Anda di halaman 1dari 80

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi secara umum berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan.
Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok
obat ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Pemberian anestetikum dilakukan
untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan,
yang adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. 1,2
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan
hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal (trias
anestesi) terdiri dari: hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk
mengendalikan pernapasan, pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi.
Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. 2,3
Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesia umum, lainnya dengan
anestesia regional atau lokal. Operasi di sekitar kepala, leher, intrathorakal, intraabdominal
paling baik dilakukan dengan anestesia umum. Pilihan cara anestesia harus selalu terlebih dahulu
mementingkan segi-segi keamanan dan kenyamanan pasien. 4
Adanya perubahan pada berbagai sistem organ tubuh berkaitan dengan bertambahnya
usia mengakibatkan perbedaan perlakuan tindakan anestesia pada pasien geriatri. Hal ini
berkaitan dengan proses penuaan yang menimbulkan perubahan sistem organ yang
mengakibatkan meningkatnya resiko anestesi berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan
mortalitas. Kemunduran ini mulai jelas terlihat setelah usia 40 tahun. Dalam suatu penelitian di
Amerika, diduga, setelah usia 70 tahun, mortalitas akibat tindakan bedah menjadi 3 kali lipat
(dibandingkan dengan usia 18-40 tahun) dan 2% dari mortalitas ini disebabkan oleh anestesia. Di
Indonesia, persentase orang yang berumur >50 tahun adalah 9,64% dari jumlah penduduk. Para
manula ini mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan dalam anestesia dan pembedahan. 5,6

1
Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik diseluruh dunia, terutama
di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang
menderita anemia. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala
dari berbagai macam penyakit dasar. Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh
haemoglobin akan berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan,
jantung harus memompa darah lebih banyak. Peran anestesi adalah memastikan bahwa organ
vital menerima oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur
bedah berlangsung.7
Karsinoma mammae merupakan salah satu tumor ganas paling sering ditemukan pada
wanita. Kebanyakan pada usia setengah baya dan lansia. Jarang terjadi pada usia kurang dari 30
tahun, sedangkan yang kurang dari 20 tahun sangat jarang. Kanker payudara sering ditemukan di
seluruh dunia dengan insidens relatif tinggi, yaitu 20% dari seluruh keganasan. Diperkirakan di
AS 175.000 wanita didiagnosis menderita kanker payudara yang mewakili 32% dari semua
kanker yang menyerang wanita. Bahkan, disebutkan dari 150.000 penderita kanker payudara
yang berobat ke rumah sakit, 44.000 orang di antaranya meninggal setiap tahunnya. Kanker
payudara merupakan kanker terbanyak kedua sesudah kanker leher rahim di Indonesia. Selain
jumlah kasus yang banyak, lebih dari 70% penderita kanker payudara ditemukan pada stadium
lanjut.8
Berikut akan dilaporkan sebuah kasus anestesi umum pada pasien karsinoma mammae
dengan co-morbid anemia dan geriatri.

2
BAB. II
LANDASAN TEORI

1. Anestesi Umum
A. Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai
dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Agen anestesi
umum bekerja dengan cara menekan sistem saraf pusat (SSP) secara reversibel. Anestesi
umum diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang
ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia),
hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan
(immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness).1,3
Anestesi umum memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang
dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan
fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.3

B. Tujuan Anestesi
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut 3:
1. Hipnotik atau sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesik: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Relaksasi otot

C. Pilihan Cara Anestesi 3


1. Umur
Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum.
Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan dilakukan
dengan anestesi lokal atau umum.
2. Status fisik
Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Untuk mengetahui apakah pernah
dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada komplikasi
anestesi dan pasca bedah.

3
Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari penggunaan
anestesi umum.
Pasien gelisah, tidak kooperatif, atau disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.
Pasien obesitas, jika disertai leher pendek dan besar, sering timbul gangguan
sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesi. Pilihan anestesi
adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi
umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga
pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah
plastik, dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
6. Keinginan pasien
7. Bahaya kebakaran dan ledakan
Pemakaian obat anestesi yang tidak mudah terbakar dan tidak eksplosif adalah
pilihan utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum 3,9


1. Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam paru-paru
(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat
anestesi akan berdifusi melalui membran alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat
difusi zat anestesi sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan
parsial dalam arteri pulmonaris.

4
Hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:
1) Konsentrasi zat anestesi yang dihirup atau diinhalasi: makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesi dalam alveolus.
2) Ventilasi alveolus: makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya
tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.

2. Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Faktor yang mempengaruhi:
1) Perubahan tekanan parsial zat anestesi yang jenuh dalam alveolus dan darah vena.
Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesi diserap jaringan dan sebagian kembali
melalui vena.
2) Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah
dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat
anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat
larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat
terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita
mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
3) Aliran darah yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah
yang melalui paru makin banyak zat anestesi yang diambil dari alveolus,
konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai tingkat anestesi yang adekuat.

3. Faktor jaringan
1) Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan jaringan.
2) Koefisien partisi jaringan atau darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesi kecuali halotan.
3) Kecepatan metabolisme obat
4) Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (otak, jantung, hepar, ginjal). Organ-organ ini
menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesi ini

5
meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah
jantung.
b) Kelompok intermediet (otot skelet dan kulit)
c) Jaringan sedikit pembuluh darah
d) Relatif tidak ada aliran darah (ligament dan tendon).

4. Faktor zat anestesi


Bermacam-macam zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda-beda.
Untuk menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar
concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat
anestesi dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)
terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat
anestesi tersebut.

E. Stadium Anestesi Umum 2,9


Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar
tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat untuk
melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat.
Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium, yaitu:
1) Stadium I
Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak
diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini.
2) Stadium II
Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan
yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi,
pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka
meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia.

6
Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini
bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi
penderita dan induksi yang halus dan tepat.
3) Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan
bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada,
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai
relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,
pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air
mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).
4) Stadium lV
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak
dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan
pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

F. Tahapan Tindakan Anestesi Umum


1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan
pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan

7
bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan
operasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.10
a) Penilaian pra-bedah
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah sehingga dapat dirancang anestesi
berikutnya dengan baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang dapat
menimbulkan masalah di masa lalu sebaiknya jangan digunakan ulang
misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan atau
suksinilkolin yang menimbulkan apnea berkepanjangan juga jangan diulang.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.10
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan
umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.10
3) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah
(Hb, leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada
usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto
thoraks.10
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya pada operasi sito,
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.3

8
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko
anestesi karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek
samping pembedahan.10
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
5) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan
anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode
tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8
jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman air putih, teh
manis sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.10

b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi di antaranya:3,10

9
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:
Kunjungan pre-anestesi.
Pengertian masalah yang dihadapi.
Keyakinan akan keberhasilan operasi.
b) Memberikan ketenangan (sedatif).
c) Membuat amnesia.
d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau narkotik).
e) Mencegah mual dan muntah.
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2 antagonis.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat
darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat
diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Jika
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian
premedikasi intramuskuler, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi
jika diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali
atropin dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-
lahan dan diencerkan.3
Obat-obat yang sering digunakan3:
1) Analgesik narkotik
a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3gr/kgBB

10
2) Hipnotik
a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3) Sedatif
a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis 0,1mg/kgBB
c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
4) Antikolinergik
a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis 0,001
mg/kgBB
5) Neuroleptik
a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB

2. Induksi anestesi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat
dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien tidur
akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai
tindakan pembedahan selesai.10
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan STATICS:
S: Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

11
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel)yang mudah
dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.

Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:


a. Induksi intravena
Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan dengan hati-hati,
perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien,
nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.
Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.10
Obat-obat induksi intravena 2,3,9:
Tiophental (pentothal, tiophenton)
Sediaan ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan
dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg).
Hanya digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan
perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan
kecepatan suntikan tiophental akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hipnosis, anestesi, atau depresi napas. Tiophental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial, dan
diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah
bersifat anti-analgesik.
Kontra Indikasi:
1) Anak-anak di bawah 4 tahun
2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran
nafas
4) Penyakit jantung

12
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena
yang baik.
Propofol (diprivan, recofol)
Propofol ( 2,6 diisopropylphenol ) merupakan derivat fenol
yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena. Dikemas dalam
cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan
kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan
nyeri sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa
5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui, tapi
diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA A
(Gamma Amino Butired Acid).
Ketamin (ketalar)
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin,
merupakan rapid acting non barbiturate general anesthesia. Kurang
digemari karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi,
nyeri kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-muntah, pandangan
kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-10 mg.
Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5%
(1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100 mg).

13
Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskuler
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan
jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi intramuskuler 10
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi 3,9
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak terbakar,
dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah dan analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain
seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan diberikan analgesik semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas
pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2
> 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien
batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah tenang
dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesik lemah tetapi anestesi kuat.
Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula
darah.

14
Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih
iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan
tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik
lebih baik dibanding halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik
anestesi hiperventilasi sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah
otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien
dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%) bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napas
seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk
walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi di samping halotan.
d. Induksi per rektal 9,10
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya
sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung,
roentgen foto, pemeriksaan mata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb)
terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose
dengan inhalasi pada bayi dan anak-anak.

15
Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
e. Induksi mencuri 10
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa
hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien tetapi kita berikan
jarak beberapa sentimeter sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita
tempelkan.

3. Rumatan anestesi (maintenance)


Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total), dengan inhalasi,
atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias
anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesik cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri, dan relaksasi otot
lurik yang cukup.10
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50
g/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesik cukup
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot, dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau
N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan
perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4
vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu,
atau dikendalikan.10

16
4. Tatalaksana jalan napas 9,10
Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:
Hidung menuju nasofaring
Mulut menuju orofaring
Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum
molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esofagus
dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang
rawan tiroid, krikoid, epiglottis, dan sepasang aritenoid, kornikulata, dan
kuneiform.
1. Manuver tripel jalan napas
Terdiri dari:
1) Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital
2) Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
3) Mulut dibuka
Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas sehingga
gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.
2. Jalan napas faring
Jika maneuver tripel kurang berhasil maka dapat dipasang jalan napas mulut
faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-
pharyngeal airway).
3. Sungkup muka
Mengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke
jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika
digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan
gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.
4. Sungkup laring (laryngeal mask)
Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang
dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan
seperti balon pada pipa trakea. Tangkainya dapat berupa pipa keras dari polivinil
atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.

17
Dikenal 2 macam sungkup laring:
1) Sungkup laring standar dengan 1 pipa napas.
2) Sungkup laring dengan2 pipa yaitu 1 pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.
5. Pipa trakea (endotracheal tube)
Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut
(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
6. Laringoskopi
Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop merupakan
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal 2
macam laringoskop:
1) Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.
2) Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.
Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan
lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.

18
Gambar 1. Klasifikasi struktur faring Berdasarkan Mallampati3

7. Intubasi
Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glotis sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara
pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut:
1) Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret
jalan napas, dan lain-lainnya.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, dan ventilasi jangka panjang.
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Adapun prosedur dalam pelaksanaan intubasi meliputi:
Persiapan
1) Persiapan alat yang dibutuhkan seperti: laringoskop, ET, stilet, dan lain-
lain.
2) Masih siap pakai atau alat bantu napas.

19
3) Obat induksi seperti: pentotal, ketalar, diprivan, dan lain-lain.
4) Obat pelumpuh otot seperti: suksinil kolin, atrakurium, pavulon, dan
lain-lain.
5) Obat darurat seperti: adrenalin (efinefrin), SA, mielon, dan lain-lain.
Tindakan
1) Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap.
2) Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin fasikulasi (+).
3) Jika fasikulasi (-) ventilasi dengan O2 100% selama kira-kira 1
menit.
4) Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan
mendorong kepala sedikit ekstensi mulut membuka.
5) Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit
demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan menggeser lidah ke kiri.
6) Cari epiglotis tempatkan bilah di depan epiglotis (pada bilah
bengkok) atau angkat epiglotis (pada bilah lurus).
7) Cari rima glotis (dapat dengan bantuan asisten dengan menekan trakea
dar luar).
8) Temukan pita suara warnanya putih dan sekitarnya merah.
9) Masukan ETT melalui rima glotis.
10) Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi dan atau alat bantu
napas (alat resusitasi)
Adapun kesulitan dalam intubasi yaitu:
Leher pendek berotot
Mandibula menonjol
Maksila atau gigi depan menonjol
Uvula tidak terlihat
Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
Gerak vertebra servikal terbatas

20
Adapun komplikasi pada intubasi yaitu:
Selama intubasi
1) Trauma gigi geligi
2) Laserasi bibir, gusi, laring
3) Merangsang saraf simpatis
4) Intubasi bronkus
5) Intubasi esofagus
6) Aspirasi
7) Spasme bronkus
Setelah ekstubasi
1) Spasme laring
2) Aspirasi
3) Gangguan fonasi
4) Edema glotis-subglotis
5) Infeksi laring, faring, trakea
Sedangkan untuk pelaksanaan ekstubasi harus memperhatikan hal-hal berikut
ini:
1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar jika:
Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan
catatan tidak akan terjadi spasme laring.
3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.

5. Pasca anestesi 3
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama
yang menggunakan anestesi umum maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih
perlu diobservasi di ruang recovery room (RR).

