Anda di halaman 1dari 54

REFERAT/CLINICAL SCIENCE SESSION

*Prodi Profesi Dokter/ G1A216096/ Juli 2017

**Pembimbing/ dr. Wendy Rachman, Sp.U

UROLITHIASIS DAN UROSEPSIS

Rts Wahyu Rizky, S. Ked * dr. Wendy Rachman, SpU**

PRODI PROFESI DOKTER

BAGIAN BEDAH RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2017

1
LEMBAR PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

UROLITHIASIS DAN UROSEPSIS

Oleh:
Rts Wahyu Rizky, S.Ked

PRODI PROFESI DOKTER

BAGIAN BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI/RSUD. RADEN MATTAHER PROV. JAMBI

Jambi, Juli 2017


Pembimbing

dr. Wendy Rachman, SpU

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas izin dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat (Clinical Science
Session) yang berjudul Urolithiasis dan Urosepsis ini.

Penulisan referat ini dibuat dan disusun untuk memenuhi dan


melengkapi syarat menjalani kepaniteraan klinik senior di bagian Bedah RSUD
Raden Mattaher Jambi. Dalam pembuatan dan penulisan referat ini, penulis
banyak menerima bantuan oleh berbagai pihak, baik berupa saran, masukan,
bimbingan, dorongan dan motivasi secara moril, serta data maupun informasi.
Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada dr. Wendy Rachman, Sp.U atas bimbingan yang diberikan sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat ini serta kepada semua pihak yang telah
membantu.

Sepenuhnya penulis menyadari laporan referat ini masih jauh dari


sempurna dan masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan penulisan referat ini. Terlepas dari segala kekurangan yang ada,
semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Atas perhatiannya penulis
ucapkan terima kasih

Wassalamualaikum Wr.Wb

Jambi, Juli 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan..........................................................................................ii
Kata Pengantar...................................................................................................iii
Daftar Isi.............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1 Latar belakang..............................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................3


2.1. Anatomi dan Fisiologi Traktus Urinarius....................................................3
2.2. Definisi Urolitiasis......................................................................................13
2.2.1 Etiologi Urolitiasis..........................................................................13
2.2.2 Epidemiologi Urolitiasis.................................................................15
2.2.3 Patofisiologi Urolitiasis...................................................................15
2.2.4 Gejala Klinis Urolitiasis..................................................................22
2.2.5 Diagnosa Urolitiasis........................................................................28
2.2.6 Diagnosa Banding Urolitiasis..........................................................31
2.2.7 Penatalaksanaan Urolitiasis.............................................................32
2.2.8 Prognosis Urolitiasis.......................................................................38
2.3 Urosepsis.................................................................................................39
2.3.1 Edpidemiologi.................................................................................39
2.3.2 Etiologi............................................................................................39
2.3.4 Patofisiologi....................................................................................39
2.3.5 Diagnosis.........................................................................................41
2.3.6 Penatalaksanaan..............................................................................42
BAB III KESIMPULAN..................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistem urinarius merupakan salah satu sistem ekskretorius tubuh yang
terdiri dari dua buah ginjal, yang memproduksi urine sebagai hasil dari sisa
metabolisme, nitrogen dari urea dan asam urat, kelebihan ion dan beberapa obat-
obatan. Dari ginjal, urine akan dibawa ke vesica urinaria melalui ureter, dan
kemudian dikeluarkan melalui uretra. Dalam keadaan patologis yang dapat
disebabkan oleh infeksi, tumor, ataupun pembentukan batu di dalam saluran
kemih akan mengganggu fungsi traktus urinarius tersebut.
Urolithiasis merupakan penyakit yang salah satu dari gejalanya
adalah pembentukan batu di dalam saluran kemih. Penyakit ini diduga telah ada
sejak peradaban manusia zaman Babilonia dan zaman Mesir kuno, karena
ditemukan batu diantara tulang panggul kerangka mumi yang diperkirakan
berumur sekitar 7000 tahun.
Pada tahun 2000, urolithiasis merupakan penyakit terbesar kedua di
bagian urologi di seluruh rumah sakit di Amerika dengan jumlah penderita rawat
inap yaitu 177.496 pasien. Kasus urolitiasis di Rumah Sakit Sapphasitiprasong
Thailand tahun 2004-2005 meningkat dari 1591 kasus (47,5%) menjadi 1755
kasus (52,5%).
Pada tahun 2006 di Yunani, insidens urolitiasis yaitu sebesar 5-15%.
Di India, kasus urolitiasis meningkat dari tahun 1999-2001, dengan rincian tahun
1999 terdapat 298 kasus (28,1%), tahun 2000 terdapat 355 kasus (33,4%) dan
tahun 2001 terdapat 409 kasus (38,5%). Di Vietnam (2003), penyakit urolitiasis
menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit yang menyebabkan kesakitan
dengan jumlah penderita 304.200 orang.
Menurut Departemen Kesehatan RI (2004), jumlah pasien rawat inap
penderita penyakit urolithiasis di rumah sakit seluruh Indonesia yaitu 17.059
orang, meninggal 166 orang dengan Case Fatality Rate (CFR) 0,97%. Pada
tahun 2006, jumlah pasien rawat inap penderita penyakit urolithiasis di rumah
sakit seluruh Indonesia yaitu 16.251 orang, meninggal 153 orang dengan CFR
0,94%.

5
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan
aliran urine, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih dan keadaan lain yang
masih belum terungkap. Kekambuhan pembentukan batu sering muncul pada
semua jenis batu. Oleh karena itu perawatan medis pada pasien dengan batu
saluran kemih menjadi bagian yang penting. Insiden urolithiasis yang cukup
tinggi membuat penulis tertarik untuk menyusun referat mengenai urolithiasis.
Sepsis merupakan suatu Systemic Inflammation Respon Syndrome
(SIRS) yang terjadi karena adanya suatu infeksi. Sedangkan urosepsis
didefinisikan sebagai sepsis (sindrom septikemia) yang disebabkan oleh adanya
infeksi pada saluran kemih. Urosepsis merupakan bagian dari sepsis yang tingkat
keparahannya tergantung pada respon host. Penelitian pada rumah sakit di
Amerika setiap tahun lebih dari 700.000 pasien sepsis dengan angka kematian
mencapai 35-45%. Mortalitas urosepsis mencapai 20-49% bila disertai dengan
syok. Menurut Surviving Sepsis, kematian sepsis pada ICU sebesar 31,1%, dan
kematian sepsis yang terjadi di rumah sakit sebesar 39,8%. Pasien yang lebih
rentan mengalami urosepsis yaitu pasien usia lanjut, penderita diabetes, pasien
immunosupresif (penerima transplantasi ginjal), pasien kemoterapi kanker, dan
AIDS.
Mikroorganisme penyebab infeksi primer di traktus urinarius yaitu
golongan kuman koliform gram negatif seperti Eschericia coli (50%), Proteus spp
(15%), Klebsiella (15%), Enterobacter (15%), Pseudomonas aeruginosa (5%),
dan Bakteri gram positif, tetapi frekuensinya lebih kecil yaitu sekitar 15% . Gejala
klinik pada pasien urosepsis antara lain: demam, menggigil, takipnea, takikardi,
terdapat bakteri di dalam urin dan darah (bakterimia).

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Traktus Urinarius


Traktus urinarius atau yang sering disebut dengan saluran kemih
terdiri dari dua buah ginjal, dua buah ureter, satu buah kandung kemih (vesika
urinaria) dan satu buah uretra. Sistem urinaria disebut juga sebagai sistem
sekretori yaitu sistem organ yang memproduksi, menyimpan dan mengalirkan
urine. Sistem urinaria berperan penting dalam memelihara homeostasis air dan
konsentrasi elektrolit tubuh.
Sistem urinaria seluruhnya berada di bagian retroperitoneal sehingga
proses patologi, seperti obstruksi, radang, dan pertumbuhan tumor terjadi di luar
rongga abdomen tetapi gejala dan tandanya mungkin tampak di abdomen
menembus peritoneum parietal belakang.

Gambar 2.1 Anatomi Traktus Urinarius

7
Gambar 2.2. Vaskularisasi traktus urinarius

1. Ginjal
Ginjal manusia berjumlah 2 buah, terletak dipinggang, retroperitoneal
dibagian posterior dinding abdomen sedikit dibawah tulang rusuk bagian
belakang. Ginjal terletak setinggi vertebra thorakalis XII sampai ke vertebra
lumbalis III. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibanding ginjal kiri. Ia berada
disisi columna vertebra, di belakang peritoneum dan dibawah diafragma.
Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial.
Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur pembuluh darah,
sistem limpatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal.
Mempunyai ukuran panjang 7 cm dan tebal 3 cm.
Di sebelah kranial ginjal terdapat glandula suprarenal yang berwarna
kuning. Kelenjar ini bersama ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh
fasia gerota yang berfungsi sebagai barrier yang menghambat meluasnya
perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urine pada saat
terjadi trauma ginjal, menghambat penyebaran infeksi atau menghambat
metastasis tumor ginjal ke organ di sekitarnya.

