Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Kebutuhan energi dunia diperkirakan akan meningkat cukup tinggi seiring dengan
pertumbuhan populasi dan perkembangan ekonomi dunia (Yan et al., 2012). Apabila
tidak ada implementasi kebijakan baru kebutuhan energi primer meningkat sekitar 45%
lebih tinggi dibandingkan tahun 2011. Di Indonesia minyak dan gas merupakan energi
paling penting menunjang kehidupan (Budiyono dkk, 2012). Energi tersebut akan terus
meningkat dan akan mengalami perlambatan pada tahun 2020, jika diterapkan standar
lingkungan yang lebih ketat kebutuhan energi primer hanya tumbuh sebesar 11%
menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Kebutuhan energi untuk sektor
industri pada tahun 2025 terjadi peningkatan sekitar 55 persen dari jumlah total
kebutuhan energinya. Di tahun tersebut, industri akan membutuhkan gas alam sebanyak
1.553 juta mmbtu dan batubara sebanyak 53,71 juta ton (Priyanto, 2014).
Pertumbuhan penduduk Indonesia menurut Bappenas dan BPS yaitu pada tahun
2014 adalah 1,49%. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan energi yang akan semakin
banyak. Harga minyak juga diperkirakan akan mencapai 126,4 USD/barrel pada tahun
2030 (Priyanto, 2014). Banyaknya kebuthan energi masih bergantung pada energy fosil
dimana fosil merupakan sumber daya energi yang tidak terbarukan dan keberadaannya
sudah semakin menipis (Carvalho, 2010). Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Energi
Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Djadjang Sukarna, dengan potensi cadangan
energi fosil yang sudah terbatas dan semakin menipis, pemenuhan kebutuhan energi akan
menghadapi kendala yang besar. Bahkan menurut prediksinya, tahun 2030 Indonesia
akan menjadi negara pengimpor energi.
Diversifikasi energi terus didorong oleh Pemerintah dalam rangka mengurangi
ketergantungan akan minyak bumi dan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan.
Hal ini berdampak terhadap penurunan biaya energi dan peningkatan ketahanan energi
nasional. Seperti diketahui bahwa BBM merupakan jenis energi fosil dengan harga
tertinggi, padahal Indonesia mempunyai cadangan batubara, gas bumi, dan energi baru
dan terbarukan (EBT) yang potensial digunakan sebagai pengganti BBM. Pemanfaatan
energi fosil non-BBM dan EBT secara optimum akan meningkatkan ketahanan energi
dan menurunkan biaya energi nasional. Untuk itu, Kementerian ESDM pada tahun 2013

1
dan 2014 telah menetapkan berbagai regulasi dalam rangka mendorong pemanfaatan
energi terbarukan dan gas bumi untuk transportasi (Priyanto, 2014). Kebijakan
pemanfaatan BBM telah direvisi dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ESDM
25/2013. Perubahan ini diantaranya dimaksudkan untuk meningkatkan target
pemanfaatan biodiesel dari 20% pada tahun 2025 menjadi 30% (khusus untuk
pembangkit listrik) dan menurunkan target pemanfaatan bioethanol pada tahun 2015
hingga 2020 dan meningkatkan pemanfaatannya menjadi 20% pada tahun 2025 (Said,
2014).
Kondisi ini, tentunya akan berdampak terhadap naiknya biaya produksi serta
ketergantungan penggunaan bahan bakarfosil khususnya di Indonesia, merupakan dasar
pengembangan energi alternatif sebagai upaya pemanfaatan energi yang efisien dan
efektif. Penggunaan sumber energi seperti bahan bakar yang berasal dari bahan baku
fosil merupakan bahan bakar yang tidak mudah didaur ulang dan membutuhkan proses
yang lama untuk menghasilkan bahan bakar tersebut (Panpong K et al., 2014). Oleh
karena itu perlu adanya sumber energi alternatif baru yang dapat diperbarui (Ukpai and
Nnabuchi, 2012). Biogas merupakan suatu alternatif solusi masalah krisis energi. Banyak
negara maju dan berkembang sudah mengembangkan teknologi biogas, bahkan alat
penghasil biogas secara anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900 (Fang et al.,
2011). Biogas dapat digunakan sebagai bahan bakar kendaraan serta untuk pembangkit
listrik dan panas (Carvalho, 2010). Biogas ini memiliki keunggulan salah satunya tidak
menghasilkan asap merupakan suatu energi alternatif yang unggul. Seiring dengan
perkembangan pengetahuan adanya kenaikkan harga energi dan kebutuhan pengganti
energi fosil banyak peneliti yang menganjurkan untuk memproduksi biogas dari limbah
tanaman atau tanaman (Herout., et al., 2011). Biogas merupakan suatu alternatif solusi
masalah krisis energi (Rajib, 2012). Biogas merupakan energi yang dihasilkan oleh
bahan organik yang difermentasi pada kondisi anaerob (Budiyono dkk, 2013). Biogas
diproduksi dari sumber energi yang dapat diperbarui (Al Saedi, 2008). Biogas dapat
digunakan sebagai bahan bakar kendaraan serta untuk pembangkit listrik dan panas
(Radjaram and Saravanane, 2011). Produksi biogas dari bahan baku biomassa telah
dilakukan sejak beberapa dekade yang lalu, seperti di India yang telah memproduksi
biogas sejak tahun 1950-an (Divya et al., 2014).
Menurut Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral jika potensi tersebut
dimaksimalkan, maka Indonesia akan mampu menghemat sekitar 700 ribu ton elpiji atau
setara dengan 900 juta liter minyak tanah. Pada umumnya biogas merupakan campuran