21
1) Aldrete score
Nilai warna
Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dangkal tetapi pertukaran udara adekuat 1
Apnea atau obstruksi 0
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang < 20% dari normal 2
Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1
Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal 0
Kesadaran
Sadar, siaga, dan orientasi 2
Bangun tetapi cepat kembali tertidur 1
Tidak berespons 0
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.
2) Steward score (anak-anak)
Pergerakan
Gerak bertujuan 2
Gerak tak bertujuan 1
Tidak bergerak 0

22
Pernapasan
Batuk, menangis 2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan 0
Kesadaran
Menangis 2
Bereaksi terhadap rangsangan 1
Tidak bereaksi 0
Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

G. Mesin dan Peralatan Anestesi


Fungsi mesin anestesia (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas
anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien
dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesia sangat banyak
ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin
yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut 10:
1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
2. Ruang rugi (dead space) minimal
3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien
4. Bertekanan rendah
5. Kelembaban terjaga dengan baik
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari :
1. Sumber O2, N2O dan udara tekan
2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
4. Meteran aliran gas (flow meter)
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
7. Lubang O2 darurat (oxygen flush control)3

23
Berdasarkan sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi, anestesi
dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open, closed, dan semi closed 9:
1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada hubungan fisik
secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat anestesi. Karena itu tidak
menimbulkan peningkatan tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar
menuju udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan
polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang mudah terbakar maka
akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya
kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat dilakukan
respirasi kendali.
2. Dalam sistem semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag selain
reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1 arah, yang mengarahkan
udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat
keborosan dan polusi kamar operasi lebih rendah dibanding sistem open.
3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan
oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung CO2 yang lebih
tinggi, dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh
sodalime. Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan
oksigen dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali.
Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara ekspirasi
diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan kurang
menimbulkan polusi kamar operasi.
4. Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada udara
yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen dan gas
anestesi harus diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan
anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang
berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga. menimbulkan pecahnya
alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat anestesi dan tidak
menimbulkan polusi. Pada sistem closed dan semiclosed juga disebut system
rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu
sodalime untuk membersihkan CO2. Pada system open dan semi open juga disebut

24
sistem nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi yang diinspirasi kembali,
sistem ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar pada sistem semi open tidak
terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya
diberikan antara 2 3 kali menit volume respirasi penderita.

H. Kontraindikasi Anestesi Umum 3,9


Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:
b. Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat II total (tidak ada
gelombang P).
c. Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik >110 mmHg), diabetes
melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glomerulonefritis akut.
Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan anestesi
umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT (death on the table)
meninggal di meja operasi atau selain itu. Kemudian kontraindikasi relatif ialah pada saat
itu tidak bisa dilakukan anestesi umum tetapi melihat perbaikan kondisi pasien hingga
stabil mungkin baru bisa diberikan anestesi umum.

2. Anestesi Pada Pasien Geriatri dan Anemia


A. Anestesi Pada Geriatri
1) Definisi Penuaan
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat betahan
terhadap jejas dan memperbaiki kerusakan yang diderita.6
Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan
terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan
struktural yang disebut penyakit degeneratif (hipertensi, aterosklerosis, DM,
dan kanker).6
Perubahan fisiologis penuaan dapat mempengaruhi hasil operasi tetapi
penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum pada usila
terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga menurunnya

25
respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan juga
mudah terjadi hipotermia.6
Departemen Kesehatan RI mengelompokkan usia lanjut berdasarkan
undang-undang no. 4 tahun 1985 yaitu 5:
1. Usia lanjut dini, adalah kelompok dalam prasenium, yaitu kelompok yang
memasuki usia lanjut (55-64 tahun)
2. Usia lanjut, adalah kelompok dalam masa senium (65 tahun)
3. Usia lanjut dengan risiko tinggi, yaitu kelompok yang berusia di atas 70 tahun,
atau kelompok usia lanjut yang menderita penyakit berat atau cacat.
Bicara mengenai proses penuaan meliputi apa yang disebut dengan5:
1) Usia kronologis
2) Usia fisiologis/biologis
3) Usia klinis

a. Usia kronologis
Usia kronologis banyak dipakai secara luas dan global dalam penentuan
usia tua. Berbagai provider asuransi kesehatan memakai usia kronologis untuk
mengelompokkan usia berkaitan dengan resiko kesehatan. Namun usia
kronologis tidak dapat mutlak dipakai sebagai patokan bahwa usia tua lebih
tinggi resiko kesehatannya daripada usia lebih muda. Sebagai contoh, usia 85
tahun dengan kondisi fisik baik lebih rendah resiko tindakan anestesi dan bedah
dibandingkan usia 65 tahun dengan kondisi kesehatan yang buruk.5
b. Usia fisiologis/biologis
Usia ini menggambarkan perubahan sistem fisiologis berkaitan dengan
peningkatan usia selama hidup. Usia ini mengaitkan antara penurunan fungsi dan
cadangan sistem tubuh dalam mengatasi stress yang didapat. Dengan
menurunnya cadangan fisiologis pada pasien geriatri menyebabkan respon
kompensasi terhadap stress yang didapat tidak cukup sehingga menimbulkan
dekompensasi sistem organ dan penyakit.5

26
c. Usia klinis
Usia klinis lebih konseptual dan berguna untuk para klinisi. Usia klinis
menggabungkan faktor intrinsik yang merupakan usia fisiologis dan faktor
ekstrinsik yang merupakan proses penyakit, yang keduanya menyebabkan
terjadinya penurunan cadangan fisiologis, penurunan kapasitas fungsional dan
gangguan hemastasis pada geriatri.5

2) Perubahan Fisiologis
a) Sistem Kardiovaskular
Kemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan
pertambahan usia di atas 40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan ini sering
baru diketahui pada saat terjadi stres anestesia dan pembedahan. Akibat proses
penuaan pada sistem kardiovaskular, yang tersering adalah hipertensi. Pada
pasien manula hipertensi harus diturunkan secara perlahan-lahan sampai
tekanan darah 140/90 mmHg. Pada manula, tekanan sistolik sama pentingnya
dengan tekanan diastolik. Tahanan pembuluh darah perifr biasanya meningkat
akibat penebalan serat elastis dan peningkatan kolagen serta kalsium di arteri-
arteri besar. Kedua hal tersebut sering menurunkan isi cairan intravaskuler.
Waktu sirkulasi memanjang dan aktivitas baroreseptor menurun. Terjadi
penurunan respon terhadap rangsangan simpatis, dan kemampuan adaptasi
serta autoregulasi menurun. Perubahan pembuluh darah seperti di atas juga
terjadi pada pembuluh koroner dengan derajat yang bervariasi, disertai
penebalan dinding ventrikel. sistem konduksi jantung juga dipengaruhi oleh
proses penuaan, sehingga sering terjadi perlambatan konduksi intraventikular,
perubahan-perubahan segmen ST dan gelombang T serta fibrilasi atrium.
Semua hal di atas mengakibatkan penurunan kemampuan respon sistem
kardiovaskuler dalam menghadapi stres. Pemulihan anestesi juga
memanjang.6,11

27
b) Sistem Pernafasan
Pada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru berkurang,
sehingga menyebabkan distensi alveoli berlebihan yang berakibat mengurangi
permukaan alveolar, sehingga menurunkan efisiensi pertukaran gas.
Kontraktilitas dinding dada juga menurun, meningkatnya ketidakserasian
antara ventilasi dan perfusi, sehingga mengganggu mekanisme ventilasi,
dengan akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru,
meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah
hipoksemia. Menurunnya respons terhadap hiperkapnia, sehingga dapat
terjadi gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan
mucociliary berkurang, refleks laring dan faring juga menurun sehingga
berisiko terjadi infeksi dan kemungkinan aspirasi isi lambung lebih besar.
Selain itu, Arthritis sendi temporomandibular atau tulang belakang servikal
mempersulit intubasi. 6,11

c) Sistem Ginjal
Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi
glomerulus (LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat.
Respons terhadap kekurangan Na menurun, sehingga berisiko terjadi
dehidrasi. Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat
terjadi overload cairan dan juga menyebabkan kadar hiponatremia.
Ambang rangsang glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak dapat
dipercaya. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot,
sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun.
Perubahan-perubahan di atas menurunkan kemampuan cadangan ginjal,
sehingga manula tidak dapat mentoleransi kekurangan cairan dan kelebihan
beban zat terlarut. Pasien-pasien ini lebih mudah mengalami peningkatan kadar
kalium dalam darahnya, apalagi bila diberikan larutan garam kalium secara
intra vena. Kemampuan untuk mengekskresi obat menurun dan pasien manula
ini lebih mudah jatuh ke dalam asidosis metabolik. Aliran darah ginjal
menurun sekitar 10% per dekade setelah usia 50 tahun. Penurunan aliran darah
ginjal dikaitkan dengan kondisi medis seperti hipertensi, penyakit pembuluh

28
darah, diabetes, dan penyakit jantung yang dapat memperburuk efek dari
kelainan ginjal. Penurunan aliran darah ini dihubungkan dengan penurunan
respon terhadap stimulus vasodilatasi, sehingga ginjal pada usia lanjut sangat
rentan terhadap efek berbahaya dari penurunan curah jantung, hipotensi,
hipovolemia, dan perdarahan. Stres akibat tindakan anestesi dan pembedahan,
nyeri, stimulasi simpatik, dan obat-obatan vasokonstriksi ginjal dapat
berkontribusi untuk terjadinya disfungsi ginjal perioperatif. 6,11

d) Sistem Saraf Pusat


Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi kognitif,
sensoris, motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf sensoris berangsur
menurun. Perfusi otak dan konsumsi oksigen otak menurun. Massa otak
mengalami penurunan seiring pertambahan usia, kehilangan sel-sel neuron
yang paling menonjol di temukan pada korteks serebral khususnya di lobus
frontalis. Aliran darah otak juga menurun sekitar 10-20% yang sesuai dengan
penurunan sejumlah sel-sel neuron. Sel-sel neuron mengalami penurunan
dalam hal ukuran dan kehilangan beberapa kompleksitas cabang dendritik dan
sejumlah sinapsis. Terdapat juga penurunan sintesis dari beberapa
neurotransmiter, seperti dopamin, dan sejumlah reseptornya. Tempat
pengikatan serotonergik, adrenergik, dan asam -aminobutirat(GABA) juga
berkurang. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan pasien usia lanjut
lebih mudah dipengaruhi oleh efek samping obat terhadap sistem saraf pusat
sehingga sering membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh sepenuhnya
dari efek anestesi umum. Dengan demikian konsentrasi alveolar minimum dari
anestetika menurun dengan bertambahnya usia.6,11

e) Sistem Hati, Lambung dan Usus


Pasien manula mungkin sekali lebih mudah mengalami cedera hati
akibat obat-obat, hipoksia dan transfusi darah. Beberapa obat anestesi dan nyeri
seperti opioid dan tranquilizer disaring dari plasma oleh hepar, sehingga durasi
efek obat tersebut dapat memanjang pada pasien geriatri. Obat yang tergantung
pada hepatosit seperti warfarin, dapat menghasilkan efek berlebihan karena

29
terjadi peningkatan sensitivitas. Selain itu, Biotransformasi dan produksi
albumin menurun dan kadar kolinesterase plasma berkurang.5
Akibat menurunnya fungsi persarafan sistem gastrointestinal, sfingter
gastroesofageal tidak begitu baik lagi, disamping waktu pengosongan
lambung yang memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi.6

f) Sistem Endokrin dan Metabolik


Terdapat penurunan konsumsi oksigen basal dan maksimal akibat
penuaan. Penurunan produksi panas, peningkatkan kehilangan panas, dan
pengaturan suhu pada hipotalamus mungkin diatur pada tingkat yang lebih
rendah. Peningkatan resistensi insulin menyebabkan penurunan secara
progresif dalam hal kemampuan untuk menghadapi beban glukosa. Pada pasien
usia lanjut yang sehat, respon neuroendokrin terhadap stres tampaknya tidak
berubah atau sedikit menurun. Proses penuaan berhubungan dengan penurunan
respon terhadap obat-obatan adrenergik ("blok endogen").5,11

g) Sistem Muskuloskeletal
Massa otot berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini
ditandai dengan penurunan eliminasi dari farmakokinetik dari obat-obatan
pelumpuh otot. Pemberian dosis awal obat tersebut mungkin tidak harus
dikurangi, tetapi pemberian dosis total umumnya dikurangi.5
Bertambahnya lemak tubuh dan penurunan massa sel tubuh terutama
massa otot dengan meningkatnya usia akan meningkatkan cadangan deposit
obat anestetik yang larut dalam lemak. Sekuestrasi obat ini memperlambat
eliminasi obat hingga residu konsentrasi obat meningkat dan efek anestesi
memanjang, retensi obat anestesi dalam lemak ini juga menambah
kemungkinan perlambatan biotrasformasi.5,11
Kulit mengalami atrofi dan rentan terhadap trauma akibat plester
perekat, bantalan elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi. Dinding vena
sering menjadi rapuh dan mudah ruptur pada saat infus intravena. Atritis sendi
dapat mengganggu pengaturan posisi pasien (misalnya, litotomi) atau anestesi

30
regional (misalnya, blok subaraknoid). Penyakit degeneratif servikal dapat
membatasi ekstensi leher yang berpotensi membuat intubasi menjadi sulit.11

3) Evaluasi Preoperatif
Penilaian pra operasi memainkan bagian penting dalam mengurangi
komplikasi pasca operasi. Pemahaman tentang status fisik pasien akan memberikan
panduan terhadap penilaian jenis penyakit komorbid dan tingkat keparahannya,
jenis monitoring yang diperlukan, optimasi pra operasi dan prediksi akan timbulnya
komplikasi pasca operasi. Pemahaman riwayat penyakit yang mendetail,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penilaian risiko tindakan
pembedahan harus difokuskan selama evaluasi pra operasi.5,11
a) Informed Consent11
Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus diberitahu tentang
intervensi bedah dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas
putusan merupakan prasyarat untuk suatu informed consent yang sesuai dengan
hukum dan moral. Pasien usia lanjut mungkin tidak sepenuhnya memahami
intervensi yang direncanakan, sehingga kerabat terdekat harus terlibat untuk
memperoleh informed consent yang terperinci. Status mental dan kognitif
pasien harus dipertimbangkan dan didokumentasikan.

b) Riwayat Penyakit dan Status Gizi


Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya harus dicatat
karena pasien usia lanjut biasanya sedang menjalani banyak terapi obat-obatan.
Defisiensi nutrisi yang sering dialami oleh pada usia lanjut harus dinilai secara
akurat. Hitung darah lengkap yang menunjukkan anemia, kadar albumin serum
yang kurang dari 3.2g/dl dan kolesterol kurang dari 160mg/dl telah terbukti
sebagai penanda risiko outcome pasca operasi yang merugikan. Indeks massa
tubuh yang kurang dari 20 kg/m2 pada pasien usia lanjut mungkin
mengarahkan peningkatan morbiditas karena penyembuhan luka yang tertunda,
sehingga suplemen gizi pra operatif harus dipertimbangkan.5

31
c) Pemeriksaan fisik
Meskipun pasien usia lanjut memiliki riwayat medis yang panjang,
mereka biasanya tidak memberikan rincian penyakit mereka, ini merupakan
konsekuensi yang tidak dapat dihindari akibat usia tua. Pemeriksaan fisik harus
mencakup informasi yang mendetail tentang status hidrasi, gizi, tekanan darah,
nadi dan kondisi sistemik.11
Penilaian status mental pra operasi sangat penting karena biasanya
mencerminkan status kognitif pasca operasi. Demensia pra operasi merupakan
prediktor yang penting dari outcome bedah yang buruk.6

d) Pemeriksaan Penunjang Pra operasi


Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang akan membantu
menentukan parameter kesehatan pasien, bahkan pada mereka yang sehat dan
termasuk diantaranya11:
Hitung darah lengkap: Hb, jumlah limfosit
Urem, kreatinin dan elektrolit akan memberikan informasi tentang fungsi
ginjal karena akan mengalami perubahan secara bertahap dengan
pertambahan usia. Bersihan kreatinin merupakan indeks penting.
Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya insiden
diabetes mellitus dan ateroskleorsis.
Kadar albumin dan fungsi pembekuan darah
Pemeriksaa elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan pada semua pasien
yang berusia di atas 60 tahun, terlepas dari ada riwayat penyakit jantung
atau tidak.
Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis.
Pemeriksaan jantung.

