Anda di halaman 1dari 34

GAGAL JANTUNG

(diterjemahkan dari "Heart Failure" dalam Harrison's Principles of Internal Medicine 17


ed by Husnul Mubarak,S.Ked)

DEFINISI

Gagal Jantung (heart failure/HF) merupakan suatu syndrome klinis yang terjadi
pada pasien yang mengalami abnormalitas (baik akibat keturunan atau didapat)
pada struktur atau fungsi jantung sehingga menyebabkan terjadinya
perkembangan rangkaian gejala klinis (fatigue dan sesak) dan tanda klinis
(edema dan rales) yang mengakibatkan opname, kualitas hidup buruk, dan
harapan hidup memendek.

EPIDEMIOLOGI

HF merupakan suatu permasalahan medis yang secara global semakin


berkembang, dengan lebih 20 juta orang menderita. Prevalensi keseluruhan HF
pada populasi dewasa di negara maju adalah 2%. Perkembangan prevalensi HF
mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring umur, dan mengenai 6-10%
individu berumur 65 tahun keatas. Walaupun insiden pada HF relatif lebih
rendah pada wanita dibanding pria, wanita paling tidak merupakan 50% dari
populasi pasien HF karena harapan hidup mereka yang lebih panjang. Di
Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) dan Eropa, resiko terkena HF
berkisar 1 dari 5 individu berumur 40 tahun keatas. Prevalensi HF secara
keseluruhan cenderung meningkat, dapat disebabkan karena terapi terkini dari
gangguan kardiak seperti infark myokard (IM), penyakit katup (valvular heart
disease), dan arrhitmia, yang menyebabkan pasien bertahan hidup lebih lama.
Sangat sedikit diketahui mengenai prevalensi atau resiko terkena HF pada negara
berkembang karena kurangnya penelitian berbasis populasi pada negara-negara
ini. Walaupun HF diperkirakan berkembang akibat fraksi ejeksi yang menurun
pada ventrikel kiri, penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar separuh
pasien yang terkena HF memiliki fraksi ejeksi (Ejection Fraction/EF) yang
normal (EF > 40-50%). Karena itu, pasien HF sekarang dikategorikan menjadi
dua kelompok : (1) HF dengan EF yang menurun (biasanya dianggap systolic
failure) atau (2) HF dengan EF normal (biasa disebut diastolic failure).

ETIOLOGY

Seperti ditampilkan pada tabel 1, setiap keadaan yang mengakibatkan perubahan


pada struktur atau fungsi ventrikel kiri (Left ventricular/LV) dapat menyebabkan
pasien terkena HF. Walaupun etiologi HF pada pasien dengan EF yang normal
berbeda dengan yang EF yang menurun, terdapat suatu etiologi yang dianggap
overlap untuk kedua keadaan ini. Pada negara industrialisasi, penyakit jantung
koroner (PJK) merupakan suatu penyebab dominant pada pria dan wanita dan
terjadi pada 60-75% kasus HF. Hipertensi berperan pada perkembangan HF
pada 75% pasien, termasuk pasien dengan PJK. Baik PJK dan hipertensi dapat
bekerja sama untuk meningkatkan resiko HF, begitu pula dengan diabetes
mellitus.

Tabel 1 Etiologi Gagal Jantung

Fraksi Ejeksi Menurun (<40%)


Penyakit Jantung Koroner Cardiomyopathi
noniskemik dilatasi
a
Infark Myokard Kelainan
genetic/familial
a
Iskemik Myokard Gangguan infiltratifa

Pressure overload kronik Kerusakan akibat


toxic/obat-obatan
a
Hipertensi Gangguan Metabolika

Penyakit katup obstruktifa Viral

Volume Overload kronik Penyakit Chagas


Penyakit katup regurgitasi Gangguan ritme
Shunting intrakardiak (left-to- Bradyarrhythmias
right) kronik
Shunting extrakardiak Tachyarrhythmias
kronik
Fraksi Ejeksi Normal (>4050%)
Hipertrofi Patologis Kardiomyopati restriktif
Primer (Kardiomyopati hipertrofi) Gangguan Infiltratif
(amyloidosis,
sarcoidosis)
Sekunder (hipertensi) Gangguan penyimpanan
(hemochromatosis)
Penuan Fibrosis
Gangguan
Endomyocardial
Pulmonary Heart Disease
Cor pulmonale
Gangguan vaskuler pulmoner
Keadaan High-Output
Gangguan metabolik Peningkatan kebutuhan
aliran darah berlebih
Thyrotoxicosis Systemic arteriovenous
shunting
Gangguan Nutrisi (beriberi) Chronic anemia
a
Note: Mengindikasikan keadaan yang dapat menyebabkan gagal jantung
dengan fraksi injeksi yang normal.

Pada 2030% kasus HF dengan EF yang menurun, dasar etiologi pasti belum
diketahui secara pasti. Pasien ini dikatakan memiliki kardiomyopati yang
noniskemik, dilatasi atau idiopatik jika sebabnya tidak diketahui. Infeksi virus
sebelumnya atau paparan toxin (mis. alcohol atau kemoterapi) dapat pula
menyebabkan kardiomyopati dilatasi. Terlebih lagi, sudah semakin jelas bahwa
sekelompok besar kasus kardiomyopati dilatasi merupakan akibat dari defek
genetic tertentu, paling ditandai pada sitoskeleton. Hampir semua jenis
kardiomyopati dilatasi familial diturunkan melalui suatu pola autosomal
dominant. Mutasi gen yang mencetak protein sitoskeletal (desmin, cardiac
myosin, vinculin) dan protein membran inti (lamin) telah diidentifikasi sejauh
ini. Kardiomyopati dilatasi juga terkait dengan penyakit Duchennes, Beckers,
dan distrofi muskuler tungkaiy. Keadaan yang mengakibatkan kardiak output
yang meningkat (mis. fistel arteriovenous, anemia) cenderung berperan dalam
perkembangan HF pada jantung yang normal. Tetapi, keberadaan gangguan
struktural pada jantung menyebabkan terjadinya HF.

PROGNOSIS

Walaupun banyak perkembangan terkini mengenai penatalaksanaan HF,


perkembangan HF masih memberikan prognosis yang buruk. Penelitian berbasis
komunitas mengindikasikan bahwa 30-40% pasien HF akan meninggal dalam 1
tahun setelah diagnosis ditegakkan dan 60-70% dalam waktu 5 tahun, terutama
dikarenakan memburuknya HF atau sebagai kejadian mendadak(kemungkinan
karena adanya aritmia ventrikuler). Walaupun sulit untuk memprediksi
prognosis pada seseorang, pasien dengan gejala pada istirahat [New York Heart
Associtaion (NYHA) class IV] memiliki angka mortalitas sebanyak 30-70%
pertahun, dimana pasien dengan gejala pada aktivitas moderat (NYHA class II)
memiliki angka mortalitas tahunan sebanyak 5-10%. Sehingga status fungsional
merupakan suatu predictor penting untuk outcome pasien (Lihat table 2).

PATOGENESIS

Gambar 1 memberikan suatu kerangka konseptual umum dalam pertimbangan


perkembangan dan progresi HF dengan EF yang menurun. Seperti terlihat, HF
dapat digambarkan sebagai suatu gangguan progressif yang dimulai setelah
kejadian penanda, baik kerusakan pada otot jantung, dengan rusaknya myosit
kardiak fungsional, maupun adanya gangguan terhadap kemampuan myokard
untuk menciptakan tekanan, sehingga mencegah terjadinya kontraksi normal.
Kejadian penanda ini dapat berupa onset yang mendadak, seperti pada kasus IM;
dapat pula berupa onset gradual atau perlahan, seperti pada kasus overload
tekanan hemodinamik atau volume overload; dan dapat pula herediter, seperti
pada banyak kasus kardiomyopati genetic. Tanpa mempertimbangkan sifat dari
kejadian merusak ini, gejala yang serupa dari setiap kejadian penanda adalah
bahwa gejala ini, pada beberapa cara, menghasilkan penurunan pada kapasitas
pompa pada jantung. Pada kebanyakan keadaan, pasien tidak mengalami gejala
apapun atau dengan gejala minimal setelah mengalami penurunan kapasitas
pompa jantung, atau gejala berkembang hanya setelah disfungsi ini berlangsung
dalam jangka waktu yang panjang. Sehingga, jika ditinjau dari kerangka
konseptual ini, disfungsi ventrikel kiri berperan penting, namun tidak cukup,
untuk perkembangan kumpulan gejala pada HF.
Gambar 1. Patogenesis gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang menurun. Gagal jantung
bermula setelah kejadian penanda menghasilkan penurunan awal pada kapasitas pompa jantung.
Akibat terjadinya penurunan kapasitas ini, berbagai mekanisme kompensasi terjadi, termasuk
sistem saraf adrenergic, sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan sistem sitokin. Dalam jangka
pendek, sistem ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler ke derajat homeostatik yang
normal dan menyebabkan tidak adanya gejala pada pasien (asimptomatis). Namun, seiring
dengan waktu aktivasi sistem kompensasi yang berkepanjangan dapat menyebabkan kerusakan
organ dalam ventrikel, disertai dengan remodelling pada ventrikel kiri yang memburuk, dan pada
akhirnya dekompensasi kardiak.

