Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

TINEA CRURIS

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh :
Agnes Indah Nugraheni
G4A015143

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

TINEA CRURIS

Pada tanggal, Juli 2017

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekardjo

Disusun oleh :
Agnes Indah Nugraheni G4A015143

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

2
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus ini.
Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, terutama dr. Ismiralda Oke
Putranti, Sp.KK, selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari presentasi kasus
ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga presentasi kasus ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan
dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, Juli 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 3

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 4

I. LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien ......................................................................................... 5
B. Anamnesis ................................................................................................ 5
C. Status generalis ........................................................................................ 7
D. Status dermatologi ................................................................................... 8
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang ............................................................... 9
F. Diagnosis banding .................................................................................... 9
G. Diagnosis kerja......................................................................................... 9
H. Resume ..................................................................................................... 9
I. Penatalaksanaan ....................................................................................... 10
J. Prognosis .................................................................................................. 10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ...................................................................................................... 11
B. Epidemiologi ............................................................................................. 11
C. Etiologi ...................................................................................................... 11
D. Patogenesis ................................................................................................ 12
E. Manifestasi klinis ...................................................................................... 15
F. Pemeriksaan Penunjang............................................................................. 17
G. Diagnosis Banding .................................................................................... 19
H. Penatalaksanaan ........................................................................................ 21
I. Prognosis ................................................................................................... 22
J. Komplikasi ................................................................................................ 22
III. PEMBAHASAN ........................................................................................... 23
IV. KESIMPULAN ............................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................25

4
I. LAPORAN KASUS

1. Identitas pasien

Nama : Sdr. S

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 17 tahun

Pekerjaan : Pelajar

Pendidikan Terakhir : SMA

Status Pernikahan : Belum menikah

Agama : Islam

Alamat : Cilongok 4/5

No. CM : 00467773

2. Anamnesis
Auto-anamnesis dilakukan pada tanggal 12 Juli 2017 di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Prof. Margono Soekarjo pukul 09.00
Keluhan Utama:
Gatal di kedua lipat paha dan pantat sejak 1 bulan yang lalu.
Keluhan Tambahan:
Terdapat ruam kemerahan yang menggelap di kedua lipat paha dan pantat yang
gatal dan gatal memberat jika sedang berkeringat
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik kulit dan kelamin RSUD Margono
Soekarjo dengan keluhan gatal di kedua lipat paha dan pantat sudah sejak 1
bulan yang lalu. Gatal disertai munculnya ruam kemerahan di kedua lipat paha
yang melebar sampai ke daerah pantat, gatal juga memberat jika sedang
berkeringat. Ruam kemerahan pertama kali muncul di lipatan paha kiri,
kemudian karena terasa gatal pasien menggaruknya terus menerus, dan tidak
lama kemudian gatal dan ruam kemerahan melebar ke lipatan paha kanan dan
bagian pantat, warna yang sebelumnya merah menjadi keabu-abuan Pasien

5
mengakui apabila sedang berkeringat bagian lipat paha dan pantat semakin
terasa gatal dan mengganggu aktivitas.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat penyakit kulit sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat penyakit kronis lainnya : disangkal
Riwayat konsumsi imunosupresan : disangkal
jangka panjang
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat sakit kulit sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat Sosial dan Ekonomi :
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pasien tinggal
bersama ayah, ibu dan adiknya dalam satu rumah. Pasien tinggal di perumahan
yang padat penduduk dan rumah berdekatan. Pasien adalah seorang pelajar
SMA.
Riwayat Higiene :
Pasien mengaku sering mandi hanya 1 hari sekali yaitu pada saat pagi
saja atau sore saja. Pasien juga mengaku jarang mengganti celana dalam
maupun celana luar.

6
3. Status Generalis

Keadaaan umum : Sedang


Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 120/80
Nadi : 82 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36.5 C
BB, TB : 78 kg, 158 cm
Mata : conjungtiva mata kanan dan kiri anemis (-), tidak ada
skela ikterik pada mata kanan dan kiri.
Telinga : tidak ada ottorhea.
Hidung : tidak keluar secret, nafas cuping hidung (-)
Mulut : mukosa bibir tidak sianosis
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada
gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium
intercostalis.
Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan sama dengan
kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi basah
kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada
kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing.
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas.
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari
medial LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD

7
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan
gallop.
Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

4. Status Dermatologikus
Lokasi :
Regio cruris dextra et sinistra, meluas ke daerah gluteus
Efloresensi:
Tampak makula hiperpigmentasi berbatas tegas disertai skuama di
atasnya dengan tepi aktif dan central healing.

