PENDAHULUAN
seluruh dunia (WHO, 2001). Epilepsi adalah suatu kondisi neurologis yang
ditandai oleh adanya kejadian kejang berulang (kambuhan) yang bersifat spontan
Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar antara 33-198 per
100.000 penduduk tiap tahunnya (WHO, 2006). Insiden epilepsi tiap tahun di
sendiri, prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,5%-2%.
Jadi, apabila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, maka
2006).
Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur.
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008).
Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50
tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006)
adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok
1
2
usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi
bukan merupakan bentuk miniatur dari orang dewasa (US. Department of Health
and Human Service, 1998). Pemilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) pada pediatrik
variables (latar belakang genetik, jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan status
sosial ekonomi), dan nation specific variables (ketersediaan dan biaya OAE)
Terapi yang bersifat khas dan memerlukan jangka waktu lama, tentunya
(Siregar, 2004). DRPs adalah peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami oleh
pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan gangguan pada
pencapaian tujuan terapi yang diinginkan. DRPs dapat dibedakan menjadi DRPs
aktual dan DRPs potensial. DRPs aktual adalah problem atau masalah yang
berkaitan dengan terapi obat yang sudah terjadi pada pasien dan harus berusaha
diselesaikan. DRPs potensial adalah suatu problem atau masalah yang mungkin
terjadi berkaitan dengan terapi obat dan menjadi suatu risiko yang dapat
berkembang pada pasien jika tidak dilakukan suatu tindakan untuk mencegahnya
obat (DRPs). DRPs yang paling sering terjadi pada pengobatan epilepsi adalah
interaksi obat, kegagalan untuk menerima obat, dan efek samping obat
Kajian dari penelitian Dr. Wan dalam Splete (2010) menunjukkan bahwa
DRPs dalam hal efek samping masih menjadi problem bagi pasien epilepsi. Hasil
Dewasa ini pola peresepan pada pengobatan epilepsi lini pertama ditemukan
ada dua macam pola yaitu monoterapi dan politerapi. Padahal pengobatan lini
DRPs merupakan tantangan yang penting bagi tim kesehatan karena dapat
mungkin juga memiliki konsekuensi ekonomi bagi pasien dan masyarakat (Van
Dari hal di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan identifikasi DRPs
potensial penggunaan Obat Anti Epilepsi (OAE) pada pasien pediatrik di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Peneliti memilih tempat di rumah sakit
tersebut karena merupakan rumah sakit pendidikan dan milik pemerintah daerah
bahwa dari tahun ke tahun insidensi epilepsi pada kelompok usia pediatrik paling
tinggi dibandingkan kelompok usia dewasa maupun geriatrik. Pada tahun 2010,
dari total 111 kasus epilepsi menunjukkan kelompok usia pediatrik 55,86% (62
kasus), usia dewasa 41,44% (46 kasus), dan usia geriatrik 2,70% (3 kasus). Pada
tahun 2011, dari total 107 kasus menunjukkan kelompok usia pediatrik 62,62%
(67 kasus), usia dewasa 35,51% (38 kasus), dan usia geriatrik 1,87% (2 kasus).
Pada tahun 2012, dari total 150 kasus menunjukkan kelompok usia pediatrik
59,33% (89 kasus), usia dewasa 37,33% (56 kasus), dan usia geriatrik 3,33% (5
kasus).
B. Perumusan Masalah
Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama tahun 2012
C. Tujuan Penelitian
Instalasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama
tahun 2012.
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto selama tahun 2012 yang
anti epilepsi.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi rumah sakit
Purwokerto.
E. Tinjauan Pustaka
1. Pediatrik
Pediatrik bukan merupakan miniatur dari orang dewasa. Hal ini karena pada
penyakit pada populasi orang dewasa dan anak-anak cukup mirip untuk
respon juga mirip (US. Department of Health and Human Service, 1998).
sebagai berikut:
1.) Absorpsi
termasuk efek pada tingkat keasaman lambung, pengosongan lambung dan usus,
luas permukaan dari situs penyerapan, sistem enzim pencernaan untuk obat yang
fungsi empedu. Demikian pula perubahan perkembangan di kulit, otot lemak, dan
(Holbein, 2003)
2.) Distribusi
perubahan total air dan jaringan adiposa/ lemak, yang belum tentu sebanding
dengan perubahan total berat badan. Perubahan dalam ikatan protein plasma juga
90
80
70
%Total body weight
60
50
40
Total water
30
Body fat
20
10
0
Baru 3 6 9 1 5 10 20 40
lahir bulan bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun
Usia
Gambar 1. Perbedaan Komposisi Total Air dan Lemak pada Berbagai Usia
(Kearn, 2003)
3.) Metabolisme
Metabolisme obat biasanya terjadi dalam hati, tetapi juga dapat terjadi dalam
diakui, informasi tentang metabolisme obat tertentu pada bayi baru lahir, bayi, dan
akan membentuk metabolit yang sama seperti orang dewasa melalui jalur seperti
(Holbein, 2003)
4.) Ekskresi
rute empedu, dan paru. Ekskresi obat oleh ginjal dikontrol oleh filtrasi
eksposur sistemik untuk obat di mana ekskresi ginjal adalah jalur eliminasi yang
2. Epilepsi
a. Definisi
oleh pelepasan sinkron berulang, abnormal, dan berlebihan dari neuron otak
(Ikawati, 2011). Serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama
epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan, dan
11
dan perubahan tingkah laku (psikologis). Semuanya itu tergantung dari letak
b. Epidemiologi
seluruh dunia (WHO, 2001). Insiden epilepsi di dunia masih tinggi yaitu berkisar
antara 33-198 per 100.000 penduduk tiap tahunnya (WHO, 2006). Insiden epilepsi
prevalensi penderita epilepsi cukup tinggi yaitu berkisar antara 0,5%- 2%. Jadi,
apabila penduduk Indonesia berjumlah sekitar 200 juta jiwa, maka kemungkinan
Epilepsi dapat terjadi pada pria maupun wanita dan pada semua umur.
Sebagian besar kasus epilepsi dimulai pada masa anak-anak (Purba, 2008).
Insiden tertinggi terjadi pada umur 20 tahun pertama, menurun sampai umur 50
tahun, dan setelah itu meningkat lagi (Ikawati, 2011). Kajian Pinzon (2006)
adalah tinggi dan memang merupakan penyakit neurologis utama pada kelompok
12
usia tersebut, bahkan dari tahun ke tahun ditemukan bahwa prevalensi epilepsi
c. Etiologi
Dilihat dari penyebabnya, sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui
biokimia atau metabolik, dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma pada saat
Pada bayi, penyebab paling sering yaitu asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
atau infeksi. Penyebab epilepsi pada usia 5-6 tahun umumnya karena febril/
demam tinggi. Sedangkan pada anak-anak dan usia remaja kebanyakan berupa
epilepsi idiopatik, yang tidak diketahui penyebabnya (Ikawati, 2011). Bila salah
epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya
Dan untuk usia dewasa, penyebab epilepsi lebih variatif antara lain idiopatik,
karena birth trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 tahun), dan faktor
area jaringan otak yang abnormal. Kejang yang terjadi dapat ditimbulkan
Epilepsi sekunder berarti bahwa gejala yang timbul ialah sekunder atau
akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak. Jadi pada epilepsi sekunder
sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada
waktu lahir atau pada masa perkembangan anak. Gangguan ini bersifat
a.) Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin, seperti ibu pada
saat hamil menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin,
b.) Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti hipoksia atau
d.) Penyakit keturunan seperti Fenil Keto Uria (FKU), sklerosis tube
berulang.
otak.
d. Patofisiologi
baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron
menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-
neurotransmitter dan GABA (Gamma Amino Butyric Acid), yang bersifat sebagai
dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut (Cotman,
1995).
Kejang adalah manifestasi paroksismal dari sifat listrik di bagian korteks otak.
oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinaptik.
normal tetapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan
di otak.
e. Diagnosa
khusus untuk dapat menggali dan menemukan data yang relevan. Dalam
riwayat kejang pasien, termasuk apa yang terjadi sebelum, selama, dan setelah
(Ikawati, 2011). Penegakan diagnosa harus dilaksanakan secara runut dan terarah.
telah dikerjakan. Apabila telah diyakini bahwa kasus yang dihadapi adalah kasus
17
Identifikasi jenis serangan maupun jenis epilepsi harus memperjelas diagnosa. Hal
ini sangat diperlukan karena berkaitan erat dengan rencana pemberian OAE.
Sementara itu, pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
Dalam situasi yang meragukan, maka dapat terjadi dua macam kekeliruan.
Pertama, kasus bukan epilepsi dengan gejala yang sangat mirip epilepsi
didiagnosa sebagai epilepsi. Kedua, kasus epilepsi yang gejalanya sangat samar
atau tidak dikenal sebagai gejala epilepsi dianggap kasus bukan epilepsi. Kedua
jenis kekeliruan tadi akan membawa akibat yang sangat merugikan kepada
diagnosa yang keliru. Situasi yang merugikan akan mendorong pemikiran ke arah
untuk membuktikan berbagai kemungkinan yang ada. Secara teori, akan terjadi
faktor pencetus serangan. Hal ini sangat erat kaitannya dengan program terapi dan
ditegakkan pula, dengan demikian program terapi dan pemberian OAE dapat
1.) Kejang umum (generalized seizure), yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi
2.) kejang parsial/ fokal yaitu kejang yang terjadi jika aktivasi dimulai dari
3.) Unclassified seizures yaitu semua jenis kejang yang tidak dapat
4.) Status epileptikus, yaitu kejang yang terjadi terus menerus selama 5 menit
atau lebih atau kejadian kejang 2 kali atau lebih tanpa pemulihan
(Ikawati, 2011). Status ini mungkin bisa terjadi sebagai epilepsi pertama
bagi pasien, atau dapat dipicu oleh penghentian antikonvulsan secara tiba-
g. Terapi Epilepsi
Dari kelompok pasien yang menjalani terapi ada yang dapat terbebas dari
minum obat 2-4 tahun secara terus menerus, namun ada juga yang sembuh secara
alamiah setelah mencapai usia tertentu dan ada pula yang harus minum OAE
seumur hidup. Beberapa pasien mungkin secara genetik refrakter terhadap terapi
OAE. Pasien epilepsi refrakter yaitu tidak mampu dikendalikan bangkitan dengan
(Ikawati, 2011).
listrik syaraf yang berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur
serangan dan mencegah cetusan serta putusnya fungsi agregasi normal neuron
(Ikawati,2011).
(1.) Pembedahan
2011).
23
2011).
24
a. Kategori OAE
yaitu efek langsung pada membran yang eksitabel dan efek melalui perubahan
mencegah aliran frekuensi tinggi dan neuron-neuron pada keadaan lepas muatan
25
listrik epilepsi. Efek ini karena adanya perubahan mekanisme pengaturan aliran
ion Na+ dan ion Ca2+. Channel Na secara dinamis berada dalam tiga keadaan:
a.) Keadaan istirahat yaitu keadaan selama Na+ berjalan menuju ke sel
b.) Keadaan aktif yaitu keadaan dimana terjadi peningkatan Na+ yang masuk
ke dalam sel.
c.) Keadaan inaktif yaitu keadaan dimana channel tidak memberikan jalan
ekstraseluler dan intraseluler, yakni ion Ca, Na, dan Cl lebih cenderung berada di
luar sel sedangkan ion K cenderung berada di dalam sel. Adanya rangsang
mekanik, kimiawi, dan listrik serta rangsangan lain akibat suatu penyakit
Ca, dan Cl masuk ke dalam sel secara berlebihan. Hal ini mencetuskan pelepasan
serangan (Wibowo dan Gofir, 2006). Adapun OAE dengan mekanisme ini antara
26
2011).
menghambat kanal ion Ca2+ tipe T. Arus Ca2+ kanal tipe T merupakan arus
kortikal ritmik kejang. Obat anti epilepsi yang menurunkan nilai ambang arus ion
Mekanisme obat jenis ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu mekanisme
mendorong aksi inhibisi GABA (Gamma Amino ButyricAcid) pada membran post-
amino yang penting dalam otak. Reseptor glutamat mempunyai 5 tempat ikatan
site, N-methyl-D-aspartate (NMDA) site, glisine site, dan metabotropic site yang
mempunyai 7 subunit (Glu R 1-7). Adapun obat-obat anti epilepsi yang termasuk
dalam mekanisme ini diantaranya ialah felbamat dan topiramat (Wibowo dan
Gofir, 2006).
b.) Mendorong aksi inhibisi GABA pada membran post sinaptik dan neuron
eksitasidan inhibisi pada otak, dimana aktivitas eksitasinya lebih tinggi daripada
terbagi menjadi dua bagian yaitu eksitator dan inhibitor. Hasil pengaruh kedua
neurotransmitter tersebut dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. Jika yang terjadi
lebih kuat eksitasi, maka neuron akan lebih mudah melepaskan muatan listrik dan
28
neuron lain. Proses inhibisi ini akan menghentikan serangan epilepsi (Wibowo
vigabatrin.
Contohnya gabapentin.
(Ikawati, 2011)
29
2.) Monoterapi lebih baik untuk mengurangi 9.) Jika memungkinkan dapat dilakukan
potensi adverse effect, meningkatkan monitoring kadar obat dalam darah
kepatuhan pasien, tidak terbukti bahwa sebagai dasar dilakukan penyesuaian
politerapi lebih baik dari monoterapi dosis disertai dengan pengamatan
terhadap kondisi klinis pasien
3.) Menghindari atau meminimalkan 10.) Jika dosis obat yang dapat
penggunaan antiepilepsi sedatif untuk ditoleransi tidak dapat mengontrol
mengurangi toleransi, efek pada kejang atau efek samping dialami oleh
intelegensia, memori, kemampuan pasien, obat pertama dapat diganti
motorik bisa menetap selama pengobatan (disubstitusi dengan obat lini pertama
lainnya dari obat antiepilepsi)
4.) Penggunaan OAE tidak mempengaruhi 11.) Interval waktu tertentu, perlu
status mental memonitoring kemungkinan timbul
ketoksikan
5.) Jika memungkinkan, terapi diinisiasi 12.) Terapi OAE dilanjutkan pada
dengan satu antiepilepsi nonsedatif, jika pasien bebas kejang hingga 1-2 tahun
gagal dapat diberikan antiepilepsi sedatif
atau dengan politerapi
6.) Pemberian obat antiepilepsi diinisiasi 13.) Jangan memutus OAE tanpa
dengan dosis terkecil dan dapat mengecek EEG pasien
ditingkatkan sesuai kondisi klinis pasien.
Hal ini untuk meningkatkan kepatuhan
pasien
7.) Variasi individual pasien terhadap respon 14.) Penghentian OAE dilakukan
obat antiepilepsi memerlukan pemantauan dengan menurunkan dosis secara
ketat dan penyesuaian dosis perlahan
Tidak efektif
Evaluasi hasil
Evaluasi diagnosis,
ketaatan pasien, tipe
serangan, komplikasi,
penyakit lain Tidak efektif
tidak efektif
Politerapi dengan
kombinasi 2 macam obat
lini pertama Ganti 1 obat lini pertama dengan lini kedua
Tidak efektif
efektif
Epilepsi refrakter,
hentikan obat lini ke-2 dan Pertimbangan untuk
coba berbagai macam menarik obat lini 1
OAE, pembedahan sehingga menjadi
monoterapi , dengan obat
lini ke-2
1.) Efikasi yaitu seberapa baik obat dalam menghentikan bangkitan kejang
pada pasien.
2.) Keamanan yaitu ada tidaknya risiko serius untuk reaksi idiosinkrasi dan
sifat teratogenik.
dengan dosis biasa atau titrasi lambat, serta ada tidaknya sediaan
parenteral.
diekskresikan oleh ginjal atau tidak, dan terikat dengan protein atau tidak,
6.) Interaksi obat, hal ini dapat dikaitkan dengan banyak OAE yang
sitokrom P450.
7.) Biaya, hal ini menjadi masalah tertentu terutama pada pasien miskin dan
lansia.
Pemilihan OAE untuk epilepsi pada pediatrik bukanlah tugas yang sederhana.
jenis kelamin, usia, komorbiditas, dan status sosial ekonomi), dan nation specific
Tipe seizure First-line drugs Second-line Alternatif/ obat Obat yang harus
drugs lain yang dihindari
dapat (mungkin
dipertimbangkan memperburuk
kejang)
Generalised Karbamazepina Klobazam Asetazolamida Tiagabin
tonicclonic Lamotriginb Levetirasetam Klonazepam Vigabatrin
Valproat Okskarbazepina Fenobarbitala
Topiramata,b Fenitoina
Primidona,c
Absence Etoksuksimid Klobazam Karbamazepina
Lamotriginb Klonazepam Gabapentin
Valproat Topiramata Okskarbazepina
Tiagabin
Vigabatrin
Myoclonic Valproat Klobazam Karbamazepina
Topiramata Klonazepam Gabapentin
Lamotrigin Oksarbazepina
Levetirasetam Tiagabin
Pirasetam Vigabatrin
Tonic Lamotriginb Klobazam Asetazolamida Karbamazepina
Valproat Klonazepam Fenobarbitala Okskarbazepina
Levetirasetam Fenitoina
Topiramata Primidona,c
Atonic Lamotriginb Klobazam Asetazolamida Karbamazepina
Valproat Klonazepam Fenobarbitala Okskarbazepina
Levetirasetam Primidona,c Fenitoina
Topiramata
Infantile Steroid a Klobazam Nitrazepam Karbamazepina
spasms Vigabatrin b Klonazepam Okskarbazepina
Valproat
Topiramata
Focal Karbamazepina Klobazam Asetazolamidac
b
with/without Lamotrigin Gabapentin Klonazepam
secondary Okskarbazepinab Levetirasetam Fenobarbitala
generalisati Valproat Fenitoina Primidona,c
a,b
on Topiramat Tiagabin
Keterangan :
a. Enzim hati menginduksi OAE.
b. Harus digunakan sebagai pilihan pertama dalam keadaan seperti diuraikan dalam NICE
Technology Appraisal of Newer AEDs for Children.
c. Jarang dan perlu inisiasi, jika barbiturat yang akan digunakan maka fenobarbital yang
lebih disukai.
(NICE Guideline, 2004)
33
Terkait dengan keamanan penggunaan obat anti epilepsi pada pediatrik, maka
dikeluarkanlah lisensi untuk obat anti epilepsi seperti pada tabel berikut ini:
f. Dosis OAE
dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai kondisi klinis pasien (Ikawati,
Hampir semua OAE menimbulkan efek samping. Efek samping yang sering
dan komplikasi lain akibat penggunaan jangka panjang. Dengan hal ini, maka
efek samping yang dapat terjadi pada penderita (Tan dkk, 2008).
Tabel XIV. Efek Samping yang Signifikan secara Klinik Penggunaan OAE pada Pediatrik
AED Efek samping yang signifikan
Asetazolamida Beberapa kehilangan napsu makan, depresi, kesemutan, perasaan di
ekstremitas, poliuria, haus, sakit kepala, pusing, kelelahan, lekas marah, dan
kasus sesekali mengantuk.
Karbamazepin Reaksi alergi kulit, gangguan akomodasi, misalnya penglihatan kabur, diplopia,
ataksia dan mual. Terutama pada awal pengobatan, atau jika dosis awal terlalu
tinggi, beberapa jenis reaksi yang merugikan terjadi sangat umum terjadi.
Klobazam Mengantuk telah dilaporkan. Toleransi dapat berkembang, terutama jika
digunakan dalam waktu lama.
Etosuksimid Mual, sakit kepala, dan mengantuk.
36
h. Monitoring terapi
Mengingat banyaknya efek samping yang dapat muncul pada terapi OAE,
maka monitoring sangat diperlukan terutama pada terapi jangka lama. Dalam
monitoring, respon klinis lebih penting daripada konsentrasi obat serum. Pasien
harus dipantau secara berkala respon klinis untuk kontrol kejang, kondisi
Drug Related Problems (DRPs) adalah peristiwa yang tidak diinginkan yang
dialami oleh pasien yang melibatkan atau diduga melibatkan terapi obat dan
gangguan pada pencapaian pencapaian tujuan terapi yang diinginkan. DRPs dapat
dibedakan menjadi DRPs aktual dan DRPs potensial. DRPs aktual adalah problem
atau masalah yang berkaitan dengan terapi obat yang sudah terjadi pada pasien
dan harus berusaha diselesaikan. DRPs potensial adalah suatu problem atau
masalah yang mungkin terjadi berkaitan dengan terapi obat dan menjadi suatu
risiko yang dapat berkembang pada pasien jika tidak dilakukan suatu tindakan
F. Keterangan Empiris
efektif, aman, dan rasional sehingga dapat mencapai hasil (outcomes) yang
diinginkan. Terkait dengan hal tersebut, salah satu bentuk kepedulian farmasi
pharmaceutical care yang dipandang sebagai kerja sama sebagai tim pelayanan
Related Problems (DRPs) potensial penggunaan obat anti epilepsi pada pasien
pediatrik di Instalasi Rawat Inap RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto