Anda di halaman 1dari 19

JOURNAL READING

MEPIVACAINE VERSUS BUPIVACAINE SPINAL ANESTHESIA FOR EARLY


POSTOPERATIVE AMBULATION A RANDOMIZED CONTROLLED TRIAL

Disusun oleh:
Kienan Raihan F
1102018033

Pembimbing:
dr. Rizki Ramadhana, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD DR SLAMET GARUT


PERIODE 9 JANUARI – 11 FEBRUARI 2023

1
BAB I

1.1. Abstrak

Anestesi spinal lebih disukai oleh banyak praktik tetapi dapat menunda ambulasi,
terutama dengan bupivakain. Mepivacaine, kerja menengah anestesi lokal, bisa
memungkinkan ambulasi lebih awal dari bupivacaine. Penelitian ini dirancang untuk
menguji hipotesis bahwa pasien yang menerima mepivacaine akan ambulasi lebih awal
daripada mereka yang menerima bupivakain hiperbarik atau isobarik untuk artroplasti
pinggul total primer. Uji coba terkontrol secara acak ini, termasuk American Society of
Ahli Anestesi Status Fisik pasien I sampai III yang menjalani artroplasri pinggul total. Dari
154 pasien, 50 menerima mepivacaine, 53 menerima hiperbarik bupivakain, dan 51
menerima bupivakain isobarik. Pasien mepivacaine ambulasi lebih awal dan lebih
mungkin untuk diberhentikan pada hari yang sama daripada bupivakain hiperbarik dan
isobaric pasien bupivakain. Mepivacaine bisa bermanfaat untuk pinggul total rawat jalan
kandidat artroplasti jika spinal adalah jenis anestesi yang disukai.

1.2. Latar Belakang

Artroplasti pinggul biasanya dilakukan dilakukan anestesi umum atau anestesi spinal.
Dibandingkan dengan anestesi umum, anestesi spinal lebih dapat mengurangi waktu
operasi, komplikasi, dan transfusi darah.Anestesi neuraksial juga sangat
direkomendasikan oleh kelompok konsensus internasional.
Terdapat beberapa kekurangan anestesi spinal bagi pasien yang melakuakn artroplasti
pinggul, seperti kelemahan dan gangguan sensorik yang menunda ambulasi (kemampuan
berjalan tanpa bantuan) dan lama waktu perawatan (Length of Stay/ LOS). Terutama
bupivacaine, obat yang paling umum untuk anestesi spinal. Hasil utama dari uji coba
randomized, double-blind dari pasien artroplasti pinggul total ini adalah untuk menentukan
persentase pasien yang mencapai ambulasi dini dengan mepivakain isobarik, bupivakain
hiperbarik, dan bupivakain isobarik. Peneliti berhipotesis bahwa pasien akan ambulasi
lebih awal dengan mepivacaine diikuti oleh hyperbaric bupivakain, dan terakhir
bupivakain isobarik.