32
4) Penanganan Perioperatif
a) Farmakologi Klinis 6,11
Secara umum berbagai obat-obatan dan teknik anestesi yang sesuai
digunakan untuk orang yang berusia lebih muda dan dewasa juga dapat
digunakan pada pasien usia lanjut dengan keterbatasan fisiologi mereka.
Mungkin diperlukan modifikasi teknik dan khususnya dosis obat. Tidak ada
regimen anestesi yang "ideal" untuk pasien usia lanjut. Mayoritas obat-obatan
anestesi yang lebih poten pada pasien usia lanjut dengan pengecualian atropin
(dosis harus ditingkatkan untuk menghasilkan respon heart rate yang
diinginkan).
Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik
(hubungan antara dosis obat dan konsentrasi plasma) dan farmakodinamik
(hubungan antara konsentrasi plasma dan efek klinis). Namun perubahan yang
berhubungan dengan penyakit dan variasi antar individu yang luas bahkan pada
populasi yang sama menyebabkan perubahan ini tidak selalu konsisten.
Penurunan progresif massa otot dan peningkatan lemak tubuh (terutama
pada wanita usia lanjut) menyebabkan penurunan total jumlah cair tubuh. Hal
ini menyebabkan konsentrasi plasma obat-obatan yang larut air dapat lebih
tinggi, sebaliknya konsentrasi plasma obat-obatan larut lemak dapat lebih
renah. Perubahan dalam volume distribusi obat dapat mempengaruhi waktu
paruh eliminasi obat. Jika volume distribusi obat ditingkatkan, waktu paruhnya
akan diperpanjang kecuali tingkat klirens juga meningkat. Namun karena
fungsi ginjal dan hepar juga berkurang seiring pertambahan usia, penurunan
tingkat klirens memperpanjang durasi kerja beberapa obat. Studi menunjukkan
bahwa pasien usia lanjut yang sehat, aktif hanya mengalami sedikit atau tidak
ada perubahan dalam volume plasma.
Distribusi dan eliminasi obat juga dipengaruhi oleh perubahan binding
protein plasma. Albumin, yang cenderung untuk mengikat obat-obatan yang
bersifat asam (misalnya, barbiturat, benzodiazepin, agonis opioid), biasanya
menurun sesuai pertambahan usia. Asam-1 glikoprotein, yang mengikat obat
dasar (misalnya, anestesi lokal) mengalami peningkatan. Obat-obatan yang

33
terikat dengan protein tidak dapat berinteraksi dengan reseptor organ dan tidak
dapat dimetabolisme atau diekskresi.
Perubahan farmakodinamik utama yang terkait dengan penuaan adalah
penurunan kebutuhan obat-obatan anestesi, ditunjukkan oleh MAC yang lebih
rendah. Titrasi obat-obatan anestesi secara hati-hati dapat membantu untuk
menghindari efek samping dan durasi kerja yang berkepanjangan. Obat-obatan
kerja pendek seperti propofol, remifentanil, desflurane, dan suksinilkolin
mungkin sangat berguna pada pasien usia lanjut. Obat yang tidak terlalu
tergantung pada fungsi hepar, ginjal atau aliran darah seperti mivakurium,
atrakurium, dan cisatrakurium juga dapat bermanfaat.
Pasien usia lanjut memerlukan dosis obat-obatan premedikasi yang
lebih rendah. Premedikasi opioid hanya digunakan jika kondisi preoperatif
pasien disertai nyeri berat. Antikolinergik tidak diperlukan karena pada pasien
usia lanjut kelenjar saliva biasanya mengalami atrofi. Namun, antagonis H2
berguna untuk mengurangi risiko aspirasi. Metoclopramide juga dapat
digunakan untuk mempercepat pengosongan lambung, meskipun risiko efek
ekstrapiramidal lebih tinggi pada pasien usia lanjut.
Dibutuhkan konsentrasi obat-obatan inhalasi yang lebih rendah selama
kombinasi anestesi epidural - general untuk toleransi endotrakea dan mencegah
pasien terbangun intraoperatif.

b) Farmakologi Klinis Obat-obat Anestesi Spesifik


Anestesi Inhalasi11
Konsentrasi alveolar minimum (The minimum alveolar
concentration = MAC) mengalami penurunan kurang lebih 6% per
dekade pada mayoritas anestesi inhalasi. Pola yang serupa terlihat juga
pada MAC-awake. Oleh karena itu pasien usia lanjut membutuhkan
volume anestesi inhalasi yang lebih rendah untuk mencapai efek yang
sama dengan pasien yang lebih muda. Mekanisme kerja anestesi inhalasi
berhubungan dengan gangguan pada aktivitas kanal ion neuronal
terhadap nikotinik, asetilkolin, GABAA dan reseptor glutamat. Mungkin
adanya gangguan karena penuaan pada kanal ion, aktivitas sinaptik,

34
atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab terhadap perubahan
farmakodinamik tersebut.
Isoflurane adalah mungkin yang paling sesuai, karena relatif stabil
dalam sistem kardiovaskuler, memiliki onset dan durasi kerja yang singkat
dan hanya 0,2% dari dosis diberikan yang dimetabolisme. Terdapat efek
depresi miokard dari anestesi volatile yang berlebihan pada pasien usia
lanjut, sedangkan isoflurane dan desflurane jarang menimbulkan efek
takikardi. Dengan demikian isoflurane dapat mengurangi curah jantung
dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.
Obat-obatan inhalasi yang kurang larut seperti sevofluran dan
desflurane mengalami metabolisme yang minimal dan sebagian besar
diekskresikan oleh paru-paru. Halotan memiliki keuntungan dengan
kurang menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan, meskipun obat ini
meningkatkan sensitifitas miokardium terhadap katekolamin dan mungkin
dapat memicu takiaritmia. Eter telah digunakan dengan baik selama
bertahun-tahun, dan pada pasien usia lanjut sebaiknya diberikan pada
konsentrasi rendah dengan dukungan ventilasi. Hal ini memungkinkan
pasien untuk bangun lebih cepat daripada anestesi dengan konsentrasi eter
yang lebih tinggi.
Pemulihan dari anestesi dengan obat-obatan
anestesi volatile mungkin dapat memanjang karena adanya peningkatan
volume distribusi (lemak tubuh meningkat), penurunan fungsi hepar
(penurunan metabolisme halotan), dan penurunan pertukaran gas paru.
Eliminasi cepat dari desflurane dapat menjadi alasan sebagai anestesi yang
dipilih untuk pasien usia lanjut.
Anestesi intravena dan benzodiazepine5,11
Tidak ada perubahan sensitivitas otak terhadap tiopental yang
berhubungan dengan usia. Namun, dosis tiopental yang diperlukan
untuk mencapai anestesia menurun sejalan dengan pertambahan usia.
Penurunan dosis tiopental sehubungan dengan usia disebabkan karena
penurunan volume distribusi inisial obat tersebut. Penurunan volume

35
distribusi inisial terjadi pada kadar obat dalam serum yang lebih tinggi
setelah pemberian tiopental dalam dosis tertentu pada pasien berusia
lanjut. Sama seperti pada kasus etomidate, perubahan farmakokinetik
sesuai usia (disebabkan karena penurunan klirens dan volume distribusi
inisial), bukan gangguan responsif otak yang terganggu, bertanggung
jawab terhadap penurunan dosis etomidate yang diperlukan pada pasien
berusia lanjut. Dosis etomidate dapat dikurangi sampai 50% pada individu
yang berusia > 80 tahun.
Meskipun propofol mungkin merupakan obat induksi yang
mendekati ideal untuk pasien usia lanjut karena eliminasi yang cepat,
namun obat ini lebih mungkin untuk menyebabkan apnea dan hipotensi
dibandingkan pada pasien yang lebih muda. Propofol juga dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang berlebihan. Pemberian
midazolam, opioid, atau ketamin secara bersama-sama dapat menurunkan
kebutuhan propofol. Faktor farmakokinetik dan farmakodinamik
bertanggung jawab untuk peningkatan sensitivitas otak terhadap propofol.
Pasien usia lanjut membutuhkan kadar propofol darah untuk anestesi yang
hampir 50% lebih rendah dibandingkan pasien yang lebih muda. Selain itu
tingkat keseimbangan perifer dan klirens sistemik untuk propofol
berkurang secara signifikan pada pasien usia lanjut. Penuaan menurunkan
jumlah volume pemberian untuk semua benzodiazepin, yang dapat
memperpanjang waktu paruh eliminasi obat tersebut. Untuk diazepam,
waktu paruh eliminasi dapat berlangsung selama 36-72 jam. Peningkatan
sensitivitas farmakodinamik untuk benzodiazepin juga telah diamati.
Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi
mengalami penurunan sebesar 75% pada pasien berusia lanjut, waktu
paruh eliminasi memanjang dari sekitar 2,5 sampai 4 jam. Perubahan ini
berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak dan penurunan
klirens obat.

36
Opioid11
Usia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan
morfin post operatif, pasien berusia lanjut hanya memerlukan sedikit
obat untuk menghilangkan rasa nyeri. Morfin dan metabolitnya
morphine-6-elucuronide mempunyai sifat analgetik. Klirens morfin
akan menurun pada pasien berusia lanjut. Morphine-6-glueuronide
tergantung pada eksresi renal. Pasien dengan insufisiensi ginjal
mungkin menderita gangguan eliminasi morfin glucuronides, dan hal
ini bertanggung jawab terhadap peningkatan analgesia dari dosis morfin
yang diberikan pada pasien berusia lanjut.
Shafer melakukan tinjauan komperehensif terhadap
farmakologi sufentanil, alfentanil, dan fentanil pada pasien berusia
lanjut. Sufentanil, alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih
poten pada pasien berusia lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan
peningkatan sensitivitas otak terhadap opioid sejalan dengan usia,
bukan karena gangguan farmakokinetik.
Penambahan usia berhubungan dengan perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik dari remifentanil. Pada usia lanjut
terjadi peningkatan sensitivitas otak terhadap remifentanil.
Remifentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien usia lanjut,
dan dosis yang diperlukan adalah satu setengah kali bolus.

Pelumpuh Otot6,11
Umumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik
pelumpuh otot. Durasi kerja mungkin akan memanjang, bila obat
tersebut tergantung pada metabolisme ginjal atau hati. Diperkirakan
terjadi penurunan pancuronium pada pasien berusia lanjut, karena
ketergantungan pancuronium terhadap eksresi ginjal. Perubahan klirens
pancuronium pada usia lanjut masih kontroversial. Atracurium
bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, dan
waktu paruh eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut.
Tidak terjadi perubahan klirens dengan bertambahnya usia, yang
37
menunjukkan adanya jalur eliminasi alternatif (hidrolisis eter dan
eliminasi Hoffmann) penting pada pasien berusia lanjut. Klirens
vecuronium plasma lebih rendah pada pasien berusia lanjut. Durasi
memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap kerja vecuronium
menggambarkan penurunan reversi ginjal atau hepar.

