kelompok povidone iodine 1% dengan diseleksi melalui kriteria inklusi dan
perbedaan tidak bermakna (p > 0,05). eksklusi didapatkan 30 penderita dengan
karakteristik umur, jenis kelamin yang
PEMBAHASAN
tidak berbeda bermakna (p>0,05) sehingga
Antiseptik atau antimikroba pada dosis layak dibandingkan.
terapi, seperti chlorhexidine dan colistin,
Hasil analisis uji Wilcoxon pada kedua
dapat menjadi alternatif untuk
kelompok secara terpisah menunjukkan
dekontaminasi orofaring. Chlorhexidine
bahwa jumlah bakteri trakhea sebelum dan
memiliki spektrum luas untuk
sesudah perlakuan berbeda bermakna pada
mikroorganisme gram positif dan
6
kelompok chlorhexidine (p=0,004) dan
mikroorganisme gram negatif.
tidak berbeda bermakna pada kelompok
Penggunaan chlorhexidine glukonat 0,12% povidone iodine (p=0,075). Sedangkan
secara bilasan oral sebanyak dua kali selisih jumlah bakteri trakhea antara kedua
sehari dapat menurunkan tingkat kejadian kelompok dianalisis dengan uji komparatif
infeksi saluran nafas sebesar 69% dan Mann-Whitney, dengan hasil menunjukkan
menurunkan penggunaan antibiotik tidak berbeda bermakna (p=0,144).
sebesar 43% tanpa mempengaruhi pola
Kelompok chlorhexidine menunjukkan
resistensi antibiotik. Pengaruh terbesar
penurunan jumlah bakteri bermakna secara
didapatkan pada pasien – pasien yang
statistik. Hasil ini sesuai dengan penelitian
telah diintubasi selama lebih dari 24 jam
Mirelle Koeman yang menyatakan bahwa
dimana pasien – pasien ini memiliki
terdapat penurunan jumlah kolonisasi di
derajat jumlah bakteri bakteri terbesar.5,
trakhea pada penderita dengan ventilator
Penelitian Rahn, dikatakan bahwa mekanik yang diberi chlorhexidine selama

132 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012


Jurnal Anestesiologi Indonesia

48 jam perlakuan.6 dengan cara mempersingkat pengiriman


serta langsung dilakukan pemeriksaan saat
Kelompok povidone iodine menunjukkan
sampel diterima petugas.
penurunan jumlah bakteri tidak bermakna
secara statistik. Penelitian ini sesuai SIMPULAN
dengan penelitian Joel Chua, yang
Terdapat penurunan jumlah bakteri
meneliti povidone iodine 1% yang
trakhea pada kelompok chlorhexidine
diberikan terhadap penderita dengan
secara bermakna, terdapat penurunan
ventilator mekanik terhadap angka
jumlah bakteri trakhea pada kelompok
kejadian VAP yang dinilai secara klinis
povidone iodine secara tidak bermakna,
bermakna tetapi tidak bermakna secara
serta terdapat penurunan jumlah bakteri
statistik11.
trakhea pada kelompok chlorhexidine
Meskipun didapatkan hasil tidak berbeda dibandingkan kelompok povidone iodine
bermakna pada uji komparatif kedua secara tidak bermakna.
kelompok, akan tetapi chlorhexidine lebih
Sebaiknya chlorhexidine 0,2% digunakan
efektif menurunkan jumlah bakteri trakhea
sebagai oral hygiene terpilih pada
dibanding dengan povidone iodine. Hal ini
penderita dengan ventilator mekanik
dilihat dari penurunan jumlah bakteri
dibandingkan povidone iodine 1%.
trakhea sebelum dan sesudah perlakuan
pada kelompok chlorhexidine sebesar DAFTAR PUSTAKA
78,99±69,105 (p=0,004), sedangkan pada
kelompok povidone iodine sebesar 1. Hunter JD. Ventilator associated pneumonia.
Postgraduate medical journal 2006; 82 (965):
24,91±104,764 (p=0,075).
172-78. Available from : http// pmj.bmj.com/
content/82/965/172.full
Lebih efektifnya chlorhexidine dalam
2. Kohl BA, Hanson CW. Critical care protocols.
menurunkan jumlah bakteri dibandingkan In: Miller RD, editor. Miller’s anesthesia 7th ed.
dengan povidone iodine mungkin America: Elsevier, 2010;Vol 2:23-87.
disebabkan oleh sifat chlorhexidine yang 3. Chan EY, Ruest A, Meade M, Cook DJ. Oral
memiliki broad spectrum yang luas, decontamination for prevention of pneumonia
in mechanically ventilated adults: systematic
aktivitas antibakterinya lebih cepat,
review and meta-analysis. BMJ 2007;334:889.
absorbsinya minimal, aktivitas dalam Available from : http//www.medscape.com/
darah baik, dan memiliki efek residu. viewarticle/707833_4
4. Wiryana M. Ventilator associated pneumonia.
Kekurangan pada penelitian ini adalah Jurnal penyakit dalam 2007 ; 8(3):254-69.
ketidakmampuan peneliti dalam Available from : http // ejournal.unud.ac.id/.../
mengontrol waktu antara pengambilan ventilator%20associated%20pneumonia
5. Jelic S, Cunningham JA, Factor P. Clinical
sampel di ICU, pengiriman, serta
review:airway hygiene in the intensive care
pemeriksaan sampel di laboratorium unit. Critical care 2008;12:209. Available
mikrobiologi klinik. Peneliti telah from : http// www.ncbi.nlm.nih.gov › Journal
berusaha meminimalkan kekurangan List › Crit Care › v.12(2); 2008
6. Koeman M, Hak F, Ramsay G, Joore,

Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012 133


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kaasjager K, Hans, et al. Oral decontamination 9. Panchabhai TS, Dangayach NS, Khrisnan A,
with chlorhexidine reduces the incidence of Kothari VM, Karnad DR.Oropharyngeal
ventilator-associated pneumonia. American cleansing with 0,2% chlorhexidine for
journal of respiratory and critical care medicine prevention of nosocomial pneumonia in critical
2006; 173 : 1348-1355. Available from: http // care patients. Chest 2008;135:1116-1118.
ajrccm.atsjournals.org/cgi/content/ Available from:http//
short/173/12/1348 chestjournal.chestpubs.org/content/135/5/1150.
7. Ogata J, Minami K, Miyamoto H, Horishita T, 10. Morgan G E, Mikhail M S. Critical care.
Ogawa M, Sata T, et al. Gargling with povidone In :Morgan GE, ed. Clinical Anesthesiology.4th
-iodine reduces the transport of bacteria during ed. Connecticut , Appleton and Lange; 2006.
oral intubation. Can j anaesth 2004;51(9):932- 11. Joel V, Chua MD, Eleanor A, Dominguez MD,
6. Available from : http// pubget.com/ Cherrie M, Sisson MD, et al. The efficacy of
paper/15525622 povidone-iodine oral rinse in preventing
8. Genuit T, Mccarter RJ, Roghman MC, ventilator-associated pneumonia: A randomized
Bochichio G, Napolitano LM. Prophylactic double-blind, placebo-controlled (VAPOR)
chlorhexidine oral rinse decrease ventilator- trial: preliminary report . J mikrobiol infect dis
associated pneumonia in surgical ICU patients. 2004;33(4):153-161. Available from : http //
Surgical infection 2001;2:1-14. Available www.psmid.org.ph/vol33/
from:http// www.ncbi.nlm.nih.gov/ vol33num4topic153.pdf
pubmed/12594876

134 Volume IV, Nomor 2, Tahun 2012

Anda mungkin juga menyukai