Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SEJARAH INDONESIA

KERAJAAN MEDANG DAN KERAJAAN KEDIRI

Guru Pembingbing: Ikhsan Maulana Putra

Disusun oleh :

Geren Fieri Irawan (19)

I Gusti Ngurah Bagus Kresna Duta (26)

Panji Kumara Putra (33)

Pasek Rama Putra (34)

SMAK HARAPAN

2016/2017
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam
makalah ini kami membahas Kerajaan Kediri dan Kerajaan Wedang, makalah ini akan membahas
persebaran, kejayaan, dan peninggalan dari kerajaan tersebut.

Makalah ini dapat terselesaikan karena bimbingan dari guru dan kerja dari rekan rekan
kelompok 4. Dengan ini kami harap makalah ini dapat menambah wawasan pembaca. Makalah ini kami
harap juga dapat menambah wawasan ilmu sejarah kita tentang asal muasal masayarakat Indonesia pada
zaman kerajaan.

Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat,

Denpasar, 8 Oktober 2016

Penyusun,

Kelompok 4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum Indonesia menjadi negara kesatuan atau republik, Indonesia


dahulunya adalah sebuah kepulauan yang terdiri dari banyak kerajaan.
Kerajaan Medang merupakan salah satu kerajaan yang berdiri di Indonesia.
Sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.
Kerajaan tersebut berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian
berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10, setelah runtuhnya kerajaan
medang berdirilah Kerajaan Kadiri atau Kediri atau Panjalu. Kerajan Kediri
adalah sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-
1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota
Kediri sekarang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana awal berdirinya Kerajaan Medang ?


2. Bagaimana awal berdirinya Kerajaan Kediri ?
3. Bagaimana sistem Kerajaan Medang ?
4. Bagaimana sistem Kerajaan Kediri ?
5. Bagaimana kehidupan rakyat Medang ?
6. Bagaimana kehidupan rakyat Kediri ?
7. Bagaimana runtuhnya Kerajaan Medang ?
8. Bagaimana runtuhnya Kerajaan Kediri ?
9. Sisa-sisa reruntuhan Kerajaan Medang
10.Sisa-sisa reruntuhan Kerajaan Kediri

C. Tujuan

1. Menambah wawasan tentang Kerajaan Medang dan Kediri


2. Mengetahui pola kehidupan masyarakat pada masa Kerajaan Medang dan
Kerajaan Kediri
3. Memperdalam cerita sejarah tentang Kerajaan Medang dan Kerajaan Kediri
BAB II

PEMBAHASAN

A. Awal Berdirinya Kerajaan Medang

Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa
raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai
Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan
jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau
Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya
kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.
[3]

Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan
Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta
Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri
ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja
pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan
Galuh) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil
Sanjaya menjadi menantunya.

Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap
keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan
sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama
isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan
Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan
Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur
pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan
Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah
oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan [5] yang
baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
B. Sistem Pemerintahan Kerajaan Medang

Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama
memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar
ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan
diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana
raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga
berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan
meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi
Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis
Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang
untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa
pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada
zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak
untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan
Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya
sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan
jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana


perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan
Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit
memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
C. Kehidupan Rakyat Kerajaan Medang

Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya
bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan
saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa.
Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran
Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan
Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

D. Keruntuhan Kerajaan Medang

Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita
dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas
sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh
pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti
Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu
kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin
memanas saat itu.

Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan
putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan
sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran JawaBali yang lolos dari
Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran
itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan
yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
E. Peninggalan Kerajaan Medang

Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu
maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di
Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan
Medang.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi
Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi
Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling
kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah
ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.
A.I. Awal Mula Kerajaan Kediri

Masa-masa awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang II
(1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya memberitakan adanya perang saudara antara
kedua kerajaan sepeninggal Airlangga.

Sejarah Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas
nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah
diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas
berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan.

Kerajaan Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan Kerajaan Janggala
dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau
Panjalu Menang.

Pada masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya.
Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai
mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya di Sumatra.

Hal ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa
pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra.
Saat itu yang berkuasa di Arab adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan
Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.

Chou Ju-kua menggambarkan di Jawa penduduknya menganut 2 agama : Buddha dan Hindu.
Penduduk Jawa sangat berani dan emosional. Waktu luangnya untuk mengadu binatang. Mata
uangnya terbuat dari campuran tembaga dan perak.

Buku Chu-fan-chi menyebut Jawa adalah maharaja yang punya wilayah jajahan : Pai-hua-yuan
(Pacitan), Ma-tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, Malang), Hi-ning (Dieng), Jung-ya-lu (Hujung
Galuh, sekarang Surabaya), Tung-ki (Jenggi, Papua Barat), Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu
(Papua), Ma-li (Bali), Kulun (Gurun, mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa
Tenggara), Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Borneo), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di
Sulawesi), dan Wu-nu-ku (Maluku).

Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai peninggalan
Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih banyak informasi tentang
kerajaan tersebut.
B.II. KEHIDUPAN KERAJAAN KEDIRI

Kerajaan Kediri merupakan kerajaan yang berdiri pada abad XI Masehi dan merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Medang Kamulan yang didirikan oleh Mpu Sindok dari Dinasti Isyana. Kerajaan ini terletak di
wilayah pedalaman Jawa Timur. Kerajaan ini merupakan hasil dari pembagian wilayah Kerajaan Medang
Kamulan yang dibagi menjadi dua yakni Panjalu dan Jenggala.

Nama Keraajaan Kediri sebelumnya adalah Panjalu.

Adapun kehidupan politik, agama, ekonomi, sosial dan budaya pada masa Kerajaan Kediri adalah sebagai
berikut :

a. Kehidupan Politik

Raja pertama Kediri adalah Samarawijaya. Selama menjadi Raja Kediri, Samarawijaya selalu berrselisih
paham dengan saudaranya, Mapanji Garasakan yag berkuasa di Jenggala. Keduanya merasa berhak atas
seluruh takhta Raja Airlangga (Kerajaan Medang Kamulan) yang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa
Timur dan sebagian Jawa Tengah. Akhirnya perselisihan tersebut menimbulkan perang saudara yang
berlangsung hingga tahun 1052. Peperangan tersebut dimenangkan oleh Samarawijaya dan berhasil
menaklukan Jenggala.

Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Jayabaya. Saat itu wilayah
kekuasaan Kediri meliputi seluruh bekas wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Selama menjadi Raja Kediri,
Jayabaya berhasil kembali menaklukan Jenggala yanga sempat memberontak ingin memisahkan diri dari
Kediri. Keberhasilannya tersebut diberitakan dalam prasasti Hantang yang beraangka tahun 1135.

Prasasti ini memuat tulisan yang berbunyi Panjalu jayat yang artinya Panjalu menang. Prasasti tersebut
dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah dari Jayabaya untuk penduduk Desa Hantang yang
setia pada Kediri selam perang melawan Jenggala.

Sebagai kemenangan atas Jenggala, nama Jayabaya diabadikan dalam kitab Bharatayuda. Kitab ini
merupakn kitab yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Bharatayuda memuat kisah perang
perbutan takhta Hastinapura antara keluarga Pandhawa daan Kurawa. Sejarah pertikaian anatar Panjalu
dan Jenggala mirip dengan kisah tersebut sehingga kitab Bharatayuda dianggap sebagai legitimasi (klaim)
Jayabaya untuk memperkuat kekuasaannya atas seluruh wilayah bekas Kerajaan Medang Kamulan.

Selain itu, untuk menunjukkan kebesaran dan kewibawaan sebagai Raja Kediri, Jayabaya menyatakan
dirinya sebagai keturunan Airlangga dan titisan Dewa Wisnu. Selanjutnya ia mengenakan lencana
narasinga sebagai lambang Kerajaan Kediri.

Pada masa pemerintahan Ketajaya Kerajaan Kediri mulai mengalami kemunduran. Raja Kertajaya
membuat kebijakan yang tidak populer dengan mengurangi hak-hak brahmana. Kondisi ini menyebabkan
banyak brahmana yang mengungsi ke wilayah Tumapel yang dkuasai oleh Ken Arok. Melihat kejadian ini
Kertajaya memutuskan untuk menyerang Tumapel. Akan tetapi pertempuran di Desa Ganter, pasukan
Kediri mengalami kekalahan dan Kertajaya terbunuh. Sejak saat itu Kerajaan Kediri berakhir dan
kedudukannya digantikan oleh Singasari.

b. Kehidupan Agama

Masyarakat Kediri memiliki kehidupan agama yang sangat religius. Mereka menganut ajaran agama
Hindu Syiwa. Hal ini terlihat dari berbagai peninggalan arkeolog yang ditemukan di wilayah Kediri yakni
berupa arca-arca di candi Gurah dan Candi Tondowongso. Arca-arca tersebut menunjukkan latar
belakang agama Hindu Syiwa. Para penganut agama Hindu Syiwa menyembah Dewa Syiwa, karena
merekaa mempercayai bahwa Dewa Syiwa dapat menjelma menjadi Syiwa Maha Dewa (Maheswara),
Dewa Maha Guru, dan Makala. Salah satu pemujaan yang dilakukan pendeta adalah dengan
mengucapkan mantra yang disebut Mantra Catur Dasa Syiwa atau empat belas wujud Syiwa.

c. Kehidupan Ekonomi

Perekonomian di Kediri bertumpu pada sektor pertanian dan perdagangan. Sebagai kerajaan agraris,
Kediri memiliki lahan pertanian yang baik di sekitar Sungai Brantas. Pertanian menghasilkan banyak
beras dan menjadikannya komoditas utama perdagangan. Sektor perdagangan Kediri dikembangkan
melalui jalur pelayaran Sungai Brantas. Selain beras, barang-barang yang diperdagangkan di Kediri antara
lian emas, perak, kayu cendana, rempah-rempah, dan pinang.

Pedagang Kediri memiliki peran penting dalam perdagangan di wilyah Asia. Mereka memperkenalkan
rempah-rempah diperdagangan dunia. Mereka membawa rempah-rempah ke sejumlah Bandar di
Indonesia bagian barat, yaitu Sriwijay daan Ligor. Selanjutnya rempah-rempah dibawa ke India, Teluk
Persia, Luat Merah. Komoditas ini kemudian diangkut oleh kapal-kapal Venesia menuju Eropa. Dengan
demikian, melalui Kediri wilayah Maluku mulai dikenal dalam lalu lintas perdagangan dunia.

d. Kehidupan Sosial Budaya

Pada masa pemerintahan Raja Jayabaya, struktur pemerintahan Kerajaan Kediri sudah teratur.
Berdasarkan kedudukannya dalam pemerintahan, masyarakat Kedri dibedakan menjadi tiga golongan
sebagai berikut :
1. Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan
beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2. Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau
petugas pemerintahan di wilyah thani (daerah).
3. Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan
dan hubungan dengan pemerintah secara resmi.

Kehidupan budaya Kerajaan Kediri terutama dalam bidang sastra berkembang pesat. Pada masa
pemerintahan Jayabaya kitab Bharatayuda berhasil digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Selain
itu Mpu Panuluh menulis kitab Hariwangsa dan Gatotkacasrayaa. Selanjutnya pada masa pemerintahan

Kameswara muncul kitab Smaradhahana yang ditulis oleh Mpu Dharmaja serta kirab Lubdaka dan
Wertasancaya yang ditulis oleh Mpu Tanakung. Pada masa pemerintahan Kertajaya terdapat Pujangga
bernama Mpu Monaguna yang menulis kitab Sumansantaka dan Mpu Triguna yang menulis kitab
Kresnayana.

Anda mungkin juga menyukai