5) Penanganan Intraoperatif
a) Induksi Anastesi 11
Data menunjukkan bahwa penyakit penyerta preoperatif merupakan
determinan yang lebih besar terhadap komplikasi post operatif dibandingkan
dengan penatalaksanaan anestesi. Pada pasien usia lanjut, preoksigenasi
agresif yang setara untuk anestesi inhalasi menurun secara linear dengan
pertambahan usia, oleh karena itu dosis obat yang mempengaruhi SSP perlu
dikurangi untuk mengantisipasi efek sinergi obat. Penggunaan bersama
propofol, midazolam, opioid dapat meningkatkan kedalaman anestesi.
Hipotensi adalah kejadian yang umum didapatkan sehingga dosis obat-obatan
ini harus dititrasi. Dipilih obat yang bekerja singkat. Metode titrasi opioid
mungkin lebih baik menggunakan opioid dengan kerja singkat seperti
remifentanil. Dengan menambahkan dosis bolus dan infus, variabilitas
farmakokinetik remifentanil akan lebih rendah bila dibandingkan dengan
opioid intravena lainnya. Sama halnya dengan pilihan menggunakan
pelumpuh otot dengan kerja yang lebih singkat. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya peningkatan insidens komplikasi pulmoner dan blok
residual postoperatif pada pasien yang diberikan pancuronium bila
dibandingkan dengan atracurium atau vecuronium. Bila dibandingkan
dengan anestesi inhalasi, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada
pemulihan profil fungsi kognitif. Desflurane berhubungan dengan
emergensi paling cepat.
Belum jelas hal apa yang mendukung penanganan fisiologis optimal
sehingga memberikan hasil pembedahan terbaik. Apakah itu tekanan darah
optimal selama pembedahan? Hal ini telah dipertanyakan selama tindakan

38
bypass cardiopulmoer, dimana pertanyaan dititik beratkan pada tekanan
berapakah tekanan perfusi yang paling baik. Menurut penelitian, pasien
dengan usia lanjut dapat menerima anestesia hipotensif dengan aman
(tekanan darah arteri rata-rata adalah 45-55 mmHg) selama pembedahan
ortopedik tanpa terjadi peningkatan risiko. Penggunaan kateter arteri
pulmonal pada pasien berisiko tinggi juga dipertanyakan karena banyak
penelitian randomissasi prospektif yang menganalisis mortalitas selama
perawatan dan tidak didapatkannya keuntungan dari terapi dengan
memasukkan kateter arteri pada pasien usia lanjut berisiko tinggi yang
memerlukan perawatan ICU.

b) Anestesi regional berbanding anestesi umum5,6


Tidak ada satu pun teknik anestesi atau analgesia regional yang
dianggap paling ideal untuk suatu prosedur bedah. Pilihan tergantung banyak
faktor. Analgesia regional dilakukan pada operasi tertentu seperti abdominal
bawah, bedah ortopedi dan pada pasien yang kooperatif. Ketenangan dan
kerjasama pasien dibutuhkan dalam memposisikan dan mempertahankan posisi
selama dilakukan anestesia regional.
Sorensen & Pace menunjukkan dari 13 RCT yang diteliti menunjukkan
tidak adanya perbedaan yang bermakna angka mortalitas, komplikasi
perdarahan hebat intra operatif pada pasien usia lanjut yang dilakukan
pembiusan umum atau regional. Namun terdapat perbedaan angka kejadian
deep vein trombosis pada pasien dengan pembiusan regional.
Penelitian oleh Rodgers dkk juga tidak dapat menunjukkan perbedaan
bermakna insiden gangguan kognitif pasca operasi dengan pembiusan umum
atau regional walaupun angka komplikasi gangguan kognitif dalam 3 hari
pasca operasi atau pembiusan pada pasien yang mengalami pembiusan regional
lebih kecil.
Meskipun anestesi regional mungkin memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan anestesi umum, termasuk jarang menimbulkan tromboemboli,
gangguan kesadaran dan pernafasan pasca-bedah. Namun hipotensi lebih sering
ditemukan pada pasien usia lanjut yang menjalani anestesi spinal / epidural

39
karena terjadi gangguan fungsi otonom dan penurunan penyesuaian arteri. Pada
pasien dengan penyakit jantung berat yang memerlukan kontrol tekanan darah
ketat, anestesi umum mungkin lebih baik.

c) Hipotermia11
Pembedahan umumnya dapat menyebabkan hipotermia karena faktor
lingkungan dan tindakan anestesi yang menginduksi inhibisi mekanisme
termoregulator normal. Pasien usia lanjut lebih beresiko untuk mengalami
hipotermia karena anestesi yang mengubah mekanisme termoregulator dan
tingkat metabolisme basal yang rendah. Hipotermia intraoperatif dapat menjadi
faktor risiko jantung independen untuk penyakit jantung pasca operasi pada
usia lanjut. Oleh karena itu, pada pasien usia lanjut harus dilakukan upaya
untuk mencegah kehilangan panas. Langkah-langkah untuk mencegah
hipotermia adalah: pembersihan pasca operasi dengan cairan yang hangat,
menggunakan sistem pemanasan, menghangatkan cairan IV, menjaga suhu
lingkungan tetap hangat, menutupi pasien dengan selimut sebelum dan setelah
operasi.

d) Manajemen Cairan11
Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting dengan
menghindari kelebihan dan kekurangan pemberian cairan. Karena adanya
peningkatan afterload, penurunan respon inotropik atau chronotoropic serta
gangguan respon vasokonstriksi menyebabkan pasien usia lanjut sangat
tergantung pada preload yang memadai. Pasien usia lanjut juga rentan terhadap
dehidrasi karena penyakit, penggunaan diuretik, puasa pra operasi dan
penurunan respon haus. Asupan cairan oral hingga 2 - 3 jam sebelum operasi,
dan terapi pemeliharaan cairan yang cukup serta menghindari terapi diuretik
sebelum operasi dapat menghindarkan kejadian hipotensi mendadak segera
setelah induksi anestesia. Hidrasi yang berlebihan juga harus dihindari pada
usia lanjut dengan ganggaun jantung karena mereka lebih rentan untuk
terjadinya kegagalan sistolik, perfusi organ yang jelek dan penurunan GFR.

40
Penting pula untuk melakukan pemantauan kateter vena sentralis atau
arteri pulmonalis intraoperatif untuk mengukur volume darah sentral khusus
pada pasien usia lanjut yang cenderung memiliki penurunan volume darah
dalam jumlah besar atau pergeseran cairan. Penting untuk menjaga tekanan
vena sentral pada kisaran 8 - 10 mmHg dan tekanan arteri pulmonalis14 - 18
mm Hg untuk mempertahankan output jantung yang memadai.1

6) Penaganan postoperatif
a) Manajemen Jalan Napas11
Penanganan masalah jalan napas post operatif merupakan hal yang
penting. Pasien berusia lanjut mempunyai risiko yang lebih tinggi
mengalami aspirasi sekunder terhadap penurunan progresif pada
diskriminasi sensorik laringofaringeal yang terjadi dengan penambahan
usia. Selain itu disfungsi proses menelan juga merupakan predisposisi
aspirasi pada pasien berusia lanjut. Pembalikan efek blok neuromuskuler,
penggunaan pipa nasogastrik, mengembalikan refleks faring dan laring,
motilitas gastrointestinal dan ambulasi dini dengan konversi intake oral setelah
operasi dapat meminimalkan insiden aspirasi pasca operasi.

b) Terapi Oksigen11
Dianjurkan untuk memberikan terapi oksigen pasca-operasi untuk
semua pasien usia lanjut, terutama setelah pembedahan abdomen atau dada,
penyakit kardiovaskuler atau pernapasan, kondisi kehilangan darah yang
signifikan, atau bila telah diberikan analgetik opioid. Nasal kanul sering
ditoleransi lebih baik daripada masker.

c) Penanganan Nyeri Akut Post Operatif6,11


Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut,
dimana nyeri pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol
nyeri yang kurang optimal dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
usia lanjut karena komorbiditas terkait seperti penyakit jantung iskemik,
penurunan cadangan ventilasi, perubahan metabolisme.

41
Penuaan mengganggu fungsi organ dan farmakokinetik. Kombinasi
pemeriksaan nyeri dan dosis obat merupakan tantangan dalam penanganan
nyeri postoperatif pada pasien berusia lanjut. Beberapa prinsip umum harus
diingat saat menangani pasien usia lanjut yang rentan. Pertama, penting
untuk mencoba membandingkan berbagai jenis analgetik, seperti analgetik
yang diberikan intravena, dan blok saraf regional, untuk meningkatkan
analgesia dan menurunkan toksisitas narkotik. Prinsip ini terutama pada
pasien berusia lanjut yang rentan, dengan toleransi yang buruk terhadap
narkotik sistemik. Kedua, penggunaan analgetik dengan daerah kerja
spesifik akan sangat membantu, seperti pada ekstremitas atas untuk blok
saraf lokal. Ketiga, bila mungkin harus digunakan obat anti inflamasi untuk
memisahkan narkotik, analgetik, dan menurunkan mediator inflamasi.
Kecuali terdapat kontra indikasi, atau kecenderungan terjadi hemostasis atau
ulserasi peptikum, maka obat anti inflamasi non steroid harus diberikan.
Penanganan nyeri post operatif dengan opioid dapat digunakan setelah
dosisnya disesuaikan dengan usia.

d) Disfungsi kognitif postoperative 6


Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari
pertama sampai beberapa minggu setelah operasi telah dicatat dengan baik dan
biasanya mencakup beberapa kognitif seperti, perhatian, memori, dan
kecepatan psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah pembedahan
sebagian besar akan membaik dalam waktu 3 bulan. Risiko-risiko terjadinya
penurunan kognitif postoperatif adalah usia, tingkat pendidikan yang
rendah, gangguan kognitif preoperatif, depresi, dan prosedur pembedahan.
Disfungsi kognitif jangka pendek setelah pembedahan dapat disebabkan
karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama pada
pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass
kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor-faktor genetik (alel E4).
Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif
postoperatif jangka panjang masih kontroversi dan memerlukan penelitian
yang intensif. Pada prosedur non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh

42
yang paling ringan terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang,
walaupun efek ini mungkin akan meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Penurunan kognitif post-operatif setelah pembedahan non-cardiac akan
kembali normal pada kebanyakan kasus, tetapi bisa juga menetap pada
kurang lebih 1% pasien.

e) Hasil Perawatan Intensif 6,11


Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat tinggi atau
tersedia fasilitas perawatan intensif, hal ini dapat meningkatkan outcome
jangka panjang dari pasien usia lanjut, khususnya mereka yang menjalani
operasi darurat.
Sejumlah penelitian telah meneliti hasil jangka panjang setelah
perawatan kritis pada pasien berusia lanjut. Pasien yang mampu bertahan
setelah keluar dari ICU tampaknya berhubungan erat dengan tingkat
keparahan penyakit saat masuk, sedangkan usia dan status fungsional
prehospital berhubungan erat dengan tingkat survival jangka panjang.

B. Anestesi Pada Pasien Anemia


Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah
merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah (hemoglobin
<10 g/dl , hematokrit <30 % , dan eritrosit < 2,8juta/mm3). Secara fisiologis, anemia
terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke
jaringan sehingga tubuh akan mengalami hipoksia. Anemia merupakan gejala dan tanda
penyakit tertentu yang harus dicari penyebabnya agar dapat diterapi dengan tepat.
Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen yaitu
berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya destruksi sel darah merah dan
kehilangan darah.12

Kriteria anemia menurut WHO adalah 13:


1. Laki-laki dewasa : Hb < 13 g/dl
2. Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 g/dl
3. Wanita hamil : Hb < 11 g/dl

43
4. Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
5. Anak umur 6 bulan 6 tahun : Hb < 11 g/dl

Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah13 :


1. Ringan sekali : Hb 10 g/dl-batas normal
2. Ringan : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl
3. Sedang : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl
4. Berat : Hb < 6 g/dl

Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin akan


berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan, jantung harus
memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi, murmur, dan kadang timbul
gagal jantung pada pasien dengan anemia. Peran anestesi adalah memastikan bahwa
organ vital menerima oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme,
selama prosedur bedah berlangsung. Penentu transport oksigen termasuk di antaranya
ialah pertukaran gas di pulmo, afinitas Hb-O2, konsentrasi total Hb, dan cardiac output.
Seluruhnya bekerja dalam satu sistem dan menyediakan kapasitas oksigen yang
adekuat. Apabila ada penurunan pada satu komponen di atas, maka menyebabkan
komponen lain terpengaruh. Dari komponen tersebut, haemoglobin mempunyai
kemungkinan terbesar untuk dimanipulasi sehingga dapat meningkatkan transport
oksigen.7
Setelah mengalami proses ventilasi, perfusi dan difusi oksigen akan
ditransportasikan dari sirkulasi pulmoner ke seluruh jaringan tubuh secara fisik terlarut
dalam plasma dan secara kimia terikat dengan haemoglobin. Satu molekul hemoglobin
dapat mengikat 4 molekul oksigen dan bentuk ikatan tersebut adalah reversibel dan
berlangsung sangat cepat sekitar 0,01 detik. Kebanyakan oksigen ditransportasi secara
kimiawi.7
Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak tergantung pada kadar haemoglobin
normal saja. Perdarahan intraoperative utamanya digantikan dengan cairan bebas
eritrosit seperti cairan kristaloid atau koloid (Ringer Laktat, Dextran, Hydroxyethyl
Starch, gelatine). Selama keadaan normovolemia tercapai, keadaan anemia dilusi dan
penurunan kadar oksigen arterial (CaO2) akan terkompensasi tanpa timbulnya risiko

44
hipoksia jaringan, melalui peningkatan cardiac output. Reduksi progresif dari CaO2
akan menurunkan delivery oksigen pada jaringan (DO2). 7
Pada keadaan hemodilusi yang ekstrim (ketika sudah melewati DO2 crit),
jumlah oksigen yang sudah dihantarkan ke jaringan menjadi tidak sesuai dengan
permintaan oksigen dari jaringan, sebagai konsekuensinya, VO2 mulai turun. Penurunan
VO2 harus diinterpretasikan sebagai tanda indirek dari manifestasi hipoksia jaringan.
Tanpa penanganan, keadaan DO2 crit akan menyebabkan kematian dalam waktu kurang
dari 3 jam.7

Faktor yang mempengaruhi pengangkutan oksigen antara lain: 7


1. Volume Darah
Komponen utama untuk kompensasi efektif adalah normovolemia. Selama
hipovolemia permintaan oksigen seluruh tubuh meningkat karena release
katekolamin dan hormons stress lain dibandingakan dengan bila normovolemia.
2. Kedalaman Anestesi
Pada dosis tinggi, kebanyakan anestesi menurunkan cardiac output selama
hemodilusi dan menurunkan toleransi anemia.
3. Pelemas Otot (muscle relaxant)
Otot rangka mempunyai masa tubuh dari total, sehingga relaksasi muscular
dapat secara efektif menurunkan permintaan oksigen dan meningkatkan toleransi
anemia.
4. Temperature Tubuh
Pada studi model didapatkan hipotermia meningkatkan toleransi anemia
karena penurunan permintaan oksigen tubuh.
5. Performa Miokard
Pasien dengan coronary artery disease, gagal jantung kongestif, konsumsi
obat-obatan cardiodepresan, akan menyebabkan penurunan toleransi anemia.

45
Identifikasi DO2 crit dapat dilakukan dengan7:
1. Pulmonary Artery catheter
2. Metabolic monitoring
3. ECG (perubahan segmen ST) dan Trans Esophageal Echocardiography (TEE)
(perubahan pergerakan dinding regional)

Apabila didapatkan perdarahan massif, dapat dilakukan transfusi perioperatif.


