Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi di

seluruh dunia (WHO, 2001). Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang

ditandai oleh adanya kejadian kejang berulang (kambuhan) yang bersifat spontan

disebabkan oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari

neuron otak (Ikawati, 2011).

Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar antara 33-198 per

100.000 penduduk tiap tahunnya (WHO, 2006). Insiden epilepsi tiap tahun di

negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 penduduk, sementara di negara

berkembang mencapai 100/100.000 penduduk (WHO, 2001). Di Indonesia

sendiri, prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,5%-2%.

Jadi, apabila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, maka

kemungkinan penderita epilepsi sebanyak 1-4 juta jiwa. Sedangkan, insidensi

epilepsi di Indonesia berkisar antara 11-34 orang/ 100.000 penduduk (Anonim,

2006).

Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur.

Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008).

Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50

tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006)

terhadap penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi pada anak-anak

adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok

1
2

usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi

pada anak-anak cenderung meningkat.

Pediatrik/ anak-anak termasuk dalam populasi yang bersifat khas. Pediatrik

bukan merupakan bentuk miniatur dari orang dewasa (US. Department of Health

and Human Service, 1998). Pemilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) pada pediatrik

bukanlah tugas yang sederhana. Banyak variabel yang harus dipertimbangkan

antara lain OAE-specific variables (sindrom epilepsi spesifik, efikasi/ efektivitas,

efek samping, farmakokinetik, formulasi, dan sebagainya), patient specific

variables (latar belakang genetik, jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan status

sosial ekonomi), dan nation specific variables (ketersediaan dan biaya OAE)

(Glauser dkk, 2006).

Terapi yang bersifat khas dan memerlukan jangka waktu lama, tentunya

meningkatkan risiko terjadi Drug Related Problems (DRPs) selama pengobatan

(Siregar, 2004). DRPs adalah peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh

pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan gangguan pada

pencapaian tujuan terapi yang diinginkan. DRPs dapat dibedakan menjadi DRPs

aktual dan DRPs potensial. DRPs aktual adalah problem atau masalah yang

berkaitan dengan terapi obat yang sudah terjadi pada pasien dan harus berusaha

diselesaikan. DRPs potensial adalah suatu problem atau masalah yang mungkin

terjadi berkaitan dengan terapi obat dan menjadi suatu risiko yang dapat

berkembang pada pasien jika tidak dilakukan suatu tindakan untuk mencegahnya

(Cipolle dkk, 2004).


3

Beberapa penelitian menemukan adanya kejadian DRPs dalam pengobatan

epilepsi. Hampir semua obat antiepilepsi menyebabkan banyak masalah dengan

obat (DRPs). DRPs yang paling sering terjadi pada pengobatan epilepsi adalah

interaksi obat, kegagalan untuk menerima obat, dan efek samping obat

(Kanjanasilp dkk, 2008).

Kajian dari penelitian Dr. Wan dalam Splete (2010) menunjukkan bahwa

DRPs dalam hal efek samping masih menjadi problem bagi pasien epilepsi. Hasil

penelitian menunjukkan 21,67% pasien mengalami efek samping yang

mengganggu dan 12,69% pasien menghentikan pengobatannya. Dari 12,69%

pasien tersebut, diperoleh 45% berhenti karena efek samping.

Dewasa ini pola peresepan pada pengobatan epilepsi lini pertama ditemukan

ada dua macam pola yaitu monoterapi dan politerapi. Padahal pengobatan lini

pertama untuk kebanyakan pasien epilepsi adalah monoterapi (Sachdeo, 2007).

Sedangkan, pemilihan politerapi untuk pengobatan lini pertama epilepsi tidak

disarankan. Penggunaan politerapi baru dapat dipertimbangkan ketika pasien

gagal dua atau lebih percobaan monoterapi (WHO, 2009).

DRPs merupakan tantangan yang penting bagi tim kesehatan karena dapat

mempengaruhi morbiditas dan mortalitas serta kualitas hidup pasien. DRPs

mungkin juga memiliki konsekuensi ekonomi bagi pasien dan masyarakat (Van

Mil, 1999). Penelitian menunjukkan frekuensi DRPs berkurang setelah dilakukan

pharmaceutical care pada pasien epilepsi. Praktek pharmaceutical care salah

satunya melalui mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait

obat (DRPs) (Kanjanasilp dkk, 2008).


4

Dari hal di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan identifikasi DRPs

potensial penggunaan Obat Anti Epilepsi (OAE) pada pasien pediatrik di RSUD

Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Peneliti memilih tempat di rumah sakit

tersebut karena merupakan rumah sakit pendidikan dan milik pemerintah daerah

tingkat I di Kabupaten Banyumas. Selain itu, dari studi pendahuluan menunjukkan

bahwa dari tahun ke tahun insidensi epilepsi pada kelompok usia pediatrik paling

tinggi dibandingkan kelompok usia dewasa maupun geriatrik. Pada tahun 2010,

dari total 111 kasus epilepsi menunjukkan kelompok usia pediatrik 55,86% (62

kasus), usia dewasa 41,44% (46 kasus), dan usia geriatrik 2,70% (3 kasus). Pada

tahun 2011, dari total 107 kasus menunjukkan kelompok usia pediatrik 62,62%

(67 kasus), usia dewasa 35,51% (38 kasus), dan usia geriatrik 1,87% (2 kasus).

Pada tahun 2012, dari total 150 kasus menunjukkan kelompok usia pediatrik

59,33% (89 kasus), usia dewasa 37,33% (56 kasus), dan usia geriatrik 3,33% (5

kasus).

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah gambaran pola penggunaan obat anti epilepsi pada pasien

pediatrik di Instalasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto selama tahun 2012?

2. Berapakah jumlah dan persentase kasus epilepsi pediatrik di Instalasi Rawat

Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama tahun 2012

yang mengalami DRPs (Drug Related Problems) potensial dari penggunaan

obat anti epilepsi?


5

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui:

1. Gambaran pola penggunaan obat anti epilepsi pada pasien pediatrik di

Instalasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama

tahun 2012.

2. Jumlah dan persentase kasus epilepsi pediatrik di Instalasi Rawat Inap

RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama tahun 2012 yang

mengalami DRPs (Drug Related Problems) potensial dari penggunaan obat

anti epilepsi.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi rumah sakit

a. Menambah referensi penelitian di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto.

b. Sebagai bahan informasi, masukan, dan pertimbangan kepada rumah sakit

mengenai DRPs potensial penggunaan obat anti epilepsi pada pasien

pediatrik. Dari informasi tersebut, diharapkan tim pelayanan kesehatan baik

dokter, apoteker, perawat, dan lain-lain dapat bersama-sama untuk mencegah

dan mengatasi DRPs potensial yang teridentifikasi di kemudian hari.

Sehingga, diharapkan pasien epilepsi pediatrik akan mendapatkan pengobatan

yang lebih baik dan memperoleh outcome yang lebih optimal.

2. Bagi Peneliti dan Penelitian

a. Menambah referensi penelitian.

b. Diharapkan dapat memicu peneliti selanjutnya untuk melakukan

penelitian lebih lanjut pada DRPs yang lain.


6

E. Tinjauan Pustaka

1. Pediatrik

a. Definisi dan klasifikasi pediatrik

Pediatrik bukan merupakan miniatur dari orang dewasa. Hal ini karena pada

pediatrik masih terjadi pertumbuhan dan perkembangan dalam profil

farmakologinya yang berbeda dengan populasi dewasa (US. Department of Health

and Human Service, 1998).