8
Secara anatomi, ginjal dibagi menjadi dua bagian, yaitu korteks dan
medula ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta nefron sedangkan di dalam
medula terdapat banyak duktuli ginjal.
Ginjal mendapat aliran darah dari arteri renalis yang merupakan
percabangan dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena
renalis yang bermuara ke dalam vena cava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end
arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-cabang
dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini,
berakibat timbulnya iskemia/nekrosis. Sedangkan aliran limfe langsung menuju
nodi lymphatici preaortae. Ginjal mendapat persarafan melalui pleksus renalis
yang seratnya berjalan bersama dengan arteri renalis.
Terdapat beberapa fungsi ginjal yaitu :
a. Menyaring dan membersihkan darah dari zat-zat sisa metabolisme tubuh.
b. Mengeksresikan zat yang jumlahnya berlebihan
c. Reabsorbsi (penyerapan kembali) elektrolit tertentu yang dilakukan oleh bagian
tubulus ginjal
d. Menjaga keseimbangan asam basa dalam tubuh
e. Menghasilkan zat hormon yang berperan membentuk dan mematangkan sel-sel
darah merah (SDM) di sumsum tulang
f. Hemostasis Ginjal, mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air
dalam darah.

Gambar 2.3. Anatomi Ginjal

9
Gambar 2.4. Vaskularisasi Ginjal

Gambar 2.5 Nephron


Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya merupakan 21% dari
curah jantung atau sekitar 1.200 liter/menit. Arteri renalis memasuki ginjal
melalui hilum bersama dengan ureter dan vena renalis kemudian bercabang secara
progresif membentuk arteri interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan
arteriol aferen yang menuju ke kapiler glomerulus. Di dalam glomerulus sejumlah
besar cairan dan zat terlarut (kecuali protein plasma) di filtrasi untuk memulai
pembentukan urin. Ujung distal kapiler dari setiap glomerulus bergabung
membentuk arteriole eferen yang menuju jaringan kapiler kedua yaitu kapiler
peritubuler yang mengelilingi tubulus ginjal. Kapiler peritubulus mengosongkan
isinya ke dalam pembuluh sistem vena yang berjalan secara paralel dengan
pembuluh arteriol dan secara progresif membentuk vena interlobularis, vena

10
arkuata, vena interlobaris dan vena renalis yang meninggalkan ginjal di samping
arteri dan ureter.
Ginjal memproduksi urine yang mengandung sisa metabolisme,
nitrogen dari urea dan asam urat, kelebihan ion dan beberapa obat-obatan. Urin
merupakan larutan kompleks yang terdiri dari sebagian besar air (96%) air dan
sebagian kecil zat terlarut (4%) yang dihasilkan oleh ginjal, disimpan sementara
dalam kandung kemih dan dibuang melalui proses mikturisi.
Proses pembentukan urin, yaitu :
a. Filtrasi (penyaringan) : capsula bowman dari badan malpighi menyaring darah
dalam glomerulus yang mengandung air, garam, gula, urea dan zat bermolekul
besar (protein dan sel darah) sehingga dihasilkan filtrat glomerulus (urin
primer). Di dalam filtrat ini terlarut zat seperti glukosa, asam amino dan garam-
garam.
b. Reabsorbsi (penyerapan kembali) : dalam tubulus kontortus proksimal zat
dalam urin primer yang masih berguna akan direabsorbsi yang dihasilkan filtrat
tubulus (urin sekunder) dengan kadar urea yang tinggi.
c. Sekresi (pengeluaran) : dalam tubulus kontortus distal, pembuluh darah
menambahkan zat lain yang tidak digunakan dan terjadi reabsorbsi aktif ion
Na+ dan Cl- dan sekresi H+ dan K+. Selanjutnya akan disalurkan ke tubulus
kolektifus ke pelvis renalis.

Gambar 2.6. Proses Pembentukan Urin

11
2. Ureter
Ureter merupakan dua saluran dengan panjang sekitar 25 - 30 cm,
terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsi satusatunya adalah
menyalurkan urin ke vesika urinaria.
Ureter adalah organ yang berbetuk tabung kecil yang berfungsi
mengalirkan urine dari pielum ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang dewasa
panjangnya 20 cm. Dindingnya terdiri atas mukosa yang dilapisi oleh sel-sel
transisional, otot polos sirkuler dan longitudinal yang dapat merupakan gerakan
peristaltik (berkontraksi) guna mengeluarkan urine ke buli-buli.
Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju buli-buli, secara
anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relatif lebih sempit
daripada di tempat lain, sehingga batu atau benda asing yang berasal dari ginjal
seringkali tersangkut di tempat ini. Tempat penyempitan tersebut antara lain
adalah:
a. pada perbatasan antara pelvis renalis dan ureter atau pelvi-ureter junction
b. tempat ureter menyilang arteri iliaka di rongga pelvis
c. pada saat ureter masuk ke buli-buli

Gambar 2.7. Anatomi Ureter

Pada kepentingan radiologis dan pembedahan, ureter dibagi menjadi


dua bagian yaitu :
a. ureter pars abdominalis, dari pelvis renal sampai menyilang vasa iliaka
b. ureter pars pelvika, mulai dari persilangan dengan vasa iliaka sampai masuk ke
buli-buli.

12
Di samping itu secara radiologi, ureter dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
a. ureter 1/3 proksimal, mulai dari pelvis renalis sampai batas atas sakrum
b. ureter 1/3 tengah, mulai dari batas atas sacrum sampai batas bawah sakrum
c. ureter 1/3 distal, mulai dari batas bawah sacrum sampai masuk buli-buli

Gambar 2. 8. Pembagian posisi ureter secara radiologis

Ureter menerima suplai darah yang banyak secara segmental dari


arteri yang ada sepanjang ureter yaitu aorta, a.renalis, a. testikularis (a.ovarica), a.
iliaca interna, dan a. vesicalis inferior.

3. Vesika Urinaria
Vesika urinaria adalah kantong berotot yang dapat mengempis karena
merupakan organ berongga yang terdiri dari 3 lapisan otot detrusor yang saling
beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di tengah merupakan otot
sirkular, dan paling luar merupakan otot longitudinal. Terletak 3-4 cm dibelakang
simpisis pubis. Vesika urinaria yang mampu menampung urin antara 170 - 230 ml
ini mempunyai dua fungsi yaitu:
a. Sebagai tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan tubuh.
b. Dibantu uretra, vesika urinaria berfungsi mendorong urin keluar tubuh.
Mukosa vesika urinaria terdiri atas sel-sel transisional. Pada dasar
vesika urinaria, kedua ureter dan meatus urethra internum membentuk suatu
segitiga yang disebut trigonum liautaudi. Secara anatomi, bentuk vesika urinaria
terdiri atas tiga permukaan, yaitu :
a. permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum
b. permukaan inferiolateral

13
c. permukaan posterior yang merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding
vesika urinaria.
Suplai darah berasal dari a.vesicalis superior et inferior dari a.iliaca
interna. Vana vesicalis membentuk suatu plexus yang mengalirkan darah menuju
ke v. iliaca interna. Sedangkan aliran limfatik mengalir ke pembuluh darah vesika
menuju pembuluh iliaca kemudian menuju nodus limfatikus para aorticus.

Gambar 2.9. Anatomi Vesica Urinaria

4. Uretra
Uretra adalah saluran kecil dan dapat mengembang, berjalan dari
kandung kemih sampai keluar tubuh. Pada wanita uretra pendek kurang lebih 3-5
cm dan terletak didekat vagina. Pada uretra laki laki mempunyai panjang 15
20 cm.
Secara anatomi, urethra dibagi menjadi dua bagian, yaitu urethra
posterior dan urethra anterior. Urethra dilengkapi dengan sfingter urethra eksterna
yang terletak pada perbatasan urethra posterior dan anterior, serta sfingter urethra
interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan urethra. Sfingter urethra
interna terdiri dari otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatis sehingga pada
saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sedangkan sfingter urethra eksterna
terdiri dari otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat berkemih, sfingter ini
terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing.

14
Gambar 2.10. Anatomi Uretra

Urethra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-


buli melalui proses miksi. Proses berkemih normal memerlukan koordinasi proses
fisiologik berurutan yang dibagi menjadi 2 fase, yaitu fase penyimpanan dan fase
pengosongan. Proses ini melibatkan mekanisme volunter dan involunter karena
secara anatomis sistem saluran kemih bagian bawah mendapatkan inervasi dari
serabut saraf aferen yang berasal dari vesica urinaria dan uretra serta serabut saraf
eferen berupa sistem parasimpatik, simpatik, dan somatik. Spinchter urethra
external dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter yang
diperantarai oleh N. pudendus, sedangkan m. detrusor vesicae dan spinchter
urethra interna berada dibawah control sistem saraf otonom, yang mungkin
dimodulasi oleh korteks otak.
Pada fase pengisian (penyimpanan), akan timbul sensasi berkemih
pertama kali yang biasanya timbul pada saat volume vesica urinaria terisi antara
150-350 ml dari kapasitas normal sekitar 300-600 ml. Pada keadaan ini, serabut
aferen dari dinding vesica urinaria menerima impuls regangan (stretch receptor)
yang dibawa oleh N. pelvicus ke corda spinalis S2-4 (Nucleus intermediolateralis
cornu lateralis medulla spinalis/NILCLMS S2-4) dan diteruskan sampai ke pusat
saraf cortikal dan subcortikal (ganglia basalis dan cerebellum) melalui tractus
spinothalamicus. Sinyal ini akan memberikan informasi kepada otak tentang

15
volume urin dalam vesica urinaria. Pusat subcortikal menyebabkan m. detrusor
vesica urinaria berelaksasi dan m. spinchter uretra interna berkontraksi akibat
peningkatan aktivitas saraf simpatis yang berasal dari NILCLMS Th 10-L2 yang
dibawa oleh N. hipogastricus sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan
seseorang mengalami desakan berkemih. Ketika pengisian vesica urinaria
berlanjut, rasa pengembangan vesica urinaria disadari, dan pusat cortical (pada
lobus frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin.
Pada saat vesica urinaria terisi penuh dan timbul keinginan untuk
berkemih, dimulai fase pengosongan, timbul stimulasi sistem parasimpatik yang
berasal dari NILCLMS S2-4 dan di bawa oleh N. eregentes, menyebabkan
kontraksi otot m. detrusor vesicae. Selain itu terjadi inhibisi sistem simpatis yang
menyebabkan relaksasi spinchter urethra interna. Miksi kemudian terjadi jika
terdapat relaksasi spinchter urethra eksterna akibat penurunan aktivitas serabut
saraf somatik yg dibawa oleh N. pudendus dan tekanan intra vesical melebihi
tekanan intraurethra.

Gambar 2.11. Mekanisme Miksi

16
2.2 UROLITHIASIS
2.2.1 Definisi
Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras
seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan
nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. Batu ini bisa terbentuk
di dalam ginjal (batu ginjal), maupun di dalam kandung kemih (batu kandung
kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis,
nefrolitiasis).

Gambar 2.12 Batu pada Traktus Urinarius


2.2.2 Etiologi urolithiasis
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah
terjadinya batu saluran kemih pada seseorang, yaitu:
Faktor intrinsik itu antara lain adalah :
a. Herediter (keturunan) : penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya.
b. Umur : penyakit ini paling banyak didapatkan pada usia 30-50 tahun.
c. Jenis Kelamin : jumlah pasien laki-laki 4 kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan (4:1).
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah :
a. Geografi
Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran kemih yang
lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai daerah stone belt
seperti di India, Thailand, Indonesia, dll. Sedangkan daerah Bantu di Afrika
Selatan sangat jarang ditemukan batu saluran kemih.

17
b. Iklim dan Temperatur
Insiden tinggi ditemukan pada musim panas. Paparan sinar matahari
mengakibatkan peningkatan produksi vitamin D endogen, sehingga terjadi
hiperkalsiuria.
c. Asupan Air
Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air yang
dikonsumsi dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih.
d. Diet
Diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya penyakit
batu saluran kemih.
e. Pekerjaan

Kelaian Morfologi

Jenis Kelamin
Usia
Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau
kurang aktivitas.

air kemih
Ganngguan aliran

Mentalitas
Profesi
Ekskresi bahan pembentuk
batu meningkat
pertumbuhan kristal
agregatasi kristal
kelainan kristaluria

Supersaturasi
Perubahan fisiko-kimia
Batu Saluran Kemih

kemih
Infeksi saluran

Konstitusi Nutrisi
Ekskresi inhibitor kristal
menurun

Kelainan Metabolik

Ras
Musim
Faktor Genetik

Keturunan

Gambar 2.13 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan batu pada saluran


kemih

18
2.2.3 Epidemiologi urolithiasis
Bedasarkan perbandingan data penyakit batu saluran kemih di
berbagai Negara, dapat disimpulkan bahwa di negara yang mulai berkembang
terdapat banyak batu saluran kemih bagian bawah, terutama anak. Di Negara yang
sedang berkembang, insiden batu saluran kemih relatif rendah, baik dari batu
saluran kemih bawah maupun atas. Sedangkan di Negara yang telah berkembang
terdapat banyak batu saluran kemih bagian atas, terutama dikalangan orang
dewasa.
Setiap tahunnya penduduk Amerika Serikat menderita urolitiasis
sekitar 250.000 - 750.000. Penyakit urolitiasis umumnya lebih sering ditemukan
pada pria daripada wanita, biasanya di atas usia 30 tahun - 50 tahun.
Penelitian Tarihoran pada tahun 2001-2002 di RSUP. H. Adam Malik
Medan terdapat 105 pasien urolitiasis dengan kelompok umur terbanyak 30-50
tahun yaitu sebesar 46,6% dan jenis kelamin pria lebih banyak daripada wanita
dengan proporsi 64,8%. Berdasarkan hasil penelitian Rao di India (2006),
ditemukan insidens urolitiasis pada perempuan lebih rendah (26,6%) daripada
laki-laki (73,4%).
Penelitian yang dilakukan oleh Hardjoeno dkk pada tahun 2002-2004
di RS dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar melaporkan sebanyak 199 pasien
penderita urolitiasis dengan rasio perbandingan pria dan wanita adalah 3-4:1, dan
ditemukan jumlah kasus terbanyak pada umur 31-45 tahun yaitu sebesar 35,7%.

2.2.4 Patofisiologi urolithiasis


Secara teoritis, batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih,
terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis
urine), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan
pada pelvikalises (stenosis uretero pelvis), divertikulum, obstruksi intravesika
kronis seperti pada hiperplasi prostat benigna, striktura dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal, kemudian berada di kaliks
ginjal, pielum, infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta
seluruh kaliks ginjal. Batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal

19
memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa sehinggga disebut batu staghorn.
Kelainan atau obstruksi pada sistem pelvikalises ginjal (penyempitan
infundibulum dan stenosis uteropelvik) akan mempermudah timbulnya batu
ginjal.
Batu yang berasal dari ginjal dan berjalan menuruni ureter, paling
mungkin tersangkut pada satu dari tiga lokasi, yaitu pada sambungan uteropelvik,
pada titik ureter menyilang pembuluh darah iliaka, atau pada sambungan
ureterovesika. Batu yang tidak terlalu besar, didorong oleh peristaltik sistem
pelvikalises dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga peristaltik ureter
mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke buli-buli. Batu yang
ukurannya kecil (<5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan, sedangkan batu
yang lebih besar seringkali tetap berada di sistem pelvikalises dan ureter, dan
dapat menimbulkan obstruksi dan kelainan struktur saluran kemih bagian atas.
Banyak teori yang menerangkan proses pembentukan batu di saluran
kemih tetapi hingga kini masih belum jelas teori mana yang paling benar.
Beberapa teori pembentukan batu adalah :
1. Teori Nukleasi
Batu terbentuk didalam urine karena adanya inti batu (nukleus). Partikel-
partikel yang berada dalam larutan yang terlewat jenuh (supersaturated) akan
mengendap didalam nukleus itu sehingga akhirnya membentuk batu. Inti batu
dapat berupa kristal atau benda asing di saluran kemih.
2. Teori Matriks
Matriks organik terdiri atas serum/protein urine (albumin,globulin dan
mukoprotein) merupakan kerangka tempat diendapkannya kristal-kristal batu.
3. Teori Penghambat Kristalisasi
Urine orang normal mengandung zat-zat penghambat pembentuk kristal, antara
lain : magnesium, sitrat, pirofosfat, mukoprotein dan beberapa peptida. Jika
kadar salah satu atau beberapa zat itu berkurang, akan memudahkan
terbentuknya batu didalam saluran kemih.
Garam-garam kalsium dapat diendapkan dalam bentuk batu atau
kalkuli di dalam sistem saluran dari berbagai organ. Kalkuli dibentuk dari
berbagai zat, yang tersedia secara lokal, yaitu bahan-bahan dari sekresi organ

20
tertentu. Jadi, walaupun kalkuli-kalkuli itu sering mengandung kalsium, tetapi
pada awalnya, banyak dari kalkuli-kalkuli tersebut yang tidak mengandung
kalsium. Beberapa kalkuli terbentuk sebagai akibat dari hancurnya debris nekrotik
dalam saluran, sedangkan lainnya terbentuk dari ketidakseimbangan unsur-unsur
sekresi tertentu sedemikian rupa sehingga terjadi pengendapan dari unsur yang
biasanya larut.
Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-bahan
organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urine. Kristal-kristal tersebut
tetap berada dalam keadaan tetap terlarut (metastable) dalam urine jika tidak ada
keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal.
Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi)
yang kemudian akan mengadakan agregasi, dan menarik bahan-bahan lain
sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukurannya cukup besar,
agregat kristal masih rapuh dan belum cukup mampu menyumbat saluran kemih.
Untuk itu, agregat kristal menempel pada epitel saluran kemih, membentuk retensi
kristal, dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat sehingga
membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran kemih.
Kondisi tetap terlarut dipengaruhi oleh suhu, pH larutan, adanya
koloid di dalam urine, konsentrasi solute di dalam urine, laju aliran urine di dalam
saluran kemih atau adanya korpus alienum di dalam saluran kemih yang bertindak
sebagai inti batu. Kemih yang terus menerus bersifat asam dapat terjadi pada
asidosis metabolik dan pada keadaan pireksia, sedangkan kemih yang terus
menerus bersifat basa menyatakan adanya infeksi pada saluran kemih, keadaan
asidosis tubulus ginjal, kekurangan kalium dan pada sindrom Fanconi.
Terbentuk atau tidaknya batu di dalam saluran kemih, ditentukan juga
oleh adanya keseimbangan antara zat-zat pembentuk batu dan inhibitor, yaitu zat-
zat yang mampu mencegah timbulnya batu. Dikenal beberapa zat yang dapat
menghambat terbentuknya batu di saluran kemih, yang bekerja mulai dari proses
reabsorbsi kalsium di dalam usus, proses pembentukan inti batu atau kristal,
proses agregasi kristal, hingga retensi kristal.
Ion magnesium dikenal dapat menghambat pembentukan batu karena
jika berikatan dengan oksalat, akan membentuk garam magnesium oksalat,

21
sehingga jumlah oksalat yang akan berikatan dengan kalsium untuk membentuk
batu kalsium oksalat menurun. Demikian pula dengan sitrat, jika berikatan dengan
ion kalsium, akan membentuk garam kalsium sitrat, sehingga jumlah kalsium
yang akan berikatan dengan oksalat maupun fosfat berkurang. Hal ini
menyebabkan kristal kalsium oksalat atau kalsium fosfat jumlahnya berkurang.
Beberapa protein atau senyawa organik lain mampu bertindak sebagai
inhibitor dengan cara menghambat pertumbuhan kristal, menghambat agregasi
kristal, maupun menghambat retensi kristal. Senyawa itu antara lain adalah
glikosaminoglikan, protein Tamm Horsfall atau uromukoid, nefrokalsin, dan
osteopontin. Defisiensi zat-zat yang berfungsi sebagai inhibitor batu merupakan
salah satu faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih.
Batu saluran kemih umumnya mengandung unsur : kalsium oksalat
atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat (MAP), xantin dan
sistin. Data mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat
penting untuk usaha pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya batu residif.
Beberapa komposisi batu tersebut adalah:
a. Batu Kalsium
Batu ini paling banyak ditemui, yaitu kurang lebih 70-80% dari
seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat,
kalsium fosfat atau campuran dari kedua unsur itu.
Faktor terjadinya batu kalsium adalah :
1. Hiperkalsiuria
Hiperkalsiuria adalah kadar kalsium dalam urine lebih besar dari 250-
300 mg/hari. Terdapat 3 macam penyebab terjadinya hiperkalsiuri, antara lain :
Hiperkalsiuria absorptif yang terjadi karena adanya peningkatan absorpsi
kalsium melalui usus.
Hiperkalsiuria renal terjadi karena adanya gangguan kemampuan
reabsorpsi kalsium melalui tubulus ginjal.
Hiperkalsiuri resorptif / puasa terjadi karena adanya peningkatan resorpsi
kalsium tulang, yang banyak terjadi pada tumor paratiroid atau
hiperparatiroidisme primer.

22
2. Hiperoksaluria
Hiperoksaluria adalah ekskresi oksalat urine yang melebihi 45 g/hari. Keadaan
ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami gangguan pada usus sehabis
menjalani pembedahan usus dan pasien yang banyak mengkonsumsi makanan
yang kaya akan oksalat, diantaranya adalah : teh, kopi instan, minuman soft
drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna hijau terutama bayam.
3. Hiperurikosuria
Hiperurikosuria adalah kadar asam urat didalam urine yang melebihi 850
mg/hari. Asam urat yang berlebihan dalam urine bertindak sebagai inti batu
atau nidus untuk terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber asam urat di
dalam urine berasal dari makanan yang banyak mengandung purin/asam urat
maupun berasal dari metabolisme endogen.
4. Hipositraturia
Di dalam urine sitrat akan bereaksi dengan kalsium membentuk kalsium sitrat,
sehingga menghalangi ikatan kalsium dengan oksalat atau fosfat. Karena itu
sitrat dapat bertindak sebagai penghambat pembentukan batu kalsium.
Hipositraturia dapat terjadi karena : penyakit asidosis tubuli ginjal, atau renal
tubular acidosis, sindrom malabsorpsi, atau pemakaian diuretik golongan
tiazide dalam jangka waktu lama.
5. Hipomagnesiuria
Seperti halnya pada sitrat, magnesium bertindak sebagai penghambat
timbulnya batu kalsium, karena di dalam urine magnesium akan bereaksi
dengan oksalat menjadi magnesium oksalat sehingga mencegah ikatan
kalsium dengan oksalat.
b. Batu Struvit
Batu struvit disebut juga sebagai batu infeksi karena terbentuknya
batu ini disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman penyebab infeksi
ini adalah kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang dapat
menghasilkan enzim urease dan mengubah urine menjadi bersuasana basa melalui
hidrolisis urea menjadi amoniak. Kuman-kuman yang termasuk pemecah urea
adalah : Proteus spp, Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, dan Stafilokokus.
CO (NH3)2 + H2O 2NH3 + CO2

23
Suasana ini yang memudahkan garam-garam magnesium, amonium,
fosfat dan karbonat membentuk batu magnesium amonium fosfat (MAP) dan
karbonat apatit. Karena terdiri atas 3 kation (Ca ++ , Mg++ dan NH4+) batu ini
dikenal sebagai triple phosphate.
c. Batu Urat
Batu asam urat merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih.
Batu ini banyak diderita oleh pasien-pasien penderita gout, penyakit
mieloproliferatif, pasien yang mendapatkan terapi antikanker, dan yang banyak
menggunakan obat urikosurik diantaranya adalah sulfinpirazone, thiazide dan
salisilat. Kegemukan, peminum alkohol dan diet tinggi protein mempunyai
peluang yang lebih besar untuk mendapatkan penyakit ini. Faktor yang
menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah :
1. Urine yang terlalu asam (pH urine < 6)
2. Volume urine yang jumlahnya sedikit (<2 L/hari) atau dehidrasi.
3. Hiperurikosurik

d. Batu jenis lain


Batu sistin, batu xantin, batu triamteren dan batu silikat sangat jarang
dijumpai di Indonesia.
Table 2.1 Gambaran Komposisi batu

24
Gambar 2.14 Bentuk-bentuk batu

Gambar 2.15. Patofisiologi Urolitiasis

Batu saluran kemih dapat menimbulkan penyulit berupa obstruksi dan


infeksi saluran kemih. Manifestasi obstruksi pada saluran kemih bagian bawah
adalah retensi urine atau keluhan miksi yang lain, sedangkan saluran kemih
bagian atas dapat menimbulkan hidroureter atau hidronefrosis. Batu yang
Batu saluran kemih
dibiarkan disaluran kemih dapat menimbulkan infeksi, abses ginjal, pionefrosis,
urosepsis dan akhirnya terjadi kerusakan ginjal yang permanen (gagal ginjal)

Pielonefritis
Obstruksi Infeksi Uretritis
Sisititis

Hidronefrosis Pionefrosis
Hidroureter Urosepsis
25

Gagal ginjal
2.2.5 Gejala klinis urolithiasis
Tanda dan gejala klinis penyakit batu saluran kemih ditentukan oleh
letaknya, besarnya dan morfologi dari batu. Walaupun demikian, penyakit ini
mempunyai tanda umum, yaitu hematuria, baik hematuria nyata ataupun
mikroskopik. Selain itu, bila disertai infeksi saluran kemih, dapat juga ditemukan
kelainan endapan urin, bahkan mungkin nyeri, demam atau tanda sistemik lain.
a. Nyeri
Batu pada traktus urinarius bagian atas seringkali mengakibatkan
nyeri. Karakter nyerinya tergantung pada lokasi. Nyeri kolik renal dan nyeri renal
non-kolik adalah 2 tipe nyeri dari ginjal. Nyeri kolik renal biasanya disebabkan
oleh peregangan pada collecting system of ureter. Sedangkan nyeri renal non kolik
disebabkan distensi pada kapsul renal.
Mekanisme lokal seperti inflamasi, edema, hiperperistaltik dan iritasi
mukosa juga berperan dalam timbulnya nyeri pada pasien dengan batu ginjal.
Pada ureter, nyeri lokal dijalarkan dari distribusi persarafan ilioinguinal dan
persarafan genitofemoral dan pleksus genitalia. Nyeri juga bisa berasal dari
obstruksi yang dijalarkan dari area yang sama dengan lokasi batu pada collecting
system (flank atau costovertebral angle/CVA). Nyeri kadang-kadang timbul tiba-
tiba, dengan onset dan kuantitas nyeri yang berbeda-beda, dan kadang
membangunkan pasien dari tidurnya.
Batu pada kaliks renal dapat mengakibatkan obstruksi dan kolik renal.
Batu non obstruksi hanya menimbulkan nyeri secara periodik. Nyerinya bersifat