Transfusi sel darah merah perioperatif jarang diindikasikan pada pasien dengan Hb > 10
g/dl, namun hampir selalu diindikasikan pada pasien dengan Hb < 6 g/dl. Pada pasien
dengan risiko kardiovaskular, konsentrasi Hb perioperatif harus dijaga antara 8 10
g/dl. 7

Setiap keputusan transfusi harus berdasarkan: 7


1. Konsentrasi Hb actual
2. Adanya komorbiditas penyakit kardiopulmonar
3. Penampakan keadaan anemia secara fisik
4. Dinamika perdarahan

Komponen darah yang dipakai adalah Packed Red Cell (PRC). Dapat
meningkatkan 1.1 g/dl per unit, pada pasien dewasa dengan BB 70 kg. Pada perdarahan
akut tanpa resusitasi cairan, akan membutuhkan waktu beberapa jam untuk
meningkatnya Hb. Pada situasi terkontrol (cairan hilang digantikan dengan kristalloid /
koloid sehingga dicapai keadaan normovolemia), satu unit PRC dapat
menyeimbangkan Hb dalam waktu yang cepat (kurang dari 15 menit). 7

Guideline transfusi darah CBO, 20057:


1. Mempertimbangkan transfusi darah kerika Hb < 6.4 g/dl :
a. Perdarahan akut pada pasien ASA 1 dengan usia < 60 tahun
b. Individu sehat dengan anemia kronis asimptomatik
2. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 8 g/dl:
a. Perdarahan akut pada individu sehat (ASA 1) dengan usia > 60 tahun
b. Perdarahan akut pada keadaan multitrauma
c. Prediksi perdarahan perioperatif > 500 cc

46
d. Pasien dengan demam
e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko komplikasi
3. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 10 g/dl
a. Pasien ASA 4
b. Pasien dengan penyakit gagal jantung, penyakit katup jantung
c. Pasien sepsis
d. Pasien dengan penyakit paru parah
e. Pasien dengan simptomatik cerebrovaskular disease

Penanganan preoperatif yang perlu diperhatikan pada pasien dengan


anemia adalah7 :
1. Dari anamnesis perlu digali adanya riwayat perdarahan atau penyakit yang
menyebabkan anemia atau yang dapat memperburuk keadaan saat operasi.
2. Penyakit yang akan di operasi apakah berkaitan dengan anemia atau dapat
memperburuk anemia sehingga perlu dipersiapkan transfusi darah pre atau post
operasi.
3. Keadaan klinis pasien.
4. Kadar Hb pasien.
5. Adanya perdarahan

Monitoring peri operatif yang perlu diperhatikan pada pasien anemia7 :


1. Monitoring kardiovaskular
2. Monitoring respirasi
3. Monitoring blokade neuromuskuler dan sistem saraf
Stimulasi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah
cukup baik saat operasi, dan apakah tonus otot kembali normal setelah selesai
anestesia.
4. Monitoring suhu
Monitoring suhu penting dilakukan untuk operasi lama atau pada bayi dan anak
kecil

47
5. Monitoring ginjal
Produksi urine normal minimal 0,5 1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama
dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distensi vesica urinaria.

3. Karsinoma Mammae
A. Definisi
Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah suatu penyakit neoplasma yang
ganas berasal dari parenchyma. Kanker payudara adalah tumor ganas pada jaringan
payudara. Jaringan payudara terdiri dari kelenjar susu (kelenjar pembuat air susu), saluran
kelenjar (saluran air susu), dan jaringan penunjang payudara.14
Oleh Word Health Organization (WHO) penyakit ini dimasukkan ke dalam
International Classification of Disease (ICD) dengan kode 174-175.15 Kanker payudara
terjadi karena adanya kerusakan pada gen yang mengatur pertumbuhan dan diffrensiasi
sehingga sel itu tumbuh dan berkembang biak tanpa dapat dikendalikan. Penyebaran
kanker payudara terjadi melalui pembuluh getah bening dan tumbuh di kelenjar getah
bening, sehingga kelenjar getah bening aksila ataupun supraklavikula membesar.
Kemudian melalui pembuluh darah kanker menyebar ke organ lain seperti paru-paru, hati
dan otak.14

Gambar 2. Anatomi Payudara8

48
B. Etiologi14,15
Penyebab pasti kanker payudara sampai saat ini belum diketahui. Penyebab
kanker payudara termasuk multifaktorial yaitu banyak faktor yang terkait satu dengan
yang lainnya. Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya kanker payudara:
1. Usia
Risiko utama kanker payudara adalah bertambahnya usia. Berdasarkan
penelitian American Cancer Society tahun 2006 diketahui usia lebih dari 40 tahun
mempunyai risiko yang lebih besar untuk mendapatkan kanker payudara yakni 1 per
68 penduduk dan risiko ini akan bertambah seiring dengan pertambahan usia yakni
menjadi 1 per 37 penduduk usia 50 tahun, 1 per 26 penduduk usia 60 tahun dan 1 per
24 penduduk usia 70 tahun. Kanker payudara juga ditemukan pada usia <40 tahun
namun jumlahnya lebih sedikit yakni 1 per 1.985 penduduk usia 20 tahun dan 1 per
225 penduduk usia 30 tahun.22 Data American Cancer Society (2007) melaporkan
70% perempuan didiagnosa menderita kanker payudara di atas usia 55 tahun.
2. Jenis Kelamin
Kanker payudara lebih banyak ditemukan pada wanita. Pada pria juga dapat
terjadi kanker payudara, namun frekuensinya jarang hanya kira-kira 1% dari kanker
payudara pada wanita.
3. Riwayat Reproduksi
Riwayat reproduksi dihubungkan dengan banyak paritas, umur melahirkan
anak pertama dan riwayat menyusui anak. Wanita yang tidak mempunyai anak atau
yang melahirkan anak pertama di usia lebih dari 30 tahun berisiko 2-4 kali lebih
tinggi daripada wanita yang melahirkan pertama di bawah usia 30 tahun. Wanita
yang tidak menyusui anaknya mempunyai risiko kanker payudara 2 kali lebih besar.
Kehamilan dan menyusui mengurangi risiko wanita untuk terpapar dengan hormon
estrogen terus. Pada wanita menyusui, kelenjar payudara dapat berfungsi secara
normal dalam proses laktasi dan menstimulir sekresi hormon progesteron yang
bersifat melindungi wanita dari kanker payudara.

49
4. Riwayat Kanker Individu
Penderita yang pernah mengalami infeksi atau operasi tumor jinak payudara
berisiko 3-9 kali lebih besar untuk menderita kanker payudara. Penderita tumor jinak
payudara seperti kelainan fibrokistik berisiko 11 kali dan penderita yang mengalami
operasi tumor ovarium mempunyai risiko 3-4 kali lebih besar.
5. Riwayat Kanker Keluarga
Secara genetik, sel-sel pada tubuh individu dengan riwayat keluarga
menderita kanker sudah memiliki sifat sebagai embrio terjadinya sel kanker. Menurut
sutjipto (2000) yang dikutip oleh Elisabet T, kemungkinan terkena kanker payudara
lebih besar 2 hingga 4 kali pada wanita yang ibu dan saudara perempuannya
mengidap penyakit kanker payudara.
6. Menstruasi cepat dan Menopause lambat
Wanita yang mengalami menstruasi pertama (Menarche) pada usia kurang
dari 12 tahun berisiko 1,7 hingga 3,4 kali lebih tinggi daripada wanita dengan
menstruasi yang datang pada usia normal atau lebih dari 12 tahun dan wanita yang
mengalami masa menopausenya terlambat lebih dari 55 tahun berisiko 2,5 hingga 5
kali lebih tinggi. Wanita yang menstruasi pertama di usia kurang dari 12 tahun dan
wanita yang mengalami masa menopause terlambat akan mengalami siklus
menstruasi lebih lama sepanjang hidupnya yang mengakibatkan keterpaparan lebih
lama dengan hormon estrogen.
7. Pajanan Radiasi
Wanita yang terpapar penyinaran (radiasi) dengan dosis tinggi di dinding
dada berisiko 2 hingga 3 kali lebih tinggi.
8. Obesitas dan Konsumsi makanan lemak tinggi
Wanita yang mengalami kelebihan berta badan (obesitas) dan individu
dengan konsumsi tinggi lemak berisiko 2 kali lebih tinggi dari yang tidak obesitas
dan yang tidak sering mengkonsumsi makanan tinggi lemak. Risiko ini terjadi karena
jumlah lemak yang berlebihan dapat meningkatkan kadar estrogen dalam darah
sehingga akan memicu pertumbuhan sel-sel kanker.

50
C. Gambaran Klinis15,16
Umumnya berupa benjolan yang tidak nyeri pada payudara. Benjolan itu mula-
mula kecil, semakin lama akan semakin besar, lalu melekat pada kulit atau menimbulkan
perubahan pada kulit payudara atau pada puting susu. Kulit atau puting susu tadi menjadi
tertarik ke dalam (retraksi), berwarna merah muda atau kecoklat-coklatan sampai
menjadi oedema hingga kulit kelihatan seperti kulit jeruk (peau d'orange), mengkerut,
atau timbul borok (ulkus) pada payudara. Borok itu semakin lama akan semakin besar
dan mendalam sehingga dapat menghancurkan seluruh payudara, sering berbau busuk,
dan mudah berdarah.

Ciri-ciri lainnya antara lain:


Pendarahan pada puting susu
Rasa sakit atau nyeri pada umumnya baru timbul apabila tumor sudah besar, sudah
timbul borok, atau bila sudah muncul metastase ke tulang-tulang.
Kemudian timbul pembesaran kelenjar getah bening di ketiak, bengkak (edema) pada
lengan, dan penyebaran kanker ke seluruh tubuh.

Kanker payudara lanjut sangat mudah dikenali dengan mengetahui kriteria


operbilitas Heagensen sebagai berikut:
Terdapat edema luas pada kulit payudara (lebih 1/3 luas kulit payudara)
Adanya nodul satelit pada kulit payudara
Kanker payudara jenis mastitis karsinimatosa
Terdapat model parasternal
Terdapat nodul supraklavikula
Adanya edema lengan
Adanya metastase jauh
Serta terdapat dua dari tanda-tanda locally advanced, yaitu ulserasi
kulit, edema kulit, kulit terfiksasi pada dinding toraks, kelenjar getah bening aksila
berdiameter lebih 2,5 cm, dan kelenjar getah bening aksila melekat satu sama lain.

51
D. Stadium
Stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil penilaian dokter saat
mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita pasiennya, sudah sejauh manakah
tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke organ atau jaringan sekitar maupun
penyebaran ketempat lain. Stadium hanya dikenal pada tumor ganas atau kanker dan
tidak ada pada tumor jinak. Untuk menentukan suatu stadium, harus dilakukan
pemeriksaan klinis dan ditunjang dengan pemeriksaan penunjang lainnya
yaitu histopatologi atau PA, rontgen, USG, dan bila memungkinkan dengan CT
scan, scintigrafi, dll. Banyak sekali cara untuk menentukan stadium, namun yang paling
banyak dianut saat ini adalah stadium kanker berdasarkan klasifikasi sistem TNM yang
direkomendasikan oleh UICC (International Union Against Cancer dari World Health
Organization)/AJCC (American Joint Committee On cancer yang disponsori
oleh American Cancer Society dan American College of Surgeons). TNM merupakan
singkatan dari "T" yaitu tumor size atau ukuran tumor, "N" yaitu node atau kelenjar getah
bening regional dan "M" yaitu metastasis atau penyebaran jauh. Ketiga faktor T, N, dan
M dinilai baik secara klinis sebelum dilakukan operasi, juga sesudah operasi dan
dilakukan pemeriksaan histopatologi (PA). 16

Pada kanker payudara, penilaian TNM sebagai berikut15:


T (tumor size), ukuran tumor:
T 0: tidak ditemukan tumor primer
T 1: ukuran tumor diameter 2 cm atau kurang
T 2: ukuran tumor diameter antara 2-5 cm
T 3: ukuran tumor diameter > 5 cm
T 4: ukuran tumor berapa saja, tetapi sudah ada penyebaran ke kulit atau dinding dada
atau pada keduanya, dapat berupa borok, edema atau bengkak, kulit payudara
kemerahan atau ada benjolan kecil di kulit di luar tumor utama.

N (node), kelenjar getah bening regional:


N 0: tidak terdapat metastasis pada kgb regional di ketiak/aksilla
N 1: ada metastasis ke kgb aksilla yang masih dapat digerakkan
N 2: ada metastasis ke kgb aksilla yang sulit digerakkan

52
N 3: ada metastasis ke kgb di atas tulang selangka (supraclavicula) atau pada kgb
di mammary interna di dekat tulang sternum.

M (metastasis), penyebaran jauh:


M x: metastasis jauh belum dapat dinilai
M 0: tidak terdapat metastasis jauh
M 1: terdapat metastasis jauh

Setelah masing-masing faktor T, N, dan M didapatkan, ketiga faktor tersebut


kemudian digabung dan akan diperoleh stadium kanker sebagai berikut16:
Stadium 0 : Tis N0 M0
Stadium 1 : T1 N0 M0
Stadium II A : T0 N1 M0/T1 N1 M0/T2 N0 M0
Stadium II B : T2 N1 M0 / T3 N0 M0
Stadium III A : T0 N2 M0/T1 N2 M0/T2 N2 M0/T3 N1 M0/T2 N2 M0
Stadium III B : T4 N0 M0/T4 N1 M0/T4 N2 M0
Stadium III C : Tiap T N3 M0
Stadium IV : Tiap T-Tiap N-M1

a) Stadium 0
Disebut Ductal Carsinoma In Situ atau Non-invasive Cancer, yaitu kanker
tidak menyebar keluar dari pembuluh / saluran payudara dan kelenjar-kelenjar
(lobules) susu pada payudara16.

b) Stadium I
Tumor masih sangat kecil, diameter tumor terbesar kurang dari atau sama
dengan 2 cm dan tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.16

53
Gambar 3. Stadium 1 Ca Mammae 14

c) Stadium II A16
Tidak ada tanda-tanda tumor pada payudara, tetapi terdapat metastasis kelenjar
limfe mobil di fosa aksilar ipsilateral.
Diameter tumor lebih kecil atau sama dengan 2 cm dan telah ditemukan
metastasis kelenjar limfe mobil di fosa aksilar ipsilateral.
Diameter tumor lebih lebar dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm dan tidak ada
metastasis ke kelenjar limfe regional

Gambar 4. Stadium IIa Ca Mammae14

d) Stadium II B16
Diameter tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm dan terdapat metastasis
kelenjar limfe mobil di fosa aksilar ipsilateral.
Diameter tumor lebih dari 5 cm, tetapi tidak terdapat metastasis kelenjar limfe
regional.