2
50-70% gas metana (CH4), 30-40% gas karbondioksida (CO2), 5-10% gas hidrogen (H2)
dan sisanya berupa gas lain (Marcrelli, 2014). Biogas memliki berat 20% lebih ringan
dibandingkan dengan udara dan memiliki nilai panas pembakaran antara 4800-6200
kkal/m3. Nilai ini sedikit lebih rendah dari nilai pembakaran gas metana murni yang
mencapai 8900 kkal/m3 (Mara, 2012). Biogas diproduksi melalui proses anaerobic
digestion(AD). Proses anaerobic digestion diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan
kandungan total solid (TS) yaitu liquid anaerobic digestion (L-AD) dan solid-state
anaerobic digestion (SS-AD). Liquid anaerobic digestion digunakan pada kandungan
total solid antara 0,5-15%, sedangkan kandungan total solid >15% menggunakan proses
solid-state anaerobic digestion(Zhu et al., 2014).
Prospek pengembangan teknologi biogas ini sangat besar terutama di daerah
pedesaan dimana sebagian besar masyarakat bekerja di bidang peternakan dan pertanian
(Al Saedi, 2008). Pada umunya masyarakat yang berprofesi sebagai petani mempunyai
hewan ternak seperti unggas, kambing, sapi, dan kerbau namun banyak yang belum tahu
tentang pemanfaatan kotoran hewan ini untuk dimanfaatkan kotorannya sebagai bahan
baku biogas (methane) (Gophinathan, 2012). Potensi biogas skala rumah tangga yang
berasal dari limbah hewan ternak diperkirakan mencapai 1 juta unit alat penghasil biogas
dari limbah hewan ternak. Dengan mengolah limbah tersebut maka limbah yang
umumnya adalah masalah berubah menjadi berkah karena menghasilkan biogas yang
sangat bermanfaat (Xie et al., 2012). Biogas generasi kedua yang menggunakan bahan
baku yang lebih berkelanjutan mulai diteliti karena limbah kebanyakan bahan
lignoselulosa) dari makanan dan tanaman diproduksi dalam jumlah besar di seluruh
dunia, sehingga menawarkan potensi yang besar.
Bahan baku biogas dapat diperoleh dari biomassa lignoselulosa dan berbagai
macam limbah organik seperti: kotoran binatang, limbah air industri. Produksi biogas
dengan proses anaerobic digesti merupakan upaya menggantikan bahan bakar fosil (Xu,
et al., 2013). Produksi biogas dari limbah dan berbagai jenis residu organik dengan
metode digester anaerobik telah banyak dipelajari, baik eksperimental maupun teoritis
selama enam dekade (Marek et al., 2014). Produksi biogas ini telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Biogas generasi pertama cenderung menggunkan bahan baku dari
limbah organik kotoran ternak. Biogas kotoran sapi di diproduksi dengan cara batch dan
semi-continous menghasilkan dengan perbandingan air : kotoran sapi = 1 : 1 dihasilkan
47% VS dan 48.5 % COD tereduksi dan produk biogas 0.15 L biogas/ kg VS (Abubakar
dan Ismail., 2012).Biogas diperoleh dengan melakukan kombinasi eceng gondok dan

3
kotoran domba. Perbandingan 4 : 12,01 : 83,90 antara eceng gondok : kotoran domba :
air menghasilkan produksi biogas sebanyak 0,36 l/g VS (Patil et al, 2014). Pada
penelitian Sitorus melakukan pencampuran limbah buah dan sayuran dengan komposisi
limbah sayuran 78 %, limbah umbi 4 % dan 18 % limbah buah menghasilkan
kandungan metana tertinggi di biogas adalah 65 % dengan aliran biogas dari 20-40 ml /
menit. Produksi biogas dari tepung singkong dengan menggunakan mikroalga sebagai
biostabilisator yang dilakukan oleh Budiyono dan T.D. Kusworo menghasilkan biogas
sebenyak 726,43 ml/g. Biogas diperoleh dengan perbandingan kombinasi antara kotoran
sapi dan air 1: 3 , kemudian kotoran sapi dengan rumen 1:2 menghasilkan biogas dengan
volume tinggi (Budiyono et al., 2012). Penggunaan rumen sapi sebagai inoculum dimana
didapat hasil maksimum dengan penambahan rumensapi 25-50 % dan TS 7,4- 9,2%
(Budiyono et al., 2014). Biogas juga diproduksi dari limbah tapioka, laju produksi paling
tinggi dihasilkan dari digester dengan komposisi 60 % v tapioka dan 40 % kotoran sapi
(Sunarso dan Sumardiono, 2012).Selain itu terdapat juga penelitian biogas tepung
singkong dengan biokatalisator mikroalga menggunkan buffer Na2CO3, dimana hasil
menunjukkan biogas dengan penambahan mikroalga sebanyak 726,43 ml/g lebih banyak
dibanding yang lain (Budiyono dan Kusworo, 2011). Biogas juga dihasilkan dari industri
gula yang berupa vinasse yang merupakan limbah industri ethanol digunakan
perbandingan bahan baku vinasse: air = 1:3 dimana menggunakan variable COD/N
didapat hasil COD/N yang terbaik dalam menghasilkan biogas yaitu 600/7 dengan
produksi biogas sebesar 109,368 mL/kg (Budiyono et al., 2013). Pengembangan biogas
vinasse menggunakan penambahan rumen serta rumen+ urea penelitian menunjukkan
bahwa penambahan rumen dan urea menghasilkan biogas yang lebih banyak (Budiyono
et al., 2014).
Di antara berbagai sisa tanaman pertanian ampas tebu merupakan limbah
lignoselulosa dari pabrik gula dan pengolahan pertanian (Tuesorn., et al., 2013). Di
negara Brazil merupakan salah satu negara dengan pengahasil tebu terbanyak didunia.
Dalam satu hari dapat menghasilkan 503 ton ampas tebu, ampas tebu yang melimpah
digunakan sebagai bahan bakar pembuatan gula akan tetapi proses tersebut menimbulkan
pencemaran lingkungan yang perlu ditindak lanjuti (Mariano., et al., 2013). Gula yang
diproduksi tidak lepas dari adanya proses pemanasan untuk proses refineri gula (De
Souza., et al., 2011). Proses tersebut tentunya memerlukan bahan bakar yang diperoleh
dari bahan bakar fosil (Herout., et al., 2011). Untuk mengurangi penggunaan bahan
bakar fosil ini industri gula umumnya menggunakan ampas tebu sebagai bahan bakarnya

4
(De Souza., et al., 2011). Ampasnya sekitar 35 - 40% dari berat tebu yang digiling hanya
dimanfaatkan sebagai bahan bakar industry bahkan dibuang sehingga akan menjadi
limbah (Malau, 2009). Menurut rumus Pritzelwitz tiap kilogram ampas tebu dengan
kandungan gula sekitar 2,5 % akan memiliki kalor sebesar 1825 kkal.
Limbah pertanian seperti ampas tebu dapat diperoleh dalam jumlah besar dari
industri gula dan alkohol (De Souza., et al., 2011). Biasanya ampas tebu hanya
digunakan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan tenaga pabrik gula. Namun, jumlah
besar dari ampas tebu yang tersisa tidak digunakan dan dibakar sehingga dapat
menyebabkan masalah lingkungan (Hanim.,et al., 2012). Ampas tebu diperoleh dari sisa
produksi gula di industri pengolahan (Liu et al., 2015). Berdasarkan bahan kering, ampas
tebu adalah terdiri dari unsur C (carbon) 47%, H (Hydrogen) 6,5 %, O (Oxygen) 44%
dan abu (ash) 2,5 %. Proses pembakaran ini tentu akan menghasilkan asap yang
berakibat polusi. Selain itu proses pembakaran juga menghasilkan karbon dan hasilnya
langsung dibuang (Cavinato et al., 2012). Ampas tebu mudah terbakar karena
didalmanya terkandug air, gula, serat dan mikroba sehingga bila tertumpuk akan
terfermentasi dan melepaskan panas (Deublein and Steinhauser, 2008). Untuk itu perlu
adanya solusi penanganan limbah ampas tebu. Sehingga limbah ampas tebu merupakan
bahan baku yang sesuai untuk dibuat sebagai biogas (Yassar et al., 2014).
Ampas tebu yang dibakar akan menghasilkan energi dan residu (Janke., et al.,
2015). Residu yang dihasilkan berupa padatan yang nantinya dibuang sebesar 2,4% dari
produk (calvarho, 2010). Sehingga akan memunculkan masalah limbah baru.
Pemanfaatan ampas tebu belum dioptimalkan mengingat potensi tebu yang sangat besar,
padahal ampas tebu dapat memberikan nilai lebih besar (Malau, 2009). Ampas tebu
merupakan limbah lignoselulosa dari pabrik gula dan pengolahan pertanian (Maryana., et
al., 2013). Ketersediaan bahan baku lignoselulosa yang melimpah di dunia membuat
lignoselulosa menjadi bahan baku yang paling banyak diminati untuk produksi biofuel
(Teghamar, 2013). Selain faktor ketersediaan lignoselulosa di alam, kandungan karbon
yang banyak terdapat di lignoselulosa menjadikan lignoselulosa sebagai sumber bahan
baku yang tepat untuk produksi biogas (Kabir, et al. 2014).
Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas, adalah hasil samping dari proses
ekstraksi (pemerahan) cairan tebu. Dari satupabrik dihasilkan ampas tebu sekitar 35
40% dari berat tebu yang digiling. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian Perkebunan
Gula Indonesia (P3GI) ampas tebu yang dihasilkan sebanyak 32% dari berat tebu giling.
Ampas tebu sebagian besar mengandung ligno-cellulose (Liu et al., 2015). Panjang

5
seratnya antara 1,7 sampai 2 mm dengan diameter sekitar 20 mikro, sehingga ampas tebu
ini dapat memenuhi persyaratan untuk diolah menjadi papan-papan buatan. Bagase
mengandung air 48 - 52%, gula rata-rata 3,3% dan serat rata-rata 47,7%. Serat bagase
tidak dapat larut dalam air dan sebagian besar terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin
(Janke., et al., 2015).
Poduksi biogas dari bahan baku lignoselulosa terdiri dari pretreatment,
anaerobichydrolysis dan produksi metana. Pretreatment dapat dilakukan untuk
meningkatkan yield total metana (Hendriks and Zeeman, 2010). Pretreatment pada
bahan baku lignoselulosa juga bertujuan untuk memudahkan konversi biopolymer yang
terdapat di selulosa. Pretreatment yang dilakukan dapat berupa pretreatment fisika,
kimia dan biologi (Schimpf et al., 2013). Pretreatment yang direkomendasikan untuk
bahan baku lignoselulosa adalah pretreatment fisika yaitu dengan cara melakukan size
reduction untuk mengurangi ukuran partikel dan derajat kristalinitas selulosa (Carvalho,
2010).
Bahan lignoselulosa memiliki tiga unsur utama :selulosa, hemiselulosa dan lignin
(Rabelo., et al., 2011). Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin (Zhu
et al., 2010). Selulosa dan hemiselulosa memiliki rantai monomer-monomer gula yang
panjang dan dapat dikonversi menjadi bioenergy melalui pretreatment dan hidrolisis
(Petersson et al., 2007). Ampas tebu memiliki kandungan utama Xilosa. Xilosa
(C5H10O5) merupakan monosakarida yang dihasilkan dari hidrolisis hemiselulosa berupa
xilan. Xilosa dikenal sebagai gula kayu, karena terdapat dalam kayu yang kaya akan
hemiselulosa (Canilha., et al., 2013). Hemiselulosa diperoleh dengan cara memanfaatkan
limbah lignoselulosa yang terutama mengandung selulosa 35-50%, hemiselulosa 20-
35%, lignin 10-25%.

I.2 RUMUSAN MASALAH

Produksi biogas menggunakan biomassa lignoselulosa harus memperhatikan


beberapa parameter agar dapat dihasilkan biogas yang banyak. Biogas dengan bahan
lignoselulosa kaya dengan sumber karbon dan selulosa, hemiselulosa dan lignin. Struktur
dari lignoselulosa bercabang dan rantai polimer kompleks. Lignin yang merupakan
ikatan crosslingking kompleks dari polisakarida. Dimana hal tersebut menghambat

6
masuknya air ke dinding sel sehingga menghambat proses anaerobic disgestion dari
degradasi selulosa oleh mikroorganisme. Sehingga diperlukan proses pretreatmen dalam
pembuatan biogas dengan bahan lignoselulosa agar didapatkan yield biogas yang
optimum. Pretreatmen bahan baku lignoselulosa bisa dilakukan dengan beberapa macam
cara seperti fisik dengan proses milling dan irradiasi, secara kimia dengan hidrolisis
asam dan basa, oksidasi dan ekstraksi solven, fisika-kimia seperti ammmonia fiber
explosion dan CO2 dan steam explosion, secara biologi melalui treatment mikrobiologi.
Dalam penelitian ini akan digunakan pretreatment milling, NaOH dan rumen. Digunakan
konsentrasi NaOH 3% g/g TS dengan waktu perendaman selama 24 jam. Pengecilan
ukuran dengan variasi <16 mesh danpenambahan microbial consortium sebanyak 5% g/v
dan rasio bagasse : rumen = 1:1. Dalam proses pembuatan biogasnya sendiri dipengaruhi
oleh beberapa variabel Rasio F/I (Feedstock/inocllum), kandungan TS, rasio C/N, suhu
dan pH. Konsentrasi TS yang terlalu tinggi dapat menurunkan produksi metana.
Sedangkan rasio feedstock/inocullum yang semakin besar dapat menurunkan produksi
gas metana yang terbentuk. Dalam penelitian ini juga dipelajari rasio feed/inocullum
dimana digunakan rasio feedstock/inocullum yaitu 10 % dan 18 %.

I.3 TUJUAN

Tujuan umum dari penelitian yang dilakukan adalah untuk memproduksi biogas
dari bahan baku lignoselulosa yaitu ampas tebu, sedangkan tujuan khusus pada penelitian
ini adalah:
1. Mengkaji pengaruhwaktu terhadap produksi biogasdengn perbandingan komposisi
antara bahan baku ampas tebu dan inoculum.
2. Mengkaji pengaruh pretreatment fisika, kimia, dan biologi pada bahan baku ampas
tebu terhadap produksi biogas
3. Mengkaji pengaruh rasio C/N pada produksi biogas ampas tebu.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Memberikan informasi solusi penanganan limbah ampas tebu yang dapat dijadikan
biogas.
1. Memberikan informasi kepada pembaca tentang sumber energi alternatif baru yaitu
biogas yang dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar fosil yang lebih ramah
lingkungan.

7
2. Memberikan informasi mengenai pengolahan limbah lignoselulosa terutama limbah
amas tebu untuk dapat dijadikan biogas.
3. Memberikan informasi mengenai pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku biogas
sebagai alternatif energi pada proses pengolahan gula tebu.

Anda mungkin juga menyukai