Populasi pediatrik dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok berdasarkan

usia seperti pada tabel berikut ini:

Tabel I. Klasifikasi Pediatrik Berdasarkan Kelompok Usia


Kelompok Usia
Neonatus sejak lahir- 1 bulan
Infant 1 bulan - < 12 bulan
Anak-anak 1 tahun - 12 tahun
Remaja 13 tahun - 18 tahun
(US. Department of Health and Human Service, 1998)

Pada pasien epilepsi, menurut Aicardi (1994) terdapat penggolongan

kelompok usia yang masing-masing mempunyai korelasi dengan sindrom

epilepsi. Penggolongan tersebut antara lain:

1.) Kelompok neonatus 3 bulan

2.) Kelompok usia 4 bulan 4tahun

3.) Kelompok usia 5 - 9 tahun

4.) Kelompok usia lebih dari 9 tahun

b. Profil farmakologi/ farmakokinetik pada pediatrik

Perubahan dalam populasi pediatrik yang masih dalam proses pertumbuhan

dan perkembangan menjadi faktor yang mempengaruhi ADME (Absorpsi,


7

Distribusi, Metabolisme, dan Ekskresi) dan menyebabkan perubahan dalam

tindakan farmakokinetik dan/ atau parameter farmakokinetikanya (US.

Department of Health and Human Service, 1998).

Secara umum, informasi farmakokinetik diperlukan untuk memilih dosis

yang tepat pada populasi anak-anak, mengingat kesimpulan bahwa perjalanan

penyakit pada populasi orang dewasa dan anak-anak cukup mirip untuk

memungkinkan ekstrapolasi data dewasa untuk anak-anak dan dosis/ hubungan

respon juga mirip (US. Department of Health and Human Service, 1998).

Perubahan profil farmakokinetika pediatrik pada proses ADME antara lain

sebagai berikut:

1.) Absorpsi

Perubahan perkembangan pada populasi anak dapat mempengaruhi absorpsi

termasuk efek pada tingkat keasaman lambung, pengosongan lambung dan usus,

luas permukaan dari situs penyerapan, sistem enzim pencernaan untuk obat yang

secara aktif diangkut di mukosa gastrointestinal, permeabilitas pencernaan, dan

fungsi empedu. Demikian pula perubahan perkembangan di kulit, otot lemak, dan

termasuk perubahan dalam kandungan air serta tingkat vaskularisasi, dapat

mempengaruhi pola absorpsi obat yang diberikan melalui intramuskular,

subkutan, atau perkutan (Yaffe, 1992).

Absorpsi pada gastrointestinal, dapat digambarkan melalui tabel berikut ini:


Tabel II. Absorpsi Gastrointestinal pada Pediatrik Dibandingkan Dewasa
Jalur Prematu Neonatu Early Mid-Infant3 6 24 Older
Penyerapan r s<1 infant 5 month month child
neonatus bulan
Oral , ,
Dermal
Lung
8

(Holbein, 2003)

2.) Distribusi

Distribusi obat dapat dipengaruhi oleh perubahan komposisi tubuh, seperti

perubahan total air dan jaringan adiposa/ lemak, yang belum tentu sebanding

dengan perubahan total berat badan. Perubahan dalam ikatan protein plasma juga

dapat mempengaruhi distribusi (Gilman, 1990).

90
80
70
%Total body weight

60
50
40
Total water
30
Body fat
20
10
0
Baru 3 6 9 1 5 10 20 40
lahir bulan bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun
Usia

Gambar 1. Perbedaan Komposisi Total Air dan Lemak pada Berbagai Usia

(Kearn, 2003)

3.) Metabolisme

Metabolisme obat biasanya terjadi dalam hati, tetapi juga dapat terjadi dalam

ginjal, paru-paru, dan kulit. Perubahan dalam kapasitas metabolisme dapat

mempengaruhi penyerapan dan eliminasi, tergantung pada sejauh mana proses

metabolisme usus dan hati yang terlibat. Meskipun perubahan perkembangan

diakui, informasi tentang metabolisme obat tertentu pada bayi baru lahir, bayi, dan

anak-anak sangat terbatas. Secara umum, dapat diasumsikan bahwa anak-anak


9

akan membentuk metabolit yang sama seperti orang dewasa melalui jalur seperti

oksidasi, reduksi, hidrolisis, dan konjugasi, namun tingkat pembentukan metabolit

bisa berbeda (US. Department of Health and Human Service, 1998).

Tabel III. Perbedaam Farmakokinetik Metabolisme Fase I

Enzim Pemetabolisme Perkembangan Ulasan


Enzim Pengoksidasi Sangat berkurang saat lahir Memperpanjang eliminasi beberapa
obat, seperti fenitoin, diazepam
Hepatic monooxygenase Melebihi kapasitas dewasa
system oleh usia 6 bulan
Alkohol dehidrogenase Mendekati kapasitas mirip Hadir pada 2 bulan, namun <3-4 %
dewasa setelah usia 5 tahun kapasitas dewasa
Demetilasi Tidak terlihat sampai 14-15
bulan
Hidrolisis Muncul pertama pada usia
beberapa bulan
(Manuel dan Kerner, 2003)

Tabel IV. Perkembangan Farmakologi Metabolisme Fase 1

Metaboli Premature Neonatal Early Mid- Late infant- Older child


sme Fase neonates <1 infant Infant toddler
1 month 35 month 6 24
month
CYP1A2 Scale Scale BW3/4
BW3/4
CYP2E1 Scale Scale BW3/4
BW3/4
CYP A Scale Scale BW3/4
BW3/4
CYP3A7
Other Scale BW 3/4
Scale BW3/4
CYPs
ADH Scale BW3/4 Scale BW3/4

(Holbein, 2003)

Tabel V. Perkembangan Farmakologi Metabolisme Fase 2

PK Pathway Premature Neonatal Early Mid- Late infant- Older


Metabolism: Neonates <1 infant Infant toddler child
Phase II month 35 month 6 24 month
Glucuonidation
N-acetylation
(Holbein, 2003)
10

4.) Ekskresi

Jalur ekskretoris dapat mempengaruhi ekskresi obat misalnya lewat ginjal,

rute empedu, dan paru. Ekskresi obat oleh ginjal dikontrol oleh filtrasi

glomerulus, sekresi tubular, dan reabsorpsi tubular. Usia dapat mempengaruhi

eksposur sistemik untuk obat di mana ekskresi ginjal adalah jalur eliminasi yang

dominan. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut ini:

Tabel VI. Perbedaan Farmakokinetik: Eliminasi Filtrasi Glomerulus

Usia Kreatinin Serum GFR (ml/menit/1,73 m2)


Neonatus 0,3-1 10-15
1-2 minggu 20-30
Infant 0,2-0,4 73-127
Anak-anak 0,3-0,7 100-130
Remaja laki-laki 0,6-1,2 100-120
Remaja perempuan 0,5-1,1 100-120
(Murphy, 2005)

2. Epilepsi

a. Definisi

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu kondisi neurologis yang ditandai oleh

adanya kejadian kejang berulang (kambuhan) yang bersifat spontan disebabkan

oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari neuron otak

(Ikawati, 2011). Serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama

epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara

paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel syaraf di

otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut

(unprovoked) (Shorvon, 2000).

Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat dicirikan

sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan, dan
11

cenderung untuk berulang. Sedangkan gejala dan tanda-tanda klinis tersebut

sangat bervariasi dapat berupa gangguan tingkat penurunan kesadaran, gangguan

sensorik (subjektif), gangguan motorik atau kejang (objektif), gangguan otonom,

dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak

fokus epileptogenesis atau sarang epileptogen dan penjalarannya sehingga

dikenalah bermacam jenis epilepsi (Shorvon, 2000).

b. Epidemiologi

Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang umum terjadi di

seluruh dunia (WHO, 2001). Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar

antara 33-198 per 100.000 penduduk tiap tahunnya (WHO, 2006). Insiden epilepsi

di negara maju ditemukan sekitar 50/100.000 penduduk, sementara di negara

berkembang mencapai 100/100.000 penduduk (WHO, 2001). Di Indonesia sendiri,

prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,5%- 2%. Jadi,

apabila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, maka kemungkinan

penderita epilepsi sebanyak 1-4 juta jiwa. Sedangkan, insidensi epilepsi di

Indonesia berkisar antara 11-34 orang/ 100.000 penduduk (Anonim, 2006).

Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur.

Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008).

Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50

tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006)

terhadap penelitian terdahulu menunjukkan insidensi epilepsi pada anak-anak

adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok
12

usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi

pada anak-anak cenderung meningkat.

c. Etiologi

Dilihat dari penyebabnya, sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui

sebabnya (epilepsi idiopatik) dan 30% yang diketahui sebabnya (epilepsi

simptomatik) (Perdossi, 2003). Epilepsi dapat disebabkan oleh abnormalitas

aktivitas syaraf akibat proses patologis yang mempengaruhi otak, gangguan

biokimia atau metabolik, dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma pada saat

lahir, atau cedera lain (Ikawati, 2011).

Pada bayi, penyebab paling sering yaitu asfiksi atau hipoksia waktu lahir,

gangguan metabolik, trauma intrakranial waktu lahir, malformasi kongenital otak,

atau infeksi. Penyebab epilepsi pada usia 5-6 tahun umumnya karena febril/

demam tinggi. Sedangkan pada anak-anak dan usia remaja kebanyakan berupa

epilepsi idiopatik, yang tidak diketahui penyebabnya (Ikawati, 2011). Bila salah

satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan 4% anaknya

epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya

epilepsi menjadi 20% - 30% (Gram dan Dam, 1995).

Dan untuk usia dewasa, penyebab epilepsi lebih variatif antara lain idiopatik,

karena birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 tahun), dan faktor

risiko penyakit serebro vaskuler (> 50 tahun) (Ikawati, 2011).


13

Gambar 2. Penyebab Epilepsi yang Dikelompokan Berdasarkan Usia

( Brodie dkk, 2005)

Menurut Harsono (1999) dari penyebabnya epilepsi ada 2 golongan yaitu:

1.) Epilepsi primer (idiopatik)

Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya. Pada

epilepsi primer tidak ditemukan adanya kelainan anatomik seperti trauma

maupun neoplasma yang menimbulkan kejang. Ada dugaan bahwa terjadi

kelainan pada gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel syaraf di

area jaringan otak yang abnormal. Kejang yang terjadi dapat ditimbulkan

karena abnormalitas susunan syaraf pusat.


14

2.) Epilepsi sekunder

Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder atau

akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Jadi pada epilepsi sekunder

penyebabnya diketahui. Kelainan jaringan otak dapat dikarenakan bawaan

sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada

waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Gangguan ini bersifat

reversible, misalnya tumor, trauma, luka kepala, meningitis, dan lainnya.

Obat antiepilepsi diberikan hingga penyakit primer dapat disembuhkan.

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut:

a.) Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin, seperti ibu pada

saat hamil menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,

minum alkohol, mengalami infeksi, atau mengalami cedera.

b.) Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti hipoksia atau

kerusakan karena tindakan.

c.) Kecenderungan timbulnya epilepsi yang diturunkan.

d.) Penyakit keturunan seperti Fenil Keto Uria (FKU), sklerosis tube

rose, dan neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang yang

berulang.

e.) Cedera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak.

f.) Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak.

g.) Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah

otak.

h.) Tumor otak, tetapi tidak umum pada anak-anak.


15

d. Patofisiologi

Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan

baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron

menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-

neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam

mekanisme pengaturan ini adalah glutamat, yang merupakan brains excitatory

neurotransmitter dan GABA (Gamma Amino Butyric Acid), yang bersifat sebagai

brains inhibitory neurotransmitter (Cotman, 1995).

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan

asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,

dopamine, serotonin (5-HT), dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya

dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut (Cotman,

1995).

Kejang adalah manifestasi paroksismal dari sifat listrik di bagian korteks otak.

Kejang terjadi saat adanya ketidakseimbangan antara kekuatan eksikatori/

pemicuan dan inhibisi/ penghambatan dalam jaringan neuron kortikal (Ikawati,

2011). Menurut Cotman (1995), ketidakseimbangan antara eksikatori dan

inhibitori tersebut terjadi secara tiba-tiba pada keadaan berikut ini:

1.) Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang

optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata

memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus


16

oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post

sinaptik.

2.) Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat

normal tetapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan

ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada

penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat

di otak.

e. Diagnosa

Evaluasi penderita dengan gejala yang bersifat paroksismal, terutama dengan

faktor penyebab yang tidak diketahui, memerlukan pengetahuan dan keterampilan

khusus untuk dapat menggali dan menemukan data yang relevan. Dalam

melakukan pemeriksaan, pemeriksa dituntut supaya mampu melakukan

pemeriksaan anamnesis yang cermat dan tepat terhadap penderita (wawancara

riwayat kejang pasien, termasuk apa yang terjadi sebelum, selama, dan setelah

serangan kejang), serta melakukan pemeriksaan klinis dan neurologis secara

sistematik. Apabila hasil diagnosa mengarah ke epilepsi maka sudah sepantasnya

direncanakan pemeriksaan spesifik yang mendukung diagnosa epilepsi (Harsono,

2001). Pemeriksaan tersebut antara lain Electroencephalography (EEG),

Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography (CT) Scanning

(Ikawati, 2011). Penegakan diagnosa harus dilaksanakan secara runut dan terarah.

Diagnosa merupakan kesimpulan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang

telah dikerjakan. Apabila telah diyakini bahwa kasus yang dihadapi adalah kasus
17

epilepsi maka seyogyanya diagnosanya tidak terhenti pada epilepsi saja.

Identifikasi jenis serangan maupun jenis epilepsi harus memperjelas diagnosa. Hal

ini sangat diperlukan karena berkaitan erat dengan rencana pemberian OAE.

Sementara itu, pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk

mencari faktor penyebabnya (Harsono, 2001).

Dalam situasi yang meragukan, maka dapat terjadi dua macam kekeliruan.

Pertama, kasus bukan epilepsi dengan gejala yang sangat mirip epilepsi

didiagnosa sebagai epilepsi. Kedua, kasus epilepsi yang gejalanya sangat samar

atau tidak dikenal sebagai gejala epilepsi dianggap kasus bukan epilepsi. Kedua

jenis kekeliruan tadi akan membawa akibat yang sangat merugikan kepada

penderita, karena diagnosa tidak berubah dan terapinya tetap berdasarkan

diagnosa yang keliru. Situasi yang merugikan akan mendorong pemikiran ke arah

diagnosa banding. Konsekuensi diagnosa banding adalah pemikiran dan upaya

untuk membuktikan berbagai kemungkinan yang ada. Secara teori, akan terjadi

sederetan pemeriksaan tambahan yang biayanya cukup mahal. Sebaliknya, apabila

tidak dilakukan pemeriksaan penunjang maka pihak pemeriksa tetap dalam

keadaan ragu-ragu (Harsono, 2001).

Diagnosa epilepsi sebaiknya sampai dengan jenis epilepsi, gejala-gejala, dan

faktor pencetus serangan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan program terapi dan

pemberian OAE. Disamping itu, apabila memungkinkan diagnosa etiologi

ditegakkan pula, dengan demikian program terapi dan pemberian OAE dapat

dibuat secara menyeluruh (Harsono, 2001).


18

f. Klasifikasi Kejang dan Tipe Epilepsi

Berdasarkan tanda klinik dan data EEG (Electroencephalography), kejang

dibagi menjadi 4 yaitu:

1.) Kejang umum (generalized seizure), yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi

terjadi pada kedua hemisfer otak secara bersama-sama.

Tabel VII. Klasifikasi Kejang Umum


Kejang umum (generalized seizure) Keterangan
yang terdiri dari :
Bentuk kejang yang paling banyak terjadi.

