Anda di halaman 1dari 13

Analisis Prinsip-Prinsip Good Governance dalam Penyelenggaraan

Pelayanan Publik
Analisis Prinsip-Prinsip Good Governance dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Oleh
Andi Kasmawati
kasmawatiamri@yahoo.co.id
Abstrak

Pendahuluan
Idealnya suatu pemerintahan yang baik, adalah pemerintahan tersebut menjalankan
tugas dan fungsinya secara optimal yaitu melaksanakan prinsip-prinsip kepemerintahan yang
baik (good governance)
Lahirnya prinsip kepemerintahan yang baik (good governance) di landasi oleh makin
besarnya beban pemerintahan, sehingga pemerintahan secara sadar telah melakukan
serangkaian kebijakan untuk mengalihkan beban tersebut kepada swasta dan masyarakat.
Bahkan oleh berbagai personal mikro, terdapat kecendrungan pemerintahan tidak lagi
menangani berbagai permasalahan dan memilih masyarakat sendiri yang menanggulanginya.
Menghadapi hal tersebut paling tidak berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam
hubungan antara pemerintah dengan masyarakat yaitu : bagaimana melakukan perubahan
dalam pengelola jalanya pemerintahan, pembangunan, dan pelaanan public (The way
of governance) dan bagaimana upaya untuk menangani apa yang harus diatur, dibangun, atau
dilayani (The wattens of goverbility)
Adanya perubahan pola hubungan antara pemerintahan dan masyarakat tersebut.
Inilah yang menimbulkan pola baru dalam penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan
pemerintahan, swasta, dan masyarakat yang dikenal dengan pergeseran pradigma dari
pemerintah (government) menjadi kepemerintahan (governence) sebagai wujud intimidasi
sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam menghadapi berbagai
permasalahan yang demikian kompleks, dinamis, dan beraneka ragam, Kooiman,
1993 (LAN Membngunan Kepemerintahan yang Baik, modul PENLAT kepemimpinan
tingkat III 2008: 3)
Berdasarkan uraian tersebut tergambar bahwa kepemerintahan (governance)
mengandung makna filosofi terhadap pola pemerintahan yang merujuk pada prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik, oleh karena itu pada pemaparan makalah ini mengurai
bagaimanakah kandungan filosofis dari setiap prinsip kepemerintahan yang baik
sebagaimana digariskan dalam sebuah pemerintahan.
PEMBAHASAN
1. Konsepsi kepemerintahan yang baik
Secara mendasar karakristik kepemerintahan yang baik berdasarkan uraian paling
tidak memenuhi tiga komponen utama yaitu transparansi (transperancy),
supremasi/penegakan hukum (Rule of low) dan akuntabilitas (acuntability).
Secara konseptual pengertian kata baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang
baik (good governance) mengandung dua pemahaman: Pertama, nilai-nilai yang menjunjung
tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan
rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan
keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efesien
dalam pelaksanaaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Oleh karena itu,
berdasarkan pengertian ini kepemerintahan yang baik berorientasi pada dua hal yaitu
: Pertama Orientasi ideal Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, dan
kedua, Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efesien melakukan
upaya pencapaian tujuan nasional.
Oreantasi pertama mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan
elemen-elemen konstituten atau pemilihnya seperti: legitimacy atau legitimasi, apakah
pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya; accountability atau
akuntabilitas, yaitu seberapa jauh perlindungan hak-hak asasi manusia terjamin, adanya
otonomi dan devolusi kekuasaan kepada daerah, serta adanya jaminan berjalanya mekanisme
kontrol oleh masyarakat. Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada sejauhmana pemerintah
mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik serta adminisitrasi
berfungsi secara efektif dan efesien.
Dokumen yang diterbitkan oleh UNDP dan pemerintah Vietnam memberikan
definisi good governancesebagai proses yang meningkatkan interaksi konstruktif diantara
domain-domainnya dengan tujuan untuk menciptakan dan memelihara kebebasan, keamanan,
dan kesempatan bagi adanya aktivitas swasta yang produktif. Oleh karena itu good
governance juga adalah mengutamakan partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan efektifitas
serta memperlakukan semua sama. Adapun UNDP sendiri memberikan definisi good
governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif diantara Negara, sektor swasta
dan masyarakat (society).
Berdasarkan definisi itu, kemudian UNDP mengajukan karakteristik good
governance, seperti: partisipasi, supermasi hukum, transparansi, cepat tanggap, membangun
konsensus, kesetaraan, efektif dan efesien, bertanggung jawab dan visi yang strategis
kesembilan karakteristik tersebut saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri.
Dalam kaitanya dengan karakteristik dari good governance tersebut, dalam peraturan
pemerintah No. 101 Tahun 2000 ttg., dirumuskan pengertian kepemerintahan yang baik
(good governance) yaitu: Kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-
prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transpransi, pelayanan prima, demokrasi, efesiensi,
efektifitas, supermasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.
Jika dilihat dari ketiga domain dalam governance, tampaknya domain Negara atau
pemerintah (state/ governance) menjadi domain yang paling memegang peranan penting
dalam mewujudkan good governance, karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi domain
sektor swasta dan masyarakat (society), serta fungsi administratif penyelenggaraan
pemerintah melekat pada domain ini.

