Anda di halaman 1dari 12

Lesi pada medula spinalis dapat didahului oleh terlibatnya radiks saraf dan

kompresi pada medula spinalis terjadi akibat perluasan dari lesi tersebut.
Manifestasi klinis terjadi akibat perluasan dari lesi tersebut. Manifestasi klinis dari
kompresi medula spinalis dapat terbagi menjadi :
1. Nyeri (midline spinal, radikuler atau tipe sentral)
2. Motorik (paraparese/paraplegi)
3. Sensoris (nyeri dan suhu, arah gerak dan posisi)
4. Otonom (Buang air kecil, buang air besar dan fungsi seksual)

Gejala neurologis yang terjadi berbeda-beda tergantung pada derajat lesi apakah
terjadi ekstradural, ekstramedular atau intramedular yang menunjukkan lokalisasi
melintang. Kompresi pada medula spinalis dapat dibedakan menjadi berdasarkan
proses patologis yang terjadi, yaitu :
1. Lesi Sentral
Lesi sentral yang biasa terjadi pada tumor intrameduler akan memberikan
gejala :
a) Kerusakan segmental
Lesi sentral pertama kali akan mempengaruhi jaras sensorik nyeri dan suhu
yang menyilang di garis tengah sesuai dengan segmen yang terkena, dengan
meluasnya lesi maka se kornu anterior akan terpengaruh juga sehingga
muncul gejala motorik pada segmen tersebut yang bersifat lower motor
neuron
b) Efek long tract
Traktus yang terkena seiring dengan meluasnya lesi adalah traktus
spinotalamikus dan kortikospinalis. Pasien akan merasa gejala sensorik
dibawah tingkat lesi dan juga kelemahan motorik bersifat upper motor
neuron di bawah segmen yang terlibat.
2. Lesi Kompresi Lateral
a. Kerusakan radiks/ segmental
b. Gejala long tract sign, lesi komplit yang berlangsung lambat biasanya
dengan distribusi asimetris
c. Gejala sensoris lesi komplit melibatkan seluruh modalitas dan terjadi pada
seluruh segmen di bawah lesi
Berdasarkan Lokasi lesi medula spinalis mempunyai gambaran klinis sebagai
berikut :

Tanda dan gejala Lesi ekstramedular Lesi Intramedular


Nyeri Spontan Mempunyai tipe dan Mempunyai tipe terbakar
distribusi radikuler dan dan tidak mempunyai
merupakan gejala dini lokasi yang jelas
yang penting
Sensibilitas Tipe Brown-sequard Terdapat disosiasi
sensibilitass dan patchy
distribution
Gangguan eksteroseptif Lebih jelas pada level Kurang jelas daripada
pada daerah sakral lesi. Gangguan seakan level lesi. Gangguan
bertambah ke arah seakan bertambah ke
kranial kranial dan kaudal
Lower motor neuron Segmental Jelas dan tersebar,
disertai atrofi dan
fasikulasi
Upper motor neuron Jelas dan timbul dini Tidak jelas dan timbul
pada fase lanjut
Refleks regang otot Sejak dini meningkat dan Tidak terlalu meninggi
sangat jelas dan timbul pada fase
lanjut
Gangguan traktus Pada saat dini Pada saat lanjut
piramidalis