Pasien bisa tiba-tiba kehilangan kesadaran, diikuti


dengan kejang yang disebut fase tonik selama 30-60
detik, kemudian kejang klonik selama 30-60 detik.
Bisa terjadi sianosis, inkontinensi urin, atau menggigit
lidah.
Tonic-clonic convulsion
a.) Terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah,
(grand mal)
kebingungan, sakit kepala atau tertidur.
Pasca kejang pasien mendapatkan kembali kesadaran,
mungkin merasa sangat lelah dengan sakit kepala dan
kebingungan. Pasien tidak memiliki memori tentang apa
yang terjadi, dan mungkin menemukan dirinya di lantai
dalam posisi yang aneh. Seringkali jatuh ke dalam tidur
nyenyak.
Jenis yang jarang.

Umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal


remaja.
Onset mendadak, biasanya tidak ada atau hanya minimal
manifestasi motorik.
b.) Abscense attacks/ petit mal Penderita tiba-tiba melotot dengan pandangan kosong,
atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala terkulai.
Tidak responsif bila diajak bicara.

Kejadiannya hanya beberapa detik, dapat terjadi beberapa


kali sehari, dan bahkan sering tidak disadari oleh
penderita sendiri.
Biasanya terjadi pada pagi hari setelah bangun tidur.

Terdiri dari sentakan tiba-tiba seperti terkena sengatan


listrik, umumnya terjadi pada dua sisi tubuh.
c.) Myoclonic seizure
Pasien mungkin secara tidak sadar akan menjatuhkan
atau membuang benda yang dipegangnya.
Jenis yang sama (tetapi non-epileptik) bisa terjadi pada
orang normal.
19

Tabel VII. Lanjutan...

Kejang umum (generalized seizure) Keterangan


yang terdiri dari :
Jarang terjadi.

Bisa mengalami kehilangan kekuatan otot, terutama


d.) Atonic seizure lengan dan kaki, sehingga bisa jatuh.
Kejang ini sangat singkat, hanya beberapa detik, tetapi
mungkin terjadi beberapa kali sehari.
Kadang-kadang pasien memiliki epilepsi tambahan
seperti absence atau myoclonic seizure.
Kekuatan otot meningkat sehingga tubuh, lengan, dan
kaki pasien memegang/ mengencang secara tiba-tiba.
Sering terjadi penyimpangan pada mata dan kepala ke
arah satu sisi, kadang-kadang rotasi dari seluruh tubuh.
Sering terjadi saat pasien tidur dan melibatkan seluruh
e.) Tonic seizure bagian otak sehingga mempengaruhi seluruh tubuh.
Ada kehilangan kesadaran secara immediate.

Jika pasien berdiri saat kejang ini terjadi, pasien akan


jatuh.
Jarang terjadi.

f.) Clonic seizure


Terdiri dari gerakan sentakan ritmik dari tangan dan kaki,
terkadang terjadi kedua sisi tubuh pasien.
Terjadi pada usia antara 3 sampai 12 bulan dan umumnya
berhenti pada usia 2 sampai 4 tahun.
Sentakan tiba-tiba yang diikuti dengan penegangan.

Infantile spasms/ West


g.) Seringkali lengan tangan terentangkan dengan cepat, lutut
syndrome
tertarik ke atas dan tubuh membungkuk ke depan (jack
knife seizures).
Sering terjadi setelah bangun tidur dan jarang terjadi
dalam kondisi tidur.

( Ikawati, 2011 dan WHO, 2002)

2.) kejang parsial/ fokal yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi dimulai dari

daerah tertentu dari otak.


20

Tabel VIII. Klasifikasi Kejang Parsial

Kejang parsial Keterangan


yang terdiri dari :
Pasien tidak kehilangan kesadaran dan karena itu dapat memberitahu apa
yang terjadi, tetapi pengalaman yang dialami mungkin sangat aneh sehingga
mungkin tidak dapat mengekspresikannya dengan baik.
Terjadi sentakan-sentakan pada bagian tertentu dari tubuh.
Gejala yang muncul tergantung pada bagian otak yang dipengaruhi, antara
lain :
(1.) gejala motorik, fokusnya adalah pada korteks motor utama
(2.) gejala somatosensory atau special sensory, fokusnya di post central
Simple gyrus (primary sensory cortex). Mungkin ada perasaan kesemutan,
a.) partial tertusuk pin dan jarum, dingin atau panas, atau mati rasa anggota
seizure badan. Kadang-kadang mungkin ada perasaan aneh dengan tanda-
tanda visual, mendengar, atau sensasi bau
(3.) gejala autonomik, terkait dengan fokus di lobus temporal. Mungkin
ada sensasi naik dari epigastrum ke tenggorokan, palpitasi,
berkeringat, atau flushing
(4.) gejala psikis: terdiri dari perubahan suasana hati, memori, atau
pikiran. Mungkin ada persepsi yang terdistorsi (waktu, ruang, atau
orang) atau masalah dengan bahasa. Bisa terjadi halusinasi
struktural (musik, adegan)
Melakukan gerakan-gerakan tak terkendali antara lain gerakan mengunyah
dan meringis, tanpa kesadaran.
Berawal sebagai kejang parsial sederhana dan berkembang untuk penurunan
kesadaran.
Tidak kehilangan kesadaran secara penuh, ia sedikit menyadari apa yang
terjadi tetapi tidak bisa merespon apa-apa.
Complex Ada aura, perasaan aneh di perut naik ketenggorokan dan kepala, atau
b.) partial sensasi cahaya, bau, suara atau rasa.
seizures Mungkin disertai dengan perubahan persepsi seperti waktu (terasa terlalu
lambat atau cepat), cahaya, suara, dan ruang.
Kadang-kadang terjadi dengan halusinasi atau dengan psikomotor
gejala seperti otomatisasi yaitu gerakan otomatis, misalnya menarik-narik
pakaian, karet, memukul bibir, atau gerakan berulang tanpa tujuan.
Recovery yang lambat pasca kejang dan disertai periode kebingungan.

( Ikawati, 2011 dan WHO, 2002)

3.) Unclassified seizures yaitu semua jenis kejang yang tidak dapat

diklasifikasikan karena ketidaklengkapan data atau tidak dapat dimasukan

dalam kategori klasifikasi yang tersebut di atas (Ikawati, 2011).

4.) Status epileptikus, yaitu kejang yang terjadi terus menerus selama 5 menit

atau lebih atau kejadian kejang 2 kali atau lebih tanpa pemulihan

kesadaran di antara dua kejang tersebut. Status epileptikus merupakan


21

kondisi darurat yang memerlukan pengobatan secara tepat untuk

meminimalkan kerusakan neurologik permanen maupun kematian

(Ikawati, 2011). Status ini mungkin bisa terjadi sebagai epilepsi pertama

bagi pasien, atau dapat dipicu oleh penghentian antikonvulsan secara tiba-

tiba (WHO, 2002).

g. Terapi Epilepsi

Farmakoterapi epilepsi sangat individual dan membutuhkan titrasi dosis

untuk mengoptimalilasi terapi obat antiepilepsi (maksimal dalam mengontrol

kejang dengan efek samping yang minimal) (Ikawati, 2011).

1.) Tujuan terapi

Tujuan terapi epilepsi adalah untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi

kejang dan memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan

memungkinkan pasien dapat hidup dengan normal. Khusus untuk status

epileptikus, terapi sangat penting untuk menghindarkan pasien dari kegawatan

akibat serangan kejang yang berlangsung lama (Ikawati, 2011).

Dari kelompok pasien yang menjalani terapi ada yang dapat terbebas dari

minum obat 2-4 tahun secara terus menerus, namun ada juga yang sembuh secara

alamiah setelah mencapai usia tertentu dan ada pula yang harus minum OAE

seumur hidup. Beberapa pasien mungkin secara genetik refrakter terhadap terapi

OAE. Pasien epilepsi refrakter yaitu tidak mampu dikendalikan bangkitan dengan

jenis OAE apapun, bahkan dengan dosis maksimum (Wells, 2005).


22

2.) Sasaran terapi

Sasaran terapi epilepsi adalah keseimbangan neurotransmiter GABA di otak

(Ikawati, 2011).

