Anda di halaman 1dari 12

Syarat Kelayakan Seseorang Dapat

Ditahan dan Disidangkan

Kelompok C1
Irma Chaerunnisa 102012260
Roy Nimrod Ludji Tuka 102013078
Stefina Gunawan 102013107
Olivia Nancy 102013190
Bayu Putra Killa 102013235
Louis Ryandi 102013411
Elike Oktorindah Pamilangan 102013412

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

1
Pendahuluan
Kelayakan seseorang untuk ditahan atau maju ke dalam persidangan baik itu sebagai
tahanan maupun saksi dinilai dari hasil pemeriksaan kesehatan seseorang tersebut yang
dilakukan oleh dokter dan tenaga medis. Pemeriksaan kesehatan pasien dengan status sebagai
tahanan memerlukan ijin dan beberapa prosedur untuk mencegah terjadinya hal yang tidak
diinginkan seperti kabur dari tahanan. Dalam membuat surat keterangan medis termasuk
rujukan, dokter sebelumnya harus melakukan pemeriksaan kesehatan secara langsung terhadap
pasien atau tahanan tersebut sesuai dengan standar operasionalnya. Ini berkaitan dengan etika,
hukum dan disiplin kedokteran.

Kode Etik Kedokteran Indonesia

Setiap dokter dibekali dengan peraturan etika, yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) yang berisi tentang nilai-nilai yang sepatutnya dipatuhi dan dijalankan oleh seorang
dokter. KODEKI inilah yang menjadi landasan setiap tindakan medis yang dilakukan seorang
dokter serta mengatur hubungan antara dokter dengan pasien, lingkungan masyarakat, teman
sejawat, dan diri sendiri. Selain KODEKI ada pula peraturan tentang informed consent atau
disebut juga Persetujuan Tindakan Medis yaitu Permenkes No.290 Tahun 2008.1

Etik kedokteran sudah sewajarnya dilandaskan atas norma-norma etik yang mengatur
hubungan manusia umumnya, dan dimiliki asas-asasnya dalam falsafah masyarakat yang
diterima dan dikembangkan terus. Khusus di Indonesia, asas itu adalah Pancasila yang sama-
sama kita akui sebagai landasan Idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
struktural. Oleh karena itu dibuatlah Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang
berdasar kepada Surat Keputusan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia No.
221/Pb/A.4 /04/2002 Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang diuraikan
sebagai berikut:1

I. Kewajiban Umum
Pasal 1

Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.

2
Pasal 2

Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tertinggi.

Pasal 3

Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

Pasal 4

Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5

Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya
diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.

Pasal 6

Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat
menimbulkan keresahan masyarakat.

Pasal 7

Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri
kebenarannya.

Pasal 7a

Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang
kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang
(compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.

3
Pasal 7b

Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, &
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam
karakter/ kompetensi, atau yang melakukan penipuan/penggelapan, dalam menangani pasien

Pasal 7c

Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien

Pasal 7d

Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.

Pasal 8

Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat


dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan
pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

Pasal 9

Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya
serta masyarakat, harus saling menghormati.

II. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien

Pasal 10

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya
untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib menujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.

4
Pasal 11

Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah
lainnya.

Pasal 12

Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.

Pasal 13

Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

III. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat

Pasal 14

Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Pasal 15

Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

IV. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

Pasal 16

Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.

Pasal 17

Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran/kesehatan.

