tentang HAM
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Sebagaimana ditegaskan dalam
Bab IX Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999, ayat (1) menyatakan: Untuk mengadili kejahatan
hak asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan
peradilan umum. Adapun kejahatan kejahatan HAM Berat yang diatur dalam Pasal 104 ayat
(1) ini meliputi pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau diluar
putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara
paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang 53 dilakukan secara sistematis (systematic
discrimination) (Penjelasan Pasal 104 ayat (1) UU HAM). Pasal 104 ayat (1) merupakan
dasar dibentuknya Pengadilan HAM dengan lingkup kewenangan sebagaimana tersebut
dalam penjelasan pasal 104 ayat (1) UU HAM. Pengadilan HAM sebagaimana diamantakan
dalam Pasal 104 ayat (1) UU HAM pada akhirnya dibentuk dengan UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM. Ini berarti, bahwa ketentuan dalam Pasal 104 merupakan dasar dari
pembentukan pengadilan khusus atas kasus-kasus kejahatan HAM yang berat, sehingga bisa
dinyatakan bahwa UU No. 26 Tahun 2000 merupakan lex specialis.
1. Mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk kejahatan HAM masa lalu sebelum
adanya undang-undang ini, artinya untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum 2000
maka akan dibentuk pengadilan HAM ad hoc.
2. Pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU
No. 26 Tahun 2000;
3. Dibukanya jalan mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk
penyelesaian kejahatan HAM yang berat. Pasal 45 UU No. 26 Tahun 2000
menyebutkan bahwa kedudukan pengadilan HAM adalah di daerah kabupaten atau
daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah daerah hokum Pengadilan Negeri
yang bersangkutan, sedangkan daerah khusus ibukota pengadilan HAM berkedudukan
di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pada saat undangundang ini
diundangkan pertsama kali maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat,
Surabaya, Medan dan Makassar.