A. Manifestasi Kompresi Mielum


1. Gangguan Motorik
Lesi pada mielum tanpa gangguan radiks menyebabkan gangguan pada
traktus kortikospinalis dan berakibat timbulnya paralisis tipe upper motor
neuron (mielopati) dengan gambaran berupa spastisitas (hipertonus), hiper
refleks dan respon plantar pada ekstremitas. Pada fase akut seringkali
ditemukan ekstremitas yang flassid (hipotonus) dan hilangnya refleks
fisiologis (syok spinal). Lesi pada mileum setinggi segmen servikal dapat
menyebabkan quadriparesis sedangkan lesi setinggi segmen thorakal
menyebabkan terjadinya paraparesis.
Gangguan motorik ini merupakan keluhan utama yang dirasakan
penderita. Tungkai terasa berat dan kaku menyebabkan kesulitan dalam
berjalan. Adanya spastic gait merupakan salah satu tanda penting dalam
mengetahui adanya gangguan pada mielum. Spastisitas pada lengan
biasanya bermanifestasi berupa kecerobohan tangan dan ketidakmampuan
melakukan gerakan halus dan repetitive.
Refleks tendon mempunyai nilai yang penting untuk mengetahui
tingginya lesipada mielum. Lesi di atas C5 akan menyebabkan peningkatan
semua refleks. Lesi dibawah C7 akan menyebabkan hiperrefleks hanya
pada tungkai saja. Lesi pada C6 akan menyebabkan hiporefleks pada
refleks brachioradialis. Hiporefleks pada biceps, triceps dan patela dapat
terjadi pada lesi mielum setinggi C5, C6 dan L4.
Adanya refleks Hoffman-Tromner yang positif menunjukkan ada
hiper refleks patologis pada ekstremitas atas, sedangkan pada
ekstremitas bawah berupa respon plantar (refleks Babinski, Chaddock,
Oppenheim, Gordon dan Schaefer).
2. Gangguan Sensorik
Gangguan sensorik seringkali merupakan keluhan awal pada kasus-
kasus kompresi neural. Adapun beberapa gambaran klinisnya seperti
parestesia, hipaesthesia, hiperasthesia, hiperalgesia.
a. Traktus Sphinothalamicus Lateral
Terdapat dua tempat lesi yang dapat mengganggu traktus ini
pada kompresi mielum. Serat-serat yang menyilang dapat terganggu
oleh lesi seperti syrinx atau tumor yang berlokasi di kanalis sentralis
(intrameduler) dengan bermanifestasi klinis hilangnya sensasi nyeri
dan suhu bilateral segmen dermatom. Regio servikalis merupakan
tempat yang tersering. Gangguan sensibilitas ini selektif sesuai
dermatom dengan sensibilitas di atas dan di bawahnya masih
normal. Gambaran sensibilitas ini menyerupai gambaran jaket.
Dermatom tertinggi yang mengalami gangguan merupakan segmen
mielum terbawah yang mengalami gangguan. Bila lesinya meluas
hingga segmen servikal atas dan batang otak bawah,nukleus
trigeminus juga dapat mengalami gangguan (distribusi cape witha
hood ). Disosiasi sensibilitas merupakan ciri khas dari lesi
intrameduler, dimana adanya gangguan eksteroseptif dibawah lesi,
sedangkan sensasi
propioseptif umumnya tidak terganggu.
Pada susunan serat servikal terletak paling medial, maka
gangguan sensibilitas lesi ekstrameduler akan berjalan naik ke atas.
Dermatom sakral mengalami gangguan paling awal. Pada stadium
awal sacral sparing sudah menunjukkan gangguan.
Pada lesi ekstrameduler, traktus ini mengalami gangguan
sebelum serat-seratnya mengalami penyilangan. Gambaran
klinisnya adalah hilangnya sensibilitas kontralateral. Segmen sakral
akan terganggu terlebih dahulu pada lesi ekstrameduler ini dan
gangguan sensibilitasnya akan berjalan naik ke atas.
b. Kolumna Posterior
Traktus ini rentan terhadap lesi yang mengkompresi mielum dari sisi
dorsal. Kompresi dari lateral akan menyebabkan gangguan
ipsilateral terlebih dahulu. Gangguan pada serat ekstremitas bawah
akan menyebabkan sensory gait ataxia dikarenakan hilangnya
sensibilitas posisi. Kaki akan diangkat tinggi-tinggi dan diturunkan
secara perlahan