Gambar 1. Tampak makula hiperpigmentasi berbatas tegas disertai skuama,


dengan tepi aktif dan central healing di region cruris dextra et sinistra.

8
Gambar 2. Makula hiperpigmentasi berbatas tegas disertai skuama,
dengan tepi aktif dan central healing meluas ke daerah gluteus.

5. Usulan Pemeriksaan Penunjang


Lampu wood
Kerukan kulit dengan KOH
Kultur media sabouraud agar
6. Diagnosis Banding
Eritrasma : Batas lebih tegas, jarang disertai infeksi, fluoresensi merah
bata yang khas dengan sinar Wood
Kandidiasis : lesi relative lebih basah, berbatas jelas disertai lesi-lesi
satelit
Psoriasis intertriginosa : skuama lebih tebal dan berlapis - lapis
7. Diagnosis Kerja
Tinea Kruris
8. Resume
Pasien datang ke poli penyakit kulit dan kelamin RSMS dengan
keluhan gatal pada kedua lipat paha dan pantat sejak 1 bulan yang lalu dan
memberat bila berkeringat. Gatal disertai munculnya ruam kemerahan di kedua
lipat paha yang melebar sampai ke daerah pantat. Ruam kemerahan pertama
kali muncul di lipatan paha sebelah kiri, kemudian karena terasa gatal pasien
menggaruknya terus menerus, dan tidak lama kemudian gatal dan ruam

9
kemerahan melebar ke lipatan paha kanan dan bagian pantat. Warna ruam yang
semula merah, semakin lama menjadi keabu-abuan. Pasien baru pertama kali
mengalami sakit seperti ini, sebelumnya pasien tidak pernah berobat. Pasien
juga mengaku kurang menjaga kebersihan diri, mandi hanya satu kali dalam
sehari, dan jarang mengganti celana dalam maupun luar.
Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan makula hiperpigmentasi
berbatas tegas disertai skuama di atasnya dengan tepi aktif dan central healing
pada regio cruris dextra et sinistra dan meluas ke daerah gluteus.
9. Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
a. Antimikotik sistemik : Ketokonazole 200 mg, 1x1 tab per hari
selama 1 bulan
b. Antihistamin : Loratadin 10 mg, 1x1 tab per hari
c. Antimikotik topical : Ketokonazole 2% cream 2x oles setiap hari
selama 1 bulan
2) Non medikamentosa
a. Jaga daerah lesi tetap kering dan bersih.
b. Mandi 2x sehari dan rutin mengganti pakaian dalam minimal 2x
sehari.
c. Bila gatal jangan digaruk karena akan menyebabkan infeksi.
d. Bila berkeringat dan setelah membasuh area lipat paha dan pantat,
keringkan dengan handuk/tissue dan mengganti pakaian yang
lembab.
e. Pakaian dan handuk penderita harus rutin dicuci.
f. Jangan menggunakan pakaian atau handuk secara bersama-sama
dengan orang lain.
10. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
- Quo ad komestikum : ad bonam
-

10
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung
zat tanduk, misal stratum korneum pada epidermis, rambut, serta kuku, yang
disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita yaitu Epidermophyton,
Mycrosporum dan Trycophyton (Paramata et al., 2009).
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada daerah kruris dan sekitarnya.
Biasanya banyak terdapat pada sela paha, perineum dan sekitar anus.
Kelainan ini Dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada
daerah genito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah
gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris
mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the
groin dan dhobie itch (Budimulja, 2013).

B. Epidemiologi
Tinea kruris adalah jenis kedua dari dermatofitosis yang paling umum di
seluruh dunia, namun lebih sering terjadi pada zona tropis, seperti Indonesia.
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk klinis tersering di Indonesia dan
ditemui terutama pada musim panas dengan tingkat kelembaban tinggi. Tinea
kruris dapat bersifat akut ataupun kronis, dan dapat diderita seumur hidup.
Tinea kruris lebih sering diderita oleh orang dewasa dibanding anak dan
menyerang laki-laki tiga kali lebih sering dibanding wanita, salah satu
alasannya karena skrotum menciptakan kondisi yang hangat dan lembab
(James e al,2011; Budimuldja, 2013).
Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris. Jamur ini
sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau
lingkungan sekitar yang kotor dan lembab (Siregar, 2004).

C. Etiologi

Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita.


Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.

11
Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi dalam tiga genus,
yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton, mempunyai sifat
mencerna keratin. Penyebab tersering tinea kruris adalah Epidermophyton
floccosum, diikuti Tricophyton rubrum, dan Tricophyton mentagrophytes
(Schieke & Garg, 2012).
Tinea kruris seperti halnya tinea korporis menyebar melalui kontak
langsung ataupun kontak dengan peralatan yang terkontaminasi, dan dapat
mengalami eksaserbasi karena adanya oklusi dan lingkungan yang hangat,
serta iklim yang lembab (Adiguna, 2011).

D. Patogenesis
Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang
luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh
masuknya artrospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang
paling atas, yaitu pada stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase
dan menginduksi reaksi inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini
dapat menghilangkan patogen dari tempat infeksi sehingga patogen akan
mecari tempat yang baru di bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang
menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa central healing (Straten et
al., 2003).
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena
stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita
dan untuk pertumbuhan miselia jamur. Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga
tahap: adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host
(Schieke & Garg, 2012; Gupta, 2003).
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar
artrokonidia sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada
keratin. Organisme ini harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet,
variasi suhu dan kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan zat
yang dihasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh
kelenjar sebasea bersifat fungistatik.

12
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan
penetrasi pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi
proteinase, lipase, dan enzim musinolitik yang juga menyediakan
nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan maserasi juga memfasilitasi
penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga pada patogenesis
tinea. Mannan yang terdapat pada dinding sel jamur menyebabkan
penurunan proliferasi keratinosit. Pertahanan yang baru timbul pada
lapisan kulit yang lebih dalam, termasuk kompetisi besi oleh transferin
yang belum tersaturasi dan dapat menghambat pertumbuhan jamur
yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis
pada sel yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa
mekanisme. Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti
yang dihasilkan juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi
komplemen melalui jalur alternatif, yang kemudian menghasilkan
faktor kemotaktik berasal dari komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat
namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan dermatofita.
Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon- yang diatur oleh sel
Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita
sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan dan tes
trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang negatif. Infeksi akan tampak
sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai hasil dari percepatan tumbuhnya
keratinosit. Ada yang mengungkapkan hipothesis bahwa antigen dari
dermatofita lalu diproses oleh sel Langerhans dan dipresentasikan di nodus

13
limfatikus kepada sel limfosit T. Sel limfosit T berproliferasi klonal dan
bermigrasi ke tempat infeksi untuk melawan jamur. Saat itu lesi kulit
menunjukkan reaksi inflamasi dan barier epidermal menjadi permeable untuk
migrasi dan perindahan sel. Sebagai akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi
dan lesi menjadi sembuh spontan. Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan
hasil yang positif dan penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya
menjadi lebih cepat.
Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1). Mekanisme imun
yang terlibat di dalam patogenesis infeksi jamur masih perlu diteliti lebih jauh
lagi. Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon imun
berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat (tipe IV)
terjadi pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi
produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat,
terutama pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam prosesnya, antigen
dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast kemudian
menyebabkan cross-linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya
degranulasi sel mast dan melepaskan histamin serta mediator proinflamasi
lainnya.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit
adalah (Hube et al, 2015; Schieke & Garg, 2012) :
1. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur
antropofilik, zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing
jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal afinitas
terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya:
Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophython
fluccosum paling sering menyerang lipat paha bagian dalam.
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk
terserang jamur.

14
3. Faktor suhu dan kelembapan
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi
jamur, tampak pada lokalisasi dimana banyak keringat seperti pada
lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur.
4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur
dimana terlihat insiden penyakit pada golongan sosial dan ekonomi
yang lebih rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi
yang baik.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Kebanyakan terjadi pada usia dewasa dan laki-laki lebih sering
terkena daripada wanita.

E. Manifestasi Klinis
1. Anamnesis
Keluhan utama dan keluhan tambahan pasien biasanya adalah rasa
gatal hebat pada daerah kruris (lipat paha), lipat perineum, intergluteal
sampai ke gluteus dan dapat ke genitalia. Pasien biasanya pernah memiliki
keluhan yang serupa sebelumnya. Pasien berada pada tempat yang
beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan
orang lain, aktif berolahraga, atau menderita diabetes mellitus. Penyakit ini
dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlet olahraga dan individu
yang berisiko terkena dermatofitosis (Janik & Hefferman, 2008).
2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi berupa makula eritematosa numular sampai geografis,
berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula dan pustula. Jika
kronik makula menjadi hiperpigmentasi dengan skuama di atasnya.
Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likenifikasi. Manifestasi
tinea cruris dapat berupa (Janik & Heffernan, 2008) :
a. Makula eritematosa dengan central healing di lipatan inguinal,
distal lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis

15
b. Daerah bersisik
c. Pada infeksi akut bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif
d. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama
diatasnya dan disertai likenifikasi
e. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula
eritematus yang tersebar dan sedikit skuama
f. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena
g. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi
mungkin muncul karena garukan
h. Infeksi kronis dapat terjadi oleh karena pemakaian kortikosteroid
topikal sehingga tampak kulit eritemaosa, sedikit berskuama, dan
mungkin terdapat pustula folikuler
i. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea
pedis

Gambar 3. Plak eritematosa dan skuama pada region inguinal yang meluas ke
region pubis ( Schieke & Garg, 2012).

16
Gambar 4. Makula hiperpigmentasi regional (Siregar, 2004).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah tidak berguna untuk diagnosis infeksi jamur
superficial. Pemeriksaan histopatologi biasanya menunjukkan gambaran yang
tidak khas. Pemeriksaan mikologik untuk penegakan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik
untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang
sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70% (Schieke & Garg, 2012; James,
2011).
1. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70%, kerok skuama dari
bagian tepi lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas, taruh di
obyek glass tetesi KOH 20% sebanyak 1-2 tetes tunggu 10-15 menit
untuk melarutkan jaringan, lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-
45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh
sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada
kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium

17
Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering
tinea kruris (Schieke & Garg, 2012)
Morfologi Koloni Gambaran Keterangan
Mikroskopis
T. rubrum
Beberapa mikrokonidia berbentuk
air mata, makrokonidia jarang
berbentuk pensil.

E. floccosum
Tidak ada mikrokonidia, beberapa
dinding tipis dan tebal.
Makrokonidia berbentuk gada.

T. interdigitale

Mikrokonidia yang bergerombol,


bentuk cerutu yang jarang,
terkadang hifa spiral.

2. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud


Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis
pada medium saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan
cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan
kontaminasi bacterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur
biasanya antara 3-6 minggu.
3. Punch biopsy
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
namun sensitifitas dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan
Peridoc AcidSchiff, jamur akan tampak merah muda atau

18
menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak
coklat atau hitam.
4. Lampu Wood
Pemeriksaan lampu Wood adalah pemeriksaan yang
menggunakan sinar ultraviolet. Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila sinar
ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur dermatofita
tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat dengan memberi
warna (fluoresensi).Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk
menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak floresensi
merah bata (Hidayati et al., 2009).

G. Diagnosis Banding
1. Kandidosis
Pasien biasanya mengeluh rasa gatal yang hebat disertai rasa panas
seperti terbakar, terkadang juga nyeri jika ada infeksi sekunder. Penyakit ini
disebabkan oleh spesies Candida yang biasanya adalah Candida albicans.
Lokasi biasanya terdapat di bokong sekitar anus, lipat ketiak lipat paha, lipat
bawah payudara, sekitar umbilikus, garis-garis kaki dan tangan, kuku.
Efloresensi berupa daerah yang eritematosa, erosif, kadang dengan papul dan
skuama. Pada keadaan yang kronik dapat terjadi likenifikasi, hiperpigmentasi,
hyperkeratosis, dan kadang berfisura (James, 2011).
Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik endogen
maupun eksogen. Faktor endogen misalnya kehamilan karena perubahan pH
dalam vagina, kegemukan karena banyak keringat, debilitas, iatrogenik,
endokrinopati, penyakit kronis orang tua dan bayi dan imunologik (penyakit
genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas dan kelembapan, kebersihan kulit
kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air yang lama menimbulkan maserasi
dan memudahkan masuknya jamur, dan kontak dengan penderita (Djuanda,
2013).
Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa bercak yang
berbatas tegas, bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian meluas, berupa
vesikel yang dapat berisi nanah berdinding tipis, ukuran 2-4 mm, bercak
kemerahan, batas tegas. Pada bagian tepi kadang-kadang tampak papul dan
skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh vesikel atau papul di sekitarnya berisi

19
nanah yang bila pecah meninggalkan daerah yang luka, dengan pinggir yang
kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit sela jari tampak merah atau
terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang kronik, kulit sela jari menebal
dan berwarna putih. Pada tes KOH ditemukan pseudohifa. Pada media
Sabouroud terlihat koloni berwarna coklat mengkilat, permukaannya
basah(Schieke & Garg, 2012; Siregar, 2004).
2. Eritrasma
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang
disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai berupa lesi eritema
dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi
berukuran sebesar milier sampai plakat. Lesi eritroskuamosa, berskuama halus
kadang terlihat merah kecoklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi
dan warna kulit penderita. Tempat predileksi kadang di daerah intertriginosa
lain terutama pada penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang
eritematosa dan serpiginosa. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi.
Efloresensi yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan
tanda khas dari eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada
perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi terlihat
berfluoresensi merah membara (coral red) yang dihasilkan oleh bakteri
Corynebacterium minutissimum (Schieke & Garg, 2012; Siregar, 2002).

3. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit autoimun, bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan
skuama yang kasar, berlapis-lapis, dan transparan, disertai fenomena
tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner. Tempat predileksi pada kulit kepala,
ekstremitas ekstensor terutama siku serta lutut dan daerah lumbosakral.
Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema yang meninggi (plak) dengan
skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium
penyembuhan sering bagian di tengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika,
serta transparan. Besar kelainan bervariasi dapat lentikular, numular atau
plakat,dapat berkonfluensi (Djuanda, 2013).

20
H. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
Budimulja (2008) dan Risdianto et al. (2013), menyebutkan bahwa
penatalaksanaan kasus dermatofita tidak hanya berfokus pada terapi
medikamentosa saja, namun juga dilakukan secara non medikamentosa
untuk mencegah kekambuhan. Edukasi pasien sebagai berikut :
1) Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
2) Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan
sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara.
3) Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi
jamur.
4) Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk
mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
5) Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara
bergantian dengan orang yang terinfeksi.
6) Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas
untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.
2. Pengobatan Sistemik
Menurut Haber (2007), pengobatan sistemik yang dapat diberikan
pada tinea kruris adalah:
a) Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Obat ini
bersifat fungistatik. Dosis untuk anak-anak 10-25 mg/kgBB/hari,
sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari.
b) Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea kruris yang resisten
terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200
mg/hari selama 3 minggu.

21
c) Itrakonazol
Itrakonazol cukup baik dalam pengobatan tinea kruris. Itrakonazol
diberikan dengan dosis 400 mg/hari diberikan sebagai dua dosis
harian 200 mg untuk satu minggu.
3. Pengobatan Topikal
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti
jamur topikal saja. Lama pengobatan tinea kruris menggunakan antijamur
topikal umumnya sampai 1-2 minggu. Untuk pengobatan topikal dengan
antijamur yang bersifat fungistatik, pengobatan dilanjutkan 1-2 minggu
setelah lesi hilang/sembuh. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan. Untuk pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat
fungisidal, pengobatan cukup diberikan selama 1-2 minggu, tidak perlu
diteruskan setelah lesi hilang/ sembuh. Obat dioles di atas lesi menjadi
satu lapisan tipis yang menutupi paling sedikit sampai 3 cm ke arah luar
lesi (Siswati & Ervianti, 2013).
I. Prognosis
Prognosis tinea cruris adalah baik, jika kelembapan dan kebersihan kulit
pasien selalu terjaga (Yosella, 2015).

J. Komplikasi
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain.
Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi
kulit (Gupta, 2003).

22
III. PEMBAHASAN

Pasien mulai merasakan gatal sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu di
daerah lipat paha dan pantan. Awalnya muncul ruam kemerahan di paha sebelah
kiri, kemudian karena terasa gatal pasien menggaruknya terus-menerus, dan tidak
lama kemudian gatal dan ruam kemerahan melebar kelipatan paha kanan dan
bagian pantat. Warna ruam yang semula merah, semakin lama menjadi keabu-
abuan. Gatal semakin parah apabila pasien berkeringat. Pasien baru pertama kali
mengalami sakit seperti ini, sebelumnya pasien tidak pernah berobat. Pasien juga
mengaku kurang menjaga kebersihan diri, mandi hanya satu kali dalam sehari,
dan jarang mengganti celana dalam maupun luar.
Pada pemeriksaan dermatologis ditemukan makula hiperpigmentasi
berbatas tegas disertai skuama di atasnya dengan tepi aktif dan central healing
pada regio cruris dextra et sinistra dan meluas ke daerah gluteus.
Tinea kruris adalah dermatofitosis yang terjadi pada daerah kruris dan
sekitarnya. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja atau bahkan
meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian
tubuh yang lain. Salah satu faktor yang paling penting berperan dalam terjadinya
tinea kruris adalah kurangnya higienitas seseorang.
Pengobatan tinea kruris membutuhkan waktu antara 2-4 minggu tanpa
putus obat bahkan dapat lebih dari itu bila lesi sangat luas dan proses
penyembuhan lambat. Apabila terdapat kegagalan terapi, maka jamur pada kulit
masih dapat berkembang dan menimbulkan lesi yang lebih luas. Selain itu faktor
eksogen seperti higienitas diri dan lingkungan juga perlu diperhatikan dengan cara
menciptakan gaya hidup yang bersih dan sehat. Bila jamur sudah menghilang
namun pasien tidak mengubah pola hidupnya maka tidak menutup kemungkinan
bahwa pasien akan terkena tinea kruris kembali atau tinea yang lainnya.

