Disusun oleh:
Kelompok A2-4
Latar Belakang
Saat ini di seluruh dunia tengah terjadi epidemi asma, yaitu peningkatan
prevalens dan derajat asma terutama pada anak-anak, baik di negara maju maupun
negara berkembang.. Pada anak kecil dan bayi, mekanisme dasar perkembangan
penyakit ini masih belum diketahui pasti. Lagipula bayi dan balita yang mengalami
mengi saat terkena infeksi saluran napas akut, banyak yang tidak berkembang
menjadi asma saat dewasanya.
Akibat ketidakjelasan tadi, definisi asma pada anak sulit untuk dirumuskan,
sehingga untuk menyusun diagnosis dan tata laksana yang baku juga mengalami
kesulitan. Akibat berikutnya adalah adanya under /overdiagnosis maupun under /
overtreatment. Untuk mengatasi hal itu perlu adanya alur diagnosis dan tata laksana
asma yang disepakati bersama. Secara internasional untuk saat ini panduan
penanganan asma yang banyak diikuti adalah Global Initiative for Asthma (GINA)
yang disusun oleh National Lung, Heart, and Blood Institute Amerika yang
bekerjasama dengan WHO, dan dipublikasikan pada bulan Januari 1995. GINA juga
menyebutkan bahwa asma pada anak sulit didiagnosis. Prevalens asma anak di
Indonesia untuk kelompok usia sekolah lanjutan sudah ada, namun sayangnya belum
ada data mengenai under /overdiagnosis maupun under/overtreatment.
Untuk anak-anak, GINA tidak dapat sepenuhnya diterapkan, sehingga Pediatric
Asthma Consensus Group dalam pertemuan ketiganya pada bulan Maret 1995
mengeluarkan suatu pernyataan tentang Konsensus Internasional III Penanggulangan
Asma Anak (selanjutnya disebut Konsensus Internasional saja) yang dipublikasikan
pada tahun 1998. Konsensus adalah kesepakatan bersama bukan suatu SOP (standard
operating procedure). Selain GINA dan Konsensus Internasional, banyak negara
yang mempunyai konsensus nasional di negara masing-masing misalnya Konsensus
Australia.
Di Indonesia sudah ada Konsensus Nasional Asma Anak (KNAA) yang disusun
oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Pulmonologi IDAI pada bulan Desember 1994 di
Jakarta dan ditetapkan dalam KONIKA (Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak) X
di Bukitinggi pada bulan Juni 1996. Pada acara Simposium Respirologi Anak Masa
Kini 11-12 Desember 1998 di Bandung, materi Tinjauan Ulang ini telah disajikan.
Selanjutnya pada pertemuan UKK Pulmonologi IDAI 12-13 Desember 1998, materi
ini mendapat masukan dari peserta pertemuan dan telah disetujui bersama (Sari
Pediatri Vol. 2, No. 1, Juni 2000: 50 66).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
GINA mengeluarkan batasan asma yang lengkap, yang menggambarkan
konsep inflamasi sebagai dasar mekanisme terjadinya asma sebagai berikut. Asma
ialah gangguan inflamasi kronik saluran napas dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan,
inflamasi ini menyebabkan episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi,
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap
berbagai rangsangan.
Batasan di atas memang sangat lengkap, namun dalam penerapan klinis untuk
anak tidak praktis. Agaknya karena itu para perumus Konsensus Internasional
dalam pernyataan ketiganya tetap menggunakan definisi lama yaitu: Mengi
berulang dan/ atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang paling
mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan.
Konsensus Nasional juga menggunakan batasan yang praktis ini dalam batasan
operasionalnya. Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak
kecil, dengan bertambahnya umur, khususnya di atas umur 3 tahun, diagnosis
asma menjadi lebih definitif. Bahkan untuk anak di atas umur 6 tahun definisi
GINA dapat digunakan.
B. Etiologi
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab
atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.
Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas) jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini hari.
Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas, bervariasi
dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (Depkes 2007).
C. Patofisiologi
1. Obstruksi saluran nafas disebabkan oleh banyak faktor seperti
bronkospasme, edema, hipersekresi bronkus, hiperesponsif bronkus dan
inflamasi.
2. Serangan asma yang tiba-tiba disebabkan oleh faktor yang diketahui atau
tidak diketahui. Faktor-faktor ini meliputi terpapar allergen, virus , polutan
atau zat-zat lain yang dapat merangsang inflamasi akut atau konstriksi
bronkus.
3. Terlepasnya mediator kimiawi yang terbentuk pada saat cidera jaringan,
mast sel dan leukosit di saluran pernafasan. Mediator-mediator tersebut
mengakibatkan timbulnya gejala-gejala dan komplikasi asma. Meditor
tersebut adalah : histamine, eosinophilic chemotactic factor of anaphylaxis
(ECF-A), bermacam-macam derivate prostaglandin (leukotriene dan slow
reacting substances of anaphylaxis), Tumor Necrosis Factor (TNF) dan
beberapa mediator sitokin (interleukins)
4. Kontraksi otot polos bronkus dan sekresi mucus dipengaruhi oleh system
simpatik dan parasimpatik. Perangsangan parasimpatik melalui nervus vagus
menyebabkan bronkokontriksi dan sekresi mucus. Stimulasi nerves vagus
dapat terjadi karena rangsangan oleh berbagai zat pada saluran pernafasan.
D. Manifestasi klinik
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat
hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan atau
melalui pengobatan. Gejala-gejala asma antara lain :
a. Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop
b. Batuk yang produktif, sering pada malam hari/
c. Nafas atau dada seperti tertekan.
