Anda di halaman 1dari 30

REFLECTIVE PRACTICE

DI RUANG PICU RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO

SAMMY LAZUARDI GINANJAR


P1337420922004

PROGRAM STUDI PROFESI NERS KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN SEMARANG
POLTEKKES KEMENKES SEMARANG
2022
REFLECTIVE PRACTICE 1
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 12 Desember 2022 saat dinas hari pertama di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang, saya mendapatkan shift pagi dan dijelaskan bahwa setiap pagi
dilakukan oral hygiene pada seluruh pasien baik terutama yang menggunakan ETT on
Ventilator. Hal ini untuk mencegah terjadinya VAP (Ventilator Associated Pneumonia).
2. Feelings:
Bagaimana prinsip dan hal-hal yang perlu diperhatikan agar oral hygiene yang kita
lakukan itu benar-benar bisa mencegah VAP.
3. Evaluation:
Saya klarifikasi pada perawat bagaimana prosedur oral hygiene yang tepat terutama
dalam penggunaan suction untuk membersihkan ETT. Perawat menjelaskan bahwa dalam
prosedur suction juga dilakukan harus dari dalam selang ETT dulu baru pada area sekitar
mulut untuk mencegah terjadinya infeksi. Perlu adanya urutan pembersihan yang tepat
agar kebersihan mulut pasien terjaga.
4. Analysis:
Menurut (Yuniandita & Hudiyawati, 2020) bahwa Ventilator Associated Pneumonia
(VAP) merupakan salah satu HAIs atau infeksi nosokomial yang sering ditemukan di
Rumah Sakit dan merupakan suatu infeksi pneumonia yang terjadi setelah 48 jam
pemakaian ventilator mekanis baik pipa endotracheal maupun tracheostomy. Kejadian
VAP di rumah sakit terutama di ICU dapat diminimalkan dengan suatu protap tindakan
yaitu VAP bundle. Prosedur dalam VAP bundle care diantaranya mengangkat kepala
tempat tidur (meminimalkan mikro respirasi), penghentian sedasi harian dan penilaian
kesiapan untuk ekstubasi (mengurangi lama tinggal), profilaksis ulkus peptikum
(meminimalkan komplikasi), profilaksis thrombo-emboli vena, serta perawatan mulut
dengan klorheksidin. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah melakukan cuci tangan 6
langkah, memposisikan tempat tidur 30°-45° bila tidak ada kontra indikasi, menjaga
kebersihan mulut atau oral hygiene dan melakukan gosok gigi setiap 12 jam, manajemen
sekresi oroparingeal dan tracheal, pengkajian sedasi dan ekstubasi, memberikan
profilaksis peptic ulcer disease, dan profilaksis Deep Vein Troombosis (DVT).
5. Conclusion:
Perlu diperhatikan dalam pelaksanaan oral hygiene di sini dijelaskan oral hygiene
sebaiknya dilakukan tiap 12 jam untuk menjaga keefektifan kebersihan oral pasien. Ini
perlu menjadi pertimbangan perawat ruangan untuk mengatur jadwal oral hygiene dan
hal-hal untuk pencegahan VAP.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut kedepan adalah mengingat hal-hal yang harus diperhatikan
dalam merawat pasien kritis yang terpasang ETT dan ventilator untuk mencegah
terjadinya VAP.

Sumber:
Yuniandita, N., & Hudiyawati, D. (2020). Prosedur Pencegahan Terjadinya Ventilator
Associated neumonia (VAP) di Ruang Intensive Care Unit (ICU): A Literature Review.
Jurnal Berita Ilmu Keperawatan, 13(1), 62–74.
http://journals.ums.ac.id/index.php/BIK/article/view/11604
REFLECTIVE PRACTICE 2
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 12 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang, saya membantu perawat ruangan dalam melakukan tindakan
suction pada Tn. R dengan dx medis CKB susp SDH.
2. Feelings:
Saya sudah pernah melakukan suction pada pasien dengan ventilator dan mengetahui
mengenai bundle pencegahan VAP pada pasien-pasien yang terpasang ventilator. Namun
saya belum terlalu paham mengenai perbedaan open dan close suction pada pasien yang
menggunakan ETT on Ventilator
3. Evaluation:
Tn. R mengalami penurunan kesadaran, GCS E2M4VEtt, hipersekresi jalan nafas +
ditandai dengan suara nafas tambahan ronkhi dan gurgling. RR mengikuti settingan
ventilator yaitu 12x/menit. Saturasi berada sekitar 96 – 99 %. Dilakukan suction sebagai
salah satu pencegahan terjadinya VAP pada pasien-pasien yang menggunakan ventilator.
4. Analysis:
Ada dua jenis atau model hisap lendir yang sering dikenal, yakni model terbuka (open
suction) dan tertutup (closed suction). Model sistem hisap terbuka dilakukan dengan cara
melepas sambungan antara selang ventilator dengan pipa endotrakeal. Pada model sistem
hisap tertutup dilakukan sebaliknya, yakni tanpa melepas sambungan antara selang
ventilator dan pipa endoktrakeal sehingga oksigen tetap adekuat dan dapat meminimalkan
resiko infeksi (Santoso & Utami, 2018).
Efek open suction dan close suction terhadap kejadian Ventilator Associated
Pneumonia yaitu menurut (Ardehali et al., 2020) hasilnya mengungkapkan bahwa jenis
pemakaian hisap endotrakeal sistem (OSST vs. CSST) tidak berpengaruh pada
pengembangan hasil VAP. Kejadian VAP dapat dikurangi dengan menggunakan aseptic
tindakan pencegahan berdasarkan tanda dan gejala, serta penggunaan pedoman yang
benar di kedua sistem hisap. Lalu efek dari open suction dan close suction terhadap
indeks hemodinamik menurut (Siyasari et al., 2018) hasilnya adalah tidak ada perbedaan
statistik yang signifikan antara dua metode suction terbuka dan tertutup, mengenai
pengaruhnya terhadap indeks hemodinamik pasien yang terkena penyakit paru obstruktif
kronik. Berdasarkan kelebihan yang ditawarkan, beberapa penelitian lebih memilih
menggunakan metode suction tertutup untuk memiliki indeks hemodinamik pasien yang
lebih persisten.
5. Conclusion:
Dapat disimpulkan bahwa open suction prinsip kerjanya dengan melepas sambungan
antara selang ventilator dengan pipa endotrakeal dan closes suction prinsip kerjanya tanpa
melepas sambungan antara selang ventilator dan pipa endoktrakeal. Penggunaan open
suction maupun close suction memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing asalkan
penggunaannya sesuai dengan pedoman atau SOP yang benar maka dapat mencegah
kejadian VAP atau adanya gangguan pada area pernapasan pasien.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut adalah saya akan menerapkan tindakan suction sesuai standar
operasional prosedur agar pasien terhindar dari VAP khususnya bagi pasien yang
terpasang ventilator di ruang ICU.