seperti berat (steppage gait). Pasien akan merasa limbung bila mata
tertutup (Romberg signs). Ataxia ini akan timbul pula dalam kamar
gelap atau bila pasien mencuci mukanya (sink sign). Bila segmen
lengan terlibat maka pasien seperti kikuk dalam melakukan tugas
seperti mengancing baju, mengikat tali sepatu. Akan sulit juga bagi
pasien untuk mengidentifikasi obyek berdasarkan perabaan
(astereognosia) dan timbul pula graphaesthesia.
3. Gangguan Sfignter dan Fungsi Seksual
Gangguan kontrol sfingter (kandung kemih dan saluran cerna) dan
fungsi seksual sering menyertai kompresi mielum. Gejala ini sebagai
akibat gangguan pada jalur refleks otonom spinalis dan atau
hubungannya dengan pusat yang lebih tinggi yang terletak di batang
otak, lobus frontalis dan hipotalamus.
a. Miksi
Fungsi miksi merupakan campuran kontrol otot volunter.
Pengosongan kandung kemih terutama diatur oleh sistem
parasimpatis dimana stimulasinya akan menyebabkan kontraksi otot
detrusor dan relaksasi sfingter internal. Impuls ini berasal dari
segmen sakral S2,3,4 (sacral bladder centre) bedasarkan impuls
afferen yang menunjukkan kandung kemih penuh. Sensasi akan
penuhnya kandung kemih dibawa ke pusat yang lebih tinggi yang
terletak di pons, vermis serebelar, ganglia basalis dan lobus frontalis
medialis.
Sistem lain yang ikut mengatur proses miksi adalah sistem
simpatis yang berasal dari mielum segmen Th12, L1 dan L2 dengan
impuls eferen berjalan melalui pleksus hipogastrik. Stimulasi sistem
ini menyebabakan kontraksi sfingter internal dan relaksasi detrusor.
Otot volunter yang mengatur sfingter eksterna berasal dari segmen
S2,3 dan 4. Impuls ini berjalan melalui nervus pudendus dan
menyebabkan kontraksi sfingter. Mekanisme inilah yang mengatur
miksi selam batuk dan memungkinkan menahan miksi sementara
meskipun otot detrusor berkontraksi.
Gangguan miksi pada umumnya dapat berupa urgensi,
inkontinensia, retensi akut dan frekuensi. Gejala yang ada tidak
dapat digunakan secara pasti untuk melokalisir lokasi lesi. Kompresi
mielum di atas S2, 3 dan 4 akan menghilangkan fungsi inhibisi
normal dari pusat yang lebih tinggi dan menyebabkan urgensi dan
inkontinensia akibat kontraksi refleks kandung kemih. Hal ini
disebut neurogenik bladder reflex. Kompresi pada konus kauda dan
kauda equina (tumor ekstradural dan ektrameduler) akan
mempengaruhi jalur refleks di dalam mielum akan menyebabkan
retensi akut dan inkontinensia overflow (neurogenik bladder
autonomik). Kateterisasi dini dianjurkan pada fase akut untuk
menghindari terjadinya infeksi dan perubahan kapasitas kandung
kemih.
b. Defekasi
Mekanisme defekasi menyerupai sistem miksi dan dimediasi oleh
persarafan parasimpatis yang berasal dari S2,3 dan 4. Keluhan
terbanyak berupa konstipasi dibandingkan inkontinensia. Hilangnya
refleks anal dapat menyebabkan inkontinensia fekal terutama fekal
yang cair.
c. Ereksi dan Ejakulasi
Ereksi dan ejakulasi dimediasi oleh jalur otonom, parasimpatis yang
berasal dari segmen S2,3 dan 4 mengatur ereksi dan simpatis dari
segmen L1,2 mengatur ejakulasi bersama dengan ereksi. Gangguan
ini hanya terjadi pada pria, namun lesi yang mengenai radiks S2
akan menghilangkan sensasi di daerah genital sehingga
menghilangkan rasa orgasme. Lesi mielum di atas L1 dapat
menyebabkan impotensi dan lesi yang melibatkan S2,3 dan 4 akan
menyebabkan hilangnya kemampuan ereksi dan ejakulasi. Lesi pada
cauda equina memiliki efek yang sama namun dapat timbul ejakulasi
spontan. Perlu diingat pula bahwa gangguan psikologis dan
endokrin juga berperan dalam menyebabkan impotensi.
B. Manifestasi Kompresi Radiks
Kompresi pada radiks akan memberikan manifestasi klinis berupa
rasa nyeri dengan distribusi saraf sesuai dengan dermatomnya. Pola ini
sangata bermanfaat dalam melokalisir segmwn medula spinalis yang
mengalami lesi. Rasa nyeri ini akan diperberat dengan batuk, bersin atau
pada saat pergerakan segmen medulaspinalis yang terkena. Nyeri radikuler
ekstremitas atas (brachialgia) berasal dari radiks C5,6,7 atau thorakal 1.
Nyeri radiks thorakal akan menjalar di badan di daerah yang dipersarafi oleh
saraf intercostal yang bersangkutan. Nyeri radiks thorakal bilateral
digambarkan oleh pasien seperti rasa terikat oleh ikat pinggang. Nyeri yang
unilateral dapat dikelirukan dengan bila berada di daerah viskus abdomen
(seperti kandung empedu). Nyeri radikuler ektremitas bawah biasanya
sesuai dengan distribusi nervus skiatika atau nervus femoralis (paha
anterior). Penyebab tersering nyeri radikuler adalah kompresi radiks yang
disebabkan oleh penyakit diskus vertebrae,namun juga perlu dipikirkan
adanya tumor ekstrameduler maupun tumor intradural. Pada kasus dengan
destruksi pedikel dapat ditemukan adanya rasa nyeri di daerah thorakalyang
terus menerus sebagai kompresi radiks.
Keterlibatan radiks juga akan memberikan gejala dan tanda sensori
di daerah yang dipersarafi. Gejala yang tersering adala hipestesia. Namun
seringkali gejalanya bersifat samar akibat multi-inervasi pada daerah
dermatom yang sama. Gejala motorik akan memberikan gambaran LMN
berupa wasting, fasikulasi, kelemahan motorik, refleks tendon menurun atau
menghilang.
C. Sindrom Klinis Gangguan Medulla Spinalis
1. Sidnrm Brown-Sequard
Sindrom ini timbul bila didapatkan adanya lesi hanya pada satu sisi
medulla spinalis saja. Etiologi gangguan dapat bermacam macam
mulai dari trauma satu sisi, tumor yang hanya menekan satu sisi.
Berdasarkan anatomi fungsional medulla spinalis maka akan terjadi
gangguan pada traktus kortikospinalis, spinothalamikus dan kolumna
posterior hanya pada satu sisi saja. Namun perlu diingat adalah traktus
kortikospinalis dan kolumna posterior menyilang di medulla sedangkan
traktus spinothalamikus menyilang di medulla spinalis 2 tingkat di
tempat keluarnya persarafan. Perbedaan antara sensibilitas propioseptif
dan eksteroseptif ini dikenal sebagai disosiasi sensibilitas. Adapun
presentasi klinisnya sebagai berikut :
Kelemahan ipsilateral LMN setinggi lesi
Kelemahan ipsilateral UMN di bawah lesi
Gangguan sensibilitas getar, posisi ipsilateral setinggi lesi ke
bawah
Gangguan sensibilitas nyeri dan suhu kontralateral 2 tingkat di
bawah lesi.
2. Sindrom Conus Medullaris
Medulla spinalis berakhir setinggi vertebra lumbal 1 sehingga bila
terjadi gangguan pada segmen vertebra ini akan timbul gangguan pada
medulla spinalis sacral 3, 4 dan 5. Sindrom conus medullaris murni
biasanya disebabkan oleh lesi intrameduller dengan gambaran klinis
sebagai berikut :
Anestesi distribusi saddle
Retensi urin akut, inkontinensia overflow
Inkontinensia alvi
Impotensi
Hilangnya reflex anal
Hilangnya reflex tumit ( APR )
Kelemahan otot yang dipersarafi radiks L5 dan S1
3. Sindrom Cauda Equina
Sindrom cauda equine terjadi bila didapatkan lesi di bawah diskus L1/2
dan menyebabkan hanya radiks saraf. Radiks saraf L1, L2 dan L3 keluar
dari kanalis di atas lesi sedangkan radiks saraf L4 dan L5 memiliki
perjalanan yang lebih panjang di dalam kanalis sehingga dapat
mengalami kompresi sepanjang kanalis. Gambaran klinisnya adalah
sebagai berikutt :
Nyeri radikuler sepanjang radiks L4 dan 5 bisa unilateral
maupun bilateral.
Kelemahan otot yang dipersarafi radiks L4, L5, S1 dan S2
Gangguan vegetative terjadi pada fase lanjut
Hilangnya reflex patella dan tumit ( KPR, APR )
Anestesi distribusi saddle
Hilangnya reflex anal

Etiologi Pada Lesi Medula Spinalis


Lesi pada medula spinalis dapat disebabkan diantara:
Inflamasi, infeksi : myelitis (mielopati), Spondilitis Tuberculousa
Neoplasma : ekstradural, intradural
Vaskuler : sindrom arteri spinalis anterior, sindrom arteri spinalis posterior
Trauma : fraktur, dekstruksi, luksasio
Penyakit degeneratif : prolaps diskus intervertebral, kanalis stenosis
Lesi kongenital : skoliosis, kanalis stenosis
Berikut ini akan dibahas lesi medula spinalis yang tersering ditemukan
berdasarkan lokasi, etiologi beserta karakteristik dan pemeriksaan penunjangyang
diperlukan penegakan diagnosa.
A. Lesi Intramedular
1. Inflamasi, Infeksi
Mielitis adalah inflamasi pada medula spinalis dan mengacu pada
penyait yang disebabkan oleh infeksi langsung dan proses inflamasi
serta melalui paska infeksi atau mekanisme penyebab
lainnya.Etiologi mielitis diantaranya infeksi (virus, bateri atau
jamur), paska infeksi, autoimun. Mielitis dapat mengenai seluruh
penampang medula spinalis, sehingga selruh traktus asendens dan
desendens terganggu (mielitis tranversa) atau hanya sebagian saja
yang terkena (myelitis inkomplit) Pada referat ini yang akan dibahas
adalah mielitis viral.Menurut perjalanan klinis antara awitan hingga
munculnya gejala klinis, mielitis
dibedakan atas :
Akut
Gejala klinis berkembang dengan cepat dan mencapai
puncaknya dalam tempo beberapa hari saja
Sub Akut
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6
minggu
Kronis
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih
dari 6 minggu
Berdasarkan etiologinya, myelitis dapat dibedakan:
1. Mielitis Viral
a. Enterovirus (grup A dan coxsackie virus, poliomielitis,dan
lainnya)
b. Herpes zoster
c. Mielitis AIDS
d. Epstein Barr virus (EBV), cytomegalovirus (CMV), herpes
simplex
e. Rabies
f. Arbovirus-flaviviruses (Japanese, West Nile, dan lainnya)
g. HTLV-1 (tropical spastic paraparesis
2. Meilitis sekunder (bakteri, fungal, parasite dan penyakit
granulomatosis primer pada menings dab medulla spinalis)
a. Mycoplasma pneumonia
b. Lyme disease
c. Mielitis piogenik
d. Mielitis Tuberkulosis
e. Infeksi parasit dan fungal menghasilkan granuloma epidural,
meningitis terlokalisir atau meningomielitis dan abses,
terutama pada bentuk tertentu dar Schistomatosis
f. Mielitis sifilis
3. Mielitis (mielopati) tipe inflamasi non infeksi
a. Mielitis paska infeksi dan pasca vaksinasi
b. Acute and chronic relapsing or progressive multiple
sclerosis (MS)
c. Subacute necrotizing myelitis and Devic disease
d. Mielopati dengan Lupus atau bentuk lainnya dari jaringan
ikat dan antibodi anti phospholipid
e. Mielopati paraneoplastik dan poliomyelitis
Mielitis Virus