23
IV. KESIMPULAN

1. Tinea kruris adalah dermatofitosis yang mengenai lipat paha, daerah


perineum dan anus. Lesi dapat meluas ke daerah sekitar anus, daerah
gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain.
2. Tine kruris lebih banyak diderita oleh pria disbanding wanita.
3. Etiologi tinea kruris dapat disebabkan oleh Epidermophyton
floccosum, Tricophyton rubrum, dan Tricophyton mentagrophytes.
4. Diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang.
5. Gejala klinis yaitu berupa rasa gatal yang meningkat pada saat
berkeringat pada lipat paha, genital, sekitar anus, dan daerah
perineum.
6. Pemeriksaan fisik didapatkan makula hiperpigmentasi berbatas tegas
disertai skuama di atasnya dengan tepi aktif dan central healing.
7. Pemeriksaan laboratorium yaitu dilakukan mikroskopis langsung
dengan kerokan lesi dan KOH 10% akan tampak hifa panjang,
bersekat, dan bercabang atau dengan pemeriksaan kultur.
8. Pengobatannya dapat secara sistemik, topikal maupun keduanya
tergantung dari luas lesi. Pengobatan harus dilakukan selama 2-4
minggu tanpa putus obat.
9. Penyembuhan dan pencegahan kekambuhan penyakit ini sangat
tergantung oleh higienitas penderita.

24
DAFTAR PUSTAKA
Adiguna, MS. 2011. Update treatment in inguinal intertrigo and its differential.
Denpasar : Fakultas Kedokteran Udayana.

Budimuldja, U. 2013. Mikosis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:
FK UI. Hal 89-105.

Budimulja, U. 2008. Penyakit Jamur. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,


Jakarta.

Djuanda, A. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI.

Gupta, K., Chaudhry, M., Elewski, B. 2003. Tinea Corporis, Tinea Cruris, Tinea
Nigra, and Piedra. Dermatol Clin. 21:395-400.

Haber, M. 2007. Dermatological fungal infections. Canadian Journal of


Diagnosis University of Calgarys.

Hidayati, NA, Suyoso S, Hinda D, Sandra E. 2009. Mikosis superfisialis di


divisi mikologi unit rawat jalan penyakit kulit dan kelamin
RSUD dr. Soetomo surabaya tahun 20032005. Surabaya:
Department Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. 2009; 21(1)1-8.

Hube, B., Hay, R., Brasch, J., Veraldi, S., Schaller, M. 2015. Dermatomycoses
and Inflammation: The Adaptive Balance Between Growth, Damage, and
Survival. Journal of Medical Mycology. 25(1): 258-62.

James W., Berger, T., Elston, D. 2011. Andrews Disease of the Skin, Clinical
Dermatology 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Janik, M., Heffernan, P. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermathopytosis,


Onycomycosis, Tinea nigra, Piedra. Dalam Fitzpatrick Dermatology in
General Medicine. McGraw-Hill: USA. 807-812.

Paramata, NR, Maidin A, Massi N. 2009. The Comparison of Sensitivity Test of


Itraconazole Agent The Causes of Dermatophytosis in Glabrous
Skin In Makassar. Makassar: Bagian Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin. Makassar.

Schieke, M., Garg, A. 2012. Fungal Disease: Superficial Fungal Infection. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 8th Edition Volume 2. New
York: McGraw-Hill. p.2277-97.

Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC.

25
Straten MRV, Hossain MA dan Ghannoum MA. 2003. Cutaneous infections
Dermatophytosis, onychomycosis and tinea versicolor. Infect Dis Clin N
Am. 17: 87-112.

26

Anda mungkin juga menyukai