Walaupun alasan yang tepat mengapa pasien dengan disfungsi LV dapat tetap
asimptomatis belum dipastikan, salah satu penjelasannya kemungkinan karena
beberapa mekanisme kompensasi menjadi aktif dengan keberadaan jejas pada
jantung dan/atau disfungsi LV, dan sepertinya hal ini dapat dipertahankan dan
mengatur fungsi LV selama beberapa bulan atau tahun. Daftar mekanisme
kompensasi yang telah dijelaskan diatas termasuk (1) aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAA) dan sistem saraf adrenergic, dimana berperan
dalam menjaga kardiak output dengan meningkatkan retensi garam dan ait
(Gambar 2), dan (2) meningkatkan kontraktilitas myokard. Disertai dengan
aktivasi dari molekul yang menghambat vasodilatasi, termasuk peptida
natriuretik otak dan atrial (ANP dan BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI2), dan
nitric oxide (NO), yang menimbulkan vasokonstriksi vaskuler perifer yang
berlebihan. Latar belakang genetis, jenis kelamin, umur, dan lingkungan dapa
mempengaruhi mekanisme kompensasi tersebut, dimana dapat memodulasi
fungsi LV dalam suatu homeostatik yang fisiologis, pada keadaan demikian,
kapasitas fungsional dari pasien dapat dijaga atau hanya sedikit menurun.
Sehingga, pasien dapat menjadi tetap asimpomatis atau dengan gejala minimum
untuk jangka waktu beberapa bulan bahkan tahun. Namun, pada suatu poin
,pasien akan mendapatkan gejala yang jelas, disertai dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas. Walaupun mekanisme pasti yang berperan dalam
transisi ini tidak diketahui, seperti yang dijelaskan dibawah, transisi antara HF
asimptomatik menjadi simptomatik diikuti oleh adanya peningkatan aktivasi
sistem neurohormonal, adrenergik, dan sitokin yang mengakibatkan beebrapa
perubahan adaptif dalam myokard yang secara keseluruhan disebut LV
remodelling.

Gambar 2. Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal ginjal. Penurunan cardiac output
pada pasien HF menghasilkan pengehentian dari baroreseptor tekanan tinggi pada ventrikel
kiri (lingkaran) pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arcus aorta. Efek ini menghasilkan
pembentukan sinyal aferen terhadap sistem saraf pusat (CNS) yang menstimulasi pusat
cardioregulator pada otak yang menstimulasi pelepasan arginine vasopression (AVP) dari
hipotalamus posterior. AVP [antidiuretic hormone (ADH)] merupakan vasokonstriktor kuat yang
meningkatkan permeabilitas dari duktus koligens renal, menyebabkan reabsorbsi air. Sinyal
aferen ini juga mengaktivasi sistem simpatetik eferen yang menginervasi jantung, ginjal,
pembuluh darah perifer, dan otot skeletal.

Stimulasi simpatetik pada ginjal mengakibatkan pelepasan renin, dengan peningkatan resultan
pada kadar angotensin II dan aldosteron yang bersirkulasi, Aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron memicu retensi air dan garam dan mengakibatkan vasokonstriksi dari pembuluh
darah perifer, hipertrophy myosit, kematian sel myosit, dan fibrosis myokard. Sementara
mekanisme neurohormonal ini memfasilitasi adaptasi jangka pendek untuk menjaga tekanan
darah, dan perfusi kepada organ vital, mekanisme ini juga dipercaya menyebabkan perubahan
tahap akhir pada jantung dan sirkulasi dan retensi air dan garam berlebih pada HF berat.

Berbeda dengan pengetahuan kita mengenai patogenesis HF dengan penurunan


EF, pemahaman mengenai mekanisme yang berperan dalam perkembangan HF
dengan EF yang normal masih diteliti. Walaupun disfungsi diastolic (lihat
penjelasan dibawah) diketahui merupakan mekanisme tunggal yang berperan
dalam perkembangan HF dengan EF normal, penelitian berbasis komunitas
menyatakan bahwa mekanisme tambahan lainnya, seperti peningkatan kekakuan
vaskuler dan ventrikuler, dapat berperan penting pula.

Mekanisme dasar Gagal Jantung

LV remodeling terjadi akibat adanya kejadian kompleks yang terjadi pada level
molekuler dan seluler. Perubahan ini termasuk : (1) hipertrofi myosit; (2)
perubahan pada kemampuan kontraktilitas myosit; (3) kematian myosit
progressif melalui nekrosis, apoptosis, dan aotophagic; (4) desensitasi -
adrenergic; (5) tingkat metabolisme dan energi abnormal pada jantung; dan (6)
reorganisasi dari matriks ekstraseluler dengan kerusakan dari struktur kolagen
yang mengelilingi myosit dan digantikan dengan matriks kolagen interstitial yang
tidak memberikan dukungan structural terhadap myosit. Stimulus biologis untuk
perubahan ini termasuk regangan mekanis pada myosit, sirkulasi neurohormonal
(misal, norepinephrin, angiotensin II), sitokin inflamasi [misal. tumor necrosis
fator (TNF)], peptide dan faktor pertumbuhan lainnya (mis. endothelin) dan
jenis oksigen reaktif (mis. superoxide, NO). Walaupun molekul ini secara kolektif
dianggap neurohormon, terminology neurohormon selama ini hanya mengarah
kepada neurohormon klasik seperti norepinephrin dan angiotensin II, yang dapat
disintesis langsung di dalam myokard dan kemudian bekerja dalam mekanisme
autokrin dan parakrin.Akan tetapi, konsep paling penting adalah adanya ekspresi
yang berlebihan dari molekul yang secara biologis aktif berperan dalam
menimbulkan efek yang merusak pada jantung dan sirkulasi sehingga
menimbulkan progresi HF. Sehingga kemudian, pandangan ini membentuk
rasionalisasi klinis untuk pemakaian agen farmakologis yang melawan sistem ini
[mis. angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan beta blocker] dalam
menangani pasien HF.

Disfungsi Sistolik

Untuk memahami bagaimana perubahan yang terjadi dalam kerusakan myosit


kardiak berperan terhadap penurunan fungsi sistolik yang menurun dari LV pada
HF, penting untuk mempelajari kembali histologi dari sel otot jantung. Aktivasi
neurohormonal berkepanjangan mengakibatkan perubahan transkripsi dan
paska-transkipsi pada gen dan protein yang mengatur eksitasi-kontraksi dan
interaksi cross-bridge. Secara bersamaan, perubahan ini mengganggu
kemampuan myosit untuk berkontraksi dan kemudian berperan terhadap
penurunan fungsi sistolik LV yang menurun yang diamati pada pasien HF.

Disfungsi Diastolik
Relaksasi myokard merupakan proses yang bergantung pada ATP yang diregulasi
oleh uptake kalsium sitoplasmik didalam sarcoplasmic reticulum oleh
sarcoplasmic reticulum Ca2 adenosin triphosphatase (SERCA2A) dan
pengeluaran ion calcium oleh pompa sarcolemma Sehingga yang terjadi
kemudian adalah penurunan konsentrasi ATP, seperti yang terjadi pada iskemia,
dapat mempengaruhi proses ini dan mengakibatkan perlambatan relaksasi
myokard. Kemungkinan lainnya, jika pengisian LV tertunda karena komplians
LV menurunan (mis. akibat hypertrophy atau fibrosis), tekanan pengisian LV
akan tetap meningkat pada akhir diastole Peningkatan heart rate akan
menyebabkan pemendekan waktu pengisian diastolic, dimana akan
mengakibatkan peningkatan tekanan pengisian pada LV, terutama pada ventrikel
noncomplians. Peningkatan tekanan pengisian pada akhir diastolic LV
mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler pulmoner, dimana berperan
terhadap terjadinya dyspnea yang dialami oleh pasien dengan disfungsi diastolic.
Lebih penting lagi, disfungsi diastolic dapat terjadi sendiri atau berkombinasi
dengan disfungsi sistolik pada pasien HF.

Remodeling Ventrikel Kiri (LV Remodelling)

Remodeling ventrikuler berarti adanya perubahan pada massa ventrikel kiri,


volume, bentuk, dan komposisi dari jantung yang terjadi setelah jejas kardiak
dan/atau hemodinamika abnormal. LV remodeling dapat berperan secara
independent terhadap progresi HF dengan memberikan beban mekanis yang
jelas yang membuat perubahan pada geometri dari ventrikel kiri. Sebagai contoh,
perubahan bentuk LV dari bentuk ellipsoid menjadi bentuk yang lebih spheris
selama LV remodeling mengakibatkan tekanan dinding meridian pada LV
meningkat, sehingga menimbulkan beban mekanis baru pada jantung yang
sudah lemah. Sebagai tambahan terhadap peningkatan volume end-diastolic
ventrikel kiri, penipisan dinding ventrikel kiri juga terjadi seiring dilatasi
ventrikel. Penipisan dinding bersamaan dengan peningkatan afterload yang
ditimbulkan oleh dilatasi ventrikel kiri menyebabkan afterload mismatch
(ketidakserasian afterload) fungsional yang berkontribusi lebih lanjut terhadap
penurunan stroke volume. Ditambah lagi dengan tingginya tekanan dinding pada
akhir diastolic yang secara logis dapat mengakibatkan (1) hipoperfusi pada
subendokardium, sehingga fungsi ventrikel kiri semakin memburuk; (2)
peningkatan stress oksidatif, yang kemudian mengaktivasi gen yang sensitive
terhadap pembentukan radikal bebas (mis. TNF dan interleukin 1); dan (3)
ekspresi berkelanjutan dari gen yang diaktivasi oleh regangan (angiotensin II,
endothelin, dan TNF) dan/atau aktivasi regangan dari jalur sinyal hypertrophy.
Masalah terpenting kedua yang terjadi akibat peningkatan spherisitas dari
ventrikel adalah otot papillary tertarik mengakibatkan inkompetensi pada katup
mitral dan menyebabkan regurgitasi mitral fungsional. Ditambah dengan
berkurangnya aliran darah, regurgitasi mitral akan memperburuk keadaan
dengan menyebabkan overloading pada hemodinamika ventrikel. Secara
bersamaan, beban mekanis yang bertambah pada LV remodelling diperkirakan
mengakibatkan penurunan kardiak output, peningkatan dilatasi LV (regangan),
dan peningkatan overloading hemodinamika, yang kesemuanya cukup untuk
menyebabkan progresi gagal jantung.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala

Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah
lelah dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF,
sepertinya abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya
(mis. anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini. Pada tahap HF yang dini,
sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu deffort);namun
semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas
ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Banyak faktor yang
menyebabkan sesak napas pada HF. Mekanisme paling penting adalah kongesti
pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar,
yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi pernapasan
cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit jantung. Faktor
lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat
adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas,
kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas dapat
menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan
regurgitasi tricuspid.

Orthopnea

Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi
berbaring, biasanya merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan
dyspneu deffort. Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi
splanchnik dan ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring,
disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk nocturnal (batuk
yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada proses
ini dan seringkali menyamarkan gejala HF yang lain. Orthopneu umumnya
meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1 bantal.
Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada HF,
ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan
pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan
membutuhkan posisi tegak.

Paroxysmal Nocturnal Dyspenea (PND)

Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk
yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur,
biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-
batuk atau wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri
bronchial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema
pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara.
Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan
pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun
mereka mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma sepertinya berhubungan
dekat dengan PND, ditandai dengan adanya wheezing akibat bronchospasme,
dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner lainnya
yang menimbulkan wheezing. tom of HF, it may occur in patients with abdominal
obesity or ascites and in patients with pulmonary disease whose lung mechanics
favor an upright posture.

Pernapasan Cheyne-Stokes

Juga disebut sebagai pernapasan periodic atau pernapasan siklik, pernapasan


Cheyne-Stokes umum terjadi pada HF berat dan biasanya berkaitan dengan
rendahnya kardiak ouput. Pernapasan Cheyne-Stokes disebabkan oleh
berkurangnya sensitivitas pada pusat respirasi terhadap tekanan P CO2. Terdapat
fase apneu, dimana terjadi pada saat penurunan PO2 arterial dan PCO2 arterial
meningkat. Hal ini merubah komposisi gas darah arterial dan memicu depresi
pusat pernapasan, mengakibatkan hiperventilasi dan hipokapnia, diikuti
rekurensi fase apnea. Pernapasan Cheyne-Stokes dapat dipersepsi oleh keluarga
pasien sebagai sesak napas parah (berat) atau napas berhenti sementara.

Edema Pulmoner Akut

Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat,
tachynepa, tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat
kompresi saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi
biasanya terjadi akibat pelepasan cathecolamine endogenous.

Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada
edema paru akut. Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel
sistolik dan diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi
dan Q wave yang berubah yang biasanya diagnostic untuk infark myokard dan
sebaiknya dilakukan protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi
arteri koroner. Kadar brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna,
mendukung gagal jantung sebagai etiologu sesak napas akut dengan edema
pulmoner .

Gejala Lainnya

Pasien dengan HF dapat pula datang dengan keluhan gastrointestinal. Anorexia,


nausea, dan perasaan penuh yang berkaitan dengan nyeri abdominal merupakan
gejala yang sering dikeluhkan dan dapat berkaitan dengan edema pada dinding
usus dan/atau kongesti hepar dan regangan kapsulnya yang dapat
mengakibatkan nyeri pada kuadran kanan atas. Gejala serebral, seperti
disorientasi, gangguan tidur dan mood, dapat pula diamati pada pasien dengan
HF berat, terutama pasien lanjut usia dengan arteriosclerosis serebral dan
perfusi serebral yang menurun. Nocturia umum terjadi pada HF dan dapat
berperan dalam insomnia.

PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan fisis yang teliti selalu penting dalam mengevaluasi pasien dengan
HF. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan penyebab daei
HF, begitu pula untuk menilai keparahan dari sindrom yang menyertai.
Memperoleh informasi tambahan mengenai keadaan hemodinamika dan respon
terhadap terapi serta menentukan prognosis merupakan tujuan tambahan
lainnya pada pemeriksaan fisis.

Keadaan Umum dan Tanda Vital

Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami
gangguan pada waktu istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring
pada permukaan yang datar dalam beberapa menit. Pada HF yang lebih berat,
pasien harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan
kemungkinan tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang
dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan,
namun biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat.
Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya
penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik
disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer
menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan
kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih.

Vena Jugularis

Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium


kanan. Tekanan vena jugularis paling baik dinilai jika pasien berbaring dengan
kepala membentuk sudut 45o. Tekanan vena jugularis dinilai dalam satuan cm
H2O (normalnya < 8 cm) dengan memperkirakan jarak vena jugularis dari bidang
diatas sudut sternal. Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal
pada waktu istirahat namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan
peningkatan tekanan abdomen (abdominojugular reflux positif). Gelombang v
besar mengindikasikan keberadaan regurgitasi trikuspid.
Pemeriksaan pulmoner

Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan
dari ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner,
rales dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti
dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien
yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk HF.
Perlu diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan HF
kronis, bahkan dengan tekanan pengisian LV yang meningkat, hal ini disebabkan
adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi
karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan
transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena
sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi dengan kegagalan
biventrikuler. Walaupun pada HF efusi pleura seringkali bilateral, namun pada
efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura kanan

Pemeriksaan Jantung

Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan


informasi yang berguna mengenai tingkat keparahan HF. Jika kardiomegali
ditemukan, maka apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal
V) dan/atau sebelah lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi
hingga 2 interkosta dari apex. Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S 3)
dapat terdengar dan dipalpasi pada apex. Pasien dengan pembesaran atau
hypertrophy ventrikel kanan dapat memiliki denyut oarasternal yang
berkepanjangan meluas hingga systole. S 3 (atau prodiastolic gallop) paling sering
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang juga mengalami takikardi
dan takipneu, dan seringkali menandakan gangguan hemodinamika. Suara
jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik untuk HF namun biasa ditemukan
pada pasien dengan disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral dan
tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan HF tahap lanjut.