2
1.3. Metode

1.3.1. General Procedures


Studi ini telah disetujui oleh Institutional Review Board Of Thomas Jefferson
University, berlangsung di dua lokasi (RS Universitas Thomas Jefferson dan RS Spesialis
Ortopedi Rothman) dari Mei hingga November 2019. Semua peserta telah memberikan
persetujuan tertulis sebelum partisipasi.
Kriteria inklusi termasuk American Society Ahli Anestesi (ASA; Schaumburg,
Illinois) Fisik Status I sampai III pasien di bawah usia 85 thn menjalani artroplasti pinggul
total dengan ahli bedah yang berpartisipasi. Semua pasien bisa berjalan 10 kaki secara
mandiri tanpa bantuan orang.
Kriteria eksklusi termasuk kontraindikasi untuk anestesi spinal, neuropati di bokong
atau paha posterior, telah mengonsumsi oxycodone lebih dari 30 mg secara oral setiap hari,
dan intoleransi terhadap penelitian obat.
Penelitian ini merupakan penelitian parallel-arm dan double-blind (pasien dan
penilai) dan pasien ditugaskan secara paralel dengan salah satu dari yang berikut:
mepivacaine 1,5% (3,5ml, 52,5mg), bupivacaine hiperbarik 0,75% (1,5ml, 11,25mg) atau
bupivakain isobarik 0,5% (2,5ml, 12.5mg).
1.3.2. Intraoperative Management
Setelah diperiksa tekanan darah dan saturasi oksigen dengan oxyimeter. Pasien
diberikan premedikasi berupa midazolam. Anestesi spinal dilakukan dengan pasien posisi
duduk dan dalam keadaan steril. Setelah disuntik pasien diposisikan terlentang setelah 1
menit untuk mepivacaine dan bupivakain hiperbarik dan 3 sampai 4 menit untuk
bupivakain isobarik. Untuk menguji apakah obatnya sudah bekerja, dilakuakn uji senasi
setiap 2 hingga 3 menit menggunakan jarum tumpul dan dikatakan sudah bekerja ketika
sudah mencapai dermatomal T10. Jika uji sensasi tidak mencapai dermatomal T10 setelah
15 menit, dilakukan anestesi umum. Untuk obat sedasi pada intraoperative, pasien diberi
infus propofol, Asam traneksamat (1 g) diberikan secara intravena kepada semua pasien
secara profilaksis, dan deksametason (4 sampai 8mg) diberikan untuk analgesia dan
profilaksis mual dan muntah pasca operasi. Semua pasien sudah disiapkan fentanil IV,
oksidon atau hidrokodom/ asetaminofen) diberikan sesuai kebutuha. Perawat PACU juga
‘blind’ pada penelitian ini.
1.3.3. Primary Outcome and Physical Therapist Assessment

3
Hasil utama yang diharapkan adalah presentasi pasien dapat ambulasi dalam jangka
waktu 3 hingga 3,5 jam setelah diberikan anestesi spinal. Perkiraan waktu ini dipapatkan
dari penelitian sebelumnya dimana mean waktu ambulasi setelah dilakukan anestesi spinal
dengan mepivacaine sekitar 212 menit (3,5 jam). Fisioterapis yang ditugaskan juga ‘blind’
terhadap tugas kelompok namun diberitahu mengenai waktu saat dilakukan anestesi
menilai pasien ambulasi sekitar 3 – 3,5 jam kemudian dan setiap 2 jam ketika pasien tidak
dapat ambulasi pada sebelumnya. Fisioterapis mencatat skor Tinetti pada pasien pertama
kali ambulasi dan jarak total dari ambulasi. Semua pasien diberikan walker untuk
melakukan ambulasi.

1.3.4. Secondary Outcomes


Hasil sekunder dari penelitian ini berupa: kembalinya fungsi motorik, tingkat sensorik
saat fungsi motorik kembali pulih, jarak dari ambulasi, skor Tinetti pada ambulasi pertama,
retensi urin, gejala neurologis sementara, tekanan darah terendah saat intraoperatif, gejala
pusing, lama tinggal, rasa nyeri, tingkat ketegangan otot intraoperatif, konsumsi opioid
dalam waktu 48 jam, dan perawatan kembali atau readmisi dalam waktu 30 hari.
1.3.5. Statistical Analysis and Sample Size Determination
Analisis data dilakukan menggunakan oneway ANOVA dengan SPSS versi 25 dan
GraphPad Prism versi 6. Nilai P yang ditetapkan adalah 0,05.

1.4. Hasil

1.4.1. Patients Characteristics, Intraoperative Outcomes, and Ambulation – related


Outcomes
Total pasien pada penelitian ini sebanyak 154 pasien, 50 menerima mepivacaine, 53
menerima hiperbarik bupivakain, dan 51 menerima bupivakain isobarik. Pasien yang dapat
ambulasi dengan rentang waktu 3 hingga 3,5 jam, 35 dari 50 (70,0%) pasien pada
kelompok mepivacaine, diikuti oleh 20 dari 53 (37,7%) pada kelompok bupivakain
hiperbarik, dan 9 dari 51 (17,6%) pada kelompok bupivakain isobarik (P <0,001). Pasien
yang diberikan mepivacaine lebih memungkinkan untuk dipulangkan pada hari yang sama
dengan operasi (Tabel 1.2, Gambar 1.1).
Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistilk dalam jarak ambulasi dengan
Skor Tinetti (Tabel 1.2). Kembalinya fungsi motorik terjadi paling awal dengan
mepivakain.