2. Prinsip-Prinsip Kepemerintahan Yang Baik


Karakteristik kepemerintahan yang baik sebagai suatu prinsip dikemukakan dalam
Rencana Strategis LAN 2000-2004, di mana disebutkan perlunya pendekatan baru dalam
penyelenggaraan Negara dan pembangunan yang terarah pada terwujudnya kepemerintahan
yang baik (good governance) yakni: proses ahukum dan HAM, desentralistik, panisipatif,
transparan, berkeadilan, bersih dan akuntabel: selain berdayaguna ber-hasil guna dan
berorientasi pada peningkatan daya saing bangsa.
Gambir Bhatta (1996: 7)mengungkapkan bahwa unsur-unsur utama
governance (bukan prinsip), Yaitu: akuntabilitas, (accountability),
transparansi (transparency), keterbukaan (openness), dan aturan hukum (rule of
low)ditambah dengan kompetensi manajemen/management competence) dan hak-hak asasi
manusia (human right).
Selanjutnya dikemukakan adanya empat unsure utama yang dapat memberikan
gambaran suatu administrasi publik yang bercirikan kepemerintahan yang baik sebagai
berikut:
1. Akuntabilitas, mengandung arti adanya kewajiban bagi aparatur pemerintah untuk bertindak
selaku penanggung jawab dan penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijakan yang
ditetapkanya. Unsur ini merupakan inti dari kepemerintahan yang baik (good governance)
2. Transparansi, kepemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadapo rakyatnya, baik
di tingkat pusat maupun di daerah. Rakyat secara pribadi dapat mengetahui secara jelas dan
tanpa ada yang ditutup-tutupi dalam proses perumusan kebijakan publik dan tindakan
pelaksanaanya (implementasinya). Dengan kata lain, segala tindakan dan kebijaksanaan
pemerintah baik di pusat maupun di daerah, harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan
diketahui umum.
3. Keterbukaan, prinsip ini menghendaki terbukanya kesempatan bagi rakyat untuk
mengajukan tanggapan dan kretik terhadap pemerintah yang dinilainya tidak transparan.
Kepemerintahan yang baik, yang bersifat transparan dan terbuka akan memberikan
informasi/data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melkaukan penilaian atas
jalannya pemerintahan. Dalam praktek, dewasa ini masih terlihat kenyataan misalnya dalam
prosedur tender kompetetif suatu proyek pembangunan hingga penetapan keputusan
pemenangnya, masih sering bersifat tertutup. Rakyat atau bahkan para pelaku tender dengan
pemerintah sering tidak memperoleh kejelasan informasi tentang hasil atau kreteria penetapan
pemenang tender proyek yang bersangkutan.
4. Aturan Hukum (Rule of Low), prinsip ini mengandung arti bahwa kepemerintahan yang baik
mempunyai karakteristik berupa jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat
terhadap setiap kebijakan yang ditempuh. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan peraturan
perundang0undangan harus selalu dirumuskan, ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan
prosedur baku yang sudah melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta memiliki
kesempatan untuk mengevaluasinya. Masyarakat membutuhkan dan harus dapat diyakinkan
tentang tersedianya suatu proses pemecahan masalah perbedaan pendapat (conflict
resolution), dan terdap prosedur umum untuk membatalkan sesuatu peraturan atau peraturan
perundangan tertentu. Hal ini penting untuk dikemukakan, mengigat bahwa kenyataanya
sektor swasta dewasa ini terlibat dalamperekonomian nasional maupun internasional dan
banyak terdapat kebutuhan untuk memiliki kejelasan tentang kerangka hukum yang mampu
melindungi hak-hak kepemilikan seseorang (property rights) dan yang mampu menghormati
nilai-nilai perjanjian dalam suatu kontrak bisnis.
UNDP (1997) mengemukakan bahwa karakteristik atau prinsip-prinsip yamg harus
dianut dan dikembangkan dalam praktek penyelenggaraan kepemerintahan yang baik, adalah
meliputi:
a. Partisipasi (Participation), setiap orang atau setiap warga masyarakat, baik laki-laki
maupun perempuan harus memiliki hak suara yang sama dalam proses pengambilan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan
kepentingan dan aspirasinya masing-masing. Partisipasi yang luas ini perlu dibangun dalam
suatu tatanan kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan untuk berpartisiapsi
secara konstruktif.
b. Aturan Hukum (Rule of Low): kerangka aturan hukum dan perundang-undangan haruslah
berkeadilan, ditegakkan, dan dipatuhi secara utuh (impartially), terutama aturan hukum
tentang Hak-hak asasi manusia.
c. Transparansi (Transparency): Transparansi harus dibangun dalam kerangka kebebasan
aliran informasi. Berbagai proses, kelembagaan, dan informasi harus dapat diakses secara
bebas oleh mereka yang membutuhkannya, dari informasinya harus dapat disediakan secara
memadai dan mudah dimengerti, sehingga dapat digunakan sebagai alat monitoring dan
evaluaisi.
d. Daya tanggap (Responsiveness): setiap institusi dan prosesnya harus diarahkan pada upaya
untuk melayani berbagai pihak yang berkepentingan (Stakeholders);
e. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation): pemerintahan yang baik (good
governance) akan bertindak sebagai penengah (mediator) bagi berbagai kepentingan yang
berbeda untuk mencapai konsensus atau kesepakatan yang terbaik bagi kepentingan masing-
masing pihak, dan jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan terhadap berbagai kebijakan
dan prosedur yang akan ditetapkan pemerintah;
f. Berkeadilan (Equity): pemerintahan yang baik akan memberikan kesempatan yang sama
baik terhadap laki-laki maupun perempuan dalam upaya mereka untuk meningkatkan dan
memelihara kualitas hidupnya;
g. Efektivitas dan Efesiensi (Effectiveness and Efficiency): setiap proses kegiatan dan
kelembagaan diarahkan untuk menghasilkan sesuatu yang benar-benar sesuai dengan
kebutuhan melalui pemanfaatan yang sebaik-baiknya berbagai sumber-sumber yang tersedia;
h. Akuntabilitas (Accountabilty): para pengambil keputusan (decision makers) dalam
organisasi sector public (pemerintah), swasta, Dan masyarakat madani memiliki
pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada publik (masyarakat umum), sebagaimana halnya
kepada para pemilik (stakeholders). Pertanggungjawaban tersebut berbeda-beda, tergantung
apakah jenis keputusan organisasi itu bersifat internal atau bersifat eksternal;
i. Bervisi Strategis (Strategic Vision): para pemimpin dan masyarakat memiliki persepktif