Abdomen dan Ekstremitas


Hepatomegaly merupakan tanda penting pada pasien HF. Jika ditemukan,
pembesaran hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama
systole jika regurgitasi trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terhadi
sebagai konsekuensi peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena
pada peritoneum. Jaundice, juga merupakan tanda lanjut pada HF, diakibatkan
dari gangguan fungsi hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler,
dan terkait dengan peningkatan bilirubin direct dan indirect.

Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada HF, namun namun tidak
spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic.
Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada HF dan terjadi terutama
pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada
pasien yang melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral
(edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan dapat menyebabkan
indurasi dan pigmentasi ada kulit.

Cardiac Cachexia

Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan
dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada HF tidak
diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan
resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali
kongestif dan perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi sitokin yang
bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat kongesti pada
vena di usus. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang
buruk.

DIAGNOSIS

Diagnosis HF relatif tidak sulit jika pasien datang dengan gejala dan tanda klasik
untuk HF; akan tetapi, gejala dan tanda HF kebanyakan tidak spesifik dan tidak
sensitive. Karena hal tersebut, kunci untuk mendiagnosis adalah mempunyai
tingkat kecurigaan tinggi terutama pada pasien beresiko. Ketika pasien datang
dengan gejala dan tanda HF, pemeriksaan laboratorium penunjang sebaiknya
dilakukan.
Pemeriksaan Laboratorium Rutin

Pasien dengan onset HF yang baru atau dengan HF kronis dan dekompensasi
akut sebaiknya melakukan pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood
urean nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Pasien
tertentu sebaiknya memiliki pemeriksaan tertentu seperti pada Diabetes Mellitus
(gula darah puasa atau tes toleransi glukosa), dislipidemi (profil lipid), dan
abnormaltas thyroid ( kadar TSH).

Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah


untuk menilai ritme, menentukan keberadaan hypertrophy pada LV atau riwayat
MI (ada atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan
kemungkinan adanya disfungsi diastolic pada LV.

Radiology

Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan


bentuknya, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi
penyebab nonkardiak pada gejala pasien. Walaupun pasien dengan HF akut
memiliki bukti adanya hipertensi pulmoner, edema interstitial, dan/atau edema
puloner, kebanyakan pasien dengan HF tidak ditemukan bukti-bukti tersebut.
Absennya penemuan klinis ini pada pasien HF kronis mengindikasikan adanya
peningkatan kapasitas limfatik untuk membuang cairan interstitial dan/atau
cairan pulmoner

Penilaian fungsi LV

Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan


menangani HF. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/
Doppler, dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran
dan fungsi LV begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada
katup dan/atau pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya).
Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya
abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan,
berguna untuk menilai HF dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-
D/Doppler juga bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan
pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi dan penatalaksanaan cor
pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif terhadap anatomi
jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan volume
LV.

Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume


dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan
pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima
secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan
sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada
afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi
mitral sebagai akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah.
Walaupun demikan, dengan pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik
biasanya adekuat, dan jika EF berkurang secara bermakna (<30-40%),>

Biomarker

Kadar peptide natriuretik yang bersirkulasi berguna sebagai alat tambahan


dalam diagnosis HF. Baik B-type natriuretic peptide dan N-terminal pro-BNP,
yang dikeluarkan dari jantung yang mengalami kerusakan, merupakan marker
yang relative sensitif untuk menentukan keberadaan HF dengan EF yang rendah;
peptide ini juga meningkat pada pasien HF dengan EF yang normal, walaupun
dengan kadar yang lebih sedikit. Namun demikian, penting untuk diketahui
bahwa kadar peptide natriuretik juga meningkat seiring umur dan dengan
gangguan ginjal, lebih meningkat pula pada wanita, dan dapat meningkat pada
HF kanan dari penyebab apapun. Kadar ini dapat terlihat lebih rendah pada
pasien obesitas dan kadarnya dapat normal pada beberapa pasien setelah
pengobatan yang tepat dijalani. Konsentrasi peptide natriuretik yang normal
pada pasien yang tidak ditangani sangat bermanfaat untuk menyingkirkan
diagnosis HF. Biomarker lainnya seperti troponon T dan I, C-reactive protein,
reseptor TNF, dan asam urat, dapat meningkat pada HF dan memberikan
informasi penting mengenai prognosis. Pemeriksaan berkala dari salah satu (atau
lebih) biomarker tersebut sangat membantu untuk mengarahkan terapi pada HF,
namun tidak dianjurkan untuk tujuan ini.

Pemeriksaan latihan

Treadmill atau latihan bersepeda tidak rutin dianjurkan pada pasien HF, namun
bermanfaat untuk menilai perlunya transplantasi kardiak pada pasien dengan
HF berat. peak oxygen uptake (VO2) <14>O2 <14>

DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

HF menyerupai namun harus dapat dibedakan dengan (1) keadaan dimana


kongesti sirkulasi disebabkan oleh retensi air dan garam yang abnormal tetapi
tidak terdapat kelainan pada struktur atau fungsi jantung (mis. pada gagal ginjal)
dan (2) penyebab nonkardiak terhadap kejadian edema pulmoner (mis.
syndrome distress pernapasan akut . Pada kebanyak pasien yang datang dengan
tanda dan gejala khas untuk HF, diagnosis relative tidak sulit. Namun, bahkan
ahli berpengalaman memiliki kesulitan untuk membedakan antara sesak napas
akibat jantung atau pulmoner. Untuk hal ini, pencitraan jantung noninvasif,
biomarker, fungsi pulmoner, dan pemeriksaan radiology dapat berguna. Kadar
BNP atau N terminal pro-BNP yang sangat rendah membantu menyingkirkan
penyebab jantung pada sesak napas. Edema engkel dapat timbul akibat varises
vena, obesitas, penyakit ginjal, dan efek gravitasi. Ketika HF terjadi pada pasien
dengan EF yang normal, sulit untuk menentukan apakah sesak napas akibat
kontribusi HF atau akibat penyakit paru kronis dan/atau obesitas.

PENATALAKSANAAN GAGAL JANTUNG

HF sebaiknya dipandang sebagai suatu seri yang terdiri dari 4 stadium yang
saling berkaitan. Stadium A termasuk pasien dengan resiko tinggi terkena HF
namun tanpa gangguan structural jantung atau gejala HF (pasien diabetes
mellitus atau hipertensi). Stadium B termasuk pasien yang memiliki gangguan
structural pada jantung namun tanpa gejala HF (misal. pasien dengan riwayat MI
dan disfungsi LV asimptomatis). Stadium C termasuk pasien yang memiliki
gangguan structural pada jantung dan memiliki gejala HF yang berkembang
(misal. pasien dengan riwayat MI dengan sesak napas dan kelemahan ). Stadium
D termasuk pasien dengan HF refrakter yang membutuhkan intervensi khusus
(pasien dengan HF refrakter yang membutuhkan transplantasi jantung). Pada
seri ini, setiap usaha sebaiknya dilakukan untuk mencegah HF, tidak hanya
dengan menangani penyebab HF yang dapat dicegah (hipertensi) namun dengan
mengatasi pasien pada stadium B dan stadium C dengan obat yang mencegah
progresi penyakit ini (mis. ACE inhibitor dan beta blocker) dan dengan
penanganan simptomatik pasien pada stadium D.

Menentukan Strategi Terapi yang Tepat untuk HF Kronis.

Setelah pasien mengalami perkembangan kerusakan structural jantung, terapi


berganrung terhadap klasifikasi fungsional NYHA (Tabel 2). Walaupun sistem
klasifikasi ini diketahui bersifat subjektif dan memiliki variabilitas yang besar
antar pengamat, klasifikasi ini sudah lama digunakan dan berlanjut diterima
secara luas untuk aplikasi pada pasien HF. Untuk pasien dengan disfungsi
sistolik LV namun tetap bertahan asimptomatis (class I), tujuan terapi sebaiknya
untuk memperlambat progresi penyakit dengan memblokir sistem neurohormon
yang menyebabkan remodeling jantung. Untuk pasien dengan gejala yang telah
berkembang (class II-IV), tujuan terapi utama adalah untuk meringankan retensi
cairan, mengurangi disabilitas, dan menurunkan resiko dari progresi penyakit
dan kematian. Tujuan ini biasanya membutuhkan strategi yang
mengkombinasikan diuretic (untuk mngendalikan retensi air dan garam) disertai
dengan intervensi neurohormonal (untuk meminimalisir remodeling jantung).

Tabel 2. Klasifikasi New York Heart Association


Kapasitas Penilaian Objektif
Fungsional
Class I Pasien dengan penyakit jantung namun
tanpa keterbatasan pada aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan
keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri
anginal
Class II Pasien dengan penyakit jantung yang
menyebabkan keterbatasan aktivitas
fisik ringan. Pasien merasa nyaman
pada waktu istirahat. Aktivitas fisik
biasa mengakibatkan kelemahan,
palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.
Class III Pasien dengan penyakit jantung yang
mengakibatkan keterbatasan bermakna
pada aktivitas fisik. Pasien merasa
nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas
fisik yang lebih ringan dari biasanya
menyebabkan keletihan, palpitasi,
sesak, dan nyeri anginal..
Class IV Pasien dengan penyakit jantung yang
mengakibatkan ketidakmampuan
untuk menjalani aktivitas fisik apapun
tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal
jantung atau sindroma angina dapat
dialami bahkan pada saat istirahat. Jika
aktivitas fisik dilakukan, maka rasa
tidak nyaman semakin meningkat.
Sumber: Adaptasi dari New York Heart Association, Inc., Diseases of the Heart and Blood Vessels: Nomenclature and
Criteria for Diagnosis, 6th ed. Boston, Little Brown, 1964, p. 114.

Penatalaksanaan HF dengan Fraksi Ejeksi Menurun (<40%)>

Pemeriksaan Umum
Klinisi, dalam pemeriksaan, sebaiknya bertujuan untuk mengskrining dan menangani
komorbiditas tertentu seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,
anemia, dan gangguan pernapasan pada saat tidur, dimana keadaan ini cenderung
mengawali eksaserbasi HF. Pasien HF sebaiknya dianjurkan untuk berhenti atau
mengurangi merokok dan konsumsi alcohol. Temperatur ekstrim dan aktivitas fisik
berlebih sebaiknya dihidari. Obat tertentu yang dapat memperburuk HF (Tabel 3)
sebaiknya dihindari. Sebagai contoh, nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAID),
termasuk cyclooxygenase 2 inhibitor tidak dianjurkan pada pasien dengan HF kronis
karena resiko gagal ginjal dan retensi cairan dapat meningkat secara bermakna dalam
keadaan fungsi renal yang terganggu atau dalam terapi ACE inhibitor. Pasien sebaiknya
diberikan imunisasi influenza atau pneumococcus untuk mencegah infeksi respirasi.
Penting pula memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai HF, pentingnya
pola makan yang tepat, dan pentingnya pemberian regimen obat yang teratur.
Pengawasan pasien rawat jalan oleh perawat atau asisten dokter dan/atau pada klinik
khusus HF terbukti bermanfaat, terutama pada pasien dengan penyakit yang berat.

Tabel 3. Faktor yang Dapat Memicu Dekompensasi Akut Pada Pasien


dengan Gagal Jantung Kronis

Pola diet yang tidak dianjurkan


Iskemia Myokard/ Infark Myokard
Arrhythmia (tachycardia atau bradycardia)
Penghentian terapi HF
Infeksi
Anemia
Pemberian obat yang memperburuk HF
- Calcium antagonists (verapamil, diltiazem)
- Beta blockers
- Nonsteroidal anti-inflammatory drugs
- Antiarrhythmic agents [semua agen kelas 1, sotalol (kelas III)]
- Anti-TNF antibodies
Konsumsi Alkohol
Kehamilan
Hipertensi yang memburuk
Insufisiensi valvular akut

Aktivitas
Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada HF, suatu latihan rutin
ringan terbukti bermanfaat pada pasien HF dengan NYHA kelas I-III. Pasien
euvolemik sebaiknya didorong untuk melakukan latihan rutin isotonic seperti
jalan atau mengayuh sepeda ergometer statis, yang dapat ditoleransi. Beberapa
penelitian mengenai latihan fisik memberikan hasil yang positif dengan
berkurangnya gejala, meningkatkan kapasitas latihan, dan memperbaiki kualitas
dan durasi kehidupan. Manfaat pengurangan berat badan dengan restriksi intake
kalori belum diketahui secara jelas

Diet

Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien HF (baik
dengan penurunan EF maupun EF yang normal). Restriksi lebih lanjut (<2g
name="2902141"> simtomatik karena kurangnya bukti manfaat dan berpotensi
untuk interaksi negative dengan terapi HF.

Diuretik

Diuretik

Kebanyakan dari manifestasi klinik HF sedang hingga berat diakibatkan oleh


retensi cairan yang menyebabkan ekspansi volume dan gejala kongestif. Diuretik
(Tabel 4) adalah satu-satunya agen farmakologik yang dapat mengendalikan
retensi cairan pada HF berat, dan sebaiknya digunakan untuk mengembalikan
dan menjaga status volume pada pasien dengan gejala kongestif (sesak napas,
orthopnea, dan edema) atau tanda peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi
vena jugularis, edema perifer). Furosemide, torsemide, dan bumetanide bekerja
pada loop of Henle (loop diuretics) dengan menginhibisi reabsorbsi Na+, K+,dan

Cl pada bagian asendens pada loop of henle; thiazide dan metolazone
mengurangi reabsorbsi Na+ dan Cl- pada bagian awal tubulus kontortus distal, dan
diuretic hemat kalium seperti spironolakton bekerja pada tingkat duktus koligens.

Tabel 4 Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)
Dosis Awal Dosis Maksimal
Dosis Awal Dosis Maksimal

Furosemide 2040 mg qd or bid 400 mg/da

Torsemide 1020 mg qd bid 200 mg/da

Bumetanide 0.51.0 mg qd or bid 10 mg/da

Hydrochlorthiazide 25 mg qd 100 mg/da

Metolazone 2.55.0 mg qd or bid 20 mg/da

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors


Captopril 6.25 mg tid 50 mg tid
Enalapril 2.5 mg bid 10 mg bid
Lisinopril 2.55.0 mg qd 2035 mg qd
Ramipril 1.252.5 mg bid 2.55 mg bid
Trandolapril 0.5 mg qd 4 mg qd
Angiotensin Receptor Blockers
Valsartan 40 mg bid 160 mg bid
Candesartan 4 mg qd 32 mg qd
Irbesartan 75 mg qd 300 mg qdb

Losartan 12.5 mg qd 50 mg qd
Receptor Blockers
Carvedilol 3.125 mg bid 2550 mg bid
Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd
Metoprolol succinate CR 12.525 mg qd Target dose 200 mg qd
Additional Therapies
Spironolactone 12.525 mg qd 2550 mg qd
Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd
Kombinasi hydralazine/isosorbide 1025 mg/10 mg tid 75 mg/40 mg tid
dinitrate
Dosis tetap hydralazine/isosorbide 37.5 mg/20 mg (one tablet) tid 75 mg/40 mg (two tablets) tid
dinitrate
Digoxin 0.125 mg qd <0.375 mg/db

a
Dosis harus disesuaikan hingga mengurangi gejela kongestif pada pasien

b
Dosis target tidak diketahui

Walaupun semua diuretic meningkatkan eksresi sodium dan volume urin,


diuretic memiliki potensi dan famakologik yang beragam. Loop diuretic
meningkatkan eksresi fraksional sodium hingga 20-25%, sedangkan thiazide
hanya 5-10% dan cenderung berkurang efektivitasnya pada pasien dengan
insufisiensi renal moderat atau berat (creatinin ?2. mg/dl). Sehingga, loop
diuretic biasanya dibutuhkan untuk mengembalikan status volume pasien HF.
Diuretik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah (Tabel 4) dan kemudian
ditingkatkan secara perlahan lahan untuk meringankan tanda dan gejala
overload cairan. Hal ini biasanya membutuhkan penyesuaian dosis berulang
selama beberapa hari pada pasien dengan overload cairan berat. Pemberian
intravena dapat penting untuk meringankan kongesti akut dan aman digunakan
pada keadaan rawat jalan. Setelah gejala kongesti diringankan, pemberian
diuretic sebaiknya tetap dilanjutkan untuk menghindari rekurensi dari retensi air
dan garam

Diuretik memiliki potensi untuk menyebabkan berkurangnya volume dan


elektrolit, begitu pula dengan memperburuk azotemia. Sebagai tambahan,
diuretik dapat memperburuk aktivasi neurohormonal dan progresi penyakit.
Satu efek samping diuretik yang paling penting adalah perubahan homeostatis
potassium (hipokalemia atau hyperkalmei), yang akan meningkatkan resiko
arrhythmia. Pada umumnya, baik loop diuretik maupun thiazid dapat
menyebabkan hypokalemia, sedangkan spironolacton, eplerenone, dan
triamterene menyebabkan hyperkalemia.

ACE Inhibitor (ACEI)

Terdapat banyak bukti yang menyatakan bahwa ACE inhibitor sebaiknya


digunakan pada pasien simptomatis dan asimptomatis dengan EF menurun. ACE
inhibitor mempengaruhi sistem rennin-angiotensin dengan menginhibisi enzyme
yang berperan terhadap konversi angiotensin menjadi angiotensin II. Tidak
hanya itu, karena ACE inhibitor (ACEI) juga dapat menghambat kininase II,
sehingga dapat mengakibatkan peningkatan bradykinin, yang akan
meningkatkan efek bermanfaat dari supresi angiotensin. ACEI menstabilkan LV
remodeling, meringankan gejala, mengurangi kemungkinan opname, dan
memperpanjang harapan hidup. Karena retensi cairan dapat menurunkan efek
ACEI, dianjurkan untuk diberikan diuretic sebelum memulai terapi ACEI. Akan
tetapi, penting untuk mengurangi dosis diuretic selama awal pemberian ACEI
dengan tujuan mengurangi kemungkinan hipotensi simptomatik. ACEI
sebaiknya dimulai dengan dosis rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara
bertahap jika dosis rendah dapat ditoleransi.

Gambar 3. Algoritme penatalaksanaan Gagal Jantung Kronispada pasien dengan


penurunan fraksi ejeksi. Setelah diagnosis klinis HF ditegakkan, penting untuk menangani
retensi cairan sebelum memulai terapi ACEI (atau ARB jika pasien intoleran terhadap ACEI).
eta-blocker sebaiknya dilakukan jika retensi cairan telah ditangani dan/atau dosis ACEI telah
ditingkatkan. Jika pasien masih bergejala, ARB, antagonis aldosteron, atau digoxin dapat
diberikan sebagai triple therapy. Terapi alat sebaiknya dipertimbangkan dengan pemberian
farmakologik yang tepat pada pasien. ACEI, angiotensin-converting enzyme inhibitor; ARB,
angiotensin receptor blocker; NYHA, New York Heart Association; CRT, cardiac
resynchronization therapy; ICD, implantable cardiac defibrillator.

Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin
angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama
pemberian terapi dan biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu
diturunkan. Akan tetapi, jika hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi
renal menjadi lebih berat, maka penting untuk menurunkan dosisnya. Pada
retensi potassium yang tidak berespon dengan diuretic, dosis ACE juga perlu
diturunkan.

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)


Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak dapat diberikan ACE
karena batuk, rash kulit, dan angioedema. Walaupun ACEI dan ARB
menghambat sistem rennin-angiotensin, kedua golongan obat ini bekerja dalam
mekanisme yang berbeda. ACEI memblokir enzim yang berperan dalam
mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II, ARB memblokir efek
angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe I. Beberapa penelitian klinik
menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB pada terapi ACEI pada
pasien HF kronis.

Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah,
fungsi ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa
pula.

-Adrenergic Receptor Blockers

Terapi Beta blocker menunjukkan kemajuan utama dalam penanganan pasien


dengan penurunan EF. Obat ini mempengaruhi efek berbahaya dari aktivasi
sistem adrenergic yang berkepanjangan dengan secara kompetitif memblokir
satu atau lebih reseptor adrenergik ( 1, 1, and 2). Walaupun terdapat manfaat
potensial dalam memblokir tiga reseptor ini, kebanyakan efek penurunan
aktivasi adrenergic dimediasi oleh reseptor 1. Jika diberikan bersamaan dengan
ACEI, beta blocker menghambat proses LV remodeling, meringankan gejala
pasien, mencegah opname, dan memperpanjang harapan hidup. Maka dari itu
beta blocker diindikasikan pada pasien HF simptomatik atau asimptomatik
dengan EF menurun (<40%)>

Seperti dengan pemakaian ACEI, beta blocker juga sebaiknya dimulai dalam
dosis rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara gradual jika dosis rendah
telah dapat ditoleransi. Dosis beta blocker sebaiknya ditingkatkan hingga dosis
yang terbukti efektif pada suatu penelitian klinis (Tabel 4). Namun, tidak seperti
ACEI, dimana dapat ditingkatkan secara cepat, penyesuaian dosis beta blocker
sebaiknya tidak lebih cepat dari interval 2 minggu, karena dosis inisiasi dan/atau
peningkatan dosis agen ini dapat memperburuk retensi cairan akibat
berkurangnya dukungan adrenergic pada jantung dan sirkulasi. Maka dari itu,
penting untuk mengoptimalkan dosis diuretic sebelum memulai terapi beta
blocker. Peningkatan retensi cairan biasanya dapat diatasi dengan penambahan
dosis diuretic. Pada beberapa pasien, dosis beta blocker perlu diturunkan.

Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul
dari penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa
hari setelah permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi.
Terapi betabloker dapat menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart
block. Maka dari itu, dosis beta blocker sebaiknya diturunkan jika heart rate
menurun hingga <50>1 receptor yang dapat mengakibatkan efek vasodilatasi.

Antagonis Aldosteron

Walaupun dikategorikan sebagai diuretic hemat kalium, obat yang memblokir


efek aldosteron (spironolakton atau eplerenon) memiliki efek bermanfaat yang
independent dari efek keseimbangan sodium. Walaupun ACEI dapat
menurunkan sekresi aldosteron secara transient, dengan terapi jangka panjang,
kadar aldosteron akan kembali seperti sebelum terapi ACEI dilakukan. Maka dari
itu, pemberian antagonis aldosteron dianjurkan pada pasien dengan NYHA kelas
III atau kelas IV yang memiliki EF yang menurun (<35%)>

Permasalahan utama pemberian antagonis aldosteron adalah peningkatan resiko


hyperkalemia, dimana lebih cenderung terjadi pada pasien yang menerima terapi
suplemen potassium atau mengalami insufisiensi renal sebelumnya. Antagonis
aldosteron tidak direkomendasikan jika kreatinin serum >2.5 mg/dL (atau
klirens kreatinin <30>5.0 mmol/L.

Terapi Antikoagulan dan Antiplatelet

Pasien HF memiliki peningkatan resiko terjadinya kejadian thromboembolik.


Pada penilitan klinis, angka kejadian stroke mulai dari 1,3 hingga 2,4% per
tahun. Penurunan fungsi LV dipercaya mengakibatkan relative statisnya darah
pada ruang kardiak yang berdilatasi dengan peningkatan resiko pembentukan
thrombus. Penatalaksanaan dengan warfarin dianjurkan pada pasien dengan HF,
fibrilasi atrial paroxysmal, atau dengan riwayat emboli sistemik atau pulmoner,
termasuk stroke atau transient ischemic attack (TIA). Pasien dengan iskemik
kardiomyopati simptomatik atau asimptomatik dan memiliki riwayat MI dengan
adanya thrombus LV sebaiknya diatasi dengan warfarin dengan permulaan 3
bulan setelah MI, kecuali terdapat kontraindikasi terhadap pemakaiannya.

Aspirin direkomendasikan pada pasien HF dengan penyakit jantung iskemik


untuk menghindari terjadinya MI dan kematian. Namun, dosis rendah aspirin
(75 atau 81 mg) dapat dipilih karena kemungkinan memburuknya HF pada dosis
lebih tinggi.

Penatalaksanaan HF dengan Fraksi Ejeksi Normal (>40%)

Walaupun banyaknya informasi yang berkaitan dengan evaluasi dan


pentalaksanaan HF dengan EF yang menurun, tidak ditemukan agen
farmakologis atau terapi alat untuk penatalaksanaan pasien dengan HF dengan
EF yang normal. Sehingga, dianjurkan untuk memulai usaha penatalaksanaan
pada proses penyakit penyebab (mis. iskemia myokard, hipertensi) yang
berkaitan dengan HF dengan EF yang normal. Faktor pemicu seperti takikardi
atau atrial fibrilasi, sebaiknya ditangani sesegera mungkin melalui pengendalian
dan restorasi ritme sinus. Sesak napas dapat ditangani dengan mengurangi
volume darah total (diet rendah garam dan diuretic), mengurangi volume darah
sentral (nitrat), atau mengurangi aktivasi neurohormonal dengan ACEI, ARB,
dan/atau beta blocker. Penanganan dengan diuretic dan nitrat sebaiknya dimulai
dengan dosis rendah untuk menghindari hipotensi. s tachycardia or atrial
fibrillation, should be treated as quickly as possible through rate control and
restoration of sinus rhythm when appropriate. Dyspnea may be treated by
reducing total blood volume (dietary sodium restriction and diuretics),
decreasing central blood volume (nitrates), or blunting neurohormal activation
with ACE inhibitors, ARBs, and/or beta blockers. Treatment with diuretics and
nitrates should be initiated at low doses to avoid hypotension and fatigue.

Menentukan Strategi Penatalaksanaan untuk HF Akut

Tujuan terapeutik dari penatalaksanaan HF akut adalah untuk (1) memperbaiki


stabilisasi hemodinamika yang terganggu yang menyebabkan munculnya gejala
(2) mengidentifikasi dan menangani faktor reversible yang mempresipitasi
dekompensasi , dan (3) menentukan regimen farmakologis efektif untuk pasien
rawat jalan yang akan mencegah perkembangan penyakit dan relaps. Pada
beberapa keadaan, HF akut membutuhkan opname, dan seringkali dengan
setting ICU. Setiap usaha sebaiknya diambil untuk mengidentifikasi penyebab
pemicu, seperti infeksi, arrhymia, tidak disiplinnya diet, emboli pulmoner,
endocarditis infektif, iskemia/infark myokard samar, dan stress lingkungan dan
emosional (Tabel 3), karena menangani kejadian pemicu ini sangat penting
dalam penatalaksanaan

Terdapat 2 petanda hemodinamika primer terhadap HF akut yaitu peningkatan


tekanan pengisian LV dan penurunan kardiak output. Seringkali, penurunan
cardiac output diikuti oleh peningkatan systemic vascular resisteance (SVR)
sebagai akibat adanya aktivasi neurohormonal berlebihan. Karen kerusakan
hemodinamika ini dapat terjadi sendiri atau bersamaan, pasien dengan HF akut
biasanya datang dengan satu dari empat dasar profil hemodinamika : tekanan
pengisian LV normal (Profil A), peningkatan tekanan pengisian LV dengan
perfusi normal (Profil B), Peningkatan tekanan pengisian LV dengan penurunan
perfusi (Profil C) dan tekanan pengisian LV normal atau rendah dengan
penurunan perfusi (Profil D)

Maka dari itu, pendekatan terapeutik pada pasien dengan HF akut sebaiknya
disesuaikan dengan keadaan hemodinamika pasien. Tujuannya sebaiknya, jika
memungkinkan, merestorasi profil hemodinamika pasien (Profil A). Pada
beberapa keadaan, kondisi hemodinamika pasien dapat diperkirakan melalui
pemeriksaan klinis. Sebagai contoh, pasien dengan tekanan pengisian LV yang
meningkat dapat memberikan gejala retensi cairan (ronchi, elevasi vena jugular,
dan edema perifer) dan dikatakan sebagai basah sedangkan pasien dengan
cardiac output yang menurun dan dengan peningkatan SVR biasanya memiliki
perfusi jaringan yang buruk dan bermanifestasikan dinginnya ekstremitas distal
sehingga dikatakan sebagai dingin. Namun, perlu ditekankan bahwa pasien
dengan gagal jantung kronis mungkin saja tidak ditemukan ronchi atau adanya
edema perifer pada kunjungan pertama dengan dekompensasi akut, sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan pengisian tidak terdeteksi. Pada pasien
seperti ini, lebih tepat untuk dilakukan pemeriksaan hemodinamika secara
invasive.

Pasien yang tidak mengalami kongesti dan mempunyai perfusi jaringan yang
normal dikatakan sebagai kering dan hangat. Jika pasien HF akut masuk RS
dengan profil A, maka gejalanya seringkali akibat keadaan diluar penyebab HF
(mis. penyakit pulmoner atau hati, atau transient myocardial ischemia). Akan
tetapi, pasien HF akut lebih sering datang dengan gejala kongestif yang hangat
dan basah (Profil B), dimana penatalaksanaan tekanan pengisian dengan
diuretic dan vasodilator diperlukan untuk menurunkan tekanan pengisian LV.
Profil B termasuk kebanyakan pasien dengan edema pulmoner akut.

Pasien dapat pula datang dengan gejala kongesti dan dengan pengingkatan SVR yang bersifat dingin dan
basah (Profil C). Pada pasien ini, cardiac output dapat meningkat dan tekanan pengisian LV diturunkan
dengan menggunakan vasodilator intravena. Agen inotropik intravena dengan kerja vasodilatasi
(dobuthamin, dopamine dosis rendah, milrinone ) memperbaiki cardiac output dengan menstimulasi
kontraktilitas myokard sehingga meringankan fungsi jantung.

Tabel 5 Obat untuk Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut


Dosis Permulaan Dosis Maksimal

Vasodilators
Nitroglycerin 20 g/menit 40400 g/menit
Nitroprusside 10 g/menit 30350 g/menit
Nesiritide Bolus 2 g/kg 0.010.03 g/kg per menita

Inotropes
Dobutamine 12 g/kg per menit 210 g/kg per menitb

Milrinone Bolus 50 g/kg 0.10.75 g/kg per menitb


Dosis Permulaan Dosis Maksimal

Dopamine 12 g/kg per menit 24 g/kg per menitb

Levosimendan Bolus 12 g/kg 0.10.2 g/kg per menitc

Vasoconstrictors
Dopamine for hypotension 5 g/kg per menit 515 g/kg per menit
Epinephrine 0.5 g/kg per menit 50 g/kg per menit
Phenylephrine 0.3 g/kg per menit 3 g/kg per menit
Vasopression 0.05 units/menit 0.10.4 units/ menit

a
Biasanya <4>

b
Inotrope juga memiliki kemampuan vasodilators.

c
Diakui diluar Amerika Serikat untuk penanganan gagal jantung akut

Pasien yang datang dengan profil L (dingin dn kering) sebaiknya dievaluasi


secara teliti dengan menggunakan katerisasi jantung-kanan untuk melihat
keberadaan dari peningkatan tekanan pengisian LV yang samar. Jika tekanan
pengisian LV rendah (Pulmonary capillary wedge pressure [PCWP] <12>Tujuan
terapi berikutnya bergantung dari kondisi klinis. Terapi yang mencapai target
yang telah dikatakan sebelumnya mungkin tidak dapat lakukan pada beberapa
pasien, terutama bila mereka memiliki disfungsi RV atau mengalami sindrom
cardiorenal, dimana fungsi ginjal menurun selama diuresis agresif.
Memburuknya fungsi ginjal terjadi pada sekitar 25% pasien yang diopname
dengan HF dan berkaitan dengan opname yang lebih lama dan peningkatan
mortalitas setelah pemulangan.

Penatalaksanaan Farmakologik untuk HF Akut

Vasodilator

Selain diuretic, vasodilator intravena adalah pengobatan paling berguna untuk


HF akut. Dengan menstimulasi guanylyl cyclase dalam sel otot halus;
nitroglycerin, nitroprusside, dan nesiritida menghasilkan efek dilatasi pada
resistensi arterial dan venous capacity pada pembuluh darah, sehingga
menurunkan tekanan pengisian LV, penurunan mitral regurgitasi, dan
memperbaiki cardiac output, tanpa meningkatkan heart rate atau menyebabkan
arrhythmia.

Nitroglycerin intravena biasanya dimulai pada dosis 20 g/menit dan


ditingkatkan hingga 20 g sampai gejala pasien meringan atau PCWP menurun
hingga 16 mmHg tanpa menurunkan tekanan darah sistolik dibawah 80 mmHg.
Efek samping yang paling sering terjadi dari nitrat oral dan intravena adalah
sakit kepala, dimana, jika ringan, dapat diatasi dengan analgesik dan sering
berkurang seiring dengan perlangsungan terapi.

Nitroprusside biasanya dimulai dengan dosis 10 g/menit dan ditingkatkan 10-


20 g tiap 1020 menit jika ditoleransi, dengan tujuan hemodinamika yang sama
dengan yang telah dijelaskan diatas. Kecepatan dari onset dan offset, dengan
paruh waktu kira-kira sekitar 2 menit, memfasilitasi kadar optimal vasodilatasi
pada pasien di ICU. Keterbatasan utama dari nitroprusside adalah efek samping
dari sianida, yang bermanifestasi umumnya pada gastrointestinal dan sistem
saraf. Sianida sepertinya paling sering beakumulasi pada perfusi hepar yang
berat dan penurunan fungsi hepatik akibat cardiac output rendah, dan sepertinya
sering terjadi pada pasien yang mendapatkan >250 g/menit selama 48 jam.
Toksisitas sianida dapat diatasi dengan penurunan atau penghentian infus
nitroprusside. Pemakaian jangka panjang (> 48 jam) terkait dengan toleransi
hemodinamik.

Nesiritide, vasodilator terbaru, merupakan rekombinan dari brain type


natriuretic peptide (BNP), yang merupakan peptide endogenous yang disekresi
utamanya pada LV sebagai respon peningkatan tekanan dinding. Nesiritide
diberikan sebagai bolus (2 g/kg) diikuti dengan infus dosis tetap (0.010.03
g/kg per menit). Nesiritide efektif menurunkan tekanan pengisian LV dan
meringankan gejala selama pengobatan HF akut. Sakit kepala lebih jarang terjadi
pada nesiritide dibandingkan nitroglycerin. Walaupun disebut sebagai
natriuretic peptide, nesiritide tidak pernah menyebabkan diuresis jika digunakan
sendiri pada suatu penelitian klinik. Akan tetapi, sepertinya memiliki efek positif
terhadap kerja pengobatan diuretik jika diberikan bersamaan, sehingga jumlah
dosis diuretik yang dibutuhkan dapat diturunkan

Hipotensi merupakan efek samping yang paling sering terjadi pada ketiga agen
vasodilatasi tersebut, walaupun nesiritide dianggap yang paling kurang efeknya.
Hipotensi biasanya terkait dengan bradykardia, terutama dengan penggunaan
nitroglycerin. Ketiga obat tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi arteri
pulmoner, dimana dapat memperburuk hypoxia pada pasien dengan
abnormalitas ventilasi-perfusi.

Agen Inotropic

Agen inotropik positif menghasilkan manfaat hemodinamika langsung dengan


menstimulasi kontraktilitas kardiak, dan secara bersamaan menyebabkan
vasodilatasi perifer. Efek hemodinamika ini secara bersamaan menghasilkan
perbaikan pada cardiac output dan penurunan tekanan pengisian pada LV.

Dobutamine, merupakan agen inotropik yang paling sering digunakan pada


penatalaksanaan HF akut, efek kerjanya dengan menstimulasi reseptor 1 and 2
dengan sedikit efek pada reseptor 1. Dobutamine diberikan sebagai infuse
berkelanjutan, dengan dosis infuse permulaan sebesar 12 g/kg permenit. Dosis
lebih tinggi (>5 g/kg per menit) biasanya diperlukan pada hipoperfusi berat;
akan tetapi, terdapat sedikit penambahan manfaat jika dosis ditingkatkan diatas
10 g/kg per menit. Pasien yang diinfus selama lebih dari 72 jam biasanya
mengalami tachyphylaxis dan biasanya dosis perlu ditingkatkan.

Milrinone merupakan suatu inhibitor phosphodiesterase III yang menyebabkan


peningkatan cAMP dengan meninhibisi katabolismenya. Milrinone dapat bekerja
secara sinergis dengan -adrenergic agonists untuk mendapatkan peningkatan
cardiac output lebih tinggi dibandingkan jika pemakaian agen tersebut diberikan
tersendiri, dan kemungkinan lebih efektif dibandingkan dengan dobutamin
dalam meningkatkan cardiac output dengan keberadaan beta blocker. Milrinone
dapat diberikan dengan cara bolus 0.5 g/kg per menit, diikuti dengan dosis
infuse sebesar 0.10.75 g/kg per menit. Karena milrinone merupakan
vasodilator yang lebih efektif dibandingkan dobutamin, obat ini lebih
menurunkan tekanan pengisian LV walaupun dengan resiko hipotensi yang lebih
besar.

Walaupun penggunaan jangka pendek inotrop memberikan manfaat


hemodinamika, agen ini lebih cenderung mengakibatkan tachyarrhythmia dan
kejadian iskemik dibandingkan vasodilator. Sehingga inotrop lebih tepat
digunakan pada keadaan klinis dimana vasodilator dan diuretic tidak membantu,
seperti pasien dengan perfusi sistemik yang buruk dan/atau shock cardiogenic,
pada pasien yang membutuhkan dukungan hemodinamika jangka pendek pada
infark myokard atau operasi, dan pada pasien persiapan transplantasi jantung
atau sebagai perawatan paliatif pada pasien HF berat. Jika pasien membutuhkan
penggunaan inotrop yang berkesinambungan, sangat dipertimbangkan untuk
diberikan dalam keadaan ICU karena efek proarrhytmia pada agen tersebut.

Vasokonstriktor

Vasokontstriktor digunakan untuk mendukung tekanan darah sistemik pada


pasien dengan HF. Dari ketiga agen yang biasanya sering digunakan (Tabel 5),
dopamine merupakan pilihan pertama untuk terapi pada situasi dimana inotropy
dan dukungan pressor dibutuhkan. Dopamin merupakan cathecolamine endogen
yang menstimulasi reseptor 1, 1, dan reseptor dopaminergik (DA1 dan DA2)
pada jantung dan sirkulasi. Efek dopamine bergantung pada dosisnya. Dosis
dopamine rendah (<2>1 dan DA2 dan menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh
splanchnic dan renal. Dosis Moderat (24 g/kg per menit) menstimulasi
reseptor 1 dan meningkatkan cardiac output dengan sedikit perubahan pada
heart rate atau SVR. Pada dosis yang lebih tinggi (< 5 g/kg per menit) efek
dopamine pada reseptor 1 menyaingi reseptor dopaminergik dan vasokonstriksi
terjadi, menyebabkan peningkatan SVR, tenakan pengisian LV, dan heart rate.
Dopamine juga menyebabkan pelepasan norepinephrin dari terminal saraf,
dimana akan menstimulasi reseptor 1 and 1 sehingga, meningkatkan tekanan
darah. Dopamine merupakan terapi paling berguna pada pasien HF dengan
cardiac output yang rendah dengan perfusi jaringan yang buruk (Profil C).
Tambahan signifikan inotropic dan dukungan tekanan darah dapat diberikan
dengan epinephrine, phenylepinephrin, dan vasopressin (Tabel 5); akan tetapi
pemakaian berkepanjangan dapat menyebabkan kegagalan hati dan ginjal dan
dapat menyebabkan gangrene pada ekstremitas. Sehingga, agen ini tidak
diberikan kecuali pada keadaan darurat.

Intervensi Mekanik dan Operasi

Jika intervensi farmakologik gagal menstabilkan pasien dengan HF refrakter


maka intervensi mekanis dan invasive dapat memberikan dukungan sirkulasi
yang lebih efektif. Terapi ini termasuk intraaortic balloon counter pulsation, alat
bantuan LV, dan transplantasi jantung

Anda mungkin juga menyukai