Terjadinya infeksi virus pada medula spinalis merupakan


bagian dari meluasnya suatu infeksi pada sistem saraf pusat dan/atau
sistem saraf perifer. Pada infeksi virus medula spinalis biasanya
terjadi akut dan subakut. Mielitis viral biasanya didahului adanya
infeksi saluran nafas akut (seperti flu) dan riwayat infeksi
gastrointestinal.
Penyebaran infeksi pada medula spinalis dapat melalui dua
cara yaitu hematogen dan neuronal, yaitu :
Hematogen
Virus pertama kali harus masuk atau melekat terlebih
dahulu pada endotelial sel penjamu yang menyebabkan
infeksi. Pada tahap awal penyebaran hematogen ke sistem
saraf pusat terdiri atas replikasi dan viremia primer.
Kemudian terjadi infeksi pada jaringan sekunder yang
kemungkinan menimbulkan replikasi sekunder dan
penyebaran viremia meluas ke SSP. Virus masuk ke dalam
pembuluh darah SSP yang sebelumnya menyebrang ke sawar
darah di medula spinalis membentuk jaringan yang kuat pada
endothelial junction yang berlapis sel glial yang mengatur
jalur molekular ke SSP.
Virus yang menginfeksi sel endotel sehinggga terjadi
kebocoran dan kerusakan di endothelium yang secara pasif
masuk melalui saluran di endotelium atau jembatan
endotelium sehingga leukosit bermigrasi. Sel-sel virus yang
bebas dapat menyeberangi endotelium dan masuk ke
parenkim atau CSF. Jembatan endothelium ini terjadi dalam
pembuluh pleksus choroideus, pembuluh darah meningeal
dan pembuluh darah serebral.
Penyebaran Trnsneuronal
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti
penyebaran virus melalui transneuronal. Penyebaran virus ke
sistem saraf pusat melalui infeksi seluler yang berurutan,
pergerakan dalam ruang ekstraseluler, transport neuronal
axoplasmik dan perpindahan melalui limfosit atau sel glial.
Virus dapat masuk ke dalam serabut saraf melalui lebih dari
satu mekanisme. Beberapa virus masuk ke dalam sistem saraf
pusat menyebar melalui sel-sel yang berdekatan. Sebagai
contoh : virus herpes menyebar ke sistem saraf melalui
transport axoplasmik pada neuron, virus HIV masuk dan
bergerak pada sistem sarafpusat melalui limfosit dan
makrofag.
Gambaran klinis ditentukan oleh tingkatan besarnya
lokasi dan luasnya proses yang mengenai kraniokaudal dan
medula spinalis secara tranversa. Gambaran klinis merupakan
petunjuk penting untuk mengetahui lokasi anatomi dari lesi
medula spinalis. Gambaran karakteristik mielitis berupa
kelemahan motorik, gangguan sensoris, gangguan otonom
(vegetatif dan disfungsi seksual).
Virus Herpes Simpleks
Virus herpes simpleks yang dapat menyebabkan
mielitis adalah HSV-1 dan HSV-2. HSV-2 paling sering
ditemukan pada orang dewasa dan HSV-1 ditemukan pada
anak-anak. Lebih dari 2/3 pasien menunjukkan keterlibatan
medula spinalis dengan pola asending. Lokasi lesi lebih
banyak pada daerah medula spinalis thorakal bagian atas dan
servikal, namun dapat juga melibatkan daerah medula spinalis
bawah termasuk konus medularis dan kauda equina. Pasien
mielitis dengan HSV-2 seringkali mempunyai riwayat herpes
genital. Acute necrotizing myelopathy adalah bentuk mielitis
HSV yang berat, yang sering terjadi pada pasien dengan infesi
HIV, keganasan dan diabetes.
Gambaran klinis mielitis herpes adalah adanya
parese atau paralisis, terutama pada daerah tungkai daripada
lengan, refleks tendon menurun atau menghilang atau hiper-
refleks, refleks patologis positif, sensasi nyeri, suhu dan raba
menurun dan pada keadaan yang lebih berat cenderung
mengenai daerah dermatom sakral. Anal refleks menurun dan
inkontinensia urin overflow.
Pemeriksaan penunjang pada mielitis herpes,
pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan pleositosis
limfosit dan konsentrasi gula normal. Pada pasien dengan
acute necrotizing myelopathy, pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan pleositosis dengan jumlah sel 10-
200 sel/mm3 dengan predominan PMN dibandingkan
limfosit. Pemeriksaan MRI, T2 menunjukkan gambaran
hiperintens yang khas berupa gambaran fusiform pada
intrameduler atau spindle shaped area. Pada T1 menunjukkan
hipointens. Dan didapatkan pembesaran atau pembengkakkan
medulla spinalis pada daerah lesi. Dengan kontras
menunjukkan penyangatan pada daerah lesi, sekitar meningen
dan radiks saraf.
Terapi pada mielitis herpes, untuk pemberian obat
antivirus belum ada uji kontrolnya. Namun berdasarkan
laporan yang ada, pemberian kortikosteroid saja tidak terbukti
perbaikan klinis. Terapi kortikosteroid harus dikombinasikan
dengan terapi antiviral. Obat antiviral yang digunakan adalah
acyclovir intravena selama 14 hari dengan dosis 10 mg/kg
BB, diberika 3x sehari sampai dengan gejala selesai.
Kortikosteroid yang dipakai methylprednisolone intravena
dengan dosis 500-1000 mg per hari selama 3- 5 hari,
dilanjutkan dengan prednison oral dengan dosis 10mg/hari
dengan dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.
Varicella zoster Virus
Mielitis merupakan komplikasi yang tidak biasa terjadi
pada infeksi virus varicella-zoster, biasanyanya ditemukan
pada individu dengan keadaan imunocompromized. Mielitis
dapat juga terjadi sebagai komplikasi primer pada infeksi
varcella atau cacar air. Pada pasien dengan
imunocompromized yang umumnya disertai dengan penyakit
infeksi HIV, Hodgkin/non Hodgkin limfoma dan terapi
imunosupresan. Sebelum terjadi mielitis, biasanya diawali
dengan adanya infeksi di kulit. Patogenesa masih diduga yang
berperan imunologis.
Onset subakut diawali dengan kelemahan tungkai
asimetris kemudian secara progresif menjadi bilateral. Defisit
sensorik yang umumnya terlibat adalah nyeri dan suhu
dibandingkan posisi dan getar. Dapat terjadi sindroma
Brown-sequard, gangguan spinchter, refleks fisiologis yang
meningkat dan refleks patologis (+). Pada pemeriksaan
lumbal pungsi didapatkan adanya pleositosis limfositik dan
peningkatan protein dan gula normal. Pemeriksaan MRI
didapatkan pada T2 hipertintens dan adanya pembengkakkan
medula spinalis difus, pada T1 menunjukkan iso/hipointense
dan pada T1 dengan kontras didapatkan penyangatan.
Terapi antiviral menunjukkan data yang ada hanya
pada penderita dengan kelainan kulit, pada yang sudah terjadi
komplikasi neurologik belum datanya, namun bisa diberikan
Acyclovir (10 mg/kg setiap 8 jam selama 21-35 hari.
Mielitis paska infeksi atau prainfeksi (autoimun)
Pada paska infeksi atau parainfeksi seringkali
didapatkan melitis transversa (TVM), mielitis transversa ini
terjadi oleh berbagai sebab, diantaranya paska infeksi atau
para infeksi (infeksi virus, biasanya rubeola, varicella) dan
paska vaksinasi (vaksinasi anti rabies,
varicella,pertusis,polio, tetanus).
Diduga prose yang mendasari mielitis paska infeksi
adalah proses isoalergi, sedangkan pada paska vaksinasi
adalah proses alergi. TVM merupakan diagnosa anatomi yang
mengacu pada kelainan inflamasi fokal pada medulla spinalis
yang mempengaruhi motorik, sensorik dan otonom.
Gambaran patologi, makroskopik : medula spinalis yang
mengalami peradangan akan tampak edema, hiperemi dan
pada kasus yang berat dapat terjadi perlunakan. Mikroskopik
: terdapat kongesti dan infiltrasi sel radang pada
leptomeningens. Kongesti pada medula spinalis atau
thrombosis pembuluh darah dengan infiltrasi pervaskuler sel
radang dan edema. Dapat ditemukan degenerasi traktus
asendens dan desendens pada jaras-jaras panjang. Pada
mielitis paska infeksi terjadi reaksi autoimun, biasanya yang
mengalami keruskan adalah substansia alba , terdapat
demielinisasi. mengalami keruskan adalah substansia alba ,
terdapat demielinisasi.
Gejala klinis : Onset bisa terjadi beberapa jam sampai
dengan beberapa minggu, kelemahan motorik yang maksimal
pada tungkai (paraplegi),gangguan sensoris berupa parestesi,
baal, nyeri radikuler/nyeri mengikat, gangguan otonom (
konstipasi, inkontinens urin dan alvi). Pemeriksaan LCS
menunjukkan gambaran pleositosis. Pemeriksaan MRI.Pada
T2 gambaran hiperintens pada daerah sentral medula spinalis
dan edema. Berdasarkan evidence base, tidak ada terapi
definitif yang efektif dalam menangani TVM ini, namun pada
beberapa kasus diberikan injeksi methylprednisolone ( dosis
1 g/1,73 m2 per hari selama 3-5 hari) dilanjutkan dengan
prednisone oral selama 2-3 minggu).
Hal ini dapat memperpendek durasi penyakit dan
perbaikan pada hasil akhir. Namun ada juga terapi dengan
methylprednisolone intravena (dosis 500 mg selama 5 hari)
tidak ditemukan perubahan pada hasil akhirnya. Prediktor
prognosis adalah Barthel indeks, jika skoring Barthel indeks
12 menunjukkanprognosis baik. Prognosis buruk, jika pada
pemeriksaan EMG