26
dalam, nyeri tumpul (dull ache), dirasakan pegal-pegal pada punggung dengan
intensitas yang bervariasi dari yang ringan hingga berat. Nyeri ini timbul kembali
jika pasien mengkonsumsi cairan dalam jumlah yang banyak. Nyeri ini
berhubungan dengan iritasi lokal pada mukosa dengan aktivasi kemoreseptor.
Adanya infeksi atau inflamasi pada kaliks juga mengakibatkan obstruksi yang
juga akan menimbulkan nyeri.
Batu pada pelvis renalis dengan ukuran >1cm biasanya akan
mengakibatkan obstruksi pada ureteropelvic junction sehingga menimbulkan nyeri
yang berat pada CVA, pada lateral otot sacrospinal setinggi iga 12. Nyerinya
bervariasi dari nyeri tumpul (dull) sampai nyeri yang sangat tajam, selalu konstan,
dan sulit dihindari. Nyeri menjalar ke flank dan ke bagian anterior kuadran atas
abdomen ipsilateral. Sehingga nyerinya menyerupai nyeri pada kolesistitis,
gastritis, pancreatitis, dan ulkus peptikum.
Batu pada ureter proksimal dan medial sering mengakibatkan nyeri
intermiten yang lebih berat, nyeri pada punggung ataupun pada flank. Lokasi
nyeri berhubungan dengan dermatome dan regio inervasi medulla spinalis, nyeri
pada batu ureter proksimal menjalar ke regio lumbal dan flank. Batu pada ureter
medial menjalar ke caudal dan anterior kuadran bawah abdomen.
Batu pada ureter distal dan vesika urinaria seringkali menimbulkan
nyeri yang menjalar ke testis pada laki-laki atau labia mayora pada perempuan.
Sehingga sulit membedakan diagnosa dengan torsio testis atau epididimitis, nyeri
menstruasi atau pelvic inflammatory disease. Batu pada ureter intramural juga
menyerupai gejala pada sistitis, uretritis, atau prostatitis yang menyebabkan nyeri
pada suprapubik, frekuensi, urgensi, disuria, stranguria, atau gross hematuria.

27
Gambar 2.16. nyeri pada beberapa lokasi batu

b. Hematuria
Pasien seringkali mengeluh adanya gross hematuria secara intermitten
atau kadang-kadang urin pekat seperti teh (old blood).
c. Infeksi
Infeksi juga berperan dalam menimbulkan nyeri. Bakteri uropatogenik
dapat mengganggu peristaltic ureter melalui produksi eksotoksin dan endotoksin.
Inflamasi local akibat infeksi mengakibatkan aktivasi kemoreseptor dan
membetuk persepsi nyeri local.
d. Demam
Batu pada traktus urinarius yang menimbulkan demam dapat merupakan
kondisi medis emergensi. Tanda klinis sepsis bervariasi termasuk demam,
takikardi, hipotensi dan vasodilatasi kutaneus. Tenderness pada CVA menandakan
adanya obstruksi akut pada traktus urinarius bagian atas. Dapat teraba massa
akibat hidronephrosis ginjal. Pada kondisi ini diperlukan pemasangan retrograde
catether (double-J) atau jika gagal dapat dilakukan nephrostomi.

28
e. Nausea dan vomitus
Obstruksi pada traktus urinarius bagian atas disertai dengan nausea dan
vomitus. Cairan intravena dibutuhkan untuk mengembalikan ke kondisi
euvolemia.
2.2.5.1 Batu Ginjal (nefrolitiasis)
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks,
infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi seluruh kaliks ginjal1.
Batu yang mengisi pielum didapatkan dalam bentuk yang sederhana
sehingga hanya menempati bagian pelvis, tetapi dapat juga tumbuh mengikuti
bentuk susunan pelviokalises sehingga bercabang menyerupai tanduk rusa yang
disebut batu staghorn (lebih dari dua kaliks ginjal). Batu pelvis ginjal dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu
saluran kemih merupakan akibat obstruksi aliran kemih dan infeksi. Nyeri
didaerah pinggang dapat dalam bentuk pegal hingga kolik atau nyeri yang terus-
menerus dan hebat karena adanya pionefrosis. Gejala pada gastrointestinal berupa
nausea, vomitus distensi abdomen karena ileus paralitik. Hematuria dapat terjadi
secara mikro (90%) dan makro (10%).
Batu pielum pada pemeriksaan fisik mungkin kelainan sama sekali
tidak ada, sampai mungkin terabanya ginjal yang membesar akibat adanya
hidronefrosis. Nyeri dapat berupa nyeri tekan atau ketok arcus costa pada sisi
ginjal yang terkena. Sesuai dengan gangguan yang terjadi, batu ginjal yang
terletak di pelvis dapat menyebabkan terjadinya hidronefrosis, sedangkan batu
kaliks pada umumnya tidak memberikan kelainan fisik.

Gambar 2.17. Nefrolitiasis

29
Batu yang tidak terlalu besar dapat didorong oleh peristaltic otot-otot
sistem pelviokalises dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Batu yang ukurannya
kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar spontan, sedangkan yang lebih besar
seringkali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi radang serta
menimbulkan obstruksi kronis berupa hidronefrosis.

Gambar 2.18 Hidronefrosis


2.2.5.2 Batu Ureter (Ureterolitiasis)
Anatomi ureter mempunyai beberapa tempat penyempitan yang
memungkinkan batu ureter terhenti. Karena peristaltis, akan terjadi gejala kolik,
yakni nyeri yang hilang timbul disertai perasaan mual dengan atau tanpa muntah
dengan nyeri alih khas ke regio inguinal. Selama batu bertahan ditempat yang
menyumbat, kolik akan berulang-ulang sampai batu bergeser dan memberi
kesempatan pada air kemih untuk lewat.
Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan
kemudian keluar bersama urine. Batu ureter juga dapat sampai ke kandung kemih
dan kemudian menjadi batu kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap
tinggal di ureter menyumbat dan menyebabkan obstruksi kronik dengan
hidroureter yang asimptomatik. Tidak jarang terjadi hematuria yang didahului
oleh serangan kolik. Bila keadaan obstruksi terus berlangsung, dapat

30
menyebabkan hidronefrosis dengan atau tanpa pielonefritis sehingga
menimbulkan gambaran infeksi umum.
2.2.5.3 Batu Kandung Kemih (Vesicolitiasis)
Pada vesikolitiasis, batu menghalangi aliran kemih akibat penutupan
leher kandung kemih, sehingga aliran yang mula-mula lancar secara tiba-tiba akan
terhenti dan menetes disertai dengan nyeri. Bila pada saat sakit tersebut penderita
berubah posisi, suatu saat air kemih akan dapat keluar karena letak batu yang
berpindah. Bila selanjutnya terjadi infeksi yang sekunder, selain nyeri, sewaktu
miksi juga akan terdapat nyeri menetap suprapubik.

Gambar 2.19. Vesicolithiasis

Iritasi kronik oleh batu pada vesika urinaria merupakan salah satu
factor yang mempenagruhi terjadinya karsinoma vesika urinaria, yang
berkembang dari epitel yang atipik atau dysplasia yang berupa lesi yang
mengalami proliferasi. 90% tumor ganas kandung kemih adalah karsinoma sel
transisional, Epitel transisional yang melapisi vesika urinaria terdiri atas 4-7
lapisan sel epitel. Yang berperan pada karsinoma Vesika urinaria ialah sel basal,
sel intermedia, dan sel superficial. 10% tumor ganas kandung kemih berupa
karsinoma squamosa dan jarang sekali adenokarsinoma yang berasal dari jaringan
urakus.
2.2.5.4 Batu Uretra
Batu uretra umumnya merupakan batu yang berasal dari ureter atau
kandung kemih yang oleh aliran kemih sewaktu miksi terbawa ke uretra, tetapi
menyangkut di tempat yang agak lebar. Tempat uretra yang agak lebar ini adalah

31
di pars prostatika, bagian permulaan pars bulbosa, dan di fosa naviculare. Bukan
tidak mungkin dapat ditemukan ditempat lain.
Gejala yang ditimbulkan umumnya miksi tiba-tiba terhenti, menjadi
menetes dan nyeri. Penyulitnya dapat berupa terjadinya diverticulum, abses, fistel
proksimal, dan uremia karena obstruksi urin.

2.2.6 Diagnosa urolithiasis


Selain pemeriksaan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk
menegakkan diagnosis, penyakit batu perlu ditunjang dengan pemeriksaan
radiologik, laboratorium, dan penunjang lain untuk menentukan kemungkinan
adanya obstruki saluran kemih, infeksi, dan gangguan faal ginjal. Pemeriksaan
penunjang tersebut antara lain :

1. Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin
Urine rutin (pH, Bj urine, sedimen urine)
Untuk menentukan hematuria, leukosituria, dan kristaluria.
Kultur urine
Untuk menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea.
Faal ginjal (Ureum, Creatinin)
Bertujuan untuk mencari kemungkinan penurunan fungsi ginjal dan untuk
mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto IVP.
Kadar elektrolit
Untuk mencari faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih (antara lain
kadar : kalsium, oksalat, fosfat maupun urat didalam darah maupun urine).
2. Pemeriksaan Radiologi
o Foto Polos Abdomen
Bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya batu radioopak di saluran
kemih. Batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radioopak dan
paling sering dijumpai, sedangkan batu asam urat bersifat radiolusen. Pada
foto polos abdomen dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi batu.
Keterbatasan pemeriksaan foto sinar tembus abdomen adalah tidak dapat

32
untuk menentukan batu radiolusen, batu kecil dan batu yang tertutup
bayangan struktur tulang. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan batu
dalam ginjal dan luar ginjal.
Tabel 2.2 Urutan Radio-opasitas Beberapa Jenis Batu Saluran Kemih
Jenis Batu Radioopasitas
Kalsium Opak
MAP Semiopak
Urat/sistin Non-opak

Gambar 2.20 Gambaran nefrolitiasis pada Foto polos abdomen

b. Ultrasonografi (USG)
Dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan PIV, yaitu
pada keadaan alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang menurun dan
pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menilai
adanya batu di ginjal atau di buli-buli ( yang ditunjukkan sebagai echoic
shadow ), hidronefrosis, pionefrosis, atau adanya pengkerutan ginjal. Dapat
menunjukkan ukuran , bentuk dan posisi batu. Dapat diketahui adanya batu
radiolusen dan dilatasi sistem ductus kolektivus. Keterbatasan pemeriksaan
ini adalah kesulitan untuk menunjukkan batu ureter, dan tidak dapat
membedakan batu kalsifikasi dan batu radiolusen.

33
Gambar 2.21. Gambaran nefrolitiasis pada USG Ginjal

c. Intra-Venous Pielografi (IVP)


Pemeriksaan ini bertujuan menilai keadaan anatomi dan fungsi ginjal. Selain
itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semiopak ataupun batu non opak
yang tidak dapat terlihat oleh foto polos abdomen. Jika IVP belum dapat
menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi
ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd.

Gambar 2.22. Gambaran vesikolitiasis pada pemeriksaan IVP

3. CT Scan
CT-Scan merupakan teknik imaging yang paling baik untuk melihat
gambaran semua jenis batu dan juga dapat terlihat lokasi dimana terjadinya
obstruksi.

34
Gambar 2.23. Gambaran CT-Scan Nefrolitiasis dan ureterolitiasis

4. Pemeriksaan Renografi
Merupakan alat uji fungsi ginjal manusia dengan menggunakan
teknologi nuklir. Renograf bekerja berdasarkan pancaran sinar radioaktif yang
dapat ditangkap oleh detektor. Sedangkan perunut yang dimasukkan adalah I 131
pemancar gamma secara intravena, yang akan masuk kedalam ginjal dengan
demikian maka ginjal dianggap sebagai sumber radiaktif yang dipantau dengan
detektor NaI (T1). Hasil deteksi diproses oleh unit spektrometri gamma, yang
kemudian disajikan dalam bentuk grafik antara cacah persatuan waktu dengan
lama pengamatan disebut renogram.
Berdasarkan renogram akan memberikan informasi tentang keadaan
fungsi ginjal meliputi respons vaskuler, kapasitas uptake dan kemampuan
mengeluarkan perunut. Ada beberapa pola bentuk renogram yang berkaitan
dengan kelainan fungsi ginjal yang dipergunakan sebagai acuan dalam diagnosa.

2.2.7 Diagnosa banding urolithiasis


Kolik ginjal dan ureter dapat disertai dengan akibat yang lebih lanjut,
misalnya distensi usus dan pionefrosis dengan demam. Oleh karena itu, jika
dicurigai terjadi kolik ureter maupun ginjal, khususnya yang kanan perlu
dipertimbangkan kemungkinan kolik saluran cerna, kandung empedu, atau
apendisitis akut. Selain itu, pada perempuan perlu juga dipikirkan kemungkinan
adneksitis.

35
Bila terjadi hematuria, perlu dipertimbangkan kemungkinan
keganasan apalagi bila hematuria terjadi tanpa rasa nyeri. Selain itu, perlu juga
diingat bahwa batu saluran kemih yang bertahun-tahun dapat menyebabkan
terjadinya tumor yang umumnya karsinoma epidermoid, akibat rangsangan dan
inflamasi.
Khusus untuk batu ginjal dengan hidronefrosis, perlu dipertimbangkan
kemungkinan tumor ginjal mulai dari jenis ginjal polikistik hingga tumor Grawitz.
Pada batu ureter, terutama dari jenis yang radiolusen, apalagi disertai dengan
hematuria yang tidak disertai dengan kolik, perlu dipertimbangkan tumor ureter
wlaupun tumor ini jarang ditemukan. Dugaan batu kandung kemih juga perlu
dibandingkan dengan kemungkinan tumor kandung kemih, terutama bila batu
yang terdapat dari jenis radiolusen.

2.2.8 Penatalaksanaan urolithiasis


2.2.8.1 Konservatif
Batu pada saluran kemih dapat keluar spontan tanpa membutuhkan
intervensi. Pengeluaran secara spontan tergantung pada bentuk, ukuran dan lokasi
batu serta hubungannya dengan edema pada ureter. 40-50 % batu dengan ukuran
4-5mm keluar spontan. Sedangkan batu ukuran >6mm hanya memiliki
kemingkinan 5% keluar spontan.
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang
dari 5 mm, karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan
untuk mengurangi rasa nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian
diuretikum dan minum banyak serta skipping supaya dapat mendorong batu
keluar. Untuk mengurangi rasa nyeri dapat diberikan analgetik atau inhibitor
sintesis prostaglandin (intravena, intramuskular, atau supositoria). Terapi
konservatif hanya diberikan selama 6 minggu.

Dissolution agents
Efektivitas Dissolution agents tergantung pada area permukaan batu,
tipe batu, volume irrigant dan model pengeluaran. Agen alkaline oral seperti

36
sodium atau potassium bicarbonate dan potassium sitrat. Perawatan yang sangat
ketat pada pasien dengan gagal jantung congestive dan gagal ginjal.
Alkalinisasi intrarenal dapat berhasil dibawah system tekanan rendah
(<25cm tekanan air). Hal ini kemudian membutuhkan nefrostomi percutaneus atau
kateter eksternal retrograde. Efektif dilakukan untuk batu yang sensitive terhadap
perubahan pH seperti batu asam urat dan batu sistin. Seangkan batu struvit
membutuhkan kondisi acidifikasi yang dapat berhasil dilakukan dengan Subys G
solution dan hemiacidrin (renacidine) untuk mencapai pH <4.
Relief of Obstruction
Pasien dengan batu obstruksi disertai demam dan infeksi merupakan
kondisi emergensi urologi yang membutuhkan drainase. Pielografi retrograde
ditujukan untuk traktus urinarius bagian atas kemudian diikuti dengan
pemasangan retrograde double J ureteral stent.
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Alat ESWL adalah pemecah batu yang diperkenalkan pertama kali
oleh Caussy pada tahun 1980. Alat ini dapat memecah batu ginjal, batu ureter
proksimal atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif dan tanpa pembiusan.
Batu dipecah dengan gelombang kejut menjadi fragmen-fragmen kecil sehingga
mudah dikeluarkan melalui saluran kemih. Betapapun disebutkan bahwa dengan
ESWL batu dapat dipecahkan menjadi bagian yang lebih kecil dari 2 mm, belum
tentu pasca tindakan semua batu akan pecah hingga ukuran yang dikehendaki.
Walaupun dinyatakan bahwa gelombang kejut yang dipergunakan tidak akan
merusak jaringan ginjal secara permanent, kerusakan yang ada perlu diawasi baik
dari segi kemungkinan terjadinya infeksi atau kerusakan yang dapat menimbulkan
gejala sisa.

37
Gambar 2.24. Mekanisme kerja ESWL

Gambar 2.25. Proses pengeluaran batu pada ESWL


Kontra indikasi absolute untuk dilakukan ESWL antara lain :

38
- Infeksi akut traktus urinarius/ urosepsis
- Koagulopati
- Pregnancy
- Obstruksi traktus urinarius bagian distal oleh batu yang belum dikoreksi

Kontra indikasi relative untuk dilakukan ESWL antara lain :


- Malformasi ginjal seperti pada ginjal tapal kuda
- Complex intrarenal drainage seperti infundibular stenosis
- Hipertensi yang tidak terkontrol
- Gangguan Gastrointestinal
- Renal insuffisiency
- Body habitus seperti obesitas, deformitas tulang dan spinal.
Komplikasi postoperatif ESWL berupa : petechie pada pinggang,
hematuria, kolik renal yang disebabkan karena gerakan pasase dari fragmen batu,
renal atrofi yang dapat terjadi pada pasien yang menderita penyakit renal vascular
atau atherosclerotic berat, hipertensi yang diduga sebagai akibat hematom
perinephric yang luas.

Endourologi
Tindakan endourologi merupakan tindakan invasif minimal untuk
mengeluarkan batu saluran kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian
mengeluarkannya dari saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke
dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil
pada kulit (perkutan). Sedangkan pemecahan batu dapat dilakukan secara
mekanik, dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan
energi laser. Beberapa tindakan endourologi itu antara lain:

PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy)


Yaitu mengeluarkan batu yang berada di saluran ginjal dengan cara
memasukkan alat endoskopi ke sistem kaliks melalui insisi pada kulit. Batu
kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu.

Indications of PNL

39
Urinary diversion
- Supravesikal urinary tractus obstruction (neoplasm, stones, other benign
causes).
- Management of a urinary leak of fistula.
Nephrolithiasis
- Symptomatic stone disease (pain, bleeding, infection related).
- Adjunct therapy to ESWL
- Primary treatment of recurrent stone formation in the setting of
metabolic disease.
Therapy for complex urinary tractus infections.
Ureteral intervension.
Nephroscopy and ureteroscopy (diagnostic or therapeutic).

f. Litotripsi
Yaitu memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan
alat pemecah batu (Litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan
dengan evakuator Ellik.

g. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi


Yaitu memasukkan alat ureteroskopi per-uretram guna melihat
keadaan ureter atau sistem pielokaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu,
batu yang berada didalam ureter maupun di dalam pelvikalises dapat dipecah
melalui tuntunan ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.

h. Ekstraksi Dormia
Yaitu mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat
keranjang Dormia.

2.2.8.2 Operatif
Terapi bedah digunakan jika tidak tersedia alat litotripsor, ESWL, atau
cara non bedah tidak berhasil. Walaupun demikian, sudah tentu untuk menentukan
tindak bedah pada suatu penyakit batu saluran kemih perlu seperangkat indikasi.
Batu ginjal yang terletak di kaliks selain oleh indikasi umum, perlu
dilakukan tindak bedah bila terdapat hidrokaliks. Batu sering harus dikeluarkan
melalui nefrolitotomi yang tidak gampang karena batu biasanya tersembunyi di
dalam kaliks. Batu pelvis juga perlu dibedah bila menyebabkan hidronefrosis,
infeksi, atau menyebabkan nyeri yang hebat. Pada umumnya, batu pelvis terlebih
lagi yang berbentuk tanduk rusa amat mungkin menyebabkan kerusakan ginjal.

40
Operasi untuk batu pielum yang sederhana disebut pielolitotomi sedang untuk
bentuk tanduk rusa (staghorn) dengan pielolitotomi yang diperluas.
Bila batu ureter ukuran 0,4 cm terdapat pada bagian sepertiga
proksimal ureter, 80% batu akan keluar secara spontan, sedangkan bila batu
terdapat pada bagian sepertiga distal, kemungkina keluar spontan 90%. Patokan
ini hanya dipakai bila batu tidak menyebabkan gangguan dan komplikasi. Tidak
jarang batu dengan ukuran 0,4 cm dapat juga menyebabkan gangguan yang
mengancam fungsi ginjal atau sebaliknya, batu dengan ukuran lebih dari 1 cm
tidak menyebabkan gangguan sama sekali dan bahkan keluar secara spontan. Oleh
karena itu, ureterolitotomi selalu didasarkan atas gangguan fungsi ginjal, nyeri
yang sangat yang tidak tertahankan oleh penderita, dan penanganan medis yang
tidak berhasil.
Batu kandung kemih selalu menyebabkan gangguan miksi yang hebat
sehingga perlu dilakukan tindakan pengeluarannya. Litotriptor hanya dapat
memecahkan batu dalam batas ukuran 3 cm ke bawah. Batu diatas ukuran ini
dapat ditangani dengan ESWL atau sistolitotomi melalui sayatan Pfannestiel.
Tidak jarang batu uretra yang ukurannya < 1 cm dapat keluar sendiri
atau dengan bantuan pemasangan kateter uretra selama 3 hari, batu akan terbawa
keluar dengan aliran air kemih yang pertama. Batu uretra harus dikeluarkan
dengan tindakan uretratomi externa. Komplikasi yang dapat terjadi sebagai akibat
operasi ini adalah striktur uretra.

41
Gambar 2.26. Tindakan Bedah pada Urolitiasis

2.2.9 Prognosis
Prognosis batu ginjal tergantung pada beberapa factor seperti ukuran
batu, letak batu dan adannya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suat batu
makin buruk prognosisnya. Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat
mempermudah terjadinya infeksi. Makin besar kerusakan jaringan dan adanya
infeksi karena factor obstruksi akan dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal.

42
2.3 UROSEPSIS
Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh mikrobakteria yang berasal
dari saluran kemih. Infeksi traktus urinarius dapat bermanifestasi sebagai
bakteriuri dengan gejala klinik yang terbatas, sepsis atau sepsis berat, tergantung
dari lokasi atau penyebaran sistemik. Sepsis didiagnosa jika infeksi disertai oleh
tanda-tanda SIRS (Systemic Inflamatory Response Syndrome) yang ditandai
dengan :
- Hipotermi
- Takikardi
- Takipneu
- Leukopeni/leukositosis
2.3.1 Epidemiologi
Penelitian di rumah sakit di Amerika Serikat selama kurun waktu antara
1979- 2000 menunjukkan bahwa insidens sepsis menunjukkan peningkatan rata-
rata 8,7% setiap tahunnya. Insiden laki-laki lebih banyak mengalami sepsis
dibandingkan wanita. Sebagian besar kematian disebabkan karena disfungsi organ
multiple. Dikatakan bahwa jika tidak disertai dengan komplikasi disfungsi organ,
hanya 15% pasien sepsis yang meninggal, sedangkan jika diikuti dengan disfungsi
organ multiple angka kematian meningkat menjadi 70%. Pasien yang mudah
terkena urosepsis adalah :
- Pasien tua
- Pasien diabetes
- Pasien dengan imunokompromise
- Resipien transplantasi organ
- Pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi atau kortikosteroid
- Pasien dengan acquired immunodeficiency syndrome
Urosepsis juga dipengaruhi oleh factor local seperti kalkulus urinarius, obstruksi
pada traktus urinarius, penyakit neurogenic bladder, atau pemeriksaan derngan
endoskopi.
Bacteremia simptomatik yang menyebabkan syok dan kematian akibat bakteri
yang berasal dari traktus urinarius yang merupakan komplikasi dari ISK.

43
Bakteremia
Bakteri terdapat dalam darah yang dikonfirmasi dengan kultur, dapat bersifat
sementara.
Septikemia
Sama seperti bacteremia, tetapi menunjukkan kondisi yang lebih berat. Bukti
klinis infeksi ditambah bukti respon sistemik terhadap infeksi. Respon sistemik ini
dapat bermanifestasi 2 atau lebih kondisi berikut :
- Temperature >38oC atau <36oC
- Denyut nadi >90x/menit
- Frekuensi pernafasan >20x/menit atau PaCO2 <32 mmHg (<4.3kPa)
- Leukosit >12.000 sel/mm3, <4000 sel/mm3 atau 10% bentuk imatur
(batang)
Sepsis Syndrome
Infeksi ditambah bukti gangguan perfusi organ berupa : hipoksemia, peningkatan
laktat, oliguria, gangguan kondisi mental.
Syok Septik
Sepsis dengan hipotensi walaupun telah dilakukan resusitasi cairan yang cukup
dan masih tetap terdapat gangguan perfusi berupa asidodi laktat, oliguria dan
gangguan mental akut. Pasien dengan obat inotropic dan vasopressor dapat tidak
memberikan gambaran hipotensi saat terjadi gangguan perfusi.
Refractory Septic Shock
Syok septik yang berlangsung >1 jam dan tidak respon terhadap pemberian cairan
atau intervensi farmakologi
Systemic Inflammatory Response Syndrome
Respon terhadap berbagai jenis gangguan klinis, dapat berupa infeksi atau non
infeksi.

2.3.2 Etiologi
Karena merupakan penyebaran infeksi maka kuman penyebabnya sama
dengan kuman penyebab infeksi primer di traktus urinarius yaitu golongan kuman
coliform negatif. E coli merupakan penyebab tersering menimbulkan sepsis.
Kelainan urologi yang sering menimbulkan urosepsis adalah batu saluran kemih,

44
hyperplasia prostat, dan keganasan saluran kemih yang menyebabkan
hidronefrosis dan bahkan pionefrosis.
Enterobakteria yang menyebabkan pathogen :
E. coli (52%)
Proteus spp
Enterobacter spp
Klebsiella spp
P. aeroginosa
Bakteri gram negative, seperti enterokokus (5%)

2.3.4 Patofisiologi
Patogenesis dari gejala klinis urosepsis adalah akibat dari masuknya
endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida (LPS) dari dinding sel bakteri ke
dalam sirkulasi darah. Dengan adanya endotoksin tersebut memacu terjadinya
rangkaian septic cascade. Keadaan ini menimbulkan sindroma respon inflamasi
sistemik atau systemic inflammation response syndrome (SIRS).
Dikatakan SIRS jika terdapat paling sedikit dua dari kriteria berikut:
1. Suhu tubuh > 38oC atau <36oC
2. Denyut nadi > 90
3. Frekuensi nafas >20 atau PaCO2 <32
4. Leukosit darah >12000 atau <4000/dL atau >10% bentuk leukosit
muda
Dikatakan sepsis jika didapatkan SIRS dengan tanda infeksi dan sepsis
berat jika disertai dengan hipotensi (sistole <90mmHg), atau terdapat disfungsi
organ, atau hipoperfusi (terdapat salah satu kondisi berikut, yaitu hipoksemia,
peningkatan asam laktat, atau oliguria). Derajat sepsis paling berat adalah syok
septic yaitu sepsis yang disertai dengan hipotensi dan hipoperfusi.

45
2.3.5 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis suatu urosepsis harus dibuktikan bahwa
bakteri yang beredar didalam darah (kultur darah) sama dengan bakteri yang ada
dalam urin (kutur urin). Secara umum dikatakan urosepsis merupakan komplikasi
dari beberapa situasi antara lain:
1. tindakan instrumentasi pada traktus genitourinaria
2. abses renal
3. pielonefritis akut
4. Infeksi akibat obstruksi saluran kemih atau pasien dengan gangguan
kekebalan imunitas

46
5. bakteriuri akibat pemasangan kateter pada obstruksi dan pasien dengann
gangguan kekebalan imunitas.
Selain itu, dilakukan pemeriksaan untuk mencari sumber infeksi dan
akibat dari kelainan yang ditimbulkan pada beberapa organ. Segera dilakukan
pemeriksaan yang meliputi laboratorium, dan pencitraan.

2.3.6 Penatalaksanaan
Penanganan urosepsis harus dilakukan secara komprehensif dan ditujukan
terhadap:
Penanganan infeksi yang meliputi eradikasi kuman penyebab infeksi serta
menghilangkan sumber infeksi
Akibat dari infeksi yaitu SIRS, syok septic atau disfungsi multiorgan
Toksin atau mediator yang dikeluarkan oleh bakteri
Secara umum, ada tiga kategori untuk pengobatan urosepsis :
1. Terapi etiologi (antibiotic)
2. Terapi suportif (stabilisasi hemodinamik dan pulmonary)

47
3. Terapi adjuvant (glukokortikoid dan insulin)
Terapi terhadap Infeksi
Sebelum pemberian antibiotic, terlebih dahulu diambil contoh urine dan contoh
darah untuk pemeriksaan kultur guna mengetahui jenis kuman penyebab
urosepsis. Secara empiric diberikan antibiotic yang sensitive terhadap bakteri
gram negative yaitu golongan aminoglikosida (gentamisin, tobramisin atau
amikasin), golongan ampisilin, cephalosporin generasi ketiga atau golongan
fluoroquinolone.
Pada pemberian aminoglikosida harus diperhatikan keadaan faal ginjal, karena
golongan obat ini bersifat nefrotoksik. Selain itu pada urosepsis tidak jarang
menimbulkan penyulit gagal ginjal, sehingga pemberian aminoglikosida perlu
dilakukan penyesuaian dosis dengan cara menurunkan dosis atau
memperpanjang interval pemberian obat.
Memperpanjang interval pemberian obat dilakukan sesuai dengan kaidah
delapan (rule of eight) untuk tobramisin dan gentamisin dan kaidah Sembilan
(rule of nine) untuk amikasin. Artinya adalah jika kadar kreatinin didalam serum
adalah 3, maka pemberian gentamisin setiap 8x3=24 jam sekali, sedangkan jika
diberikan amikasin setiap 9x3=27 jam sekali dengan dosis penuh. Pemberian
antibiotic dilanjutkan hingga 3-4 hari setelah pasien bebas dari panas.
Sumber infeksi secepatnya dihilangkan misalnya : pemasangan kateter uretra
harus diganti dengan yang baru atau dilakukan drainase suprapubik, abses pada
ginjal, perineal parenteral dan abses prostat dilakukan drainase, dan
pionefrosis/hidronefrosis yang terinfeksi dilakukan diversi urine atau drainase
nanah dengan nefrostomi.

Terapi Suportif Terhadap Penyulit Sepsis


Jenis terapi suportif yang diberikan tergantung pada organ yang mengalami
gangguan serta keadaan klinis pasien. Kematian akibat sepsis biasanya
disebabkan karena kegagalan dalam memberikan terapi suportif terhadap
disfungsi multiorgan. Disfungsi organ yang paling sering menyebabkan
kematian adalah gagal nafas (18%) dan gagal ginjal (15%).

48
Tabel Terapi Suportif Pada Urosepsis
Gangguan organ Tindakan speisfik
Hemodinamik Ekspansi cairan dengan kristaloid (RL) 1000 ml dalam
(syok) 15-20 menit dengan monitor tekanan vena sentral
(CVP). Jika CVP <14 cm H20 infus diteruskan dengan
dosis pemeliharaan 20-30 tpm
Pemberian obat vasoaktif (dopamine) secara titrasi
mulai dosis 2-5 g/kg/menit dengan monitor tekanan
darah dan produksi urin. Dapat pula diberikan dobutrex.
Ginjal (ATN) Jika hidrasi cukup tetapi produksi urin masih kurang
diberikan manitol i.v 12,5g dalam 5 menit atau
furosemide 240 mg hingga produksi urin 30-40ml/jam
Hemodialisa jika diperlukan
Gagal jantung Kalau perlu digitalisasi (oleh ahli kardiologi)
Paru-paru Setelah pembebasan jalan nafas dilakukan ventilasi
dengan pemberian oksigen 5-8L/menit, keseimbangan
asam-basa dan elektrolit PaO2 dipertahankan 70-
90mmHg dan PaCO2 32-40mmHg
Gangguan system Pemberian Dextra sebanyak 1-2 unit akan meningkatkan
pembekuan (DIC) volume intravascular dan menurunkan viskositas darah.
Perlu dipertimbangkan untuk pemberian heparin i.v
1000-2000 U/4-6 jam
Keseimbangan Koreksi asam basa dan elektrolit
asam-basa/elektrolit

49
50
`

51
BAB III
KESIMPULAN

Definisi urolithiasis adalah batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner)


adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih
dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau
infeksi.
Etiologi urolithiasis terjadi karena beberapa faktor yang masih diduga seperti
faktor intrinsik dan ekstrinsik
urolithiasis umumnya lebih sering ditemukan pada pria daripada wanita,
biasanya di atas usia 30 tahun sampai 50 tahun.
Patofisiologi urolithiasis terjadi melalui beberapa teori meliputi teori
nukleasi, matriks dan inhibitor kristalisasi.
Gejala klinis urolithiasis tergantung pada lokasi batunya.
Diagnosa urolithiasis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosa banding urolithiasis melipti gangguan pada saluran cerna, organ
reproduksi, dan tumor.
Penatalaksanaan urolithiasis meliputi konservatif dengan medikamentosa,
Dissolution agents, Relief of Obstruction, ESWL (Extracorporeal Shock
Wave Lithotripsy), Endourologi dBedah Terbuka.
Prognosis Urolithiasis tergantung pada beberapa factor seperti ukuran batu,
letak batu dan adannya infeksi serta obstruksi.
Pencegahan urolithiasis dapat dilakukan dengan cara menurunkan konsentrasi
reaktan (kalsium dan oksalat), meningkatkan konsentrasi inhibitor
pembentukan batu dan pengaturan diet.

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R dan Jong WD. Saluran kemih dan alat kelamin lelaki.
Dalam Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-dua. Jakarta: EGC; 2005. Hal 756-
63.
2. Depkes RI., 2007. Distribusi Penyakit-Penyakit Sistem Kemih Kelamin
Pasien Rawat Inap Menurut Golongan Sebab Sakit, Indonesia Tahun 2006.
Jakarta. Diunduh tanggal 23 maret 2017 dari URL: http://www.yanmedik-
depkes.net/statistik_rs_2007.
3. Kevin H. Karakteristik penderita batu saluran kemih rawat inap di Rumah
Sakit Haji Medan Tahun 2005-2007. (skripsi). Medan: FK USU; 2008.
4. Guyton dan Hall. Ginjal dan cairan tubuh. Dalam Buku ajar fisiologi
kedokteran. Edisi ke-sembilan. Jakarta: EGC; 1999. Hal 375-524.
5. Stoller MLS. Urinary stone disease. In Smiths general urology. Editors:
Tanagho EA and McAninch JW. 17th edition. New Yoro: Mc Graw`Hill
Companies; 2008. P 246-75.
6. Sjabani M. Batu saluran kemih. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Editor: Tjokronegoro A dan Utama H. Edisi ke-empat. Jilid I. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI; 2003. Hal 563-7.
7. Silbernagl S dan Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Jakarta:
EGC; 2007. Hal 120-1.
8. Reynard J, Brewster S, dan Biers S. Stone disease. Dalam Oxford handbook
of urology. Edisi ke-satu. United Kingdom: Oxford University Press; 2006.
9. Tjandra JJ, Clunie GJA, Kaye AH, dan Smith JA. Urology. Dalam Textbook
of surgery. Edisi ke-tiga. USA: Blackwell Publishing; 2006.
10. Tiselius HG, Alken P, Buck C, Galucci M, Knoll T, Sarica K, dan Turk C.
Guidelines on urolithiasis. European association of urology; 2008.
11. Collela J, Kochis E, Galli B, Ravi M. Urolithiasis/nephrolitiasis: whats it all
about. Medscape (online); 2005. diunduh tanggal 23 maret 2017 dari: URL:
http://www.medscape.com/viewarticle/521366.

53
12. Wolf JS. Nephrolithiasis. Medscape (online); 2013. Diunduh tanggal 23
maret 2017 dari URL:http://emedicine.medscape.com/article/437096-
overview#showall
13. Donohoe JM. Ureterolithotomy. Medscape (online); 2011. Diunduh tanggal
23 maret 2017 dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/451255-
overview
14. Nici Markus Dreger, Stephan Degener, Parviz Ahmad-Nejad, Gabriele
Wbker, Stephan Roth. Urosepsis : Etiology, Diagnostic and Treatment.
Deutsches rzteblatt International. 2015
15. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Pedoman Diagnosis dan Terapi
SMF Urologi Laboratorium Ilmu Bedah. Malang. 2010
16. Grabe M, Bjerklund JTE, Botto H, Wult B, Cek M, Nabe KG et al. Sepsis
Syndrome in Urology (Urosepsis) in : Guidelines on urological infection.
Arnhem, The Netherlands : Europan Association of Urology (EAU); 2011
Mar. p. 33-9

54

Anda mungkin juga menyukai