4
Gambar 1. 1

Gambar 1. 2

5
Tabel 1. 1 Karakteristik pasien dan detail intraoperatif

Tabel 1. 2 Hasil Sekunder

Gambar 1. 3 Persentase dari pemulangan pada hari yang sama dan Length of Stay

1.4.2. Pain Oucomes


Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistic dalam konsumsi opioid.
Kecuali saat di PACU dimana pasien dengan mepivacaine paling banyak mengonsumsi
opioid. Tingkat nyeri juga tertinggi pada pasien dengan mepivacaine (tabel 1.2).

6
Gambar 1. 4 Hasil tingkat nyeri

1.4.3. Additional Secondary Outcomes


Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam retensi urin dan tingkat
pusing pada 3 kelompok. Tidak ada readmisi dari semua kelompok (Tabel 1.2).

Gambar 1. 5

7
Gambar 1. 6 CONSORT flow diagram

1.5. Pembahasan

Penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan mepivacaine dalam anestesi spinal


memungkinkan untuk pasien ambulasi dan pemulangan perawatan lebih awal daipada
bupivakain hipobarik atau isobaric. Pemulangan pada hari yang sama sesuai pada pasien
dengan mepivikain sesuai dengan prediksi para peneliti. Pemulihan fungsi motorik lebih
8
awal pada pasien dengan mepivikain. Terdapat peningkatan pada penelitian in ijika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya dimana penelitian ini mencoba melakukan
ambulasi lebih awal pada saat efek mepivikain akan hilang dan penelitian sebelumnya,
ambulasi terjadi setelah beberapa jam efek mepivikain hilang.
Penggunaan mepivikain telah dihindari oleh beberapa institusi karena efek gejala
neurologis sementara dari mepivikain. Namun, pada penelitian ini semua kelompok
menunjukkan efek gejala neurolgis dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna diantara
ketiga kelompok.
Terdapat satu penelitian mengenai patien dari artroplasri pinggul total menyimpulkan
terdapat 95% pasien pemulangan perawatan di hari yang sama saat operasi dan tingkat
nyeri, hipotensi serta mual adalah alasan utama pasien tidak memenuhi kriteria. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien dan faktor operasi merupakan hal yang dapat mempengaruhi
pemulangan perawatan pasien di hari yang sama.
Kelebihan dari penelitian ini adalah peneliti menentukan secara konsisten dan lebih
dini untuk penilaian dari hasil utamanya. Kelebihan lainnya adalah hasil utama dari
penelitian ini secara klinis relevan mengenai ambulasi pasien. Karena ambulasi dapat
memprediksi dari pemulangan perawatan pasien. Hal ini membuat hasil dari penelitian ini
dapat diterapkan pada mereka yang ingin menerapkan anestesi spinal saat melakukan
artroplasti pinggul total dengan pasien rawat jalan.
Kekurangan atau keterbatasan penelitian ini adalah perbdaan antara group terlewatkan
karena tingkat sensorik secara kontinu menurun pada waktu post operatif. Kedua, hanya
beberaa aspek anestesi intraoperative yang distandarisasi, termasuk premedikasi, Teknik
npinal dan penggunaan propofol untuk sedasi, Penyesuaian sedasi dan pengobatan tekanan
darah adalah kebijaksanaan dari tim anestesi. Ketiga, durasi pembedahan yang
menggunakan mepivikain yang lebih cepat dapat mempengaruhi hasil utama. Namun tidak
terlalu jelas hal apa yang menyebabkan hal ini. Keempat, meskipun standar kriteria untuk
pemulangan perawatan pasien diterapkan pada semua pasien, hipotensi pasca operatif
tidak dilacak, fisioterapi meggunaan kebijaksanaan dalam merekomendasikan
pemulangan pada hari yang sama berdasarkan keamanan. Akhirnya, beberapa hasil tidak
tepat. Beberapa pasien memiliki kesenjangan penilaian fungsi motorik di PACU karena
masalah pegawai. Data fungsi motorik perlu diinterpretasi secara hati hati karena terdapat
beberapa data yang menghilang dan beberapa pasien mungkin pulih fungsi motoriknya
lebih cepat dari data yang telah dilaporkan. Namun beberapa kekurangan atau keterbatasan
ini tidak mempengaruhi hasil utama dan sekunnder dari penelitian ini.
9
1.6. Kesimpulan

Kesimpulannya, anestesi spinal dengan mepivacaine memungkinkan untuk ambulasi


pasca operasi lebih awal dan lama rawat inap yang lebih pendek dibandingkan bupivakain
hiperbarik dan isobarik. Namun, antara 20 dan 30% pasien bupivakain hiperbarik dan
isobarik masih dipulangkan ke rumah pada hari yang sama dan kepuasan pasien tinggi
pada semua kelompok. Mepivakain mungkin bermanfaat untuk artroplasti pinggul total
rawat jalan jika akan dilakukan anestesi spinal

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obat Anestesi Lokal

Obat anestesi lokal adalah suatu ikatan kimia yang mampu menghambat konduksi saraf
perifer apabila obat ini disuntikkan di daerah perjalanan serabut saraf dengan dosis tertentu
tanpa menimbulkan kerusakan permanen pada serabut saraf tersebut. Sifat hambatannya pada
saraf umumnya bersifat total, tetapi ada juga yang bersifat selektif yaitu hanya menghilangkan
rasa nyeri tidak dengan rasa raba dan tekan. Hal ini tergantung pada dosis atau konsentrasi
obat yang digunakan.3
Berdasarkan struktur molekulnya terdapat dua golongan obat anestesi lokal, yaitu
golongan ester dan amida. Semua obat anestesi lokal yang digunakan terdiri dari cincin
aromatik (hidrofobik) yang terhubung dengan kelompok amino tersier (hidrofilik) oleh suatu
alkil pendek, yaitu rantai intermediet yang mengandung ikatan ester atau amida sesuai dengan
pembagiannya. Obat anestesia lokal merupakan basa lemah yang umumnya memilihi muatan
positif pada grup amino tersiernya pada keadaan pH fisiologis
Derivat ester terdiri dari derivat asam benzoat, misalnya kokain, derivat asam para
amino benzoat misalnya prokain dan klorprokain. Derivat amida contohnya lidokain,
prilokain, mepivakain, bupivakain, dan etidokain.3
Adapun perbedaan ester dan amida sebagai berikut :

1. Senyawa ester:
• Relatif tidak stabil dalam bentuk larutan
• Dimetabolisme dalam plasma oleh enzim pseudocholinesterase
• Masa kerja pendek
• Relatif tidak toksik
• Dapat bersifat alergen, karena strukturnya mirip PABA (para amino benzoic acid)

2. senyawa amida :

11
• Lebih stabil dalam bentuk larutan
• Dimetabolisme dalam hati
• Masa kerja lebih panjang
• Tidak bersifat alergen

Lidokain

Local Structur Time to Duration Half-time Maximum Maximum


Anesthetic onset of of action (hour) dose (mg) dose
action (mg/kg)
Bupivacain Amide Medium Long 2,7 150-175 1-2,5
Clorprocaine Ester Short Short 30 sec 800-1000 10
Cocaine Ester Long Long - 200 1,5-3
Mepivacaine Amide Short Medium 1,9 300-400 4-5
Prilocaine Amide Short Medium 1,5 500 5-7

Berdasarkan potensi dan lama kerjanya atau durasinya, anestesi lokal dibedakan
menjadi potensi rendah dan durasi singkat, potensi dan durasi sedang, potensi kuat dan durasi
panjang. Untuk obat dengan potensi rendah dan durasi singkat contohnya prokain dengan
potensi 1 dan durasi 60-90 menit, klorprokain dengan potensi 1 dan durasi 30-60 menit. Untuk
obat dengan postensi dan durasi sedang contohnya mepivakain dengan potensi 2 dan durasi
120-240 menit, prilokain dengan potensi 2 dan durasi 120-240 menit, lidokain dengan potensi
2 dan durasi 90-200 menit. Untuk obat dengan potensi kuat dan durasi panjang contohnya
bupivakain dengan potensi 8 dan durasi 180-600 menit4

2.2. Mepivacaine

Mepivacaine adalah obat bius yang bekerja dengan memblok impuls saraf yang
mengirimkan sinyal rasa sakit ke otak. Obat ini secara kimiawi memiliki persamaan
dengan obat Bupivacaine (salah satu obat anestesi), sehingga digunakan sebagai anestesi

12
lokal untuk melakukan berbagai tindakan medis seperti blok saraf epidural, spinal, prifer
dan juga digunakan sebagai obat bius untuk prosedur operasi gigi.

Tabel 2. 1 Mepivacaine

13
Tabel 2. 2 Dosis Mepivacai

2.3. Bupivakain

Bupivacaine adalah anestesi lokal yang poten dengan karakteristik unik dari kelompok
amida anestesi lokal. Anestesi lokal digunakan dalam anestesi regional, anestesi epidural,
anestesi spinal, dan infiltrasi lokal. Anestesi lokal umumnya memblokir generasi potensial
aksi dalam sel saraf dengan meningkatkan ambang eksitasi listrik. Kegiatan ini meninjau
mekanisme aksi, profil efek samping, toksisitas, dosis, farmakodinamik, dan pemantauan
bupivakain, yang relevan untuk anggota tim interprofesional untuk perawatan pasien
ketika anestesi lokal diperlukan.
A. Indikasi
Bupivakain adalah anestesi lokal yang kuat dengan karakteristik unik dari
kelompok amida anestesi lokal, pertama kali ditemukan pada tahun 1957. Anestesi
lokal digunakan dalam anestesi regional, anestesi epidural, anestesi spinal, dan
infiltrasi lokal. Anestesi lokal umumnya memblokir generasi potensial aksi dalam sel
saraf dengan meningkatkan ambang eksitasi listrik. Perkembangan anestesi
tergantung pada faktor-faktor seperti diameter, derajat mielinisasi, dan kecepatan
konduksi serabut saraf. Dalam praktek klinis, urutan hilangnya fungsi saraf adalah
sebagai berikut :
1. Rasa sakit
2. Suhu
3. Sentuhan

14
4. Propriosepsi
5. Tonus otot rangka

B. Kontraindikasi
Kontraindikasi meliputi hipersensitivitas terhadap obat atau komponennya,
hipersensitivitas terhadap anestesi amida, infeksi di tempat suntikan, blok paraserviks
obstetrik, anestesi obstetrik menggunakan konsentrasi 0,75%, anestesi regional
intravena, dan infus kontinu intra-artikular. Dokter harus berhati-hati pada pasien
dengan hipersensitivitas terhadap sulfit, gangguan hati (hati membersihkan amida),
gangguan ginjal, gangguan fungsi jantung, blok jantung, hipovolemia, hipotensi, dan
pasien lanjut usia, lemah, atau sakit akut.

C. . Mechanism of Action
Semua anestesi lokal mengandung tiga komponen struktural: cincin aromatik,
gugus penghubung yang berupa ester (prokain) atau amida (bupivakain), dan gugus
amina yang dapat terionisasi. Selain itu, semua LA memiliki dua sifat kimia yang
menentukan aktivitasnya:
o Kelarutan lemak
o Konstanta ionisasi (pKa)
Kelarutan lipid menentukan potensi, durasi kerja, dan pengikatan protein plasma
anestesi lokal. Anestesi lokal memasuki serabut saraf sebagai basa bebas netral. Bentuk
terionisasi dan bentuk kationik menghalangi konduksi melalui interaksinya pada
permukaan bagian dalam saluran Na+. Selain itu, LA dengan pKa yang lebih rendah
memiliki onset kerja yang lebih cepat, yang berarti lebih banyak dalam bentuk tidak
bermuatan, yang membuat difusi lebih cepat ke sisi sitoplasma saluran Na+.
Kanal Na+ adalah protein membran yang menyebarkan potensial aksi di akson,
dendrit, dan jaringan otot. Mereka memulai dan mempertahankan potensi membran
dalam sel-sel jantung dan otak khusus. Tergantung pada jaringan Na+, saluran
mengandung satu subunit alfa yang lebih besar dan satu atau dua subunit beta yang
lebih kecil.
Subunit alfa, tempat konduksi ion, dan pengikatan anestesi lokal memiliki empat
domain yang serupa, masing-masing dengan enam segmen rentang membran alfa-
heliks. Permukaan luar subunit alfa sangat terglikosilasi, yang memungkinkan saluran
untuk berorientasi dengan benar di dalam membran sitoplasma. Berbeda dengan

15
anestesi lokal, toksin kalajengking dan tetrodotoxin memiliki tempat pengikatan pada
permukaan ekstraseluler saluran Na+.
Konduksi impuls saraf adalah melalui pembentukan potensial aksi di sepanjang akson
— anestesi lokal terjadi ketika LA mengikat saluran Na+ dan menghambat permeabilitas
Na+ yang diperlukan untuk potensial aksi. Anestesi lokal secara selektif menghambat
saluran Na+ bergerbang tegangan bentuk terbuka. Blokade saluran Na+ mengakibatkan
penurunan atau eliminasi konduksi pada otot polos pembuluh darah, yang menyebabkan
relaksasi. Di jantung, ini menyebabkan penurunan aktivitas alat pacu jantung dan
pemanjangan periode refrakter. Tindakan ini unik untuk bupivakain karena penurunan laju
disosiasi dari saluran natrium yang tersumbat, yang menyebabkan perpanjangan laju
depolarisasi maksimal (Vmax) dan potensi aritmia ventrikel. Juga,
Anestesi lokal juga mengikat reseptor beta-adrenergik dan menghambat pembentukan
cAMP yang distimulasi epinefrin, yang dapat menjelaskan refrakter toksisitas bupivakain
CV terhadap pedoman resusitasi standar. Pada sistem saraf pusat (SSP), anestesi lokal
dapat menyebabkan peningkatan rangsangan, diikuti oleh depresinya.
Jaringan saraf memiliki kerentanan yang berbeda terhadap anestesi lokal. Arus
depolarisasi pada saraf bergerak di sepanjang nodus Ranvier, dan 2 sampai 3 nodus harus
diblokir untuk merusak konduksi saraf sepenuhnya. Serat yang lebih kecil memiliki jarak
internodal yang lebih kecil dan, oleh karena itu, diblokir oleh anestesi lokal lebih cepat.
D. Administrasi
Bupivacaine ditawarkan dalam tiga konsentrasi berbeda: 0,25%, 0,5%, dan 0,75%.
Pemberiannya adalah dengan infiltrasi lokal (analgesia pasca bedah), blok saraf perifer
(gigi atau prosedur bedah minor lainnya, bedah ortopedi), anestesi spinal (disuntikkan ke
dalam CSF untuk menghasilkan anestesi untuk bedah ortopedi, bedah abdomen, atau
sesar), epidural anestesi/analgesia untuk nyeri persalinan, dan blok kaudal (anestesi dan
analgesia di bawah umbilikus, biasanya untuk bedah anak).
Ajuvan sering ditambahkan ke anestesi lokal untuk blok saraf untuk memperpanjang
efek anestesi dibandingkan dengan LA saja. Agonis alfa 2 seperti clonidine atau
dexmedetomidine dikombinasikan dengan LA telah terbukti meningkatkan durasi anestesi
secara signifikan. Selain itu, deksametason, ketika dicampur dengan anestesi lokal untuk
blok saraf, juga telah terbukti meningkatkan durasi anestesi, meskipun mekanismenya
tidak jelas apakah itu efek saraf langsung atau hanya efek sistemik dari steroid anti-
inflamasi. proses. Dengan efek antagonis reseptor N-metil D-aspartatnya, magnesium juga
telah dikaitkan dengan durasi kerja anestesi lokal yang berkepanjangan untuk blok saraf.
16
Dalam dekade terakhir, telah ditunjukkan bahwa blok saraf yang dipandu
ultrasound dikaitkan dengan penurunan risiko toksisitas anestesi lokal. Agaknya,
visualisasi saraf dan struktur sekitarnya mengurangi kemungkinan injeksi ke dalam
struktur vaskular dan meningkatkan pengenalan awal kejadian ini, sehingga
mengurangi kemungkinan mencapai tingkat toksik bupivakain dalam aliran darah.

17
BAB III
CRITICAL APPRAISAL
1. Apakah studi mempunya pertanyaan penelitian yang fokus dan jelas ?
: Ya, penelitian ini membandingkan Bupivacaine dan Mepivacaine untuk melihat
ambulasi awal setelah operasi
2. Apakah pemilihan peserta untuk intervensi dipilih secara acak ?
: Ya, pasien dipilih secara acak menggunakan komputer dengan sekuens 1:1:1
3. Apakah semua peserta yang memasuki penelitian diperhitungkan pada bagian
kesimpulan ?
:Tidak, hanya 154 peserta yang masuk dalam kesimpulan dari 159 awalnya karena
terjadi miskomunikasi
4. Apakah peserta, peneliti, dan orang-orang yang menilai/menganalisis 'blind'
terhadap intervensi yang mereka berikan ?
: Ya, pasien, dokter bedah dan penilai “blind” terhadap intervensi yang mereka berikan.
Hanya tim anestesi yang tidak “blind”
5. Apakah kelompok penelitian uji coba serupa di awal penelitian ?
:Tidak, awalnya terdapat 159 namun terjadi miskomunikasi dan menjadi 158, lalu
berkurang kembali menjadi 154. Tiga diantaranya diberikan salah obat karena terjadi
miskomunikasi dengan RS
6. Terlepas dari intervensi eksperimen, apakah setiap kelompok belajar menerima
tingkat peduli yang sama (yaitu, apakah diperlakukan sama) ?
: ya, semua pasien mendapatkan perlakuan yang sama
7. Seberapa besar efek dari pengobatannya ?
: Mepivacaine memberikan efek ambulasi lebih awal
8. Berapa ketepatan dari perkiraan intervensi atau efek pengobatan dilaporkan ?
: Cukup tepat, perkiraan intervensi dan efek pengobatan yang dilaporkan
9. Apakah manfaat dari intervensi eksperimen lebih besar daripada kerugian dan
biaya penelitian ?
:Ya, hasil penelitian dapat diaplikasikan karena didapatkan hasil yang cukup baik.
10. Apakah semua hasil klinis penting dipertimbangkan ?
:Ya, semua temuan klinis pada penelitian ini dipertimbangkan dan dijelaskan
11. Apakah manfaatnya sebanding dengan kerugian dan biayanya ?
:Ya, pada komparasi pemberian terapi dari kedua obat dapat diketahui bahwa salah
satu obat dapat memberikan efek ambulasi awal posoperasi lebih baik.
18
DAFTAR PUSTAKA

1. Shafiei FT, McAllister RK, Lopez J. Bupivacaine. [Updated 2022 May 2]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
2. Butterworth, John, et al. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology, 6th Edition.
6th ed., McGraw Hill / Medical, 2018.
3. Kapitayan R, Su M. Local Anesthetic Toxicity, Medscape Medical Reference, 2019.
4. Gde Mangku, dr. Sp.An.KIC, Tjokorda Gde Agung Ssenapathi, dr. Sp.An. Buku Ajar
Ilu Anestesia dan Reanimasi. Indeks : Jakarta 2010

19

Anda mungkin juga menyukai