yang luas dan jangka panjang tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good
governance) dan pembangunan manusia(human development). Bersamaan dengan
dirasakannya kebutuhan untuk pembangunan tersebut. Mereka juga memahami aspek-aspek
histori, cultural, dan kompleksitas yang mendasari perspektif mereka;
j. Saling Keterkaitan (Interrelated): bahwa keseluruhan cirri good governance tersebut diatas
adalah saling memperkuat dan saling terkait (mutually reinforcing) dan tidak bisa berdiri
sendiri. Misalnya, informasi semakin mudah diakses berbakti transparansi semakin baik,
tingkat partisipasi akan semakin luas, dan proses pengambilan keputusan akan semakin
efektif. Partisipasi yang semakin luas akan berkontribusi kepada dua hal, yaitu terhadap
pertukaran informasi informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan, dan untuk
memperkuat keabsahan atau legitimasi atau berbagai keputusan yang ditetapkan. Tingkat
legitimasi keputusan yang kuat pada gilirannya akan mendorong efektivitas pelaksanaanya,
dan sekaligus mendorong peningkatan partisipasi dalam pelaksanaanya, dan kelembagaan
yang responsive haruslah transparan dan berfungsi sesuai dengan aturan hukum ydan
perundang-undangan yang berlaku agar keberfungsiaannya itu dapat dinilai berkeadilan.
Dalam tulisan yang bertajuk Format Bernegara Menuju Masyarakat Madani
Mustopadidjaja (1999: 10-11) mengungkapakan bahwa untuk mengaktualisasikan potensi
masyarakat dan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi
bangsa, perlu dijamin berkembangnya kreativitas dan oto aktivitas masyarakat bangsa yang
terarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat serta ketahanan dan daya saing
perekonomian bangsa.
Meskipun tidak secara tegas menyatakannya sebagai prinsip-prinsip kepemerintahan
yang baik, namunMustopadidjaja (1999: 11-14) merekomendasikan agar format bernegara
Masyarakat Madani sebagai system penyelenggaran Negara baik di pusat maupun di
daerah-daerah, perlu memperhatikan antara lain prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Prinsip Demokrasi dan Pemberdayaan
Penyelenggaraan Negara yang demokratis adalah adanya pengakuan dan penghormatan
Negara atas hak dan kewajiban warga Negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan
dan mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggungjawabnya dala
penyelenggaraan Negara dan pembangunan bangsa. Dalam hubungan itu para penyelenggara
Negara dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tidak harus selalu melakukan
sendiri (Rowing), tetapi sebaiknya berfungsi mengarahkan (Steering), atau memilih
kombinasi yang optimal diantara keduanya. Dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat,
peranan pemerintah dapat ditingkatkan antara lain melalui; (a) pengurangan hambatan dan
kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat; (b) perluasan akses
pelayanan untuk menjunjung berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat; dan (c)
pengembangan program untuk lebih meningkatakn kemampuan dan memberikan kesempatan
kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya
produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna meningkatkan
kesejahtraan masyarakat.
2. Prinsip Pelayanan. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani
masyarakat (a spirit of public service), dan menjadi mitra masyarakat (partener of
society), atau melakukan kerjasama dengan masyarakat (co-production). Agar hal ini bisa
terwujud diperlukan perubahan perilaku melalui pembudayaan kode etik (code of
conduct) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjemahkan
kedalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku
aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah. Dalam hubungan itu para
aparatur perlu menghayati benar makana administrasi public sebagai wahana
penyelenggaraan pemerintah Negara yang esensinya adalah melayani publik.
3. Prinsip Transparansi dan Akuntabilitas. Aparatur dan sistem manejemen pemerintahan
harus mengembangkan keterbukaan dan system akuntabilitas, harus bersikap terbuka untuk
mendorong para pemimpin dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam
mengamalkan dan melambangkan kode etik. Serta dapat menjadikan diri mereka sebagai
panutan masyarakat dalam rangka pelaksanaan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan
Negara. Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha melalui peningkatan partisipasi
dan kemitraan dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan: (a) Mengembangkan
keterbukaan birokrasi pemerintah; (b) Deregulasi dan debirokratisasi peraturan dan prosedur
yang menghambat kreativitas dan oto aktivitas masyarakat; serta (c) Membuka akses proses
penyusunan peraturan, kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Sehingga
program-program pembangunan akan sesuai dengan prioritas dan kebutuhan masyarakat,
dilakukan secara riil dan adil sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
4. Prinsip Partisipasi. Dalam hubungan ini, masyarakat harus mendapatkan kesempatan yang
luas dalam berperan serta menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa publik (publik goods
and services) melalui proses kemitraan dan kebersamaan prinsip ini sejalan dengan salah satu
prinsip Reinventing Government (Osborne dan Gaebler. 1992)yaitu empowering rather
than serving. Dengan pola desentralisasi fungsi-fungsipelayanan publik kepada masyarakat,
diharapkan peningkatan efesiensi dan efektivitas pelaksanaan pembangunan akan dapat
tercapai, sehingga tingkat kepercayaan masyarakat peningkatan peran serta mereka dalam
berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan Negara, pembangunan, dan pelayanan public.
Semua itu merupakan bagian dari proses peningkatan kapasitas masyarakat bangsa (capacity
building) baik secara individu maupun kelembangaan.
5. Prinsip Kemitraan. Dalam lingkungan masyarakat modern, bahkan post modern dewasa ini,
peranan dunia usaha sangat startegis bagi kemajuan pembangunan nasional untuk
mewujudkan peningkatan kesejahtraan masyarakat yang semakin baik. Oleh karena itu, perlu
diciptakan iklim yang kondusif untuk terwujudnya kemitraan dunia usaha dengan
pemerintah, serta keserasian dan kesimbangan kemitraan antara dunia usaha skala besar,
menengah dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai
kegiatan ekonomi dan pembangunan lkainnya; termasuk upaya pengintergrasian usaha kecil
ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong pertumbuhannya.
6. Prinsip Desentralisasi. Pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah,
karena itu berbagai kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah sebagian
besarnya perlu diserahkan kepada daerah. Berbarengan dengan itu pula dunia usaha,
khususnya perusahan besar yang berkantor pusat di Jakarta sebaikanya mendesentralisasikan
usahanya ke daerah-daerah, karena dengan desentralisasi yang dilakukan pemerintah banyak
keputusan dan kebijakan ekonomi mikro dan perjanjian usaha yang telah dapat diselesaikan
di daerah-daerah. Perbedaan perkembangan antara daerah membawa implikasi yang berbeda
pada macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia
usaha memerlukan: (a) desentralisasi dalam pemberian perijinan, dan efesiensi pelayanan
birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang sosial ekonomi; (b) penyusuaian
kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan
tertinggal, dan sistem pertimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan
kontribusi dan potensi pembangunan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan
mendaptkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan wilayah lainnya
kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.
7. Konsistensi Kebijakan dan Kepastian Hukum. Peningkatan pembangunan dan efesiensi
nasional membutuhkan penyusuain kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun
tidak berarti harus mengabaikan kepastian hukum. Tegaknya hukum yang berkeadilan
merupakan jasa pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak
diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Adanya kepastian
hukum merupakan indikator prefesionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan.,
sebab bersifat vital dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta dalam
pengembangan hubungan internasional. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan
kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan, sebab berbagai kebijakan
publik tersebut pada akhirnya harus dituangkan dalam system perundang-undangan untuk
memiliki kekuatan hukum, dan harus mengandung kepastian hukum.
Dengan terpenuhinya prinsip-prinsip tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan
Negara dan pembangunan nasional Indonesia dalam dekade-dekade awal abad ke-21 ini,
diharapkan upaya penataan kehidupan sosial, ekonomi dan politik akan terwujud secara
mantap sejalan perkembangan peradapan masyarakat madani(Civil Society). Masyarakat
madani manurut Mustopadidjaja (1999: 7) adalah suatu tatanan masyarakat yang memiliki
nilai-nilai sdasar ketuhanan, kemerdekaan, hak asasi dan martabat manusia, kebangsaan,
demokrasi, kemajemukan, keadilan, supermasi hukum, keterbukaan, partisipai, kemitraan
rasional, etis, perbedaan pendapat, dan pertanggungjawaban (akuntabilitas) yang seluruhnya
harus melekat pada setiap individu dan institusi yang memiliki komitmen untuk
mewujudkannya.
Nilai-nilai masyarakat madani tersebut harus mampu diwujudkan sebagai upaya
reformasi nasional penyelenggaraan Negara dan pembangunan., dalam rangka
menyeimbangkan posisi dan peran pemerintah dan masyarakat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam rangka itu, menurut Mustopadidjaja(1999:
8-9): sosok pemerintahan diharapkan tampil dengan susunan organisasi yang sederhana
tetapi professional dan efektif, demokratis dan konsisten dalam menerapkan prinsip dan
sendi-sendi kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan Negara, menghormati opesisi dan
perbedaan pendapat, mengektifkan pengawasan dan system pertanggungjawaban, serta
menjunjung tinggi HAM dan hak-hak warga Negara seluruh lapisan masyarakat sdalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
B. Prinsip Pelayanan Prima
Bentuk-bentuk pelayanan oleh pemerintah kepada masyarakat berjumlah ribuan dan
secara teknis berbeda satu sama lainnya. Dari sekian ribu ini yang sudah dapat dinilai sebagai
pelayanan prima masih belum banyak. Sebuah pelayanan dinilai sebagai pelayanan prima jika
desain dan prosedurnya memetuhi beberapa prinsip, yaitu mengutamakan pelanggan,
merupakan system yang efektif, melayani dengan hati nurani, melakukan perbaikan yang
berkelanjutan, dan memberdayakan pelanggan.
1. Mengutamakan Pelanggan
Pelanggan pada dasarnya adalah pemilik dari pelayanan kita. Tanpa pelayanan tidak akan
pernah ada pelayanan. Mereka memiliki kekuatan untuk menghentikan atau terus
menghidupkan pelayanan kita. Mengutamakan pelanggan secara praktis diartikan sebagai
berikut:
a. Prosedur pelayan harusdisusun demi kemudahan dan kenyamanan pelanggan,
bukan untuk memperlancar pekerjaan kita sendiri. Mengapa orang harus melawati beberapa
loket untuk mendapatkan SIM? Mengapa harus ada loket yang terpisah-pisah untuk
pendaftaran pasien, kasir, laboratorium, apotek, dan kamar periksa dokter? Hal-hal semacam
ini terjadi mungkin karena kita memang masih belum cakap dalam menggalang koordinasi
dan integrasi dengan teman-teman sekerja, dan pelanggan yang ternyata harus menanggung
akibatnya.
b. Jika pelayanan kita memiliki pelanggan eksternal dan pelanggan internal, maka harus ada
prosedur yang berbeda, dan terpisah untuk keduanya. Pelayanan bagi pelanggan eksternal
harus lebih diutamakan dari pada untuk pelanggan internal.
c. Jika pelayanan kita juga memiliki pelanggan tak langsung, selain pelanggan langsung,
maka harus dipersiapkan jenis-jenis layanan yang sesuai untuk keduanya. Pelayanan
bagi pelanggan tak langsung perlulebih diutamakan dari pada untuk pelanggan langsung.
Latihan:
Bagaimana dengan pelayanan oleh unit anda sendiri?
Sudah mengutamakan pelanggan?
2. Sistem Yang Efektif
Sebuah proses pelayanan perlu dilihat sebagai sebuah sistem yang nyata (hard
system), yaitu tatanan yang memadukan hasil-hasil kerja dari berbagai unit dalam organisasi
kita. Perpaduan ini harus terlihat sebagai proses pelayanan yang berlangsung
dengan tertib dan lancar di mata para pelanggan. Jika perpaduan ini sungguh baik,
pelanggan bahkan tidak pernah mersakan bahwa mereka sebenarnya telah berhadapan dengan
beberapa unit yang berbeda. Dari segi desain pengembangannya, setiapa pelayanan
selayaknya memiliki prosedur yang memungkinkan perpaduan hasil kerja ini dapat mencapai
batas maksimun.

