DEFINISI
Gagal Jantung (heart failure/HF) merupakan suatu syndrome klinis yang terjadi
pada pasien yang mengalami abnormalitas (baik akibat keturunan atau didapat)
pada struktur atau fungsi jantung sehingga menyebabkan terjadinya
perkembangan rangkaian gejala klinis (fatigue dan sesak) dan tanda klinis
(edema dan rales) yang mengakibatkan opname, kualitas hidup buruk, dan
harapan hidup memendek.
EPIDEMIOLOGI
ETIOLOGY
Pada 2030% kasus HF dengan EF yang menurun, dasar etiologi pasti belum
diketahui secara pasti. Pasien ini dikatakan memiliki kardiomyopati yang
noniskemik, dilatasi atau idiopatik jika sebabnya tidak diketahui. Infeksi virus
sebelumnya atau paparan toxin (mis. alcohol atau kemoterapi) dapat pula
menyebabkan kardiomyopati dilatasi. Terlebih lagi, sudah semakin jelas bahwa
sekelompok besar kasus kardiomyopati dilatasi merupakan akibat dari defek
genetic tertentu, paling ditandai pada sitoskeleton. Hampir semua jenis
kardiomyopati dilatasi familial diturunkan melalui suatu pola autosomal
dominant. Mutasi gen yang mencetak protein sitoskeletal (desmin, cardiac
myosin, vinculin) dan protein membran inti (lamin) telah diidentifikasi sejauh
ini. Kardiomyopati dilatasi juga terkait dengan penyakit Duchennes, Beckers,
dan distrofi muskuler tungkaiy. Keadaan yang mengakibatkan kardiak output
yang meningkat (mis. fistel arteriovenous, anemia) cenderung berperan dalam
perkembangan HF pada jantung yang normal. Tetapi, keberadaan gangguan
struktural pada jantung menyebabkan terjadinya HF.
PROGNOSIS
PATOGENESIS
Walaupun alasan yang tepat mengapa pasien dengan disfungsi LV dapat tetap
asimptomatis belum dipastikan, salah satu penjelasannya kemungkinan karena
beberapa mekanisme kompensasi menjadi aktif dengan keberadaan jejas pada
jantung dan/atau disfungsi LV, dan sepertinya hal ini dapat dipertahankan dan
mengatur fungsi LV selama beberapa bulan atau tahun. Daftar mekanisme
kompensasi yang telah dijelaskan diatas termasuk (1) aktivasi sistem renin-
angiotensin-aldosteron (RAA) dan sistem saraf adrenergic, dimana berperan
dalam menjaga kardiak output dengan meningkatkan retensi garam dan ait
(Gambar 2), dan (2) meningkatkan kontraktilitas myokard. Disertai dengan
aktivasi dari molekul yang menghambat vasodilatasi, termasuk peptida
natriuretik otak dan atrial (ANP dan BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI2), dan
nitric oxide (NO), yang menimbulkan vasokonstriksi vaskuler perifer yang
berlebihan. Latar belakang genetis, jenis kelamin, umur, dan lingkungan dapa
mempengaruhi mekanisme kompensasi tersebut, dimana dapat memodulasi
fungsi LV dalam suatu homeostatik yang fisiologis, pada keadaan demikian,
kapasitas fungsional dari pasien dapat dijaga atau hanya sedikit menurun.
Sehingga, pasien dapat menjadi tetap asimpomatis atau dengan gejala minimum
untuk jangka waktu beberapa bulan bahkan tahun. Namun, pada suatu poin
,pasien akan mendapatkan gejala yang jelas, disertai dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas. Walaupun mekanisme pasti yang berperan dalam
transisi ini tidak diketahui, seperti yang dijelaskan dibawah, transisi antara HF
asimptomatik menjadi simptomatik diikuti oleh adanya peningkatan aktivasi
sistem neurohormonal, adrenergik, dan sitokin yang mengakibatkan beebrapa
perubahan adaptif dalam myokard yang secara keseluruhan disebut LV
remodelling.
Gambar 2. Aktivasi sistem neurohormonal pada gagal ginjal. Penurunan cardiac output
pada pasien HF menghasilkan pengehentian dari baroreseptor tekanan tinggi pada ventrikel
kiri (lingkaran) pada ventrikel kiri, sinus karotis, dan arcus aorta. Efek ini menghasilkan
pembentukan sinyal aferen terhadap sistem saraf pusat (CNS) yang menstimulasi pusat
cardioregulator pada otak yang menstimulasi pelepasan arginine vasopression (AVP) dari
hipotalamus posterior. AVP [antidiuretic hormone (ADH)] merupakan vasokonstriktor kuat yang
meningkatkan permeabilitas dari duktus koligens renal, menyebabkan reabsorbsi air. Sinyal
aferen ini juga mengaktivasi sistem simpatetik eferen yang menginervasi jantung, ginjal,
pembuluh darah perifer, dan otot skeletal.
Stimulasi simpatetik pada ginjal mengakibatkan pelepasan renin, dengan peningkatan resultan
pada kadar angotensin II dan aldosteron yang bersirkulasi, Aktivasi sistem renin-angiotensin-
aldosteron memicu retensi air dan garam dan mengakibatkan vasokonstriksi dari pembuluh
darah perifer, hipertrophy myosit, kematian sel myosit, dan fibrosis myokard. Sementara
mekanisme neurohormonal ini memfasilitasi adaptasi jangka pendek untuk menjaga tekanan
darah, dan perfusi kepada organ vital, mekanisme ini juga dipercaya menyebabkan perubahan
tahap akhir pada jantung dan sirkulasi dan retensi air dan garam berlebih pada HF berat.
LV remodeling terjadi akibat adanya kejadian kompleks yang terjadi pada level
molekuler dan seluler. Perubahan ini termasuk : (1) hipertrofi myosit; (2)
perubahan pada kemampuan kontraktilitas myosit; (3) kematian myosit
progressif melalui nekrosis, apoptosis, dan aotophagic; (4) desensitasi -
adrenergic; (5) tingkat metabolisme dan energi abnormal pada jantung; dan (6)
reorganisasi dari matriks ekstraseluler dengan kerusakan dari struktur kolagen
yang mengelilingi myosit dan digantikan dengan matriks kolagen interstitial yang
tidak memberikan dukungan structural terhadap myosit. Stimulus biologis untuk
perubahan ini termasuk regangan mekanis pada myosit, sirkulasi neurohormonal
(misal, norepinephrin, angiotensin II), sitokin inflamasi [misal. tumor necrosis
fator (TNF)], peptide dan faktor pertumbuhan lainnya (mis. endothelin) dan
jenis oksigen reaktif (mis. superoxide, NO). Walaupun molekul ini secara kolektif
dianggap neurohormon, terminology neurohormon selama ini hanya mengarah
kepada neurohormon klasik seperti norepinephrin dan angiotensin II, yang dapat
disintesis langsung di dalam myokard dan kemudian bekerja dalam mekanisme
autokrin dan parakrin.Akan tetapi, konsep paling penting adalah adanya ekspresi
yang berlebihan dari molekul yang secara biologis aktif berperan dalam
menimbulkan efek yang merusak pada jantung dan sirkulasi sehingga
menimbulkan progresi HF. Sehingga kemudian, pandangan ini membentuk
rasionalisasi klinis untuk pemakaian agen farmakologis yang melawan sistem ini
[mis. angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan beta blocker] dalam
menangani pasien HF.
Disfungsi Sistolik
Disfungsi Diastolik
Relaksasi myokard merupakan proses yang bergantung pada ATP yang diregulasi
oleh uptake kalsium sitoplasmik didalam sarcoplasmic reticulum oleh
sarcoplasmic reticulum Ca2 adenosin triphosphatase (SERCA2A) dan
pengeluaran ion calcium oleh pompa sarcolemma Sehingga yang terjadi
kemudian adalah penurunan konsentrasi ATP, seperti yang terjadi pada iskemia,
dapat mempengaruhi proses ini dan mengakibatkan perlambatan relaksasi
myokard. Kemungkinan lainnya, jika pengisian LV tertunda karena komplians
LV menurunan (mis. akibat hypertrophy atau fibrosis), tekanan pengisian LV
akan tetap meningkat pada akhir diastole Peningkatan heart rate akan
menyebabkan pemendekan waktu pengisian diastolic, dimana akan
mengakibatkan peningkatan tekanan pengisian pada LV, terutama pada ventrikel
noncomplians. Peningkatan tekanan pengisian pada akhir diastolic LV
mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler pulmoner, dimana berperan
terhadap terjadinya dyspnea yang dialami oleh pasien dengan disfungsi diastolic.
Lebih penting lagi, disfungsi diastolic dapat terjadi sendiri atau berkombinasi
dengan disfungsi sistolik pada pasien HF.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala
Gejala kardinal dari HF adalah kelemahan dan sesak napas. Walaupun mudah
lelah dahulunya dianggap akibat kardiak output yang rendah pada HF,
sepertinya abnormalitas otot skeletal dan komorbiditas non-kardiak lainnya
(mis. anemia) juga berkontribusi terhadap gejala ini. Pada tahap HF yang dini,
sesak napas dialami pada saat beraktivitas berat (dyspneu deffort);namun
semakin penyakit ini berkembang, sesak napas juga dialami pada aktivitas
ringan, dan pada akhirnya bahkan pada saat beristirahat. Banyak faktor yang
menyebabkan sesak napas pada HF. Mekanisme paling penting adalah kongesti
pulmoner dengan adanya akumulasi dari cairan interstitial atau intraalveolar,
yang mengaktivasi reseptor juxtacapillary J, yang akan menstimulasi pernapasan
cepat dan dangkal yang khas untuk sesak napas kausa penyakit jantung. Faktor
lain yang berperan terhadap terjadinya sesak napas pada saat beraktivitas berat
adalah menurunnya komplians pulmoner, peningkatan resistensi saluran napas,
kelemahan otot napas atau/dan diaphragma, dan anemia. Sesak napas dapat
menjadi lebih jarang dengan adanya onset kegagalan ventrikuler kanan dan
regurgitasi tricuspid.
Orthopnea
Orthopnea, yang didefinisikan sebagai sesak napas yang terjadi pada posisi
berbaring, biasanya merupakan manifestasi lanjut dari HF dibandingkan
dyspneu deffort. Hal ini terjadi akibat redistribusi dari cairan dari sirkulasi
splanchnik dan ektremitas bawah kedalam sirkulasi pusat selama berbaring,
disertai dengan peningkatan tekanan kapiler pulmoner. Batuk nocturnal (batuk
yang dialami pada malam hari) merupakan gejala yang sering terjadi pada proses
ini dan seringkali menyamarkan gejala HF yang lain. Orthopneu umumnya
meringan setelah duduk tegak atau berbaring dengan lebih dari 1 bantal.
Walaupun orthopneu biasanya merupakan gejala yang relative spesifik pada HF,
ini dapat pula juga terjadi pada pasien dengan obesitas abdominal atau asites dan
pasien dengan penyakit pulmoner dimana mekanisme pernapasan
membutuhkan posisi tegak.
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk
yang biasanya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur,
biasanya 1-3 jam setelah pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-
batuk atau wheezing, kemungkinan karena peningkatan tekanan pada arteri
bronchial menyebabkan kompresi saluran udara, disertai dengan edema
pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi saluran udara.
Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan
pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun
mereka mengaku telah duduk tegak. Cardiac asthma sepertinya berhubungan
dekat dengan PND, ditandai dengan adanya wheezing akibat bronchospasme,
dan harus dapat dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner lainnya
yang menimbulkan wheezing. tom of HF, it may occur in patients with abdominal
obesity or ascites and in patients with pulmonary disease whose lung mechanics
favor an upright posture.
Pernapasan Cheyne-Stokes
Edema Pulmoner akut biasanya timbul dengan onset sesak napas pada istirahat,
tachynepa, tachycardia, dan hypoxemia berat. Rales dan wheezing akibat
kompresi saluran udara dari perbronchial cuffing dapat terdengar. Hipertensi
biasanya terjadi akibat pelepasan cathecolamine endogenous.
Kadang kala sulit untuk membedakan penyebab noncardiac atau cardiac pada
edema paru akut. Echocardiography dapat mengidentifikasi disfungsi ventrikel
sistolik dan diastolik dan lesi katup. Edema pulmoner terkait dengan ST elevasi
dan Q wave yang berubah yang biasanya diagnostic untuk infark myokard dan
sebaiknya dilakukan protocol infark myokard dengan segera dan terapi reperfusi
arteri koroner. Kadar brain natriuretic peptide, jika meningkat secara bermakna,
mendukung gagal jantung sebagai etiologu sesak napas akut dengan edema
pulmoner .
Gejala Lainnya
PEMERIKSAAN FISIS
Pemeriksaan fisis yang teliti selalu penting dalam mengevaluasi pasien dengan
HF. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan penyebab daei
HF, begitu pula untuk menilai keparahan dari sindrom yang menyertai.
Memperoleh informasi tambahan mengenai keadaan hemodinamika dan respon
terhadap terapi serta menentukan prognosis merupakan tujuan tambahan
lainnya pada pemeriksaan fisis.
Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami
gangguan pada waktu istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring
pada permukaan yang datar dalam beberapa menit. Pada HF yang lebih berat,
pasien harus duduk dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan
kemungkinan tidak dapat mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang
dirasakan. Tekanan darah sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan,
namun biasanya berkurang pada HF berat, karena adanya disfungsi LV berat.
Tekanan nadi dapat berkurang atau menghilang, menandakan adanya
penurunan stroke volume. Sinus takikardi merupakan tanda nonspesifik
disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik. Vasokonstriksi perifer
menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis pada bibir dan
kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih.
Vena Jugularis
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan
dari ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner,
rales dapat terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti
dengan wheezing pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien
yang tidak memiliki penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk HF.
Perlu diketahui bahwa rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan HF
kronis, bahkan dengan tekanan pengisian LV yang meningkat, hal ini disebabkan
adanya peningkatan drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi
karena adanya peningkatan tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan
transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pleura mengalir ke vena
sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling sering terjadi dengan kegagalan
biventrikuler. Walaupun pada HF efusi pleura seringkali bilateral, namun pada
efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah rongga pleura kanan
Pemeriksaan Jantung
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada HF, namun namun tidak
spesifik dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic.
Edema perifer biasanya sistemik dan dependen pada HF dan terjadi terutama
pada daerah Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada
pasien yang melakukan tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral
(edema presacral) dan skrotum. Edema berkepanjangan dapat menyebabkan
indurasi dan pigmentasi ada kulit.
Cardiac Cachexia
Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan
dan cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada HF tidak
diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan
resting metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali
kongestif dan perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi sitokin yang
bersirkulasi seperti TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat kongesti pada
vena di usus. Jika ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang
buruk.
DIAGNOSIS
Diagnosis HF relatif tidak sulit jika pasien datang dengan gejala dan tanda klasik
untuk HF; akan tetapi, gejala dan tanda HF kebanyakan tidak spesifik dan tidak
sensitive. Karena hal tersebut, kunci untuk mendiagnosis adalah mempunyai
tingkat kecurigaan tinggi terutama pada pasien beresiko. Ketika pasien datang
dengan gejala dan tanda HF, pemeriksaan laboratorium penunjang sebaiknya
dilakukan.
Pemeriksaan Laboratorium Rutin
Pasien dengan onset HF yang baru atau dengan HF kronis dan dekompensasi
akut sebaiknya melakukan pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood
urean nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Pasien
tertentu sebaiknya memiliki pemeriksaan tertentu seperti pada Diabetes Mellitus
(gula darah puasa atau tes toleransi glukosa), dislipidemi (profil lipid), dan
abnormaltas thyroid ( kadar TSH).
Elektrokardiogram (EKG)
Radiology
Penilaian fungsi LV
Biomarker
Pemeriksaan latihan
Treadmill atau latihan bersepeda tidak rutin dianjurkan pada pasien HF, namun
bermanfaat untuk menilai perlunya transplantasi kardiak pada pasien dengan
HF berat. peak oxygen uptake (VO2) <14>O2 <14>
DIFFERENSIAL DIAGNOSIS
HF sebaiknya dipandang sebagai suatu seri yang terdiri dari 4 stadium yang
saling berkaitan. Stadium A termasuk pasien dengan resiko tinggi terkena HF
namun tanpa gangguan structural jantung atau gejala HF (pasien diabetes
mellitus atau hipertensi). Stadium B termasuk pasien yang memiliki gangguan
structural pada jantung namun tanpa gejala HF (misal. pasien dengan riwayat MI
dan disfungsi LV asimptomatis). Stadium C termasuk pasien yang memiliki
gangguan structural pada jantung dan memiliki gejala HF yang berkembang
(misal. pasien dengan riwayat MI dengan sesak napas dan kelemahan ). Stadium
D termasuk pasien dengan HF refrakter yang membutuhkan intervensi khusus
(pasien dengan HF refrakter yang membutuhkan transplantasi jantung). Pada
seri ini, setiap usaha sebaiknya dilakukan untuk mencegah HF, tidak hanya
dengan menangani penyebab HF yang dapat dicegah (hipertensi) namun dengan
mengatasi pasien pada stadium B dan stadium C dengan obat yang mencegah
progresi penyakit ini (mis. ACE inhibitor dan beta blocker) dan dengan
penanganan simptomatik pasien pada stadium D.
Pemeriksaan Umum
Klinisi, dalam pemeriksaan, sebaiknya bertujuan untuk mengskrining dan menangani
komorbiditas tertentu seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,
anemia, dan gangguan pernapasan pada saat tidur, dimana keadaan ini cenderung
mengawali eksaserbasi HF. Pasien HF sebaiknya dianjurkan untuk berhenti atau
mengurangi merokok dan konsumsi alcohol. Temperatur ekstrim dan aktivitas fisik
berlebih sebaiknya dihidari. Obat tertentu yang dapat memperburuk HF (Tabel 3)
sebaiknya dihindari. Sebagai contoh, nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAID),
termasuk cyclooxygenase 2 inhibitor tidak dianjurkan pada pasien dengan HF kronis
karena resiko gagal ginjal dan retensi cairan dapat meningkat secara bermakna dalam
keadaan fungsi renal yang terganggu atau dalam terapi ACE inhibitor. Pasien sebaiknya
diberikan imunisasi influenza atau pneumococcus untuk mencegah infeksi respirasi.
Penting pula memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai HF, pentingnya
pola makan yang tepat, dan pentingnya pemberian regimen obat yang teratur.
Pengawasan pasien rawat jalan oleh perawat atau asisten dokter dan/atau pada klinik
khusus HF terbukti bermanfaat, terutama pada pasien dengan penyakit yang berat.
Aktivitas
Walaupun aktivitas fisik berat tidak dianjurkan pada HF, suatu latihan rutin
ringan terbukti bermanfaat pada pasien HF dengan NYHA kelas I-III. Pasien
euvolemik sebaiknya didorong untuk melakukan latihan rutin isotonic seperti
jalan atau mengayuh sepeda ergometer statis, yang dapat ditoleransi. Beberapa
penelitian mengenai latihan fisik memberikan hasil yang positif dengan
berkurangnya gejala, meningkatkan kapasitas latihan, dan memperbaiki kualitas
dan durasi kehidupan. Manfaat pengurangan berat badan dengan restriksi intake
kalori belum diketahui secara jelas
Diet
Diet rendah garam (2-3 g per hari) dianjurkan pada semua pasien HF (baik
dengan penurunan EF maupun EF yang normal). Restriksi lebih lanjut (<2g
name="2902141"> simtomatik karena kurangnya bukti manfaat dan berpotensi
untuk interaksi negative dengan terapi HF.
Diuretik
Diuretik
Tabel 4 Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan Gagal Jantung (EF <40%)
Dosis Awal Dosis Maksimal
Dosis Awal Dosis Maksimal
Losartan 12.5 mg qd 50 mg qd
Receptor Blockers
Carvedilol 3.125 mg bid 2550 mg bid
Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd
Metoprolol succinate CR 12.525 mg qd Target dose 200 mg qd
Additional Therapies
Spironolactone 12.525 mg qd 2550 mg qd
Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd
Kombinasi hydralazine/isosorbide 1025 mg/10 mg tid 75 mg/40 mg tid
dinitrate
Dosis tetap hydralazine/isosorbide 37.5 mg/20 mg (one tablet) tid 75 mg/40 mg (two tablets) tid
dinitrate
Digoxin 0.125 mg qd <0.375 mg/db
a
Dosis harus disesuaikan hingga mengurangi gejela kongestif pada pasien
b
Dosis target tidak diketahui
Efek samping yang kebanyakan terjadi berkaitan dengan supresi sistem renin
angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan dapat terjadi selama
pemberian terapi dan biasanya ditoleransi dengan baik sehingga dosis tidak perlu
diturunkan. Akan tetapi, jika hipotensi diikuti dengan rasa pusing atau disfungsi
renal menjadi lebih berat, maka penting untuk menurunkan dosisnya. Pada
retensi potassium yang tidak berespon dengan diuretic, dosis ACE juga perlu
diturunkan.
Baik ACE inhibitor maupun ARBs memiliki efek serupa terhadap tekanan darah,
fungsi ginjal, dan potassium. Sehingga efek samping kedua obat tersebut serupa
pula.
Seperti dengan pemakaian ACEI, beta blocker juga sebaiknya dimulai dalam
dosis rendah, diikuti dengan peningkatan dosis secara gradual jika dosis rendah
telah dapat ditoleransi. Dosis beta blocker sebaiknya ditingkatkan hingga dosis
yang terbukti efektif pada suatu penelitian klinis (Tabel 4). Namun, tidak seperti
ACEI, dimana dapat ditingkatkan secara cepat, penyesuaian dosis beta blocker
sebaiknya tidak lebih cepat dari interval 2 minggu, karena dosis inisiasi dan/atau
peningkatan dosis agen ini dapat memperburuk retensi cairan akibat
berkurangnya dukungan adrenergic pada jantung dan sirkulasi. Maka dari itu,
penting untuk mengoptimalkan dosis diuretic sebelum memulai terapi beta
blocker. Peningkatan retensi cairan biasanya dapat diatasi dengan penambahan
dosis diuretic. Pada beberapa pasien, dosis beta blocker perlu diturunkan.
Efek samping dari beta bloker biasanya terkait dengan komplikasi yang timbul
dari penurunan sistem saraf adrenergic. Reaksi ini umumnya terjadi beberapa
hari setelah permulaan terapi dan biasanya responsive setelah dosis dikurangi.
Terapi betabloker dapat menyebabkan bradykardia dan/atau eksaserbasi heart
block. Maka dari itu, dosis beta blocker sebaiknya diturunkan jika heart rate
menurun hingga <50>1 receptor yang dapat mengakibatkan efek vasodilatasi.
Antagonis Aldosteron
Maka dari itu, pendekatan terapeutik pada pasien dengan HF akut sebaiknya
disesuaikan dengan keadaan hemodinamika pasien. Tujuannya sebaiknya, jika
memungkinkan, merestorasi profil hemodinamika pasien (Profil A). Pada
beberapa keadaan, kondisi hemodinamika pasien dapat diperkirakan melalui
pemeriksaan klinis. Sebagai contoh, pasien dengan tekanan pengisian LV yang
meningkat dapat memberikan gejala retensi cairan (ronchi, elevasi vena jugular,
dan edema perifer) dan dikatakan sebagai basah sedangkan pasien dengan
cardiac output yang menurun dan dengan peningkatan SVR biasanya memiliki
perfusi jaringan yang buruk dan bermanifestasikan dinginnya ekstremitas distal
sehingga dikatakan sebagai dingin. Namun, perlu ditekankan bahwa pasien
dengan gagal jantung kronis mungkin saja tidak ditemukan ronchi atau adanya
edema perifer pada kunjungan pertama dengan dekompensasi akut, sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan pengisian tidak terdeteksi. Pada pasien
seperti ini, lebih tepat untuk dilakukan pemeriksaan hemodinamika secara
invasive.
Pasien yang tidak mengalami kongesti dan mempunyai perfusi jaringan yang
normal dikatakan sebagai kering dan hangat. Jika pasien HF akut masuk RS
dengan profil A, maka gejalanya seringkali akibat keadaan diluar penyebab HF
(mis. penyakit pulmoner atau hati, atau transient myocardial ischemia). Akan
tetapi, pasien HF akut lebih sering datang dengan gejala kongestif yang hangat
dan basah (Profil B), dimana penatalaksanaan tekanan pengisian dengan
diuretic dan vasodilator diperlukan untuk menurunkan tekanan pengisian LV.
Profil B termasuk kebanyakan pasien dengan edema pulmoner akut.
Pasien dapat pula datang dengan gejala kongesti dan dengan pengingkatan SVR yang bersifat dingin dan
basah (Profil C). Pada pasien ini, cardiac output dapat meningkat dan tekanan pengisian LV diturunkan
dengan menggunakan vasodilator intravena. Agen inotropik intravena dengan kerja vasodilatasi
(dobuthamin, dopamine dosis rendah, milrinone ) memperbaiki cardiac output dengan menstimulasi
kontraktilitas myokard sehingga meringankan fungsi jantung.
Vasodilators
Nitroglycerin 20 g/menit 40400 g/menit
Nitroprusside 10 g/menit 30350 g/menit
Nesiritide Bolus 2 g/kg 0.010.03 g/kg per menita
Inotropes
Dobutamine 12 g/kg per menit 210 g/kg per menitb
Vasoconstrictors
Dopamine for hypotension 5 g/kg per menit 515 g/kg per menit
Epinephrine 0.5 g/kg per menit 50 g/kg per menit
Phenylephrine 0.3 g/kg per menit 3 g/kg per menit
Vasopression 0.05 units/menit 0.10.4 units/ menit
a
Biasanya <4>
b
Inotrope juga memiliki kemampuan vasodilators.
c
Diakui diluar Amerika Serikat untuk penanganan gagal jantung akut
Vasodilator
Hipotensi merupakan efek samping yang paling sering terjadi pada ketiga agen
vasodilatasi tersebut, walaupun nesiritide dianggap yang paling kurang efeknya.
Hipotensi biasanya terkait dengan bradykardia, terutama dengan penggunaan
nitroglycerin. Ketiga obat tersebut dapat menyebabkan vasodilatasi arteri
pulmoner, dimana dapat memperburuk hypoxia pada pasien dengan
abnormalitas ventilasi-perfusi.
Agen Inotropic
Vasokonstriktor