Anda di halaman 1dari 5

Degup Cita Para Pendiri Bangsa untuk Palestina

Purnama nan bulat begitu cantik, memendar menemani berjuta tapak yang kian lelah dan entah
hendak kemana menyusur rerimbunan lautan hutan yang begitu pekat. Temaramnya melarik,
menembus relung-relung dedaunan di pucuk pepohan yang menjulang tinggi, bergerumul dalam
lantunan takbir yang terus terhela, begitu syahdu.

Jutaan orang, kini tak lagi dapat menarik ujung selimutnya. Tapak-tapak berpeluh tanpa alas kaki
kian menyemut, berkumpul sepenggal gerilya tahun 1947 di penghujung malam. Hanya
dedaunan, gemerlap bintang, ditemani cahaya sang rembulan, dan sejumput keimanan yang
menemani perjalanan bangsa ini melawan Belanda.

Insya Allah tak kan lama, kenang seorang pemuda, Saifuddin Zuhri di dalam pelosok hutan.
Matanya menyendu, menyisakan kaca yang berkilau sepenuh bola matanya. Ditahannya air mata
agar tak meleleh ke pipinya. Dilhatnya dengan mata kepala sendiri, begitu beratnya perjuangan
rakyat yang kini terus melangkah, menyelusup hutan demi hutan.

Namun, begitu melihat wajah-wajah saudaranya di pelosok, senyum puas begitu


tersimpul. Duka dan lelah seakan menguap lembut, ke atas langit menghilang sirna bersama
cahaya rembulan. Teringat berabad silam, ketika sang Nabi tiba di Madinah, bersua dengan
orang-orang yang seakan telah lama saling mengenal akrab. Pengalaman amat berharga dari
penderitaan menempuh puluhan desa di pedalaman Banyumas, Kelud, dan Yogyakarta, bahwa di
mana-mana rakyat kita itu cuma satu: Mereka adalah warga Negara yang sangat setia kepada
Republik Indonesia.

Pada umumnya rakyat yang sangat miskin ternyata amat kaya dengan budi pekerti yang mulia,
setia melaksanakan ajaran agama (Islam), tanpa berpikir aneh-aneh untu menghindari kewajiban
yang ditetapkan agama. Beratus-ratus, bahkan beribu-ribu prajurit pengungsi dari kota, entah
mereka terima dengan tangan dan hati terbuka tanpa purba sangka. Semuanya ditampung di
rumah mereka seperti keluarga sendiri, disediakan makan minum, dijaga keselamatannya.
Padahal sebelum itu masing-masing mereka tidak saling kenal.

Inilah faktor utama kemenangan rakyat Indonesia dalam perang menghadapi Belanda. Rakyat
yang lemah lagi menderita justru menjadi faktor kemenangan perjuangan kemerdekaan,
pembuka rahmat dan pertolongan Allah. Alangakah tepat sabda nabi yang mengatakan:
Sesungguhnya Allah memberi pertolongan kepada umat (bangsa) ini lantaran bantuan yang
diberikan oleh golongan mereka yang lemah, dengan doa mereka, shalat mereka dan keikhlasan
mereka. Kenang Saifuddin Zuhri (Berangkat Dari Pesantren: 2013)

Ada tangis haru ketika melihat para junior-juniornya di pesantren mengangkat hasil senjata
rampasan perang, hingga membopong bambu-bambu yang terhunus. Sekarang ini, pesantren-
pesantren berubah menjadi markas-markas Hizbullah-Sabilillah. Santri-santri tidak mengaji
fiqih, tafsir, hadits, dan sebagainya, tetapi sibuk belajar menggunakan pistol, bedil, dan
melempar granat tangan, serta senjata modern lain, masih terkenang.
Wajah Saifuddin Zuhri, seorang aktivis NU yang juga wartawan tertunduk malu, ketika para
Ulama pun turun gunung untuk berperang, membesarkan semangat para pejuang. Dengan
secercah harapan, memelihara kemerdekaan negeri ini. Ditatapnya sosok-sosok sekaliber tokoh
Nasional pun yang keluar masuk hutan seperti Dr. Soekiman W, KH Wahid Hasyim, Prawoto
Mangkusasmito, Mr. Wongsonegoro, dan lainnya.

Tak akan lama lagi, gumannya optimis berkali-kali sambil mendengar kabar bahwa dunia
internasional mengalirkan dukungan untuk rakyat Indonesia. Berduyun-duyun dunia Islam
memasang badan, saat Negara-negara Barat apriori membela Belanda. Mesir, Syria, hingga
Palestina yang terus bersama. Tunggu sebentar..Palestina? ya Palestina? Mendengar nama
Palestina tiba-tiba air mukanya berubah.

Bulir lembut itu tak terasa berkumpul di sudut matanya, menyisakan degup yang tiba-tiba saja
begitu kencang menembus kalbu. Tak kuasa menahan tangis, air mata itu kian membelai lembut,
tumpah ruah bak sungai mengalir sepanjang pipi, terkenang berapa waktu silam ketika negeri ini
masih baru saja merdeka, suara Palestina begitu lantang membela bangsa ini. Mungkin, suara
orang-orang lemah di sana jua yang menjadi penguat bangsa Ini memperoleh rahmatnya yang
diabadikan dalam pembukaan Undang-undang Dasar, Piagam Jakarta.

Palestina? Bagaimana nasibmu kini sepenggal 1947? Aku dengar kini semenit dua, bergegas
Amerika dan lainnya mengakui sebuah negara baru bernama Israel, yang jauh berbeda dengan
kami, yang harus meninggalkan kampung merelakan ayah, ibu, adik, hingga semua kami
korbankan termasuk harta dan jiwa ini, pengakuan itu tak kunjung datang, kecuali darimu,
Palestina.

Bangsa ini telah mengajarkan, bahwa saat Republik masih seumur jagung, berjuta doa dan cita
naik ke langit, semua berdegup akan cita Palestina merdeka, walau hanya secuplik Qunut
Nazilah. Dengan penuh harap, doa-doa di pelosok hutan itu terlafal setahun penuh. Sudah
hampir setahun, Umat Islam Indonesia melakukan Qunut Nazilah dalam tap-tiap shalatnya 5 kali
sehari. Suatu doa yang lazim dilakukan dalam sebahyang bila sedang menghadapi suatu
kepentingan dan bencana. Kata Saifuddin Zuhri.

Sukar untuk dilukiskan betapa penanggungan Rakyat Indonesia dewasa itu mereka menderita
lahir batin, namun sebagai pejuang, mereka bersyukur karena Allah melimpahkan ketabahan
dalam menderita. Meskipun mereka sedang berjuang habis-habisan menghadapi musuh-musuh
dari luar dan musuh dari dalam yang sangat berat, namun mereka ikut merasakan penderitaan
saudara-saudaranya bangsa Arab yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan Palestina,
sebagian tanah airnya, dari kaum pendatang yang datang merampas tanah tumpah darahnya,
suatu bangsa yang menamakan dirinya Israel. Lirihnya, sambil mengusap pipinya yang tiba-tiba
saja basah. (Guruku Orang-orang Pesantren: 1974)

Doa, senjatanya umat Islam, untaian doa yang tulus untuk Palestina dititipkan pada Allah Taala
Qunut nazilah itu sebagai pernyataan protes dan semangat sependeritaan bangsa Indonesia
terhadap bangsa Arab sejak PBB pada tahun 1947 meresmikan berdirinya suatu Negara baru
yang menamakan dirinya Israel dengan dua bidan raksasa yaitu Amerika dan Soviet Rusia.
Rakyat Indonesia mendesak kepada Pemerintah Republik Indonesia agar meperjuangkan supaya
Dewan Keamanan PBB menunjau keputsannya tentang beridirnya Israel.

Dalam lubuk hatinya, ingin sekali memberikan lebih, tak hanya doa. Dipupuknya harapan itu
hingga kelak, ketika Saifuddin Zuhri menjadi Menteri Agama era Bung Karno, dibawanya uang
amanat bangsa, mewakili Soekarno membopong 18.000 US$ diberikan kepada Menteri Urusan
Wakaf Yordania. Tak sudi, Indonesia hingga kini, menjalin hubungan dengan Israel, sebelum
Palestina merdeka, pesan Bung Karno begitu terngiang.

Dalam segala keterbatasan, para perintis bangsa ini, masih menyediakan ruang kemanusiaan dan
perjuangan untuk Palestina, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, Saifuddin Zuhri
mengenang. Sejak bangsa Arab berjuang untuk kemerdekanan Palestina, Pengurus Besar
Nahdatul Ulama pada tanggal 12 November 1938, telah meminta seluruh partai dan organisasi
umat Islam di Indonesia kepada Pucuk Pimpinan Warmusi (wartawan muslimin Indonesia) di
Medan, agar umat Islam memberikan sokongan materiil dan moril kepada pejuang-pejuang
Palestina dalam memerdekaan tanah air mereka. Kenang Saifuddin Zuhri, yang kini anaknya
Lukman Hakim Saifuddin menjejak ayahnya menjadi Menteri Agama jua. (Guruku Orang-orang
Pesantren: 1974)

Saat ide kemerdekaan terus diperjuangkan, dari idealita hingga angkat senjata, jauh sebelum
negeri ini memperoleh kemerdekaannya, suara-suara untuk Palestina begitu terngiang. PBNU
Juga menganjurkan Qunut Nazilah untuk dibacakan tiap-tiap sembahyang 5 kali sehari
.Berhubung dengan anjuran Qunut Nazilah 27 januari 1939, KH Machfudz Shiddiq Ketua PB
NU dipanggil oleh Hoofdparket Belanda di Jakarta, kenang Saifuddin Zuhri.

Walau dipanggil dan ditekan Belanda, Pendiri NU, Hadratussyaikh Hasyim Asyari dengan
teguh dan tetap pada pendirianya. Qunut Nazilah..semata-mata karena kewajiban solidaritas
sesama umat Islam, kata pendiri NU saat membuka Muktamar NU sepenggal 1939. Solidaritas
yang dibidani NU dan MIAI (Gabungan ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, SI, dll)
mendapat dukungan dari seorang tokoh bangsa, H. Agus Salim.