Sumber :
Ardehali, S. H., Fatemi, A., Rezaei, S. F., Forouzanfar, M. M., & Zolghadr, Z. (2020).
The Effects of Open and Closed Suction Methods on Occurrence of Ventilator
Associated Pneumonia; a Comparative Study. Archives of Academic Emergency
Medicine, 8(1), 1–6. https://doi.org/10.22037/aaem.v8i1.411
Santoso, T., & Utami, R. S. (2018). Efektivitas Model Suction Terbuka dan Tertutup
Terhadap Kejadian Pneumonia Pada Pasien Yang Terpasang Ventilator Mekanik
(VAP): Systematic Review. Journal of Health, 5(2), 62–66.
Siyasari, A., Rahnama, M., Shahrakimoghadam, E., & Abdollahimohammad, A. (2018).
Comparing the effect of tracheal tube suction using open and closed methods on
hemodynamic indexes of COPD patients under mechanical ventilation. Medical
Science, 22(94), 539–543.
REFLECTIVE PRACTICE 3
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 13 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang saya melakukan pemberian susu melalui NGT atau jalur enteral
tiap 4 jam pada pasien Ny. S dengan dx. medis CKD, DM, dan HT. Pasien mengalami
penurunan kesadaran somnolen dengan nilai GCS E2M4V2 sehingga tidak mampu
memenuhi kebutuhan nutrisinya secara langsung melalui oral. Pemberian susu sejumlah
dosis 100 cc tiap 4 jamnya secara gravity drip dengan catheter tip.
2. Feelings:
Hampir setiap harinya pemberian susu dilakukan kepada pasien-pasien yang
terpasang NGT. Ada beberapa hal tentunya yang perlu diperhatikan dalam memberikan
nutrisi susu melalui NGT kepada pasien yang mengalami penurunan kesadaran seperti ini
di mana tidak bisa berespon seperti protes atau mengeluh jika susu yang diberikan
misalnya kurang atau terlalu banyak atau bahkan bilasan air terlalu sedikit atau kurang
sehingga membuat perut penuh.
3. Evaluation:
Hal terpenting yang harus diperhatikan sebelum memberikan susu pada pasien adalah
memeriksa residu lambung apakah berwarna hijau, kehitaman atau terdapat hambatan
dalam aliran NGT. Dosis pemberian susu diperhatikan sesuai dengan advis dari ahli gizi.
4. Analysis:
Pemberian nutrisi melalui NGT dengan metode gravity drip diberikan secara gravitasi
bumi dengan menggunakan chateter tip atau spuit 50 cc. Metode ini memang sangat
tergolong murah karena alat yang digunakannya cukup sederhana, hanya membutuhkan
gelas ukur, kateter tip dan selang NGT tetapi dampaknya, pengosongan lambung menjadi
lebih lama karena waktu pemberian yang terlalu cepat sehingga penundaan nutrisi
berikutnya sering terjadi sebagai akibat volume residu lambung yang masih banyak
sehingga hari rawat menjadi panjang. Volume makanan yang banyak dalam lambung juga
akan memperlambat motilitas lambung juga membuat isi lambung menjadi asam,
sehingga akan membuat pasien merasa ingin muntah dan dapat menyebabkan
melemahnya gerakan lambung yang sering didapati yaitu gangguan pada otot dan saraf,
gangguan aliran darah ke lambung. Pemberian makan sesuai gravitasi dilakukan di atas
ketinggian lambung dan kecepatan pemberian ditentukan oleh gravitasi. Sebelum
memberikan nutrisi dengan metode tersebut dilakukan penarikan residu yaitu untuk
mengetahui volume residu lambung tersebut banyak atau tidak, ketika ditarik keluar
cairan yang berwarna hijau atau hitam maka nutrisi tersebut tidak diberikan, apabila
sebaliknya kalau yang keluar cairan bersih dan tidak banyak maka nutrisi diberikan
dengan cara gravitasi, dilakukan diatas ketinggian lambung dan kecepatan pemberian
ditentukan oleh gravitasi tersebut. Waktu yang diperlukan untuk memberikan nutrisi
dengan metode gravity drip yaitu selama 5-10 menit (Hutagaol & Hamidi, 2020)
5. Conclusion:
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian nutrisi melalui NGT khususnya secara
gravity drip yang diterapkan ruangan ini adalah pemeriksaan residu lambung. Apabila
residu lambung berwarna hitam menandakan perdarahan pada daerah saluran penceraan
atas atau kondisi luka pada daerah lambung sehingga pemberian susu tidak
diperbolehkan. Jika residu lambung cukup banyak dan berwarna hitam maka dapat
dialirkan saja menggunakan bag.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut ketika memberikan nutrisi melalui NGT adalah memperhatikan
residu volume lambung sebelum memasukkan susu dan memperhatikan volume nutrisi
berupa dosis serta air pembilasan.

Sumber :
Hutagaol, R., & Hamidi, N. S. (2020). Efektifitas Pemberian Nutrisi Enteral Metode
Intermittent Feeding dan Gravity Drip Terhadap Volume Residu Lambung pada Pasien
Kritis di Ruangan ICU Aulia Hospital Pekanbaru. Jurnal Kesehatan Tambusai, 1(4), 24–
33.
REFLECTIVE PRACTICE 4
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 14 Desember 2022 saat shift siang di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang saya melakukan cek GDS pukul 16.00 pada pasien-pasien yang
telah diprogramkan dan nilai gula darah Tn. A dengan dx medis dyspneu, hiperglikemi
dan pneumonia diatas nilai normal kurang lebih 286 mg/dl. Perawat memberikan insulin
kepada saya untuk diinjeksikan secara SC pada Tn. A dengan dosis 8 unit setelah GDS
diperiksa.
2. Feelings:
Saya terpikir bagaimana dosis insulin ini ditentukan. Kemudian saya teringat
mengenai sliding scale pemberian insulin di mana merupakan metode insulin kerja
pendek yang digunakan dan diberikan dengan peningkatan dosis secara progresif yang
disesuaikan dengan kadar glukosa darah. Terdapat panduan tersendiri berupa tabel untuk
kadar glukosa darah berapa akan diberi insulin dosis berapa.
3. Evaluation:
Perawat mengatakan memang benar dalam penatalaksanaan secara kerja pendek dan
cepat menurunkan kadar glukosa darah adalah dengan metode sliding scale seperti yang
baru saja dilakukan dengan pemberian secara cepat obat injeksi insulin 8 unit.
4. Analysis:
Metode insulin sliding scale tergantung pada kebutuhan insulin harian yang secara
luas digunakan sebagai pengendalian kadar glukosa darah pasien dengan DM tipe 2. Jenis
insulin yang biasanya pada metode sliding scale adalah regular insulin atau insulin kerja
cepat. Pemberian dengan insulin sliding scale diberikan untuk segera mendapatkan dosis
insulin yang sesuai dengan kebutuhan pasien serta mencapai target glukosa darah
sesegera mungkin. Terdapat tabel standar sebagai pedoman dalam penatalaksanaan
pemberian insulin dengan metode sliding scale. (Manullang et al., 2022)
5. Conclusion:
Pemberian insulin dengan sliding scale dapat dilakukan dengan berpedoman pada
tabel acuan sesuai kadar dan dosisnya agar terjadi penurunan kadar glukosa darah yang
signifikan.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut ke depan ketika saya menemui kasus yang sama maka saya
mencoba mengingat perbandingan jumlah besar kadar gula darah dan berapa dosis insulin
yang diberikan untuk diterapkan ke pasien.

Sumber:
Manullang, A. M., Wiiedyaningsih, C., & Probosuseno. (2022). Pengaruh Insulin Sliding
Scale terhadap Episode Hipoglikemia dan Hiperglikemia Pasien DM Tipe 2 RSA UGM.
Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(8), 13696–13702.
REFLECTIVE PRACTICE 5
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 15 Desember 2022 saat shift siang di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Kota Semarang, saya memberikan terapi nebulizer pada Ny. Y dengan dx
medis AF, CHD, Hiponatremi dan Bronkopneumonia sesuai dengan program yang
diberikan dokter yaitu nebul/8 jam.
2. Feelings:
Ny. Y terpasang NRM dengan oksigen 15 lpm. Ny. Y sedikit kurang koorperatif saat
hendak diberikan terapi nebul. Saya mencoba meyakinkan ybs agar mau dilakukan terapi
nebul demi kebaikan beliau.
3. Evaluation:
Ny. Y tampak sesak dengan RR 34x/menit, sulit dikaji nilai SPO2 (tidak terdeteksi),
tampak terbatuk-batuk namun sulit mengeluarkan dahak.
4. Analysis:
Nebulisasi yaitu proses pembentukan aerosol dengan cara melewatkan suatu gas
diatas cairan. Aerosol merupakan suspensi berbentuk padat atau cair dalam bentuk gas
tujuan untuk menghantarkan obat ke target organ dengan efek samping minimal
dengan keamanan dan efektifitas yang tinggi. Pemberian terapi inhalasi yaitu tehnik yang
dilakukan dengan pemberian uap dengan menggunakan obat Ventolin 1 ampul dan
Flexotide 1 ampul. Obat Ventolin adalah obat yang digunakan untuk membantu
mengencerkan sekret yang diberikan dengan cara diuap dan Flexotide digunakan untuk
mengencerkan sekret yang terdapat dalam bronkus (Astuti & Diniyah, 2019)
5. Conclusion:
Terapi nebul penting diberikan pada pasien dengan bersihan jalan nafas tidak efektif
karena dapat membantu mengencerkan sekret sehingga mudah keluar sehingga
membebaskan jalan nafas.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut adalah melakukan terapi nebul sesuai dengan program dari
dokter
Sumber:
Astuti, W. T., & Diniyah, N. (2019). Penerapan terapi inhalasi nebulizer untuk
mengatasi bersihan jalan napas pada pasien brokopneumonia. Jurnal Keperawatan
Karya Bhakti, 5(2), 7-13.

7.
REFLECTIVE PRACTICE 6
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 15 Desember 2022 saat shift siang di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Kota Semarang dilakukan pemasangan OPA pada Tn. C dengan dx medis
Stemi Posterior, ALO dan inpending gagal nafas. Pasien terpasang ETT on ventilator.
Pasien selalu menggigit ETT sehingga alarm ventilator berbunyi dan saturasi pasien
menurun hingga 70% akibat terhambatnya jalan nafas, sehingga dipasang OPA agar
pasien tidak menggigit ETT.
2. Feelings:
Saya merasa sangat sulit memasang OPA pada Tn. C karena ybs tidak mau membuka
mulutnya, terus mengatupkan giginya dan menggigit ETT. Setelah terpasang dan
diplester, ybs mampu mengeluarkan OPA menggunakan lidahnya sehingga pemasangan
OPA perlu dilakukan berkali-kali.
3. Evaluation:
Teknik pemasangan OPA yaitu dari arah palatum lalu diputar searah 1800 dengan
memastikan lidah tidak tertekuk. Teknik pemasangan dalam memutar OPA boleh ke arah
kiri atau kanan asal dengan metode terbalik yaitu OPA menghadap ke palatum lalu
diputar 1800 ke arah bawah.
4. Analysis:
Saya mencari referensi lainnya mengenai teknik pemasangan OPA dan hal yang perlu
diperhatikan selama pemasangan. Didapat data bahwa dalam penempatan optimal OPA
digambarkan sebagai posisi jalan napas distal sedekat mungkin dengan epiglottis. Ukuran
yang tepat ditentukan oleh jarak dari gigi seri depan ke sudut mandibula. Ukuran yang
terlalu kecil kurang efektif dalam mencegah lidah menyumbat jalan napas dan ukuran
yang terlalu besar akan menempatkan pasien pada peningkatan risiko terjadinya spasme
laring atau kerusakan struktur laring. Teknik pemasangan OPA dengan memutar 180 0
tidak dilakukan pada infant karena dapat melukai jaringan lunak di orofaring.
Pemasangan Oropharyngeal Airway (OPA) yang kurang tepat justru dapat menyumbat
jalan napas, hal ini terjadi apabila OPA mendorong lidah ke tenggorokan.
5. Conclusion:
Dalam pemasangan OPA perlu diperhatikan ukuran sesuai usia pasien dan teknik
pemasangannya sesuai usia juga. Hal ini untuk mencegah pemasangan OPA yang terlalu
besar atau terlalu kecil dan teknik putar yang bisa dilakukan dikhususkan pada orang
dewasa. Jika memasang OPA pada infant dilakukan dengan bantuan tongue spatel tanpa
teknik memutar terbalik.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut ke depan adalah selalu mengingat teknik pemasangan OPA dan
tentunya memahami ukuran yang sesuai dengan kondisi dan besar mulut pasien.

Sumber:
Gusti, V., & Vaghadia, H. (2021). Hybrid Nasopharyngeal and Oropharyngeal Airway for
Improving Upper Airway and Capnography in Sedated Patients. Canadian Journal of
Emergency Medicine, 23(3), 416–417. https://doi.org/10.1007/s43678-021-00090-2
REFLECTIVE PRACTICE 7
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 16 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang, dilakukan pengambilan sampel darah arteri untuk pemeriksaan
analisis gas darah pasien Ny. K dengan dx medis neuropati, BRPN susp TB,
Hiperurisemia dan Glaukoma karena atas advis dokter diperlukan pemeriksaan untuk
menilai respons pengobatan dan evaluasi diagnostik (terapi oksigen invasive maupun
non-invasive) dan untuk monitoring keparahan dan perkembangan penyakit dari Ny. K
2. Feelings:
Kesadaran pasien sopor dengan GCS E1M3VEtt. Pengambilan darah arteri tidak bisa
dilakukan di tangan karena telah banyak bekas suntikan sehingga yang dipilih untuk
pengambilan darah arteri adalah paha/
3. Evaluation:
Aternatif yaitu di daerah femoralis karena pengambilan darah arteri tidak harus ada di
tangan. Pengambilan darah arteri menggunakan spuit khusus AGD 5 cc di arteri femoralis
dekat dengan lipatan selangkang. Darah dapat terambil dengan baik.
4. Analysis:
Artikel dari (Fathana et al., 2021) menjelaskan bahwa pemeriksaan analisa gas darah
(AGD) adalah pemeriksaan yang bertujuan mengukur fungsi primer paru dan
keseimbangan asam basa dalam darah. Pemeriksaan Analisa gas darah (AGD) adalah
pemeriksaan yang bertujuan mengukur fungsi primer paru dan keseimbangan asam basa
dalam darah. Fungsi primer paru terutama digambarkan dengan PaO2 dan PaCO2
sedangkan keseimbangan asam basa digambarkan dengan pH darah. Indikasi dilakukan
pemeriksaan AGD ialah untuk melakukan penilaian terhadap adekuasi ventilasi (PaCO2),
asam basa darah (pH dan PCO2), status oksigenasi (PaO2, SaO2) serta kapasitas angkut
oksigen darah PaO2, HbO2). Pemeriksaan AGD juga diindikasikan untuk menilai respons
pengobatan dan evaluasi diagnostik (terapi oksigen invasive maupun non invasive) dan
untuk monitoring keparahan dan perkembangan penyakit. Pemeriksaan AGD terutama
dilakukan pada pasien-pasien yang mengalami masalah kesehatan pada organ paru,
gangguan metabolisme, ganguan ginjal maupun infeksi berat. Area penusukan
pengambilan darah arteri yaitu arteri radialis posisi jarum 45°, arteri brakhialis posisi
jarum 60°, pada arteri femoralis posisi jarum 90°. Perlu diketahui bahwa arteri ditusuk,
tekanan arteri akan mendorong penghisap spuit sehingga darah dengan mudah akan
mengisi spuit, tetapi kadang kadang darah tidak langsung keluar. Kalau terpaksa dapat
menghisapnya secara perlahan-lahan untuk mencegah hemolisis.
5. Conclusion:
Perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pengambilan darah arteri untuk analisis gas
darah. Perlu memahami perbedaan antara area pengambilan darah arteri dan vena karena
fungsi dan tujuan pemeriksaan berbeda. Perawat juga harus bisa dalam menganalisis hasil
AGD dengan indikator memahami nilai normal PCO2, HCO3, pH untuk menentukan
kondisi asidosis maupun alkalosis.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut kedepan adalah saya akan mencari lagi referensi serta
klarifikasi dari perawat maupun dokter tentang pemilihan pembuluh darah arteri yang pas
untuk menghindari area tusukan berulang agar tidak menyakiti pasien, mengingat lokasi
area tusukan dan prosedur yang perlu diperhatikan dalam menusukan arteri.

Sumber:
Fathana, P. B., Rahmadona, D., & Affarah, W. S. (2021). Pelatihan Tekhnik Pengambilan,
Penanganan Dan Transportasi Sampel Darah Arteri Untuk Pemeriksaan Analisa Gas
Darah Pada Tenaga Kesehatan di RS Universitas Mataram. Seminar Nasional
Pengabdian Kepada Masyarakat Tahun 2021 LPPM, 3(1), 27–33.
REFLECTIVE PRACTICE 8
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 17 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang, saya membantu perawat mengganti balutan Tn. A dengan dx
medis post amputasi kaki kanan H+3, gas gangrene, DM, anemia dan hipoalbumin.
2. Feelings:
Saya melihat kondisi luka post amputasi yang sepertinya tidak terlalu bagus karena
pasien mengalami hipoalbumin sehingga luka tampak basah. Terpasang selang drainage
dari luka amputasi sebanyak 2 buah dan cairan produksi dari luka post op di tampung dan
di observasi setiap shift.
3. Evaluation:
Saat dilakukan perawatan luka, bau yang dikeluarkan tidak sedap. Saat luka ditekan
keluar cairan berwarna hijau dan merah melalui selang drainage. Perawat menggunakan
kassa dan NaCl untuk membersihkan luka post amputasi sambil dipijat dan dikeluarkan
cairannya. Setalah itu, luka ditutup menggunakan dressing modern yaitu supratul untuk
membantu mempercepat penyembuhan luka sebelum dibalut menggunakan kassa biasa.
4. Analysis:
Metode perawatan luka dengan dressing berupa kassa dan larutan NaCl 0,9 % dinilai
kurang efektif sebab sifat NaCl 0,9% yang akan menguap sehingga kassa menjadi kering
dan menempel pada luka. Modern dressing merupakan bahan non-adesif yang mampu
menyerap eksudat baik sedikit, sedang, hingga jumlah eksudat yang banyak. Modern
dressing dapat mempertahankan moisture balance pada luka sehingga membantu
mengurangi rasa nyeri tiap pergantian balutan, membantu sel-sel untuk beregenerasi,
tidak merusak jaringan yang yang baru, dan memungkinkan neutrofil dan makrofag untuk
bermigrasi dengan lebih baik sehingga luka dapat sembuh secara optimal.Selain itu,
faktor yang dapat dimodifikasi dan memiliki peran dalam kesembuhan luka perlu
ditingkatkan seperti manajemen nutrisi dan pengontrolan kadar gula darah. Diet rendah
karbohidrat, pembatasan kalori, peningkatan protein dan albumin dan kontrol energi dapat
meningkatkan kontrol glikemik dan menurunkan faktor risiko komplikasi pada pasien
DM. Kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan kekentalan darah yang tinggi
sehingga menjadi media yang baik bagi perkembangbiakan mikroorganisme anaerob.
Kondisi psikologis seperti beban pikiran dan stress selama pengobatan diabetes dan
perawatan luka yang panjang ikut mempengaruhi proses kesembuhan luka karena
mempengaruhi sistem imun. Sehingga manajemen stres perlu dilakukan selama masa
pengobatan dan perawatan luka berlangsung
5. Conclusion:
Berdasarkan telusur materi dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang dapat
mempecepat penyembuhan luka, selain dari teknik perawatan luka yang baik.
Hipoalbuminemia merupakan faktor utama dalam penyembuhan luka pada pasien DM
sehingga manajemen nutrisi sangat diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan
luka dengan tujuan koreksi albumin dan mengontrol kadar gula. Selain itu, manajemen
stress perlu dilakukan untuk membantu proses penyembuhan luka.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut ke depan dalam menghadapi pasien DM dengan luka gangrene
adalah melakukan teknik perawatan luka dengan prinsip aseptic untuk mencegah
terjadinya komplikasi infeksi, edukasi mengenai manajemen nutrisi dan manajemen
stress.