2. Neoplasma
a. Astrositoma Benigna
Astrositoma intraspinal insidensinya lebih jarang
dibandingkan serebral, dengan insidensi sekitar 8% dari semua
tumor spinalis primer dan sekitar 30% dari seluruh tumor
intrameduller. Pada anak anak, astrositoma lebih sering ditemukan
dengan insidensi sekitar 60% dari seluruh tumor intrameduller.
Tumor ini lebih sering didapatkan pada
daerah servikal dan thorakal. Astrositoma servikal dapat merupakan
perluasan dari astrositoma batang otak.
Astrositoma biasanya berkembang sangat lambat dan
terbanyak berupa tipe benigna. Pembentukan kista sering ditemukan
( hampir sekitar 50% ) dan dapat terletak di akhir komponen padat
tumor atau sepanjang medulla spinalis ( holocord tumor ). Lesi
semacam itu lebih banyak ditemukan pada anak anak dan dewasa
muda. Kista tersebut mengandung cairan xantochrom berprotein,
memiliki dinding yang halus dan tidak mengandung sel neoplastik.
Secara makroskopik, medulla spinalis membesar tetapi seringkali
tumor tidak terlihat di permukaan. Astrositoma benigna ini berwarna
pucat , avaskuler dan dapat dibedakan dari medulla spinalis. Pada
pemeriksaan mikroskopik dapat dibedakan menjadi tipe pilositik
dan non-pilositik ( fibrillary diffuse ). Pada tipe infiltrative, tipe yang
sangat jarang, astrositoma benigna bercampur dengan sel sel saraf
tanpa batas yang jelas.
Gejala berjalan sangat lambat dari hitungan bulan sampai
tahunan dan seringkali dengan periode stabil yang lama. Secara
epidemiologi, laki laki lebih sering menderita dengan insidensi
puncak pada decade kedua atau ketiga. Skoliosis merupakan
gambaran pada anak anak dan remaja. Nyeri spinal midline atau
sentral didapatkan pada setengah dari totalpasien. Parastesia dapat
berlanjut menjadi gambaran pola disosiasi sensibilitas. Paralisis
tungkai biasanya berjalan lambat pada awalnya, mungkin hanya
mengenai satu tungkai saja dan berkembang bertahap mengenai
tungkai lainnya.

Gambar : MRI spinal pada kasus Astrositoma benigna memberikan


gambaran massa hiperintens

Seperti halnya lesi intrameduller lainnya, MRI merupakan


tekhik imajing terbaik untuk diagnostic. Media kontras
paramagnetik akan menyebabkan penyangatan komponen solid.
Adalah sangat penting untuk mengidentifikasi keberadaan dari kista
tumor dan lokasi segmental komponen solid untuk menentukan
panjang pasti dari ukuran operasi. Hal ini dapat didapatkan dengan
MRI atau USG preoperative. Mielografi hanya sedikit menunjukkan
gambaran medulla spinlais yang membesar di daerah tumor. CT
scan tidak membantu dalam mendiagnosis lesi intrameduller.

Anda mungkin juga menyukai