3.) Strategi terapi

Strategi terapi epilepsi adalah mencegah atau menurunkan lepasnya muatan

listrik syaraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur

ketersediaan neurotransmitter, dan atau mengurangi penyebaran pacuan dari fokus

serangan dan mencegah cetusan serta putusnya fungsi agregasi normal neuron

(Ikawati,2011).

4.) Tata laksana terapi

a.) Terapi farmakologi

Terapi farmakologi pada epilepsi merupakan terapi menggunakan OAE

(Obat Anti Epilepsi).

b.) Terapi non-farmakologi

Selain dengan terapi menggunakan obat, dapat pula dilakukan terapi

non-farmakologi. Terapi non-farmakologi untuk epilepsi meliputi:

(1.) Pembedahan

Merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami kejang meskipun

sudah mendapat lebih dari 3 agen antikonvulsan, adanya abnormalitas

fokal, lesi epileptik yang menjadi pusat abnormalitas epilepsi (Ikawati,

2011).
23

(2.) Diet Ketogenik

Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan

rendah karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein untuk

pertumbuhan, terapi kurang karbohidrat untuk kebutuhan

metabolisme tubuh. Dengan demikian tubuh akan menggunakan

lemak sebagai sumber energi, yang pada gilirannya akan

menghasilkan senyawa keton. Mekanisme diet ketogenik sebagai

antiepilepsi masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa

keton ini diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan kejang.

Adanya senyawa keton secara kronis akan memodifikasi siklus

asam trikarbosilat untuk meningkatkan sintesis GABA di otak,

mengurangi pembentukan reactive oxigene species (ROS), dan

meningkatkan produksi energi dalam jaringan otak. Selain itu,

beberapa aksi penghambatan syaraf lainnya adalah peningkatan asam

lemak tak jenuh ganda yang selanjutnya akan menginduksi ekspresi

neural protein uncoupling (UCPs), meng-upregulasi banyak gen

yang terlibat dalam metabolisme energi dan biogenesis mitokondria.

Efek-efek ini lebih lanjut akan membatasi pembentukan ROS dan

meningkatkan produksi energi dan hiperpolarisasi syaraf. Berbagai

efek ini secara bersama-sama diduga berkontribusi terhadap

peningkatan ketahanan syaraf terhadap picuan kejang (Ikawati,

2011).
24

3. Obat Anti Epilepsi (OAE)

a. Kategori OAE

Obat-obat antiepilepsi dapat dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan efeknya

yaitu efek langsung pada membran yang eksitabel dan efek melalui perubahan

neurotransmitter (Wibowo dan Gofir, 2006).

1.) Efek langsung pada membran yang eksitabel

Gambar 3. Mekanisme Inhibisi Obat Anti Epilepsi

(Wibowo dan Gofir, 2006)

Perubahan pada permeabilitas membran merubah fase recovery serta

mencegah aliran frekuensi tinggi dan neuron-neuron pada keadaan lepas muatan
25

listrik epilepsi. Efek ini karena adanya perubahan mekanisme pengaturan aliran

ion Na+ dan ion Ca2+. Channel Na secara dinamis berada dalam tiga keadaan:

a.) Keadaan istirahat yaitu keadaan selama Na+ berjalan menuju ke sel

melalui channel Na.

b.) Keadaan aktif yaitu keadaan dimana terjadi peningkatan Na+ yang masuk

ke dalam sel.

c.) Keadaan inaktif yaitu keadaan dimana channel tidak memberikan jalan

untuk Na+ masuk ke dalam sel.

Dalam keadaan istirahat, sel-sel neuron mempunyai keseimbangan antara ion

ekstraseluler dan intraseluler, yakni ion Ca, Na, dan Cl lebih cenderung berada di

luar sel sedangkan ion K cenderung berada di dalam sel. Adanya rangsang

mekanik, kimiawi, dan listrik serta rangsangan lain akibat suatu penyakit

membuat permeabilitas membran terhadap ion-ion tersebut meningkat. Ion Na,

Ca, dan Cl masuk ke dalam sel secara berlebihan. Hal ini mencetuskan pelepasan

muatan listrik yang berlebihan sehingga menyebabkan terjadinya epilepsi

(Wibowo dan Gofir, 2006).

Obat-obat anti epilepsi dengan mekanisme ini, bekerja dengan memblokade

channel Na sehingga menutup channel ini dan membuat channel Na dalam

keadaan inaktif. Blokade channel Na pada akson pre-post sinaptik menyebabkan

stabilisasi membran neuronal, menghambat dan mencegah potensial aksi post

tetanik, membatasi perkembangan aktifitas serangan, dan mengurangi penyebaran

serangan (Wibowo dan Gofir, 2006). Adapun OAE dengan mekanisme ini antara
26

lain fenitoin, karbamazepin, okskarbazepin, valproat, dan lamotigrin (Ikawati,

2011).

Efek perubahan mekanisme pengaturan aliran ion Ca2+ melalui mekanisme

menghambat kanal ion Ca2+ tipe T. Arus Ca2+ kanal tipe T merupakan arus

pacemaker dalam neuron talamus yang bertanggung jawab terjadinya letupan

kortikal ritmik kejang. Obat anti epilepsi yang menurunkan nilai ambang arus ion

Ca2+, contohnya yaitu etoksuksimid (Ikawati, 2011).

2.) Efek melalui perubahan neurotransmiter

Gambar 4. Mekanisme Eksitasi Obat Anti Epilepsi

(Wibowo dan Gofir, 2006)


27

Mekanisme obat jenis ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu mekanisme

dengan memblokade aksi glutamat (glutamate blockers) dan mekanisme dengan

mendorong aksi inhibisi GABA (Gamma Amino ButyricAcid) pada membran post-

sinaptik dan neuron (Wibowo dan Gofir, 2006).

a.) Blokade aksi glutamat (glutamate blockers)

Reseptor glutamat mengikat glutamat, suatu neurotransmitter eksitatorik asam

amino yang penting dalam otak. Reseptor glutamat mempunyai 5 tempat ikatan

yang potensial sehingga menyebabkan respon yang berbeda-beda tergantung

tempat yang distimulasi atau dihambat. Tempat pengikatan tersebut diantaranya

kainite site, Alpha-amino-3-hidroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA)

site, N-methyl-D-aspartate (NMDA) site, glisine site, dan metabotropic site yang

mempunyai 7 subunit (Glu R 1-7). Adapun obat-obat anti epilepsi yang termasuk

dalam mekanisme ini diantaranya ialah felbamat dan topiramat (Wibowo dan

Gofir, 2006).

b.) Mendorong aksi inhibisi GABA pada membran post sinaptik dan neuron

Reaksi kejang merupakan hasil ketidakseimbangan antara aktivitas

eksitasidan inhibisi pada otak, dimana aktivitas eksitasinya lebih tinggi daripada

inhibisi. Akson melepaskan neurotransmitter, melalui ruang sinaps yang

berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan sel neuron lain. Neurotransmitter

terbagi menjadi dua bagian yaitu eksitator dan inhibitor. Hasil pengaruh kedua

neurotransmitter tersebut dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. Jika yang terjadi

lebih kuat eksitasi, maka neuron akan lebih mudah melepaskan muatan listrik dan
28

meneruskan impuls ke neuron-neuron lain. Sebaliknya jika inhibisi yang lebih

kuat, maka neuron-neuron akan dihambat untuk tidak meneruskan impuls ke

neuron lain. Proses inhibisi ini akan menghentikan serangan epilepsi (Wibowo

dan Gofir, 2006).

Obat-obat yang bekerja dengan meningkatkan transmisi inhibitori

GABAergik, antara lain:

(1.) agonis reseptor GABA, dengan mekanisme meningkatkan transmisi

inhibitori dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA. Contohnya

benzodiazepin dan barbiturat.

(2.) inhibitor GABA transaminase, dengan mekanisme menghambat GABA

transaminase sehingga konsentrasi GABA meningkat. Contohnya

vigabatrin.