Dokter yang membuat surat keterangan yang tidak benar dapat dikatakan melanggar Kode Etik
Kedokteran Indonesia dan hukum. Aturan yang terkait dengan pembuatan surat keterangan
dokter, antara lain:2

5
Kode Etik Kedokteran Indonesia, Bab I mengenai kewajiban umum dokter,
pasal 7: Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat
dibuktikan kebenarannya.
Pasal 267 KUHP:
1) Seorang dokter yang sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang
ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau kecacatan diancam dengan
hukuman penjara paling lama empat tahun.
2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang
dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhi hukuman
penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memberikan surat keterangan palsu seolah-olah isinya sesuai dengan
kebenaran.
Dalam surat keterangan dokter penting untuk memperhatikan beberapa hal, yaitu:1
1. Surat keterangan tersebut pada dasamya merupakan potret sesaat yang
menggambarkan kondisi kesehatan pasien pada hari ia diperiksa. Ini
berlaku terutama untuk sural keterangan "sehat" atau "sakit" yang dibuat
secara ringkas (sumir). Hal-hal yang hari itu ditemukan sebagai sehat dapat
saja besoknya berubah menjadi tidak sehat.
2. Pengertian "sehat" atau "memenuhi syarat" dalam keterangan tersebut
bersifat spesifik sesuai dengan kepentingan pembuatan surat tersebut. Surat
keterangan "sehat" untuk kepentingan bekerja di bidang pekerjaan tertentu
harus disesuaikan dengan persyaratan yang ditemukan pada bidang
pekerjaan tersebut.
Adalah menjadi kewajiban dokter untuk melakukan pemeriksaan yang benar-benar cermat
sebelum membuat pernyataan atau keterangan semacam itu sesuai dengan kode etik dokter
yang menyatakan bahwa "seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat
dibuktikan kebenarannya".1

6
Surat Rujukan Berobat untuk Tahanan

Memperhatikan semakin banyak tersangka/terdakwa perkara pidana umum maupun


khusus yang mengajukan ijin berobat ke luar negri dengan berbagai alasan dan ternyata ijin
berobat ke luar negri banyak disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh tersangka/terdakwa untuk
menghindari proses penyidikan, penuntutan atau eksekusi putusan pengadilan, maka dibuatlah
surat edaran tahun 2004 oleh Kejaksaan Agung RI. Mengingat Pasal 33 Undang-undang No.5
Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dan untuk mengantisipasi hal-hal diatas, dengan ini
diberikan petunjuk sebagai berikut:3

1) Pada prinsipnya seorang tersangka/terdakwa perkara tindak pidana (umum/ khusus)


yang perkaranya sedang dalam proses penyidikan atau penuntutan tidak diijinkan
untuk berobat ke luar negeri, karena rumah sakit rumah sakit di Indonesia pada
umumnya telah dapat mengobati semua jenis penyakit. Ijin berobat ke luar negeri
hanya dapat diberikan terhadap kondisi-kondisi dan jenis penyakit tertentu yang
belum dapat diobati di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.
2) Ijin berobat ke luar negeri bagi tersangka/terdakwa hanya dapat diberikan oleh
Jaksa Agung RI setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
3) Ijin berobat ke luar negeri harus diajukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya
setelah mendapatkan rekomendasi dari dokter spesialis penyakit yang
bersangkutan, dan dilengkapi surat keterangan resmi dari Rumah sakit Pemerintah
yang ditunjuk untuk dapat memberikan rujukan guna berobat ke luar negeri (Rumah
Sakit Umum Pusat Cipto Mangun Kusumo Jakarta) dengan penjelasan bahwa
rumah sakit di Indonesia belum dapat memberikan pelayanan medis/pengobatan
terhadap penyakit yang diderita oleh tersangka/terdakwa.
4) Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung RI, melalui jalur berjenjang
(Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, Jaksa Agung Muda yang bersangkutan)
dengan menjelaskan nama dan alamat lengkap rumah sakit di luar negeri yang akan
merawat tersangka/terdakwa agar sewaktu-waktu dapat dihubungi.
5) Harus ada jaminan dari tersangka/terdakwa dan keluarganya bahwa
tersangka/terdakwa yang bersangkutan akan segera kembali ke Indonesia setelah
rumah sakit yang bersangkutan memberikan keterangan bahwa tersangka/terdakwa
dapat dirawat kembali di Indonesia.
6) Kejaksaan yang menangani perkara tersangka/terdakwa yang berobat ke luar negeri
wajib memantau dan meminta perkembangan hasil pengobatan tersangka/terdakwa

7
dari rumah sakit di luar negeri yang bersangkutan, sekurang kurangnya satu bulan
sekali, dan meminta penjelasan masih perlu atau tidaknya tersangka/terdakwa
dirawat di rumah sakit tersebut. Laporan hasil pemantauan dikirim setiap bulan
kepada Jaksa Agung RI., tembusan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen dan Jaksa
Agung Muda yang bersangkutan.
Dalam surat edaran di atas disebutkan bahwa seorang terdakwa atau tahanan boleh
berobat ke luar negeri asalkan telah menerima surat rekomendasi dari dokter spesialis yang
bersangkutan. Yang dimaksud dengan dokter yang bersangkutan adalah dokter yang telah
melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, serta pemeriksaan-pemeriksaan lain
terhadap terdakwa. Seorang dokter tidak boleh merujuk terdakwa hanya berdasarkan hasil
rekam medis terdakwa selama berobat ke dokter sebelumnya. Dokter ini harus bertemu pasien
langsung dan melakukan pemeriksaan-pemeriksaan dahulu sebelum yakin bahwa pasien perlu
dirujuk. Kodeki pasal 7 ayat 6 dan 8 menyatakan hal sebagai berikut:3
(6) Seorang dokter wajib melakukan konsultasi atau melakukan rujukan ke sejawatnya
yang mempunyai kompetensi untuk memberikan keterangan yang lebih bermutu
apabila kasus yang dihadapi di luar kompetensinya.
(8) Seorang dokter dilarang memberikan pendapat mengenai pasien yang diperiksa
oleh sejawat lain tanpa permintaan dari pihak berwenang dan tanpa memeriksa atau
melihat sendiri pasien tersebut.
Ketika dokter telah melakukan pemeriksaan langsung terhadap pasien, yang dalam hal
ini merupakan tahanan kepolisian dan pasien sendiri meminta dirujuk ke luar negri, maka
langkah awal dokter adalah merujuk dahulu ke rumah sakit pemerintah. Jika memang tidak ada
dokter spesialis yang dapat menangani kasusnya, maka tertahan boleh dibawa berobat ke luar
negri.3

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik tahanan ditujukan untuk memeriksa apakah tahanan tersebut benar
dalam keadaan sakit dan membutuhkan pengobatan segera. Dalam hal ini dokter harus
memeriksa langsung tahanan tersebut. Selanjutnya dianalisis apakah penyakitnya harus
mendapat rujukan keluar negeri. Hal ini tergantung dengan keputusan hakim.4

8
Kelayakan untuk Ditahan (Fitness to be Detained)

Fitness to be detained adalah kelayakan seseorang untuk diperiksa atau ditahan yang
didasarkan pada kondisi fisik dan psikis, apakah orang tersebut layak di mata kesehatan atau
tidak dan harus dapat dibuktikan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang terkait.5

Seorang tahanan yang sudah dijatuhi hukuman berhak untuk mendapatkan penyediaan
layanan kesehatan sama seperti di luar tahanan. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan adalah
untuk menentukan kelayakan kesehatan seseorang untuk ditahan. Beberapa orang yang sudah
membutuhkan layanan kesehatan misalnya seperti orang yang membutuhkan terapi oksigen
jangka panjang, insulin yang terus menerus dan lain sebagainya. terapi yang mereka butuhkan
akan dilanjutkan di dalam tahanan. Sama seperti keadaan di luar tahanan, dokter yang ingin
melakukan pemeriksaan harus mendapatkan informed consent dari pasien tersebut dengan
keadaan pasien tersebut tidak ada paksaan dari polisi.5

Penilaian yang dilakukan untuk kesehatan kelayakan tahanan serupa dengan


pemeriksaan klinis umum. Seperti mengetahui riwayat penyakit pasien, riwayat pengobatan
pasien, juga dilakukan pemeriksaan klinis pasien. Ditanyakan riwayat spesifik pada penyakit
asma, diabetes, epilepsi, dan jantung. Riwayat kejiwaan pasien juga perlu diketahui sebelum
masuk tahanan. Pada gangguan kejiwaan seringkali membuat seorang individu tidak layak
untuk ditahan.5
Prosedur ini dilakukan ketika tahanan pertama kali datang ke kantor polisi dengan
keadaan menderita suatu penyakit atau dalam kondisi cedera. Maka perlu dilakukan
pemeriksaan fisik dan mental secara keseluruhan dan didiskusikan dengan sersan tahanan
tentang hasil pemeriksaan. Jika hasil pemeriksaan menunjukkan tahanan tersebut dalam
kondisi penyakit atau cedera yang dapat menyebabkan keadaan kritis atau berat maka tahanan
tidak layak ditahan dan akan dilakukan perawatan sampai tahanan sembuh terlebih dahulu.5
Seperti pada kasus apabila tahanan mempunyai keluhan tertentu maka akan diperiksa
dari tanda-tanda vital, mental, dilihat juga riwayat penyakit pasien. Pada pasien tahanan kasus
korupsi tersebut dikatakan bahwa dia menderita penyakit jantung yang telah lama dideritanya,
penyakit liver, dan penyakit pada lutut kanannya (osteocondritis genu) sehingga mengalami
hambatan saat berjalan. Maka dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu melihat
keadaan pasien saat memasuki tahanan dengan dilakukannya pemeriksaan penunjang. Untuk
melihat keadaan jantung pasien dapat menggunakan EKG (ekokardiografi), pemeriksaan
enzim yang berperan seperti CK/CPK (Creatin Phosphokinase), CKMB (Creatin Kinase Label

9
M dan B), Troponin I dan T, bisa dibantu juga dengan melakukan rontgen thorax AP. Untuk
melihat keadaan fungsi hati pasien dilakukan pemeriksaan enzim SGOT dan SGPT. Dilakukan
juga rontgen regio genu dextra untuk melihat keadaan lutut kanan dimana sesuai dengan
keluhan tahanan tersebut sulit berjalan. Apabila memang dari hasil pemeriksaan pasien
memerlukan pengobatan terlebih dahulu seperti yang telah dikatakan sebelumnya maka pasien
berhak menjalankan pengobatan kemudian sesuai dengan peraturan yang berlaku pasien
kembali kedalam tahanan.

Kelayakan untuk Disidangkan (Fitness to Stand Trial)

Kapasitas yang harus dimiliki seseorang untuk dapat dikatakan kompeten memberikan
kesaksian di pengadilan adalah mampu mengamati, mengingat dan berkomunikasi tentang
peristiwa yang dipertanyakan, serta memahami sifat dan dampak dari sumpah yang
diucapkannya (be capable of observing, remembering, and communicating about events in
question, understand the nature of an oath).6
Kompetensi yang lebih tinggi kualitasnya harus dimiliki oleh seseorang yang akan
diinterogasi sebagai tersangka (competence to be interviewed, competence to be detained)
ataupun diperiksa di sidang pengadilan sebagai terdakwa (competence to stand trial). Perasaan
moral masyarakat menyatakan bahwa individu yang tidak dapat memahami sifat dan obyektif
persidangan yang melawannya, tidak mampu berkonsultasi dengan penasehat hukumnya dan
tidak mampu membantu persiapan pembelaan atas dirinya, dianggap tidak layak untuk diadili.6

Fitness to stand trial adalah jenis penilaian oleh hakim apakah terdakwa layak atau
tidak untuk diadili. Penilaian ini dilakukan berdasarkan kompetensi terdakwa yang dilihat dari
kesehatan mentalnya yaitu dapat atau tidaknya memberikan pernyataan-pernyataan. Penilaian
ini dapat membantu proses peradilan dalam putusan apakah terdakwa dapat diadili atau tidak.6
Ada tiga proses yang digunakan dalam penilaian, yaitu: 1) proses pertama, hakim akan
menentukan apakah terdakwa perlu dikirim ke psikiater dengan mendengar pernyataan dari
pengacara terdakwa dan terdakwa; 2) proses kedua, psikiater akan menilai terdakwa dengan
melakukan wawancara dan menyiapkan laporan hasil wawancara tentang kejiwaan terdakwa,
bisa dilakukan di ruang sidang maupun rumah sakit jiwa; 3) proses ketiga, keputusan hakim
untuk menentukan apakah terdakwa layak untuk di adili atau tidak dengan pertimbangan dari
laporan psikater dan pengacara terdakwa.6
Jika putusan hakim bahwa terdakwa tidak layak diadili, berarti terdakwa tidak mampu
diadili oleh karena gangguan mental, yang berarti: terdakwa tidak mampu memahami bahwa

10
ia berada di ruang sidang, dan siapa saja orang-orang yang ada diruang sidang dan mengapa
mereka ada disana, atau terdakwa tidak mampu memahami apa yang dituduhkan kepada ia, apa
ia bersalah atau tidak, apa yang terjadi jika ia mengaku bersalah dan apa yang terjadi jika ia
memberitahu kebeneran di pengadilan, atau terdakwa tidak mampu berkomunikasi dengan
pengacara mereka dalam hal apa yang ia ingin lakukan dalam kasus tersebut.6
Pada terdakwa yang mengalami gangguan mental mereka akan diberikan pilihan untuk
dilakukan perawatan atau pengobatan selama penilaian oleh hakim masih berlanjut. Jika
terdakwa melakukan tindakan pidana sebelum adanya gangguan mental maka terdakwa tetap
akan diadili sesuai kasusnya. Pada kasus yang didapat, tidak diketahui adanya gangguan mental
sehingga terdakwa masih dapat berkomunikasi dengan normal.

Kesimpulan
Pembuatan surat rujukan ke luar negri bagi seorang tahanan harus dipastikan benar-
benar apakah sangat membutuhkan atau tidak. Ini dapat dilakukan pemeriksaan secara
terperinci langsung oleh dokter. Setiap dokter dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari
dituntut untuk memiliki sikap profesionalisme yaitu sikap yang bertanggung jawab, sikap
kompetensi dan wewenang yang sesuai waktu juga tempat, sikap etis sesuai etika profesi, dan
bekerja sesuai standard yang ditetapkan.
Pada kasus ini, dokter tidak memberikan surat pengantar berobat ke Jepang karena
menurutnya tidak sesuai dengan Kode Etik Profesi Kedokteran di Indonesia, dimana dokter
tidak boleh boleh memberikan surat keterangan dokter tanpa melakukan pemeriksaan medis
terhadap pasien secara langsung terlebih dahulu. Jika dia melakukan hal tersebut dan ada pihak
ketiga yang dirugikan maka dokter dan orang yang menggunakan surat keterangan tersebut
bisa dikenakan sanksi pidana. Jika ternyata hasil pemeriksaan dari dokter yang memeriksa
tahanan tersebut masih layak untuk ditahan dan disidangkan maka tahanan tersebut harus tetap
menjalani prosedur hukum yang berlaku.

11
Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Kode Etik Kedokteran Indonesia. In: Sampurna
B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar.
2007.h.49-51.

2. Hanafiah J. Lafal Sumpah Dokter. In: Hanafiah J, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum
Kesehatan. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1999.h.5-14.

3. Wirasutta IMAG. Pengantar menuju ilmu forensik. Bali: Departemen of Pharmacy


Udayana University; 2009.

4. Gleadle J. At a Glance. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.

5. Peel M. Assesing fitness to detain in police custody. Nursing standard 2015 Nov; 30:43-
9.

6. Ciccone JR. Competence to stand trial: efforts to clarify the concept and improve
clinical evaluations of criminal defendants. Current Opinion in Psychiatry 1999.

12

Anda mungkin juga menyukai