Anda di halaman 1dari 12

JOURNAL READING

PENGARUH LIDOKAIN INTRAVENA PERIOPERATIF PADA NYERI

PASKA OPERASI DAN FUNGSI KEKEBALAN TUBUH

Pembimbing :
dr. Robert H. Sirait, Sp.An

oleh :
Fransiska Lumempouw
1261050302

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI FK UKI


PERIODE 27 FEBRUARI 2017 1 APRIL 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2017
Pengaruh Lidokain Intravena Perioperatif pada Nyeri Pasca Operasi dan

Fungsi Kekebalan Tubuh.

Abstrak
LATAR BELAKANG:
Pembedahan terkait cedera jaringan menyebabkan nosisepsi dan reaksi
inflamasi (peradangan), disertai dengan peningkatan produksi sitokin pro
inflamasi. Sitokin ini dapat menyebabkan sensitisasi perifer dan pusat, yang
menimbulkan tambahan rasa nyeri. Baru-baru ini, yang sering digunakan anestesi
lokal yaitu lidokain yang diperkenalkan sebagai bagian dari teknik pengelolaan
rasa nyeri perioperatif. Selain efek analgesik, lidokain memiliki properti anti
inflamasi, mengurangi peningkatan regulasi sitokin proinflamasi. Kami fokus
pada efek preinsisi dan intraoperatif lidokain IV pada intensitas rasa sakit dan
reaktivitas imun pada masa pasca operasi.

METODE:
Enam puluh lima pasien wanita (status fisik ASA I-II) dijadwalkan untuk
histerektomi transabdominal yang direkrut secara acak untuk penelitian placebo-
controlled ini. Tiga puluh dua pasien dalam kelompok perawatan yang telah
menerima lidokain IV 20 menit sebelum operasi dimulai, sedangkan kelompok
kontrol (33 pasien) menerima infus normal saline. Kedua kelompok menerima
patient controlled epidural analgesia selama masa pasca operasi. Sampel darah
diambil sebelum 24, 48, dan 72 jam setelah operasi untuk mengukur ex vivo
produksi sitokin interleukin (IL) -1 antagonis reseptor (IL-1ra) dan IL-6, serta
respon limfosit mitogenik pada phytohemagglutinin-M. 10-cm skala analog visual
yang digunakan untuk menilai intensitas nyeri saat istirahat dan setelah batuk.

HASIL:
Pasien dalam kelompok lidokain + patient-controlled epidural analgesia
mengalami nyeri pasca operasi lebih ringan dalam 4 dan 8 jam pertama setelah
2
operasi (skala analog visual 4 / 3.7 saat istirahat dan 5,3 / 5 selama batuk vs 4.5 /
4.2 dan 6.1 / 5.3, masing-masing pada kelompok plasebo). Di temukan kurangnya
ex vivo yang signifikan dari IL-1ra dan IL-6, sedangkan respon proliferasi limfosit
untuk phytohemagglutinin-M dikembangkan lebih baik daripada di kelompok
kontrol.