(3.) Inhibitor GABA transporter, dengan mekanisme menghambat GABA

transporter sehingga memperlama aksi GABA. Contohnya tiagabin.

(4.) meningkatkan konsentrasi GABA, diperkirakan dengan menstimulasi

pelepasan GABA dari non-vesicular pool pada cairan serebrospinal pasien.

Contohnya gabapentin.

(Ikawati, 2011)
29

b. Prinsip Penggunaan OAE

Dalam pemberian OAE pada pasien epilepsi perlu memperhatikan prinsip-


prinsip sebagai berikut:
Tabel IX. Prinsip Penggunaan OAE
Prinsip Umum
1.) Terapi antiepilepsi dipilih yang sesuai 8.) Apabila gagal mencapai target terapi
dengan jenis epilepsi, adverse effect dari yang diharapkan, obat antiepilepsi dapat
obat antiepilepsi yang spesifik, dan dihentikan secara perlahan dan diganti
kondisi pasien dengan obat lain. Penggunaan obat
antiepilepsi secara politerapi sebaiknya
dihindari

2.) Monoterapi lebih baik untuk mengurangi 9.) Jika memungkinkan dapat dilakukan
potensi adverse effect, meningkatkan monitoring kadar obat dalam darah
kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa sebagai dasar dilakukan penyesuaian
politerapi lebih baik dari monoterapi dosis disertai dengan pengamatan
terhadap kondisi klinis pasien

3.) Menghindari atau meminimalkan 10.) Jika dosis obat yang dapat
penggunaan antiepilepsi sedatif untuk ditoleransi tidak dapat mengontrol
mengurangi toleransi, efek pada kejang atau efek samping dialami oleh
intelegensia, memori, kemampuan pasien, obat pertama dapat diganti
motorik bisa menetap selama pengobatan (disubstitusi dengan obat lini pertama
lainnya dari obat antiepilepsi)

4.) Penggunaan OAE tidak mempengaruhi 11.) Interval waktu tertentu, perlu
status mental memonitoring kemungkinan timbul
ketoksikan

5.) Jika memungkinkan, terapi diinisiasi 12.) Terapi OAE dilanjutkan pada
dengan satu antiepilepsi nonsedatif, jika pasien bebas kejang hingga 1-2 tahun
gagal dapat diberikan antiepilepsi sedatif
atau dengan politerapi

6.) Pemberian obat antiepilepsi diinisiasi 13.) Jangan memutus OAE tanpa
dengan dosis terkecil dan dapat mengecek EEG pasien
ditingkatkan sesuai kondisi klinis pasien.
Hal ini untuk meningkatkan kepatuhan
pasien

7.) Variasi individual pasien terhadap respon 14.) Penghentian OAE dilakukan
obat antiepilepsi memerlukan pemantauan dengan menurunkan dosis secara
ketat dan penyesuaian dosis perlahan

( Ikawati, 2011 dan Shih, 2007)


30

c. Pedoman penggunaan OAE

Tentukan kapan memulai pengobatan

Pilih obat monoterapi sesuai dengan jenis serangan

Pengaturan dosis sesuai karakter individu


Evaluasi hasil

Naikan dosis perlahan sampai serangan terkontrol


Kurang atau sampai dosis maksimal yang dapat ditoleransi
Baik
baik atau sampai efek samping muncul

Lanjutkan Evaluasi hasil

Tidak efektif

Ganti dengan obat first line lainnya dari group


yang berbeda

Evaluasi hasil
Evaluasi diagnosis,
ketaatan pasien, tipe
serangan, komplikasi,
penyakit lain Tidak efektif

tidak efektif
Politerapi dengan
kombinasi 2 macam obat
lini pertama Ganti 1 obat lini pertama dengan lini kedua

Tidak efektif
efektif

Epilepsi refrakter,
hentikan obat lini ke-2 dan Pertimbangan untuk
coba berbagai macam menarik obat lini 1
OAE, pembedahan sehingga menjadi
monoterapi , dengan obat
lini ke-2

Gambar 5. Bagan Pedoman Penggunaan OAE

(Wibowo dan Gofir, 2009)


31

d. Aspek-aspek yang harus diperhitungkan dalam memilih OAE, antara lain:

1.) Efikasi yaitu seberapa baik obat dalam menghentikan bangkitan kejang

pada pasien.

2.) Keamanan yaitu ada tidaknya risiko serius untuk reaksi idiosinkrasi dan

sifat teratogenik.

3.) Adverse effects yaitu efek samping yang dapat terjadi.

4.) Kemudahan administrasi, meliputi: frekuensi dosis, inisiasi pengobatan

dengan dosis biasa atau titrasi lambat, serta ada tidaknya sediaan

parenteral.

5.) Profil farmakokinetika, seperti dimetabolisme oleh hati atau tidak,

diekskresikan oleh ginjal atau tidak, dan terikat dengan protein atau tidak,

serta penyerapan dipengaruhi oleh makanan/ obat-obatan atau tidak.

6.) Interaksi obat, hal ini dapat dikaitkan dengan banyak OAE yang

menginduksi interaksi obat yang merangsang atau menghambat enzim

sitokrom P450.

7.) Biaya, hal ini menjadi masalah tertentu terutama pada pasien miskin dan

lansia.

( Venkataraman dan Narayanan, 2005)

e. Pemilihan OAE pada pediatrik

Pemberian/ administrasi obat pada pediatrik perlu mendapat perhatian.

Pemilihan OAE untuk epilepsi pada pediatrik bukanlah tugas yang sederhana.

Banyak variabel yang harus dipertimbangkan antara lain AED-specific variables

(sindrom epilepsi spesifik, efikasi/ efektivitas, efek samping, farmakokinetik,


32

formulasi, dan sebagainya), patient specific variables (latar belakang genetik,

jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan status sosial ekonomi), dan nation specific

variables (ketersediaan dan biaya OAE) (Glauser dkk, 2006).

Tabel X. Pemilihan OAE Tiap Jenis Seizure pada Pediatrik

Tipe seizure First-line drugs Second-line Alternatif/ obat Obat yang harus
drugs lain yang dihindari
dapat (mungkin
dipertimbangkan memperburuk
kejang)
Generalised Karbamazepina Klobazam Asetazolamida Tiagabin
tonicclonic Lamotriginb Levetirasetam Klonazepam Vigabatrin
Valproat Okskarbazepina Fenobarbitala
Topiramata,b Fenitoina
Primidona,c
Absence Etoksuksimid Klobazam Karbamazepina
Lamotriginb Klonazepam Gabapentin
Valproat Topiramata Okskarbazepina
Tiagabin
Vigabatrin
Myoclonic Valproat Klobazam Karbamazepina
Topiramata Klonazepam Gabapentin
Lamotrigin Oksarbazepina
Levetirasetam Tiagabin
Pirasetam Vigabatrin
Tonic Lamotriginb Klobazam Asetazolamida Karbamazepina
Valproat Klonazepam Fenobarbitala Okskarbazepina
Levetirasetam Fenitoina
Topiramata Primidona,c
Atonic Lamotriginb Klobazam Asetazolamida Karbamazepina
Valproat Klonazepam Fenobarbitala Okskarbazepina
Levetirasetam Primidona,c Fenitoina
Topiramata
Infantile Steroid a Klobazam Nitrazepam Karbamazepina
spasms Vigabatrin b Klonazepam Okskarbazepina
Valproat
Topiramata
Focal Karbamazepina Klobazam Asetazolamidac
b
with/without Lamotrigin Gabapentin Klonazepam
secondary Okskarbazepinab Levetirasetam Fenobarbitala
generalisati Valproat Fenitoina Primidona,c
a,b
on Topiramat Tiagabin
Keterangan :
a. Enzim hati menginduksi OAE.
b. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE
Technology Appraisal of Newer AEDs for Children.
c. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang akan digunakan maka fenobarbital yang
lebih disukai.
(NICE Guideline, 2004)
33

Terkait dengan keamanan penggunaan obat anti epilepsi pada pediatrik, maka

dikeluarkanlah lisensi untuk obat anti epilepsi seperti pada tabel berikut ini:

Tabel XI. Tabel Lisensi Penggunaan OAE pada Pediatrik

Nama Obat Usia di bawah ini bersifat unlicensed


Monoterapi Adjuctive treatment
Asetazolamida Unlicensed No age limit specified
Karbamazepin No age limit specified No age limit specified
Klobazam Unlicensed < 3 years but can be used in
children aged 6 months to
3 years in exceptional cases
Klonazepam No age limit specified No age limit specified
Etoksuksimid No age limit specified No age limit specified
Gabapentin Unlicensed < 6 years
Lamotrigin < 12 years < 2 years
Levetiracetam Unlicensed < 16 years
Okskarbazepin < 6 years < 6 years
Fenobarbital No age limit specified No age limit specified
Fenitoin No age limit specified No age limit specified
Pirasetam Unlicensed < 16 years
Primidon No age limit specified No age limit specified
Valproat No age limit specified No age limit specified
Tiagabin Unlicensed < 12 years
Topiramat < 6 years < 2 years
Vigabatrin No age limit specified No age limit specified

(NICE Guideline, 2004)

f. Dosis OAE

Pemberian obat antiepilepsi perlu dilakukan titrasi dosis yaitu diinisiasi

dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai kondisi klinis pasien (Ikawati,

2011). Dosis merupakan salah satu AED-specific variables yang akan

mempengaruhi efikasi/ efektifitas dan efek samping (Glauser dkk, 2006).


34

Tabel XII. Regimen Pemberian OAE pada Pediatrik

OAE Dosis Awal Dosis pemeliharaan Frekuensi Pemberian


(mg/kg BB/hari) (mg/kg/hari) (kali/hari)
Fenitoin 5 5-15 1-2
Karbamezepin 5 10-25 2-4
Okskarbazepin 5 10-50 2-3
Lamotigrin 0,5 2-8 1-2
Zonisamid 2-4 4-8 2
Etoksuksimid 10 15-30 1-2
Felbamat 15 30-45 2
Topiramat 0,5-1 5-9 2
Klobazam 0,25 0,5-1 1-2
Klonazepam 0,025 0,0250-1 2-3
Fenobarbital 4 4-8 1-2
Primidon 10 20-30 1-2
Vigabatrin 40 50-150 1-2
Gabapentin 20 20-40 3
Valproat 10 15-40 2-3
Levitiracetam 10 20-60 2
(Brodie dkk, 2005)

g. Efek samping OAE

Hampir semua OAE menimbulkan efek samping. Efek samping yang sering

dihubungkan dengan penggunaan OAE adalah idiosinkrasi, gangguan kognitif,

dan komplikasi lain akibat penggunaan jangka panjang. Dengan hal ini, maka

dalam pengobatan epilepsi perlu mempertimbangkan antara kekhasiatan obat dan

efek samping yang dapat terjadi pada penderita (Tan dkk, 2008).

Tabel XIII. Efek Samping OAE

OAE Efek Samping akut Efek samping kronis


Concentration Dependent Idiosyncratic
Karbamazepin Diplopia, pusing, kantuk, Diskrasia darah, Hiponatremia
mual, lethargy rash
Etoksuksimid Ataksia, kantuk, GI Diskrasia darah, Perubahan perilaku, sakit
distress, keadaan tidak rash kepala
tenang, hiccoughs
Felbamat Anoreksia, mual, muntah, Anemia aplastik, Not established
insomnia, sakit kepala gagal hati akut
Gabapentin Pusing, kelelahan, Pedal edema Peningkatan berat badan
somnolence, ataksia
Lamotrigin Diplopia, pusing, keadaan Rash Not established
tidak tenang, sakit kepala
35

Tabel XIII. Lanjutan....

OAE Efek samping akut Efek samping kronis


Concentration Dependent Idiosyncratic

Levetirasetam Sedasi, gangguan perilaku Not established Not established


Okskarbazepin Sedasi, pusing, ataksia, mual Rash Hiponatremia
Fenobarbital Ataksia, hiperaktivitas, sakit Diskrasia darah, Perubahan perilaku,
kepala, keadaan tidak tenang, rash gangguan jaringan ikat,
sedasi, mual menurunkan intelektual,
metabolic bone disease,
perubahan mood, sedasi
Fenitoin Ataksia, nistagmus, perubahan Diskrasia darah, Perubahan perilaku,
perilaku, pusing, sakit kepala, rash, reaksi cerebellar syndrom,
inkoordinasi, sedasi, letargi, imunologi connective tissue change,
cognitive impairment, penebalan kulit,
kelelahan, visual blurring defisiensi folat, gingival
hyperplasia, hirsutism,
pengkasaran fitur wajah,
jerawat, gangguan
kognitif, metabolic bone
disease, sedasi
Primidon Perubahan perilaku, sakit Diskrasias darah, Perubahan perilaku,
kepala, mual, sedasi, keadaan rash connective tissue
tidak tenang disorders, cognitive
impairment, sedasi
Tiagabin Pusing, kelelahan, kesulitan Not established
konsentrasi, gugup, tremor,
blurred vision, depresi,
kelemahan
Topiramat Kesulitan konsentrasi, Asidosis Batu ginjal, penurunan
perlambatan psikomotor, metabolik, acute berat badan
problem bicara atau bahasa, angle glaucoma,
somnolence, kelelahan, oligohidrosis
pusing, sakit kepala
Valproat Gl upset, sedasi, keadaan tidak Gagal hati akut, Polycystic ovary-like
tenang, tremor, pankreatitis akut, syndrome, peningkatan
trombositopenia alopecia berat badan,
hyperammonemia
Zonisamid Sedasi, pusing, cognitive Rash, Batu ginjal, penurunan
impairment, mual oligohidrosis berat badan
(Wells, 2005)

Tabel XIV. Efek Samping yang Signifikan secara Klinik Penggunaan OAE pada Pediatrik
AED Efek samping yang signifikan
Asetazolamida Beberapa kehilangan napsu makan, depresi, kesemutan, perasaan di
ekstremitas, poliuria, haus, sakit kepala, pusing, kelelahan, lekas marah, dan
kasus sesekali mengantuk.
Karbamazepin Reaksi alergi kulit, gangguan akomodasi, misalnya penglihatan kabur, diplopia,
ataksia dan mual. Terutama pada awal pengobatan, atau jika dosis awal terlalu
tinggi, beberapa jenis reaksi yang merugikan terjadi sangat umum terjadi.
Klobazam Mengantuk telah dilaporkan. Toleransi dapat berkembang, terutama jika
digunakan dalam waktu lama.
Etosuksimid Mual, sakit kepala, dan mengantuk.
36

Tabel XIV. Lanjutan ....

AED Efek samping yang signifikan


Klonazepam Mengantuk dan kelelahan telah diamati: efek seperti biasanya sementara dan
menghilang secara spontan sebagai pengobatan berlanjut atau dengan
pengurangan dosis.
Gabapentin Mengantuk, kelelahan, dan pusing hiperkinesia dilaporkan (kejadian 2% atau
lebih). Juga lebih sering labilitas emosional terjadi (>10%).
Lamotrigin Ruam kulit, yang umumnya muncul dalam 8 minggu setelah memulai
pengobatan. Pengalaman negatif yang dilaporkan meliputi mengantuk,
diplopia, pusing, sakit kepala, insomnia, kelelahan, demam (terkait dengan
ruam sebagai bagian dari sindrom hipersensitivitas) dan agitasi, kebingungan
dan halusinasi.
Levetirasetam Pusing, mengantuk, lekas marah, insomnia, labilitas emosional, ataksia,
tremor, sakit kepala, dan mual.
Okskarbazepin Diplopia, sakit kepala, mual, ruam kulit, ataksia, dan kebingungan.
Fenobarbital Mengantuk, lesu, dan depresi mental. Selain itu, reaksi alergi pada kulit dan
hiperkinesia.
Fenitoin Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam kulit, mengantuk, ataksia, dan bicara
cadel. Biasanya terkait dosis. Merendahkan fitur wajah, hiperplasia ginggiva,
dan hirsutisme mungkin jarang terjadi. Beberapa komplikasi haemopoetik
telah dilaporkan termasuk beberapa anemia, motor twitchings, dyskinesias
(jarang), tremor (jarang), dan kebingungan mental semuanya telah diamati.
Primidon Mengantuk dan kelesuan namun ini umumnya hanya terjadi pada awal
pengobatan. Efek lainnya telah dilaporkan tetapi biasanya sementara. Reaksi
psikotik telah dilaporkan jarang.
Valproat Sedasi dan tremor telah dilaporkan sesekali. Rambut rontok sementara, yang
kadang-kadang sering kembali normal ketika obat dihentikan. Sodium
valproate dikaitkan dengan risiko yang lebih tinggi dari malformasi janin jika
dikonsumsi pada kehamilan. Menjadi efek samping yang terkait dosis, telah
sering dilaporkan. Peningkatan berat badan juga dapat terjadi. Gangguan
lambung sering terjadi pada awal pengobatan. Kadang-kadang, hiperaktif,
agresi dan perilaku kerusakan telah dilaporkan. Kerusakan hati yang parah
telah sangat jarang dilaporkan. Mereka yang paling berisiko berusia di bawah
3 tahun tetapi ini adalah yang paling mungkin terkait dengan penyakit
metabolik terdiagnosis. Ensefalopati dan pankreatitis mungkin jarang terjadi.
Juga, hyperammonaemia tanpa perubahan tes fungsi hati dapat terjadi sering
dan biasanya bersifat sementara serta diskrasia darah dapat terjadi.
Tiagabin Pusing, kelelahan, kegelisahan (non-spesifik), tremor, kesulitan konsentrasi,
dan perasaan depresi.
Topiramat Sakit kepala, mengantuk, pusing, parestesia, dan penurunan berat badan.
Peningkatan risiko nefrolitiasis. Kesulitan dengan memori dan konsentrasi/
perhatian telah dilaporkan. Kasus reaksi mata - sekunder akut glaukoma sudut
tertutup menyajikan sebagai mata merah menyakitkan atau miopia akut,
jarang dikaitkan dengan topiramat terjadi dalam waktu 1 bulan setelah
memulai pengobatan.
Vigabatrin Mengantuk dan eksitasi dan agitasi sangat umum, sementara mual, agitasi,
agresi, lekas marah, dan depresi yang umum. Psikosis telah dilaporkan
sebagai hal yang umum terjadi. Cacat bidang visual telah dilaporkan pada
satu dari tiga orang yang memakai vigabatrin dengan onset biasanya setelah
bulanan sampai tahunan pengobatan. Perimetri mungkin jarang pada anak
kurang dari 9 tahun perkembangan, sehingga risiko pengobatan harus sangat
hati-hati dipertimbangkan terhadap kemungkinan manfaat pada anak-anak.
(NICE Guideliness, 2004)
37

h. Monitoring terapi

Mengingat banyaknya efek samping yang dapat muncul pada terapi OAE,

maka monitoring sangat diperlukan terutama pada terapi jangka lama. Dalam

monitoring, respon klinis lebih penting daripada konsentrasi obat serum. Pasien

harus dipantau secara berkala respon klinis untuk kontrol kejang, kondisi

komorbiditas, penyesuaian sosial (termasuk penilaian kualitas-hidup), interaksi

obat, kepatuhan, dan efek samping (Wells, 2005).

4. Drug Related Problems

Drug Related Problems (DRPs) adalah peristiwa yang tidak diinginkan yang

dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan

gangguan pada pencapaian pencapaian tujuan terapi yang diinginkan. DRPs dapat

dibedakan menjadi DRPs aktual dan DRPs potensial. DRPs aktual adalah problem

atau masalah yang berkaitan dengan terapi obat yang sudah terjadi pada pasien

dan harus berusaha diselesaikan. DRPs potensial adalah suatu problem atau

masalah yang mungkin terjadi berkaitan dengan terapi obat dan menjadi suatu

risiko yang dapat berkembang pada pasien jika tidak dilakukan suatu tindakan

untuk mencegahnya (Cipolle dkk, 2004).

Kejadian DRPs dapat menyebabkan pengobatan menjadi tidak optimal,

bahkan dapat menyebabkan kejadian yang merugikan bagi pasien. Penilaian

terhadap DRPs yang meliputi mengidentifikasi, menyelesaikan, dan mencegah

termasuk dalam bentuk pharmaceutical care practice yang merupakan peran

farmasi klinik (Siregar, 2004).


38

Tabel XV. Kategori dan Penyebab Umum KejadianDRPs

DRPs Penyebab Umum


Tidak ada indikasi medis yang valid untuk terapi obat saat ini
Beberapa produk obat yang digunakan untuk suatu kondisi yang
memerlukan terapi obat tunggal
Duplikasi terapi
1. Tidak perlu Pemakaian multiple drug yang seharusnya cukup dengan single drug
obat Kondisi medis yang lebih tepat ditangani dengan terapi non farmakologi
Minum obat untuk mencegah efek samping obat lain
Kondisi akibat drug abuse, penggunaan alkohol, atau merokok yang
menyebabkan masalah
Penggunaan obat adiktif atau rekreasional
Kondisi yang tidak diterapi
Perlu profilaksis atau terapi pemeliharaan
Preventive drug therapy untuk mengurangi risiko berkembangnya
2. Perlu untuk kondisi baru
terapi obat Kondisi dengan resiko dan butuh obat untuk mencegahnya
tambahan
Kondisi yang membutuhkan kombinasi obat
Perlu terapi yang sinergis atau potensial
Sebuah kondisi medis memerlukan terapi inisiasi
Obat ini bukan yang paling efektif untuk masalah medis
Tersedia obat lain yang lebih efektif
3. Obat salah Kondisi medis yang sulit disembuhkan dengan obat
Bentuk sediaan tidak sesuai
Kontraindikasi
Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon
4. Dosis terlalu Frekuensi pemberian terlalu panjang
rendah Durasi terlalu pendek untuk menghasilkan respons yang diinginkan
Kadar obat aktif dalam darah subterapeutik
Produk obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak
5. ADR (Adverse berhubungan dengan dosis
Drug Reaction) Interaksi obat
Reaksi alergi
Dosis terlalu tinggi
Frekuensi terlalu pendek
6. Dosis terlalu
tinggi Durasi terlalu lama
Sebuah interaksi obat terjadi mengakibatkan reaksi toksik terhadap
produk obat
Pasien tidak mengerti intruksi penggunaan obat
Pasien memilih untuk tidak minum obat
Pasien lupa untuk minum obat
7. Ketidakpatuhan
Terlalu mahal untuk pasien
Pasien tidak dapat menelan atau mengelola produk obat dengan tepat
Produk obat tidak tersedia untuk pasien
(Cipolle dkk, 2004)
39

F. Keterangan Empiris

Dalam penggunaan obat, pasien tentunya membutuhkan terapi yang sesuai,

efektif, aman, dan rasional sehingga dapat mencapai hasil (outcomes) yang

diinginkan. Terkait dengan hal tersebut, salah satu bentuk kepedulian farmasi

dalam penggunaan obat dilakukan melalui farmasi klinik dengan praktek

pharmaceutical care yang dipandang sebagai kerja sama sebagai tim pelayanan

kesehatan. Praktek pharmaceutical care salah satunya melalui mengidentifikasi,

mencegah, dan menyelesaikan masalah terkait obat (DRPs).

Penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran tentang kejadian Drug

Related Problems (DRPs) potensial penggunaan obat anti epilepsi pada pasien

pediatrik di Instalasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

selama tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai