Anda di halaman 1dari 16

BAB.

I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Hutan merupakan potensi atau kekayaan alam yang apabila dikelola


dengan baik dan bijak akan memberikan manfaat yang besar bagi hidup dan
kehidupan, tidak saja bagi manusia melainkan juga bagi seluruh kehidupan
dialam ini .Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang dapat
ditawarkan untuk memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan tanaman yang
juga dapat diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut
Alviya dan Suryandari (2006), agroforestri mempunyai fungsi sosial, ekonomi
dan ekologi. Dengan pola agroforestri diharapkan tujuan pemanfaatan hutan
rakyat untuk penanaman kayu penghasil pulp dapat mengakomodir tujuan
utamanya yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap
mengindahkan prinsip-prinsip kelestarian hutan. Keberadaan pohon dalam
agroforestry mempunyai dua perananutama. Pertama, pohon dapat
mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif
pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan
energi, dan menahan daya perusak air dan angin.
Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang berfungsi
produktif dan protektif (mempertahankan keanekaragaman hayati, ekosistem
sehat, konservasi air dan tanah, lubuk C daratan), sehingga seringkali dipakai
sebagai salah satu contoh sistem pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
Kenyataannya, agroforestri yang dipraktekkan masyarakat dengan menanam
pohon di lahan milik mereka, keberadaannya sering diabaikan dalam diskusi
pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Agroforestri dianggap bukan bagian dari
hutan tanaman (forestry plantation). Oleh karena itu, usaha mengubah paradigma
lama tentang agroforestri perlu dilakukan. Di lain pihak, agroforestri berpotensi
besar dalam mensukseskan revolusi hijau (regreening revolution) yang dilakukan
oleh petani. Tetapi sayangnya agroforestri menghadapi lima kendala utama, yaitu;
1. Masih simpang siurnya terminologi hutan, perkebunan, dan penghijauan
(reforestation) yang dipakai, sehingga seringkali menimbulkan kerancuan
terutama bila dikaitkan dengan penguasaan dan penggunaan lahan.
2. Terbatasnya penyediaan bibit berkualitas tinggi, yang dibutuhkan terutama
pada stadia awal pembentukan agroforestri.
3. Terbatasnya ketrampilan masyarakat dalam mengelola lahan dan
kemampuan mengatur produksi tanamannya yang sesuai dengan
permintaaan pasar.
4. Adanya peraturan penjualan kayu yang rumit yang cukup menghambat
akses pasar bagi produk lahan yang dikelola oleh masyarakat.
Pada kondisi saat ini hubungan antara agroforestri dan hutan tanaman bisa
saling menguntungkan, netral ataupun kompetitif tergantung pada kemampuan
pengambil kebijakan (inter)nasional dalam mengkemas dan bernegoisasi pada
skala yang lebih besar. Pada umumnya perkebunan skala besar beroperasi dengan
memperoleh subsidi dari pemerintah (baik langsung atau tidak langsung, yang
sebagian didasarkan pada servisnya terhadap lingkungan), sebaliknya untuk
agroforestri tidak ada subsidi sama sekali.
Agroforestri merupakan salah satu bentuk penggunaan lahan secara
multitajuk yang terdiri dari campuran pepohonan, semak dengan atau tanaman
semusim yang sering disertai dengan ternak dalam satu bidang lahan. Komposisi
yang beragam tersebut menjadikan agroforestri memiliki fungsi dan peran yang
lebih dekat dengan hutan dibandingkan dengan pertanian, perkebunan, lahan
kosong atau lahan terlantar (Widianto dkk, 2003). Pola agroforestri ini di Provinsi
Lampung banyak diterapkan di hutan rakyat. Pemerintah menetapkan hutan
berdasarkan fungsi pokok yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan
produksi (Undang-undang no 41 Tahun 1999). Hutan tanaman rakyat adalah hutan
tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok masyarakat untuk
meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur
dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan (Permenhut, 2007). Hutan
rakyat mempunyai potensi besar yang mampu menyediakan bahan baku industri
kehutanan. Potensi hutan rakyat tersebut mencakup populasi jumlah pohon dan
banyaknya rumah tangga yang mengusahakan tanaman kehutanan. Luas hutan
rakyat di Indonesia kurang lebih mencapai 1.560.229 ha atau 1,13% dari total
kawasan hutan di Indonesia (DepartemenKehutanan, 2011). Potensi luas hutan
rakyat di Provinsi Lampung mencapai 53.687,5 ha. Luas potensi hutan rakyat
tersebut 8,30% berada di Kabupaten Pringsewu yaitu mencapai 4.437,5 ha (Dinas
Kehutanan, 2013.

1.2.Tujuan dan Sasaran Agroforestry

Agroforestry merupakan bentuk dari sistem pertanian yang orisinil di


daerah-daerah yang semula lahannya berupa hutan. Sistem agroforestry
memiliki peluang yang menjanjikan dengan produksi tanaman semusim dan
tahunan, tetapi juga mengintegrasikan usaha peternakan. Secara ekologis
agronomis, ternyata dapat menunjukkan banyak manfaat yang tidak dijumpai
pada sistem agroforestry maka secara umum pohon-pohon akan menyediakan
struktur pemanenan di atas dan di bawah tanah bagi sistem tanam (Arief, 2001).
Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil
suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan
memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan ini dicirikan
antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu
dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Adapun yang menjadi tujuan dari
pelaksanaan sistem agroforestry menurut Von Maydell (dalam Hariah et al.)
yakni : menjamin dan memperbaiki kebutuhan pangan, memperbaiki penyediaan
energi lokal khususnya produksi kayu bakar, meningkatkan dan memperbaiki
secara kualitatif dan diversifikasi bahan mentah kehutanan maupun pertanian,
memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan khususnya pada daerah dengan
persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai,
memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa
lingkungan setempat (Hariah et al , 2003).
BAB.II
PENDAHULUAN

Sebagian besar hutan alam di Indonesia termasuk dalam hutan hujan


tropis. Banyak para ahli yang mendiskripsi hutan hujan tropis sebagai ekosistem
spesifik, yang hanya dapat berdiri mantap dengan keterkaitan antara komponen
penyusunnya sebagai kesatuan yang utuh. Keterkaitan antara komponen penyusun
ini memungkinkan bentuk struktur hutan tertentu yang dapat memberikan fungsi
tertentu pula seperti stabilitas ekonomi, produktivitas biologis yang tinggi, siklus
hidrologis yang memadai dan lain-lain.
Penanaman berbagai macam pohon dengan atau tanpa tanaman setahun
(semusim) pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani di Indonesia.
Contoh ini dapat dilihat dengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat
tinggal petani. Praktek ini semakin meluas belakangan ini khususnya di daerah
pinggiran hutan dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas.

1. Pengertian Agroforestry

Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah


satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu
(pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu
atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen
ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis
dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.
Agroforestry telah menarik perhatian peneliti-peneliti teknis dan sosial
akan pentingnya pengetahuan dasar pengkombinasian antara pepohonan dengan
tanaman tidak berkayu pada lahan yang sama, serta segala keuntungan dan
kendalanya. Penyebarluasan agroforestry diharapkan bermanfaat selain
mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumber daya hutan, dan
meningkatnya mutu pertanian serta menyempurnakan intesifikasi dari
diversifikasi silvikultur (Hariah et al, 2003).
2. Sejarah Perkembangan Agroforestry

Pemikiran tentang pengkombinasian komponen kehutanan dengan


pertanian sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Pohon-pohon telah
dimanfaatkan dalam sistem pertanian sejak pertama kali aktivitas bercocok
tanam dan memelihara ternak dikembangkan. Sekitar tahun 7000 SM terjadi
perubahan budaya manusia dalam mempertahankan eksistensinya dari pola
berburu dan mengumpulkan makanan ke bercocok tanam dan beternak. Sebagai
bagian dari proses ini mereka menebang pohon, membakar serasah dan
selanjutnya melakukan budidaya tanaman. Dari sini lahirlah pertanian tebas
bakar yang merupakan awal agroforestry.
Tradisi pemeliharaan pohon dalam bentuk kebun pada areal perladangan,
pekarangan dan tempat-tempat penting lainnya oleh masyarakat tradisional
itu dikarenakan nilai-nilainya yang dirasakan tinggi sejak manusia hidup dalam
hutan. Menurut Hariah (2003) pada akhir abad XIX, pembangunan hutan
tanam menjadi tujuan utama. Agroforestry dipraktekkan sebagai sistem
pengelolaan lahan. Pada pertengahan 1800-an dimulai penanaman jati di sebuah
daerah di Birma oleh Sir Dietrich Brandis. Penanaman jati dilakukan melalui
taungya, diselang-seling atau dikombinasikan dengan tanaman pertanian.
Kelebihan system.
ini bukan hanya dapat menghasilkan bahan pangan, tetapi juga dapat
mengurangi biaya pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman yang memang
sangat mahal. Selanjutnya taungya dikenal di Indonesia sebaga itumpang
sari.Banyak ahli yang berpendapat bahwa sistem taungya adalah cikal bakal
agroforestri modern. Agroforestry klasik atau tradisional sifatnya lebih
polikultur dan lebih besar manfaatnya bagi masyarakat setempat dibandingkan
agroforestry modern. Agroforestry modern hanya melihat komuninasi antara
tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Dalam
agroforestry modern, tidak terdapat lagi keragaman kombinasi yang tinggi dari
pohon yang bermanfaat atau juga satwa liar yang menjadi terpadu dari sistem
tradisional (Hariah K et al, 2003).

3. Ruang Lingkup Agroforestry

Pada dasarnya agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu :


kehutanan, pertanian, dan peternakan. Masing-masing komponen sebenarnya
dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan.
Hanya saja sistem-sistem tersebut umumnya ditujukan pada produksi satu
komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Menurut Saad (2002)
Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan
bentuk kombinasi yakni:
a. Agrosilvikultur merupakan kombinasi tanaman dan pohon, dimana
penggunaan lahan secara sadar untuk memproduksi hasil-hasil
pertaniandan kehutanan.
b. Silvopastura merupakan kombinasi padang rumput (makanan ternak
dan pohon), pengelolaan lahan hutan yang memproduksi hasil kayu
dengan, dan sekaligus pemeliharaan ternak.
c. Agrosilvopastural merupakan kombinasi tanaman, padang
rumput (makanan ternak dan pohon) pengelolaan lahan hutan untuk
memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara bersamaan dan
sekaligus memelihara hewan ternak.
d. Silvofishery merupakan kombinasi kegiatan kehutanan dan perikanan.
e. Apiculture merupakan budi daya lebah madu yang dilakukan pada
komponen kehutanan.
f. Sericulture merupakan budi daya ulat sutra yang dilakukan pada
komponen kehutanan.
Dalam bahasa Indonesia , kata agroforestry dikenal dengan istilah wana
tani yang artinya adalah menanam pepohonan di lahan pertanian. Menurut De
foresta dan Michon (dalam Hariah et al.) agroforestry dapat dikelompokkan
menjadi dua sistem yakni:
a. Agroforestry sederhana merupakan sistem pertanian di mana
pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih jenis
tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi
petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau
dengan pola lainnya misalnya berbaris dalam larikan sehingga
membentuk lorong/pagar.
b. Agroforestry kompleks merupakan sistem pertanian menetap yang
melibatkan banyak jenis pepohonan (berbasis pohon) baik sengaja
ditanam maupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan
dikelola petani mengikuti pola tanam dan ekosistem yang menyerupai
hutan, contohnya hutan dan kebun.

4. Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Agroforestry

Terdapat empat aspek dasar yang mempengaruhi keputusan petani untuk


menerapkan atau tidak menerapkan agroforestri, yaitu:
a. Kelayakan (feasibility)
b. Keuntungan (profitability)
c. Dapat tidaknya diterima (acceptibility)
d. Kesinambungan (sustainability)

5. Kelayakan (Feasibility)

Faktor kelayakan mencakup aspek apakah petani mampu mengelola


agroforestri dengan sumber daya dan teknologi yang mereka punyai, apakah
mereka mampu untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan sumber
daya dan teknologi tersebut.

a. Sumber Daya yang Tersedia


Status ekonomi
Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang tertutup dan tidak ada
campur tangan manusia. Masuknya kepentingan manusia secara terbatas
misalnya pengambilan hasil hutan untuk subsisten tidak mengganggu hutan dan
fungsi hutan. Tekanan penduduk dan ekonomi yang semakin besar
mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif (misalnya penebangan
kayu) dan bahkan penebangan hutan untuk penggunaan yang lain misalnya
perladangan, pertanian atau perkebunan. Gangguan terhadap hutan semakin
besar sehingga fungsi hutan juga berubah.
Penanaman pohon-pohon ditentukan oleh faktor tingkat kekayaan
(menurut ukuran lokal) dan status lahan. Jumlah rumah tangga miskin
(menguasai lahan sempit) yang menanam pohon-pohon lebih sedikit daripada
rumah tangga kaya, demikian pula jumlah pohon yang ditanam oleh rumatangga
miskin lebih sedikit daripada jumlah pohon rumah tangga kaya (menguasai
lahan luas). Rumah tangga miskin yang menguasai lahan sempit lebih cenderung
menggunakan lahannya untuk tanaman pangan atau tanaman
perdagangan daripada tanaman pohon-pohon (Brokensha dan Riley, 1987).
Di hutan tumbuh beraneka spesies pohon yang menghasilkan kayu dengan
berbagai ukuran dan kualitas yang dapat dipergunakan untuk bahan bangunan
(timber). Kayu bangunan yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi sangat
tinggi.
Di hutan tumbuh beraneka spesies pohon yang menghasilkan kayu dengan
berbagai ukuran dan kualitas yang dapat dipergunakan untuk bahan bangunan
(timber). Kayu bangunan yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi sangat
tinggi.

Luas lahan

Hutan menempati ruangan (space) di permukaan bumi, terdiri dari


komponen-komponen tanah, hidrologi, udara atau atmosfer, iklim, dan
sebagainya dinamakan lahan. Lahan sangat bermanfaat bagi berbagai
kepentingan manusia sehingga bisa memiliki nilai ekonomi yang
tinggi. Pemilikan lahan yang sempit cenderung mengurangi minat budidaya
pohonpohon Peningkatan kepadatan penduduk berarti peningkatan ketersediaan
tenaga kerja per unit lahan, sehingga petani lebih memilih tanaman-
tanaman yang lebih intensif (Berenschot et al., 1988: Pengaruh luas lahan
terhadap pilihan praktek agroforestri tergantung pada faktor lainnya, misalnya
ketersediaan alternatif sumber-sumber ekonomi
Berdasarkan penelitiannya pada masyarakat petani di Loker (1993)
menunjukkan bahwa dalam kondisi alam yang sulit (lahan tidak subur atau
miskin) petani Peru telah mengembangkan sistem pertanian campuran, yang
mencakup budidaya tanaman setahun (a.l. padi, jagung, ubi kayu), budi daya
tanaman tahunan (a.l. sitrus, mangga
Agroforestri memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap jasa
lingkungan (environmental services) antara lain mempertahankan fungsi hutan
dalam mendukung DAS (daerah aliran sungai),mengurangi konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer, dan mempertahankan keanekaragaman hayati.
Mengingat besarnya peran agroforestri dalam mepertahankan fungsi DAS dan
pengurangan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer melalui penyerapan gas
CO2 yang telah ada di atmosfer oleh tanaman dan mengakumulasikannya dalam
bentuk biomasa tanaman, maka agroforestri sering dipakai sebagai salah satu
contoh dari Sistem Pertanian Sehat (Widianto, et al. 2003).

6. Tenaga kerja dan alokasinya

Pengelolaan agroforestri melibatkan suatu organisasi sosial. Pada tingkat


keluarga atau rumah tangga terwujud pembagian kerja antara laki-laki
dan perempuan, orang tua dan anak-anak. Pengelolaan agroforestri oleh suatu
keluarga atau rumah tangga merupakan bagian dari keseluruhan pengelolaan
sumber daya keluarga atau rumah tangga. Ketersediaan tenaga kerja dan
pola pembagian kerja dalam keluarga atau ruma htangga mempengaruhi
pilihannya untuk mengembangkan agroforestri. Pengaruh faktor ketersediaan
tenaga kerja terhadap pilihan budi daya pohon pohon ditunjukkan oleh kasus di
pedesaan Jawa (Berenschot et al.,1988; Van Der Poel dan Van Dijk, 1987) dan
Afrika bagian Timur (Warner, 1995). Rumah tangga yang kekurangan tenaga
kerja pada musim-musim tertentu karena kegiatan migrasi cenderung
membudidayakan pohon-pohon karena budi daya pohon-pohon membutuhkan
masukan tenaga kerja yang rendah dan memberikan pendapatan yang relatif
tinggi.
cenderung meninggalkan pertaniannya dan bekerja di sektor non-pertanian
(offfarm). Sehingga beban tenaga kerja perempuan cenderung bertambah berat,
yakni bukan hanya bertanggung jawab untuk kegiatan reproduksi melainkan
juga untuk kegiatan produksi yakni bekerja pada lahan pertaniannya. Peran
tenaga kerja perempuan tersebut tergantung ketersediaan tenaga kerja anak
dewasa yang dapat membantu bekerja dan keberadaan anak bayi dan balita.

7. Teknologi pendukung

Banyak penelitian yang menghasilkan rekomendasi penanganan dan


pemecahan masalah yang dihadapi petani dalam mengelola agroforestri.
Kenyataannya, banyak petani yang tidak melaksanakan apa yang
direkomendasikan oleh peneliti. Alasan utama yang menyebabkan penolakan
adopsi inovasi di tingkat petani:
a. Terdapat perbedaan pandangan antara penyedia dengan pelaku
teknologi
b. Ada hambatan komunikasi antara penyedia dengan pelaku teknologi.
c. Penyeragaman teknologi untuk berbagai plot pada berbagai bentang
lahan.

8. Orientasi produksi

Alasan utama yang mendasari keputusan rumah tangga petani untuk


menerapkan agroforestri adalah keuntungan finansial dari hasil pohon. Namun
banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemenuhan kebutuhan sehari-hari
yang dapat disediakan dari sistem agroforestri merupakan pendorong utama
sebagian besar rumah tangga petani untuk menanam pohon. Perubahan
pertanian dari yang semula subsisten menjadi semakin komersial menyebabkan
penanaman pohon pada skala petani menjadi lebih rentan terhadap pengaruh
ekonomi. Kemudahan akses ke pasar untuk menjual hasil pohon menciptakan
peluang terciptanya sumber penghasilan, dan memberikan peluang untuk
menukar input yang semula tersedia dari pohon dengan input lain, misalnya
pupuk.

9. Konsep ekonomi

Sistem agroforestri dapat dikatakan menguntungkan apabila 1) dapat


menghasilkan tingkat output yang lebih banyak dengan menggunakan
jumlah input yang sama, atau 2) membutuhkan jumlah input yang lebih rendah
untuk menghasilkan tingkat output yang sama. Kondisi ini dicapai apabila
ada interaksi antar komponen yang saling menguntungkan baik dari segi
biofisik, maupun ekonomi. Interaksi biofisik (dalam Bahan Ajaran 4)
sebenarnya mencerminkan interaksi ekonomi, apabila output fisik per satuan
lahan diubah menjadi nilai uang per satuan biaya faktor produksi. Seperti juga
dalam interaksi biofisik, interaksi ekonomi antar komponen dalam sistem
agroforestri dapat bersifat menguntungkan, netral, maupun kompetitif. Dasar
penerapan agroforestri adalah interaksi biofisik yang positif, yang akan
menghasilkan interaksi ekonomi yang positif pula Kenaikan output pada tingkat
sumber daya yang sama, dapat disebabkan oleh kenaikan jumlah output fisik
atau kenaikan harga per satuan output. Yang pertama mungkin disebabkan
interaksi biofisik yang positif, yang kedua dapat disebabkan kualitas produk atau
waktu panen yang tepat. Demikian juga penurunan biaya input dapat
disebabkan oleh penurunan jumlah output yang dibutuhkan, atau penurunan
harga per satuan input. Pada umumnya, interaksi biofisik yang positif akan
menghasilkan penurunan biaya input, misalnya dari segi tenaga kerja dan
penggunaan sumber daya yang lain.
Adanya naungan pohon dapat menekan pertumbuhan gulma, sehingga
kebutuhan tenaga kerja berkurang. Dengan adanya berbagai komponen dengan
waktu panen yang berbeda, distribusi tenaga kerja menjadi merata. Contoh
yang lain, di Costa Rica kopi yang ditanam di bawah naungan Cordia alliodora
mengalami panen raya 2,5 minggu lebih lambat dibandingkan dengan yang
tanpa naungan (Hoekstra, 1990). Hal ini membuat petani memiliki posisi tawar
yang relatif tinggi, karena terhindar dari surplus produksi pada saat yang
bersamaan.
a. Kurva kemungkinan produksi
Analisis ekonomi terhadap suatu sistem agroforestri harus
memperhatikan ciriciri sistem agroforestri. Hal itu dapat dijelaskan
dengan penggunaan kurva kemungkinan produksi bagi kombinasi
produksi tanaman setahun dan tanaman tahunan/pohon (Gambar
1). Kurva Kemungkinan Produksi Jangka Pendek (Nair, 1993).
Pada kondisi nyata di lapangan, produksi dari suatu sistem agroforestri
membutuhkan jangka waktu lama untuk dapat menghasilkan produk
dari spesies tanaman tahunan. Selain itu manfaat keberadaan sistem
agroforestri terhadap lingkungan tidak bisa dilihat dalam waktu
pendek.
b. Cara melakukan analisis ekonomi terhadap sistem agroforestry
Tidak seperti sistem produksi yang lain, agroforestri bertujuan untuk
kesinambungan produksi. Oleh karena itu, salah satu keuntungan yang
diperoleh adalah mencegah terjadinya penurunan output dari sistem
produksi masa kini. Salah satu karakteristik agroforestri adalah
terjadinya penundaan memperoleh sebagian keuntungan, sedangkan
biaya produksi harus dikeluarkan pada awal pelaksanaan. Oleh karena
itu, analisis jangka pendek menghasilkan taksiran keuntungan yang
lebih rendah dari sesungguhnya, dan hasilnya seolah-olah tidak
ekonomis.

10. Penguasaan lahan


Penguasaan lahan (property right) sangat penting dalam pelaksanaan
agroforestri. Apabila tidak ada kepastian penguasaan lahan, maka insentif untuk
menanam pohon/agroforestri menjadi sangat lemah, mengingat sistem
agroforestri merupakan strategi usaha tani dalam jangka panjang. Investasi yang
dilakukan dalam pembukaan lahan dan penanaman pohon akan dinikmati dalam
waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu diperlukan kepastian pengusahaan
lahan dan pohon untuk memberikan jaminan kepada petani untuk menikmati
hasil panen.
BAB.III
PENUTUP
Kesimpulan

Agroforestry menurut Huxley (dalam Suharjito et al.) merupakan salah


satu sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan tanaman berkayu
(pepohonan, perdu, bambu, rotan dan lainnya) dengan tanaman tidak berkayu
atau dapat pula dengan rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen
ternak atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk interaksi ekologis
dan ekonomis antara tanaman berkayu dengan komponen lainnya.Pada dasarnya
agroforestry terdiri dari tiga komponen pokok yaitu: kehutanan, pertanian, dan
peternakan. Agroforestry utamanya diharapkan dapat membantu
mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna
menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem keberlanjutan
ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari
waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan.
Tugas

AGROFORESTRY
Pengertian Dan Sejarah Agroforestry

Oleh:

SOFIANA SARI LAMALIGA


M1A2 13 047

JURUSAN ILMU LINGKUNGAN


FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017

Anda mungkin juga menyukai