KESIMPULAN:
Temuan ini menunjukkan bahwa pre operasi dan intra operasi lidokain IV
langsung meningkatkan pengelolaan nyeri pasca operasi dan mengurangi
perubahan kekebalan yang disebabkan oleh operasi.
Nyeri pasca operasi adalah perhatian utama karena mempengaruhi
beberapa sistem dan menginduksi perubahan fisiologis, imunologi, dan
psikologis. Menurut tradisi, pengelolaan rasa sakit pada masa perioperatif
berdasarkan dari opiat. Mengingat efek samping dari obat baru, obat opiat-
sparing, dan teknik baru dikenalkan untuk pengobatan nyeri pasca operasi,
termasuk epidural pasca operasi dan blok saraf perifer yang berkelanjutan. Lokal
anestesi yang sering digunakan yaitu lidokain, telah diperkenalkan sebagai bagian
dari pengelolaan nyeri perioperatif. Telah terbukti bahwa lidocaine IV
memberikan analgesia pasca operasi yang efektif, mengurangi konsumsi opiat,
mempercepat pemulihan fungsi usus, dan memfasilitasi rehabilitasi setelah
operasi. Cedera jaringan dan perifer saraf menyebabkan reaksi peradangan lokal
disertai dengan peningkatan kadar sitokin proinflamasi, termasuk interleukin (IL)
-1 dan IL-6, yang menginduksi sistem perifer dan pusat sensitisasi saraf yang
mengarah ke hyperalgesia. IL-1 menginduksi tahan lama sintesis dan pelepasan
zat P dari terminal saraf aferen primer perifer, yang mungkin berkontribusi pada
inflamasi neurogenik. Lidokain memiliki properti antiinflamasi dengan
menurunkan peningkatan regulasi sitokin proinflamasi baik in vitro dan in vivo.
Lidokain juga merangsang sekresi sitokin antiinflamasi IL-1 antagonis reseptor
(IL-1ra). Kami sebelumnya telah menunjukkan efek penekanan dari opiat pada
sistem kekebalan tubuh dan manfaat dari pre-emptive analgesia epidural, terutama
didasarkan pada anestesi lokal, rasa sakit, dan produksi sitokin selama masa pasca

3
operasi. Dalam studi ini, kami berhipotesis bahwa pemberian IV dari anestesi
lokal (lidokain), secara preinsisi dan intraoperatif, mungkin memberikan efek
yang bermanfaat pada intensitas nyeri dan reaktivitas imun selama periode pasca
operasi, yang mana efek tersebut mungkin juga dapat dicapai dengan pemberian
anestesi lokal IV preoperatif dan intraoperatif daripada melalui rute epidural.
Penelitian ini dilakukan pada pasien yang menjalani histerektomi transabdominal,
yang dirawat pasca operasi dengan patient-controlled epidural analgesia (PCEA).

METODE
Pasien
Enam puluh lima wanita berusia 45-70 tahun (status fisik ASA I atau II),
menjalani operasi histerektomi transabdominal dengan pendekatan Pfannenstiel,
yang bergabung dengan penelitian ini setelah mendapat persetujuan dari
persetujuan pasien Rumah Sakit Komite Studi Manusia. Kriteria yang dikeluarkan
dari penelitian ini adalah pasien dengan hipertensi, aritmia, diabetes, dan pasien
yang telah menjalani pengobatan dengan obat imunosupresif, obat anti-inflamasi
non steroid, atau steroid. Dua pasien yang membutuhkan transfusi darah selama
periode perioperatif dan tiga pasien dengan demam lebih dari 38 C selama
periode pasca operasi.
Pada kunjungan anestesiologi sebelum operasi, pasien secara acak
ditugaskan pada 1 dari 2 teknik pengelolaan nyeri perioperatif: kelompok pertama
(n = 32) menerima lidokain IV, mulai 20 menit sebelum pembedahan dimulai dan
dilanjutkan selama operasi, diikuti oleh PCEA (kelompok Lidoc + PCEA) pasca
operasi. Pasien dalam kelompok kedua (n = 33) diberi volume yang sama dari
infus saline diikuti dengan PCEA (kelompok Sal + PCEA) pada masa pasca
operasi. 10-cm skla visula analog (VAS) (dengan titik akhir berlabel "no pain" dan
"worst possible pain") digunakan untuk menilai intensitas nyeri selama istirahat
dan setelah batuk pada 4, 8, 12, 24, 48, dan 72 jam setelah operasi.