Pelayanan juga harus dilihat sebuah sistem yang halus (soft system) yaitu sebuah tatanan
yang mempertemukan manusia satu dengan yang lain. Pertemuan semacam ini tentu
melibatkan sentuhan-sentuhan emosi, perasaan, harapan, harga diri, penilaian, sikap, dan
perilaku. Agar kita berhasil merebut hati pelanggan, maka proses pelayanan sebagai soft
system ini harus berjalan efektif, artinya mengungkit munculnya kebanggan pada diri
petugas dan membentuk citra positif dimata pelanggan.

Sebagai soft system, desain pelayanan memiliki kekuatan sistemik


untuk membentuk pola perilaku baik pada petugas pelayanan, maupun pada pelanggan.
Jika ternyata muncul perilaku-perilaku yang kurang menguntungkan selama berlangsung
proses pelayanan, baik itu pihak petugas perbaikan desain sistemnya terlebih dahulu. Jangan
terburu-buru menyalahkan manusia, kemungkinan besar yang salah adalah justru tatanannya.
Orang cendrung menunjjukan pola perilaku yang sama jika berada pada satu tatanan yang
sama.

3. Melayani Dengan Hati Nurani

Sebaik apapun desain dan prosedur sebuah pelayanan, akhrinya tetap para petugas pelayanan
yang harus berhadapan maka secara langsungdengan para pelanggan. Saat-saat terjadinya
transaksi antar manusia seperti ini sangat berharga. Penilaian pelanggan terhadap mutu
sebuah layanan sebagian besar terjadi ketika mereka bertemu muka langsung dengan petugas
pelayan. Meskipun sarana dan prasarana pelayanan sering dijadikan tolak ukuran mutu oleh
para pelanggan, namun ukuran utama penilaian tetap sikap dan perilaku pelayanan yang
ditampilkan oleh para petugas. Sikap dan perilaku yang baik sering dapat menutupi
kekurangan dalam hal sarana dan prasarana. Dalam transakasi tatap muka dengan pelanggan,
yang utama adalah keaslian sikap dan perilaku sesuai dengan hati nurani kita. Perilaku yang
dibuat-buat, atau berlebihan sangat mudah dikenali oleh palanggan dan justru dapat
memperburuk penilaian mereka. Keaslian perilaku hanya bisa muncul pada pribadi yang
sudah matang, pribadi yang sudah menghayati bahwa kebahagiaan hidup hanya dapat
diperoleh melalui pengabdian dan pelayanan. Sebagaisoft system jika dirancang dengan
baik proses pelayanan dapat menjadi wahana belajar yang sangat efektif untuk mempercepat
kematangan pribadi.

Latihan:
Bagaiamana dengan pelayanan oleh unit anda sendiri? Dapat memacu kemtangan pribadi
para petigas pelaksana?
4. Perbaikan Berkelanjutan
Pelanggan pada dasarnya juga belajar mengenali kebutuhan dirinya dari proses pelayanan
kita. Semakin baik mutu pelayanan akan menghasilkan pelanggan yang semakin sulit untuk
dipuaskan, karena tuntutannya juga semakin tinggi dan kebutuhannya semakin meluas serta
beragam. Kita lihat dunia perbankan. Dahulu kita cukup dilayani oleh karyawati sebagai
teller. Kemudian bank memperkenalkan ATM. Segera tuntutan kita meningkat, mengapa
hanya bisa untuk menarik uang kontan? Mengapa tidak dapat digunakan untuk setor?
Bukankah lebih praktis lagi jika dapat digunakan sebagai kartu debet langsung ketika belanja,
dari pada harus menarik uang kontan dahulu? Bukankah akan lebih bermanfaat jika dapat
juga digunakan untuk membayar tagihan listrik?
Fenomena aksi-reaksi antara mutu layanan dan tuntutan pelanggan semcam ini akan terus
bergulir, semakin lama semakin cepat. Fenomena ini telah memacu kita untuk mampu terus
menerus meningkatkan mutu pelayanan. Jika ada pejabat Negara yang sudah tidak mau lagi
memperbaharuhi desain pelayanannya bererti sudah tidak mengenal lagi pertumbuhan
masyarakat yang dilayaninya.
Latihan:
Kapan terakhir kali pelayanan pada organisasi anda diperbaharuhi disainnya?

5. Memperdayakan Pelanggan
Memperdayakan pelanggan berarti menawarkan jenis-jenis layanan yang dapat digunakan
sebagai sumber daya atau perangkat tambahan oleh pelanggan untuk menyelesaikan
persoalan hidupnya sehari-hari. Sebagai contoh, kredit usaha tani menolong petani untuk
dapat terus dapat memperoleh penghidupan dari kegiatan bertani, pembangunan jalan untuk
membuka isolasi daerah terpencil, dll.
Disisi lain, cukup banyak layanan pemerintah yang sulit untuk dipahami apakah memang
untuk memperdayakan masyarakat hanya untuk member pekerjaan kepada para karyawan,
atau untuk hal-hal lain yang justru mengorbankan kepentingan orang banyak. Sebagai contoh
Kartu Keluarga, Hansip, SDSB, Ijin Mendirikan Bangunan, monopoli perniagaan, dll.

Latihan:
Apakah pelayanan oleh organisasi anda dapat sungguh-sungguh memperdayakan
pelanggan?