54
Gambar 5. Stadium IIb Ca Mammae14

e) Stadium IIIa16
Diameter tumor lebih kecil dari 5 cm dan terdapat metastasis kelenjar limfe di
fosa aksilar ipsilateral yang terfiksasi dengan jaringan lain.
Diameter tumor lebih dari 5 cm dan terdapat metastasis kelenjar limfe di fosa
aksilar ipsilateral yang terfiksasi dengan jaringan lain.

Gambar 6. Stadium IIIa Ca Mammae14

f) Stadium IIIb
Tumor telah menyebar ke dinding dada atau menyebabkan pembengkakan
bisa juga luka bernanah di payudara. Didiagnosis sebagai Inflamatory Breast Cancer.
Bisa sudah atau bisa juga belum menyebar ke pembuluh getah bening di ketiak dan
lengan atas, tapi tidak menyebar ke bagian lain dari organ tubuh.16

55
Gambar 7. Stadium IIIb Ca Mammae14

g) Stadium III C
Ukuran tumor bisa berapa saja dan terdapat metastasis kelenjar limfe
infraklavikular ipsilateral, atau bukti klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar
limfe mammaria interna dan metastase kelenjar limfe aksilar, atau metastasis kelenjar
limfe supraklavikular ipsilateral.16

Gambar 8. Stadium IIIc Ca Mammae14

h) Stadium IV
Ukuran tumor bisa berapa saja, tetapi telah menyebar ke lokasi yang jauh,
yaitu : tulang, paru-paru, liver atau tulang rusuk.16

56
Gambar 9. Stadium IV Ca Mammae14

E. Patofisiologi
Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut
transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi.16
1. Fase inisiasi.
Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan
oleh suatu agen yang disebut karsinogen, yang bisa berupa
bahan kimia, virus, radiasi (penyinaran) atau sinar matahari. Tetapi tidak semua sel
memiliki kepekaan yang sama terhadap suatu karsinogen. Kelainan genetik dalam sel
atau bahan lainnya yang disebut promotor, menyebabkan sel lebih rentan terhadap
suatu karsinogen. Bahkan gangguan fisik menahun pun bisa membuat sel menjadi
lebih peka untuk mengalami suatu keganasan.15,16

2. Fase promosi.
Pada tahap promosi, suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah
menjadi ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh
promosi. Karena itu diperlukan beberapa faktor untuk terjadinya keganasan
(gabungan dari sel yang peka dan suatu karsinogen).15,16

57
F. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis harus mencakup status haid, perkawinan, partus, laktasi, dan
riwayat kelainan mammae sebelumnya, riwayat keluarga yang menderita kanker,
fungsi kelenjar tiroid, penyakit ginekologik, dan lain-lain. Dalam riwayat penyakit
sekarang terutama harus perhatikan waktu timbulnya massa, kecepatan pertumbuhan,
dan hubungan dengan haid.16

2. Pemeriksaan fisik
Mencakup pemeriksaan fisik menyeluruh (sesuai pemeriksaan rutin) dan
pemeriksaan kelenjar mammae. Dari inspeksi, amati ukuran, simetri kedua mammae,
perhatikan apakah ada benjolan tumor atau perubahan patologik kulit (misal
cekungan, kemerahan, udem,erosi, nodul satelit, dll). Perhatikan kedua papila
mammae apakah simetri, ada retraksi, distorsi, erosi, an kelainan lain. Palpasi
umumnya dalam posisi berbaring, juga dapat kombinasi duduk dan baring. Waktu
periksa rapatkan keempat jari, gunakan ujung dan perut jari berlawanan arah jarum
jam atau searah jarum jam. Kemudian dengan lembut pijat areola mammae. Papila
mamae, lihat apakah keluar sekret. Jika terdapat tumor, harus secara rinci periksa dan
catat lokasi, ukuran, konsistensi, kondisi batas, permukaan mobilitas, nyeri tekan.
Ketika memeriksa apakah tumor melekat ke dasarnya, harus meminta lengan pasien
sisi lesi bertolak pinggang, agar m. Pektoralis mayor berkerut. Jika tumor dan kulit
atau dasar melekat, mobilitas terkekang, kemungkinan kanker sangat besar. Jika
terdapat sekret papila mammae, harus buat sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi.
Pemeriksaan kelenjar limfe regional paling baik posisi duduk. Ketika memeriksa
aksila kanan, dengan tangan kiri topang siku kanan pasien, dengan ujung jari kiri
palpasi seluruh fosa aksila secara berurutan. Waktu memeriksa fosa aksila kiri
sebaliknya, dan terakhir periksa kelenjar supraklavikular.14,16
3. Pemeriksaan penunjang14
Mammografi
USG
MRI mammae
Pemeriksaan biopsi

58
G. Penatalaksanaan
1. Terapi bedah
Pasien yang pada awal terapi termasuk stadium 0, I, II dan sebagian stadium
III disebut kanker mammae operabel. Pola operasi yang sering dipakai adalah16 :

a) Mastektomi radikal :
Tahun 1890 Halsted pertama kali merancang dan mempopulerkan operasi
radikal kanker mammae, lingkup reseksinya mencakup kulit berjarak minimal 3
cm dari tumor, seluruh kelenjar mammae, m. Pektoralis mayor, m. Pektoralis
minor dan jaringan limfatik dan lemak subskapular, aksilar secara kontinu
enblok direseksi. Namun sekitar 20 tahun belakangan ini, dengan pemahaman
lebih dalam atas tabiat biologis karsinoma mammae, ditambah makin banyaknya
kasus stadium sedang dan dini serta kemajuan terapi kombinasi, maka
penggunaan mastektomi radikal konvensional telah makin berkurang.16

b) Mastektomi radikal modifikasi :


Lingkup reseksi sama dengan teknik radikal, tapi mempertahankan m.
Pektoralis mayor dan minor (model Auchincloss) atau mempertahankan m.
Pektoralis mayor, mereseksi m. Pektoralis minor (model Patey). Pola operasi ini
mempunyai kelebihan antara lain memacu pemulihan fungsi pasca operasi, tapi
sulit membersihkan kelenjar limfe aksilar superior. Dewasa ini, mastektomi
radikal modifikasi disebut sebagai mastektomi radikal standar, luas digunakan
secara klinis.14,16

c) Mastektomi total :
Hanya membuang seluruh kelenjar mammae tanpa membersihkan
kelenjar limfe. Model operasi ini terutama untuk karsinoma in situ atau pasien
lanjut usia.16

59
2. Radioterapi
Radioterapi terutama mempunyai 3 tujuan :
a) Radioterapi murni kuratif :
Radioterapi murni terhadap kanker mammae hasilnya kurang ideal,
survival 5 tahun 10-37%. Terutama digunakan untuk pasien dengan
kontraindikasi atau menolak operasi.16

b) Radioterapi adjuvan :
Menjadi bagian integral penting dari terapi kombinasi. Menurut
pengaturan waktu radioterapi dapat dibagi menjadi radioterapi pra-operasi
terutama untuk pasien stadium lanjut lokalisasi, dapat membuat sebagian kanker
mammae non-operabel menjadi kanker mammae yang operabel. Radioterapi
pasca operasi adalah radioterapi seluruh mammae (bila perlu ditambah
radioterapi kelenjar limfe regional). Indikasi radioterapi pasca mastektomi
adalah : diameter tumor primer 5 cm, fasia pektoralis terinvasi, jumlah kelenjar
limfe aksilar metastatik lebih dari 4 buah dan tepi irisan positif. Area target
iradiasi harus mencakup dinding toraks dan regio supraklavikular. Regio
mamaria interna jarang terjadi rekurensi klinik, sehingga perlu tidaknya
radioterapi rutin masih kontroversial.15,16

c) Radioterapi paliatif :
Terutama untuk terapi paliatif kasus stadium lanjut dengan rekurensi,
metastasis. Dalam hal meredakan nyeri efeknya sangat baik.16

3. Kemoterapi
Proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk pil cair
atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker. Tidak hanya sel
kanker pada payudara, tapi juga di seluruh tubuh. Efek dari kemoterapi adalah pasien
mengalami mual dan muntah serta rambut rontok karena pengaruh obat-obatan yang
diberikan pada saat kemoterapi.14,16

60
4. Terapi Hormonal
Terapi hormonal terutama mencakup bedah dan terapi hormon. Terapi
hormonal bedah terutama adalah ooforektomi (disebut juga kastrasi) terhadap wanita
pramenopause, sedangkan adrenalektomi dan hipofisektomi sudah ditinggalkan.
Terapi hormonal medikamentosa yang digunakan di klinis yang terutama adalah obat
antiestrogen. Tamoksifen merupakan penyekat reseptor estrogen, mekanisme
utamanya adalah berikatan dengan reseptor estrogen secara kompetitif, menyekat
transmisi informasi ke dalam sel tumor sehingga berefek terapi. Tamoksifen juga
memiliki efek mirip estrogen, berefek samping trombosis vena dalam, karsinoma
endometrium dan lain-lain. Sehingga perlu diperhatikan dan diperiksa secara
berkala.16

H. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat dan memberikan penanganan yang tepat pada penderita kanker payudara sesuai
dengan stadiumnya untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang hidup penderita.
Upaya rehabilitasi terhadap penderita kanker payudara dilakukan dalam bentuk
rehabilitasi medik serta rehabilitasi jiwa dan sosial. Rehabilitasi medik dilakukan untuk
mempertahankan keadaan penderita pasca operasi atau pasca terapi lainnya. Rehabilitasi
jiwa dan sosial diberikan melalui dukungan moral dari orang-orang terdekat dan
konseling dari petugas kesehatan maupun tokoh agama.14

61
BAB III

LAPORAN KASUS

1. Pre-Operatif
A. Identitas pasien

Nama : Ny. N
Umur : 62 tahun
BB : 70 Kg
TB : 165 cm
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Suku bangsa : Jawa
Ruangan : Bedah Wanita

B. Anamnesis
Keluhan Utama : Luka pada payudara kanan 3 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSU Jayapura dengan keluhan
terdapat luka pada payudara kanan disertai rasa nyeri 3
bulan yang lalu. Awalnya, 8 bulan yang lalu sebelum
terjadi luka pada payudara kanan terdapat benjolan
sebesar telur ayam puyuh yang semakin lama makin
membesar. Luka yang timbul berukuran 5 cm
kemudian disertai adanya darah. Demam tidak dirasakan
pasien. Sebelumnya pasien belum pernah berobat. Makan
/ minum (+), BAB / BAK (+ / +).
Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini.
Riwayat Penyakit : Asma } disangkal
Pernapasan
TBC

62
Riwayat Penyakit : Tidak ada
Kardiovaskular

Riwayat Penyakit Lain : Tidak ada

Riwayat Alergi Obat : Tidak ada

Riwayat Operasi : Tidak ada

Kebiasaan : Merokok (-), alkoholik (-), obat-obatan (-)

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis / E4V5M6
TD : 130 / 90 mmHg, N: 84 x/mensit, R : 20 x/menit, T : 36,8 C
Kepala : Konjugtiva anemis (+), sclera ikterik (-)
Leher : Simetris (-), pembesaran kelenjar (-), massa (-)
Thorax :
Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Vocal fremitus (+) normal, iktus kordis teraba
sejajar linea mid klavikula ICS 4-5
Perkusi : Pulmo : sonor
Cor : pekak
Auskultasi : Cor : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien
tidak teraba,
Perkusi : Tympani

63
Ekstremitas bawah : Edema -/-, akral hangat +/+

Status lokalis : Regio Mammae (D) : Tampak pada massa berbenjol, padat, immobile,
berbatas tegas, nyeri (+), ulkus (+), pus (-).

D. Pemeriksaan Penunjang
HB 8,7 gr %
WBC 2.800 mm.3
BT 300
CT 900
GDS 163 mg/dl
Ureum 42 mg/dl
Creatinin 1,4 mg/dl
Albumin 4,2 g/dl
Natrium 124 mmol/L
Kalium 3, 1 mmol/L

2. Durante Operasi
A. Status Anestesi
PS. ASA : III (Co Morbid Geriatri dan Anemia)

Hari/Tanggal : Senin, 20 / 01 / 2014

Ahli Anestesiologi : dr. Diah W, Sp.An KIC

Ahli Bedah : dr. William, Sp. B (K) Onk

Diagnosa Pra Bedah : Ca.Mammae (Dextra) T4bN2M1 + Anemia

Diagnosa Pasca : Post Mastektomi Radikal Ca.Mammae (Dextra)


Bedah T4bN2M1 + Anemia

64
Keadaan Pra Bedah :
KU : Tampak sakit sedang
Makan terakhir : 12 jam lalu
BB : 70 kg
TTV : TD :140 / 90 mmHg, N: 90 x/m, SB: 36, 8 oC
SpO2 : 100 %

B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara napas


vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 24 x/m.

B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2


detik, BJ: I-II murni regular. TD :140/90 mmHg, N: 90
x/m, SB: 36, 8 oC
B3 : Allert, GCS: E4V5M6 compos mentis, pupil isokor,
refleks cahaya (+/+), refleks fisiologis (+ ), refleks
patologis ( -), riwayat pingsan (-), riwayat kejang (-).

B4 : Terpasang DC, produksi urin 300 cc, warna kuning


jernih, keruh (-).

B5 : Abdomen supel, cembung, nyeri tekan (-), hepar lien


(tidak teraba), timpani, BU (+) normal

B6 : Akral hangat (+), edema (-), Fraktur (-), motorik normal

Metabolik : Tidak ada

Hati : Riwayat ikterus (-)

Medikasi Pra Bedah : RL 500 cc

Jenis Pembedahan : Mastectomy radikal dextra

Lama Operasi : 125 menit (12.05 14.10 WIT)

65
Jenis Anestesi : General Anestesi

Lama Anestesi : 150 menit (11.40 14.10 WIT)

Anestesi Dengan : Sevofluran

Relaksasi Dengan : Artrakium

Teknik Anestesi : Pasien tidur terlentang, induksi i.v, ekstensikan kepala,


intubasi apnoe dengan ETT G 7, mengembangkan cuff,
fiksasi, anesthesia (+)

Teknik Khusus : -

Pernafasan : Ventilator

Posisi : Terlentang,

Infus : Tangan Kiri, abocath 18 G, cairan RL

Penyulit : -
pembedahan

Akhir pembedahan : TD: 135/65 mmHg, N: 70 x/m, SB: 36,7oC, RR: 24 x/m

Terapi Khusus : -
Pasca Bedah

Penyulit Pasca : -
Bedah

Hipersensitivitas : -

Premedikasi : Midazolam 5 mg (iv)

Petidin 30 mg (iv)

66
Medikasi : Propofol 50 mg. Midazolam 5 mg.

Atracurium 30 mg. Propofol 50 mg.

Dexametason 10 mg. Fentanil 50 mg.

Ranitidin 50 mg. Midazolam 5 mg.

Ondancentron 4 mg. Na Metamizole 1 gr.

Asam Traneksamat 1000mg Nalokson 1 ampul

Propofol 30 mg

B. Diagram Observasi
200

180

160

140

120

100 Nadi
Sistole
80
Diastole
60

40

20

3. Post Operatif
S : Pasien tidur terlentang dengan sadar dan bernapas menggunakan O2 nasal 1-2 lpm, RR
: 24 x/m, SpO2 : 95 %, minum (+) sedikit-sedikit, mual (-), muntah (-), drain (+) 325
cc, demam (-), terpasang DC 1590 cc warna kuning jernih. Sesak (-), Pagi ini pasien
boleh makan.

67
O:
B1 : Bebas, gerak leher bebas, terpasang O2 nasal 1-2
lpm, RR : 24 x/m, Thorax : simetris, ikut gerak
napas, suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -
/-.

B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill


Time < 2 detik, Conjugtiva Anemis +/+, SPO2 : 95
%, BJ : I-II murni regular. TD : 108/66 mmHg, N :
90 x/m, SB : 36,6 c. terpasang darah 325 cc.

B3 : Allert, GCS: E4V5M6, riwayat pingsan (-), riwayat


kejang (-). Pupil isokor 3 mm, Refleks Cahaya
+/+. Refleks patologis (-), refleks fisiologis (+)

B4 : Terpasang DC produksi urin 1590 cc, warna


kuning jernih, keruh (-).

B5 : Abdomen supel, cembung, nyeri tekan (-), hepar


lien (tidal teraba), timpani, BU (+) normal, makan
(-), minum (+) sedikit-sedikit.

B6 : Akral hangat (+), edema (-), Fraktur (-), motorik


normal

A : Post Mastectomy dextra e.c Ca.Mammae dextra T4bN2M1 + Anemia


P : O2 nasal 1-2 lpm
IVFD Tutofusin + 1 ampul tramadol / 8 jam
Injeksi : Meropenem 3x1 gr
Ranitidin 2x50 mg
Paracetamol 4x500mg
Asam Traneksamat 3x1000 mg

68
4. Terapi Cairan
Kebutuhan Cairan Intake
Pre Operatif Pre Operatif
Puasa : 117 x 12 = 1404 RL 500 cc
146 x 12 = 1752
Durante Operatif Durante Operasi
Penguapan : 8 x 70 = 560 cc RL 500 cc + Widahes 500 cc
Maintanance : 234-292 PRC 400 cc + NaCl 500 cc + RL
Perdarahan : 500 cc 500cc
EBV : 65 x 70 = 4550
EBL : 500/4550 X 100% =
11 %
Defisit Cairan : 3104 2900 = 204 cc

Post Operatif Post Operatif


Maintanance : 117 x 17 = 1989 NaCl : 500 cc
146 x 17= 2482 RL : 300 cc
Drain Tutofusin : 1500cc
: 325 cc Tranfusi PRC 500 cc
Paracetamol 150cc
Balance
: 2950-(2807+204) = - 61 cc

69
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus di atas, akan dilakukan tindakan mastektomi radikal dengan general anestesi.
Pada persiapan pra anestesi diketahui bahwa pasien berumur 62 tahun, tidak mempunyai riwayat
penyakit asma, alergi, dan upper respiratory infection maupun gangguan metabolik, tidak ada
riwayat operasi sebelumya dan pasien berpuasa sekitar 12 jam sebelum pembedahan.
Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik (hubungan antara dosis
obat dan konsentrasi plasma) dan farmakodinamik (hubungan antara konsentrasi plasma dan efek
klinis). Namun perubahan yang berhubungan dengan penyakit dan variasi antar individu yang
luas bahkan pada populasi yang sama menyebabkan perubahan ini tidak selalu konsisten.6
Penurunan progresif massa otot dan peningkatan lemak tubuh (terutama pada wanita usia
lanjut) menyebabkan penurunan total jumlah cair tubuh. Hal ini menyebabkan konsentrasi
plasma obat-obatan yang larut air dapat lebih tinggi, sebaliknya konsentrasi plasma obat-obatan
larut lemak dapat lebih rendah. Perubahan dalam volume distribusi obat dapat mempengaruhi
waktu paruh eliminasi obat. Jika volume distribusi obat ditingkatkan, waktu paruhnya akan
diperpanjang kecuali tingkat klirens juga meningkat. Namun karena fungsi ginjal dan hepar juga
berkurang seiring pertambahan usia, penurunan tingkat klirens memperpanjang durasi kerja
beberapa obat. Studi menunjukkan bahwa pasien usia lanjut yang sehat, aktif hanya mengalami
sedikit atau tidak ada perubahan dalam volume plasma. Perubahan fisiologis penuaan dapat
mempengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko.
Secara umum pada usia lanjut terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan
juga menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan
juga mudah terjadi hipotermia.6,11
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien yang menjalani
anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.

70
Minuman air putih, teh manis sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.10
Pada pemeriksaan fisik, pada umumnya kondisi pasien dalam keadaan baik. Namun,
tekanan darah pasien pra bedah meningkat, yaitu 140/90 mmHg. Pada anamnesis, diketahui
bahwa pasien tidak memiliki riwayat hipertensi. Peningkatan tekanan darah pada pasien dicurigai
karena faktor stress (kecemasan). Pada respon stres akan dilepaskan hormon-hormon yang
dikenal sebagai neuroendokrin hormon yaitu: ADH, aldosteron, angiotensin II, cortisol,
epinephrin dan norepinephrin. Hormon-hormon ini akan berpengaruh terhadap beberapa fungsi
fisiologik tubuh yang penting dan merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk melindungi
fungsi fisiologik tubuh.17 Selain itu, pasien juga tampak anemis. Hal ini sesuai dengan hasil
pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan kadar hemoglobin 8,7 gr/dl.
Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin akan berkurang. Hal
ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan, jantung harus memompa darah lebih
banyak sehingga timbul takikardi, murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan
anemia. Peran anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur bedah berlangsung. Penentu transport
oksigen termasuk di antaranya ialah pertukaran gas di pulmo, afinitas Hb-O2, konsentrasi total
Hb, dan cardiac output. Seluruhnya bekerja dalam satu sistem dan menyediakan kapasitas
oksigen yang adekuat. Apabila ada penurunan pada satu komponen di atas, maka menyebabkan
komponen lain terpengaruh. Dari komponen tersebut, haemoglobin mempunyai kemungkinan
terbesar untuk dimanipulasi sehingga dapat meningkatkan transport oksigen.7
Pada kasus ini, klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 3. Pasien
digolongkan dalam PS ASA 3 karena faktor usia yaitu 62 tahun (Co Morbid Geriatri dan
Anemia).
Pada kasus ini akan dilakukan operasi mastektomi radikal dengan pilihan anestesi umum.
Mastektomy radikal dipilih sebagai terapi pada kasus ini karena tidak terdapatnya fasilitas
radioterapi yang merupakan terapi pilihan kuratif pada tumor yang tak mampu diangkat bila
mencapai tingkat T4. Namun pada pasien ini dilakukan mastektomi radikal dan dilanjutkan
dengan kemoterapi adjuvant dengan tujuan mengatasi metastase sistemik dan menghancurkan
mikro metastasis yang terdapat pada pasien yang kelenjar axillanya sudah mengandung
metastasis. Anestesi umum dipilih pada kasus ini dengan pertimbangan lokasi pembedahan

71
berada pada daerah thorax. Operasi di sekitar kepala, leher, intrathorakal, intraabdominal paling
baik dilakukan dengan anestesia umum. Selain itu indikasi anestesi umum lainnya ialah infant &
anak usia muda, dewasa yang memilih anestesi umum, pembedahannya luas / eskstensif,
penderita sakit mental, pembedahan lama, pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau
tidak memuaskan, riwayat penderita alergi obat anestesi lokal, penderita dengan pengobatan
antikoagulantia. Mastektomi radikal merupakan operasi yang luas karena lingkup reseksinya
mencakup kulit berjarak minimal 3 cm dari tumor, seluruh kelenjar mammae, m. Pektoralis
mayor, m. Pektoralis minor dan jaringan limfatik dan lemak subskapular, aksilar secara kontinu
enblok direseksi, sehingga dibutuhkan waktu yang lama dalam operasi ini. Disamping itu juga
tidak adanya perbedaan yang bermakna angka mortalitas, komplikasi perdarahan hebat intra
operatif pada pasien usia lanjut yang dilakukan pembiusan umum atau regional, serta tidak
terdapat perbedaan bermakna insiden gangguan kognitif pasca operasi dengan pembiusan umum
atau regional walaupun angka komplikasi gangguan kognitif dalam 3 hari pasca operasi atau
pembiusan pada pasien yang mengalami pembiusan regional lebih kecil. Sehingga pada kasus ini
lebih dipilih menggunakan anestesi umum.5,9,15,16
Pada kasus di atas, saat premedikasi digunakan Midazolam 5 mg. Midazolam
merupakan obat golongan benzodiazepine, merupakan obat penenang (transquilaizer) yang
memiliki sifat antiansietas, sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot skelet. Dosis
midazolam yaitu 0,025-0,1 mg/kgBB (5mg/5cc). Dengan awitan aksi iv 30 detik, efek puncak 3-
5 menit dan lama aksi 15-80 menit. Penuaan menurunkan jumlah volume pemberian untuk
semua benzodiazepin, yang dapat memperpanjang waktu paruh eliminasi obat tersebut.
Peningkatan sensitivitas farmakodinamik untuk benzodiazepin juga telah diamati. Dosis yang
diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi mengalami penurunan sebesar 75%
pada pasien berusia lanjut, waktu paruh eliminasi memanjang dari sekitar 2,5 sampai 4 jam.
Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak dan penurunan klirens
obat.2,11
Selain itu saat premedikasi juga digunakan petidin 30 mg. Petidin merupakan analgetik
narkotik yang digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi
pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anestesia dengan trikloretilen, dan
membantu agar anestesia berlangsung baik. Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfin
10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan

72
tidak dianjurkan karena menyebabkan iritasi. Pasien usia lanjut memerlukan dosis obat-obatan
premedikasi yang lebih rendah. Premedikasi opioid hanya digunakan jika kondisi preoperatif
pasien disertai nyeri berat. Antikolinergik tidak diperlukan karena pada pasien usia lanjut
kelenjar saliva biasanya mengalami atrofi.2,11
Pada kasus ini, induksi anestesia dilakukan dengan menggunakan propofol. Dosis bolus
untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anesthesia intravena total 4 12 mg/kg/jam dan
dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pada manula harus dikurangi, pada anak <3
tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.2,10
Propofol merupakan anestetik intravena golongan nonbarbiturat yang efektif dengan
onset cepat dan durasi yang singkat sangat berguna pada pasien usia lanjut. Pemulihan kesadaran
yang lebih cepat dengan efek minimal terhadap susunan saraf pusat merupakan salah satu
keuntungan penggunaan propofol dibandingkan obat anestesi intravena lainnya. Propofol
menurunkan tekanan arteri sistemik kira kira 30 % tetapi efek ini lebih disebabkan oleh
vasodilatasi perifer ketimbang penurunan curah jantung. Tekanan darah sistemik kembali normal
dengan intubasi trakea. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemia otot jantung, tetapi
terjadi sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Efek propofol terhadap pernapasan mirip
dengan efek thiopental sesudah pemberian IV yakni terjadi depresi napas sampai apneu selama
30 detik. Hal ini diperkuat bila digunakan opioid sebagai medikasi pra-anestetik.1 Pada usia
lanjut, faktor farmakokinetik dan farmakodinamik bertanggung jawab untuk peningkatan
sensitivitas otak terhadap propofol. Pasien usia lanjut membutuhkan kadar propofol darah untuk
anestesi yang hampir 50% lebih rendah dibandingkan pasien yang lebih muda. Selain itu tingkat
keseimbangan perifer dan klirens sistemik untuk propofol berkurang secara signifikan pada
pasien usia lanjut.2,10,11
Pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Tramus (Atrakurium) 30 mg.
Atrakurium merupakan pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-
kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi. Hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Dosis awal atrakurium 0,5-0,6 mg/kg, sedangkan dosis
rumatan 0,1 mg/kg. Umumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot.
Atracurium menjadi pilihan untuk usia lanjut karena atracurium bergantung pada sebagian
kecil metabolisme hati dan ekskresi, tidak terjadi perubahan klirens dengan bertambahnya
usia, yang menunjukkan adanya jalur eliminasi alternatif.2,6

73
Setelah dosis sedasi telah tercapai, maka pada pasien dilakukan pemasangan
endotracheal tube dengan nomor 7. Pada kasus ini, manajemen airway dan breathing pasien
dikontrol dengan baik menggunakan ventilator. Tidak ditemukan terjadi hiperkapnia, hal ini
dapat dilihat pada diagram observasi pasien yang menunjukkan tidak ada tanda-tanda
hiperkapnia. Setelah pemasangan endotracheal tube tersebut pasien diberikan dexamethasone 10
mg. Deksamethasone adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas imunosupresan dan anti-
inflamasi. Sebagai imunosupresan deksamethasone bekerja dengan menurunkan respon imun
tubuh terhadap stimulasi rangsang. Aktivitas anti-inflamasi deksamethasone dengan jalan
mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator
inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan respon
imun.18
Pemeliharaan anestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi berupa Sevofluran
merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk
induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh.
Pada pasien usia lanjut konsentrasi alveolar minimum (The minimum alveolar concentration =
MAC) mengalami penurunan kurang lebih 6% per dekade pada mayoritas anestesi inhalasi.
Oleh karena itu pasien usia lanjut membutuhkan volume anestesi inhalasi yang lebih rendah
untuk mencapai efek yang sama dengan pasien yang lebih muda. Mekanisme kerja anestesi
inhalasi berhubungan dengan gangguan pada aktivitas kanal ion neuronal terhadap nikotinik,
asetilkolin, GABAA dan reseptor glutamat. Mungkin adanya gangguan karena penuaan pada
kanal ion, aktivitas sinaptik, atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab terhadap
perubahan farmakodinamik tersebut.10,11
Selain menggunakan propofol sebagai induksi dan rumatan, pada kasus ini juga
digunakan fentanil. Propofol sebagai agen anestesi dikatakan lack of analgesia. Karena itu
apabila digunakan sendiri akan menjadi inefektif karena masih akan timbul pergerakan atau
menarik diri pada saat prosedur berlangsung. Sehingga dalam penggunaanya, propofol sering
dikombinasikan dengan analgesik, seperti golongan opioid, maupun ketamin dosis rendah.9
Fentanil digunakan secara luas untuk anestesi total intravena saat ini. Fentanil merupakan
opioid sintetik dengan seratus kali lebih poten dari morfin sebagai analgesik, dan sebagai bagian

74
dari anestesi berimbang, obat ini menghilangkan nyeri, mengurangi respon somatik dan
autonomik terhadap manipulasi airway, dengan hemodinamik yang lebih stabil dengan mula
kerja yang cepat dan durasi kerja yang singkat. Tetapi disamping itu kelemahannya adalah
mempengaruh ventilasi pernafasan dan mual muntah pasca operasi. Untuk anestesi opioid
digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. Fentanil
kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien berusia lanjut. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan sensitivitas otak terhadap opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan
farmakokinetik.2,10,11
Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah, denyut nadi serta pernapasan selalu
dimonitor. Pada diagram observasi dapat dilihat tekanan darah pasien meningkat pada jam 12.20
(172/101 mmHg), 12.50 (183/100 mmHg), 13.10 (161/92 mmHg), 14.00 (186/75 mmHg).
Peningkatan tekanan darah ini terjadi karena respon nyeri (stres). Respon saraf utama terhadap
rangsangan stress adalah pengaktifan menyeluruh sistem saraf simpatis. Hal ini menyebabkan
peningkatan curah jantung dan ventilasi serta pengalihan darah dari daerah-daerah vasokonstriksi
yang aktifitasnya ditekan. Hal ini menandakan pasien terbangun, maka secara berturut-turut
pasien diberikan propofol 30 mg, midazolam 5 mg, propofol 50 mg dan midazolam 5 mg.17
Selain itu juga pasien diberikan ranitidin dan ondansentron. Ranitidin merupakan
golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat
reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan
lambung. Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun
sejalan dengan penurunan volume cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3
yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan
muntah. Pada pasien ini juga diberikan Asam traneksamat secara intravena. Asam traneksamat
adalah obat antifibrinolitik yang menghambat pemutusan benang fibrin. Asam traneksamat
bekerja dengan cara memblok ikatan plasminogen dan plasmin terhadap fibrin ; inhibisi terhadap
plasmin ini sangat terbatas pada tingkat tertentu. Asam traneksamat digunakan untuk profilaksis
dan pengobatan pendarahan yang disebabkan fibrinolisis yang berlebihan.19,20,21
Pada tahap akhir pembedahan, pasien diberikan Na Metamizole. Na
Metamizole merupakan derivat metansulfonat dari aminopirin yang mempunyai khasiat
analgesik. Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi rasa sakit ke susunan saraf pusat
dan perifer.22

75
Ekstubasi dilakukan pada posisi lateral ketika pasien masih dibawah pengaruh anestesi,
lalu diberikan oksigen tambahan menggunakan sungkup. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya
pada anestesi sudah ringan dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi
bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.10
Sebelum pasien dipindahkan ke Recovery Room, pasien mengalami depresi napas yang
ditandai dengan penurunan saturasi oksigen menjadi 86% dan miosis pada pupil yang
menandakan pasien mengalami kelebihan dosis fentanil (opioid). Tanda dan gejala yang sering
ditemukan pada kelebihan dosis opioid adalah koma, depresi napas, miosis, hipotensi, bradikardi,
hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, kejang (pada kasus berat). Sehingga
pada pasien diberikan Nalokson secara intravena. Nalokson mengatasi depresi napas yang dipicu
oleh opioid. Mekanisme yang pasti dari aktivitas antagonis opiat dari nalokson tidak diketahui
dengan pasti. Nalokson kemungkinan berperan dalam antagonis kompetitif pada reseptor opiat
, K, dan S pada sistem saraf pusat; diperkirakan nalokson mempunyai afinitas tertinggi
terhadap reseptor .23,24
Pasien diobservasi di Recovery Room terlebih dahulu hingga sadar, dan kemudian
pasien dipindahkan ke ICU. Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat tinggi atau
tersedia fasilitas perawatan intensif, hal ini dapat meningkatkan outcome jangka panjang dari
pasien usia lanjut.6
Terapi post operatif di ICU diberikan: O2 nasal 1-2 lpm, IVFD Tutofusin + 1 ampul
tramadol / 8 jam, Injeksi : Meropenem 3x1 gr, Ranitidin 2x50 mg, Paracetamol 4x500mg, Asam
Traneksamat 3x1000 mg. Pada semua pasien usia lanjut dianjurkan untuk memberikan terapi
oksigen pasca-operasi, terutama setelah pembedahan abdomen atau dada. Nasal kanul sering
ditoleransi lebih baik daripada masker.11
Tutofusin merupakan cairan elektrolit lengkap yang dapat memenuhi kebutuhan air dan
elektrolit selama masa pra operasi, intra operasi dan pasca operasi. Memenuhi kebutuhan air dan
elektrolit pada keadaan dehidrasi isotonik dan kehilangan cairan intraselular, serta dapat
memenuhi kebutuhan karbohidrat secara parsial. Selain itu pada cairan Tutofusin tersebut
ditambahkan injeksi tramadol. Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat.
Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem syaraf pusat sehingga memblok
sensasi rasa nyeri dan respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan
neurotransmitter dari syaraf aferen yang sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri

76
terhambat. Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut, dimana nyeri
pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol nyeri yang kurang optimal dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut.11,25,26
Injeksi Meropenem diberikan untuk mencegah infeksi post operasi pada pasien ini.
Meropenem merupakan suatu antibiotika turunan karbapenem yang digunakan secara parenteral.
Meropenem menunjukan aktivitas bakterisidal dengan cara mengganggu pembentukan dinding
sel bakteri. Meropenem memiliki efek bakterisidal yang poten dan spektrum luas terhadap
bakteri aerob dan anaerob, karena Meropenem mudah menembus dinding sel bakteri, memiliki
stabilitas yang tinggi terhadap semua jenis beta-laktamase dan juga afinitasnya sangat baik
terhadap Penicilin Binding Proteins (PBPs). Meropenem dan imipenem memiliki profil dan
pengunaan yang sama terhadap bakteri multi resisten, akan tetapi Meropenem secara intrinsik
lebih poten terhadap Pseudomonas aeruginosa dan aktif juga secara invitro terhadap strain yang
resisten terhadap imipenem.27
Selain itu pasien juga mendapatkan injeksi Paracetamol, Ranitidin dan Asam
Traneksamat. Paracetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat
antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya
diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri
ringan sampai sedang.28

Terapi cairan pada pasien ini adalah sebagai berikut :


Kebutuhan cairan harian : 40 50 cc/kgBB/hari
(40 x 70 = 2800 cc/hari) (50 x 70 = 3500 cc/hari)
Kebutuhan cairan per jam : (2800 : 24 = 117 cc/jam) (3500 : 24 = 146 cc/jam)
Pre Operatif :
Pasien puasa selama 12 jam sehingga kebutuhan rumatan pasien tidak terpenuhi sehingga
kebutuhan cairan pasien sebelum operasi ialah :
- Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa
- (117 x 12 = 1404) (146 x 12 = 1752)

Sebelum operasi pasien diberikan cairan RL 500 cc. Sehingga kebutuhan cairan pasien
sebelum operasi mengalami defisit sebanyak 904 1252 cc

77
Durante Operatif :
- Penguapan :
Mastektomi radikal tergolong dalam operasi besar, sehingga penguapan yang terjadi
pada saat operasi adalah :
8 x kgBB = 8 x 70 = 560 cc
- Perdarahan :
Estimate Blood Volume (EBV) dari pasien ini ialah : 65 x kgBB = 65 x 70 = 4550.
Perdarahan yang terjadi selama operasi sebanyak 500 cc sehingga Estimate Blood Loss
(EBL) dari pasien ini ialah : 500 : 4550 x 100 % = 11 %.
Pada pasien ini perkiraan darah yang hilang sebanyak 11 %. Perdarahan pada
pembedahan di bawah 20% dari volume darah total pada dewasa cukup diganti dengan
cairan kristaloid dengan kebutuhan 2-4 kali dari perdarahan.29 Namun, pada pasien ini
Hb awal operasi 8,7 gr/dl, dengan kehilangan darah 11 % maka perkiraan Hb setelah
operasi menjadi 7,7 gr/dl maka perdarahan pada kasus ini perlu diganti dengan
transfusi darah sesuai dengan volume perdarahan. Indikasi transfusi darah ketika Hb <
8 g/dl 7 :
a. Perdarahan akut pada individu sehat (ASA 1) dengan usia > 60 tahun
b. Perdarahan akut pada keadaan multitrauma
c. Prediksi perdarahan perioperatif > 500 cc
d. Pasien dengan demam
e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko komplikasi
Komponen darah yang dipakai adalah Packed Red Cell (PRC). Dapat meningkatkan
1.1 g/dl per unit, pada pasien dewasa dengan BB 70 kg. Pada situasi terkontrol (cairan
hilang digantikan dengan kristalloid / koloid sehingga dicapai keadaan
normovolemia), satu unit PRC dapat menyeimbangkan Hb dalam waktu yang cepat
(kurang dari 15 menit)7.
- Kebutuhan cairan replacement pada durante operasi adalah :
Penguapan + Kebutuhan cairan akibat perdarahan = 560 + 500 = 1060
- Kebutuhan cairan maintanace pada durante operasi ialah :
Kebutuhan cairan per jam x durasi operasi (jam) =
(117 x 2 = 234 cc 146 x 2 = 292 cc)

78
Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi ialah kebutuhan cairan replacement
dijumlahkan dengan kebutuhan cairan maintenance = 1060 + 292 = 1352 cc. Pada saat
operasi cairan yang masuk ialah RL 500 cc + Widahes 500 cc + PRC 400 cc + NaCl
500 cc + RL 500cc, kebutuhan cairan menjadi 2400 1352 = 1048 cc, namun
kebutuhan cairan pasien sebelum operasi mengalami defisit sebanyak 904 1252 cc.
Sehingga kebutuhan cairan menjadi 1048 1252 = 204 cc

Post Operatif
Kebutuhan cairan post operasi ialah defisit cairan pada saat operasi dijumlahkan dengan
kebutuhan cairan rumatan pasien selama 17 jam, yaitu waktu operasi selesai hingga pukul
07.00 pagi serta dijumlahkan produksi drain = 204 + (17 x 146) + 325 = 3011 cc. Kebutuhan
cairan post operasi tersebut di ICU dicoba dipenuhi dengan memberikan cairan NaCl 500 cc
+ RL 300 cc + Tutofusin 1500cc + Tranfusi PRC 500 cc + Paracetamol 150cc. Sehingga
balance cairan post operatif hingga jam 7 pagi ialah: 2950 3011 = - 61 cc.

79
BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Pada kasus di atas dilakukan tindakan Mastectomy Radical dengan menggunakan


anestesi umum. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA III. Pasien
digolongkan dalam PS ASA III karena faktor usia (usia pasien 62 tahun). Selain itu juga
pada pasien disertai anemia.
Pada kasus di atas, untuk premedikasi digunakan Midazolam 5 mg, juga digunakan
petidin 30 mg. Antikolinergik tidak diperlukan karena pada pasien usia lanjut kelenjar saliva
biasanya mengalami atrofi. Pada kasus ini, induksi anestesia dilakukan dengan
menggunakan propofol, pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Tramus
(Atrakurium) 30 mg. Pemeliharaan anestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi berupa
Sevofluran. Selain itu juga pasien diberikan ranitidin dan ondansentron untuk mencegah
mual dan muntah saat operasi sehingga dapat menimbulkan aspirasi. Pada pasien ini juga
diberikan Asam traneksamat secara intravena, untuk membantu mengobati dan mencegah
perdarahan yang berlebihan. Pada tahap akhir pembedahan, pasien diberikan Na Metamizole
untuk mengatasi nyeri post operatif dengan menghambat transmisi rasa sakit ke susunan
saraf pusat dan perifer.

2. Saran
Pada pasien geriatri lebih diperhatikan keadaan preoperatifnya melalui pemeriksaan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemberian obat-obat anestesi lebih diperhatikan dosisnya untuk keamanan pasien.

80

Anda mungkin juga menyukai