4
Anestesi
Pada pagi hari saat operasi, ahli anestesi yang tidak berpartisipasi dalam
penelitian ini diinstruksikan untuk menyiapkan masing-masing 2% lidokain atau
larutan garam dalam pompa jarum suntik berlabel nomor 1 atau 2, dan
menyerahkannya kepada ahli anestesi yang bertugas tanpa memberitahu isinya.
Setibanya di ruang operasi, para pasien mendapat premedikasi 1-2 mg lorazepam
melalui mulut 90 menit sebelum induksi anestesi, diikuti dengan 2-3 mg
midazolam IV. Kateter epidural ditempatkan pada semua pasien melalui sela L2-4
dan 3-4 cm cephalad. Posisi kateter epidural diuji dengan suntikan 3 mL 2%
lidokain. Kelompok pasien Lidoc + PCEA menerima suntikan bolus IV dari 2
mg /kg lidokain melalui alat semprit diikuti dengan infus 1,5 mg kg-1 h-1 IV
berkelanjutan. Kelompok pasien sal + PCEA menerima bolus dan infus saline
menggunakan prosedur yang sama. Bedah terjadi 20 menit setelah pemberian
bolus lidokain. Pada saat selesai operasi, lidokain dan infus saline dihentikan.

Setelah pemberian bolus lidokain IV, anestesi umum diinduksi


menggunakan 2-3 g / kg fentanyl IV, 1,5-2 mg / kg propofol, dan 0,1 mg / kg
vecuronium. Anestesi dipertahankan dengan N2O, isoflurane, dan fentanil
tambahan. Berarti tekanan darah arteri dipertahankan dalam 20% nilai awal
dengan isoflurane (konsentrasi end-tidal 0,6% -1,2%) dan fentanil. Pasien

5
menerima penghangatan pada tubuh bagian atas, dan cairan IV dihangatkan
sampai 37 C.

Pengelolaan Nyeri Pasca Operasi


Pada saat pasien datang ke unit perawatan postanesthesia (PACU), pasien
dari kedua kelompok yang terhubung ke pompa PCEA (Pain Management
Provider, Abbott, Chicago, IL) dan menerima dosis awal 3-5 mL 0,1%
bupivacaine + 2 g / mL fentanyl dan bolus dari 3 mL 0,1% bupivacaine + 2 g /
mL fentanyl berdasarkan permintaan (waktu penguncian 10 menit), dengan infus
6 mL / jam terus menerus. Total dosis fentanil intraoperatif dan PCEA selama 24
jam setelah operasi untuk kedua kelompok yang ditampilkan dengan rinci pada
Tabel 1. Analgesia pasca operasi hanya diberikan oleh PCEA untuk menghindari
obat anti-inflamasi non steroid atau opiat yang mungkin telah mempengaruhi hasil
penelitian.

Tes Imunologi
Sampel darah vena (15 mL) dikumpulkan pada pagi hari saat operasi dan
pada 24, 48, dan 72 jam setelah operasi. Sampel telah disiapkan seperti yang
sebelumnya dijelaskan. Secara singkat, sel mononuklear darah perifer (PBMC)
diisolasi dan dibekukan pada -70 C sampai digunakan. Pada hari tes imunologi,
sel dicairkan dengan cepat, dicuci 3 kali dalam RPMI-1640 (Biological Industries,
Beit Haemek, Israel) yang mengandung 1% penisilin, streptomisin, dan nistatin
dan ditambah dengan 10% fetal calf serum, ditandakan sebagai medium lengkap,
dan kelangsungan hidup mereka diuji dengan keluarnya pewarna tripan biru
(trypan blue). Viabilitasnya adalah > 95%.

6
Tabel 2 Nilai Rasa Sakit (VAS) saat istirahat dan selama batuk
Waktu Paska Sal + PCEA Lidoc +PCEA Sal + PCEA Lidoc + PCEA
Operasi (jam) saat istirahat saat istirahat selama batuk selama batuk
4 4.53 + 0.22 4.0 + 0.11 P = 6.13 + 0.14 5.3 + 0.14 P =
0.0293 0.0001
8 4.27 + 0.18 3.7 + 0.10 P = 5.37 + 0.14 5.0 + 0.10 P =
0.011 0.048
12 3.70 + 0.19 3.4 + 0.10 4.97 + 0.14 4.7 + 0.11
24 3.13 + 0.16 3.0 + 0.15 4.3 + 0.14 4.2 + 0.10
48 2.70 + 0.14 2.63 + 0.11 3.67 + 0.10 3.6 + 0.09
72 1.90 + 0.13 1.87 + 0.10 2.83 + 0.11 3.0 + 0.10

Produksi Sitokin (IL-6 dan IL-1ra)


PBMCs (2 x 106) ditangguhkan dalam 1 mL RPMI-1640 ditambah 5 serum
dari anak sapi yang diinkubasi 24 jam pada 10 ng/mL Lipopolisakarida
(Escherichia coli, LPS, Sigma-Aldrich, Rehovot, Israel). Setelah masa inkubasi,
media kultur dikumpulkan dan disimpan pada suhu -70 0C sampai diuji kadar
sitokinnya. Konsentrasi sitokin dinilai menggunakan alat uji immunosorbent yang
terhubung dengan enzim, spesifik untuk IL-6 manusia (Pharmingen, San Diego,
CA) dan IL-1ra (Biosource Internasional, Camarillo, CA), seperti yang dijelaskan
dengan detail pada panduan yang disediakan oleh produsen. Deteksi level sitokin
pada pengujian adalah 15 pg/mL untuk IL-6 dan 60pg/mL untuk IL1ra.

Respon Mitogen
Penangguhan PBMC 0.1 mL (2 x 10 6 sel/mL dibagi dengan bilangan
tertentu dan dikoinkubasi dengan 0.1 mL phytohemagglutinin 2 % (PHA-M,
Difco Laboratories, Detroit, MI) atau medium komplit selama 3 hari.
Ditambahkan metil-3H-timidin (3H-TdR) 0.5Ci/mmol (Amersham,
Buckinghamshire, UK) 18 jam sebelum pengambilan. Radioaktivitas diukur
dengan cairan LKB model kilau kontra 3380.
Analisa Statistik
Jumlah pengamatan sedikit bervariasi di antara pengujian, karena sampel
yang kadang-kadang hilang atau masalah tertentu selama pengujian. Data

7
dianalisa untuk masing-masing pengukuran (periode waktu sebelum dan sesudah
operasi). Prosedur Bonferrni post hoc dianggap sesuai, mengoreksi beberapa
perbandingan. Nilai kemungkinan dari P < 0.05 dianggap signifikan. Hasil yang
ditunjukkan adalah rata-rata + SEM. Analisa daya post hoc membuktikan bahwa
daya untuk mendeteksi perbedaan signifikan antara beberapa grup di rentang
96%-99% pada level 0.05, dengan jumlah pasien yang berpartisipasi pada
penelitian ini.

Hasil
Pada 2 grup penelitian, jumlah, berat badan, usia, dan durasi operasi
hampir sama (Tabel 1). Konsumsi intraoperatif fentanyl sedikit pada pasien Lidoc
+ PCEA, rata-rata 249 vs 283 g pada grup Sal + PCEA. Namun, perbedaan
cukup kecil dan penemuan ini tidak signifikan (P = 0.04)

Rasa Sakit Paska Operasi


Ada perbedaan signifikan pada skor VAS saat istirahat dan selama batuk
pada 8 jam pertama antara kedua grup (Tabel 2). Grup pasien Lidoc + PCEA
mengalami sakit paska operasi yang kurang intens pada jam ke 4 dan 8: secara
berurutan VAS 4.0 (P = 0.03) dan VAS 3.7 (P = 0.011) saat istirahat dan VAS 5.3
(P = 0.0001) dan VAS 5.0 (P = 0.048) saat batuk. Nilai VAS tidak berbeda antara
kedua grup untuk jam ke 12 - 72 setelah operasi. Antara 12 dan 24 jam setelah
operasi, rata-rata VAS adalah 3.4 saat istirahat dan 4.2 selama batuk. Setelah 72
jam, VAS nya 2.5 saat istirahat dan 3.2 selama batuk pada kedua grup. Setelah 24
jam pertama setelah operasi, pasien di grup Lidoc + PCEA menerima total volum
PCEA 229 mL bupivacaine 0.1% + 2 g mL fentanyl menggunakan rata-rata 28
bolus dibandingkan dengan 247 mL dan 35 bolus pada grup Sal + PCEA. Variasi
ini tidak signifikan. Tidak ada perbedaan yang ditemukan pada konsumsi obat
PCEA selama 48 dan 72 jam berikutnya.
Proliferasi yang diinduksi PHA-M
Proliferasi yang diinduksi PHA-M pada PBMCs tidak berubah secara
signifikan selama periode paska operasi pada kedua grup sebagaimana

8
dibandingkan dengan sebelum operasi (Gambar 1A). Namun, walaupun respon
proliferatif yang diinduksi oleh PHA-M mirip dengan pada kedua grup sebelum
operasi, respon mitogenik pada PHA-M kurang ditekan pada grup Lidoc + PCEA
dibandingkan dengan grup Sal + PCEA, efek yang diteliti selama 72 jam paska
operasi. Analisa variasi dengan pengulangan pengukuran untuk respon limfosit
proliferatif pada PHA-M menunjukkan bahwa pada grup Sal + PCEA (n = 30),
secara signifikan lebih rendah pada jam ke 24 (P = 0.017), jam ke 48 (P = 0.029)
dan jam ke 72 (P = 0.009) dibandingkan dengan pengukuran tersebut pada pasien
dari grup Lidoc + PCEA (n = 25).

Produksi Ex Vivo Sitokin


Produksi Sitokin IL-1ra
Pasien Sal + PCEA (n = 30) memiliki produksi IL-1ra yang meningkat
pada jam ke-24 (P = 0.0001), jam ke-48 (P = 0.0012), dan jam ke-72 (P = 0.001)
dibandingkan dengan sebelum operasi (P = 0.01; Gambar 1B). Produksi IL-1ra
pada sel dari grup pasien Lidoc + PCEA (n = 26) tidak berubah signifikan selama
periode paska operasi. Ada peningkatan produksi IL-1ra yang signifikan hanya
pada 24 jam saja di grup Sal + PCEA versus grup Lidoc + PCEA (P = 0.024).

Produksi Sitokin IL-6


Produksi Sitokin IL-6 selama periode paska operasi di grup Sal + PCEA (n
= 28, P = 0.025), sedangkan pada grup Lidoc + PCEA (n = 29), sekresi IL-6 tidak
berubah secara signifikan (P = 0.749, Gambar 1C). Pada jam ke 24, 48, dan 72,
sekresi IL-6 berturut-turut meningkat dobel 2.32 (P = 0.001), 2.16 (P = 0.0009),
dan 2.62 (P = 0.012), dibandingkan dengan yang diproduksi sebelum operasi dan
secara signifikan lebih tinggi daripada grup Lidoc + PCEA pada pengujian tiga
titik waktu (berturut-turut P = 0.0018, P = 0.0005, dan P = 0.012).

9
Gambar 1.
A, respons poliferatif dari sel mononuklir darah perifer (PBMCs) hingga
phytohemagglutinin (PHA)M pada dua grup manajemen rasa sakit: Saline +
(PCEA).
B, produksi Ex vivo irterleukin (IL)-1ra dan IL-6.
C, oleh lipopolisakarida (LPS) distimulasi PBMCs dari sampel darah yang sama.
Nilai yang ditunjukkan sebagai rata-rata + SEM. Asterisk menunjukkan perbedaan
siginifikan secara statistik antara kedua grup: *P < 0.05; ** P< 0.01; dan *** P <
0.005.

PEMBAHASAN
Penemuaan ini mengindikasikan bahwa grup yang menerima preincisional
dan intraoperative IV lidokain mengalami pembebasan rasa sakit yang lebih baik

10
pada periode paska operasi secara langsung, yang berhubungan dengan tekanan
yang lemah dari respons limfosit proliferatif dan produksi baik pro- dan anti
inflamatori sitokin yang lemah (IL-6 dan IL-1ra, berurutan). IL-1 berperan
penting pada reaksi fase akut, namun sitokin yang lain, seperti IL-1ra dan IL-6,
mungkin lebih sensitif terhadap perubahan imun minor.13 Karena itu, dalam
penelitian ini, kami memilih untuk menguji sitokin IL-1ra dan IL-6
Operasi berhubungan dengan meningkatnya produksi pro-inflamatori
sitokin, yang mengacu pada respons inflamatori sistemik diikuti dengan produksi
bahan pengganti sitokin anti inflamatori yang berlebihan. Akibatnya, pasien
dipengaruhi imun dan cenderung menjadi mudah terinfeksi, serta mengalami
beberapa gagal organ14 dan bisa rentan terhadap perkembangan ileus paska
operasi.15 Maka, level sitokin yang melemah setelah administrasi perioperatif
lidokain telah berhubungan dengan fungsi usus yang membaik. 16 Respons
mitogenik pada PHA-M kurang ditekan pada grup Lidoc + PCEA dibandingkan
dengan grup Sal + PCEA, menunjukkan fungsi imun yang lebih baik pada grup
pertama.
Tujuan utama dari manajemen rasa sakit paska operasi adalah untuk
mengurangi sakit yang dialami oleh pasien, tapi juga untuk memberikan
pelemahan rasa sakit yang diinduksi perubahan secara fisik dan metabolis. Di
antara beberapa mekanisme rasa sakit, sitokin pro inflamatori telah lebih jauh
diinvestigasi. Satu penelitian mengindikasikan bahwa ada interaksi resiprokal
antara sitokin pro inflamatori dan rasa sakit, dimana sitokin pro inflamatori
memodulasi sensitivitas rasa sakit, sedangkan rasa sakit mempengaruhi sintesis
dan pengeluaran sitokin.17
Lidokain intra vena memiliki sifat analgesik 5, anti-hiperalgesik18 dan anti
inflamatori.7 Anestetik lokal dapat mengurangi respon inflamatori paska operasi
dalam beberapa hari, seperti pengeblokan transmisi saraf pada lokasi jaringan
yang terluka dan karena itu melemahkan inflamasi neurogenik.19 Selain itu, karena
sifat anti inflamatori yang mereka miliki, mereka menghalangi migrasi granulosit
dan mengeluarkan enzim lisosomal, akibatnya menyebabkan pengurangan sitokin
pro inflamatori yang menurun.20,21 Sitokin pro inflamatori dapat menginduksi

11
sensitisasi perifer dan sentral, menyebabkan penambahan rasa sakit
(hyperalgesia).6 Maka, memungkinkan bahwa produksi IL-6 yang melemah yang
diamati pada pasien Lidoc + PCEA secara parsial menyebabkan berkurangnya
rasa sakit.
Di antara beberapa batasan penelitian, kami mencatat anestetik lokal IV
pra operasi dan intra operasi dan epidural yang berlanjut (daripada IV) selama
periode paska operasi. Pendekatan alternatif akan melanjutkan lidokain IV sampai
periode paska operasi. Namun, keselamatan lidokain IV untuk analgesia paska
operasi belum ditentukan secara jelas. Periode paska operasi ditandai dengan
beberapa pengaruh pada distribusi dan eliminasi obat, dan belum diketahui apakah
akumulasi lidokain IV setelah periode yang berkepanjangan tetap di bawah level
beracun.22 Harus dicatat bahwa 2 grup menunjukkan perbedaan marjinal konsumsi
fentanyl intra operasi dan volum PCEA 24 jam paska operasi (background plus
setiap permintaan). Perbedaan ini cukup kecil dan tampak tidak konsekuen dalam
hal variabel yang diukur di penelitian ini; namun kami tidak bisa seutuhnya tidak
mengikutsertakan karena mereka mungkin memiliki pengaruh pada hasil yang
kami dapatkan.
Penemuan mengindikasikan bahwa lidokain IV preincisional dan paska
operasi memperbaiki manajemen penyakit dan mengurangi alterasi imun yang
diinduksi saat operasi.

12

Anda mungkin juga menyukai