Gejalanya bersifat paroksimal, yaitu membaik pada siang hari dan
memburuk pada malam hari. Klasifikasi asma berdasarkan keberbahayaan yang
ditimbulkan adalah sebagaimana dalam tabel berikut.
E. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan varibiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.Riwayat penyakit / gejala :
1. Anamnesis : riwayat perjalanan penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi
asma, riwayat keluarga, riwayat alergi dan gejala klinis.
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium : jumlah eosinophil darah dan sputum.
4. Tes fungsi paru dengan spirometri atau peak flow meter untuk menetukan
adanya obstruksi saluran pernafasan.
5. Pemeriksaan lain misalnya foto toraks, uji bronkodilator (atas indikasi) dan
analisis gas darah (atas indikasi).
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An Marcus No Rek Medik : -
Tempt/tgl lahir : - Dokter yg merawat : -
Umur : 6 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
BB/TB : 100 cm / 25 kg
Alamat :-
Ras :-
Pekerjaan :-
Sosial :-
Kegiatan
Pola makan/diet
- Vegetarian tidak
Merokok tidak
Meminum Alkohol tidak
Meminum Obat herbal tidak
Riwayat Alergi :-
Data pengamatan
TB/BB : 100 cm / 25 kg
Denyut jantung (N) : 44
Tingkat pernapasan (RR) : 44
SaO2 : 93% pada FiO2 0.21
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Suhu : 37.0
B. KELUHAN/TANDA UMUM
2. Data Laboratorium
Parameter Nilai Normal Pemeriksaan Keterangan
a. Albuterol
Menyarankan kepada Dokter untuk memberikan Albuterol nebulizer dengan dosis 0,15
mg/kg BB setiap 20 menit sebanyak 3 dosis, kemudian ditingkatkan 0,15 sampai 0,3
mg/kg BB sampai 10 mg setiap 1-4 jam sesuai keperluan, atau 0,5 mg/kg per jam dengan
nebulisasi kontinyu.
Longacting bronchodilators (LABD) atau LABA memiliki aksi panjang hingga 12 jam.
Obat ini memberikan efek meredakan gejala (digunakan pagi dan malam). Salmeterol
bekerja pada reseptor beta-2, salmeterol tidak membuka saluran napas secepat short-
acting beta- 2 agonist (SABA) seperti salbutamol atau terbutaline namun menyebabakan
saluran napas terbuka lebih lama.
Kortikosteroid adalah hormon yang diproduksi secara alami oleh kelenjar adrenal dan
digunakan untuk mengurangi peradangan di paru. Fluticasone adalah kortikosteroid
sintetis yang cara kerjanya mencegah pelepasan zat kimia tertentu yang terlibat dalam
memproduksi kekebalan dan alergi yang mengakibatkan peradangan.
Kombinasi ICS dan LABA kini banyak digunakan dan kombinasi yang paling sering
digunakan saat ini yaitu fluticasone/salmeterol (Seretide).
1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma.
Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :
- meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
- meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma
mandiri)
- meningkatkan kepuasan
- meningkatkan rasa percaya diri
- meningkatkan kepatuhan (compliance) dan penanganan mandiri
- membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
Bentuk pemberian edukasi
Komunikasi/nasehat saat berobat
Ceramah
Latihan/training
Supervisi
Diskusi
Tukar menukar informasi (sharing of information group)
2. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran Arus
Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien
di rumah.
Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di
atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang
sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk
mendapat serangan yang mengancam jiwa.
Pada asma mandiri pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan
seperti :
a. Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
b. Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik
c. Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau
penghentian obat
d. Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Pemberian oksigen
Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
Kontrol secara teratur
Pola hidup sehat
G. MONITORING TERAPI
Monitoring respiratory rate
Moitoring SaO2
Jawaban Pertanyaan
Alasan : menurut ISO Farmakoterapi jilid 1 pada eksaserbasi moderat, pengobatan utama
dilakukan dengan menggunakan kombinasi dari inhalasi kortikosteroid dan inhalasi
-2 agonis kerja panjang. Agonis -2 kerja panjang terdiri dari salmeterol dan
formoterol, dipilih salmeterol karena formoterol kontraindikasi dengan anak <12
tahun
2. Yang dimonitor :
a. Monitoring efek samping penggunaan Kortikosteroid Inhalasi dalam jangka panjang, dan
respon yang timbul apakah membaik atau buruk
b. Monitoring efek samping penggunaan albuterol
c. Monitoring Respiratory Rate (RR)
d. Monitoring SaO2, tekanan darah, denyut jantung
3. Terapi non farmakologi untuk pasien :
a) Istirahat yang cukup
b) Menjaga kebersihan lingkungan dan tempat tinggal, termasuk menghindari polusi udara
baik berupa asap kendaraan dan rokok
c) Makan makanan yang bergizi
4. Edukasi kepada orangtua pasien :
a) Menjelaskan cara penggunaan Kortikosteroid dan salmeterol inhalasi
b) Mengingatkan untuk kumur-kumur dengan air setelah menggunakan inhaler yang
mengandung kortikosteroid untuk meminimalisasi pertumbuhan jamur di mulut dan
tenggorokan serta absorpsi sistemik dari kortikosteroid
c) Menginformasikan kepada orangtua pasien untuk selalu memperhatikan kesehatan anak,
kebersihan, dan makanan.
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro J.T et al. 2015. Pharmacoterapi Handbook 9th edition. Mc Graw Hill Education.
NewYork
Dirjen Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Dirjen Bina Kefarmasian dan alat kesehatan
2007. Pharmaceutical care untuk penyakit asma. DEPKES RI
GINA. 2015. Pocket Guide For Asthma Management and Prevention. Global Initiative for
Asthma.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). ASMA. Pedoman Praktis Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Revisi 2010.