Adapun oleh PBNU soal Palestina itu dipandangya satu perkara yang sangat besar kepentingan
untuk alam Islam seluruhnya dan umat Islam segenapnya, dalam pada itu, bangsa Arab di
Palestina mempertahankan hak bangsanya dan keyakinan Islam tentang Palestina, dan Bayt Al
Maqdis, (Pandji Islam:1939)

Begitu pilu, H. Agus Salim mengisahkan Palestina, terkenang puteranya yang gugur terkena
pelor. Tidak sunyi berita pertempurannya tia-tiap hari. Sudah beribu orang menjadi korban,
menjadi syahid mati terbunuh di dalam jihadnya atau kena bom udara atau tembak balasan
Inggris. Beribu-ribu pula orangnya, orang tua, perempuan dan anak-anak beratus-ratus janda dan
yatim hidup sengsara di dalam negeri yang menderitakan bencana perang bertahun-tahun. (H.
Agus Salim, Pandji Islam: 1939)

Para pemuda pun tun turut bersuara, menyerukan kemerdekaan Palestina. Para pemuda yang
kelak menjadi para pendiri Bangsa yang tergabung dalam Jong Islamieten Bond (JIB) seperti:
Natsir, Kasman Singodimedjo, Samsurizal dan lainnya bersama mentornya H. Agus Salim
konsisten akan mendukung perjuangan bangsa Palestina.

Memang, seharusnyalah umat Islam Indonesia mempersatukan pula suaranya berkenaan dengan
hal itu dan menyebuahkan daya dan upaya, jika ada yang dapat dilakukan, untuk membuktikan
persatuan hatinya dan pengakuannya akan pertalian dengan umat Islam tiap-tiap bangsa Islam di
seluruh dunia. Tegas H. Agus Salim menguatkan tekad Saifuddin Zuhri.

Suara-suara solidaritas terus mengalir, hingga pada tahun 1953-1955, dalam persiapan
Konferensi Asia Afrika (KAA), Presiden Soekarno menentang keras jika Israel jika dilibatkan
dalam konferensi yang bertemakan antikolonialisme tersebut. Pada Konferensi KAA tahun 1955,
di Gedung Merdeka, Soekarno menegaskan kembali untuk memperjuangkan Negara-negara yang
belum merdeka termasuk Palestina.

Keteguhan Soekarno berlanjut, dalam aksi-aksi solidaritas kemerdekaan Palestina seperti


mengirimkan bantuan, hingga tahun 1962, Soekarno menolak keterlibatan Israel dalam Asian
Games. ..Untuk Israel, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-
orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel tegas
Soekarno kepada wartawan.

Dulu, Bapak-bapak pendiri bangsa ini, dalam segala keterbatasannya telah mengajarkan kita arti
sebuah kemanusiaan, solidaritas, ukhuwah, kebersamaan, yang tak lekang oleh jarak dan waktu,
bahwa kemerdekaan Palestina adalah amanat bangsa Indonesia.

Di lorong-lorong hutan itu, doa-doa bertautan, hati-hati terikat dalam rabithah sesungguhnya,
suara-suara perjuangan itu mendobrak kalbu. Dalam ruang sunyi dan sulit, bangsa ini selalu
mengajarkan akan anti kolonialisme yang menggema, walau negeri ini baru seumur jagung.

Kini, berpuluh tahun sudah, suara-suara perjuangan dan degup cita para pendiri Bangsa
Indonesia akan kemerdekaan Palestina seakan terkalahkan oleh gemerlap pekerjaan tanpa jeda
yang terus berdetak. Seakan suara-suara solidaritas itu menjadi suara minor yang menguap di
tengah purnama rembulan yang semakin temaram.

Palestina, sebuah amanat para pendiri bangsa yang diwariskan, mengisi ruang hati, agar selalu
ingat saudaranya nun jauh di sana, menyisakan pertanyaan, apakah kita akan melanjutkan
perjuangan bapak-bapak pendiri bangsa ini?

Bangsa Indonesia yang sedang mengalami ancaman mengenangkan tragedi Palestina. Bahwa
jikalau Yahudi memperoleh kemenangan karena bayonet ditangannya, demikian pula halnya
dengan Belanda, maka yakinlah suatu ketika bila bayonet telah menjadi tumpul karena
datangnya keadilan dan pertolongann Allah, maka bayonet itu tak akan bisa berbicara lagi
kemenangan berganti dengan kekalahan..Insya Allah. Tutup Saifuddin Zuhri dalam doanya, tak
kuasa menahan tangis hingga suatu saat saat pertolongan Allah itu tiba, insya Allah.[]
(Tulisan ini hanya sepenggal kisah, cerita pendek yang tercecer dalam kenangan Saifuddin
Zuhri dalam Guruku Orang-orang Pesanren, Berangkat dari Pesantren, juga 100 Tahun H.
Agus Salim)

Oleh: Rizki Lesus, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Anda mungkin juga menyukai