C. Konsep Pelayanan Prima


Sebagai salah satu bidang kajian dalam administrasi publik pelayanan prima tidak
tumbuh dengan sendirian, tetapi mengalami pengayaan silang dari berbagai kajian lainnya.
Berikut ini disajikan berbagai konsep yang telah mewarnai perkembangan dan ikut serta
membentuk sosok pelayanan prima seperti yang kita lihat saat ini.
1. Falsafah Pelayanan
Pengembangan tehnik-tehnik pengenalan terhadap pelanggan berangkat dari kenyataan
bahwa sering kali para pelanggan sendiri mengalami kesulitan untuk menyatakan kebutuhan-
kebutuhannya. Ketika ditawari dengan sebuah pelayanan baru, biasanya mereka mulai
dengan mencoba-coba dahulu, jika kemudian terbukti adanya nilai tambah bagi harkat
hidupnya sebagai manusia mereka bilang itulah pelayanan yang selama ini mereka harapkan,
dan terciptalah suatu kebutuhan. Oleh karena itu, pengembangan sistem pelayanan perlu
dimulai dengan inisiatif, kreativitas dan tanggung jawab untuk menciptakan dinamika
kehidupan yang lebih baik lagi bagi para pelanggan. Pelayanan prima harus mencerminkan
falsafah prokreasi ini.
2. Gerakan Regom
Sejak tahun 1980, terjadi pergerakan besar-besaran untuk mentee ulang kiprah lembaga-
lembaga pemerintahan dibanyak Negara. Gerakan ini dikenal dengan Reinventing The
Government (Regom). Gerakan yang dipelopori oleh kelompok Negara Persemakmuran ini
telah terbukti sangat efektif untuk meningkatkan kinerja lembaga pemerintah. Pemerintah RI
juga tidak mau ketinggalan. Gerakan ini sudah ditawarkan secara luas, dan disambut baik
oleh beberapa pemerintah daerah provinsi dan kota/kabupaten.
Pada intinya. Gerakan Regdom mengajak lembaga pemerintahan untuk tumbuh dan
berkembang dengan menunjukan cirri-ciri:
a. Katalistik: mengarahkan untuk menumbuhkan pelayanan masyarakat yang mandiri.
Pemerintah tidak perlu melakukan sendiri semua jenis palayanan bagi masyarakat.
b. Menjadi milik masyarakat: menjadi pelayanannya sebagai perangkat dinamika perangkat
dinamika masyrakat dalam mewujudkan kesejahtraan umum. Pemerintah tidak boleh hanya
sekedar melayani kebutuhan masyarakat.
c. Kompetetif: menyajikan pelayanan dengan mutu yang terbaik, dan biaya terjangkau oleh
masyarakat secara luas.
d. Mengemban misi: aparatur pemerintah tidak boleh hanya sekedar menyelesaikan tugas
pekerjaan. Mereka harus menyadari bahwa kekaryaannya mengemban misi suci untuk
memberdayakan masyarakat.
e. Mengutamakan hasil akhir: investasi pemerintah harus selektif, hanya khusus bagi
kegiatan yang sungguh memiliki daya ungkit tinggi terhadap kemajuan masyarakat.
f. Mengutamakan pelanggan: berusaha keras untuk memunuhi kebutuhan masyarakat secara
luas.
g. Mendapat keuntungan: berusaha untuk mampu mendapatkan laba dari kegiatan
pelayannya. Pemerintah bukan hanya bisa membelanjakan dana dari masyarakat.
h. Melihat kedepan: berusaha untuk mencegah timbulnya masalah-masalah sosial, bukan lagi
hanya melakukan upaya pemulihan setelah terjadi masalah dalam masyarakat.
i. Desentralisasi: menghapus hirarki dalam pelayanan, dan menggalang partisipasi masyarakat
dalam semua kegiatan pelayanan umum.
j. Menciptakan pasar: menumbuhkan wirausaha dan wiraswasta dikalangan masyarakat luas.
Pelayanan publik yang sudah mampu menerapakan Regom (meskipun baru satu atau dua ciri
saja) terbukti mendapat sambutan yang sangat baik oleh masyarakat yang dilayaninya.
Sebagai contoh: penghapusan monopoli dalam perniagaan berbagai komiditi, peningkatan
kebebasan berpendapat, penerbitan ijin siaran bagi beberapa stasiun TV baru, otonomi
daerah, desentralisasi, dll.
Gerakan Regom telah memberikan warna yang sangat kuat dalam arah perkembangan
pelayanan prima. Paling tidak, gerakan ini memicu lahirnya berbagai jenis layanan baru,
seperti peraturan perundangan yang semakin memberdayakan masyarakat dalam mengurus
persoalannya sendiri. Jenis-jenis layanan lainnya juga banyak yang mengalami penataan
ulang secara teknis, atau mengalami pembaharuan filosofi, sebagai contoh: tata niaga kayu,
tata cara pengolahan sumber pendapatan Negara, dll.
3. Akuntabilitas Publik
Sejak dimulainya Gerakan Reformasi Nasional pada tahun 1998, pemerintah
mengalami banyak tekanan untuk segera berbenah diri, khususnya dibidang ekonomi, publik,
dan administrasi pemerintah. Sosok pengelolaan pemerintah yang kita lihat saat ini adalah
suatu fase transisi, menuju bentuknya yang lebih akuntabel.
Pemerintah dinilai akuntabel apabila sanggup memberikan pelyanan publik yang
bersifat terbuka, dan berlangsung jawab. Pelayanan publik yang bersifat terbuka paling tidak
harus dapat menujukkan cirri-ciri:
a. Penyelenggarannya tidak dimonopoli oleh pemerintah sendiri, melainkan mengundang peran
serta masyarakat melalui penyertaan modal, privatisasi, kontak kerja, dan lain-lain cara
semacamnya.
b. Pemanfaatan oleh masyarakat ditawarkan melalui mekanisme pasar.
c. Keputusan politik yang melandasi lahirnya setiap bentuk pelyanan diambil berdasarkan hasil
konsesnsusbersama masyarakat.
d. Membuka pintu pengawasan oleh masyarakat khusunya mengenai penggunana sumber
daya dan tingkat kinerjanya.
Sebuah pelayanan publik dinilai bertanggung jawab apabila dilandasi dengan tata nilai yang
jelas-jelas membela kepentingan masyarakat luas. Untuk keperluan penilaian ini proses
pengembangan setiap bentuk pelayanan harus diawali dengan perumusan visi dan misi yang
tepat. Sebuah pelayanan tidak akan pernah menjadi pelayanan prima jika tidak akuntabel,
yaitu terbuka dan bertanggung jawab.
4. Gerakan Mutu
Gerakan perbaikan mutu manajemen (terkenal dengan pendekatan Total Quality
Manajemen TQM)merupakan terobosan besar dalam perkembangan ilmu manajemen
diakhir abad 20. Gerakan ini telah terbukti efektif diseluruh dunia dalam meningkatkan mutu
pelayanan. Teknik-teknik TQM banyak digunakan dalam operasionalisasi pelayanan
prima. TQM telah berhasil mengenalkan kepada kita budaya mutu, yaitu perbaikan terus
menerus terhadap mutu manusia, proses, barang, dan lingkungan organisasi.
Khusus untuk manajemen pelayanan, tesedia varian dari TQM yang disebut
dengan Total Quality Sevice (TQS).varian ini mengenalkan kita kepada budaya pelayanan,
yang bertitik tolak pada norma-norma:
a. fokus kepada pelanggan: mengenal pelanggan, mengetahuai kebutuhannya,
mengembangkan proses pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
b. Melibatkan semua orang: mutu pelayanan adalah tanggung jawab semua warga
organisasai. Pemimpin harus mendorong dan mendukung perbaikan oleh siapa saja.warga
organisasai perlu diberi kemerdekaan untuk memeperbaiki mutu pelayanan, kapan saja.
c. Memenuhi standar : menyusun standar pelayanan, mengukur penyimpangan, dn
memeprbaiki kekuarangan.
d. Perbaikan berkesinambungan: mempercepat siklus pekerjaan, menerima umpan balik, dan
mengantisipasi perkembangan kebutuhan pelanggan.
Metodologi TQS (dan TQM yang bersifat lebih generik). Sangat popular diseluruh
dunia karena terbukti berhasil menggat mutu pelayanan. Satu hal yang paling dihargai dari
metodelogi ini adalah kemampuannya untuk mengungkit pengembangan sumber daya
manusia.bentuk- bentuk pelayanan prima yang tergolong kelas dunia sebagian besar
dikembangnkan dengan metodologi TQM.
5. Karakteristik Pelayanan Prima
Keputusan MENPAN No. 63 tahun 2003 memuat pedoman dasar bagi tata laksan
pelayanan publik oleh lembaga pemerintah kepada masyarakat. Semua pelayanan public
dapat dipengaruhi aspek-aspek sebagai berikut:
Kesederhanaan: pelayanan publik harus mudah, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami,
dan mudah dilaksanakan.
Kejelasan: dalam hal presedur pelayanan, persyaratan pelayanan, persyaratan pelayanan, unit
dan pejabat yang bertanggung jawab, hak dan kewajiban petugas maupun pelanggan, dan
pejabat yang menangani kelurahan.
Kepastian waktu: yaitu bahwa pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang
telah ditentukan.
Akurasi: bahwa produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah.
Keamanan: bahwa proses dan produk pelayanan public memberikan rasa aman dan kepastian
hukum.
Tanggung jawab: bahwa pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk
dapat dan harus bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan publik.
Kelengkapan sarana dan prasaran: yaitu ketersediaan sarana dan prasarana kerja, peralatan
kerja dan pendukung lainnya yang memadai, termasuk pula penyediaan sarana teknologi
telekomunikasi dan iformatika.
Kedisiplinan: kesopanan dan keramahan dimana pemberi pelayanan harus bersikap disiplin,
sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan ikhlas.
Kenyamanan: lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang
nyaman, rapi, bersih, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas
pendukung pelayanan lainnya seperti toilet, tempat parker, tempat ibadah, dan lain-lain.
Pelayanan yang kita kembangkan secara berkala harus diaudit agar kandungan
sepuluh unsur ini dapat terukur. Hasil audit kemudian disampaikan secara terbuka kepada
masyarakat sebagai salah satu buktu akuntabilitas dari pelayanan kita.
6. Wawasan Kesisteman
Pada tahun 1990 dunia manajemen mendapat suntikan darah baru berupa munculnya
perangkat piker yang dikenal dengan Wawasan Keistimewaan (system Thinking). Perangkat
ini sangat bermanfaat untuk memecahkan persoalan-persoalan manajemen yang sangat rumit.
Persoalan yang seolah-olah tampak seperti lingkaran setan tanpa ujung pangkal, persoalan-
persoalan yang saling terkait, namun memiliki hubungan sebab-akibat yang terpisah jauh oleh
ruang dan waktu.
Wawasan kesisteman telah memacu munculnya pemikiran tentang bentuk organisasi yang
sekiranya cocok untuk menghadapi tantangan masa depan, yaitu organisasi yang cakap
belajar (learning organization).Organisasi semacam ini diyakini mampu terus tumbuh dan
berkembang ditengah-tengah suasana yang cepat berubah, dan penuh ketidakpastian.
Dibidang pelayanan publik, wawasan kesisteman ini sangat bermanfaat, khususnya
untuk memahami dampak pelayanan terhadap kesejahtraan rakyat. Banyak layanan publik
jika dilihat sekilas tampak tidak langsung berhubungan dengan kesejahtraan rakyat. Namun
ternyata jika dikaji dengan kawasan kesisteman akan terlihat konstribusinya yang sangat
besar. Sebaliknya, lebih banyak lagi pelayanan publik yang sudah menghabiskan investasi
besar-besaran, tetapi sebenarnya kurang dapat mengungkit kemakmuran umum jika disimak
dengan wawasan kesisteman.
Manfaat lain adalah memudahkan kita untuk menemukan pemecahan masalah
pelayanan dengan pendekatan yang tidak konvensional, melainkan dengan lebih inovatif,
kreatif dan lebih mendasar.

Anda mungkin juga menyukai