Sumber:
Andin Fellyta Primadani - Proses Penyembuhan Luka Kaki Diabetik Dengan Perawatan Luka
Metode Moist Wound Healing. Proses Ners Muda, Vol 2 No 1, April 2021/ page 9-16 15
REFLECTIVE PRACTICE 9
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 17 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang, terdapat pasien baru Tn. S dengan dx medis Stemi Posterior
dan Syok Kardiogenik, terpasang ETT on Ventilator, KU sakit berat, GCS E1M3VEtt
Sopor. Pasien tampak gelisah dan menggigit selang ETT sehingga alarm ventilator sering
berbunyi. Saya ingin mengkaji nyeri yang pasien rasakan namun pasien tidak bisa
memberikan data subjektif secara langsung.
2. Feelings:
Saya berpikir mengenai pengkajian nyeri pada pasien kritis dengan penurunan
kesadaran mengingat pasien tidak bisa berespon secara verbal untuk menjelaskan
keluhannya. Pengkajian PQRST tidak dapat diterapkan disini karena bersifat subjektif
3. Evaluation:
Pada pasien kritis, pengkajian nyeri menggunakan instrumen CPOT. Saya klarifikasi
ke perawat mengenai pengkajian nyeri CPOT dan penerapannya seperti apa dan
mendapat penjelasan bahwa pengkajian nyeri CPOT itu berfokus dalam respon pasien
secara objektif.
4. Analysis:
Menurut (Apriani., dkk, 2018) menjelaskan bahwa indikator pengkajian instrumen
CPOT terdiri dari ekspresi wajah, gerakan tubuh, keteraturan terhadap Ventilator untuk
pasien yang terintubasi, vokalisasi nyeri untuk pasien yang terekstubasi dan ketegangan
otot. Indikator tersebut dapat dikatakan sudah mewakili gambaran ekpresi rasa nyeri yang
mereka rasakan walaupun mereka tidak dapat mengungkapkan secara verbal, namun
perawat yang mengkaji nyeri pasien dapat menangkap pesan yang di sampaikan pasien
melalui perilaku dalam bentuk indikator pengkajian instrumen CPOT tersebut. Instrumen
CPOT tidak akan menimbulkan persamaan persepsi pada saat dilakukan pengkajian nyeri
walaupun pengkajian dikerjakan oleh orang yang berbeda di karenakan indikator berupa
perilaku yang menggambarkan rasa nyeri yang dirasakan oleh pasien penurunan
kesadaran dan pasien yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal.
5. Conclusion:
Berdasarkan telusur materi dan analisa data dari klarifikasi perawat maka perlu
diperhatikan dalam skor penentuan pengkajian nyeri CPOT. Perlu mengingat indikator
pengkajian nyeri CPOT untuk kata kuncinya adalah ekspresi wajah 0= santai, 1= tegang,
2= meringis. Gerakan tubuh 0= tidak ada Gerakan, 1= ada Gerakan perlindungan, 2=
gelisah. Kepatuhan ventilator (intubasi) 0= toleransi, 1= batuk tapi masih toleransi, 2=
melawan ventilasi. Vokalisasi (ekstubasi) 0= berbicara nada normal atau tanpa suara, 1=
menghela napas, 2= menangis. Ketegangan otot 0= santai, 1= tegang kaku, 2= sangat
tegang.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut ke depan adalah menerapkan pengkajian nyeri CPOT pada
pasien kritis untuk menilai tingkat nyeri sehingga ketika didapatkan nilai nyeri sedang
atau berat dapat segera diintervensi dengan terapi farmakologi atau nonfarmakologi.

Sumber:
Apriani, A., Agustinah, R., & Hafifah, I. (2018). Pengkajian Nyeri CPOT dan Wong Bekker
Pasien Penurunan Kesadaran. Dunia Keperawatan: Jurnal Keperawatan dan
Kesehatan, 6(1), 34-40
REFLECTIVE PRACTICE 10
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 19 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang dilakukan pemasangan NGT kepada pasien Tn. A dengan post
laparotomy eksplorasi, colostomy H+1 susp TB usus. Hari sebelumnya pasien sudah
terpasang NGT namun pasien menarik selangnya sampai lepas.
2. Feelings:
Tn. A cukup koorperatif dalam pemasangan NGT, tidak banyak bergerak sehingga
NGT mudah masuk. Saat selang NGT sudah mencapai lambung keluar cairan hijau
kekuningan sehingga NGT dialirkan ke bag.
3. Evaluation:
Saya bertanya kepada perawat apakah boleh pada pasien yang mengalami curiga
fraktur basis cranii itu dilakukan pemasangan NGT. Saya mendapat penjelasan bahwa
pasien dengan penurunan kesadaran somnolen yang secara umum tidak mampu
memenuhi kebutuhan nutrisi makannya lewat oral terutama pasien yang terpasang ETT
dan ventilator, maka pemasangan NGT boleh dilaksanakan asal sesuai dengan standar
operasional prosedur dan lebih berhati-hati untuk menghindari komplikasi yang dapat
terjadi.
4. Analysis:
Saya menemukan beberapa artikel yang membahas tentang standar operasional
pemasangan NGT serta indikasi dan kontraindikasi yang perlu diperhatikan. Berdasarkan
artikel dari (Friska, 2019) yang membahas kasus pasien yang mengalami cedera kepala
dan terdapat beberapa tanda klinis fraktur basis cranii di antaranya adanya cairan likour
yang keluar dari hidung (rinorea) dan raccoon eyes. Di kasus tersebut terapi parental
pemberian nutrisi menggunakan OGT. Dikarenakan penggunaan NGT pada pasien yang
dicurigai adanya fraktur basis cranii dapat meningkatkan risiko peningkatan intrakranial.
Menurut (Kresnawati, 2013) komplikasi dari NGT di antaranya yaitu dapat terjadi
malposisi NGT, epistaksis, trauma pada mukosa, pneumonia aspirasi, hipoksemia dan
pneumothorak. Kontraindikasi NGT di antaranya kontraindikasi absolut seperti sumbatan
jalan napas, riwayat konsumsi bahan alkali, riwayat konsumsi hidrokarbon, fraktur wajah
dengan cribriform plate injury, luka penetrasi di leher, diverkulum zenker, atresia koana,
striktur esofagus. Serta kontraindikasi relatif seperti koagulopati berat, setelah operasi
orofaringeal, operasi hidung maupun operasi lambung. Komplikasi dari pemasangan
NGT ini dapat dicegah bila pasien koperatif, diposisikan secara benar, serta persiapan
peosedur dilakukan dengan baik serta observasi yang tepat selama prosedur dilakukan
dan memastikan posisi pipa sudah tepat. Selain itu teknik melepaskan pipa yang benar
juga dapat mengurangi terjadinya komplikasi.
5. Conclusion:
Pemasangan NGT memang perlu memerhatikan prinsip, teknik, indikasi dan
kontraindikasi tindakan.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut kedepan adalah saya akan mencari referensi lain dan klarifikasi
dari perawat maupun dokter mengenai standar prosedur operasional dalam melakukan
suatu tindakan dengan memerhatikan prinsip, indikasi, dan kontraindikasi. Hal ini untuk
menghindari adanya pelanggaran atau mal praktik keperawatan.

Sumber:
Friska, N. (2019). Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Edema Serebri pada Cedera Kepala
Traumatik. Artikel Penyegaran, 7(1), 36–42.
Kresnawati, I. G. A. M. D. (2013). Komplikasi Pemasangan Pipa Nasogastrik dan
Penanganannya. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Denpasar, 1–13. https://doi.org/10.1016/S1010-6030(02)00024-2
REFLECTIVE PRACTICE 11
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 19 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang dilakukan pemasangan infus kepada pasien Tn. A dengan post
laparotomy eksplorasi, colostomy H+1 susp TB usus. Hari sebelumnya pasien sudah
terpasang infus namun dilepas oleh ybs dan area bengkak infus bengkak. Tangan yang
mengalami pembengkakan ketika dipasang infus harus segera dilepas agar tidak
menyebabkan phlebitis.
2. Feelings:
Pemasangan infus dilakukan dikaki untuk mencegah dicabut kembali oleh pasien dan
lengan bagian kiri dan kanan sudah terpasang infus. Infus dapat terpasang dengan baik
dan ringer lactat dengan dosis 20 tetes/menit masuk ke intravena.
3. Evaluation
Tidak semua pasien mudah ditemukan pembuluh darah venanya. Tidak semua sekali
penusukan langsung keluar darah intravena, terkadang harus beberapa kali penusukan
pada area berbeda untuk menemukan intravena yang tepat. Ini menjadi tantangan
tersendiri bagi perawat dalam melakukan pemasangan infus. Hal ini juga dapat
menjadikan bahan evaluasi agar menjaga kondisi intravena agar tidak terjadi komplikasi
phlebitis di mana berupa inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun
mekanik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan
pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena.
4. Analysis
Saya menemukan penjelasan tambahan berupa artikel dari (Nurman & Sutompul,
2019) yang membahas bahwa phlebitis merupakan peradangan pada daerah pembuluh
darah vena yang disebabkan oleh iritasi kimia atau mekanik. Hal ini ditandai dengan
adanya nyeri, kemerahan pada sekitar pemasangan infus dan edema atau pembengkakan
didaerah penusukan. Adapun faktor penyebab phlebitis diantaranya adalah usia, status
gizi, keadaan vena, stress, faktor jenis penyakit, jenis bahan kateter, tempat pemilihan
insersi, jenis dan ukuran kateter, jenis penutup tempat penusukan (dressing), teknis insersi
atau penusukan, sterilitas perawatan terapi intravena, jenis cairan intravena, obat
parenteral dan frekuensi perawatan terapi intravena, lama waktu pemasangan infus.
Akibat yang ditimbulkan karena terjadinya phlebitis pada pasien adalah menambah lama
rawat pasien di RS / length of stay (LOS), menambah lama terapi, menambah biaya
pengobatan pasien, dilakukan pemasangan infus lagi di tempat lain karena tempat
sebelumnya bengkak dan meningkatkan tanggung jawab perawat serta dapat
menyebabkan pasien mendapatkan resiko masalah kesehatan lain seperti gangguan
sirkulasi darah ke jantung dan terjadinya emboli.
5. Conclusion
Perlu diperhatikan dalam pemasangan infus dan observasi setelah pemasangan infus
untuk menghindari kejadian phlebitis.
6. Action Plan
Rencana tindak lanjut ke depan saya akan mengingat cara melakukan pemasangan
infus baik dalam segi cara penusukan, lokasi penusukan, dan kondisi kulit setelah
dilakukan penusukan. Mampu mengetahui dan mengingat tanda-tanda terjadinya
phlebitis.

Sumber:
Nurman, M., & Sutompul, N. yanti. (2019). Hubungan Tindakan Pemasangan Infus Oleh
Perawat Dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien Di Ruang Rawat Inap Aulia Hospital
Pekanbaru. Jurnal Ners, 3(23), 118–125.
REFLECTIVE PRACTICE 12
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 19 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang saya mengganti kateter pada Tn. R Post Craniotomy H+6
2. Feelings:
Saya pernah memasang kateter urin dan saya merasa memasang kateter pada pria
lebih mudah dibandingkan pada wanita.
3. Evaluation:
Saat dipasang Tn. R meringis kesakitan. Saat selang kateter sudah masuk seluruhnya
urin langusng keluar dan kateter langsung dikunci dengan memasukkan aquabides 20cc
pada balon kateter.
4. Analysis:
Dalam pemasangan chateter diharapkan dapat memperhatikan pemeliharaan sistem
drainase tertutup dan pemeliharaan aliran urin yang lancar, mengkaji penggunaan kateter
urin, sistim gravitasi dalam sistim drainase dan pencegahan aliran balik urine, sehingga
pastikan bahwa urine bag selalu berada pada posisi lebih rendah dari uretra dengan
mengikatkannya pada tempat tidur dan tidak terletak dilantai serta hindari terjadi
tekukan pada saluran kateter urine (Waluyo, 2020).
5. Conclusion:
Perlu diperhatikan bahwa prinsip pemasangan kateter adalah steril untuk mencegah
terjadinya infeksi saluran kemih pada pasien.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut ke depan adalah saya akan lebih memperhatikan kembali
prinsip steril saat pemasangan kateter untuk mencegah terjadi komplikasi yang dapat
membahayakan pasien

Sumber:
Waluyo. (2020). Pencegahan Catheter Assosiate Urinary Tractus Infectioon Melalui Chateter
Maintance. JPK. Vol. 11. No. 3
REFLECTIVE PRACTICE 13
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 19 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro Semarang pada pukul 11.00 WIB dilakukan intubasi kepada pasien Tn. S
dengan dx medis Nstemi, Hipoglikemia dan Selulitis karena mengalami penurunan
kesadaran yaitu Sopor GCS E2M3V1 dan sesak nafas dengan RR 40x/menit walau sudah
menggunakan NRM dengan 15lpm dengan saturasi oksigen berada di kisaran 80%.
Intubasi akan dilakukan perawat dan dokter.
2. Feelings:
Proses intubasi dilakukan atas indikasi pasien yang mengalami penurunan kesadaran
dan tidak adekuat usaha untuk napas spontan. Alat yang dipersiapkan oleh para perawat
cukup banyak seperti persiapan set ventilator, ETT, OPA, laryngoscope, bag valve mask
dan lain-lain
3. Evaluation:
Saya membantu persiapan alat namun hanya observasi saat mulai pemasangan alat
karena saya belum terbiasa dan belum terlalu hapal dengan urutan langkah intubasi.
4. Analysis:
Artikel dari (Poluan et al., 2018) menjelaskan bahwa intubasi adalah suatu prosedur
pemberian napas buatan untuk membantu nyawa seseorang secara krusial. Indikasi
dilakukannya intubasi terhadap pasien salah satunya ialah faktor penurunan kesadaran
yakni dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) <9. Intubasi dan ventilasi mekanik dapat
menyebabkan seseorang 6-21 kali lipat cenderung terkena pneumonia yang disebut
ventilator associated pneumonia (VAP). Tindakan intubasi yang dilakukan lebih lama
yakni >48 jam akan memiliki risiko kematian lebih besar dibandingkan dengan tindakan
intubasi lebih cepat yakni <48 jam. Menurut (Lubis, 2021) menjelaskan bahwa
laringoskopi dan intubasi endotrakeal merangsang respons stres hemodinamik, salah
satunya dengan merangsang peningkatan katekolamin yang berujung pada keadaan
takikardi dan hipertensi. Teknik intubasi yang benar harus menerapkan yaitu persiapan
yang meliputi persiapan pasien dan alat, posisi, preoksigenasi, premedikasi, intubasi dan
konfirmasi, dan manajemen pasca intubasi. Untuk prosedurnya secara umum yaitu
preoksigenasi, premedikasi, proteksi dan posisi, intubasi, serta konfirmasi. Komplikasi
dari tindakan intubasi endotrakeal pada kondisi emergensi, antara lain cardiac arrest,
hipotensi, hipoksemia, regurgitasi, dan beberapa komplikasi kecil lainnya, misalnya
intubasi bronkial, trauma gigi dan bibir, trauma jalan nafas dan reaksi alergi.
5. Conclusion:
Perlu diperhatikan dalam pelaksanaan urutan melakukan intubasi, kesiapan dan
kelengkapan alat, waktu, dan teknik intubasi. Diperhatikan juga mengenai komplikasi
yang dapat timbul pasca intubasi sehingga dapat menerapkan manajemen pasca intubasi
dengan baik.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut ke depan adalah saya akan mencari referensi lainnya dan
klarifikasi dari perawat maupun dokter mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
melakukan intubasi karena ini merupakan prosedur invasif yang mengancam nyawa
pasien. Dilakukan harus cepat dan tepat mulai dari persiapan, tahap kerja, dan evaluasi.

Sumber:
Lubis, A. P. (2021). Intubasi dengan Menggunakan Laringoskop McCoy dan Macintosh.
Majalah Anestesia & Critical Care, 39(3), 125–127.
https://doi.org/10.55497/majanestcricar.v39i3.242
Poluan, T. M., Lalenoh, D. C. H., & Kambey, B. I. (2018). Hubungan antara Waktu Tindakan
Intubasi dengan Outcome Pasien Stroke di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado:
Kajian terhadap Glasgow Coma Scale, Ventilator Associated Pneumonia, Length of
Stay, dan Angka Kematian. Jurnal E-Clinic, 6(2), 135–141.
https://doi.org/10.35790/ecl.6.2.2018.22126
REFLECTIVE PRACTICE 14
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 20 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro
Semarang Tn. S dengan dx medis AV blok derajat 1 dan bradikardi mengalami
perburukan sejak pagi dan asistol pukul 14.00. Keluarga tidak meminta untuk dilakukan
resusitasi. Sebagai bukti pemeriksaan terakhir, dilakukan perekaman EKG namun hanya
perekaman sandapan ekstremitas saja.
2. Feelings:
Saya berpikir apakah dalam kondisi asistol atau kondisi darurat seperti cidera dada
maka perekaman EKG yang dilakukan pada ekstremitas saja sudah cukup mewakili
kondisi keseluruhan jantung tanpa adanya perekaman pada sandapan pericardial.
3. Evaluation:
Menurut penjelasan perawat untuk kondisi pasien yang asistol dan atas izin keluarga
juga, perekaman EKG dilakukan pada sandapan ekstremitas sudah cukup mewakili
sebagai bukti hasil gambaran irama jantung yang terekam untuk yang terakhir kalinya
karena berfokus pada perekaman jantung pada bidang vertikal dan melihat gambaran dari
lead II untuk mengetahui kelistrikan sesuai sumbu arah jantung. Bukti sebagai hasil
rekam medis dan ditunjukkan kepada pihak keluarga.
4. Analysis:
Menurut artikel dari (Laksono, 2021) menjelaskan bahwa EKG mewakili rekaman
grafis dari aktivitas jantung listrik yang ditelusuri pada kertas elektrokardiograf. Prinsip
dasar di balik perekaman EKG adalah gaya elektromagnetik, arus atau vektor yang
memiliki besar dan arah. Ketika arus depolarisasi berjalan menuju elektroda, ia dicatat
sebagai defleksi positif, dan ketika bergerak menjauh dari elektroda, ia muncul sebagai
defleksi negatif. Sadapan EKG terdiri dari ekstremitas bipolar standar I, II dan III, dan
sadapan unipolar augmented aVL, aVF, dan aVR. Sadapan prekordial termasuk V1
hingga V6. Sadapan ekstremitas melihat jantung dalam bidang vertikal, dan sadapan
prekordial merekam aktivitas listrik jantung dalam bidang horizontal. Untuk pemeriksaan
sadapan ekstremitas ini berfokus pada pemeriksaan irama jantung, frekuensi denyut
jantung, dan aksis jantung.
5. Conclusion:
Perawat harus mampu memasang sandapan secara benar baik di ekstremitas maupun
di pericardial. Sebagai perawat kita harus bisa menginterpretasikan hasil perekaman EKG
dengan kemampuan membaca gelombang P, interval PR, kompleks QRS, segmen ST,
dan gelombang T. Menurut hasil pemeriksaan perekaman EKG pada pasien Tn. S analisa
interpretasinya adalah tidak ditemukan adanya gelombang PQRST, gambaran hanya
berupa garis lurus horizontal yang menandakan tidak ada aktivitas kelistrikan di jantung
sehingga pasien disimpulkan meninggal dunia.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut ke depan ketika menghadapi situasi yang sama adalah
sebaiknya perekaman EKG tetap dilakukan pada keseluruhan sandapan baik ekstremitas
maupun pericardial jika memungkinkan dan atas pertimbangan dasar kondisi pasien dan
advis dari dokter.

Sumber:
Laksono, S. (2021). Interpretasi EKG Normal Praktis Bagi Pemula: Suatu Tinjauan Mini.
Jurnal Kedokteran: Media Informasi Ilmu Kedokteran Dan Kesehatan, 7(1), 1–7.
https://doi.org/10.36679/kedokteran.v7i1.408
REFLECTIVE PRACTICE 15
Nama : Sammy Lazuardi Ginanjar
NIM : P1337420922004
Ruang : ICU 2 RSD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang
Stase : Keperawatan Kritis Elektif

1. Description:
Tanggal 20 Desember 2022 saat shift pagi di ruang ICU 2 RSD K.R.M.T
Wongsonegoro dilakukan pemberian obat dobutamine melalui syringe pump kepada Ny.
Y dengan dx medis AF, CHF dan BRPN dengan dosis 2 ampul atau 10 mcg/kgbb/menit
dengan pengenceran 50 ml NaCl. Penghitungan menggunakan rumus dosis x bb x 60 ÷
5000 (pengenceran). Berat badan Ny. Y adalah 40 kg dan didapat hasil laju pemberian
dobutamine adalah 4,8 ml/jam. Pasien diberikan dobutamin untuk menjaga kestabilan
tekanan darah agar tidak menurun terus dari batas ambang normal.
2. Feelings:
Saya berpikir bagaimana cara kita beradaptasi menggunakan alat syringe pump di
mana ada banyak jenis dan pengoperasian yang berbeda meskipun pada prinsip utamanya
adalah sama. Saya juga berpikir setiap kali pemberian obat-obatan high alert seperti
dobutamine ini secara berkala kepada pasien, bagaimana efek samping yang dapat terjadi
dan apa saja yang perlu diperhatikan sebagai perawat professional dalam mengatasi hal
tersebut.
3. Evaluation:
Saya bertanya pada perawat tentang jenis-jenis obat yang diberikan melalui syringe
pump dan bagaimana cara penghitungan dosisnya yang tepat dengan menggunakan sekian
rumus yang terkadang tiap obat rumusnya beda. Sebagai perawat kritis memang harus
terbiasa dalam mengingat dan menghafal jenis dan penghitungan dosis sesuai indikasi
pasien dan advis dari dokter.
4. Analysis:
Saya menemukan artikel yang membahas tentang penggunaan dobutamine pada
pasien kritis dari (Kurniawan, 2018) yang menjelaskan bahwa dobutamine merupakan
agonis reseptor Beta 2 adrenergik yang meningkatkan kontraktilitas miokard dan
meningkatkan frekuensi denyut jantung. Efek klinis yang diharapkan setelah pemberian
dopamin adalah peningkatkan cardiac output dan tekanan darah. Efek takikardi dari
dobutamine lebih ringan dari dopamin. Penggunaan dobutamin biasa digunakan ketika
terjadi gagal jantung akibat syok kardiogenik yang disebabkan oleh gangguan fungsi
jantung; ditandai dengan nadi lemah, penurunan tekanan rerata arteri (MAP) 18 mmHg),
dan penurunan curah jantung (CO < 3.2 L/menit). Efek samping dobutamine adalah
peningkatan dosis di jantung mengakibatkan kenaikan tekanan darah, beats ektopik,
angina atau dada nyeri, dan palpitasi. Dobutamine hampir sempurna dieliminasi dalam
waktu 10 menit, maka efek samping yang timbul akan segera hilang dengan cara
menurunkan dosis atau menghentikan injeksi infus. Biasanya dosis Dobutamin yang di
berikan dengan infus intra vena beragam dan disesuaikan dengan berat badan pasien,
dosis IV bervariasi dari 2,5- 10 μg/kg/menit, dan dosis lazim di gunakan 2,5-20
μg/kg/menit diberikan melalui infus volumetrik untuk mendapatkan dosis yang tepat.
5. Conclusion:
Perlu diperhatikan dalam setiap pemberian obat baik berupa dosis, cara penghitungan
laju syringe pump, efek samping, dan tata laksana ketika efek samping itu datang.
6. Action Plan:
Rencana tindak lanjut kedepan adalah saya akan mengingat tentang penggunaan obat
dobutamine baik secara penghitungan rumus sesuai dosis dan cara penggunaan ke alat
syringe pump yang tepat.

Sumber:
Kurniawan, Langlang (2018) Studi Penggunaan Dobutamin Pada Pasien Gagal Jantung
(Penelitian Di Rumah Sakit Karsa Husada Batu). Undergraduate (S1) Thesis, University
Of Muhammadiyah Malang.

Anda mungkin juga menyukai