Anda di halaman 1dari 3

Terapi Berbasis Sel Dalam Penyembuhan dan Regenerasi Miokardium

Pada Penyakit Jantung Iskemik dan Gagal Jantung

dr. Isman Firdaus, SpJP(K), FIHA, FAPSIC, FESC, FSCAI, FasCC


Divisi Critical Care Cardiology dan Kegawatan Kardiovaskular/ Rumah Sakit Jantung
dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta


Penyakit jantung iskemik dan gagal jantung masih menjadi penyebab utama morbiditas
dan mortalitas di seluruh dunia. Saat ini semakin banyak penelitian yang dilakukan untuk
menghasilkan strategi klinis yang valid ditujukan untuk memperbaiki otot jantung yang rusak dan
iskemia jaringan serta meningkatkan kemampuan regenerasi jantung. Akan tetapi, hasil studi-studi
terapi regenerasi pada penyakit kardiovaskular sejauh ini belum menunjukkan hasil yang berarti dan
konsisten.

Sel punca adalah sel dengan kemampuan (1) regenerasi dengan menggandakan diri dan
(2) diferensiasi menjadi satu atau lebih tipe sel. Beberapa tipe sel yang digunakan dalam studi klinis
sebagian besar berasal dari sumsum tulang atau darah perifer, walaupun Mesenchymal Stem Cells
(MSCs) dapat dari kultur berbagai jenis jaringan seperti sumsum tulang dan jaringan lemak. Populasi
sel yang heterogen ini dikenal sebagai sel punca generasi pertama. MSCs memiliki sifat
imunogenitas yang rendah, sehingga memungkinkan penggunaan sel yang bersifat alogenik
(berbeda secara genetik). Beberapa ulasan sistematik dan meta-analisis meyebutkan peningkatan
signifikan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF) sebesar 2-4% dan reduksi luas infark serta volum
akhir sistolik ventrikel kiri setelah transplantasi intramiokard dengan sel sumsum tulang. Uji BAMI
fase III masih berjalan dengan harapan menggambarkan efek terapi BMCs terhadap mortalitas
setelah infark miokard akut. Sampai saat ini juga belum ada konsensus apakah jumlah sel yang
ditransplantasikan atau sel in vivo yang bertahan berperan penting terhadap efek luas yang
diharapkan.

Sel punca generasi kedua terdiri dari poulasi sel dengan kemampuan memperbaiki
jantung lebih baik dan lebih banyak berasal dari sumber selain sumsum tulang (seperti biopsi
jantung), serta digunakan dalam rekayasa genetik dan farmakologi in vitro untuk meningkatkan
proses pembentukan sel baru, kelangsungan hidup, diferensiasi dan aktivitas parakrin. Sel progenitor
atau sel punca yang berasal dari jantung (Cardiac Progenitor Cells / CPCs dan Cardiac Stem Cells /
CSCs) mulai banyak diteliti. Walaupun isolasi sel dari jantung lebih invasif dibanding sumsum tulang,
waktu kultur lebih lama, dan jumlah serta fungsi menurun seiring dengan umur, aktivitas intrinsik
parakrinnya diharapkan menjadi kandidat yang baik untuk meningkatkan fungsi miokard pada pasien
gagal jantung. Sel punca pluripoten seperti Embryonic Stem Cells (ESCs) dan Induced Pluripotent
Stem Cells (iPCSc) berdiferensiasi langsung menjadi kardiomiosit dan sel endotel, yang akan
meningkatkan efektivitas terapi dengan risiko efek samping yang rendah. Uji klinis ESCs pada pasien
gagal jantung berat (ESCORT) sudah dimulai dan masih dimonitor keuntungan dan kerugiannya,
sedangkan uji klinis iPSCs belum dilakukan pada manusia, karena terdapat risiko mutasi genetik yang
lebih besar.
Belum ada studi klinis yang secara langsung membandingkan efektivitas sel dari sumsum
tulang (Bone Marrow Cells / BMCs), MSCs dan CPCs/CSCs pada pasien gagal jantung. Perbandingan
diantara jenis sel tersebut baru didapatkan dari penelitian pre-klinis, yang menyebutkan bahwa
manfaat fungsional paling besar didapat dari CPCs/CSCs, kemudian diikuti MSCs dan BMCs. Sampai
saat ini studi menggunakan BMCs paling sering digunakan dalam uji klinis pada manusia.

Salah satu hambatan besar yang dihadapi pada terapi berbasis sel, yaitu tingkat daya
tahan sel pada area transplan yang rendah, 10% sel yang disuntikkan tetap berada pada lokasi
target. Dalam rentang waktu yang singkat, proses pembentukan sel baru hanya sekitar 8% dengan
berapa pun banyaknya sel yang disuntikkan, dan dalam 24 jam menurun menjadi < 1%. Berbagai
cara dilakukan untuk meningkatkan daya tahan sel, seperti penggunaan hidrojel, penggunaan
antibodi bispesifik yang berikatan dengan sel, gelombang syok ekstrakorporeal terhadap organ
target, hingga rekayasa genetik dengan meningkatkan ekspresi gen pro-survival (Akt, Pim-1 kinase,
ERK1/2, HIF-1, haeme-oxygenase 1, GATA4, heat shock protein 27, miRNA-1, myocardin, dan
protein kinase G1) atau gen penginisiasi angiogenesis (VEGF, MYDGF, FGF-2, SDF-1 dan PDGF). Hal
ini diharapkan dapat meningkatkan diferensiasi dan efek parakrin, menekan faktor inflamasi dan
respon imun, serta membantu fungsi jantung. Efisiensi diferensiasi PSCs sangat tinggi (>80%)
menjadi kardiomiosit. Akan tetapi, populasi kardiomiosit memiliki berbagai jenis proporsi atrium,
ventrikel dan nodus, sehingga implantasi campuran jenis sel-sel ini dapat meningkatkan risiko
aritmia. Oleh karena itu, walaupun telah banyak protokol yang menghasilkan kardiomiosit ventrikel,
penting untuk menetapkan protokol diferensiasi yang menghasilkan populasi murni dari fenotip
kardiomiosit yang diharapkan.

Upaya mengembalikan penuaan sel menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan fungsi
sel transplan. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan jalur sinyal dan protein seperti Pim-1 kinase,
NOTCH1, telomerase dan myocardin. Protokol baru mengenai peremajaan sel diharapkan dapat
meningkatkan aplikasi klinis sel pada populasi usia tua. Sel transplan juga menghasilkan sitokin dan
faktor pertumbuhan sehingga mendorong proliferasi kardiomiosit, rekruitmen dan aktivasi CPCs,
induksi pembentukan pembuluh darah, reduksi jaringan parut dan inhibisi apoptosis. Baru-baru ini,
dikembangkan sel implan yang dipogram dengan fibroblas diubah menjadi sejenis kardiomiosit
dengan menggunakan faktor transkripsi perkembangan jantung, yaitu Gata4, Mef2c, dan Tbx5,
sehingga memodulasi proses regenerasi jantung.

Sistem pelacakan sel in vivo dapat dilakukan dengan penandaan fisik secara langsung
(menginkubasi sel dengan agen kontras) atau secara tidak langsung dengan memasukkan gen
reporter ke dalam sel. Pelacakan sinyal dari penandaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan
modalitas pencitraan, seperti PET, SPECT dan MRI. MRI merupakan modalitas paling umum
digunakan dalam uji klinis. Akan tetapi, MRI hanya dapat mendeteksi makrofag yang memakan
kontras setelah sel lisis sehingga memungkinkan adanya periode waktu dimana sinyal sel tidak dapat
dideteksi. Hal ini dapat diatasi dengan penggunaan beberapa modalitas secara simultan (kedokteran
nuklir dengan CT atau MRI).

Desain uji klinis acak terkontrol pada terapi berbasis sel dapat menimbulkan berbagai
perspektif etik dan isu, seperti (1) persepsi publik terhadap terapi sel, dimana ekpektasi yang tinggi
dapat mempengaruhi prosedur randomisasi dengan kecenderungan ingin berada pada grup terapi
dibandingkan kontrol, (2) konflik kepentingan, seperti kepentingan komersial yang mendorong
peneliti untuk menguji terapi sel yang belum siap untuk dilakukan secara klinis, (3) risiko vs manfaat,
dimana ketidakpastian akan manfaat dan kemungkinan risiko yang dapat terjadi, dan (4) pemilihan
luaran studi, antara marker biokimiawi yang dianggap menggambarkan luaran klinis dengan luaran
klinis akhir.

Seleksi pasien perlu diperhatikan beberapa faktor, yaitu usia, jenis kelamin, komorbid,
pengobatan yang sedang dikonsumsi, dan faktor risiko kardiovaskular lainnya, yang dapat menjadi
perancu dalam uji terapi sel. Pengembangan biomarker prognostic dan indeks komorbiditas dapat
membantu menilai secara objektif besar pengaruh faktor-faktor tersebut pada uji pre-klinis dan
klinis.

Jalur administrasi dan jumlah sel yang dibutuhkan untuk mencapai hasil uji klinis yang
diharapkan belum banyak dinilai. Jalur administrasi sel terdiri dari beberapa jenis, yaitu intravena,
injeksi langsung miokard, injeksi transkateter TE ataupun via infus melalui sinus koroner. Jumlah sel
yang digunakan dalam berbagai uji klinis sampai saat ini masih berdasarkan kemungkinan dan
aksesibilitas yang dapat dicapai, bukan berdasarkan optimasi dosis, sehingga sampai saat ini masih
menjadi pertanyaan terbuka seberapa banyak sel yang diadministrasikan untuk mencapai manfaat
klinis. Jumlah relative sel dengan aktivitas fungsional yang tinggi lebih dipertimbangkan dalam
menggambarkan dosis yang menunjukkan respon klinis, dibandingkan jumlah sel absolut. Rerata
jumlah sel absolut yang diadministrasikan ke dalam sirkulasi coroner pasien dengan penyakit jantung
iskemik dan gagal jantung berkisar dari 1.2 x 107 sampai 2.05 110 x 108 sel sumsum tulang dan dari
1 x 106 sampai 25 x 106 CSCs. Waktu optimal untuk mengadministrasikan sel masih menjadi
perdebatan. Berdasarkan uji klinis sebelumnya, waktu optimal BMCs atau PCs diadministrasikan ke
dalam arteri koroner, yaitu antara hari ke-4 dan ke-8 setelah awitan IMA.

Penentuan luaran akhir dan cara pengukurannya menjadi hal penting lain dalam desain uji
klinis. Kebanyakan uji klinis yang sudah ada menilai ukuran ventrikel kiri dan fungsi sistolik global
sebelum dan setelah terapi sebagai luaran akhirnya. Penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan
ekokardiografi, MRI, angiografi bventrikel kiri, atau ventrikulografi radionuklir. MRI menjadi
modalitas paling akurat dan komprehensif dalam menilai dimensi ruang jantung, volume, fungsi dan
luas infark dibandingkan modalitas lainnya. Selain itu, uji standar yang perlu dipertimbangkan
sebagai luaran akhir antara lain, kualitas hidup, jumlah rawat inap, tes jalan 6 menit, dan mortalitas
di rumah sakit serta beberapa tahun setelah keluar rumah sakit.

Namun demikian, hingga kini pengobatan gagal jantung atau regenerasi sel di bidang
kardiovaskular masih dalam ranah penelitian, belum menjadi rekomendasi utama dalam pengobatan
penyakit kardiovaskular di Indonesia

Kepustakaan ada pada penulis, alamat email : ismanf@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai